Legal Validity of HGB Extension Over Management Rights in Surabaya
Article View
PDF

Keywords

Extension of Term
Building Rights Title
Land Utilisation
Management Rights

Categories

How to Cite

Erdianto, D. W., Raharja, G. D. B. H., Wicaksana, S. A., & Sofia, A. N. (2025). Legal Validity of HGB Extension Over Management Rights in Surabaya: Keabsahan Hukum Perpanjangan HGB di Atas Hak Pengelolaan di Surabaya. Indonesian Journal of Innovation Studies, 26(2), 10.21070/ijins.v26i2.1012. https://doi.org/10.21070/ijins.v26i2.1012

Abstract

General Background: Land tenure rights, particularly Building Use Rights (HGB) over Management Rights (HPL), play a crucial role in Indonesia’s legal and economic landscape.Specific Background: Extending HGB over HPL requires approval from the HPL holder, leading to legal disputes when HGB holders are unaware of their land’s status.Knowledge Gap: Limited studies address the legal mechanisms for extending HGB over HPL, especially after Government Regulation No. 18 of 2021.Aims: This study analyzes the legal framework for HGB extensions over HPL and examines legal remedies for unaware HGB holders.Results: Findings show that approval from the HPL holder is mandatory for HGB extensions, and without it, applications are rejected. Court rulings confirm this requirement.Novelty: This study clarifies recent regulatory changes and their impact on landowners.Implications: Clearer legal frameworks and better land status verification are needed to prevent disputes and ensure compliance.

Highlights:

  • Mandatory Approval: HGB extensions over HPL require approval from the HPL holder; otherwise, they are legally invalid.
  • Regulatory Impact: Government Regulation No. 18 of 2021 reinforces strict conditions for HGB extensions, affecting landowners.
  • Legal Remedies: HGB holders unaware of their land’s HPL status must pursue legal verification and compliance to secure extensions.

Keywords: Extension of Term, Building Rights Title, Land Utilisation, Management Rights

https://doi.org/10.21070/ijins.v26i2.1012
Article View
PDF

References

I. Sudiyat, Hukum Adat: Sketsa Asas. Yogyakarta, Indonesia: Liberty, 1978, p. 1.

Y. S. Zamil, “Perlindungan Hukum Pembeli Apartemen atau Rumah Susun di Atas Tanah Hak Pengelolaan,” J. Arena Huk., vol. 10, no. 3, pp. 442–456, Dec. 2017.

B. Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi, dan Pelaksanaannya. Jakarta, Indonesia: Djambatan, 2005, p. 1.

Z. Malaka, “Kepemilikan Tanah dalam Konsep Hukum Positif Indonesia, Hukum Adat dan Hukum Islam,” Al-Qānūn: J. Pemikiran Pembaharuan Huk. Islam, vol. 21, no. 1, pp. 105–120, Jun. 2018.

S. Hajati, A. R. Widiyanto, and A. L. Putri, Buku Ajar Politik Hukum Pertanahan. Surabaya, Indonesia: Airlangga University Press, 2018, p. 2.

U. Santoso, “Penggunaan Tanah Hak Pengelolaan oleh Pihak Ketiga,” J. Dinamika Huk., vol. 13, no. 2, pp. 284–298, May 2013.

P. M. Marzuki, Penelitian Hukum. Jakarta, Indonesia: Kencana Prenada Media Group, 2005, p. 133.

K. D. P. Wijaya and I. K. Suardita, “Pengaturan Hak Pengelolaan Hak Atas Tanah Negara Pasca Berlakunya UU Cipta Kerja,” J. Kertha Desa, vol. 9, no. 7, pp. 59–75, Jul. 2021.

M. N. Ardani and I. G. S. Dewi, “Perlindungan Hukum bagi Pemegang Hak Atas Tanah yang Tanahnya Berada di Atas Hak Pengelolaan,” J. Gema Keadilan, vol. 7, no. 3, pp. 213–227, Oct. 2020.

U. Santoso, “Hak Guna Bangunan atas Hak Pengelolaan: Suatu Kajian Perolehan Hak dan Perpanjangan Jangka Waktu,” ADIL: J. Huk., vol. 2, no. 3, pp. 298–312, Dec. 2011.

S. Hajati, A. R. Widiyanto, and A. L. Putri, Buku Ajar Politik Hukum Pertanahan. Surabaya, Indonesia: Airlangga University Press, 2018.

B. Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan UUPA, Isi dan Pelaksanaannya. Jakarta, Indonesia: Djambatan, 2005.

P. M. Marzuki, Penelitian Hukum. Jakarta, Indonesia: Kencana Prenada Media Group, 2005.

U. Santoso, Hukum Agraria: Kajian Komprehensif. Jakarta, Indonesia: Kencana, 2017.

I. Sudiyat, Hukum Adat: Sketsa Asas. Yogyakarta, Indonesia: Liberty, 1978.

M. N. Ardani and I. G. S. Dewi, “Perlindungan Hukum bagi Pemegang Hak Atas Tanah yang Tanahnya Berada di Atas Hak Pengelolaan,” J. Gema Keadilan, vol. 7, no. 3, Oct. 2020.

Z. Malaka, “Kepemilikan Tanah dalam Konsep Hukum Positif Indonesia, Hukum Adat dan Hukum Islam,” Al-Qānūn: J. Pemikiran Pembaharuan Huk. Islam, vol. 21, no. 1, Jun. 2018.

U. Santoso, “Hak Guna Bangunan atas Hak Pengelolaan: Suatu Kajian Perolehan Hak dan Perpanjangan Jangka Waktu,” ADIL: J. Huk., vol. 2, no. 3, Dec. 2011.

U. Santoso, “Penggunaan Tanah Hak Pengelolaan oleh Pihak Ketiga,” J. Dinamika Huk., vol. 13, no. 2, May 2013.

K. D. P. Wijaya and I. K. Suardita, “Pengaturan Hak Pengelolaan Hak Atas Tanah Negara Pasca Berlakunya UU Cipta Kerja,” J. Kertha Desa, vol. 9, no. 7, Jul. 2021.

