Login
Section Innovation in Education

Kindergarten Teachers as Educators, Mentors, and Facilitators for Children with ADHD

Guru Taman Kanak-Kanak sebagai Pendidik, Pembimbing, dan Fasilitator bagi Anak-Anak dengan ADHD
Vol. 26 No. 4 (2025): October:

Lia Ramadani (1), Aini Mahabbati (2)

(1) Program Studi Magister Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Yogyakarta, Yogyakarta, Indonesia
(2) Program Studi Magister Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Yogyakarta, Yogyakarta, Indonesia

Abstract:

Background (General): Early childhood is a critical developmental stage where socio-emotional growth determines later academic and social success. Globally, children with Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) face challenges in attention, impulse control, and social adjustment. Background (Specific): In Indonesia, ADHD cases among preschool children are increasing, yet interventions remain dominated by medical approaches, while the role of teachers in socio-emotional support has been underexplored. Knowledge Gap: Prior studies mainly emphasize clinical symptoms or general pedagogy, leaving limited understanding of how kindergarten teachers implement socio-emotional interventions within inclusive classrooms. Aim: This study investigates the role of kindergarten teachers in supporting children with ADHD symptoms, focusing on strategies for socio-emotional development in TK Negeri 2 Kaubun. Results: Using a qualitative case study, findings show teachers acted as educators, mentors, and facilitators, employing multisensory learning, positive reinforcement, quiet spaces, and parent collaboration. These interventions improved children’s emotional regulation, focus, and social participation, despite persistent challenges such as impulsivity and limited teacher time. Novelty: The study highlights adaptive and context-specific teacher practices in Indonesia, offering insights beyond clinical or Western-centered approaches. Implications: Results inform teacher training, inclusive education policies, and collaborative school–parent strategies, reinforcing the need for systemic support in early childhood inclusive education.
Highlight :




  • Teachers play a central role in guiding children with ADHD symptoms.




  • Consistent interventions enhance emotional regulation and social interaction.




  • Collaboration and inclusive policies strengthen learning support.




Keywords : Teacher's Role, Social-Emotional Intervention, Early Childhood, Attention Difficulties, Hyperactive Behavior

Downloads

Download data is not yet available.

PENDAHULUAN

Anak usia dini, khususnya pada rentang usia 4–6 tahun, berada dalam periode emas (golden age) yang menjadi fondasi penting bagi perkembangan kognitif, sosial, emosional, dan motorik. Pada tahap ini, setiap stimulasi yang diberikan akan berpengaruh signifikan terhadap pembentukan karakter dan kompetensi anak di masa depan. Lembaga pendidikan anak usia dini seperti Taman Kanak-kanak (TK) berperan sebagai ruang strategis untuk menumbuhkan potensi anak secara menyeluruh. Guru di TK tidak hanya menyampaikan materi akademik, tetapi juga memiliki mandat penting dalam membentuk kepribadian, keterampilan sosial, dan emosional anak [1]. Fenomena yang muncul dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan meningkatnya perhatian terhadap anak-anak dengan kebutuhan khusus, termasuk mereka yang menunjukkan gejala kesulitan pemusatan perhatian dan perilaku hiperaktif atau Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD). Secara global, prevalensi ADHD pada anak usia sekolah diperkirakan berkisar 5–7% [2], sementara di Indonesia, data Kementerian Kesehatan mencatat tren peningkatan kasus yang mulai teridentifikasi pada tingkat pendidikan dasar dan prasekolah [3]. Kondisi ini menegaskan bahwa ADHD bukan fenomena individual, melainkan isu pendidikan publik yang harus ditangani secara sistematis.

Anak dengan gejala ADHD menghadapi tantangan kompleks: kesulitan mempertahankan fokus, kontrol impuls yang rendah, serta perilaku hiperaktif yang sering menimbulkan hambatan dalam interaksi sosial dan pembelajaran. Mereka lebih rentan mengalami kegagalan akademik, kesulitan dalam relasi pertemanan, serta tekanan emosional sejak usia dini [4]. Situasi ini jika tidak ditangani secara tepat berpotensi memengaruhi perkembangan kepribadian anak di masa depan. Dalam praktik di lapangan, khususnya di TK, fenomena anak dengan gejala ADHD seringkali diperparah oleh keterbatasan kompetensi guru dalam melakukan intervensi yang sesuai. Banyak guru masih menitikberatkan pembelajaran pada aspek akademik, sementara dimensi sosial-emosional anak dengan ADHD belum tertangani secara optimal. Akibatnya, guru mengalami tekanan dan stres, sementara anak cenderung distigmatisasi atau bahkan diabaikan dalam kegiatan kelas [5]. Kondisi ini berimplikasi pada terciptanya lingkungan belajar yang kurang kondusif dan inklusif. Dalam konteks penelitian, beberapa studi di Indonesia lebih banyak berfokus pada aspek klinis ADHD, seperti pola gejala atau intervensi medis, namun belum banyak mengkaji strategi intervensi sosial-emosional oleh guru TK sebagai pelaku utama pendidikan inklusif. Misalnya, penelitian yang dilakukan oleh Rahmawati dkk. (2021) menyoroti kesulitan guru dalam mengelola kelas heterogen, tetapi belum secara spesifik menekankan strategi sosial-emosional. Sebaliknya, studi internasional oleh Sheridan dan kolega (2019) di Amerika Serikat menunjukkan bahwa intervensi berbasis kolaborasi guru–orang tua mampu meningkatkan regulasi emosi dan keterampilan sosial anak dengan ADHD secara signifikan. Perbandingan ini menegaskan pentingnya penelitian di Indonesia yang tidak hanya mengidentifikasi hambatan, tetapi juga memetakan praktik adaptif guru dalam mendukung anak dengan gejala ADHD di TK. Dengan demikian, penelitian ini menempatkan diri dalam lanskap kajian pendidikan inklusif dengan menawarkan kontribusi baru: mengungkap secara mendalam praktik intervensi sosial-emosional yang dijalankan guru TK dalam konteks lokal Indonesia. Kontribusi ini diharapkan dapat melengkapi literatur internasional dan menjadi acuan praktis bagi sekolah, guru, serta pembuat kebijakan untuk memperkuat implementasi pendidikan inklusif sejak usia dini.

Padahal, secara regulatif, peran guru sangat ditekankan dalam kerangka kebijakan nasional. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menegaskan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik. Demikian pula, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menekankan pentingnya pendidikan yang membangun keterampilan, peradaban, dan karakter bangsa secara utuh. Artinya, guru TK memiliki tanggung jawab untuk tidak hanya membangun aspek kognitif, tetapi juga mendukung perkembangan sosial-emosional anak secara inklusif. Intervensi sosial-emosional terbukti menjadi strategi yang efektif dalam mendukung anak dengan gejala ADHD. Melalui pendekatan ini, guru dapat membantu anak mengelola perasaan, mengembangkan keterampilan sosial, dan belajar menghadapi tantangan emosional secara positif [6]. Strategi yang dapat diterapkan meliputi pemberian instruksi sederhana, penggunaan penguatan positif, pemberian waktu istirahat, serta latihan keterampilan sosial melalui role playing atau permainan kelompok [7]. Guru dengan karakter penyayang, peka terhadap kebutuhan individu, dan mampu menciptakan suasana kelas yang kondusif akan lebih berhasil dalam menerapkan intervensi tersebut [8].

