Login
Section Innovation in Health Science

Management of Mouth Preparation in Patients with Congenital Heart Disease: Subaortic Ventricular Septal Defect accompanied by Atrial Septal Defect under General Anesthesia

Penatalaksanan Mouth Preparation Pada Pasien dengan Kelainan Jantung Bawaan Ventricular Septal Defect Subaortic disertai Atrial Septal Defect dengan Anestesi Umum
Vol. 26 No. 4 (2025): October:

Rizqi Aulia Kusuma Andini (1), Reni Puspa Daniati (2), Marisa Elvi Dayanti (3), Tontowi Ashari (4)

(1) Universitas Muhammadiyah Sidoarjo, Indonesia
(2) Universitas Muhammadiyah Sidoarjo, Indonesia
(3) Universitas Muhammadiyah Sidoarjo, Indonesia
(4) Universitas Muhammadiyah Sidoarjo, Indonesia

Abstract:

General Background: Congenital heart disease (CHD) is a common structural or functional abnormality of the heart and great vessels that increases the risk of infective endocarditis, especially in pediatric patients. Specific Background: Children with complex defects such as subaortic Ventricular Septal Defect (VSD) accompanied by Atrial Septal Defect (ASD) and pulmonary hypertension are particularly vulnerable to oral infections that can lead to systemic complications. Knowledge Gap: Despite the recognized link between oral health and CHD, comprehensive protocols for dental “mouth preparation” under general anesthesia to minimize bacteremia and endocarditis risk before cardiac surgery remain limited. Aims: This case report describes a multidisciplinary approach to full-mouth preparation in a 4.5-year-old boy with VSD subaortic, ASD, and severe pulmonary hypertension, focusing on infection elimination, anesthesia management, and prophylactic strategies. Results: Treatment included restorations with Glass Ionomer Cement for reversible pulpitis, multiple extractions of necrotic teeth under general anesthesia, preoperative laboratory and radiological screening, American Society of Anesthesiologists assessment, and antibiotic prophylaxis with intravenous ampicillin followed by oral amoxicillin. Postoperative recovery was uneventful, with stable vital signs and satisfactory wound healing after one week. Novelty: This report highlights the integrated collaboration of pediatric dentistry, cardiology, and anesthesiology to ensure airway control, hemodynamic stability, and asepsis during extensive dental procedures in high-risk CHD patients. Implications: The findings underscore the importance of rigorous preoperative dental management and continuous preventive care—including parental education, low-sugar diet counseling, and regular dental visits—to reduce long-term risks of caries recurrence and infective endocarditis in children with congenital heart defects.


Highlights:




  • Comprehensive dental preparation prevents infective endocarditis risk.




  • Multidisciplinary approach ensures safe anesthesia and hemodynamic stability.




  • Ongoing preventive care reduces caries recurrence and systemic infection.




Keywords: congenital heart disease, ventricular septal defect, atrial septal defect, dental management, general anesthesia

Downloads

Download data is not yet available.

Pendahuluan

Penyakit jantung bawaan (PJB) adalah kelainan pada struktur maupun fungsi jantung dan pembuluh darah besar yang terjadi sejak lahir. Pada tahap awal kehidupan janin, gangguan atau kegagalan dalam pembentukan dan perkembangan jantung dan pembuluh darah besar dapat menyebabkan PJB. Dinding, sekat, katup, dan pembuluh darah besar yang keluar dari jantung dapat mengalami kerusakan. Akibatnya, dapat terjadi gangguan aliran darah, seperti sumbatan atau gangguan aliran darah akibat penyempitan katup jantung atau pembuluh darah besar. Bahkan dapat terjadi aliran darah ke arah yang tidak semestinya karena kebocoran katup jantung atau lubang di sekat jantung. PJB merupakan penyakit bawaan tersering yang dapat menyebabkan kematian, dimana sekitar 50% kematian terjadi pada bulan pertama kehidupan.[1,2] Prevalensi PJB diperkirakan terjadi sebanyak 8-12 kasus dari 1.000 kelahiran hidup, dengan tipe dan tingkat keparahan yang bervariasi, termasuk diantaranya adalah Ventricular Septal Defect (VSD) dan Atrial Septal Defect (ASD).[3]