Y. S. Zamil, “Perlindungan Hukum Pembeli Apartemen atau Rumah Susun di Atas Tanah Hak Pengelolaan,” J. Arena Huk., vol. 10, no. 3, Dec. 2017.

Creative Commons License

This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License.

Copyright (c) 2025 Dyta Widi Erdianto, Gede Dimas Bayu Hardi Raharja, Satya Adi Wicaksana, Arijna Nurin Sofia

Downloads

Pendahuluan

A. Latar Belakang

Tanah memiliki peranan vital dalam kehidupan suatu negara, hal ini karena tanah adalah sarana yang sarana yang strategis demi mencapai tujuan negara yaitu mensejahterakan masyarakat. Di suatu negara dengan penduduk yang memiliki keinginan guna mewujudkan demokrasi berkeadilan sosial, sebagaimana yang terjadi di Indonesia, pemakaian tanah guna kepentingan sebesar-besarnya demi kesejahteraan rakyat dianggap sebagai suatu keharusan mutlak. Masyarakat Indonesia melihat tanah tidak hanya dipegunakan sebagai tempat tinggal, akan tetapi serta sebagai sarana untuk mencari penghidupan, menjadikan fungsi tanah memiliki peran yang sangat vital [1].

UU No. 5 Tahun 1965 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) lahir sebagai respons mengenai dualisme keberlakuan hukum tanah yang eksis di Indonesia pada masa itu. Penerapan UUPA diharapkan memberikan kepastian hukum serta bentuk daripada perlindungan hukum yang lebih baik bagi masyarakat khususnya warga negara kita, khususnya dalam konteks agraria yang melibatkan aspek-aspek sepertihalnya bumi, ruang angkasa, air, dan kelimpahan alam yang ada di dalamnya, bidang pertanahan seringkali menjadi fokus permasalahan yang dihadapi. Menurut pandangan Boedi Harsono, UUPA mengakibatkan perubahan yang bersifat fundamental dalam hukum agraria nasional, utamanya dalam ranah hukum pertanahan. Perubahan tersebut mencakup berbagai aspek, mulai dari perangkat hukum, konsepsi yang menjadi dasar, hingga substansi isi UUPA itu sendiri. Penting untuk dicatat bahwa UUPA diharapkan tidak hanya mencerminkan kepentingan rakyat Indonesia, tetapi juga harus memenuhi kebutuhan yang terus berkembang seiring perubahan jaman [2].

Pengaturan mengenai tanah memiliki peran yang sangat krusial, karena didasarkan pada aspek yuridis yang memegang peranan penting dalam kehidupan individu, badan hukum, maupun masyarakat secara umum. Hal ini karena tanah tidak hanya menentukan keberadaan fisik, tetapi juga kelangsungan interaksi dan tindakan hukum, baik dari perspektif individu maupun pihak lainnya. Mengingat kompleksitas peran tanah, peraturan yang mengatur pemilikan dan pemakaian tanah dengan bingkai "hukum agraria/tanah" menjadi sangat penting. Tujuannya tidak hanya untuk menghindari potensi masalah tanah, tetapi juga untuk mencegah timbulnya konflik kepentingan di masyarakat [3]. Melalui regulasi yang tepat, diharapkan dapat diciptakan kerangka hukum yang jelas dan adil, yang memberikan panduan bagi individu dan entitas hukum dalam memahami dan mengelola tanah sesuai dengan norma hukum yang berlaku.

Secara garis besar, UUPA mengatur aspek-aspek pokok dari Hukum Tanah Nasional yang mencakup ketentuan mengenai hak-hak pemilikan tanah di Indonesia. Hak penguasaan tanah dipisahkan menjadi empat kategori berdasarkan UUPA. Pertama, Pasal 1 Ayat 1 sampai dengan Ayat 3 UUPA mengatur tentang hak bangsa Indonesia atas tanah [4]. Menurut Hukum pertanahan yang berlaku di Indonesia, bangsa kita memiliki hak penguasaan tertinggi atas tanah dan berfungsi sebagai sumber penguasaan atas hak atas tanah lainnya, seperti yang disoroti dalam pasal-pasal ini. Kedua, kewenangan atau hak menguasai Negara terkait tanah merujuk pada ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 serta Hak Bangsa atas tanah merujuk pada Pasal 2 ayat (2) UUPA. Ketiga, hak penguasaan perihal tanah yang berada di dalam batas-batas masyarakat Hukum Adat disebut dengan Hak Ulayat, atau hak masyarakat Hukum Adat. Keempat, yang menjadi pokok bahasan penelitian ini ialah hak individu atas tanah. Hak individu memberikan pemegang hak kemampuan untuk menggunakan hak atau kekuasaan sipil, seperti mengelola, memanfaatkan, dan menarik keuntungan dari tanah. Bermacam-macam hak yang masuk pada kategori hak perseorangan yaitu diantaranya hak milik, hak tanggungan, hak atas tanah, serta hak atas bangunan rumah susun. Semua hak tersebut mengatur berbagai aspek terkait kepemilikan dan pemanfaatan tanah secara perorangan [5].