Namun, fenomena lapangan memperlihatkan bahwa strategi ini belum berjalan optimal di banyak TK. Hambatan yang sering muncul antara lain keterbatasan pengetahuan guru, minimnya pelatihan khusus tentang ADHD, terbatasnya sumber daya pendidikan, serta lemahnya dukungan kolaboratif dengan orang tua maupun tenaga profesional [9]. Laporan internasional bahkan menegaskan bahwa sebagian besar guru merasa tidak siap menghadapi anak dengan ADHD, sehingga intervensi yang diberikan masih bersifat parsial [10]. Fenomena serupa ditemukan di TK Negeri 2 Kaubun, tempat penelitian ini dilakukan. Hasil observasi awal menunjukkan adanya tiga hingga empat anak dengan gejala ADHD, misalnya kesulitan fokus, perilaku hiperaktif-impulsif, dan kesulitan mengikuti instruksi. Identifikasi ini bersifat pedagogis dan bukan diagnosis klinis, sehingga penelitian menggunakan istilah “anak dengan gejala problem pemusatan perhatian dan hiperaktivitas” sebagai bentuk kehati-hatian akademik. Lembaga ini dipilih sebagai lokus penelitian karena merepresentasikan situasi nyata pendidikan anak usia dini di Indonesia, di mana guru sering menghadapi tuntutan inklusif tanpa dukungan sarana profesional memadai [3].

Kondisi tersebut mencerminkan problem sistemik: keterbatasan sumber daya, kurangnya pelatihan khusus, dan heterogenitas kelas yang menuntut strategi adaptif. Dengan pendekatan kualitatif [11], penelitian ini tidak hanya memetakan strategi intervensi sosial-emosional yang digunakan guru, tetapi juga mengidentifikasi faktor pendukung dan penghambat implementasi. Fenomena ini sekaligus menunjukkan adanya research gap dalam literatur akademik. Sebagian besar penelitian sebelumnya tentang ADHD di Indonesia lebih menitikberatkan pada aspek klinis atau medis, sementara kajian yang mengupas secara mendalam praktik intervensi sosial-emosional guru TK dalam konteks inklusi masih terbatas. Padahal, guru merupakan aktor utama dalam keseharian anak di sekolah, sehingga strategi yang mereka terapkan sangat menentukan keberhasilan intervensi. Kekosongan penelitian inilah yang menjadi dasar pentingnya studi ini, untuk mengisi ruang akademik yang belum banyak tergarap sekaligus menghadirkan perspektif baru dalam diskursus pendidikan inklusif [6], [9].

Meskipun sejumlah penelitian telah menyoroti persoalan ADHD baik dari aspek klinis maupun pedagogis, sebagian besar masih menitikberatkan pada dimensi medis atau pendekatan umum pembelajaran. Kajian yang secara spesifik membahas strategi intervensi sosial-emosional guru TK dalam konteks inklusi masih sangat terbatas, terutama di Indonesia. Di sinilah terletak celah akademik (research gap) yang penting untuk diisi. Penelitian ini hadir untuk menjembatani kekosongan tersebut dengan mengkaji secara langsung praktik intervensi yang dijalankan guru TK, sekaligus mengungkap faktor pendukung dan penghambat implementasinya. Dengan alur ini, penelitian tidak hanya mereplikasi studi terdahulu, melainkan memberikan perspektif baru tentang bagaimana guru berperan sebagai agen utama dalam membangun lingkungan belajar inklusif bagi anak dengan gejala ADHD. Selain itu, penelitian ini memiliki nilai praktis yang tinggi. Temuan mengenai strategi pendampingan guru dapat dijadikan acuan bagi lembaga pendidikan anak usia dini, baik dalam pengembangan kurikulum maupun dalam program pelatihan guru. Bagi pembuat kebijakan, hasil penelitian ini memberikan gambaran nyata tentang tantangan dan kebutuhan di lapangan sehingga dapat mendorong penyusunan kebijakan yang lebih responsif terhadap kebutuhan anak dengan gejala ADHD. Dengan demikian, penelitian ini tidak hanya relevan dalam konteks akademik, tetapi juga bermanfaat bagi praktik pendidikan, kebijakan publik, dan peningkatan kapasitas guru. Lebih jauh, penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi terhadap penguatan paradigma pendidikan inklusif di Indonesia. Dengan menempatkan anak dengan gejala ADHD sebagai subjek yang memiliki potensi, bukan semata objek intervensi, guru dapat membangun iklim kelas yang lebih adil, ramah, dan setara. Hal ini selaras dengan tujuan pendidikan nasional untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sekaligus membentuk peradaban yang bermartabat. Maka, penelitian ini menjadi upaya nyata dalam mengintegrasikan prinsip inklusi ke dalam praktik pendidikan anak usia dini, yang pada akhirnya dapat memperkuat kualitas pendidikan Indonesia di kancah global.

