Login
Section Innovation in Education

Identification of Emotional and Behavioral Disorders among First Grade Students

Identifikasi Gangguan Emosional dan Perilaku pada Siswa Kelas Satu
Vol. 26 No. 4 (2025): October:

Nur Aisyah (1), Aini Mahabbati (2)

(1) Program Studi Magister Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Yogyakarta, Yogyakarta, Indonesia
(2) Program Studi Magister Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Yogyakarta, Yogyakarta, Indonesia

Abstract:

General Background: Emotional and behavioral disorders (EBD) among elementary school children are often misinterpreted as normal developmental phases, leading to delayed interventions. Specific Background: In rural schools, such as SD Negeri Teluk Pandan, teachers face difficulties in recognizing EBD due to limited training, lack of systematic tools, and minimal parental collaboration. Knowledge Gap: Few studies have explored early identification of EBD in lower-grade elementary settings in Indonesia, particularly in underserved regions. Aims: This study aims to identify the forms, characteristics, and influencing factors of EBD in first-grade students, as well as strategies used by teachers and parents in the identification process. Results: Findings reveal two main categories of EBD: internalizing behaviors (withdrawal, passivity, excessive anxiety) and externalizing behaviors (aggression, yelling, hyperactivity). These behaviors disrupted classroom learning and were influenced by family dynamics, school environment, and individual emotional regulation. Teachers and parents employed ad-hoc strategies, including personal approaches, flexible classroom management, and limited home-based interventions. Novelty: The study highlights the absence of systematic identification methods and emphasizes the importance of collaborative, context-specific approaches between teachers and parents. Implications: Early structured identification programs, teacher training, and cross-sector collaboration are recommended to create inclusive and supportive learning environments for children with EBD.
Highlight :




  • Early identification helps detect emotional and behavioral disorders in students.




  • Teachers and parents must collaborate intensively for effective intervention.




  • Inclusive learning environments require structured teacher training.




Keywords : Emotional And Behavioral Disorders, Identification, Elementary School, Case Study, Early Intervention

Downloads

Download data is not yet available.

Pendahuluan

Anak-anak sering menunjukkan tanda-tanda kesulitan beradaptasi sejak dini, tetapi orang tua dan guru mungkin tidak selalu memperhatikannya. Orang sering berpikir bahwa mudah menangis, sulit berkonsentrasi, tidak mematuhi guru, menghabiskan banyak waktu sendirian, atau bersikap agresif terhadap teman sebaya adalah perilaku masa kanak-kanak yang normal. Perilaku-perilaku ini, di sisi lain, dapat menjadi tanda-tanda awal gangguan perilaku dan emosional yang dapat memburuk dan memperlambat pertumbuhan anak jika tidak ditangani. Realitas ini terkait erat dengan banyak faktor yang saling terkait, baik intrinsik bagi anak maupun ekstrinsik, termasuk konteks keluarga, pendidikan, dan komunal. Keadaan keluarga merupakan salah satu faktor eksternal yang penting. Anak-anak yang tumbuh di rumah dengan tingkat stres tinggi, seperti mereka yang memiliki sedikit uang, orang tua yang sering bertengkar, atau orang tua yang tidak terlalu memperhatikan anak-anak mereka, lebih mungkin memiliki masalah emosional. Selain itu, anak-anak lebih mungkin mengalami masalah perilaku jika mereka tidak menerima dukungan emosional yang memadai. Lingkungan sekolah juga krusial dalam mengenali dan merespons perasaan siswa. Guru bertanggung jawab atas perkembangan kognitif, sosial, dan emosional anak-anak karena merekalah orang dewasa yang paling banyak berinteraksi dengan mereka di kelas. Namun, tidak semua pendidik profesional dalam mengenali gangguan perilaku dan emosional dengan tepat. Banyak pendidik masih berpikir bahwa satu-satunya tanggung jawab mereka adalah mengajar, dan mereka tidak menyadari betapa pentingnya kesehatan mental anak-anak bagi pembelajaran mereka.

Hal ini menimbulkan kesulitan tersendiri, terutama di daerah pedesaan atau terpencil seperti Kabupaten Teluk Pandan. Kurangnya alat penilaian perilaku yang tepat, kurangnya tenaga profesional seperti psikolog pendidikan, dan terbatasnya akses terhadap pelatihan guru merupakan faktor-faktor yang berkontribusi terhadap beban yang dialami guru. Penilaian terhadap kesejahteraan anak sering kali bersifat sewenang-wenang dan didasarkan pada pengamatan sepintas tanpa adanya dokumentasi perilaku atau proses evaluasi sistematis. Pengamatan para peneliti di Sekolah Dasar Negeri Teluk Pandan menggambarkan situasi ini dengan sangat baik. Para peneliti mengamati pola perilaku yang berulang pada sejumlah siswa kelas satu selama pertemuan kelas. Selama pelajaran, seorang siswa sering terlihat mengantuk dalam waktu yang lama. Ketika diminta berinteraksi dengan teman sekelas atau guru, anak-anak ini tetap diam dan bahkan cenderung menghindar, lebih suka duduk sendiri. Namun, beberapa anak juga menunjukkan sifat yang berlawanan: mereka gelisah, hiperaktif, sering bangkit dari tempat duduk tanpa penjelasan apa pun, dan terkadang bertindak impulsif, memukul teman sekelas atau membentak guru. Agar proses ini berhasil, kerja sama antara orang tua dan guru sangat penting. Karena orang tua adalah pihak yang paling mengenal anak-anak mereka di luar sekolah, informasi mereka sangat penting untuk memperkaya data yang dikumpulkan guru di kelas. Sayangnya, hubungan antara sekolah dan orang tua masih buruk, menurut wawancara awal dengan guru kelas satu di Sekolah Dasar Negeri Teluk Pandan. Beberapa orang tua tidak responsif terhadap laporan guru mengenai perilaku anak-anak mereka, dan yang lainnya tidak menghadiri rapat sekolah secara teratur. Hal ini menimbulkan tantangan serius bagi proses identifikasi, yang seharusnya menyeluruh dan kooperatif secara teori.