Hak atas tanah, yang ditetapkan didalam ketentuan Pasal 16 UUPA, meliputi berbagai jenis hak, antara lain Hak Milik (SHM), Hak Guna Usaha disebut juga dengan HGU, Hak Guna Bangunan atau HGB, Hak pakai, hak pembukaan lahan, kemudian hak sewa, hak pemanenan hasil hutan, serta hak-hak lain yang ditetapkan secara hukum dalam UU. Hak milik dan Hak Guna Bangunan (HGB) merupakan dua jenis hak yang sering dijumpai dalam konteks perkotaan. Menurut Pasal 35 UUPA, HGB yaitu hak guna membangun dan menguasai bangunan di atas tanah yang tidak dimiliki olehnya dengan periode waktu terlama 30 tahun. Tergantung pada peruntukkanya, pemilik HGB dapat memilih untuk memperpanjang haknya hingga 20 tahun setelah periode pertama berakhir. Perlu diingat bahwa HGB dapat berasal dari tanah yang dimiliki langsung oleh negara, disebut juga HGB murni, atau bisa juga berlaku pada tanah milik pihak lain, seperti tanah yang mempunyai hak milik maupun hak pengelolaan, sebagaimana ditentukan dalam Pemerintah. PP No 40 Tahun 1996 tentang Hak Atas Tanah, Hak Guna Bangunan, dan Hak Guna Usaha. Akan tetapi PP No 18 Tahun 2021 yang mengatur tentang Hak Pengelolaan, Rumah Susun, Hak Atas Tanah, serta Pendaftaran Tanah telah mengubah klausul tersebut. Ketentuan sebelumnya dilakukan pencabutan dan mnjadi tidak berlaku lagi sejak diterapkannya PP No.18 Tahun 2021 [6]. Tentu saja terdapat perbedaan hukum antara HGB yang bermula dari tanah negara alias HGB murni, serta HGB yang bermula dari hibah hak tanah milik orang lain (Hak Pengelolaan) serta (Hak Milik). Perbedaan-perbedaan tersebut meliputi syarat-syarat pemberian hak, perpanjangan periode waktu, pembebanan hak tanggungan, dan peralihan hak. Pada dasarnya hak dan kewajiban pemegang HGB tersebut adalah sama, akan tetapi dalam melakukan perbuatan hukum sebagaimana telah disebutkan sebelumnya yaitu seperti perpanjangan jangka waktu maka dalam hal HGB tersebut diberikan diatas Hak Pengelolaan maka perlu dengan catatan setuju pemilik Hak Pengelolaan yang biasanya dalam bentuk suatu rekomendasi, padahal apabila HGB di atas tanah negara pemegang sertifikat tidak memerlukan persetujuan dari negara meskipun itu asalnya dari tanah negara, dengan demikian terlihat perbedaan diantara keduanya yaitu pemegang HGB di atas tanah Hak Pengelolaan tidak leluasa melaksanakan tindakan hukum atas kemauannya sendiri tanpa terdapat persetujuan dari pemegang Hak Pengelolaan, perihal ini dikarenakan hak tersebut berada di atas tanah yang merupakan Hak Pengelolaan dan ketika jangka waktunya telah berakhir, maka akan kembali pada pemegang Hak Pengelolaan.

UUPA tidak memberikan ketentuan yang jelas mengenai pengaturan hak pengelolaan dalam konteks ini. Hak yang timbul akibat peralihan hak penguasaan atas tanah milik negara ini bermula dari Peraturan Menteri Agraria No 9 Tahun 1965. Kedua Pasal 1 PP No 112 Tahun 2000 yang mengatur tentang Pengenaan Biaya Perolehan Hak. Hak Atas Tanah dan Bangunan Akibat Pemberian Hak Pengelolaan dan Pemaparan Pasal 2 ayat (3) huruf f UU No. 20 Tahun 2000 Perubahan Atas UU No. 21 Tahun 1997 mengenai Biaya Pendapatan Hak Atas Tanah dan Bangunan menjelaskan perihal Hak Pengelolaan. Kekuasaan negara guna mengelola tanah dikenal dengan hak pengelolaan, dan pemegang hak diberikan kewenangan pelaksanaan tertentu. Pemegang hak pengelolaan bertugas mengalokasikan dan menggunakan tanah, menggunakannya untuk tanggung jawabnya, dan mempunyai pilihan untuk menggarap atau memberikan sebagian dari tanah tersebut kepada pihak luar. Setelah disahkannya UU Cipta Kerja, berlakulah undang-undang pertanahan, khususnya yang mengatur tentang hak pengelolaan. Pada Pasal 1 angka 3 PP 18 Tahun 2021 kini memuat pengaturan tambahan mengenai pengertian Hak Pengelolaan. PP 18 Tahun 2021 mendefinisikan hak pengelolaan sebagai kekuasaan penguasaan yang berasal dari negara, yang pemegang haknya diberi kuasa sebagian untuk melaksanakannya. Hal ini menunjukkan bahwa setelah diberlakukannya peraturan baru tersebut, makna dan pengaturan Hak Pengelolaan berubah.

Tanah dengan alas hak berupa Hak Guna Bangunan di atas Hak Pengeloaan (HGB di atas HPL) seringkali kita jumpai di wilayah perkotaan seperti halnya di Kota Surabaya, sebagai salah satu subyek hukum yang diperbolehkan untuk diberikan Hak Pengelolaan yaitu pemerintah daerah tentunya mempunyai kewenangan untuk memanfaatkan tanah tersebut sebagaimana diatur pada ketentuan Pasal 7 Ayat (1) PP 18 Tahun 2021, kewenangan pemegang Hak Pengelolaan diantaranya adalah :

a. Membuat rancangan atau rencana yang menguraikan bagaimana lahan akan dialokasikan, digunakan, dan dimanfaatkan sesuai dengan rencana tata ruang;

b. Memanfaatkan tanah yang termasuk dalam hak pengelolaan seluruhnya atau sebagian guna keperluan sendiri atau melakukan kerjasama dengan orang lain; Dan

c. Tetapkan berapa tarif dan/atau biaya wajib tahunan yang perlu dilakukan permbayaran oleh pihak lain selaras dengan perjanjian.

Dengan demikian, hak pengelolaan memberikan pemegang hak wewenang untuk menunjuk, memakai, dan melakukan ekploitasi tanah selaras dengan rancangan tata ruang. Selanjutnya pemilik tanah berhak memakai dan melakukan ekploitasi seluruh atau sebagian tanahnya guna keperluan sendiri atau bekerjasama dengan pihak ketiga. Sesuai dengan kesepakatan yang dicapai, hak pengelolaan juga memberikan kemampuan guna menentukan tarif dan/atau pembayaran tahunan yang dibutuhkan dari pihak ketiga.

