Santi Ningrum (1), Pujaningsih (2)
General Background: Inclusive education is mandated in Indonesia, yet many kindergarten teachers struggle with confidence in teaching children at risk of developmental disorders. Specific Background: At a state kindergarten in East Kutai, most teachers showed hesitation and low confidence in addressing delays in communication, social interaction, and challenging behavior. Knowledge gap: Prior research focused mainly on pedagogical skills, with limited attention to teachers’ self-belief in inclusive teaching. Aims: This study examined how learning communities support teachers’ confidence in educating children at risk of developmental disorders. Results: Using a two-cycle School Action Research design with eight teachers, data from questionnaires, observations, and interviews revealed significant improvement. Teachers’ self-efficacy rose from 62.1% (sufficient) at baseline to 76.7% (good) in cycle I and 88.8% (very good) in cycle II. Improvements included inclusive lesson planning, child behavior management, reflective practice, and collaboration. Novelty: Unlike previous studies emphasizing skills or knowledge, this research highlights collective learning as a means of strengthening teachers’ confidence and reflective capacity in inclusive settings. Implications: Sustainable integration of learning communities is recommended in early childhood teacher development to ensure readiness for inclusive classrooms.
Teachers’ confidence improved significantly through structured learning communities
Inclusive lesson planning and behavior management showed marked progress
Collaborative reflection proved essential for sustainable teacher development
Teacher Self-Efficacy, Kindergarten, Learning Communities, Inclusive Education, Developmental Disorders
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional [1] dan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif [2] secara resmi menyatakan bahwa Indonesia telah memiliki pendidikan inklusif. Kebijakan ini menunjukkan keseriusan pemerintah dalam memastikan semua anak memiliki akses pendidikan yang sama, bahkan anak berkebutuhan khusus atau berisiko mengalami gangguan perkembangan. Dalam praktiknya, masih banyak permasalahan dalam penerapan pendidikan inklusif pada pendidikan anak usia dini, khususnya Taman Kanak-kanak (TK). Salah satu permasalahan terbesarnya adalah guru dan orang lain yang bekerja dengan anak-anak belum dipersiapkan dengan baik dalam hal keterampilan mengajar dan rasa percaya diri ketika harus menghadapi anak-anak yang menunjukkan tanda-tanda keterlambatan atau perbedaan perkembangan [3]. Guru TK sangat penting dalam menjadikan kelas sebagai tempat belajar yang ramah, fleksibel, dan responsif yang memenuhi kebutuhan semua siswa. Namun, sebagian besar guru tidak memiliki pelatihan khusus yang dibutuhkan untuk menemukan, mengelola, dan membantu anak-anak yang berisiko mengalami gangguan perkembangan mencapai potensi penuh mereka. Keterbatasan ini diperparah oleh kurangnya fasilitas, media pembelajaran adaptif, atau staf profesional yang memadai untuk membantu mengatasi masalah teknis. Anak-anak dengan disabilitas perkembangan, seperti keterlambatan bicara, kesulitan fokus, kesulitan berinteraksi dengan orang lain, dan perilaku hiperaktif atau menarik diri, membutuhkan perhatian dan metode pembelajaran khusus agar dapat tumbuh dan berkembang sebaik mungkin [4], [5]. Jika mereka tidak mendapatkan perawatan yang tepat, mereka dapat mengalami kesulitan belajar di perguruan tinggi.
Tidak mendapatkan bantuan sejak dini dapat berdampak besar pada anak dan lingkungan belajar secara keseluruhan. Dari sisi anak, risiko yang muncul antara lain kesulitan akademik, rendahnya keterampilan sosial emosional, dan ketidakmampuan beradaptasi dengan lingkungan sekolah. Dari sudut pandang guru, kemampuan yang tidak memadai dalam mengelola siswa berkebutuhan khusus seringkali mengakibatkan beban psikologis seperti stres, ketidakpastian, dan kecenderungan untuk mengabaikan tanggung jawab atas pendidikan inklusif. Konsep efikasi diri berkaitan erat dengan kondisi ini. Ketika menghadapi tantangan di kelas, guru yang kurang efikasi diri cenderung pesimis, mudah menyerah, dan kurang kreatif. Di sisi lain, pendidik yang memiliki tingkat efikasi diri yang tinggi lebih bersedia mencoba hal-hal baru, menemukan jawaban, dan menunjukkan sikap positif terhadap siswa berkebutuhan khusus.