Fakta-fakta ini menjadikan penelitian ini sangat relevan dan krusial untuk dilakukan. Tujuan utama studi ini adalah untuk mengetahui lebih lanjut tentang jenis-jenis masalah emosional dan perilaku yang dialami siswa kelas satu, bagaimana guru mendeteksinya, dan apa yang membuat guru lebih mudah atau lebih sulit mendeteksinya di sekolah dasar. Tujuan penelitian ini adalah untuk menggambarkan keadaan saat ini dan memfasilitasi terciptanya suasana pendidikan yang lebih mendukung dan berpusat pada anak. Penelitian ini akan menggunakan pendekatan kualitatif dan metodologi studi kasus untuk meningkatkan pemahaman tentang gangguan emosional dan perilaku di lingkungan pendidikan dasar. Para peneliti berharap hasil penelitian ini dapat menjadi stimulus untuk kontemplasi dan landasan diskusi dalam perumusan kebijakan pendidikan di tingkat regional dan institusional, terutama dalam meningkatkan kompetensi guru dan menciptakan sistem identifikasi dini yang lebih terorganisir, adil, dan terarah untuk kesehatan mental anak. Namun, tidak semua anak dapat melewati tahap ini. Beberapa anak berperilaku buruk, kesulitan mengelola perilakunya, menjauhi orang lain, atau bahkan menunjukkan tanda-tanda gangguan emosional dan perilaku (EBD). Kondisi ini mungkin tidak selalu terlihat, tetapi jika tidak ditangani, dapat memengaruhi pertumbuhan sosial dan akademik anak. Oleh karena itu, sangat penting untuk mengetahui siswa sekolah dasar mana yang memiliki masalah emosional dan perilaku. Guru kelas satu yang diwawancarai untuk observasi pertama mengatakan bahwa perilaku buruk tersebut telah berlangsung lama dan sering terjadi, terutama selama pelajaran dan kegiatan mengajar.

Sayangnya, guru masih belum memiliki aturan atau alat yang jelas untuk membantu mereka menentukan apakah perilaku siswa merupakan tanda masalah emosional atau perilaku. Guru hanya mengandalkan intuisi dan pengalaman pribadi mereka untuk memahami karakter setiap anak.Penting bahwa proses menemukan gangguan emosional dan perilaku tidak hanya didasarkan pada penilaian pribadi, tetapi pada metode yang sistematis dan tepat. Masalah ini semakin parah karena sekolah dan orang tua tidak bekerja sama dalam menangani siswa yang berperilaku buruk. Hallahan dan Kauffman [1] mengatakan bahwa agar siswa dengan gangguan emosional dan perilaku dapat berprestasi di sekolah, banyak pihak perlu dilibatkan, seperti orang tua, guru, kepala sekolah, dan profesional seperti konselor pendidikan atau psikolog. Dukungan kolaboratif dari keluarga dan sekolah dapat memberikan informasi yang lebih lengkap dan akurat tentang latar belakang dan kondisi emosional anak. Jika proses pendaftaran tidak diselesaikan lebih awal, anak-anak dengan masalah emosional dan perilaku akan mengalami banyak masalah di sekolah. Mereka kemungkinan besar akan mengalami kesulitan belajar, berkelahi dengan teman, merasa tidak nyaman dengan diri sendiri, dan bahkan dikeluarkan dari sekolah. Akibatnya, sangat penting bagi para pendidik untuk memiliki keahlian, kemampuan, dan dedikasi yang diperlukan untuk mengenali siswa yang menderita gangguan emosional dan perilaku.

Pemilihan SD Negeri Teluk Pandan sebagai lokasi penelitian ini bukanlah tanpa alasan. Berdasarkan hasil observasi awal dan wawancara dengan guru kelas, tampak bahwa sekolah ini menghadapi tantangan nyata dalam menangani peserta didik dengan perilaku menyimpang. Kurangnya pengetahuan guru tentang gangguan emosional dan perilaku serta tidak adanya proses atau pendekatan identifikasi yang sistematis berdampak signifikan terhadap latar belakang penelitian ini. Berdasarkan observasi awal peneliti, sejumlah siswa kelas satu di Sekolah Dasar Teluk Pandan, Kecamatan Teluk Pandan, Kabupaten Kutai Timur, menunjukkan perilaku yang tidak sesuai dengan usia mereka. Sekolah tersebut dihadiri oleh dua puluh empat siswa kelas satu dari berbagai latar belakang sosial, budaya, dan ekonomi. Saat belajar di kelas, banyak anak terlihat melamun, menghindari kelompok, tidak mau berbicara dengan teman sekelasnya, mudah menangis ketika dimarahi, dan bersikap agresif dengan memukul, berteriak, atau mengumpat. Tindakan-tindakan ini tidak hanya mempersulit guru dan siswa dalam belajar dan mengajar, tetapi juga mengubah cara guru dan siswa berinteraksi satu sama lain dan cara siswa berinteraksi satu sama lain.