Anak-anak dengan PJB, terutama dengan defek kompleks seperti VSD subaorta dan ASD, lebih rentan mengalami komplikasi sistemik, salah satunya adalah endocarditis infektif, yang terutama disebabkan oleh invasi bakteri.[4]

Terdapat hubungan dua arah antara kesehatan rongga mulut dan kodisi sistemik pasien dengan PJB. Di satu sisi, kondisis sistemik pasien PJB dapat menyebabkan perkembangan bakteri berbahaya dalam rongga mulut seperti Streptococcus mutans dan Porphyromonas gingivalis, yang dapat menyebabkan inflamasi sistemik dan memperburuk kondisi kardiovaskular. Di sisi lain, intervensi medis, gangguan sistem imun, dan kebersihan mulut yang buruk mengubah mikrobioma mulut ke arah patogenik.[5]

Penyakit gingiva dan periodontal adalah sumber utama invasi bakteri, sebanyak 80% kasus endocarditis infektif disebabkan oleh bakteri Streptococcus dan Stafilococcus. Infeksi bakteri pada rongga mulut dapat menyebar ke jantung melalui aliran darah. Pemeriksaan diagnostic dan scalling subgingiva dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan lunak, dan kerusakan ini meningkat setelah prosedur perawatan gigi, terutama pencabutan atau manipulasi pada jaringan gingiva.[6]

Hubungan timbal balik ini menunjukkan betapa pentingnya menjaga kesehatan mulut dan jantung secara bersamaan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien yang menderita PJB.[5]

Namun demikian, pelaksanaan prosedur perawatan gigi pada pasien anak dengan PJB tidaklah mudah. Banyak dari mereka memiliki keterbatasan untuk bekerja sama, memiliki status kesehatan sistemik yang buruk, dan memiliki resiko anestesi. Oleh karena itu, untuk memastikan bahwa prosedur perawatan gigi berjalan denga naman, efisien, dan nyaman bagi pasien, maka pendekatan farmakologis seperti anestesi umum dapat menjadi pilihan perawatan.[7]

Laporan kasus membahas tentang perawatan rongga mulut secara menyeluruh (mouth preparation) pada seorang anak laki-laki berusia 4,5 tahun yang didiagnosis dengan VSD subaorta besar disertai ASD dan hipertensi paru-paru berat. Fokus laporan ini adalah strategi klinis untuk mengurangi risiko infeksi, untuk mencegah endokarditis infektif, dan anestesi umum untuk pasien dengan PJB.

Laporan Kasus

Pasien laki-laki berusia 4,5 tahun datang ke Poli Gigi Rumah Sakit Saiful Anwar Malang diantar oleh orang tuanya atas rujukan dari Poli Anak Rumah Sakit Saiful Anwar Malang untuk dilakukan penatalaksanaan rongga mulut sebelum dilakukan tindakan pembedahan pada penyakit jantung bawaan. Pasien memiliki riwayat penyakit jantung bawaan berupa Ventricular Septal Defect (VSD) Subaortic Besar disertai dengan Atrial Septal Defect (ASD) Sekundum, dan Hipertensi Paru Berat.

Dari hasil pemeriksaan klinis ekstra oral tidak ditemukan adanya kelainan pada sendi rahang dan kelenjar limfa. Pada pemeriksaan klinis intra oral dan radiografis intraoral ditemukan adanya multiple karies media pada gigi 71, 72, 73, 74, 75, 81, 82, 83 karies profunda perforasi pada gigi 55, 54, 53, 63, 84, 85, dan sisa akar 52, 51, 61, 62. Tidak ditemukan kelainan pada mukosa dan jaringan lunak.

Rencana perawatan yang akan dilakukan antara lain penambalan menggunakan GIC (Glass Ionomer Cement) pada gigi-gigi dengan karies media dengan diagnosa pulpitis reversible, secara rawat jalan dengan pendekatan non-farmakologi (perawatan konvensional) di poli gigi.