Maraknya HGB di atas HPL di Kota Surabaya tak jarang menimbulkan suatu permasalahan didalamnya, mengingat dalam melakukan perbuatan hukum pemegang HGB di atas HPL tidak memiliki keleluasaan melainkan harus dengan persetujuan oleh pemegang HPL atau dalam hal ini Pemerintah Kota Surabaya selaku pemegang Hak Pengelolaan, yang menjadi permasalahan adalah ketika seharusnya pemegang HGB di atas HPL meminta persetujuan terlebih dahulu sebelum mengajukan permohonan perpanjangan periode waktu sertifikat namun hal ini tidak dilakukan karena pemegang sertifikat tersebut tidak tau bahwa tanahnya adalah HGB yang berdiri di atas tanah Hak Pengelolaan, sepertinya halnya pada kasus dengan nomor perkara 80/G/2-17/PTUN.Sby antara PT. Eduka Efindo, dkk selaku Para Penggugat melawan Kantor Pertanahan Kota Surabaya I selaku Tergugat I dan Walikota Surabaya selaku Tergugat II yang pada intinya pada kasus ini pemegang sertifikat HGB mengajukan gugatan terhadap KTUN berupa Surat Kepala Kantor Pertanahan Kota Surabaya I perihal Penolakan Perpanjangan Sertifikat HGB para penggugat, karena berdasarkan data di kantor pertanahan tanah di lokasi tersebut merupakan bagian dari Hak Pengelolaan No.101/kelurahan jemurwonosari atas nama Pemerintah Kota Surabaya, dengan demikian seharusnya dalam mengajukan permohonan perpanjangan sertifikat harus memperoleh persetujuan Pemerintah Kota Surabaya dan tunduk pada ketentuan yang diberlakukan oleh Pemerintah Kota Surabaya selaku pemegang Hak Pengelolaan. Akan tetapi yang menjadi permasalahan pada kasus ini adalah para penggugat tidak mengetahui bahwa tanah tersebut merupakan HGB di atas HPL melainkan mengira bahwa tanahnya adalah HGB yang berasal dari tanah negara (HGB murni) karena tidak terdapat penunjuk jika tanah tersebut adalah tanah Hak Pengelolaan, sehingga para penggugat merasa dirugikan karena tidak bisa melakukan perpanjangan tanpa ada persetujuan dari pemegang HPL (Pemerintah Kota Surabaya) dan diharuskan mematuhi ketentuan yang diberikan oleh Pemerintah Kota Surabaya dalam rangka untuk diberikan persetujuan perpanjangan yaitu khususnya dibebani kewajiban untuk membayar retribusi pemberian persetujuan HGB di atas HPL mengacu pada PERDA Kota Surabaya No 2 Tahun 2013, selanjutnya majelis hakim dalam putusan tingkat pertama menolak gugatan para penggugat seluruhnya hingga pada tingkat akhir menguatkan putusan tingkat pertama pada Pengadilan Negeri Surabaya tersebut. (vide Putusan No. 135 PK/TUN/2019 jo. Putusan No. 606 K/TUN/2018 jo Putusan No. 61/B/2018/PT.TUN. SBY jo. Putusan No. 80/G/2017/PTUN.SBY) Pada penelitian ini penulis akan melakukan pembahasan lebih lanjut perihal upaya hukum oleh pemegang sertifkat HGB yang tidak mengetahui perolehan tanahnya berasal dari Hak Pengelolaan dan bagaimana mekanisme pemberian perpanjangan HGB di atas HPL tersebut apakah tetap tunduk pada ketentuan yang di atur oleh pemegang Hak Pengelolaan mengingat para pemegang HGB dalam kasus ini tidak mengatahui tanah dilokasi tersebut bagian dari Hak Pengelolaan.

B. Rumusan Masalah

  • Mekanisme pemberian perpanjangan jangka waktu HGB di atas HPL setelah berlakunya UU Cipta Kerja
  • Upaya hukum oleh pemegang sertifikat HGB yang tidak mengetahui tanahnya bagian/berasal dari Hak Pengelolaan dan akibat hukum setelah adanya putusan pengadilan

Metode

Penulisan ini merupakan penelitian normatif yang mengadopsi tiga pendekatan utama, yaitu tiga pendekatan: berbasis kasus (case pendekatan), konseptual (pendekatan konseptual), dan undang-undang (statute pendekatan). Menelaah seluruh peraturan perUU yang berkenaan dengan perkara hukum yang sedang diselidiki adalah bagaimana cara pelaksanaan peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, peneliti mengkaji kerangka hukum yang berlaku untuk memahami dan menganalisis isu tersebut dari perspektif hukum yang ada. Sementara itu, pendekatan konseptual dipergunakan guna memahami pandangan dan doktrin yang ada dalam ilmu hukum. Ketika tidak ada peraturan hukum yang mampu dimanfaatkan untuk mengatasi suatu permasalahan tertentu, atau ketika peneliti tidak mampu menggunakan landasan hukum hukum yang ada, maka mereka akan menerapkan strategi ini. Metode ini digunakan oleh para akademisi untuk mengidentifikasi pemahaman, konsep, dan prinsip hukum yang relevan dengan topik yang diteliti. Selain itu, pendekatan konseptual juga bertujuan memberikan argumentasi untuk menjawab setiap isu yang muncul dalam konteks penelitian. Terakhir adalah pendekatan kasus yaitu menganalisis kasus nyata untuk dikaji Dengan kombinasi ketiga pendekatan ini, diharapkan penelitian dapat memberikan pemahaman yang komprehensif terhadap isu hukum yang diteliti dan memberikan kontribusi pada pengembangan pemikiran dan pemahaman dalam bidang ilmu hukum.

Hasil dan Pembahasan

A. Mekanisme pemberian perpanjangan Hak Guna Bangunan di atas Hak Pengelolaan (HGB di atas HPL) setelah berlakunya UU Cipta Kerja

Peraturan mengenai tanah dan SDA lainnya yang ialah kekayaan nasional dapat ditetapkan oleh negara. Guna meningkatkan kesejahteraan rakyat, lembaga ini bertanggung jawab atas pendistribusian, penyediaan, perencanaan, pengelolaan, dan pemakaian tanah serta pemeliharaan tanah, termasuk bumi, air, dan ruang angkasa, di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia [6]. UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (yang telah dicabut dengan UU No 6 Tahun 2023 tentang Penetapan PP Pengganti UU No 2 Tahun 2022 Cipta Kerja Menjadi UU) merevisi ketentuan dalam UUPA perihal pengaturan pertanahan di Indonesia.