Metode

Pendekatan dan jenis penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis studi kasus. Metodologi kualitatif dipilih untuk memeriksa secara menyeluruh fenomena gangguan emosional dan perilaku (EBD) di antara siswa kelas satu di Sekolah Dasar Negeri Teluk Pandan, serta untuk menyelidiki strategi guru untuk mengidentifikasi kondisi ini. Penelitian kualitatif memungkinkan peneliti untuk memeriksa makna subjektif, sudut pandang, dan pengalaman peserta melalui metodologi yang fleksibel dan terbuka. Penelitian ini dilakukan di Sekolah Dasar Negeri Teluk Pandan di Kabupaten Teluk Pandan, Kalimantan Timur. Studi ini melibatkan guru kelas satu, beberapa di antaranya memiliki masalah emosional dan perilaku. Para siswa, yang berusia 6 dan 7 tahun, berada di tiga kelas berbeda di sekolah yang sama. Para peneliti terutama menggunakan dokumentasi, wawancara komprehensif, dan observasi partisipan sebagai metodologi pengumpulan data utama mereka. Ketiga metode ini dipilih bersama untuk mendapatkan banyak informasi tentang masalah emosional dan perilaku siswa kelas satu. Empat indikator yang digunakan oleh para peneliti: ciri-ciri perilaku, jenis gangguan emosional dan perilaku, faktor-faktor yang berkontribusi terhadap gangguan tersebut, dan strategi intervensi yang digunakan oleh orang tua dan guru selama wawancara. Guru yang bekerja erat dengan siswa menjadi fokus utama kriteria seleksi, dan wawancara mendalam mencakup pertanyaan seperti "Bagaimana respons anak-anak ketika diberi instruksi di kelas?"Proses pengumpulan data memakan waktu sekitar dua bulan untuk mendapatkan gambaran yang lengkap. Memeriksa keakuratan data merupakan bagian penting dari penelitian kualitatif dan proses ilmiah. Moleong menyatakan bahwa peneliti ingin memastikan bahwa data yang dapat mereka kumpulkan dapat mewakili realita di dunia. Hal ini disebut validitas data. Metode-metode biasa untuk memastikan informasi dalam penelitian kualitatif adalah kredibilitas, transferabilitas, dependabilitas, dan konfirmabilitas . Untuk mengevaluasi data saat ini menggunakan metode analisis interaktif Miles dan Huberman dalam kajian kualitatif ini. Analisis dimulai setelah semua data terkumpul dan tetap berlangsung hingga laporan selesai. Kami menganalisis dengan sangat hati-hati dan memastikan datanya bermanfaat, menemukan pola baru, dan menarik kesimpulan dari informasi yang berbeda [1].

Hasil dan Pembahasan

A.Bentuk Gangguan Emosi dan Perilaku yang Tampak

Terdapat dua jenis gangguan emosional dan perilaku yang terlihat selama proses pembelajaran. Internalisasi dan eksternalisasi merupakan karakteristik utamanya. Gangguan yang berkembang pada ketiga siswa (AB, DY, dan AR) menunjukkan ciri-ciri yang berbeda, berdasarkan observasi dan wawancara. Jenis gangguan emosi dan perilaku yang terlihat selama proses pembelajaran dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok utama: internalisasi dan eksternalisasi. Orang dengan gangguan internalisasi sering kali menarik diri dari orang lain, merasa cemas atau sedih, atau kesulitan berteman. Di sisi lain, orang dengan gangguan eksternalisasi cenderung agresif, melanggar aturan, dan kesulitan mengendalikan perasaan mereka.

AB sering menunjukkan perilaku eksternalisasi seperti terlalu marah, memukul teman, dan tidak mengikuti arahan guru. Ibu Suci mengatakan dalam sebuah wawancara bahwa AB sering bertindak kasar, terutama ketika keinginannya tidak terpenuhi.

“AB mungkin akan berteriak atau bahkan mendorong meja atau kursi jika keinginannya tidak terpenuhi. Bu Suci menjelaskan, "Ada kalanya saya harus berbicara dengannya di luar kelas dan mendekatinya secara perlahan."

Tidak seperti AB, DY menunjukkan tanda-tanda gangguan internalisasi, termasuk menarik diri dari interaksi sosial, menghindari kontak mata, dan terlalu banyak diam. Bu Ana memperhatikan bahwa ketika teman-temannya bermain atau terlibat dalam kegiatan kelompok, DY sering kali tampak berpikir.

