Yunita Rusdiana (1), Aini Mahabbati (2)
Background: Temper tantrums often occur in early childhood and can disrupt learning and social interaction in kindergarten settings. Specific background: At one kindergarten in Kaliorang District, repeated tantrums among students led teachers to develop structured strategies. Knowledge gap: Although tantrums are common, there is limited research exploring practical classroom-based programs designed by teachers themselves in Indonesian early childhood contexts. Aims: This study examines the structure, application, and challenges of the “Gentle Heart” program designed to manage temper tantrums in kindergarten. Results: Using a qualitative case study involving two experienced teachers over three months, findings show that the program reduces tantrum intensity and frequency through a calm–reflect–guide approach. Teachers allow emotional expression, wait for children to regain calm, and then engage them in reflective dialogue. Novelty: The study highlights a locally developed, teacher-led program that integrates emotional regulation strategies without external psychological intervention. Implications: The program offers a practical framework for early childhood teachers to manage tantrums in class, emphasizing the need for teacher assistants to sustain learning during tantrum episodes.
Teachers apply structured emotional regulation steps to manage tantrums.
The program shows reduced frequency and intensity of temper tantrums.
Staffing support is essential for maintaining classroom learning flow.
Temper Tantrum, Early Childhood Education, Emotional Regulation, Classroom Program, Teacher Strategies
Anak usia nol hingga delapan tahun dianggap sebagai masa kanak-kanak awal. Perkembangan dan perluasan terjadi dengan sangat cepat pada masa ini. Sangat penting untuk menyesuaikan pengalaman belajar anak berdasarkan karakteristik perkembangan mereka [1]. Baharudin Musthafa menyatakan bahwa anak-anak yang berusia satu hingga lima tahun dianggap berada dalam periode kanak-kanak awal. Batasan perkembangan psikologis terbagi dalam tiga kategori: masa bayi (usia 0-1 tahun), masa kanak-kanak awal (usia 1–5 tahun), dan masa kanak-kanak akhir (usia 6–12 tahun) [2]. Pada usia dini, anak-anak sering mengalami fase perkembangan emosional yang ditandai dengan peningkatan intensitas temper tantrum, yang bisa mengganggu proses pembelajaran dan interaksi sosial di lingkungan taman kanak-kanak. Ledakan emosi yang tak terkendali, termasuk menangis tersedu-sedu, berteriak, berguling-guling di lantai, melempar barang, memukul, dan membanting pintu, dikenal sebagai temper tantrum. Kebanyakan tantrum pada anak terjadi antara usia 18 bulan dan empat tahun. Ledakan emosi ini ditandai dengan kurangnya pengendalian diri, atau otonomi. Amarah yang berlebihan, teror, malu, dan sensitif merupakan ciri-ciri tantrum. Selama tantrum tidak terlalu intens atau terjadi terlalu sering, perilaku tersebut akan hilang dengan sendirinya dan kemampuan anak untuk mengatur emosinya akan tumbuh seiring dengan itu [3].
Temper tantrum sendiri terdapat banyak macamnya yaitu Manipulative Tantrum merupakan tantrum yang terjadi apabila keinginan anak tidak terpenuh dan tantrum tersebut kan terhenti apabila keinginan anak sudah terpenuhi, Verbal Formulation Tantrum merupakan tantrum yang terjadi apabila anak tidak dapat menyampaikan keinginannya kepada orang dewasa sehingga anak mengalami frustasi dan tantrum, Temperamental Tantrum merupakan tantrum yang terjadi karena ledakan emosi yang sangat tinggi karena nak tidak mampu mengontrol emosinya [4]. Faktor pemicu tantrum juga sangat beragam diantaranya yaitu faktor biologis sifat agresif yang di turunkan dari orang tua, factor lingkungan faktor anak, faktor orang tua yaitu pola asuh [5]. Seiring anak mengembangkan keterampilan pengaturan diri, ia mungkin secara alami mengatasi tantrum. Salah satu cara ia mengamuk untuk mendapatkan keinginannya adalah dengan melakukan perilaku berisiko yang melukai orang lain. Ketika balita melampiaskan kekesalannya, mereka mungkin mengamuk yang dapat menyebabkan kerusakan. Tantrum ini dapat bermanifestasi sebagai anak yang jatuh ke lantai, kepalanya terbentur, atau melempar barang. Alasan utama mengapa anak-anak mengamuk. Penyebab tantrum pada anak-anak dapat bervariasi, mulai dari keinginan yang tidak terpenuhi, kesulitan berkomunikasi, hingga masalah pengaturan emosi. Tantrum ini bisa menjadi tantangan bagi pendidik dan orang tua dalam menjaga kedisiplinan, kenyamanan, serta perkembangan sosial dan emosional anak. Anak-anak, terutama yang lebih muda, dapat memperoleh manfaat besar dari program yang mengajarkan mereka untuk mengendalikan emosi dengan cara yang positif dan sehat, alih-alih mengamuk secara destruktif. Anak-anak umumnya mengamuk ketika mereka marah, kelelahan, lapar, atau tidak mampu mengungkapkan emosi mereka secara verbal. Ledakan emosi ini ditandai dengan menangis tersedu-sedu, berteriak, menggeliat, atau bahkan melempar benda. Guru menggunakan strategi seperti membiarkan siswa melampiaskan emosi mereka sambil menonton, memulai percakapan saat anak tenang, mengalihkan perhatian mereka, memberikan peringatan dengan konsekuensi, membangun ikatan melalui tindakan seperti memeluk, menawarkan nasihat, serta memotivasi dan mendukung siswa [6].