Kehadiran UU Cipta Kerja mengakibatkan perubahan besar dalam rezim hukum pertanahan yang berjalan di negara kita dan juga menandai lahirnya penguatan pengaturan Hak Pengelolaan yang belum diatur tegas dalam UUPA. Peraturan Menteri Agraria No 9 Tahun 1965 pertama kali mendefinisikan istilah-istilah seputar Hak Pengelolaan. Belakangan, PP No 40 Tahun 1996 yang mengatur hal-hal meliputi Hak Atas Tanah, Hak Guna Usaha, dan Hak Guna Bangunan (HGB), juga memuat peraturan tersebut. PP No 18 Tahun 2021 yang mengatur mengenai Hak Atas Tanah, Hak Pengelolaa, Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah (seterusnya dinamakan PP 18 Tahun 2021) saat ini telah membatalkan aturan tersebut. Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang atau dengan kata lain Kepala Badan Pertanahan Nasional No 18 Tahun 2021 yang mengatur perihal Tata Cara Penetapan Pengelolaan dan Hak Atas Tanah merupakan peraturan pelaksanaan yang sejalan dengan peraturan tersebut.

UU Cipta Kerja memiliki pengaturan pada Pasal 137 Ayat (2) huruf b jo. dan Pasal 138 Ayat (1) yang mengatur tentang penggunaan Hak Pengelolaan. Aturan ini menjelaskan bahwa pemilik hak pengelolaan memiliki kebebasan guna memakai semua atau sebagian dari harta benda yang dikuasainya untuk kepentingannya sendiri, maupun bekerjasama dengan pihak lain atau pihak ketiga [7]. Perjanjian Penggunaan Tanah digunakan untuk mengalihkan penggunaan sebagian tanah Hak Pengelolaan. Perjanjian ini selanjutnya menjadi landasan persetujuan pemilik Hak Pengelolaan. Pemegang hak pengelolaan adalah entitas yang memiliki yurisdiksi atas properti tersebut, dan oleh karena itu, mereka berhak atas perlindungan tertentu. Pasal 38 Ayat (2) PP 18 Tahun 2021 mengatur bahwa pemegang Hak Guna Bangunan (HGB) hanya dapat mendaftarkan haknya di Kantor Pertanahan jika mendapat izin dari pemilik Hak Pengelolaan. Maka dari itu, izin dari pemilik hak pengelolaan menjadi prasyarat dalam penerbitan atau perpanjangan sertifikat hak guna bangunan atas hak pengelolaan.

Perlu diketahui bahwa pemegang hak pengelolaan memiliki kewenangan guna memberi izin kepada pihak lain guna menggunakan atau menggarap sebagian tanah hak pengelolaan. Penting untuk dipahami bahwa hal ini tidak sama dengan menyewakan properti yang mempunyai hak pengelolaan karena hak milik adalah jenis tanah yang bisa dilakukan penyewaan oleh pemegang haknya [8]. Dengan demikian, pemegang Hak Pengelolaan dilarang menyewakan tanah kepada pihak ketiga. Menyerahkan sebagian tanah atau bekerjasama dengan pihak lain dalam periode waktu yang ditetapkan merupakan perbuatan yang dapat diterima. Tidak menutup kemungkinan hak atas tanah yang berasal dari hak pengelolaan dapat muncul dalam proses ini. Penting untuk disadari bahwa hak ini muncul dari kolaborasi atau penggunaan tersebut, bukan dari pembayaran sewa, yang biasanya terkait dengan hak milik.

Ungkapan HGB sama dengan “Hak Pengelolaan” (HPL) karena mengacu pada HGB bermula dari tanah negara. HGB di atas HPL diberi guna periode waktu terlama 30 tahun, dapat dilakukan perpanjangan terlama 30 tahun, dan bisa dilakukan perpanjangan terlama 20 tahun, sesuai Pasal 37 Ayat (1) PP 18 Tahun 2021. Pemegangnya adalah dikenakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 Ayat 1 dan 2 PP No 18 Tahun 2021, setelah periode waktu sertifikat HGB di atas HPL berakhir. Sepanjang pemegang HGB memenuhi syarat-syarat dan mempunyai izin Hak Pengelolaan dari pemegangnya, HGB di atas HPL dapat diperbaharui atau diperpanjang atas permintaannya. Keadaan tersebut diantaranya adalah: [9]

a. Tanah itu tetap dikelola dan dilakukan pemanfaatan sebaik-baiknya, selaras dengan syarat, ciri, dan tujuan pemberian hak.

b. Pemegang hak telah memenuhi dengan benar syarat-syarat agar hak dapat diberikan.

c. Pemilik hak tetap mencukupi syarat atau syarat untuk menjadi pemegang hak.

d. Lahan tetap mengikuti rencana tata ruang.

e. Tidak dimaksudkan untuk penggunaan atau konsumsi publik.