METODE

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif dengan desain studi kasus. Penelitian kualitatif dipilih karena menghasilkan data mendalam mengenai fenomena yang tidak dapat dijelaskan dengan prosedur statistik, melainkan melalui pemahaman kontekstual dan interpretasi [12]. Studi kasus dipilih karena memberikan kesempatan untuk mengeksplorasi fenomena secara mendalam pada satuan pendidikan yang memiliki kondisi representatif. TK Negeri 2 Kaubun dianggap relevan sebagai lokus penelitian bukan hanya karena terdapat beberapa anak dengan gejala ADHD, tetapi juga karena sekolah ini menghadirkan situasi nyata yang sering dihadapi banyak TK di Indonesia: keterbatasan pelatihan guru, sarana terbatas, dan tuntutan inklusi tanpa dukungan profesional yang memadai. Kondisi unik ini menjadikan sekolah tersebut sebagai contoh kontekstual yang kaya (information-rich case) sehingga hasil penelitian dapat menggambarkan dinamika lapangan sekaligus memberikan kontribusi praktis bagi pengembangan praktik pendidikan inklusif di Indonesia. Fokus penelitian diarahkan untuk menggali secara rinci strategi peran guru TK dalam melakukan intervensi sosial-emosional pada anak yang menunjukkan gejala kesulitan pemusatan perhatian dan perilaku hiperaktif (ADHD). Pendekatan deskriptif bertujuan menggambarkan situasi nyata tanpa melakukan perbandingan atau manipulasi, sementara studi kasus memungkinkan peneliti menelaah secara intensif peran guru dalam konteks spesifik di TK Negeri 2 Kaubun [12]. Lokasi penelitian adalah Taman Kanak-Kanak Negeri 2 Kaubun, yang dipilih karena terdapat beberapa anak dengan gejala ADHD. Penelitian dilaksanakan selama kurang lebih dua bulan, mencakup tahap pengumpulan data, analisis, hingga penulisan laporan. Sumber data penelitian terbagi menjadi dua, yakni data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara dengan guru, observasi langsung di kelas, serta wawancara pendukung dengan orang tua maupun profesional terkait perkembangan anak. Sedangkan data sekunder berasal dari dokumen rapor perkembangan dan jurnal harian guru yang mencatat aktivitas serta respons anak selama proses pembelajaran. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui wawancara semi-terstruktur, observasi partisipatif, dan dokumentasi. Wawancara dirancang untuk menggali pengalaman guru dalam mengelola anak dengan gejala ADHD, tantangan yang dihadapi, serta strategi yang digunakan. Observasi memungkinkan peneliti mencatat secara langsung praktik intervensi sosial-emosional, misalnya penguatan positif, instruksi jelas, dan kualitas interaksi guru-anak. Dokumentasi digunakan sebagai data pendukung berupa catatan kelas, laporan perkembangan, serta bukti fisik lingkungan belajar. Instrumen penelitian dikembangkan berdasarkan teori peran guru dengan kisi-kisi wawancara dan observasi yang memuat indikator regulasi emosi, interaksi sosial, fokus-atensi, serta dukungan sistemik. Untuk menjamin keabsahan data, penelitian menggunakan triangulasi sumber (guru, orang tua, profesional, dan dokumen), peer review oleh rekan sejawat, serta member checking dengan memberikan hasil wawancara kepada responden guna memastikan validitas. Analisis data dilakukan dengan metode analisis kualitatif, mencakup tahap transkripsi data, pengkodean, pengelompokan tema, dan interpretasi makna. Analisis ini bertujuan menemukan pola mengenai strategi intervensi guru, faktor pendukung dan penghambat, serta dampak intervensi terhadap perkembangan sosial-emosional anak dengan gejala ADHD. Dengan demikian, metode penelitian ini memberikan gambaran mendalam tentang fenomena peran guru dalam konteks pendidikan inklusif [12].

HASIL DAN PEMBAHASAN

A.Karakteristik Anak dengan Gejala ADHD

No. Inisial Jenis Kelamin Usia Karakteristik Utama Perilaku Khas Strategi Khas
1 A Laki-laki 6 Hiperaktif fisik, kesulitan focus Menggangu guru, sering berganti tempat duduk Tugas berbasis keterampilan motorik, istirahat tambahan
2 B Perempuan 5 Lalai, Mudah terganggu Melamun, Lupa Instruksi Rutinitas pembelajaran visual di rumah, Latihan Fokus
3 C Laki-laki 6 Hiperaktif verbal/fisik Mengeluarkan suara keras, menyentuh objek tanpa izin Quiet corner, simple group roles
4 D Perempuan 6 Kegelisahan, mencari perhatian Menggoyangkan Kaki, Mengulangi Pertanyaan Penguatan positif, Latihan duduk pendek
Table 1. Karakteristik Anak dengan Gejala ADHD

Berdasarkan hasil penelitian, dapat dilihat bahwa anak dengan gejala ADHD di TK Negeri 2 Kaubun memiliki karakteristik yang bervariasi, baik dari segi perilaku maupun respons terhadap pembelajaran. Gejala yang muncul meliputi hiperaktif fisik, hiperaktif verbal, kegelisahan, hingga kesulitan fokus dan lalai terhadap instruksi. Variasi ini menunjukkan bahwa ADHD bukanlah gangguan yang seragam, melainkan spektrum dengan manifestasi yang berbeda pada setiap anak. Dengan demikian, pendekatan intervensi tidak bisa bersifat umum, melainkan harus menyesuaikan kebutuhan individual masing-masing anak. Selain itu, strategi yang diterapkan guru terbukti memiliki peran penting dalam mengurangi hambatan perilaku anak dan mendukung perkembangan sosial-emosional mereka. Guru menggunakan berbagai teknik seperti pemberian tugas motorik, rutinitas visual, quiet corner, penguatan positif, hingga latihan fokus singkat. Temuan ini menegaskan bahwa peran guru tidak hanya sebagai pengajar akademik, tetapi juga sebagai fasilitator dan pembimbing emosional yang mampu menciptakan suasana belajar inklusif. Dengan strategi yang adaptif dan personal, guru dapat membantu anak dengan gejala ADHD berkembang secara lebih optimal baik dalam aspek sosial maupun emosional.

B.Peran Guru sebagai Pendidik, Pembimbing, dan Fasilitator dalam Intervensi Sosial-Emosional Anak anak yang menunjukkan gejala kesulitan pemusatan perhatian dan perilaku hiperaktif

Hasil wawancara dengan guru di TK Negeri 2 Kaubun, khususnya Guru ANI dan Guru Widya, menunjukkan bahwa peran guru dalam mendampingi anak dengan gejala ADHD dijalankan secara terpadu sebagai pendidik, pembimbing, dan fasilitator. Sebagai pendidik, guru menghadapi tantangan besar karena anak dengan gejala ADHD sering kali cepat kehilangan fokus, mudah teralihkan oleh hal-hal kecil, dan sulit menyelesaikan tugas akademik. Untuk mengatasi hal ini, guru menggunakan metode pembelajaran visual dan multisensori, seperti gambar berwarna, kartu huruf, nyanyian tematik, hingga permainan sederhana yang dapat menarik perhatian anak lebih lama. Guru ANI mencontohkan: “Kalau mengajarkan angka, saya tidak langsung memberi soal. Saya bagi menjadi tiga tahap: menghitung benda nyata, mewarnai angka, lalu menempel stiker. Dengan cara ini mereka tidak cepat bosan.” Strategi ini membantu anak bertahan lebih lama dalam aktivitas belajar karena tugas dibuat singkat, variatif, dan sesuai dengan daya konsentrasi yang terbatas. Sebagai pembimbing, guru berperan menghadirkan kehangatan emosional. Mereka berusaha merespons perilaku impulsif anak dengan empati, bukan kemarahan. Guru Widya menuturkan: “Kadang anak tiba-tiba menangis atau berteriak. Saya duduk di sampingnya, pegang pundaknya pelan, lalu ajak bicara. Biasanya dia merasa diperhatikan dan bisa kembali tenang.” Pendekatan semacam ini menunjukkan bahwa peran pembimbing tidak hanya menyangkut penyampaian materi, tetapi juga pendampingan emosi anak agar merasa aman dan dihargai.