Di TKN 1 KLG pada observasi awal pada kelompok A terdapat dua orang anak yang sering mengalami temper tantrum di sekolah. Anak dengan nama AR sering mengalami tantrum apabila ada perilakunya yang kurang baik terhadap teman yang iya lakukan di tegur oleh guru iya akan marah dan meluapkan emosinya dengan cara memukul guru, menangis dan berlari keluar kelas. Anak dengan nama PN sering kali mengalami temper tantrum dengan sebab saat sekolah sang ibu harus menemani sampai di dalam kelas, apabila sang ibu keluar pagar sekolah maka iya menangis bahkan iya berlari sampai keluar pagar, perilaku tantrum lain yang sering terjadi pada PN apabila mengambil makanan teman tanpa seizing pemiliknya dan ibu guru menegur iya akan marah dengan berlari keluar kelas sambil menangis terkadang juga bias memukul ibu guru.
Selama ini sekolah memiliki program penanganan temper tantrum yang sudah di jalan kan selama 7 bulan. Nama dari program ini adalah “Lembut Hati”. Upaya yang guru lakukan sebelum perilaku tantrum muncul ialah saat ada anak yang mulai bicara bernada tinggi guru mulai mengingatkan kepada anak untuk bersabar, anak baik tidak dan anak yang bersekolah harus berhati lebut tidak marah-marah dan tidak berbicara dengan keras. Untuk meningkatkan control emosi anak dengan memberikan dorongan agar anak mengungkapkan amarahnya dengan berbicara jangan tiba-tiba menangis misalnya anak merasa kesal apabila main nya di ambil teman lain, lalu guru memberikan nasihat untuk berbagi sesama teman dan bermain bersama dengan baik. Bentuk penanganan yang sudah dilakukan apabila perilaku negative seperti tantrum yaitu apabila ada anak yang mengalami tantrum guru akan memisahkan dengan anak lain yaitu di sudut kelas, anak diberikan waktu sendiri agar anak merasa lebih tenang setelah diberikan waktu sendiri dan anak sudah lebih tenang guru mendampingi anak dan menanyakan perasaan anak dan memberikan sedikit nasihat bahwa yang iya lakukan merupakan tindakan yang kurang baik apabila dilakukan oleh anak yang baik. Apabila ada anak yang mampu mengontrol emosi atau berperilaku baik seperti dengan senang hati berbagai mainan guru akan memberikan pujian kepada anak tersebut. Namun dalam menjalankan program ini kami banyak mendapat tantangan seperti anak justru marah saat di tinggal sendiri bahkan ada yang membuang barang- barang, adanya perbedaan metode atau cara antara di rumah dan di sekolah dalam menangani tantrum anak, kurangnya kerja sama antara orang tua dan guru serta kurangnya waktu dan sumber daya dalam menangani tantrum anak karena dalam satu kelas hanya terdapat satu guru sehingga apabila ada anak yang mengalami tantrum di tengah pembelajaran maka fokus guru harus terbagi sehingga tidak bisa berjalan sesuai dengan yang diharapkan.
Teknik kualitatif digunakan dalam penelitian ini. Metode penelitian yang mengumpulkan informasi deskriptif tentang orang atau tindakan mereka melalui wawancara, kelompok fokus, atau observasi langsung dikenal sebagai pendekatan kualitatif [7], [8]. Teknik kualitatif ini dipilih karena, menurut studi kasus, ini adalah metode yang paling cocok untuk menggambarkan situasi yang ada, khususnya yang berkaitan dengan program untuk menangani temper tantrum pada anak usia taman kanak-kanak [9].Tempat penelitian ini dilaksanakan di dan TK Negeri 1 Kecamatan Kaliorang. Sedangkan mengenai waktu pelaksanaan penelitian ini adalah mulai dari bulan Desember 2024 sampai bulan Juni 2025. Sumber informasi primer dan sekunder digunakan dalam penelitian ini. Teknik yang dilakukan dalam pengumpulan data dan perekaman data meliputi observasi, wawancara mendalam dan dokumentasi. Triangulasi data dalam penelitian ini mengacu pada praktik pengumpulan informasi dari sumber yang sama menggunakan berbagai metode. Peneliti secara bersamaan menggunakan dokumentasi, wawancara mendalam, dan observasi partisipan menggunakan sumber data yang sama. Ketika banyak sumber digunakan bersamaan dengan pendekatan yang sama, hal ini disebut triangulasi sumber. Analisis data kualitatif digunakan pada penelitian ini, terdiri dari pengumpulan data, reduksi data dan penyajian data.