Untuk gigi-gigi dengan karies profunda perforasi (dengan diagnose nekrosispulpa) dan seluruh sisa akar gigi (dengan diagnose periodontitis apikaliskronis) akan dilakukan ekstraksi (pencabutan gigi). Oleh karena riwayat PJB pada pasien, maka tindakan pencabutan gigi dilakukan dengan pendekatan farmakologi yaitu dibawah anestesi umum (general anesthesia) di ruang operasi.

Figure 1.

Sebelum dilakukan tindakan anestesi umum, dilakukan persiapan pra-bedah yang meliputi pemeriksaan darah lengkap, dan pengambilan foto thorax. Selanjutnya, pasien dirujuk ke poli anak untuk mendapatkan persetujuan tindakan perawatan gigi dengan anestesi umum. Setelah mendapat jawaban persetujuan tindakan dari poli anak, pasien kemudian dirujuk ke bagian anestesi untuk penilaian status fisik ASA (American Society of Anesthesiologists) untuk menilai kondisi kesehatan pasien sebelum dilakukan anestesi umum dan operasi. Setelah mendapatkan persetujuan dari bagian anestesi dan pasien dinyatakan dapat dilakukan perawatan gigi dengan anestesi umum, selanjutnya dilakukan penjadwalan tindakan di ruang operasi.

Penatalaksanaan Kasus

Pada hari pelaksanaan operasi, terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan umum pasien sebelum memulai prosedur anestesi umum untuk tindakan pencabutan gigi. Hasil pemeriksaan menunjukkan kondisi umum pasien baik, dan pasien masih melanjutkan konsumsi obat jantung, dengan tambahan Parasetamol 250 mg per-oral, dan pasien telah berpuasa sejak pukul 02.00 WIB. Satu jam sebelum operasi, dilakukan injeksi Ampicillin 500 mg i.v, kemudian pasien dipindahkan ke ruang premedikasi pada pukul 08.20 WIB dan diberikan obat relaksasi sehingga kondisi pasien setengah sadar, selanjutnya pasien dipindahkan ke ruang operasi.

Rangkaian prosedur sebelum operasi dimulai, antara lain dilakukan persiapan alat, bahan, operator dan asisten operator, tindakan anestesi umum, intubasi dan injeksi obat anestesi, penutupan mata dengan hypafix, tindakan asepsis (ekstra oral) dengan alkohol 70% dan (intra oral) dengan betadin cair 10%, penutupan tubuh pasien dengan duk steril kecuali daerah operasi, dan pemasangan kassa pack pada orofaring. Setelah dokter anestesi menyatakan pasien telah siap untuk dilakukan operasi, maka dokter gigi anak memulai tindakan operasi.

Figure 2.

Tahapan yang dilakukan adalah sebagai berikut: (1) pemasangan cheek retractor; (2) injeksi anestesi infiltrasi lokal dengan Scandonest; (3) pencabutan gigi 55, 54, 53, 52, 51, 61, 62, 63, 84, 85 dilakuakan per-regio (4) dilakukan suturing per-regio pada gingiva bekas pencabutan dan ditekan dengan tampon; (5) pembersihan daerah operasi dengan NaCl 0.9%; (6) pelepasan kasa pack orofaring; (7) pelepasan hypafix pada mata; (8) ekstubasi; dan operasi dinyatakan selesai.

Figure 3. Persiapan dan Tindakan Dokter Gigi Untuk Ekstraksi Gigi

Figure 4. Gigi 55, 54, 53, 52, 51, 61, 62, 63, 84, 85 yang telah dilakukan ekstraksi

Pasca tindakan operasi, dokter memberikan instruksi untuk pemantauan kesadaran, tekanan darah, nadi, laju pernafasan, dan suhu tubuh setiap jam; menjaga oral hygiene; diet lunak TKTP; serta melanjutkan konsumsi obat jantung dengan tambahan Amoxicillin 250 mg dan Paracetamol 250 mg per-oral. Dilakukan evaluasi terhadap kondisi pasien pasca operasi oleh dokter gigi spesialis anak dan dokter spesialis anak.