Sebagai fasilitator, guru mengatur kelas sedemikian rupa agar anak lebih mudah mengendalikan diri. Penataan kursi disesuaikan untuk mengurangi distraksi, pojok tenang disiapkan untuk relaksasi, dan anak diberi kesempatan bergerak singkat saat mulai gelisah. Kepala sekolah pun mendukung strategi guru dengan menyediakan sarana sederhana, ruang kelas yang fleksibel, serta mendorong kolaborasi antarguru. Dukungan struktural ini memperkuat peran guru dan menjadikan praktik pembelajaran lebih adaptif bagi anak ADHD. Pandangan orang tua turut memperkuat temuan wawancara tersebut. Mereka menilai guru menunjukkan kesabaran dan konsistensi tinggi dalam menghadapi tantrum maupun perilaku impulsif anak. Seorang ibu menyampaikan: “Saat anak saya tantrum, guru tidak marah, tapi mendekati dengan sabar. Itu membuat saya merasa anak saya diperhatikan.” Testimoni lain menekankan adanya strategi praktis yang diterapkan di rumah: “Guru menyarankan kami pakai timer visual. Hasilnya anak jadi terbiasa menyelesaikan kegiatan tanpa harus diingatkan berulang-ulang.” Perubahan perilaku anak juga nyata terlihat. Anak yang sebelumnya sering menyela kini terbiasa mengangkat tangan, sementara anak lain yang cenderung menarik diri mulai berani ikut serta dalam aktivitas kelompok. Orang tua mengakui adanya kemajuan, meskipun sebagian berharap dukungan tambahan, misalnya “program terapi bermain atau sesi konseling rutin dengan psikolog.” Temuan ini menunjukkan bahwa peran guru dalam intervensi sosial-emosional berjalan efektif, namun belum sepenuhnya cukup. Keberhasilan guru dalam mengajar, membimbing, dan memfasilitasi anak dengan gejala ADHD sangat menentukan terciptanya iklim kelas yang inklusif. Namun, upaya ini perlu diperkuat melalui sinergi berkelanjutan dengan orang tua dan tenaga profesional, agar intervensi tidak hanya berhenti pada level kelas, tetapi juga berkesinambungan di rumah dan mendapat dukungan dari aspek klinis.

Hasil observasi selama dua minggu menunjukkan bukti nyata bahwa guru menjalankan perannya secara konsisten. Sebagai pendidik, guru terlihat aktif menyesuaikan metode pembelajaran menjadi lebih kontekstual dan konkret, seperti belajar huruf sambil menelusuri pasir atau menghitung benda nyata di sekitar kelas. Anak ADHD terbukti lebih terlibat ketika kegiatan melibatkan pancaindra mereka. Penguatan positif diberikan dalam bentuk pujian verbal (“Kamu hebat sudah menyelesaikan dua soal!”) maupun insentif ringan seperti stiker bintang. Sebagai pembimbing, guru mendampingi anak saat terjadi luapan emosi. Catatan observasi menggambarkan situasi saat seorang anak melempar buku karena frustrasi, lalu guru dengan sabar mengajaknya ke pojok tenang, membantunya menamai perasaan marah, serta mengajarkan teknik pernapasan dalam. Dalam waktu lima menit, anak kembali tenang dan mampu melanjutkan kegiatan. Sebagai fasilitator, guru menata kelas agar ramah terhadap kebutuhan anak ADHD, misalnya menempatkan meja anak hiperaktif di dekat guru agar lebih mudah dikontrol, menyediakan fidget toys untuk mengurangi kecemasan, serta menggunakan kursi goyang kecil (wobble chair) agar anak dapat duduk lebih lama tanpa kehilangan konsentrasi. Strategi ini menunjukkan bahwa guru tidak hanya memberikan instruksi, tetapi juga menyiapkan lingkungan belajar adaptif yang mendukung regulasi diri anak.

Dokumentasi berupa catatan harian guru, portofolio karya anak, foto, video kegiatan, hingga dokumen kebijakan sekolah memperlihatkan kemajuan yang signifikan pada perkembangan anak dengan gejala ADHD. Catatan guru mencatat perubahan detail, misalnya: “3 Juli 2025, Anak X hari ini bisa mengikuti lingkaran waktu selama 10 menit dengan bantuan timer visual, masih perlu diingatkan 2 kali untuk tidak menyela teman.” Portofolio karya anak juga memperlihatkan peningkatan kemandirian; karya seni yang sebelumnya tidak selesai kini lebih rapi dan lengkap. Checklist perilaku mencatat peningkatan frekuensi perilaku positif, seperti mengangkat tangan sebelum bicara, dari 30% menjadi 70% dalam empat bulan. Dokumentasi foto dan video memperlihatkan anak menggunakan kartu emosi untuk mengenali perasaan sebelum pelajaran dimulai, serta mengikuti jalur sensorik (sensory path) untuk menstabilkan emosi. Selain itu, dokumen sekolah seperti Rencana Pembelajaran Individual (RPI) dan edaran inklusi menegaskan komitmen institusi dalam mendukung praktik inklusi, misalnya pemberian istirahat sensorik setiap 20 menit. Integrasi data ini menegaskan bahwa guru benar-benar menjalankan peran tiga dimensi (pendidik, pembimbing, fasilitator) secara konsisten, dengan dukungan kebijakan sekolah yang memadai.

Dengan demikian, hasil penelitian melalui wawancara, observasi, dan dokumentasi membuktikan bahwa guru di TK Negeri 2 Kaubun mampu menjalankan peran sebagai pendidik, pembimbing, dan fasilitator dalam mendampingi anak ADHD secara adaptif. Guru tidak hanya menyesuaikan metode pembelajaran agar lebih visual, konkret, dan multisensori, tetapi juga hadir secara emosional saat anak kesulitan mengendalikan diri, serta menyiapkan lingkungan kelas yang mendukung regulasi perilaku. Dukungan kepala sekolah dan keterlibatan orang tua semakin memperkuat keberhasilan intervensi. Praktik ini berdampak positif terhadap perkembangan sosial-emosional anak, yang ditunjukkan melalui peningkatan fokus, keterlibatan dalam kelompok, serta perilaku prososial yang lebih baik. Dengan demikian, pengalaman TK Negeri 2 Kaubun dapat menjadi model implementasi pendidikan inklusif berbasis peran guru yang relevan dan layak dijadikan rujukan dalam konteks pendidikan anak usia dini di Indonesia.

Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) adalah gangguan neurodevelopmental yang memengaruhi capaian akademik, interaksi sosial, dan regulasi emosi [13]. Sesuai kerangka fungsi eksekutif, dukungan strategis diperlukan untuk meminimalkan defisit kontrol diri [14], sementara modeling guru pada kecerdasan emosional dan keterampilan sosial memegang peran sentral [15], [16]. Praktik di TK Negeri 2 Kaubun mencerminkan DAP melalui media visual-multisensori, segmentasi tugas, dan variasi aktivitas pendekatan yang efektif meningkatkan perhatian anak dengan gejala ADHD [17]. Dalam peran ganda pendidik, pembimbing, fasilitator—guru mengintegrasikan self-regulation (pojok tenang, pernapasan, self-monitoring) dengan penguatan positif dan struktur aktivitas [14], [17]; pengelolaan ruang, alat bantu visual, dan teman pendamping selaras dengan peer-mediated instruction untuk meningkatkan interaksi sosial [18]. Secara teoretik, guru berada pada mikrosistem yang berdampak langsung [19], sedangkan scaffolding sosial-emosional sejalan dengan konstruktivisme sosiokultural Vygotsky [20]. Dalam peran ganda—pendidik, pembimbing, dan fasilitator guru menautkan strategi self-regulation (pojok tenang, pernapasan, self-monitoring) dengan penguatan positif dan struktur aktivitas yang jelas [14], [17], [21]. Pengelolaan ruang, alat bantu visual, dan sistem teman pendamping selaras dengan model peer-mediated instruction yang terbukti meningkatkan interaksi sosial serta menurunkan konflik [18]. Secara teoretik, posisi guru berada pada mikrosistem yang memengaruhi perkembangan anak secara langsung [19], sementara interaksi bermakna dan scaffolding sosial-emosional sesuai dengan konstruktivisme sosiokultural anak belajar mengelola emosi dan perilaku melalui mediasi orang dewasa/teman sebaya dalam zona perkembangan proksimal [20]. Dengan demikian, guru tidak hanya mentransmisikan pengetahuan, melainkan membangun ekologi kelas yang inklusif dan memfasilitasi munculnya kontrol diri, empati, dan keterampilan kolaboratif.

Dalam hal ini penyesuaian metode pembelajaran dilakukan melalui pendekatan multisensori, konkret, variatif, dan berdosis pendek: instruksi sederhana, bahasa konsisten, pengulangan terarah, serta penyusunan tahapan tugas untuk menjaga fokus dan mencegah overstimulasi [21]. Strategi penguatan positif (pujian spesifik, token, umpan balik segera) dipilih ketimbang hukuman, konsisten dengan prinsip behavioristik bahwa perilaku adaptif menguat ketika konsekuensinya menyenangkan [22]. Langkah ini sejalan dengan pedagogi inklusif akses belajar setara melalui penyesuaian metode dan lingkungan [23]. Temuan lokal turut mendukung: pengaturan strategi belajar yang fleksibel (visual, motorik, tematik konkret) membantu anak dengan gejala ADHD tetap terlibat aktif [24]. Guru bertindak sebagai co-regulator: hadir secara empatik, merespons cepat perubahan emosi, memberi waktu tenang, dan membimbing penamaan emosi pada circle time/storytelling. Bukti telaah menunjukkan intervensi sosial-emosional berbasis relasi interpersonal meningkatkan kontrol diri anak dengan gejala ADHD [25]. Praktik ini sejalan dengan kerangka SEL (CASEL) penguatan kesadaran diri, manajemen diri, kesadaran sosial, keterampilan relasi, dan pengambilan keputusan bertanggung jawab yang berkontribusi pada relasi sosial yang lebih sehat dan perilaku belajar yang lebih adaptif [26]. Lingkungan fisik-sosial yang aman, konsisten, dan terdukung (penataan kursi, visual schedule, kartu emosi, pojok tenang) mempercepat adaptasi sosial anak dengan gejala ADHD [27]. Keterlibatan teman sebaya melalui peer tutoring/kelompok kecil memperkaya pembelajaran sosial anak belajar dari observasi dan pengalaman langsung dalam konteks yang nyata dan terbukti bermanfaat pada konteks inklusi [28], [18]. Efektivitas guru menguat ketika sekolah mengadopsi whole-school approach: pelatihan berkelanjutan, fasilitas pendukung, kebijakan fleksibel (mis. RPI, istirahat sensorik), serta forum evaluasi rutin lintas peran [29]. Indeks inklusi menegaskan pentingnya kebijakan, pengembangan profesional, dan keterlibatan keluarga sebagai penentu keberhasilan implementasi [23]. Kolaborasi sekolah–rumah dengan komunikasi konsisten terbukti meningkatkan keberhasilan penanganan anak dengan gejala ADHD [30].

C.Implementasi peran guru dalam mengelola interaksi sosial dan emosional anak dengan anak yang menunjukkan gejala kesulitan pemusatan perhatian dan perilaku hiperaktif di kelas

Wawancara mendalam dengan Guru ANI menggarisbawahi bahwa implementasi peran guru dijalankan melalui pendekatan individual, kontekstual, dan berkesinambungan. Fokus utamanya adalah memperkuat komunikasi dua arah, melatih regulasi emosi secara bertahap, serta memperluas kesempatan interaksi sosial yang aman melalui permainan berstruktur. Guru ANI menegaskan: “Kalau anak mulai gelisah, saya beri tugas kecil seperti membagikan pensil. Itu membuat dia merasa punya peran, sekaligus mengalihkan emosinya.” Strategi ini dipadukan dengan role-play sederhana untuk melatih keterampilan sosial dasar, seperti “menunggu giliran”, “menyimak”, dan “meminta izin”. Guru juga menormalisasi perbedaan kebutuhan di depan teman sebaya, misalnya dengan mengatakan “A butuh waktu tenang sekarang” agar tercipta empati sosial di kelas. Guru Widya menambahkan bahwa pengelolaan iklim kelas sama pentingnya dengan metode ajar. “Tugas kami bukan hanya mengajar materi, tapi menjaga agar kelas tetap jadi ruang yang aman. Aturannya harus konsisten, dan semua anak merasa punya peran.” Ia membangun rutinitas yang jelas, mengatur dinamika kelas melalui aturan bersama (class pact), dan memberi peran kecil seperti penjaga alat tulis atau pembagi kertas kepada anak dengan gejala ADHD untuk membangun rasa kompetensi dan keterhubungan. Refleksi emosi dilakukan dengan pertanyaan sederhana, seperti “Apa yang kamu rasakan sekarang?”, yang mengarahkan anak dari reaktivitas menuju kesadaran diri (self-awareness). Kedua guru secara konsisten menggunakan bahasa tubuh low-arousal suara lembut, kedekatan fisik yang aman, serta isyarat singkat sehingga de-eskalasi berlangsung cepat sebelum konflik melebar.

Pandangan orang tua mengukuhkan dampak pendekatan ini. Seorang ibu menyampaikan: “Anak saya sekarang sering bilang, ‘Saya mau ke pojok tenang dulu.’ Itu membuat kami kaget tapi senang, karena dia belajar mengendalikan diri.” Orang tua lain menambahkan: “Guru memberi kami ide pakai timer visual di rumah. Anak jadi lebih teratur, tidak mudah marah kalau waktunya habis.” Testimoni ini menunjukkan bahwa praktik sekolah dapat diperluas ke rumah melalui komunikasi intensif, baik lewat grup WhatsApp maupun konsultasi tatap muka. Sementara itu, psikolog anak yang diwawancarai menilai integrasi aspek emosional dalam pembelajaran sudah berjalan baik, meski masih perlu penguatan: “Guru sudah cukup kreatif, tapi sebaiknya ada pelatihan lanjutan dan bila perlu dukungan terapi individual. Jadi intervensinya lebih berkesinambungan, dari sekolah ke rumah bahkan ke klinik.”