Korelasi hukum diantara pemegang hak pengelolaan dengan tanahnya tidak terputus dengan diperolehnya HGB yang bermula dari hak pengelolaan. Pemilik Hak Pengelolaan wajib memberikan persetujuan tertulis terlebih dahulu terhadap setiap perluasan periode waktu, peralihan hak, pembaharuan hak, dan pembebanan hak tanggungan atas tanah HGB [10]. Hal ini akan diatur secara khusus dalam klausula pada Perjanjian Pemanfaatan Tanah, yang sejalan dengan pandangan Urip Santoso buku karyanya yang memiliki judul Hukum Agraria: Kajian Komprehensif. Penting untuk dicatat bahwa dasar hubungan hukum antara Pemilik Hak Pengelolaan dan pemilik HGB adalah Perjanjian Pemanfaatan Tanah. Perjanjian ini berisi ketentuan-ketentuan yang harus diikuti oleh pemegang HGB selama berlakunya Perjanjian Pemanfaatan Tanah. Hal ini dilakukan untuk memberikan kepastian hukum kepada semua pihak yang terlibat, di mana Pemegang Hak Pengelolaan memiliki kepentingan dalam mendapatkan pemasukan dari pemanfaatan tanahnya, dan pada saat berakhirnya jangka waktu, tanah tersebut dikembalikan kepada Pemegang Hak Pengelolaan dalam kondisi yang baik. Di sisi lain, pemegang HGB mendapatkan kepastian untuk memperoleh persetujuan dari Pemegang Hak Pengelolaan untuk memanfaatkan tanahnya secara sah melalui pemberian HGB di atas Hak Pengelolaan. Klausula dalam Perjanjian Pemanfaatan Tanah, berdasarkan ketentuan Pasal 8 Ayat (2) PP Nomor 18 Tahun 2021, setidaknya mencakup hal-hal berikut:

a. Identitas tiap-tiap pihak yang terlibat dalam perjanjian;

b. Lokasi, batas, dan ukuran tanah yang bersangkutan;

c. Tujuan penggunaan tanah, pemanfaatan tanah, dan/atau rencana pembangunan bangunan;

d. klausul yang mengatur jenis hak yang diberikan atas harta benda yang tercakup dalam hak pengelolaan, jangka waktunya, dan kemungkinan pembaharuan, perpanjangan, pembebanan, modifikasi, dan/atau pembatalan. klausul-klausul mengenai kepemilikan harta benda dan bangunan setelah berakhirnya hak atas tanah;

e. Tarif atau jumlah tahunan yang harus dibayar dan metode pembayarannya;

f. Mencakup semua syarat dan ketentuan, proses pengembangan, sanksi atas pelanggaran, termasuk ketentuan yang mengenakan sanksi dan proses untuk mengakhiri atau membatalkan perjanjian

Berdasarkan persyaratan terkait HGB di atas HPL, terdapat kewajiban bagi pemegang HGB yang harus dipenuhi, yaitu membayar sejumlah uang sebagai kompensasi kepada pemegang Hak Pengelolaan, yang dikenal sebagai tarif atau uang wajib tahunan selaras dengan PP 18 Tahun 2021. Pemegang HPL memiliki wewenang untuk menentukan besaran tarif dan/atau uang wajib tahunan dari pihak lain selaras dengan ketentuan Pasal 7 Ayat (1) huruf c PP 18 Tahun 2021. Dengan demikian, jika Pemerintah Daerah bertindak sebagai pemegang HPL, maka memiliki kewenangan untuk menetapkan kompensasi terkait persetujuan perpanjangan HGB di atas HPL melalui Peraturan Daerah. Sebagai contoh, pengenaan uang kompensasi terhadap pemanfaatan tanah untuk persetujuan HGB di atas HPL di Kota Surabaya diatur pada Perda Kota Surabaya No 1 Tahun 2022 mengenai Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah. Pasal 8 Ayat 1 huruf d peraturan tersebut menyatakan bahwa untuk pemberian persetujuan Hak Guna Bangunan di atas Hak Pengelolaan dengan periode waktu 20 atau paling lama 30 tahun, besaran retribusi ditetapkan berdasarkan hasil penilaian dari Penilai Publik yang ditetapkan oleh Walikota [11]. Peraturan Daerah tersebut telah mengadaptasi ketentuan pasca diberlakukannya UU Cipta Kerja, khususnya terkait dengan Perjanjian Pemanfaatan Tanah, yang sebelumnya menggunakan istilah Perjanjian Penggunaan Tanah, dan juga terkait pengenaan kompensasi yang dikenal sebagai Tarif atau Uang Wajib Tahunan. Perlu dicatat bahwa istilah retribusi digunakan dalam perda tersebut karena sampai saat ini masih belum ada Peraturan Menteri Agraria yang secara terkhusus menjalankan peraturan perihal rumusan tarif atau uang wajib tahunan. Maka dari itu, mengacu pada Pasal 7 Ayat 1 huruf c PP 18 Tahun 2021, Pemerintah Kota Surabaya selaku pemegang Hak Pengelolaan menentukan tarif berdasarkan hasil penilaian oleh penilai publik untuk menghindari kekosongan hukum mengenai ketentuan uang kompensasi HGB di atas HPL di Kota Surabaya. Perlu diketahui bahwa Perjanjian tersebut haruslah akta otentik yang dibuat oleh pejabat yang berwenang yakni notaris, sebagai syarat untuk memperoleh persetujuan.

Setelah para pihak menandatangani Perjanjian Pemanfaatan Tanah dan memenuhi syarat-syarat yang telah disepakati termasuk didalamnya mengatur hak dan kewajiban para pihak, langkah berikutnya adalah pemegang Hak Pengelolaan memberikan persetujuan atau rekomendasi perpanjangan HGB di atas HPL secara tertulis. Persetujuan ini ditandatangani oleh Walikota, yang mewakili Pemerintah Daerah sebagai pemegang Hak Pengelolaan. Setelah memperoleh persetujuan tersebut, pemegang HGB di atas HPL dapat melanjutkan ke tahap berikutnya dengan mengajukan permohonan perpanjangan HGB ke Kantor Pertanahan [12].