“DY itu anaknya pendiam sekali. Kalau saya tidak mendekatinya duluan, dia hampir tidak pernah berbicara. Kadang saya harus duduk di sampingnya cukup lama sebelum dia bersedia mengerjakan tugas,” ujar Bu Ana.

AR menunjukkan gabungan gejala internalisasi dan eksternalisasi. Ia bisa tiba-tiba menjadi sangat aktif dan gaduh di kelas, namun di waktu lain menunjukkan sikap menarik diri. Bu Putri menyebut AR sebagai anak yang "moody" dan tidak stabil dalam emosi.

“AR kadang sangat semangat, tapi tiba-tiba bisa ngambek dan menolak berpartisipasi. Dia sering menumpahkan alat tulisnya sendiri jika merasa frustrasi,” ujar Bu Putri.

Berdasarkan hasil observasi dan wawancara dengan guru kelas (Bu Suci, Bu Ana, dan Bu Putri), diketahui bahwa peserta didik yang mengalami gangguan emosi dan perilaku menunjukkan beberapa bentuk perilaku yang menyimpang dari perilaku umum teman sebayanya. Ini termasuk menunjukkan agresi verbal dan fisik, seperti memukul atau berteriak pada teman, menarik diri dari kelompok (tidak ingin bermain dengan teman), dan mudah menangis atau mengamuk yang tidak terkendali. Dalam hal ini, AB dan DY sering menangis di kelas, terutama ketika diberi tugas yang sulit. AR, di sisi lain, sering terlibat dalam perilaku destruktif seperti melempar benda dan menolak tempat duduk.

Menurut Mash & Wolfe [4], gangguan emosional adalah keadaan emosional yang memengaruhi kemampuan anak untuk belajar atau berinteraksi dengan orang lain di kelas. Di sisi lain, perilaku yang melanggar aturan atau norma kelas merupakan indikasi gangguan perilaku. Menurut temuan lapangan, ketiga siswa menunjukkan tingkat gangguan emosional dan perilaku yang berbeda. Ini mendukung teori Kauffman & Landrum [5] bahwa anak-anak dengan gangguan emosional dan perilaku sering menunjukkan berbagai macam perilaku, mulai dari agresi hingga penarikan diri.

B.Karakteristik Perilaku Peserta Didik yang Mengalami Gangguan Emosi dan Perilaku

Karakteristik perilaku yang ditunjukkan oleh ketiga peserta didik menunjukkan adanya perbedaan pola dan frekuensi gangguan, yang dapat dikategorikan sebagai perilaku menyimpang dari norma kelas dan sosial, baik dalam konteks emosional maupun perilaku.

AB memiliki karakteristik mudah tersulut emosi, tidak mampu menunda keinginan, serta kesulitan menerima aturan. Ia juga tampak sulit bekerja dalam kelompok dan sering mendominasi teman. Dalam catatan observasi, AB pernah terlihat melempar buku ketika diminta mengerjakan tugas yang tidak ia sukai.

“AB bisa sangat keras kepala. Kadang dia enggan masuk kelas kalau sedang marah atau merasa tidak dimengerti. Tapi dia bisa juga sangat aktif kalau sedang senang,” kata Bu Suci.

DY, memiliki karakteristik menarik diri, enggan berbicara, dan mudah cemas dalam situasi sosial. Ia jarang menunjukkan inisiatif dalam kegiatan belajar dan lebih sering pasif, bahkan ketika diajak diskusi.

“Kalau DY merasa tidak bisa, dia langsung diam dan terkadang berkaca-kaca matanya. Ia tidak pernah marah, tapi juga tidak pernah meminta bantuan,” jelas Bu Ana.

AR menunjukkan karakteristik emosi yang tidak stabil, impulsif, dan kesulitan menjaga fokus. AR sering berpindah aktivitas sebelum menyelesaikannya dan bisa merasa sangat sedih jika tidak mendapat perhatian.

“AR sangat bergantung pada perhatian saya. Kalau saya sibuk dengan anak lain, dia langsung menunjukkan perilaku negatif, misalnya menyobek kertasnya sendiri atau merengek ingin pulang,” ucap Bu Putri.

Di Sekolah Dasar Negeri Teluk Pandan, siswa kelas satu dengan gangguan emosi dan perilaku menunjukkan karakteristik perilaku yang menunjukkan masalah dalam pengendalian impuls, regulasi emosi, dan adaptasi sosial. Misalnya, DY menunjukkan ketidakmampuan mengendalikan emosinya ketika alat tulisnya dicuri teman, dan AB lebih suka duduk sendiri bahkan ketika guru membentuk kelompok belajar. Lebih lanjut, bahkan ketika guru hanya memberikan koreksi kecil, AR sering kali berperilaku eksplosif.

Hallahan & Kauffman [6] menyatakan bahwa reaksi emosional yang berlebihan terhadap rangsangan sepele, kesulitan membentuk hubungan interpersonal, dan perilaku yang tidak sesuai situasi merupakan tanda-tanda siswa dengan gangguan emosi dan perilaku. Dalam hal ini, instruktur juga memperhatikan bahwa siswa dengan gangguan mengalami kesulitan fokus pada tugas, mudah teralihkan, dan cenderung mengabaikan instruksi. Bapak Ansar, kepala sekolah, mengonfirmasi hal ini dengan mengamati bahwa anak-anak ini cenderung memiliki "ketahanan emosional yang sangat rendah."