Observasi dua minggu menunjukkan guru menerapkan permainan sosial terstruktur seperti “Giliran Membangun Menara” dengan dukungan kartu visual (“tunggu”, “giliranmu”). Anak yang semula merebut mainan beralih mampu menunggu 3–4 menit—indikator kemajuan kontrol impuls. Guru melakukan modeling cara meminta izin dan menyimak, lalu memperkuat perilaku target dengan pujian spesifik (“Kamu menunggu giliran sampai teman selesai—hebat.”). Dalam lima hari, muncul spontaneous prosocial talk (“tolong”, “terima kasih”) pada beberapa anak, menandakan transfer kebiasaan dari instruksi ke inisiatif perilaku. Saat terjadi ledakan emosi (menangis/berteriak karena kalah permainan), guru mengarahkan anak ke pojok tenang berisi bantal, kartu ekspresi emosi, dan botol sensori. Anak diminta menunjuk gambar emosi yang sesuai (mis. “marah”), lalu mempraktikkan pernapasan 3 kali. Rata-rata waktu pemulihan turun ke sekitar 7 menit, setelah itu anak dapat re-engage ke aktivitas kelompok. Untuk agitasi motorik (memukul meja/gelisah), guru memberi tugas alternatif (mengambil kapur, menyusun balok), sehingga energi tersalur tanpa memutus keterlibatan belajar. Guru menunjuk dua “teman spesial” yang dilatih memberi pengingat lembut dan dukungan saat kegiatan kelompok. Dalam tiga minggu, frekuensi konflik menurun dari 5–7 kejadian/hari menjadi 1–2 indikasi bahwa scaffolding sosial berjalan dan norma kelas yang inklusif mulai menginternal.

Catatan harian guru menampilkan jejak perubahan perilaku yang granular (tanggal, situasi, respons, follow-up). Contoh: “12 Juli 2025 Anak X berbagi puzzle tanpa berebut; masih perlu 1 kali pengingat untuk tidak mengambil paksa.” Grafik mingguan menunjukkan penurunan tantrum dari ~10 menjadi ~3 kejadian/minggu, sejalan dengan konsistensi intervensi. Foto/video merekam penggunaan kartu emosi sebelum belajar, praktik circle time dengan dukungan sentuhan fokus, serta peningkatan durasi duduk dari 2–3 menit menjadi ±10 menit pada waktu makan bersama. Sehingga, dokumentasi mengukuhkan bahwa perubahan yang diamati bukan kejadian sporadis, melainkan hasil intervensi konsisten, berlandaskan instrumen sederhana namun terukur, didukung kebijakan inklusif dan kemitraan orang tua menciptakan siklus perbaikan berkelanjutan (plan–do–review). Implementasi peran guru dalam mengelola interaksi sosial dan emosional anak dengan gejala ADHD di TK Negeri 2 Kaubun terstruktur, empatik, dan adaptif. Kombinasi permainan giliran, modeling sosial, kartu emosi, pojok tenang, teknik pernapasan, tugas pengalihan motorik, dan teman pendamping membuahkan peningkatan bertahap pada durasi fokus, kontrol impuls, kompetensi sosial, serta pemulihan emosi. Data wawancara, observasi, dan dokumentasi saling menguatkan bahwa kelas inklusif dapat terbangun ketika strategi guru konsisten, lingkungan belajar disesuaikan, orang tua terlibat, dan kebijakan sekolah memberi ruang fleksibilitas serta pelatihan berkelanjutan.

Berdasarkan temuan, guru di TK Negeri 2 Kaubun merespons tantangan utama berupa kesulitan fokus, perilaku impulsif, ledakan emosi, serta keterbatasan atensi individual dengan strategi yang adaptif dan kontekstual. Strategi yang digunakan meliputi timer visual, pojok tenang, tugas motorik singkat, sistem buddy, visual schedule dan isyarat nonverbal, serta penguatan positif. Pendekatan ini selaras dengan kerangka Positive Behavior Interventions and Supports yang menekankan konsistensi, pencegahan, serta penguatan perilaku target sebagai ganti hukuman [31]. Dalam konteks PAUD, penguatan sederhana seperti stiker atau pemberian peran kecil efektif untuk menumbuhkan motivasi intrinsik anak dengan gejala ADHD [32]. Sejalan dengan teori fungsi eksekutif, dukungan struktural dan visual membantu manajemen atensi, emosi, dan perencanaan perilaku [33], dengan bukti bahwa instruksi yang visual, konkret, dan berulang mempermudah internalisasi aturan [31]. Pendekatan berbasis bermain dan aktivitas terstruktur yang diselingi jeda fisik menyalurkan energi secara positif dan menurunkan reaktivitas [34], sedangkan pembelajaran sosial melalui modeling dan observasi memperkuat imitasi perilaku prososial [35]. Konsistensi intervensi sosial emosional guru juga terbukti meningkatkan kepatuhan dan kerja sama sebaya pada studi PAUD di Indonesia [36]. Secara desain, praktik ini selaras dengan Universal Design for Learning yang menekankan fleksibilitas tujuan, metode, materi, dan asesmen agar semua anak terjangkau [37].

Komunikasi empatik melalui kontak mata, nada suara lembut, serta pujian yang spesifik membangun rasa aman dan diterima, sekaligus menjadi fondasi keberhasilan kelas inklusif [38]. Aktivitas sosial dilaksanakan secara bertahap dari tugas individual menuju kelompok kecil berdasarkan kerangka Social Emotional Learning untuk memperkuat kesadaran diri, regulasi diri, dan keterampilan relasi dalam konteks keseharian kelas [39]. Saat terjadi eskalasi, guru melakukan deeskalasi dengan pendekatan arousal rendah, menenangkan tanpa menghakimi, mengalihkan ke tugas sederhana yang sesuai kapasitas, serta membimbing strategi coping seperti napas dalam, role play, dan storytelling. Telaah mutakhir menunjukkan intervensi nonfarmakologis berbasis relasi dan latihan regulasi diri efektif meningkatkan kontrol emosi anak dengan gejala ADHD [40]. Bimbingan regulasi yang dilakukan secara langsung dan konsisten di kelas berkontribusi pada stabilitas emosi dan penyesuaian perilaku sosial [41]. Guru memfasilitasi edukasi teman sebaya, diskusi kelas, serta permainan kooperatif agar empati dan penerimaan tumbuh. Pelibatan sebaya terbukti meningkatkan kepercayaan diri dan kualitas interaksi anak dengan gejala ADHD [42]. Peer modeling dan peer tutoring melalui kerja tim membantu menurunkan isolasi, memperkuat kontrol diri, dan mengembangkan kecerdasan sosial dalam konteks yang autentik [43]. Efektivitas guru meningkat dalam kerangka whole school approach melalui pelatihan berkelanjutan, fasilitas seperti pojok tenang dan media visual, kebijakan fleksibel seperti RPI dan jeda sensorik, serta forum refleksi rutin lintas peran [44]. Dukungan struktural dan moral institusi disertai kemitraan sekolah dan orang tua yang konsisten menjadi prasyarat keberhasilan dan keberlanjutan program intervensi sosial emosional di kelas inklusif [45].