A. Pemahaman Tentang Temper Tantrum
Keinginan dan kebutuhan yang tidak terpenuhi dapat menyebabkan perilaku yang mengganggu atau tidak diinginkan seperti bertindak berlebihan atau tantrum. Seorang anak kehilangan kendali atas emosinya dan mengalami ledakan emosi ketika keinginannya tidak terpenuhi atau tertunda. Ambang batas frustrasi yang rendah merupakan gejala gangguan emosional. Data berikut dikumpulkan melalui observasi dan wawancara yang dipimpin oleh peneliti:
Dari wawancara dan observasi, terlihat jelas bahwa mayoritas guru TK Negeri Kaliorang 1 memahami dasar-dasar perilaku tantrum pada anak usia dini. Menurut para pendidik, anak-anak mengamuk ketika mereka merasa kesal, tidak mendapatkan keinginannya, atau kesulitan mengungkapkan emosi mereka dengan kata-kata. Hasil wawancara mendalam menunjukkan bahwa perilaku yang paling umum terkait dengan tantrum meliputi berteriak, menangis sekeras-kerasnya, melempar barang, dan berguling-guling di lantai. Beberapa guru juga mengaitkan temper tantrum dengan kurangnya kemampuan anak dalam mengatur emosi dan belum berkembangnya keterampilan komunikasi. Meskipun pemahaman dasar ini sudah dimiliki, hasil observasi menunjukkan bahwa pendekatan yang digunakan guru dalam merespons temper tantrum masih bervariasi. Ada guru yang cenderung merespons dengan cara menenangkan anak dan mengalihkan perhatian anak. Hasil wawancara kepada narasumber Ibu DW selaku guru kelas A1 yang menjalankan program tersebut mengungkapkan bahwa:
“Pada balita yang kemampuan regulasi emosinya masih berkembang, mereka cenderung menunjukkan perilaku yang tidak diinginkan seperti menangis dan berteriak, yang dikenal sebagai tantrum. Ledakan emosi ini sering terjadi antara usia 2 dan 6 tahun”
Selain itu, berdasarkan hasil wawancara dengan Ibu VT selaku guru kelas B1, juga terkait temper tantrum mengungkapkan bahwa:
“Tantrum merupakan luapan emosi yang di ungkapkan secara tidak tepat atau kesulitan mengontrol emosi, dimana anak yang mengalaminya menangis secara tidak terkontrol atau sambil berteriak teriak.”
Berdasarkan hasil observasi dan wawancara yang dilakukan terhadap dua guru di TK Negeri 1 Kaliorang, yaitu Ibu DW selaku guru kelas A1 dan Ibu VT guru kelas B1, ditemukan bahwa perilaku temper tantrum pada anak usia dini muncul dalam berbagai bentuk. Para guru mengidentifikasi bahwa tantrum tidak hanya terjadi dalam bentuk tangisan atau teriakan, tetapi juga dapat muncul dalam bentuk perilaku fisik yang ekstrem. Jenis tantrum yang paling sering mereka temui di kelas adalah tantrum fisik, seperti berguling-guling di lantai, memukul diri sendiri, melempar barang, hingga menyerang teman di sekitarnya. Tantrum jenis ini sering muncul ketika anak merasa frustrasi karena tidak mendapat apa yang diinginkan, seperti saat berebut mainan atau ingin selalu menjadi yang pertama dalam suatu kegiatan. Selain tantrum fisik, guru juga sering menjumpai tantrum verbal, yaitu ketika anak menangis dengan keras, berteriak, atau membentak tanpa kontrol. Menurut para guru, jenis tantrum ini paling umum terjadi dan sering menjadi tahap awal sebelum tantrum fisik muncul. Di sisi lain, terdapat pula anak yang menunjukkan tantrum pasif, seperti menolak berbicara, menyendiri, menutup wajah atau telinga, bahkan menghindari interaksi. Meskipun tidak tampak agresif, guru menyadari bahwa bentuk tantrum ini tetap menunjukkan adanya tekanan emosi yang sedang dialami anak dan perlu penanganan khusus.
Beberapa anak juga memperlihatkan perilaku tantrum yang bersifat manipulatif. Dalam kondisi ini, anak tampak sengaja menunjukkan tantrum sebagai upaya untuk memanipulasi situasi, misalnya menangis agar permintaannya dipenuhi, atau menunjukkan perilaku tantrum setiap kali dilarang melakukan sesuatu. Guru mengamati bahwa perilaku semacam ini sering muncul pada anak yang sebelumnya terbiasa memperoleh apa yang diinginkannya setelah menunjukkan reaksi emosional. Secara keseluruhan, para guru menyampaikan bahwa jenis-jenis tantrum yang terjadi cukup bervariasi dan sangat dipengaruhi oleh karakter anak, pola asuh di rumah, serta kondisi lingkungan.
B. Jenis – Jenis Tantrum
Hasil wawancara kepada narasumber Ibu DW selaku guru kelas A1 yang menjalankan program tersebut mengungkapkan bahwa:
“Ada banyak macam-macam anak yang sering mengalami tantrum, ada yang menangis, berguling guling di lantai ada juga yang melempar barang, bahkan ada yang suka memukul dirinya sendiri”.
Selain itu, berdasarkan hasil wawancara dengan Ibu VT selaku guru kelas B1, mengungkapkan bahwa:
“ Anak di kelas saya yang kerap mengalami tantrum paling sering terjadi adalah menangis dan berguling-guling di lantai, ada yang memukul teman dan ada pula yang melempar barang”.