Sejumlah penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa efikasi diri merupakan faktor penting dalam mendukung keberhasilan guru mengelola kelas inklusif. Bandura (1997) [6] dan Tschannen-Moran & Woolfolk Hoy (2001) [7] menegaskan bahwa keyakinan diri guru memengaruhi cara mereka merancang, melaksanakan, dan mengevaluasi proses pembelajaran [8]. Studi yang dilakukan oleh Ningsih (2023) [9] di Malang memperlihatkan bahwa mayoritas guru TK merasa tidak percaya diri dalam merancang strategi pembelajaran untuk anak dengan risiko gangguan perkembangan. Rendahnya partisipasi guru dalam forum kelompok seperti komunitas belajar yang membahas praktik pendidikan inklusif juga ditemukan oleh Lestari (2022) [10] di Jakarta Timur. Hal ini menunjukkan adanya perbedaan yang mencolok antara kesiapan guru lapangan dan kebijakan pemerintah. Namun, studi Hendriana dan Kadir (2018) [11] menunjukkan bahwa pemahaman guru tentang kurikulum dan teknik pengajaran dapat ditingkatkan melalui keterlibatan mereka dalam forum profesional atau kelompok kerja. Namun, alih-alih berfokus pada aspek efikasi diri dalam menangani anak-anak yang berisiko mengalami gangguan perkembangan, studi ini berfokus pada penguasaan materi umum. Sementara komunitas belajar yang berani menjadi subjek studi lain oleh Dewi, Lestari, dan Setiawan (2023) [12], pengaruhnya dalam meningkatkan efikasi diri guru dalam konteks pendidikan inklusif pada pendidikan anak usia dini tidak diteliti secara menyeluruh. Dengan demikian, penelitian ini memiliki perbedaan utama karena tidak hanya menyoroti aspek peningkatan pengetahuan atau keterampilan pedagogis guru, tetapi secara khusus mengkaji dan memperkuat keyakinan diri (self-efficacy) mereka dalam mengajar anak dengan risiko gangguan perkembangan, suatu dimensi yang masih jarang diteliti secara mendalam dalam konteks PAUD.
Observasi awal di TK Negeri 2, Kecamatan Rantau Pulung, pada Februari 2025, menunjukkan gambaran yang jelas tentang masalah ini. Hanya satu dari delapan guru aktif yang merasa nyaman bekerja dengan siswa yang memiliki gejala autisme ringan, dan hanya dua di antaranya yang telah mendapatkan pelatihan pendidikan inklusif. Ketika dihadapkan dengan perilaku mengganggu anak-anak, seperti tantrum, agresi, dan kesulitan mengikuti arahan, mayoritas guru terus menunjukkan rasa takut, cemas, dan kebingungan. Sebanyak 52 siswa di sekolah tersebut mengisi Kuesioner Pra-Skrining Perkembangan (KPSP) [13], dan hasilnya menunjukkan bahwa tiga anak (6%) dan sembilan anak (17%) masing-masing dilabeli sebagai "menyimpang" dan "diragukan". Tanpa adaptasi strategi pembelajaran yang tepat, anak-anak ini terus mengikuti kelas reguler, yang memberikan beban lebih besar pada guru dan menghambat perkembangan kompetensi anak-anak.
Mengingat situasi ini, jelaslah bahwa kita perlu segera membantu para guru merasa lebih percaya diri dengan kemampuan mereka. Pembentukan komunitas belajar di lingkungan pendidikan merupakan taktik yang relevan dan berkelanjutan. Guru dapat bekerja sama, bertukar pengalaman, dan membahas kesulitan yang mereka hadapi dalam komunitas belajar. Komunitas belajar juga merupakan tempat bagi para pendidik untuk memperluas pengetahuan, mempertajam pemikiran kritis, dan meningkatkan harga diri mereka. Guru yang bekerja sama mendapatkan dukungan sosial dan emosional yang mereka butuhkan untuk menghadapi kesulitan yang muncul dalam pendidikan inklusif. Dengan adanya komunitas belajar, diharapkan guru TK Negeri 2 Kecamatan Rantau Pulung dapat lebih siap, percaya diri, dan kompeten dalam melaksanakan pembelajaran inklusif, sehingga mampu memenuhi kebutuhan semua anak secara adil dan setara [14].