Kewajiban berikutnya yang harus dilakukan oleh pemegang HGB di atas HPL setelah memperoleh persetujuan dan menyelesaikan Perjanjian Pemanfaatan Tanah adalah mengajukan permohonan perpanjangan HGB atas tanah HPL. Permohonan ini diajukan pada Kepala Kantor Pertanahan di kabupaten atau kota yang wilayah kerjanya mencakup lokasi tanah yang menjadi objek perpanjangan hak tersebut. Tentunya, permohonan ini harus disertai dengan sertifikat HGB di atas HPL sebagai dokumen pendukung. Perpanjangan HGB atas tanah HPL mulai berlaku setelah haknya didaftarkan oleh Kantor Pertanahan, sesuai ketentuan Pasal 105 Permen Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional No 18 Tahun 2021 terntang Tata Cara Penetapan HPL dan Hak Atas Tanah. Tanggal berakhirnya Hak sebelumnya akan digunakan guna menghitung periode perpanjangan. Pemegang HGB di atas HPL yang menyelesaikan proses pendaftaran ini akan memperoleh sertifikat yang membuktikan perpanjangan jangka waktu HGB, dan mereka berwenang untuk menggunakan hak tersebut sesuai dengan aturan hak terkait. Setelah diterbitkan perpanjangan periode/jangka waktu pada sertipikat HGB tersebut, maka pemegang HGB juga mempunya kewajiban untuk memberikan Salinan atas sertipikat tersebut kepada Pemerintah kota dalam hal ini sebagai pemegang HPL [13].

B. Upaya Hukum oleh Pemegang Sertifikat HGB yang Tidak Mengetahui Tanahnya bagian dari Tanah HPL

Dalam perkara nomor: 80/G/2-17/PTUN.Sby antara PT. Eduka Efindo, dkk selaku Para Penggugat melawan Kantor Pertanahan Kota Surabaya I selaku Tergugat I dan Walikota Surabaya selaku Tergugat II yang pada intinya permasalahan pada kasus ini adalah pemegang sertifikat HGB mengajukan gugatan terhadap KTUN berupa Surat Kepala Kantor Pertanahan Kota Surabaya I perihal Penolakan Perpanjangan Sertifikat HGB para penggugat, karena berdasarkan data di kantor pertanahan tanah di lokasi tersebut merupakan bagian dari HPL No.101/kelurahan jemurwonosari atas nama Pemerintah Kota Surabaya, dengan demikian seharusnya dalam mengajukan permohonan perpanjangan sertifikat harus memperoleh persetujuan Pemerintah Kota Surabaya dan tunduk pada ketentuan yang diberlakukan oleh Pemerintah Kota Surabaya selaku pemegang HPL. Akan tetapi yang menjadi permasalahan pada kasus ini adalah para penggugat tidak mengetahui bahwa tanah tersebut merupakan HGB di atas HPL melainkan mengira bahwa tanahnya adalah HGB yang berasal dari tanah negara (HGB murni) karena tidak terdapat penunjuk jika tanah tersebut adalah tanah HPL [14], sehingga para penggugat merasa dirugikan karena tidak bisa melakukan perpanjangan tanpa ada persetujuan dari pemegang HPL (Pemerintah Kota Surabaya) dan diharuskan mematuhi ketentuan yang diberikan oleh Pemerintah Kota Surabaya dalam rangka untuk diberikan persetujuan perpanjangan yaitu khususnya dibebani kewajiban untuk membayar retribusi pemberian persetujuan HGB di atas HPL mengacu pada PERDA Kota Surabaya No 2 Tahun 2013.

Poin-poin pada petitum para penggugat diantaranya yaitu meminta agar surat penolakan permohonan perpanjangan dari Kantor Pertanahan dinyatkan batal dan dicabut serta diproses permohonan perpanjangan SHGBnya, selanjutnya majelis hakim dalam putusan tingkat pertama dengan Nomor Perkara: 80/G/2-17/PTUN.Sby memutus perkara yang amar putusannya memiliki bunyi yaitu: [15]

MENGADILI

Dalam Penundaan

- Melakukan penolakan permohonan penundaan Para Penggugat;

Dalam Eksepsi

- Menerangkan bahwa eksepsi Tergugat dan Tergugat II Intervensi tidak diterima

Dalam Pokok Perkara

1. Menolak gugatan Para Penggugat untuk seluruhnya;

2. Menghukum Para Pengugat Melaukan pembayaran biaya Perkara sebesar Rp.412.000,-

Dalam pertimbangan putusan tersebut, majelis hakim berpendapat bahwa berdasarkan fakta hukum yang diajukan di persidangan, tanah dengan HGB yang dimiliki oleh para penggugat merupakan bagian dari HPL yang terakhir bernomor 01/Kendangsari dan sebelumnya bernomor 101/Kelurahan Jemur Wonosari atas nama Pemerintah Kota Surabaya. Hal ini apabila dihubungkan dengan ketentuan Pasal 26 PP No 40 Tahun 1996 [16]. Menurut majelis hakim, permohonan perpanjangan sertifikat HGB yang diajukan oleh para penggugat harus melampirkan surat persetujuan dari pemegang HPL, yaitu Pemkot Surabaya. Namun, dalam persidangan, para penggugat tidak mengajukan alat bukti terkait adanya surat persetujuan dari pemegang HPL, sehingga menurut pandangan majelis hakim, tindakan tergugat dalam menerbitkan sertifikat atas objek sengketa tersebut tidak bertentangan dengan peraturan perUndang-Undangan yang berlaku, termasuk dalam AUPB yang menjadi dasar hukum. Sebagai akibatnya, majelis hakim menyimpulkan bahwa gugatan para penggugat harus ditolak seluruhnya karena tidak terpenuhinya persyaratan formal yang diatur oleh PP No 40 Tahun 1996, terutama terkait dengan persetujuan pemegang HPL yang tidak dapat dibuktikan oleh para penggugat dalam persidangan [17].

Bahwa selanjutnya di tingkat banding putusan majelis hakim menerima permohonan banding danmembatalkan putusan tingkat pertama, akan tetapi pada tingkat Kasasi hingga diajukannya upaya hukum luar bisa yakni Peninjauan Kembali majelis hakim menguatkan putusan tingkat pertama dan menolak permohonan peninjauan kembali para pemohon (PT. Eduka Efindo dkk) dan saat ini telah berkekuatan hukum tetap. (vide Putusan No. 135 PK/TUN/2019 jo. Putusan No. 606 K./TUN/2018 jo. Putusan No. 61/B/2018/PT.TUN. SBY jo. Putusan No. 80/G/2017/PTUN.SBY).