C.Faktor-Faktor yang Memengaruhi Munculnya Gangguan Emosi dan Perilaku

Berdasarkan hasil wawancara mendalam dengan guru dan orang tua, ditemukan sejumlah faktor yang diduga menjadi penyebab atau pemicu gangguan emosi dan perilaku pada peserta didik, antara lain:

1.Faktor Keluarga

a.Kurangnya kedekatan emosional dengan orang tua menjadi salah satu faktor yang memengaruhi perilaku AB. Menurut pengakuan Ibu Intan, AB lebih banyak diasuh oleh neneknya karena kedua orang tuanya bekerja.

“Saya dan suami pulang malam, jadi AB lebih sering sama neneknya. Mungkin dia merasa tidak cukup waktu bersama kami,” ujar Ibu Intan.

b.DY berasal dari keluarga yang tergolong tertutup. Ibu Riska menyebutkan bahwa DY jarang bermain dengan anak-anak di lingkungan rumah, lebih sering bermain sendiri dengan boneka atau menggambar.

“Dia memang anaknya pendiam sejak kecil. Di rumah juga tidak suka main di luar, lebih sering di kamar,” jelas Ibu Riska.

2.Faktor Sekolah

AR merasa tertekan saat lingkungan kelas terlalu ramai atau menuntut interaksi sosial yang intens. Dari pengamatan peneliti, AR tampak kewalahan saat harus mengikuti diskusi kelompok.

“Kalau suasana kelas gaduh, AR suka menutup telinganya sendiri. Saya harus menenangkannya dulu sebelum dia bisa fokus lagi,” kata Bu Putri.

3.Faktor Individu (Personal)

Siswa ketiga menunjukkan variasi dalam regulasi emosi dan keterampilan menghadapi stres. AR kesulitan mengendalikan emosinya, DY cenderung menarik diri, dan AB menunjukkan kecenderungan agresif. Hal ini menunjukkan bahwa intervensi sosial-emosional khusus diperlukan.

Berbagai faktor yang berkontribusi terhadap perkembangan gangguan emosional dan perilaku pada siswa-siswa ini diidentifikasi melalui wawancara mendalam dengan orang tua siswa (Ibu Wahid, Ibu Riska, dan Ibu Intan). Faktor-faktor ini meliputi tunawisma (perceraian, konflik rumah tangga), pola asuh permisif atau otoriter, dan masalah keluarga seperti kurangnya waktu bersama anak-anak mereka. Misalnya, AR tinggal bersama neneknya dan jarang mendapatkan perlakuan khusus di rumah karena orang tuanya sedang berada di luar kota.Hal ini sesuai dengan teori perkembangan ekologis Bronfenbrenner, yang menjelaskan bagaimana interaksi antara faktor keluarga, sekolah, dan individu memengaruhi perilaku anak.

Mash & Wolfe [4] menyatakan bahwa faktor biologis, psikologis, atau sosial dapat menjadi penyebab gangguan emosional dan perilaku. Faktor psikososial, seperti pola komunikasi keluarga, pengalaman traumatis, dan kemiskinan atau tekanan ekonomi, memiliki dampak yang signifikan terhadap masalah perilaku anak. Para guru di Sekolah Dasar Negeri Teluk Pandan menyatakan bahwa beberapa siswa menunjukkan tanda-tanda kurang tidur, tampak kelelahan, dan kurang sarapan, yang semuanya memengaruhi suasana hati dan kemampuan mereka untuk fokus.

D.Strategi yang Digunakan Guru dan Orang Tua dalam Mengidentifikasi dan Menangani Gangguan

Strategi yang digunakan oleh guru dan orang tua meliputi pendekatan preventif, kuratif, dan kolaboratif.

1.Strategi dari Guru

a.Pendekatan personal dilakukan oleh ketiga guru dengan cara mengenali lebih dekat kondisi emosi dan perilaku setiap anak. Guru mencoba berkomunikasi satu-satu, menenangkan siswa saat tantrum, dan memberikan penguatan positif melalui pujian dan reward.

“Saya biasanya dekatkan dulu secara fisik. Duduk di sebelah mereka, dan ajak bicara perlahan,” kata Bu Ana.

b.Guru juga menerapkan pengelolaan kelas yang fleksibel. Misalnya, memberikan waktu istirahat tambahan untuk AB atau memberikan DY tugas yang bisa dikerjakan tanpa harus tampil di depan kelas.

c.Guru mencatat perilaku siswa setiap hari dan melaporkannya kepada orang tua secara berkala.

2. Strategi dari Orang Tua

a.Ibu Intan mulai meluangkan waktu di malam hari untuk bercerita dengan AB dan membacakan buku cerita.

“Kami mulai bikin rutinitas malam sebelum tidur. Biar AB lebih tenang dan merasa diperhatikan.”

b.Ibu Riska mulai mendorong DY untuk ikut kegiatan luar rumah seperti les menggambar, meskipun hanya seminggu sekali.

c.Bapak Wahid, ayah AR, mengaku telah membawa anaknya ke psikolog anak di Sangatta untuk konsultasi lanjutan setelah mendapat laporan dari guru.