Metode penelitian ini menggunakan pendekatan Penelitian Tindakan Sekolah (School Action Research) dengan model kolaboratif yang berfokus pada pemecahan masalah nyata yang dihadapi guru TK dalam mendidik anak dengan risiko gangguan perkembangan melalui intervensi komunitas belajar. Desain penelitian mengacu pada model siklus Kemmis dan McTaggart yang meliputi tahapan perencanaan, tindakan, observasi, dan refleksi, yang berlangsung secara berulang untuk memastikan adanya peningkatan berkelanjutan [15]. Pada tahap perencanaan dilakukan identifikasi masalah, perumusan tujuan yang SMART, serta penyusunan rencana aksi yang relevan dengan kebutuhan guru. Tahap tindakan mencakup pelaksanaan kegiatan komunitas belajar berupa diskusi, praktik interaktif, hingga simulasi pembelajaran inklusif. Selanjutnya, tahap observasi dilakukan untuk memantau keterlibatan guru, dinamika komunitas, serta perubahan perilaku maupun keterampilan yang muncul, sedangkan tahap refleksi melibatkan analisis kritis bersama guru untuk menilai efektivitas, faktor pendukung maupun penghambat, serta langkah perbaikan pada siklus berikutnya [7], [6], [11], [12]. Dengan pendekatan ini, penelitian diharapkan mampu meningkatkan efikasi diri guru secara sistematis, terstruktur, dan adaptif, sehingga hasilnya terinternalisasi dalam praktik pengajaran inklusif di TK.
Figure 1. Desain Penelitian Tindakan Sekolah
Penelitian ditempatkan di TK Negeri 2 Kecamatan Rantau Pulung, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur, yang merupakan lembaga PAUD di bawah Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kutai Timur, dengan karakteristik siswa yang beragam dan beberapa menunjukkan indikasi keterlambatan perkembangan. Subjek penelitian adalah delapan guru TK dengan latar belakang pendidikan minimal SMA hingga S1 PAUD, lama mengajar 3–18 tahun, serta pengalaman menangani anak dengan risiko gangguan perkembangan 1–5 tahun. Meskipun berpartisipasi aktif dalam komunitas pembelajaran, sebagian besar guru belum memiliki pelatihan inklusif yang komprehensif. Pada Siklus I, prinsip-prinsip efikasi diri dan pembelajaran inklusif diperkenalkan melalui studi kasus, diskusi, sosialisasi, dan pengajaran mikro. Pada Siklus II, praktik mengajar diperkuat menggunakan strategi inklusif berbasis pengajaran sebaya, lokakarya media, refleksi, kolaborasi, dan evaluasi tindak lanjut. Instrumen berdasarkan teori efikasi diri Bandura [6] digunakan untuk mengumpulkan data melalui observasi, wawancara, kuesioner, dan teknik dokumentasi. Perencanaan, pengorganisasian, implementasi, penanggulangan tantangan, pencapaian tujuan, dan fungsi komunitas belajar merupakan beberapa topik yang dibahas. Contoh item kuesioner antara lain "Saya percaya diri dalam menangani tantrum anak di kelas" dan "Saya merasa mampu merencanakan pembelajaran yang memenuhi kebutuhan anak-anak yang berisiko mengalami disabilitas perkembangan." Efikasi diri guru mudah dinilai karena setiap pernyataan dinilai menggunakan skala Likert 1 hingga 5 (sangat tidak setuju–sangat setuju). Analisis data dilakukan secara kualitatif dengan model Miles & Huberman [16] melalui reduksi data, penyajian, penarikan kesimpulan dan verifikasi dan secara kuantitatif deskriptif untuk menghitung skor efikasi diri dengan rumus persentase dari Purwanto [17]. Kriteria keberhasilan ditetapkan apabila minimal 80% guru menunjukkan keterlibatan aktif dalam komunitas belajar, mampu menerapkan strategi inklusif, mengelola perilaku anak, melakukan refleksi, serta mengalami peningkatan skor observasi dan wawancara hingga kategori “baik”. Untuk menjaga validitas, digunakan triangulasi sumber dan metode, serta member check. Penelitian juga memperhatikan etika penelitian dengan informed consent, persetujuan sekolah, dan kerahasiaan identitas partisipan. Dengan kombinasi pendekatan kualitatif dan kuantitatif deskriptif ini, penelitian diharapkan mampu memberikan gambaran komprehensif tentang efektivitas komunitas belajar dalam meningkatkan efikasi diri guru TK dalam konteks pembelajaran inklusif [6], [7], [11], [12].
1. Gambaran Umum Subjek dan Kondisi Awal
Penelitian dilaksanakan di TK Negeri 2 Kecamatan Rantau Pulung, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur, dengan melibatkan 8 guru yang tergabung dalam komunitas belajar bernama Lingkar Belajar Guru. Para partisipan berusia antara 26–58 tahun dengan pengalaman mengajar 3–18 tahun, mayoritas berlatar belakang pendidikan S1 PAUD (6 orang lulusan, 2 sedang menempuh studi). Seluruh guru memiliki pengalaman menangani anak dengan risiko gangguan perkembangan, seperti keterlambatan bicara, tantrum berulang, dan kesulitan interaksi sosial. Komunitas belajar yang dibentuk secara kolaboratif antara kepala sekolah dan guru dilaksanakan dua kali sebulan selama 60 menit setelah jam pelajaran, difasilitasi oleh koordinator kurikulum, dengan fokus pada pembahasan kasus, berbagi strategi adaptif, dan refleksi bersama. Sebelum tindakan dilakukan, peneliti melaksanakan observasi dan wawancara untuk mengetahui tingkat efikasi diri guru. Hasil pengumpulan data awal menunjukkan:
a) Rata-rata skor efikasi diri guru : 62,1% (kategori cukup).
b) Guru cenderung pasif dalam diskusi pedagogis.
c) Strategi pembelajaran belum menyentuh kebutuhan anak dengan resiko gangguan perkembangan.
d) Tidak ada forum refleksi bersama.