D.Dampak Intervensi terhadap Anak anak yang menunjukkan gejala kesulitan pemusatan perhatian dan perilaku hiperaktif

Wawancara dengan Guru ANI dan Guru Widya menunjukkan bahwa konsistensi intervensi menggabungkan pendekatan emosional, penguatan positif, struktur aktivitas yang jelas, dan jeda fisik singkat berdampak pada pergeseran perilaku anak dari respons impulsif menuju regulasi diri yang lebih baik. Anak yang awalnya mudah marah, sering menyela, atau enggan berkelompok mulai mampu meminta waktu untuk menenangkan diri, mengikuti instruksi bertahap, dan berani menjawab pertanyaan di kelas. Rentang fokus meningkat, kepatuhan terhadap aturan membaik, dan inisiatif sosial (bergabung dalam permainan, meminta izin, menunggu giliran) mulai muncul tanpa dorongan terus-menerus. Orang tua menguatkan temuan tersebut bahwa anak lebih sabar, komunikatif (“bilang dulu” saat lelah/bingung), dan menunjukkan kepercayaan diri serta kemandirian yang lebih baik di rumah. Psikolog anak menilai arah intervensi sudah tepat terutama pada pengenalan–pengelolaan emosi, sambil merekomendasikan pelatihan lanjutan bagi guru dan, bila perlu, terapi individual untuk kebutuhan khusus, dengan catatan konsistensi strategi antara sekolah dan rumah menjadi kunci keberlanjutan dampak.

Observasi di kelas memperlihatkan peningkatan nyata pada perilaku belajar, sosial, dan emosi: durasi duduk tenang bertambah hingga ±15–20 menit dalam aktivitas terstruktur setelah penggunaan visual timer dan jeda gerak; perilaku kooperatif meningkat melalui permainan bergiliran dengan kartu visual (“tunggu/ giliranmu”), sehingga anak mampu menahan diri 3–4 menit dan konflik menurun; pada regulasi emosi, anak beralih dari ledakan spontan menuju strategi koping (napas dalam, menuju pojok tenang, memanfaatkan alat sensorik), serta mulai mengungkapkan keadaan emosi secara verbal (“aku mau diam dulu”) sebelum kembali bergabung ke kegiatan kelompok.

Dokumentasi memperlihatkan jejak kemajuan yang konsisten dan terukur: catatan harian guru (mis. 25 Mei 2025) mencatat anak menyelesaikan tugas tanpa berpindah tempat serta meminta bantuan dengan mengangkat tangan; entri 10 Juni 2025 menandai inisiatif sosial positif (mengajak teman bermain balok, menggunakan ungkapan “tolong/terima kasih”); foto dan video menunjukkan anak duduk tertib pada circle time dengan fidget tool, menunggu giliran saat board game, serta memanfaatkan kartu emosi sebelum belajar; portofolio karya bergerak dari tugas yang kerap tidak selesai menjadi hasil yang rapi dan lengkap, dengan durasi konsentrasi terdokumentasi naik dari ±5 menjadi ±15 menit dalam ±3 bulan; buku penghubung menampilkan konvergensi strategi rumah–sekolah (reward stiker, rutinitas malam lebih kooperatif), sedangkan dokumen kelembagaan Rencana Pembelajaran Individual (RPI) dengan target terukur (mis. “mengungkapkan emosi ≥3 kali/hari”) dan edaran inklusi yang memberi fleksibilitas RPP serta istirahat sensorik tiap 20 menit menunjukkan dukungan struktural sekolah. Seluruh bukti ini saling menguatkan bahwa perubahan perilaku dan keterampilan sosial-emosional bukan insidental, melainkan hasil intervensi yang terencana, dimonitor, dan dikolaborasikan lintas peran secara berkelanjutan.

Berdasarkan wawancara, observasi, dan dokumentasi, intervensi guru di TK Negeri 2 Kaubun berdampak positif pada regulasi emosi, fokus belajar, interaksi sosial, dan kepercayaan diri anak. Anak yang semula bereaksi impulsif mulai menggunakan strategi penenangan diri, mengungkapkan emosi secara verbal, mengikuti instruksi bertahap, serta berani tampil dan berpartisipasi dalam kerja kelompok. Temuan ini selaras dengan kerangka perkembangan sosial emosional yang menempatkan kemampuan mengenali dan mengelola emosi sebagai prasyarat interaksi sosial yang sehat, serta menegaskan bahwa intervensi sosial emosional yang konsisten dan kontekstual menghasilkan perubahan perilaku yang bermakna [46], [40]. Peningkatan durasi fokus, kemampuan menyelesaikan tugas, dan keberanian tampil sejalan dengan teori fungsi eksekutif yang menjelaskan kesulitan atensi, pengaturan perilaku, dan perencanaan pada anak dengan gejala ADHD. Dukungan struktural melalui media visual seperti timer, jadwal harian, dan tugas motorik berperan sebagai penyangga fungsi eksekutif sehingga kapasitas pengaturan diri berkembang bertahap [33]. Dari perspektif pembelajaran sosial, peran guru sebagai model memfasilitasi peniruan perilaku prososial seperti mengatur emosi, meminta giliran, dan berbicara sopan yang tercermin dalam peningkatan interaksi dan dukungan teman sebaya di kelas dan di rumah [35], [32]. Dampak ini konsisten dengan pendekatan bertingkat yang menekankan kolaborasi lintas pihak sebagai kunci keberhasilan layanan inklusif [47].

Pada fase awal, anak menunjukkan kesulitan mempertahankan fokus, reaktivitas emosi, impulsivitas, dan kecenderungan menarik diri. Strategi manajemen diri seperti pemantauan diri dan penguatan mandiri, termasuk token, pengingat visual, serta pencatatan perilaku target melalui chart, membantu membangun kontrol diri dan keterlibatan belajar harian ketika diterapkan secara konsisten [45]. Tantangan kontekstual seperti keterbatasan waktu perhatian individual dan rendahnya pemahaman sosial di lingkungan kelas berpotensi memunculkan stigma, sehingga guru perlu peka pada dinamika kelas dan secara aktif membangun iklim inklusif agar anak merasa aman dan diterima [41]. Guru membangun rutinitas yang jelas, menggunakan pendekatan individual yang menenangkan, memodifikasi metode belajar agar lebih fokus dan menarik, serta melakukan deeskalasi ketika emosi meningkat melalui waktu tenang, pengalihan tugas yang sederhana, dan bimbingan penamaan emosi. Praktik ini sejalan dengan prinsip berbasis antecedent dan konsekuensi serta menempatkan penguatan positif dan pelatihan regulasi diri sebagai inti intervensi kelas untuk anak dengan gejala ADHD [45]. Kolaborasi intensif dengan orang tua melalui catatan harian dan komunikasi dua arah memastikan konsistensi strategi di rumah dan sekolah, sementara dukungan kelembagaan berupa pelatihan guru, kebijakan inklusif, dan forum refleksi berkala memperkuat keberlanjutan implementasi dalam kerangka pendekatan sekolah secara menyeluruh [44].