Satu minggu pasca operasi pasien datang untuk kontrol. Pemeriksaan kondisi umum pasien baik dan tidak ada keluhan dari pasien. Pemeriksaan intraoral menunjukkan luka bekas cabutan dalam proses penyembuhan, tidak ada perdarahan dan pembengkakan, pasien dapat makan dan minum dengan baik.

Penyakit jantung bawaan (PJB) merupakan salah satu kelainan kongenital yang paling sering ditemukan. Seiring dengan kemajuan di bidang bedah jantung anak dan anestesiologi, semakin banyak anak dengan PJB yang bertahan hingga dewasa. Dalam konteks ini, perhatian terhadap kesehatan gigi dan mulut menjadi sangat penting, mengingat PJB termasuk kondisi predisposisi terhadap terjadinya endokarditis infektif (EI), terutama akibat infeksi oral yang berkaitan dengan perawatan gigi. Kelainan jangtung yang paling sering terjadi adalah VSD dan ASD. Defek septum ventrikel (VSD) adalah kelainan jantung kongenital yang ditandai dengan adanya hubungan abnormal antara ventrikel kiri dan kanan jantung, sehingga menimbulkan gangguan hemodinamik. VSD merupakan kelainan jantung bawaan yang paling sering ditemui pada anak-anak. Sebagian besar VSD menutup spontan, namun VSD yang gagal menutup dapat menimbulkan komplikasi seperti hipertensi arteri pulmoner, disfungsi ventrikel, dan risiko aritmia. Atrial Septal Defect (ASD)adalah kelainan jantung bawaan akibat adanya lubang pada sekat atrium kanan dan kiri sehingga darah bercampur. Sebagian besar ASD tidak menunjukan adanya tanda dan gejala, namun umumnya pasien mengalami gejala yang berhubungan dengan penurunan kapasitas fungsional, termasuk sesak nafas saat beraktivitas. Operasi penutupan katup ASD merupakan tindakan pemeliharaan yang aman dan memiliki dampak terhadap tingkat kematian yang rendah.[8,9,10]

Endokarditis infektif (EI) adalah infeksi mikroba pada permukaan endotel jantung. Infeksi biasanya mengenai katup jantung, namun dapat juga terjadi pada lokasi defek septum, atau endokardium mural. EI menunjukkan adanya lesi yang khas dengan adanya vegetasi, yaitu massa yang terdiri dari platelet, fibrin, mikroorganisme dan sel- sel inflamasi, dengan ukuran yang bervariasi. EI dapat disebabkan oleh berbagai macam bakteri dan jamur, seperti Mycobacteria, Rickettsiae, ChlamydiaedanMikoplasma, namun penyebab tersering adalah bakteri gram negatif yang berkembang lambat seperti Streptococci, Staphylococci, Enterococci danCocobacilli gram negatif yang berkembang lambat.[11]

Berbagai kondisi predisposisi yang dapat meningkatkan risiko terjadinya EI, antara lain adanya riwayat endokarditis sebelumnya, kelainan struktur jantung (seperti penyakit katup dan penyakit jantung bawaan), penggunaan katup buatan (prostetik), pemasangan perangkat kardiak seperti alat pacu jantung dan defibrilator. Faktor risiko lainnya mencakup terapi hemodialisis, kondisi imunodefisiensi (seperti diabetes melitus, keganasan, dan infeksi HIV), infeksi dermatologis, tindakan invasif pada rongga mulut, serta pemeliharaan kebersihan rongga mulut yang tidak adekuat.[12]

Anak-anak dengan PJB kerap mengalami gangguan nutrisi sejak usia dini, memerlukan pola makan yang lebih sering termasuk pada malam hari, serta konsumsi obat-obatan bergula dan diuretik yang dapat menyebabkan mulut kering. Faktor-faktor tersebut meningkatkan risiko terjadinya karies. Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa prevalensi karies pada anak-anak dengan PJB cenderung lebih tinggi dibandingkan kelompok sehat, bahkan ketika upaya pencegahan telah dilakukan secara intensif. Selain itu, jumlah bakteri Streptococcus mutans dalam air liur mereka ditemukan lebih tinggi dan berkorelasi dengan jumlah gigi berlubang.[8]