Indikator efikasi diri guru yang diamati mencakup:
a) Keterlibatan aktif dalam komunitas belajar.
b) Penerapan strategi pembelajaran inklusif.
c) Kemampuan mengelola perilaku anak.
d) Refleksi terhadap praktik pembelajaran
2. Siklus 1
Pada tahap perencanaan, hasil pre-test dan wawancara awal menunjukkan bahwa efikasi diri guru masih rendah, terutama dalam kemampuan mengidentifikasi anak dengan risiko gangguan perkembangan. Oleh karena itu, disusun program komunitas belajar yang dilaksanakan dalam empat pertemuan dengan fokus utama pada pemahaman tentang gangguan perkembangan anak usia dini, strategi pembelajaran dan penyesuaian kurikulum, latihan pengelolaan perilaku serta komunikasi suportif, dan refleksi pembelajaran berbasis pengalaman guru. Tujuan perencanaan ini adalah untuk memberikan landasan yang dibutuhkan para pendidik agar lebih berpengetahuan dan percaya diri dalam memimpin kelas inklusif. Dua pertemuan tatap muka diadakan pada tanggal 17 Maret 2025 dan 26 Maret 2025 untuk melaksanakan fase tindakan. Setiap guru berpartisipasi penuh dalam kegiatan komunitas belajar yang dipimpin secara kooperatif. Sesi pertama sebagian besar berisi diskusi interaktif, presentasi materi dasar, dan guru berbagi pengalaman mereka dalam menangani faktor risiko perkembangan anak. Sesi kedua membahas cara menggunakan video kasus dan permainan peran untuk melatih observasi. Guru juga diberi tugas individu untuk mengamati satu siswa di kelas mereka yang menunjukkan tanda-tanda perilaku berisiko dan menuliskan apa yang mereka lihat menggunakan aturan yang telah disusun selama fase ini.
Observasi Siklus I menunjukkan bahwa guru sangat terlibat dalam pekerjaan mereka. Selama latihan observasi, guru bersemangat, mengajukan pertanyaan, dan berbagi studi kasus dari pengalaman mereka sendiri. Walaupun masih terdapat keraguan dalam membedakan perilaku biasa dengan indikasi khusus yang memerlukan perhatian, kesadaran guru terhadap pentingnya observasi sistematis mulai meningkat. Kondisi ini menunjukkan adanya perubahan positif dalam cara pandang guru terhadap anak-anak berisiko, meskipun diperlukan penguatan lebih lanjut pada siklus berikutnya untuk memperdalam pemahaman dan meningkatkan konsistensi praktik.
Hasil observasi pada Siklus I menunjukkan adanya peningkatan efikasi diri guru dibandingkan kondisi awal. Skor rata-rata keseluruhan meningkat dari 62,1% (kategori mampu) menjadi 76,7%. Komunitas belajar memiliki indikator tertinggi (81,7%), sementara pencapaian tujuan pembelajaran memiliki indikator terendah (70,8%). Hal ini menunjukkan bahwa para pendidik secara aktif bereksperimen dengan pendekatan-pendekatan baru dalam merancang, menerapkan, dan mengawasi kelas inklusif, meskipun implementasinya masih terbatas pada prosedur-prosedur permukaan. Meskipun pencapaian ini patut dicatat sebagai langkah awal, tingkat keberhasilannya belum mencapai 80%.
Refleksi bersama para guru menunjukkan bahwa kepercayaan diri mereka dalam mengamati dan mengenali potensi risiko terhadap perkembangan anak telah tumbuh berkat keterlibatan mereka dalam komunitas pembelajaran. Meskipun kepercayaan diri mereka dalam menerapkan langkah-langkah pedagogis yang lebih terarah masih rendah, kesadaran guru akan keberadaan anak-anak yang berisiko juga telah tumbuh secara signifikan. Para guru menekankan perlunya intervensi strategis yang lebih mendalam, terutama dalam bentuk contoh nyata pembelajaran yang diadaptasi dan dapat diterapkan di kelas. Temuan ini menjadi dasar penting untuk memperkuat rancangan tindakan pada Siklus II.