Hasil observasi dan wawancara dengan dua guru di TK Negeri 1 Kaliorang menunjukkan bahwa penyebab temper tantrum pada anak usia dini sangat beragam dan tidak dapat dilepaskan dari faktor internal maupun eksternal anak. Berdasarkan pengalaman para guru, tantrum sering kali dipicu oleh konflik yang terjadi sebelum anak datang ke sekolah, seperti pertengkaran dengan orang tua atau suasana hati yang tidak stabil. Selain itu, di lingkungan sekolah, penyebab tantrum yang paling sering ditemui adalah ketika anak berebut mainan dengan teman atau merasa tidak ingin berbagi. Beberapa anak juga menunjukkan reaksi emosional yang berlebihan ketika tidak mendapat giliran pertama dalam suatu aktivitas, seperti saat mengantri mencuci tangan atau mengikuti permainan.
Para guru mengamati bahwa anak-anak yang belum mampu mengontrol emosinya dengan baik cenderung menunjukkan ledakan emosi ketika menghadapi situasi yang tidak sesuai dengan keinginannya. Kurangnya kemampuan dalam mengungkapkan perasaan secara verbal juga menjadi faktor pemicu utama, sehingga anak melampiaskan rasa kecewa atau frustrasinya melalui tangisan, teriakan, atau perilaku agresif. Selain itu, pola asuh di rumah dan karakteristik temperamen anak turut memengaruhi intensitas dan frekuensi tantrum. Anak yang dibesarkan dalam lingkungan yang kurang konsisten dalam pemberian batasan atau terlalu permisif terhadap keinginannya, cenderung lebih mudah mengalami tantrum ketika keinginannya tidak terpenuhi di sekolah. Dengan demikian, penyebab tantrum bersifat kompleks dan membutuhkan pemahaman menyeluruh dari guru untuk menangani setiap anak secara tepat sesuai dengan kebutuhan emosionalnya.
“Untuk penyebabnya sangat beragam ada yang memang ada konflik dengan orang tua saat akan berangkat sekolah, ada yang enggan berbagi mainan dengan teman”.
“Faktor penyebabnya paling sering itu karena berebut mainan dengan teman atau selalu ingin menjadi paling awal apabila melakukan kegiatan seperti saat mengantre cuci tangan.”
Ketika seseorang mengamuk atau bertindak berlebihan, itu karena mereka tidak mendapatkan apa yang mereka inginkan atau butuhkan. Ketika kebutuhan anak tidak terpenuhi atau tertunda, mereka kehilangan kendali atas emosi mereka dan mengalami ledakan emosi. Kurangnya kendali emosi berkaitan dengan rendahnya toleransi terhadap iritasi [10]. Hal ini sejalan dengan Papalia dan Martorell yang menekankan bahwa keterbatasan regulasi emosi merupakan pemicu utama tantrum pada anak usia dini [13] Tantrum terjadi bukan hanya ketika anak-anak tidak mendapatkan apa yang mereka inginkan, tetapi juga ketika mereka frustrasi. Ada beberapa jenis tantrum yang umum dialami anak-anak: a) Tantrum yang bersifat manipulatif, b) Tantrum yang merupakan bentuk frustrasi verbal, dan c) Tantrum yang bersifat temperamental [11]. Ada beberapa penyebab tantrum pada anak yaitu anak mencari perhatian dari orang tua, masih terbatasnya kemampuan bahasa, gangguan mental, anak yang terlalu dimanjakan, dan mencontoh dari lingkungan sekitar yang memiliki sifat meluapkan amarahnya [12].
Berdasarkan Hasil wawancara dan observasi peneliti menyimpulkan bahwa temper tantrum merupakan ledakan emosi ketika keinginan seorang anak tidak terpenuhi . Jenis- jenis tantrum sendiri bermacam-macam ada yang meluapkan dengan menangis sambil berguling, melempar barang, memukul dan ada pula yang menyakiti diri sendiri. Penyebab tantrum sendiri banyak faktor pemicunya seperti kurangnya perhatian dari orang tua sehingga ia membutuhkan perhatian lebih namun menggunakan cara yang tidak tepat, keterbatasan berbahasa dalam mengungkapkan keinginannya, dan lingkungan sekitar yang memberikan contoh tidak baik sehingga anak tersebut menirunya.
C. Program Penangana Temper Tantrum di Sekolah
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan dengan guru kelas di TK Negeri 1 Kaliorang, diketahui bahwa pihak sekolah telah memiliki program khusus dalam menangani perilaku tantrum pada anak usia dini. Program tersebut dikenal dengan nama "Lembut Hati", yang telah dijalankan selama kurang lebih tujuh bulan. Program ini dirancang untuk membantu guru dalam memberikan penanganan yang tepat terhadap anak-anak yang mengalami ledakan emosi atau temper tantrum. Para guru menyampaikan bahwa sejak diterapkannya program ini, intensitas perilaku temper tantrum pada anak mulai mengalami penurunan secara signifikan. Dalam pelaksanaannya, strategi penanganan temper tantrum yang diterapkan para guru diawali dengan memberikan kesempatan kepada anak untuk meluapkan emosinya terlebih dahulu. Guru tidak langsung menegur atau menghentikan secara paksa, melainkan menunggu hingga anak merasa lebih tenang. Setelah itu, guru akan mengajak anak berbicara untuk mengetahui penyebab kemarahan yang dialami. Pendekatan ini bertujuan agar anak merasa didengarkan dan dipahami. Guru kemudian memberikan pemahaman dan nasihat bahwa marah adalah hal yang wajar, namun harus diungkapkan dengan cara yang tepat, seperti berbicara kepada guru mengenai apa yang tidak disukai, agar bisa dicarikan solusi bersama.