Strategi pencegahan endokarditis infektif secara historis berfokus pada pengendalian bakteremia (kondisi dimana bakteri memasuki aliran darah). Kesehatan rongga mulut pada pasien yang akan menjalani operasi jantung adalah hal yang penting untuk diperhatikan dalam mencegah komplikasi endokarditis infektif pasca bedah, mengingat rongga mulut berperan sebagai portal utama masuknya bakteri ke dalam sirkulasi sistemik. Infeksi odontogenik menjadi faktor predisposisi utama terjadinya endokarditis infektif, sehingga evaluasi dan penatalaksanaan kondisi gigi-geligi harus dilakukan secara komprehensif sebelum prosedur operasi jantung untuk meminimalkan risiko komplikasi infeksi.[13]

Dalam kasus ini, pasien memiliki resiko tinggi infeksi dengan adanya kelainan jantung bawaan berupa VSD Subaortic, ASD, dan hipertensi pulmonal yang disertai adanya gigi-gigi yang telah nekrosis sebagai fokus infeksi dalam rongga mulut. Pada gigi-gigi dengan diagnosa pulpitis reversible dilakukan perawatan penambalan dengan GIC secara rawat jalan. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa gigi-gigi tersebut tidak bersiko menyebabkan infeksi endokarditis, dan pasien cukup kooperatif dalam menerima prosedur perawatan non-invasif. Penanganan pada gigi-gigi yang menjadi fokus infeksi adalah eliminasi total dengan ekstraksi (pencabutan), yang merupakan protokol standard untuk mencegah endokarditis infeksi post-operatif dan bakteremia.[13]

Berdasarkan beberapa pertimbangan klinis, anestesi umum menjadi pilihan untuk tindakan multiple ekstraksi. Pertimbangan klinis yang dimaksud adalah dengan anestesi umum memungkinkan kontrol jalan nafas (airway) yang lebih baik, monitoring kondisi hemodinamik, mengurangi stress psikologis psien yang dapat memicu perubahan hemodinamik yang berbahaya. Tindakan anestesi umum juga memberikan beberapa keuntungan berupa kontrol rasa nyeri, pencegahan gerakan tidak terkontrol pasien yang dapat menyebabkan trauma atau aspirasi, serta dokter dapat bekerja dalam kondisi terkendali.

Pemberian antibiotik profilaksis satu jam sebelum operasi dengan injeksi Ampisilin 500mg i.v, dilanjutkan dengan pemberian Amoksisilin 250mg per-oral, mengacu pada rekomendasi American Heart Association (AHA) yang menetapkan bahwa pasien dengan penyakit jantung bawaan yang beresiko tinggi seperti VSD disertai hipertensi pulmonal, mutlak memerlukan profilaksis untuk mengurangi resiko komplikasi endokarditis infektif.

Perawatan gigi untuk pasien dengan penyakit jantung bawaan (PJB) tidak hanya bertujuan menangani infeksi secara kuratif, tetapi juga harus mencakup strategi pencegahan jangka panjang. Anak dengan PJB memiliki risiko karies lebih tinggi karena faktor seperti pola makan, penggunaan obat sirup bergula, dan gangguan produksi saliva. Edukasi orang tua tentang menjaga kebersihan mulut, teknik menyikat gigi yang tepat, dan penggunaan pasta gigi berfluorida menjadi langkah kunci untuk mengurangi risiko karies baru serta infeksi sistemik yang dapat memperburuk kondisi jantung.[14,15]

Selain itu, pengaturan pola makan rendah gula sangat penting. Pasien PJB sering membutuhkan asupan energi tambahan dan obat-obatan jangka panjang, yang meningkatkan kerentanan terhadap karies. Diet rendah sukrosa, tinggi protein, serta kaya vitamin dan mineral direkomendasikan untuk mendukung kesehatan gigi dan kondisi tubuh secara keseluruhan. Membatasi konsumsi makanan kariogenik, termasuk obat sirup manis, dapat mencegah munculnya lesi karies baru.[16,17]