3. Siklus 2
Pada perencanaan tindakan, fokus diarahkan pada strategi praktis yang dapat langsung diimplementasikan di kelas, meliputi perancangan kegiatan bermain adaptif-diferensiatif serta teknik komunikasi positif untuk menghadapi perilaku menantang. Tindakan dilakukan melalui dua sesi komunitas belajar (16 dan 24 April 2025). Sesi pertama berisi sharing hasil observasi dan diskusi kasus yang lebih mendalam, sedangkan sesi kedua berupa workshop interaktif dan role-play dengan skenario nyata. Para guru diminta untuk menerapkan setidaknya satu metode mengajar baru di kelas mereka dan membuat catatan singkat tentang bagaimana metode tersebut berjalan. Berdasarkan pengamatan saya, keterlibatan guru meningkat pesat. Mereka lebih siap untuk membahas masalah-masalah spesifik, berbagi pengalaman mereka sendiri, dan menunjukkan inisiatif dengan membagikan teknik-teknik adaptif yang telah mereka pelajari. Lingkungan komunitas belajar menjadi lebih kooperatif dan suportif dibandingkan siklus pertama. Hal ini menunjukkan peningkatan yang signifikan dalam hal keberanian, kepercayaan diri, dan kemampuan guru untuk melibatkan semua orang.
Pada observasi Siklus II, skor rata-rata untuk semua indikator efikasi diri guru adalah 88,8%, lebih tinggi dari ambang batas keberhasilan ≥ 80%. Ini berarti semua indikator menunjukkan peningkatan yang signifikan. Skor tertinggi diraih oleh peran komunitas belajar dan perencanaan pembelajaran (90,0%), diikuti oleh pelaksanaan pembelajaran (88,1%) dan keterampilan pemecahan masalah (89,2%). Ini berarti guru tidak hanya menguasai hal-hal tersebut, tetapi juga menerapkannya di kelas untuk membantu semua orang belajar..
Refleksi mengungkapkan bahwa para guru merasa lebih nyaman mengubah strategi pengajaran mereka dan mengamati peningkatan pada anak-anak, seperti berkurangnya perilaku sulit dan peningkatan fokus. Para guru juga menyadari betapa pentingnya menerapkan strategi secara konsisten untuk mempertahankan kemajuan. Namun, mereka menemukan bahwa pemahaman yang lebih baik tentang proses rujukan dan kerja sama yang lebih erat dengan orang tua diperlukan di area-area yang perlu ditingkatkan.
4. Analisis Perbandingan Seluruh Siklus
Berdasarkan hasil pengolahan data efikasi diri guru yang diukur melalui angket dan lembar observasi, terjadi peningkatan skor yang signifikan dari tahap awal ke siklus pertama serta kemudian ke siklus kedua.
Hasil analisis perbandingan kuantitatif menunjukkan adanya peningkatan signifikan pada efikasi diri guru dari kondisi awal hingga siklus kedua. Rata-rata skor efikasi diri guru pada kondisi awal adalah 447, atau 62,1%, yang berada dalam rentang "cukup". Setelah intervensi komunitas belajar Siklus I, skornya naik menjadi 552 atau 76,7%, yang dianggap "baik." Meskipun masih terbatas pada teknik-teknik dasar, peningkatan sebesar 14,6% ini menunjukkan bahwa intervensi awal berhasil meningkatkan kesadaran dan kepercayaan diri guru dalam menciptakan dan menerapkan pembelajaran inklusif. Peningkatan signifikan diamati pada Siklus II, dengan skor rata-rata naik menjadi 639, atau 88,8%, yang dianggap "sangat baik." Peningkatan sebesar 12,1% dari Siklus I ini menunjukkan bahwa sikap, keyakinan, dan kompetensi guru secara signifikan dipengaruhi oleh partisipasi mereka yang sering dalam komunitas belajar serta oleh teknik refleksi dan penguatan. Selain memiliki pemahaman yang kuat tentang ide-ide tersebut, guru secara teratur menggunakan metode pengajaran adaptif di kelas.
Jika dilihat secara keseluruhan, dari kondisi awal ke Siklus II terdapat peningkatan total sebesar 26,7%, yang berarti intervensi komunitas belajar mampu mengubah efikasi diri guru dari kategori “cukup” menjadi “sangat baik”. Perubahan ini tidak hanya terlihat dalam angka, tetapi juga tercermin dari keberanian guru untuk mengelola kelas inklusif, mengadaptasi strategi pembelajaran, serta menunjukkan keterbukaan dalam berbagi pengalaman dan mencari solusi bersama. Dengan demikian, komunitas belajar terbukti menjadi sarana efektif untuk memperkuat keyakinan diri guru dalam menghadapi anak dengan risiko gangguan perkembangan [18], [19]. Hasil ini menegaskan bahwa proses pembelajaran kolaboratif, reflektif, dan berkesinambungan merupakan kunci untuk meningkatkan efikasi diri guru, sekaligus mendukung terlaksananya pendidikan inklusif di tingkat pendidikan anak usia dini secara lebih optimal [20].