Terkait dengan pelatihan atau peningkatan kompetensi guru dalam menangani tantrum, para guru mengungkapkan bahwa hingga saat ini belum pernah ada pelatihan khusus yang secara spesifik membahas tentang penanganan tantrum. Meskipun demikian, mereka telah beberapa kali mengikuti pelatihan umum yang berkaitan dengan penanganan anak berkebutuhan khusus. Hal ini menggambarkan dedikasi para pendidik terhadap pembelajaran seumur hidup dan keinginan untuk mengasah keterampilan mereka dalam mengakomodasi kepribadian unik para siswanya.
Berdasarkan hasil wawancara dengan Ibu DW selaku guru kelas A1 mengungkapkan bahwa:
“Kami sekolah mempunyai program yaitu “Lembut Hati” dari program ini kami selaku guru kelas memberikan penanganan yang kami anggap sudah mampu meminimalisir tantrum yaitu dengan cara memberikan kesempatan kepada anak untuk meluapkan emosinya terlebih dahulu, setelah anak merasa lebih tenang guru akan mengajak anak berbicara mengapa iya marah dna memberikan pemahaman bahwa hal tersebut tidak baik apabila di lakukan. Setelah anak mengerti kami selaku guru memberikan nasihat jika ingin mengungkapkan amarahnya dengan berbicara kepadada ibu guru apa yang membuat ia marah sehingga nanti akan ibu guru cari solusinya”
Sedangkan berdasarkan hasil wawancara dengan Ibu VT selaku guru kelas B1, mengungkapkan bahwa:
“ Dalam menangani tantrum kami mempunyai program yaitu lembut hati sejak adanya program ini perilaku tantrum sudah mulai berkurang, kami menangani anak tantrum dengan memberikan waktu kepada anak untuk meluapkan segala amarahnya. Setelah anak merasa lebih tenang saya akan mengajak anak berbicara mengapa iya marah, apa penyebabnya. Setelah anak bercerita guru memberikan nasihat bahwa perilaku tersebut kurang baik di lakukan alangkah baiknya berbicara kepada ibu guru apa bila ada hal yang ia tidak sukai.”
Strategi yang harus diterapkan oleh guru maupun orang tua ketika anak berperilaku tantrum adalah dengan mendampinginya tetapi tidak membiarkan anak sendirian, Orang tua maupun guru wajib mengajak anak berbicara saat emosinya telah reda dan memberikan arahan kepada anak, terhadap perilaku yang telah dilakukan serta akibat yang merugikan atas perbuatannya. Menasihati anak dengan mencontohkan tokoh lain, dengan tujuan agar perilaku tantrum tersebut dapat diminimalisir dan lebih condong ke perilaku positif ketika meluapkan rasa emosinya [13].
Berdasarkan hasil wawancara dan observasi peneliti menyimpulkan bahwa di TKN 1 KLG sudah memiliki program penanganan tantrum dengan nama program “Lembut Hati” program ini sudah berjalan kurang lebih satu tahun pembelajaran. Program ini sudah cukup membantu menurunkan intensitas tantrum pada anak dengan cara memisahkan anak yang sedang tantrum dengan memberikan kesempatan kepada anak untuk meluapkan emosinya. Setelah anak merasa lebih tenang guru akan mengajak berbicara mengapa ia marah dan memberikan nasihat kepada nak bahwa hal tersebut tidak baik apabila di lakukan dan dapat merugikan diri sendiri sambil memberikan contoh tokoh yang baik untuk di tiru oleh anak. Dan membantu anak-anak mengomunikasikan perasaan mereka dengan lebih baik. Orang tua dan guru dapat menemukan cara untuk menghentikan tantrum dan mendorong perilaku yang lebih positif dengan mempelajari karakteristik anak-anak.
D. Peran Guru dan Lingkungan
Hasil wawancara menunjukkan bahwa guru kelas memiliki peran yang sangat penting dalam menangani anak yang sedang mengalami temper tantrum. Guru dipandang sebagai figur panutan yang perilakunya sangat memengaruhi perkembangan karakter anak. Ketika menghadapi anak yang mengalami temper tantrum, guru diharapkan tidak menunjukkan kemarahan. Sebaliknya, guru harus mampu memberikan ketenangan, bersikap lembut, dan menjadi sosok yang mampu meredakan emosi anak. Setelah anak merasa lebih tenang, guru kemudian mengajak anak berbicara, mendengarkan keluh kesahnya, dan memberikan nasihat tentang cara yang tepat untuk mengungkapkan perasaan, seperti dengan berbicara langsung kepada guru. Pendekatan ini bertujuan membentuk karakter anak agar dapat mengelola emosi secara sehat dan tidak melampiaskannya dalam bentuk ledakan emosi. Terkait dengan kerja sama antara sekolah dengan psikolog, pihak sekolah menyampaikan bahwa hingga saat ini belum ada kolaborasi resmi dalam penanganan kasus temper tantrum. Penanganan selama ini masih dilakukan secara mandiri oleh guru kelas melalui pendekatan yang dikembangkan di sekolah, salah satunya melalui program “Lembut Hati.” Meskipun belum bekerja sama dengan psikolog, guru tetap berupaya memberikan pendampingan yang maksimal serta mengikuti pelatihan umum yang relevan, khususnya yang berkaitan dengan penanganan anak berkebutuhan khusus.