3.Kolaborasi Guru dan Orang Tua

Semua guru menyatakan pentingnya kerja sama dengan orang tua. Grup WhatsApp kelas menjadi sarana komunikasi aktif. Guru rutin mengirim foto aktivitas anak, dan orang tua memberikan umpan balik. Selain itu, sekolah juga membuka ruang konsultasi bulanan yang diinisiasi oleh kepala sekolah, Bapak Ansar.

“Kami ingin guru dan orang tua saling terbuka. Kalau hanya mengandalkan sekolah, tidak akan cukup. Maka setiap bulan kami adakan sesi refleksi perkembangan anak,” kata Bapak Ansar.

Para guru di Sekolah Dasar Negeri Teluk Pandan menerapkan pendekatan humanis yang mempertimbangkan kondisi khusus setiap anak ketika mengidentifikasi dan membantu siswa dengan gangguan emosional dan perilaku. Pendekatan ini mencakup kolaborasi erat dengan orang tua melalui pesan teks dan pertemuan tatap muka, mendokumentasikan kejadian tertentu, dan menerapkan modifikasi perilaku untuk anak setiap hari.

Selain itu, para guru bekerja secara individual dengan setiap siswa, memberikan tugas-tugas mudah kepada mereka, dan mendorong ekspresi positif melalui bermain peran, drama, dan menggambar. Taktik-taktik ini merupakan upaya guru untuk mengidentifikasi, menangani, dan membimbing anak-anak dengan lebih simpatik, meskipun belum dikodifikasikan ke dalam sistem intervensi tertulis. Hal ini mendukung pendapat Woolfolk [7] bahwa kesadaran akan kebutuhan emosional dan sosial siswa harus menjadi bagian dari strategi pembelajaran inklusif.

Selain itu, strategi identifikasi sangat terbantu oleh partisipasi orang tua dan kepala sekolah. Kepala sekolah berupaya menciptakan iklim sekolah yang memenuhi kebutuhan individu setiap siswa dan menyediakan konsultasi dengan guru-guru di distrik tersebut. Sementara itu, orang tua dihimbau untuk menyadari pentingnya komunikasi yang efektif dalam keluarga dan memberi penghargaan kepada anak-anak mereka atas perilaku baik setelah pulang sekolah. Diskusi ini menunjukkan bagaimana keterlibatan berbagai pemangku kepentingan, wawancara, dan observasi digunakan untuk mengidentifikasi gangguan emosional dan perilaku yang umum terjadi pada siswa kelas satu di Sekolah Dasar Negeri Teluk Pandan. Meskipun masih terdapat beberapa kekurangan, proses identifikasi yang dipimpin guru telah terbukti sangat berhasil dan merupakan titik awal yang penting untuk intervensi yang lebih ekstensif di masa mendatang.

Berdasarkan pada hasil tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan dari hasil observasi dan wawancara melalui tabel berikut ini:

No. Aspek Temuan Sumber Data
1 Bentuk Gangguan Emosi dan Perilaku a. Ditemukan perilaku menarik diri, menyendiri, menangis berlebihan, hingga marah tiba-tiba (emosional).b. Perilaku melawan aturan, memukul, berteriak, tidak mau duduk di tempat (perilaku destruktif). Observasi terhadap AB, DY, AR; Wawancara Guru (Bu Suci, Bu Ana, Bu Putri)
2 Karakteristik Perilaku Peserta Didik a. Peserta didik menunjukkan gejala perilaku tidak stabil: mudah tersinggung, susah diatur, sulit konsentrasi.Ada kesulitan beradaptasi sosial dan emosi, terutama dalam kegiatan kelompok atau saat instruksi guru. Observasi dan Wawancara Guru dan Kepala Sekolah (Bapak Ansar)
3 Faktor Penyebab Gangguan Emosi dan Perilaku a. Lingkungan keluarga kurang harmonis (perceraian, pola asuh otoriter).b. Kurangnya stimulasi sosial di rumah.c. Faktor biologis seperti kelelahan atau kurang istirahat.d. Minimnya kemampuan komunikasi anak. Wawancara Orang Tua (Ibu Intan, Ibu Riska, Bapak Wahid) dan Guru Kelas
4 Strategi Intervensi Guru dan Orang Tua a. Guru melakukan pendekatan individual, mengajak anak berbicara, memberi tanggung jawab ringan.b. Guru berkoordinasi dengan orang tua secara intens.c. Orang tua mencoba mengatur waktu bermain dan pola komunikasi di rumah.d. Strategi belum sistematis, masih bersifat spontan dan intuitif. Wawancara Guru, Orang Tua, dan Kepala Sekolah
Table 1. Penarikan Kesimpulan dari Hasil Observasi dan wawancara