Dapat juga dilihat dari diagram perbandingan berikut ini:
Figure 2. Perbandingan Hasil Keseluruhan
Grafik di atas menunjukkan adanya peningkatan rata-rata skor efikasi diri guru dari kondisi awal, siklus I, hingga siklus II. Pada kondisi awal, skor rata-rata sebesar 447 atau 62,1% masih berada dalam kategori cukup, yang menggambarkan rendahnya keyakinan diri guru dalam melaksanakan pembelajaran inklusif. Setelah dilakukan intervensi melalui komunitas belajar pada siklus I, skor meningkat menjadi 552 atau 76,7% dengan kategori baik, menandakan guru mulai mengalami kemajuan dalam keterampilan perencanaan, pelaksanaan, dan refleksi pembelajaran meskipun masih terbatas pada praktik dasar. Pada siklus II, skor kembali naik secara signifikan menjadi 639 atau 88,8% dengan kategori sangat baik, menunjukkan bahwa guru tidak hanya memahami konsep tetapi juga telah mampu mengimplementasikan strategi inklusif secara konsisten di kelas. Peningkatan total sebesar 26,7% dari kondisi awal hingga siklus II menegaskan bahwa komunitas belajar efektif dalam memperkuat efikasi diri guru, baik dari aspek perencanaan, pengelolaan perilaku anak, maupun keberanian untuk mencoba pendekatan pembelajaran yang adaptif.
Penelitian tindakan ini bertujuan untuk meningkatkan efikasi diri guru TK dalam mendidik anak-anak yang berisiko mengalami gangguan perkembangan melalui keterlibatan dalam komunitas belajar. Penelitian yang dilaksanakan di TK Negeri 2 Kecamatan Rantau Pulung ini dilakukan dalam dua siklus dengan rangkaian perencanaan, tindakan, observasi, dan refleksi. Hasil pengamatan, wawancara, serta pengukuran efikasi diri menunjukkan adanya peningkatan yang konsisten pada aspek kepercayaan diri, penguasaan strategi pembelajaran inklusif, dan kemampuan mengelola perilaku anak [21], [22]. Pada siklus pertama, guru masih enggan bekerja dengan siswa berkebutuhan khusus. Metode pengajaran mereka konsisten dan tidak terdiferensiasi, dan mereka cenderung menjadi anggota pasif dalam komunitas belajar. Namun, siklus kedua menunjukkan perubahan penting setelah periode refleksi dan pengarahan. Guru mulai memperoleh kepercayaan diri, keberanian untuk mengembangkan metode pengajaran yang fleksibel, dan keinginan untuk berbagi pengalaman [20]. Peningkatan ini tercermin dalam skor efikasi diri, yang meningkat dari 62,1% (cukup) di awal menjadi 76,7% (baik) di siklus pertama dan 88,8% (sangat baik) di siklus kedua.
Efikasi diri guru telah meningkat, menurut sejumlah indikator. Pertama, lebih banyak orang yang berpartisipasi aktif dalam komunitas belajar. Pada awalnya, guru cenderung pasif, tetapi di siklus selanjutnya, mereka mulai bertanya, berbagi pengalaman dengan rekan sejawat, dan berbagi praktik terbaik. Sesuai dengan teori Bandura [6], yang menyoroti bahwa efikasi diri terbentuk melalui pengalaman perwakilan, pengalaman langsung, persuasi sosial, dan keadaan fisiologis-emosional, komunitas belajar berkembang menjadi ruang aman bagi guru untuk berbagi pengetahuan dan praktik. Kedua, ada peningkatan dalam strategi implementasi inklusif. Para guru telah mulai mengubah rencana pembelajaran, media yang mereka gunakan untuk mengajar, dan cara mereka mengajar agar lebih memenuhi kebutuhan siswa. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat memahami betapa pentingnya menggunakan metode yang dipersonalisasi bagi anak-anak yang berisiko mengalami disabilitas. Selain itu, para guru kini dapat lebih mengontrol perilaku siswa mereka. Guru mampu mengendalikan emosi mereka saat menangani amukan, hiperaktif, atau penarikan diri, dan mereka telah mulai menggunakan teknik penguatan positif dan komunikasi yang lebih sensitif [21], [23]. Penyesuaian ini meningkatkan kepercayaan diri mereka di samping kemampuan pedagogis mereka. Indikator lain adalah kemampuan refleksi guru yang semakin baik. Guru mulai terbiasa merekam, menganalisis, dan menemukan solusi atas tantangan pembelajaran, serta lebih terbuka terhadap kritik maupun saran dari sejawat dan pimpinan sekolah. Kemampuan reflektif ini penting untuk memperkuat siklus pembelajaran berkelanjutan [24].