Kunjungan rutin ke dokter gigi setiap 3–6 bulan diperlukan untuk mencegah infeksi odontogenik yang berisiko menyebabkan bakteremia. Tindakan pencegahan seperti aplikasi fluor topikal, penggunaan pit and fissure sealant, dan edukasi berkelanjutan memberikan perlindungan tambahan. Dengan pemantauan jangka panjang, kesehatan rongga mulut pasien dapat terjaga, dan risiko komplikasi seperti endokarditis infektif dapat dikurangi.[18,19]

Penanganan pasien anak dengan PJB yang memerlukan perawatan gigi invasif membutuhkan pendekatan tim multidisiplin. Dokter gigi anak bertugas mengevaluasi kondisi gigi, menentukan gigi yang perlu dipertahankan atau dicabut, serta merancang rencana perawatan jangka panjang. Dokter jantung anak menilai kondisi hemodinamik, fungsi jantung, dan kelayakan prosedur dengan anestesi umum, serta kebutuhan antibiotik profilaksis. Ahli anestesi memastikan keamanan pasien selama prosedur dengan menjaga stabilitas fungsi vital dan memilih agen anestesi yang tepat. Koordinasi yang baik antar tim memungkinkan prosedur dilakukan dengan aman tanpa komplikasi serius. Pendekatan terintegrasi ini meningkatkan keberhasilan perawatan gigi, menurunkan risiko komplikasi sistemik, dan mendukung perawatan yang lebih aman dan holistik dari tahap praoperasi hingga pascaoperasi, sehingga meningkatkan kualitas hidup pasien PJB dalam jangka panjang.[20,21]

Kesimpulan

Kasus ini menunjukkan bahwa penatalaksanaan mouth preparation yang komprehensif—termasuk penghilangan fokus infeksi melalui ekstraksi gigi nekrosis atau sisa akar, pelestarian gigi vital dengan restorasi GIC, serta pemberian profilaksis antibiotik (ampisilin i.v. sebelum operasi diikuti amoksisilin oral)—yang dilakukan dengan anestesi umum dan pemantauan ketat merupakan pendekatan yang aman dan efektif untuk mengurangi risiko bakteremia serta endokarditis infektif pada anak dengan penyakit jantung bawaan (PJB) sebelum menjalani bedah jantung. Keberhasilan prosedur ini didukung oleh persiapan praoperasi yang teliti (meliputi skrining laboratorium, radiologi, dan penilaian ASA), penerapan teknik asepsis, pengamanan jalan napas yang optimal, serta kolaborasi multidisiplin antara dokter gigi anak, kardiolog anak, dan ahli anestesi. Hal ini tercermin dari kondisi klinis yang stabil dan penyembuhan luka ekstraksi yang baik pada kontrol satu minggu pasca-tindakan. Namun, untuk menjaga hasil jangka panjang, diperlukan program pencegahan berkelanjutan yang mencakup edukasi orang tua, pengaturan pola makan rendah gula, dan kunjungan kontrol rutin setiap 3–6 bulan untuk tindakan preventif seperti aplikasi fluor atau sealant, guna meminimalkan risiko kekambuhan karies dan infeksi sistemik yang dapat memperburuk kondisi jantung.

References

E. M. Marwali, Y. Purnama, and P. S. Roebiono, “Modalitas Deteksi Dini Penyakit Jantung Bawaan di Pelayanan Kesehatan Primer,” J. Indon. Med. Assoc., vol. 71, no. 2, pp. 101–106, 2021.

D. L. Lestari, “Penyakit Jantung Bawaan pada Anak,” SCIENA, vol. 2, no. 4, pp. 134–142, 2023.

Y. Liu et al., “Global birth prevalence of congenital heart defects 1970–2017: updated systematic review and meta-analysis of 260 studies,” Int. J. Epidemiol., vol. 49, no. 2, pp. 373–382, 2019.