Selain itu, guru juga menekankan bahwa lingkungan sekolah dan lingkungan sosial anak sangat memengaruhi kemunculan maupun berkurangnya perilaku temper tantrum. Anak yang tumbuh di lingkungan yang penuh dengan orang dewasa yang mudah marah cenderung lebih mudah mengalami temper tantrum, karena mereka meniru pola perilaku tersebut. Sebaliknya, jika anak berada di lingkungan yang dominan dengan sikap sabar, tenang, dan penuh kasih sayang, maka mereka pun akan belajar untuk bersikap serupa. Oleh karena itu, menciptakan lingkungan sekolah yang positif, penuh empati, dan menenangkan sangat berkontribusi dalam meminimalisir terjadinya temper tantrum pada anak usia dini.
Berdasarkan hasil wawancara dengan Ibu DW selaku guru kelas A1, mengungkapkan bahwa:
“ Seorang guru sangat mempengaruhi perilaku seorang anak, apabila guru berperilaku baik dan lembah lembut maka seorang anak juga akan mencontoh gurunya. Misalnya saat anak tantrum di sekolah seorang guru tidak boleh marah, guru harus mampu memberaikan ketenangan bagi anak agar tentunya bisa teratasi dan memberikan nasihat bagaimana untuk mengungkapkan perasaannya. Untuk saat ini di sekolah kami ini belum bekerja sama dengan psikolog. Lingkungan juga sangat mempengaruhi perilaku seseorang apabila anak tumbuh dan berkembang di lingkungan yang orang di sekitarnya mudah emosi maka anak akan terbawa dengan perilaku tersebut sehingga mudah mengalami tantrum di sekolah, begitupun sebaliknya apabila anak tumbuh di lingkungan yang orang dewasa nya memiliki sifat penyabar maka anak akan tumbuh menjadi anak yang lemah lembut.”
“Guru dan lingkungan sangat mempengaruhi perilaku seorang anak, apabila guru mampu memberikan contoh yang baik kepada anak maka nak tersebut akan berperilaku baik . Misalnya ada anak tantrum di sekolah jangan memarahinya, guru harus mampu menenangkan anak ba agar tentunya bisa teratasi dan memberikan nasihat bagaimana untuk mengungkapkan perasaannya. Untuk saat ini di sekolah TKN 1 KLG ini belum bekerja sama dengan psikolog. Lingkungan juga sangat mempengaruhi perilaku seseorang apabila anak tumbuh dan berkembang di lingkungan yang orang di sekitarnya mudah emosi maka anak akan terbawa dengan perilaku tersebut sehingga mudah mengalami tantrum di sekolah, begitupun sebaliknya apabila anak tumbuh di lingkungan yang orang dewasa nya memiliki sifat penyabar maka anak akan tumbuh menjadi anak yang lemah lembut”
kepala sekolah saat menjadi pembina upacara atau saat kegiatan lain. Dengan cara menjelaskan perilaku positif yang di harapkan oleh sekolah kepada siswanya. Isi materi bias berupa wujud dari perilaku positif, contohnya seperti apa, mengapa perlu adanya pembiasaan perilaku positif dan akibat apabila siswa melekukkan pelanggaran dari perilaku tersebut. Pengajaran melalui literature buku berupa dongeng yang menampilkan isi cerita dari sumber literature yang ada.. Bermain peran mengenai perilaku yang diharapkan dan perilaku yang tidak diharapkan dari sekolah kepada siswanya. Dan memberikan penjelasan mengenai perilaku positif yang di peranakan. Melakukan diskusi dengan siswa mengenai perilaku positif dan bisa di kombinasi dengan pengajaran langsung mengenai karakter positif yang di bawakan melalui bermain peran. Mempromosikan perilaku- perilaku positif yang di harapkan memalui majalah dan majalah dinding. Menempel poster perilaku yang diharapkan dan tidak diharapkan di beberapa lingkungan sekolah. Pertemuan refleksi bias dilakukan setelah siswa mempraktikkan perilaku positif dan menceritakan pengalaman siswa setelah melakukan perilaku positif [14].
Berdasarkan Hasil observasi dan wawancara peneliti menyimpulkan bahwa guru dan lingkungan sekolah memberikan peran penting dalam mengurangi intensitas tantrum yaitu dengan cara memberikan pangarahan langsung di dalam kelas tentang perilaku baik dan tidak baik, memberikan contoh perilaku baik di lingkungan sekolah yang sesuai di harapkan oleh guru dan kepala sekolah dan memberikan reward kepada anak yang sudah berperilaku baik di sekolah.
E. Tantangan dan Solusi
Dalam mengevaluasi program penanganan temper tantrum, guru melakukan pengamatan terhadap perubahan frekuensi dan intensitas tantrum pada anak selama pelaksanaan program. Guru menyatakan bahwa terdapat penurunan signifikan dalam jumlah tantrum, yang awalnya terjadi hampir setiap hari kini hanya terjadi sekitar dua hingga tiga kali dalam seminggu. Meskipun program ini belum sepenuhnya menghilangkan perilaku temper tantrum, namun terbukti cukup efektif dalam mengurangi intensitas dan frekuensi tantrum yang dialami anak.