Temuan penelitian ini sejalan dengan teori Bandura [6] yang menyatakan bahwa efikasi diri dapat dikembangkan melalui pengalaman langsung, belajar dari orang lain, dukungan sosial, dan kondisi emosional yang positif. Guru dalam komunitas pembelajaran mendapatkan empat jenis dukungan: pengalaman praktis di kelas, pembelajaran dari rekan sejawat, kritik yang membangun, serta dukungan emosional dan profesional. Penelitian ini menguatkan pernyataan Darling-Hammond bahwa pengembangan profesional yang berkelanjutan, kolaboratif, dan reflektif sangatlah penting. Komunitas pembelajaran memungkinkan guru untuk membahas masalah, merenungkan apa yang telah mereka pelajari, dan menemukan cara baru untuk mengajar. Hal ini lebih baik daripada pelatihan satu arah, seperti seminar. Selain itu, hasil penelitian ini sejalan dengan temuan Dewi et al. [12] yang menunjukkan bahwa peningkatan efikasi diri guru dalam pembelajaran inklusif dipengaruhi oleh adanya ruang berbagi, pemodelan strategi pengajaran, dan dukungan kepala sekolah. Dalam penelitian ini, komunitas belajar difasilitasi melalui dialog reflektif dan praktik langsung yang berfokus pada kebutuhan anak berisiko. Guru merasa lebih percaya diri menghadapi perbedaan kemampuan anak karena adanya kesempatan untuk bertanya, berdiskusi, dan merancang solusi bersama. Oleh karena itu, komunitas belajar telah terbukti menjadi instrumen yang bermanfaat dan didukung secara teoritis untuk meningkatkan efikasi diri guru TK dalam mengelola kelas inklusif. Dengan demikian, penelitian ini berkontribusi secara konkret terhadap pengembangan model pengembangan guru untuk pendidikan anak usia dini sekaligus mendukung teori dan temuan sebelumnya. Selain memperoleh pengetahuan baru, komunitas belajar membantu guru menjadi lebih percaya diri dalam menghadapi tuntutan kelas inklusif. Oleh karenanya, komunitas belajar dapat dipandang sebagai strategi pembinaan profesional yang relevan, aplikatif, dan berkelanjutan untuk meningkatkan kualitas pendidikan inklusif di tingkat anak usia dini [20].
Penelitian ini menyimpulkan bahwa efikasi diri guru TK dalam mengajar anak dengan risiko gangguan perkembangan dapat ditingkatkan secara signifikan melalui pembentukan komunitas belajar yang berfungsi sebagai wadah kolaboratif, reflektif, dan suportif. Hasil penelitian menunjukkan adanya kenaikan skor efikasi diri dari 62,1% (kategori cukup) pada kondisi awal menjadi 76,7% (kategori baik) di siklus I, dan mencapai 88,8% (kategori sangat baik) di siklus II, melampaui ambang keberhasilan ≥80%. Temuan ini menegaskan bahwa komunitas belajar tidak hanya meningkatkan kepercayaan diri, keterampilan adaptif, dan kemampuan reflektif guru, tetapi juga memperkuat iklim kerja kolaboratif di sekolah. Implikasinya, guru perlu terus aktif dalam komunitas belajar, kepala sekolah diharapkan memfasilitasi keberlanjutannya, dinas pendidikan dapat mengadopsi pendekatan ini sebagai model pembinaan profesional berbasis praktik, serta lembaga PAUD lain bisa menyesuaikan strategi serupa sesuai kebutuhan. Secara teoretis, penelitian ini memperluas penerapan teori efikasi diri Bandura (1997) pada konteks pendidikan anak usia dini, sedangkan secara praktis memberikan kontribusi nyata bagi peningkatan kualitas pembelajaran inklusif di TK, dengan saran agar penelitian selanjutnya memperluas lingkup, melibatkan lebih banyak sekolah, dan menggunakan instrumen terstandarisasi untuk memperkaya pemahaman mengenai efektivitas model komunitas belajar. Lebih jauh, model komunitas belajar ini berpotensi menjadi inspirasi bagi perumusan kebijakan pembinaan guru secara nasional, sehingga penguatan kapasitas dan kepercayaan diri guru dapat berlangsung merata di seluruh jenjang pendidikan anak usia dini.