P. A. Heidenreich et al., “2022 AHA/ACC/HFSA Guideline for the Management of Heart Failure: Executive Summary,” J. Am. Coll. Cardiol., vol. 79, no. 17, pp. e263–e421, 2022.

C. Moussa, G. Savard, F. Denis, and M. H. Daou, “Dental Health in Children with Congenital Heart Defects: A Systematic Review and Meta-Analysis,” J. Clin. Med., vol. 13, no. 23, p. 7022, 2024.

R. R. Rughwani, P. K. Cholan, and D. J. Victor, “Congenital Heart Diseases and Periodontal Diseases—Is There a Link?,” Front. Cardiovasc. Med., vol. 9, p. 937480, 2022.

A. López-Velasco, M. Puche-Torres, F. J. Carrera-Hueso, and F. J. Silvestre, “General anesthesia for oral and dental care in paediatric patients with special needs: A systematic review,” J. Clin. Exp. Dent., vol. 13, no. 3, pp. e303–e312, 2021.

S. Koerdt et al., “Prevalence of dental caries in children with congenital heart disease,” BMC Pediatr., vol. 22, p. 711, 2022.

J. Theola, N. M. Yakub, V. R. Yudianto, and B. C. Sinaga, “Defek Septum Ventrikel: Diagnosis dan Tata Laksana,” CDK, vol. 50, no. 3, p. CDK-314, 2023.

H. P. I. Darojati, A. Widodo, I. P. A. Pratama, and A. F. M. Riyanto, “Fisioterapi Fase II Atrial Septal Defect Congenital: Case Report,” Indones. J. Physiother., vol. 4, no. 1, 2024.

A. Gani and Munawwarah, “Diagnosis dan Tatalaksana Endokarditis Infektif,” J. Ked N Med., vol. 7, no. 3, pp. 36–45, 2024.

H. A. Willim, “Endokarditis Infektif: Diagnosis, Tatalaksana, dan Pencegahan,” CDK, vol. 47, no. 6, p. CDK-287, 2020.

I. S. Sasmita, A. M. Kania, and K. L. Gunawan, “Penatalaksanaan Mouth Preparation pada Anak dengan Kelainan Jantung Bawaan Tipe Atrial Septal Defect di Bawah Anestesi Umum,” Dentika Dent. J., vol. 16, no. 2, pp. 189–193, 2011.

R. Balmer et al., “Dental considerations for children with congenital heart disease,” Int. J. Paediatr. Dent., vol. 20, no. 4, pp. 173–181, 2010, doi: 10.1111/j.1365-263X.2010.01045.x.

W. Wilson et al., “Prevention of infective endocarditis: Guidelines from the American Heart Association (AHA),” Circulation, vol. 116, pp. 1736–1754, 2007.

C. Stecksen-Blicks et al., “Caries experience in children with congenital heart disease: a case-control study,” Int. J. Paediatr. Dent., vol. 14, no. 2, pp. 94–100, 2004, doi: 10.1111/j.1365-263X.2004.00533.x.

M. A. da Fonseca et al., “Oral health needs of children with congenital heart disease,” Pediatr. Dent., vol. 18, no. 4, pp. 266–271, 1996.

R. Balmer and J. Parry, “Caring for children with congenital cardiac disease: Oral health and dental treatment,” Br. Dent. J., vol. 211, no. 9, pp. 459–468, 2011, doi: 10.1038/sj.bdj.2011.931.

G. J. Roberts, “Dentists are innocent! ‘Everyday’ bacteremia is the real culprit: a review and assessment of the evidence that dental surgical procedures are a principal cause of bacterial endocarditis in children,” Pediatr. Cardiol., vol. 20, pp. 317–325, 1999, doi: 10.1007/s002469900477.

N. A. Aminabadi et al., “Dental treatment needs of children with congenital heart disease: comprehensive review and clinical guidelines,” J. Dent. Res. Dent. Clin. Dent. Prospects, vol. 8, no. 3, pp. 103–110, 2014, doi: 10.5681/joddd.2014.019.

M. A. da Fonseca, “Dental care of children with congenital heart disease,” J. Dent. Child., vol. 64, no. 2, pp. 114–119, 1997.