Tantangan utama yang dihadapi guru dalam menangani temper tantrum adalah terpecahnya konsentrasi saat mengajar, terutama karena satu kelas hanya ditangani oleh satu guru. Ketika anak mengalami temper tantrum, guru harus menghentikan proses pembelajaran untuk menenangkan anak terlebih dahulu, sehingga mengganggu jalannya kegiatan belajar-mengajar. Sebagai solusi, guru menyarankan adanya penambahan guru pendamping di setiap kelas. Dengan adanya guru pendamping, proses pembelajaran dapat tetap berjalan meskipun ada anak yang mengalami tantrum, karena ada tenaga tambahan yang dapat menangani situasi tersebut.
Setelah mengikuti program penanganan temper tantrum, terlihat adanya perubahan positif dalam perilaku anak. Intensitas tantrum yang sebelumnya terjadi hampir setiap hari kini menurun menjadi dua hingga tiga kali dalam satu minggu. Penurunan ini menunjukkan bahwa program yang diterapkan mampu memberikan dampak yang cukup signifikan dalam mengatasi perilaku temper tantrum pada anak, meskipun belum sepenuhnya menghilangkannya.
“selama saya menjalankan program ini persentase tantrum pada anak sudah mulai menurun. Yang biasanya tantrum terjadi hampir setiap anak tersebut ke sekolah sekarang sudah mulai berkurang 2-3 kali dalam seminggu, walaupun program tersebut belum seratus persen mampu menangani tantrum setidaknya mampu mengurangi tantrum pada anak. Tantangan yang sering saya hadapi seperti terpecahnya konsentrasi mengajar karena satu kelas hanya di isi oleh satu guru sehingga pembelajaran harus terhenti karena saya harus menangani anak yang sedang tantrum. Setelah anak tersebut tenang barulah saya melanjutkan pembelajaran.”
Dari pernyataan tersebut terlihat pola umum bahwa guru mengakui adanya penurunan frekuensi tantrum, meskipun masih menghadapi tantangan dalam menjaga konsentrasi kelas. Hal ini menunjukkan bahwa efektivitas program belum optimal jika tidak ditunjang dengan tenaga pendidik tambahan. Sedangkan menurut hasil wawancara kepada Ibu VT selaku guru kelas B1, mengungkapkan bahwa:
“ Dengan adanya program ini tantrum yang sering terjadi pada anak sudah mulai berkurang yang tadinya seminggu bisa mencapai 4 kali sekarang hanya 2 kali. Tantangan yang sering saya hadapi adalah mengembalikan fokus anak saat di tengah pembelajaran ada anak yang sering mengalami tantrum, serta terpecahnya fokus guru yang harus berhenti dalam menyampaikan pembelajaran karena menangani anak yang sedang tantrum.”
Pernyataan Ibu VT memperkuat temuan sebelumnya bahwa penurunan tantrum memang konsisten terjadi, tetapi fokus pembelajaran sering terganggu. Artinya, tantangan utama bukan hanya mengurangi tantrum, tetapi juga menjaga keberlangsungan proses belajar mengajar. Dalam menjalankan sebuah program tentunya akan ada kendala yang di hadapi, terlebih program ini adalah program baru di sekolah kami. Sehingga masih membutuhkan perbaikan-perbaikan demi berjalannya program tersebut dengan lancar. Dengan demikian, analisis dari kedua informan menunjukkan pola konsisten: program berdampak positif pada penurunan tantrum, namun tantangan struktural (keterbatasan guru di kelas) masih menjadi hambatan utama. Berdasarkan hasil observasi dan wawancara peneliti menyimpulkan bahwa tantangan yang sering di alami guru dalam menjalankan program tersebut adalah kurangnya guru karena dalam satu kelas hanya di isi oleh 1 guru yang mengakibatkan kelas menjadi tidak kondusif apabila ada anak yang mengalami tantrum dan pembelajaran akan terhenti sementara karena guru akan menenangkan anak yang sedang tantrum, konsentrasi anak menjadi terpecahkan karena melihat salah satu temanya mengalami tantrum sehingga solusi yang tepat adalah dalam satu kelas harus di isi oleh 2 orang guru dengan guru utama dan guru pendamping. Selain itu, sekolah dapat menyelenggarakan pelatihan khusus bagi guru mengenai teknik regulasi emosi anak, strategi komunikasi positif, dan manajemen kelas saat menghadapi tantrum. Keterlibatan orang tua juga penting, misalnya melalui program parenting workshop yang membekali orang tua dengan cara konsisten dalam merespons tantrum di rumah. Dengan langkah ini, hasil penelitian tidak hanya bermanfaat bagi sekolah tempat penelitian dilakukan, tetapi juga dapat diadopsi secara lebih luas oleh sekolah lain yang menghadapi permasalahan serupa.