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di kelas 1 SD Negeri Teluk Pandan, dapat disimpulkan bahwa ada beberapa peserta didik yang menunjukkan gangguan emosi dan perilaku. Gangguan tersebut terlihat dalam bentuk perilaku seperti mudah marah, suka menangis, menarik diri dari teman, sulit diatur, dan kadang bersikap agresif. Setiap anak menunjukkan perilaku yang berbeda, tergantung situasi dan kondisi yang mereka alami. Siswa dengan gangguan ini cenderung terlalu sulit untuk mengendalikan emosi, karena mereka cenderung tidak mampu berinteraksi dengan teman sebayanya, tetapi terlalu cemas atau marah. Mereka mungkin juga sulit berkonsentrasi apa pun saat belajar, atau patuh dengan aturan kelas. Seluruh sejumlah faktor sangat rupa yang dapat membuat anak mengalami masalah emosi dan perilaku mudah dan berat. Jam kerja orang tua yang sangat sibuk menyebabkan beberapa anak tidak canggih untuk memperhatikan teman sebaya.Menurut wawancara dengan guru dan orang tua. Beberapa anak dibesarkan di rumah tangga yang minim kasih sayang atau interaksi dengan orang lain. Sikap dan emosi mereka di sekolah pun terpengaruh oleh hal ini. Para guru di Sekolah Dasar Negeri Teluk Pandan telah berupaya mengenali masalah-masalah ini dan menanganinya dengan sabar dan bijaksana. Mereka tetap berhubungan dengan orang tua, mengawasi anak-anak setiap hari, dan mencatat setiap perubahan perilaku mereka. Mereka juga memberikan lebih banyak perhatian kepada anak-anak dan menyesuaikan metode pengajaran mereka agar mereka merasa lebih nyaman di kelas. Meskipun kurikulum tertulis belum ada, upaya para guru menunjukkan bahwa mereka sungguh-sungguh peduli terhadap kesejahteraan siswa. Di Sekolah Dasar Negeri Teluk Pandan, para guru kelas satu telah menangani gangguan emosional dan perilaku secara langsung dan bertahap. Proses guru merupakan langkah awal yang baik dalam memahami kebutuhan anak-anak dan menciptakan lingkungan belajar yang lebih ramah bagi semua siswa, meskipun masih ada keterbatasan, seperti waktu observasi yang terbatas dan kurangnya intervensi tambahan. Oleh karena itu, sekolah didorong untuk secara rutin melatih guru dalam teknik modifikasi perilaku, strategi manajemen kelas yang inklusif, dan metode konseling fundamental bagi anak-anak dengan gangguan emosi dan perilaku, selain memberikan dukungan umum. Sekolah juga dapat mempertimbangkan program intervensi khusus, seperti pelatihan keterampilan sosial, pendampingan sebaya, dan kolaborasi dengan psikolog anak, untuk memberikan bantuan yang lebih profesional. Dengan melakukan tindakan-tindakan bermanfaat ini, proses identifikasi dapat dilanjutkan dengan upaya tindak lanjut yang lebih metodis dan terukur, alih-alih hanya berakhir pada tahap pengenalan. Pemahaman yang mendalam tentang gangguan emosi dan perilaku dalam konteks nyata kelas 1 di Sekolah Dasar Negeri Teluk Pandan dimungkinkan oleh kemampuan para peneliti untuk mengkaji pengalaman guru, orang tua, dan secara lebih rinci berkat penggunaan pendekatan kualitatif dan metode studi kasus dalam penelitian ini.

Ucapan Terima Kasih

Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan, bimbingan, dan bantuan dalam penyusunan penelitian ini sehingga dapat terselesaikan dengan baik.

References

W. Alekozay, J. D. Smith, and S. D’Souza, “Validity and utility of the Strengths and Difficulties Questionnaire (SDQ) in school settings,” School Psychology International, vol. 44, no. 1, pp. 56–72, 2023, doi: 10.1177/01430343221139233.

American Psychiatric Association, Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, 5th ed. Washington, DC: American Psychiatric Association, 2013.

N. A. Anggriana and W. Trisnani, “Educational services for children with special needs with emotional and behavioral disorders,” Indonesian Journal of Educational Research and Review (IJERR), vol. 3, no. 2, pp. 170–177, 2020, doi: 10.23887/ijerr.v3i2.26088.

F. Arriani et al., Guidelines for the Implementation of Inclusive Education. Jakarta, Indonesia: Badan Standar, Kurikulum, 2022.

D. H. Barlow and V. M. Durand, Abnormal Psychology: An Integrated Approach, 7th ed. Jakarta, Indonesia: Salemba Humanika, 2015.

F. M. Gresham and S. N. Elliott, Interventions for Children with Emotional and Behavioral Disorders: Strategies for Classroom and School Management. Jakarta, Indonesia: Guilford Press, 2017.

D. A. Haerudin and N. Sutarna, Development of Learners. Yogyakarta, Indonesia: Graha Ilmu, 2020.

D. P. Hallahan and J. M. Kauffman, Exceptional Learners: An Introduction to Special Education, 10th ed. Boston, MA: Allyn & Bacon, 2006.

D. P. Hallahan and J. M. Kauffman, Exceptional Learners: An Introduction to Special Education, 10th ed., transl. Jakarta, Indonesia: Erlangga, 2006.

X. Hong, L. Zhang, S. Wu, and J. Li, “Behavior problems reduce academic outcomes among elementary school students: Moderated mediation between parental burnout and self-compassion,” New Directions for Child and Adolescent Development, 2022, doi: 10.1002/cad.20482.