Dengan adanya putusan yang telah berkekuatan inkracht atau hukum tetap tersebut, terdapat konsekuensi hukum tertentu, khususnya bagi para penggugat atau pemegang HGB. Akibat hukum tersebut mengharuskan para pemegang HGB untuk mematuhi persyaratan yang ditetapkan oleh pemegang HPL, dalam kasus ini adalah Pemerintah Kota Surabaya. Persyaratan tersebut mencakup mendapatkan persetujuan atau rekomendasi untuk perpanjangan HGB di atas HPL, yang kemudian harus didaftarkan ke kantor pertanahan. Berdasarkan fakta yang terungkap dalam persidangan, tanah yang menjadi objek Hak Guna Bangunan dimiliki oleh para pemegang HGB sebenarnya merupakan bagian dari tanah HPL yang dimiliki oleh Tergugat II, yaitu Pemerintah Kota Surabaya. Hal ini terbukti melalui dokumen tanah yang tercatat di Kantor Pertanahan Kota Surabaya, yang menunjukkan bahwa tanah tersebut tidak berumula dari tanah negara sebagaimana yang dinyatakan oleh para pemegang HGB [18]. Oleh karena itu, para pemegang HGB tidak terlepas dari kewajiban untuk memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari pemegang HPL, dalam hal ini Pemerintah Kota Surabaya, sebelum memanfaatkan tanah yang terletak di Jemurwonosari. Dengan adanya putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, perihal ini mengikat para pihak dan menegaskan bahwa para pemegang HGB harus mematuhi persyaratan tersebut. Oleh karena itu, kewajiban untuk memperoleh rekomenasi atau persetujuan terlebih dahulu dari pemegang HPL tetap berlaku, dan keputusan pengadilan tersebut menjadi dasar hukum yang mengikat para pemegang HGB dalam melaksanakan tindakan terkait dengan tanah yang bersangkutan [19].

Sama halnya yang telah disampaikan sebelumnya, penulis menilai hakim telah mengambil keputusan yang tepat menurut pendapatnya. Pasal 96 ayat (2) Permen Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (Permen ATR/BPN) No 18 Tahun 2021 pun sejalan dengan pandangan tersebut. Permohonan perpanjangan dan pembaruan hak bisa dilaksanakan pengajuan bersamaan dengan permohonan pemberian hak dalam rangka HGB atas properti HPL setelah bangunan dan/atau fasilitas penunjangnya selesai dibangun atau dipergunakan dan dioperasikan secara efisien. Dengan demikian, pemanfaatan yang telah dilakukan oleh pemegang HGB selama ini tidak menjadi masalah, karena masih dapat diberikan perpanjangan dengan mematuhi persyaratan dan aturan yang berlaku. Salah satu persyaratan tersebut adalah membayar uang kompensasi atau retribusi untuk mendapatkan persetujuan dari pemegang HPL [20]. Berdasarkan Pasal 137 Ayat (2) jo. Pasal 7 Ayat (1) PP No 18 Tahun 2021, menjadi jelas bahwa pemegang HPL memiliki kewenangan untuk menyerahkan atau melakukan kerjasama atas bagian dari HPL untuk dimanfaatkan oleh pihak lain dalam jangka waktu tertentu. Selain itu, pemegang HPL dapat menentukan dan menerima tarif, uang pemasukan, ganti rugi, atau kompensasi dari pihak ketiga atas pemanfaatan tanah tersebut. Uang kompensasi tersebut merupakan konsekuensi dari pemanfaatan tanah HPL oleh pemegang HGB dalam periode waktu terkhusus. Dengan demikian, sebagai pihak yang berkeinginan untuk memperpanjang HGB atas tanah HPL, penting untuk mematuhi persyaratan dan ketentuan yang telah ditetapkan oleh pemegang HPL. Hal ini dilakukan dalam rangka memperoleh persetujuan perpanjangan HGB di atas HPL. Tanpa adanya persetujuan tersebut, proses pendaftaran di Kantor Pertanahan setempat tidak dapat dilakukan. [21] Ketidakmemenuhi persyaratan dan ketentuan yang ditetapkan oleh pemegang HPL berpotensi membuat proses penerbitan sertifikat menjadi tidak sah. Oleh karena itu, kelengkapan persyaratan, termasuk persetujuan dari pemegang HPL, menjadi hal yang krusial dalam proses perpanjangan HGB.

Simpulan

Dari uraian pada bab-bab terdahulu telah dijelaskan mengenai mekanisme perpanjangan jangka waktu HGB yang timbul dariHPL dimana terdapat syarat-syarat dan tahapan yang harus dilalui oleh pemegang hak dalam rangka memperoleh perpanjangan jangka waktu, tentunya hal ini berbeda jauh dengan HGB yang berasal dari tanah negara. Pemegang HGB diharuskan memenuhi syarat sebagaimana ketentuan pada Pasal 40 PP 18 Tahun 2021 serta yang menjadi unsur utama dalam proses pemberian maupun perpanjangan HGB di atas HPL yaitu wajib memperoleh persetujuan dari pemegang HPL terlebih dahulu, dimana dalam rangka mendapatkan persetujuan tersebut terdapat kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan oleh pemegang HGB yang dituangkan dalam Perjanjian Pemanfaatan Tanah termasuk didalamnya adalah membayar sejumlah uang untuk kompensasi/pemasukan kepada pemegang HPL atas pemanfaatan tanah HGB di atas HPL yang jumlahnya ditentuankan oleh pemegang HPL.

Terhadap permasalahan yang terjadi pada pemegang HGB yang tidak mengetahui bahwa tanahnya merupakan bagian/berasal dari tanah HPL dapat dilakukan upaya hukum agar dapat dibuktikan di persidangan warkah atau dokumen tanah atas sertifikat HGB tersebut apakah benar HGB berasal/timbul dari tanah negara atau tanah HPL, apabila terbukti memang tanah HPL maka ketentuan mengenai syarat perpanjangan jangka waktu serta memperoleh persetujuan pemegang HPL terlebih dahulu juga mengikat para pemegang HGB yang pada perkara sebagaimana di uraikan dalam bab sebelumnya.