Ucapan Terima Kasih
Ucapan terima kasih peneliti sampaikan kepada Kepala TK Negeri 2 Kecamatan Rantau Pulung, para guru, serta seluruh pihak yang telah berpartisipasi dan mendukung terlaksananya penelitian ini. Terima kasih juga kepada Dinas Pendidikan Kabupaten Kutai Timur atas izin dan fasilitas yang diberikan sehingga penelitian dapat berjalan dengan baik. Dukungan, kerjasama, dan keterbukaan semua pihak menjadi kunci keberhasilan penelitian ini.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Jakarta: Sekretariat Negara, 2003.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Permendikbud No. 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa, Jakarta: Kemendikbud, 2009.
T. R. Guskey, “Professional development and teacher change,” Teachers and Teaching, vol. 8, no. 3, pp. 381–391, 2002, doi: 10.1080/135406002100000512.
Centers for Disease Control and Prevention, “Developmental Monitoring and Screening,” 2022. [Online]. Available: https://www.cdc.gov
I. Israwati, “Pendekatan pembelajaran untuk anak dengan risiko gangguan perkembangan,” Jurnal PAUD Inklusif, vol. 3, no. 2, pp. 89–98, 2021.
A. Bandura, Self-efficacy: The Exercise of Control. New York: W.H. Freeman and Company, 1997.
M. Tschannen-Moran and A. Woolfolk Hoy, “Teacher efficacy: Capturing an elusive construct,” Teaching and Teacher Education, vol. 17, no. 7, pp. 783–805, 2001, doi: 10.1016/S0742-051X(01)00036-1.
M. Ischannen-Moran and A. Woolfolk Hoy, “Teacher efficacy: Capturing an elusive construct,” Teaching and Teacher Education, vol. 17, no. 7, pp. 783–805, 2001, doi: 10.1016/S0742-051X(01)00036-1.
R. A. Ningsih, “Tingkat kepercayaan diri guru dalam pembelajaran inklusif pada anak dengan resiko gangguan perkembangan,” Jurnal Pendidikan Inklusif, vol. 8, no. 1, pp. 25–33, 2023.
A. D. Lestari, “Partisipasi guru PAUD dalam komunitas belajar: Studi di Jakarta Timur,” Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini Indonesia, vol. 7, no. 2, pp. 142–150, 2022.
H. Hendriana and A. Kadir, “Peran Kelompok Kerja Guru dalam meningkatkan profesionalisme guru,” Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, vol. 23, no. 2, pp. 107–118, 2018.
F. Dewi, S. Lestari, and R. Setiawan, “Efektivitas komunitas belajar daring dalam meningkatkan kompetensi pedagogik guru PAUD,” Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, vol. 11, no. 1, pp. 45–60, 2023.
Kementerian Kesehatan RI, Petunjuk Teknis Stimulasi Deteksi dan Intervensi Dini Tumbuh Kembang Anak di Tingkat Layanan Dasar. Jakarta: Direktorat Gizi dan KIA, 2020.
U. Bronfenbrenner, The Ecology of Human Development: Experiments by Nature and Design. Cambridge, MA: Harvard University Press, 1979.
S. Kemmis and R. McTaggart, The Action Research Planner, 3rd ed. Victoria: Deakin University Press, 1988.
M. B. Miles and A. M. Huberman, Qualitative Data Analysis: An Expanded Sourcebook, 2nd ed. Thousand Oaks, CA: Sage Publications, 1994.
N. Purwanto, Prinsip-prinsip dan teknik evaluasi pengajaran. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2013.
R. Dufour, R. Dufour, R. Eaker, and T. Many, Learning by Doing: A Handbook for Professional Learning Communities at Work. Bloomington, IN: Solution Tree Press, 2006.
S. M. Hord, Professional Learning Communities: Educators Work Together Toward a Shared Purpose—Improved Student Learning. Austin, TX: Southwest Educational Development Laboratory, 2009.
UNESCO, Policy Guidelines on Inclusion in Education. Paris: UNESCO, 2009.
L. S. Vygotsky, Mind in Society: The Development of Higher Psychological Processes. Cambridge, MA: Harvard University Press, 1978.
World Health Organization, Developmental Difficulties in Early Childhood: Prevention, Early Identification, Assessment and Intervention in Low- and Middle-Income Countries. Geneva: WHO, 2012.
L. C. Soodak, D. M. Podell, and L. R. Lehman, “Teacher, student, and school attributes as predictors of teachers’ responses to inclusion,” The Journal of Special Education, vol. 31, no. 4, pp. 480–497, 1998.
R. J. Stiggins, “Assessment crisis: The absence of assessment for learning,” Phi Delta Kappan, vol. 83, no. 10, pp. 758–765, 2002.