Berdasarkan hasil kajian dan pembahasan mengenai program penanganan tantrum pada anak usia dini di Taman Kanak-kanak (Lembulu Hati) dapat disimpulkan bahwa temper tantrum merupakan ledakan emosi ketika keinginan seorang anak tidak terpenuhi . Jenis- jenis tantrum sendiri bermacam-macam ada yang meluapkan dengan menangis sambil berguling, melempar barang, memukul dan ada pula yang menyakiti diri sendiri. Penyebab tantrum sendiri banyak faktor pemicunya seperti kurangnya perhatian dari orang tua sehingga ia membutuhkan perhatian lebih namun menggunakan cara yang tidak tepat, keterbatasan berbahasa dalam mengungkapkan keinginannya, dan lingkungan sekitar yang memberikan contoh tidak baik sehingga anak tersebut menirunya. TKN 1 KLG sudah memiliki program penanganan tantrum dengan nama program “Lembut Hati” program ini sudah berjalan kurang lebih satu tahun pembelajaran. Program ini sudah cukup membantu menurunkan intensitas tantrum pada anak dengan cara memisahkan anak yang sedang tantrum dengan memberikan kesempatan kepada anak untuk meluapkan emosinya. Setelah anak merasa lebih tenang guru akan mengajak berbicara mengapa ia marah dan memberikan nasihat kepada anak bahwa hal tersebut tidak baik apabila di lakukan dan dapat merugikan diri sendiri sambil memberikan contoh tokoh yang baik untuk di tiru oleh anak. Guru dan lingkungan sekolah memberikan peran penting dalam mengurangi intensitas tantrum yaitu dengan cara memberikan nasihat langsung di dalam kelas tentang perilaku baik dan tidak baik, memberikan contoh perilaku baik di lingkungan sekolah yang sesuai di harapkan oleh guru dan kepala sekolah dan memberikan reward kepada anak yang sudah berperilaku baik di sekolah. Tantangan yang sering di alami guru dalam menjalankan program tersebut kurangnya guru karena dalam satu kelas hanya di isi oleh 1 guru yang mengakibatkan kelas menjadi tidak kondusif apabila ada anak yang mengalami tantrum dan pembelajaran akan terhenti sementara karena guru akan menenangkan anak yang sedang tantrum, konsentrasi anak menjadi terpecahkan karena melihat salah satu temanya mengalami tantrum sehingga solusi yang tepat adalah dalam satu kelas harus di isi oleh 2 orang guru dengan guru utama dan guru pendamping.
Ucapan Terima Kasih
Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan, arahan, dan motivasi dalam pelaksanaan penelitian ini. Ucapan terima kasih khusus ditujukan kepada guru, orang tua, serta rekan yang turut membantu kelancaran pengumpulan data. Semoga segala bentuk bantuan yang diberikan mendapat balasan terbaik dari Tuhan Yang Maha Esa.
Ahmad Susanto, Pendidikan Anak Usia Dini: Konsep dan Teori. Jakarta: Bumi Aksara, 2017.
Andreas, Mengenal Tantrum Pada Anak. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2023.
A. Anggita and J. Setiawan, Metodologi Penelitian Kualitatif. Jawa Barat: CV. Jajak, 2018.
A. N. Azizah, “Penanganan Temper Tantrum Pada Anak Oleh Guru Dan Orang Tua Di KB Aisyiyah Beji Kedungbanteng Banyumas,” 2024, [Online]. Available: accessed Feb. 5, 2025.
M. Christiani, “Profesionalisme Pendidikan Anak Usia Dini,” 2012, [Online]. Available: accessed Mar. 5, 2025, 08:00 WITA.
N. N. Hidayat, et al., “Upaya Guru Dalam Menangani Temper Tantrum Pada Anak Kelas IV SDN Bulansari Kabupaten Subang,” Vol. 5, no. 4, 2024, [Online]. Available: accessed Feb. 21, 2024.
M. Makbul, “Metode Pengumpulan Data dan Instrumen Penelitian,” 2021, [Online]. Available: accessed Mar. 4, 2025.
A. Mahabbati, et al., Positive Behavior Support. Yogyakarta: UNY Press, 2024.
Mardawani, Praktis Penelitian Kualitatif: Teori Dasar dan Analisis Data dalam Perspektif Kualitatif. Yogyakarta: CV. Budi Utama, 2020.
M. R. Pahleviannur, et al., Metodologi Penelitian Kualitatif. Jawa Barat: CV. Pradina Pustaka, 2022.
R. S. Muliya, “Tantrum Management Strategies for Early Childhood Education: A Descriptive Study in PAUD Permata Ibu and TKS IT Misbahul Ikhlas,” Vol. 3, no. 4, 2024, [Online]. Available: accessed Feb. 5, 2025.
M. Sari and J. M. Sitepu, “Peran Guru dalam Mengatasi Anak Temper Tantrum melalui Metode Time Out pada Aktivitas Pembelajaran,” Vol. 5, no. 1, 2024, [Online]. Available: accessed Feb. 4, 2025.
L. C. Papalia and G. Martorell, Experience Human Development, 15th ed. New York, NY, USA: McGraw-Hill, 2021.
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabela, 2017, p. 8.
Suyadi, Psikologi Belajar Anak Usia Dini. Yogyakarta: Pedagogia, 2010.
D. W. W. Wati, et al., “Peran Guru Dalam Mengatasi Perilaku Tantrum Pada Anak Usia Dini di Day Care Sekolah Dolan Perumahan Villa Bukit Tidar Malang,” Vol. 3, no. 1, 2021, [Online]. Available: accessed Feb. 21, 2025.