P. C. Kendall, Cognitive Therapy with Children and Adolescents: A Casebook for Clinical Practice, 3rd ed. New York, NY: Guilford Press, 2020.

E. A. Maharani and I. Puspitasari, “Detection of emotional and disruptive behavior disorders in preschool children,” Journal of Early Childhood Care and Education, vol. 2, no. 1, pp. 1–13, 2019, doi: 10.26555/jecce.v2i1.566.

E. J. Mash and D. A. Wolfe, Abnormal Child Psychology, 7th ed. Boston, MA: Cengage Learning, 2019.

M. B. Miles and A. M. Huberman, Qualitative Data Analysis: An Expanded Sourcebook, 2nd ed. Thousand Oaks, CA: Sage Publications, 1994.

A. Miraharsari and A. N. Hilmiyah, “Description of emotion regulation in children with emotional and behavioral disorders (tunalaras),” JUDIKHU: Jurnal Pendidikan Khusus, vol. 2, no. 2, 2023.

L. J. Moleong, Qualitative Research Methodology, revised ed. Bandung, Indonesia: Remaja Rosdakarya, 2017.

M. A. Mursid, Learning and Teaching in Early Childhood Education. Bandung, Indonesia: Remaja Rosdakarya, 2018.

M. Muslich, Curriculum and Learning. Jakarta, Indonesia: Bumi Aksara, 2014.

Nurkholis, “Definition of education: The process towards physical and mental maturity through experience and interaction,” Jurnal Kependidikan, vol. 1, no. 1, pp. 25–30, 2013.

M. O. Ogundele, “Behavioural and emotional disorders in childhood: A brief overview for paediatricians,” World Journal of Clinical Pediatrics, vol. 7, no. 1, pp. 9–26, 2018, doi: 10.5409/wjcp.v7.i1.9.

N. Oktaviarini et al., Development of Elementary School Learners. Jakarta, Indonesia: CV Cakrawala Satria Mandiri, 2023.

F. Ramadhani and S. Mulyani, “Educational service strategies for children with emotional and behavioral disorders in elementary schools,” Cendekia: Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran, vol. 18, no. 1, pp. 60–70, 2024. [Online]. Available: [https://prin.or.id/index.php/cendikia/article/view/2399](https://prin.or.id/index.php/cendikia/article/view/2399)

E. Rini, Education as a Process of Nation Character Building. Bandung, Indonesia: Alfabeta, 2013.

J. W. Santrock, Child Development, 15th ed. Jakarta, Indonesia: Salemba Humanika, 2020.

A. Siregar, S. Alim, and N. Hermita, “Identification of children with emotional and behavioral disorders (tunalaras) in elementary schools through a qualitative approach,” Jurnal Pendidikan dan Kewarganegaraan Indonesia, vol. 3, no. 1, pp. 45–52, 2023. [Online]. Available: [https://ejournal.aripi.or.id/index.php/jupenkei/article/view/176](https://ejournal.aripi.or.id/index.php/jupenkei/article/view/176)

Z. R. Smith, J. M. Langberg, C. N. Cusick, C. D. Green, and S. P. Becker, “Academic motivation deficits in adolescents with ADHD and their relation to academic functioning,” Journal of Abnormal Child Psychology, vol. 48, no. 2, pp. 237–249, 2020, doi: 10.1007/s10802-019-00601-x.

G. Sugai and R. H. Horner, “Sustaining and scaling positive behavioral interventions and supports: Implementation drivers, outcomes, and considerations,” Exceptional Children, vol. 86, no. 2, pp. 120–136, 2020, doi: 10.1177/0014402919855331.

G. Sugai and R. H. Horner, Positive Behavioral Support System. [Translated ed.]. [Publisher not identified], 2020.

Sugiyono, Educational Research Methods: Quantitative, Qualitative, and R&D Approaches. Bandung, Indonesia: Alfabeta, 2010.

H. Suparlan, “The educational philosophy of Ki Hadjar Dewantara and its contribution to Indonesian education,” Jurnal Filsafat, vol. 25, no. 1, pp. 56–74, 2016, doi: 10.22146/jf.12614.

A. Suyanto and B. Yuniarti, “The influence of foreign psychological measurement tools on the diagnosis of emotional and behavioral disorders in elementary schools,” in Proceedings of the National Seminar on Educational Psychology, Bandung, Indonesia: Universitas Pendidikan Indonesia, 2021, pp. 45–54.

I. M. Teguh, Characteristics of Learners. Jakarta, Indonesia: Perkumpulan Rumah Cemerlang Indonesia, 2022.

H. M. Walker, E. Ramsey, and F. M. Gresham, Antisocial Behavior in School: Evidence-Based Practices, 2nd ed. Belmont, CA: Wadsworth, 2014.

Warsah and Daheri, “[Article title on emotional disorders],” in [Book or Journal Title], pp. 104–105, 2021.

A. Woolfolk, Educational Psychology, 14th ed., transl. Jakarta, Indonesia: Indeks, 2021.

R. K. Yin, Case Study Research: Design and Methods, 5th ed., transl. H. Hermawan. Jakarta, Indonesia: Rajawali Pers, 2014. (Original: Sage Publications, 2014).