E.Kendala Yang Dihadapi Guru dan Strategi Mengatasinya

Hasil penelitian menunjukkan bahwa intervensi sosial emosional yang dijalankan konsisten di TK Negeri 2 Kaubun berdampak positif pada perilaku dan perkembangan anak dengan gejala ADHD. Anak menunjukkan peningkatan kemampuan mengatur emosi, kepatuhan terhadap aturan kelas, serta relasi sosial yang lebih sehat. Temuan ini sejalan dengan gagasan bahwa penguatan keterampilan regulasi emosi merupakan fondasi perkembangan sosial emosional pada usia dini [48]. Strategi yang digunakan guru meliputi teknik pernapasan, pemanfaatan pojok tenang, penguatan positif, jadwal visual, serta kegiatan terstruktur yang disesuaikan dengan preferensi anak. Pendekatan tersebut selaras dengan Positive Behavior Interventions and Supports yang menekankan konsistensi, pencegahan, dan penguatan perilaku target dalam ekologi kelas [49]. Bukti longitudinal menunjukkan bahwa program berbasis keterampilan sosial emosional efektif meningkatkan kompetensi sosial, regulasi diri, dan kesiapan belajar pada anak dengan tantangan perilaku [50]. Keberhasilan di sekolah semakin kuat ketika praktik di kelas konsisten dengan praktik di rumah dan diiringi keterlibatan aktif guru dan keluarga [51]. Dalam konteks pendidikan anak usia dini, intervensi berbasis konteks sosial yang memusat pada relasi guru anak efektif meningkatkan keterampilan sosial anak dengan gejala ADHD tanpa ketergantungan farmakologis [52]. Temuan lapangan juga konsisten dengan kerangka fungsi eksekutif yang menyatakan adanya hambatan pengendalian diri pada ADHD, sehingga strategi konkret seperti isyarat visual, alat sensorik, dan rutinitas jelas membantu kompensasi fungsi tersebut [33]. Dari perspektif neuropsikologi perkembangan, perubahan perilaku yang konsisten pasca intervensi mengindikasikan plastisitas otak yang memungkinkan adaptasi terhadap strategi pembelajaran yang suportif [53]. Meta analisis program pembelajaran sosial emosional mencatat peningkatan kompetensi sosial emosional dan penurunan perilaku bermasalah dalam besaran yang signifikan, yang menguatkan urgensi implementasi terstruktur di tingkat satuan pendidikan [54]. Perubahan positif yang diamati pada anak mencakup penurunan frekuensi tantrum, pemanjangan durasi konsentrasi, dan partisipasi aktif dalam kerja kelompok. Peningkatan ini selaras dengan laporan orang tua dan bukti dokumentasi perkembangan sehingga menguatkan reliabilitas temuan. Secara umum, keberhasilan intervensi di kelas inklusif tidak hanya dipengaruhi strategi guru, tetapi juga kesiapan lingkungan sosial sekolah untuk memahami karakteristik anak dengan gejala ADHD. Ketidaksiapan sosial berpotensi memunculkan stigma dan memperburuk penarikan diri anak, sehingga guru perlu peka terhadap dinamika kelas dan aktif membangun iklim penerimaan [38]. Dengan demikian, kolaborasi sekolah dan keluarga serta dukungan kelembagaan yang konsisten menjadi prasyarat keberlanjutan dampak.

Guru menghadapi kesulitan mempertahankan fokus anak, ledakan emosi yang muncul tiba tiba, perilaku impulsif seperti menyela atau meninggalkan tempat duduk, dan keterbatasan waktu untuk perhatian individual. Tantangan sosial muncul ketika teman sebaya atau orang tua lain belum memahami karakteristik anak dengan gejala ADHD yang memicu stigma dan penolakan. Kondisi ini menuntut guru memiliki kesabaran, keterampilan deeskalasi, serta kepekaan terhadap ritme kelas agar pembelajaran tetap berlangsung inklusif. Di sisi lain, bukti menunjukkan bahwa strategi manajemen diri seperti pemantauan diri dan penguatan mandiri yang diterapkan konsisten melalui token, pengingat visual, dan pencatatan perilaku target dapat membantu membangun kontrol diri serta keterlibatan belajar anak dari hari ke hari [45], [41]. Untuk menjawab hambatan tersebut, guru membangun rutinitas harian yang jelas, menggunakan pendekatan individual yang tenang, memodifikasi metode agar lebih visual dan interaktif, serta melakukan deeskalasi ketika emosi meningkat dengan memberikan waktu tenang, pengalihan ke tugas sederhana, dan bimbingan penamaan emosi. Strategi ini sejalan dengan prinsip berbasis pemicu dan konsekuensi yang direkomendasikan dalam intervensi kelas untuk anak dengan gejala ADHD, di mana penguatan positif dan pelatihan regulasi diri ditempatkan sebagai inti [45], [49]. Komunikasi intensif dengan orang tua melalui catatan harian dan pertemuan terjadwal memastikan kesinambungan strategi antara rumah dan sekolah. Pada tingkat kelembagaan, pelatihan berkelanjutan, kebijakan inklusif, fasilitas seperti pojok tenang dan media visual, serta forum refleksi rutin lintas peran membentuk pendekatan sekolah secara menyeluruh yang memperkuat efektivitas guru dan keberlanjutan program [44], [51].

KESIMPULAN

Penelitian ini menyimpulkan bahwa guru di TK Negeri 2 Kaubun berperan sentral sebagai pendidik, pembimbing, dan fasilitator dalam mendampingi anak dengan gejala kesulitan pemusatan perhatian dan perilaku hiperaktif. Peran tersebut diwujudkan melalui penyesuaian metode belajar yang visual dan multisensori, pendampingan emosional yang empatik, serta penciptaan lingkungan kelas yang inklusif dengan strategi konkret seperti pojok tenang, sistem teman sebaya, dan penguatan positif. Implementasi yang konsisten dan kolaboratif bersama orang tua dan sekolah terbukti meningkatkan regulasi emosi, memperpanjang rentang fokus, memperbaiki interaksi sosial, dan menumbuhkan rasa percaya diri anak, meski masih ditemui kendala berupa perilaku impulsif, keterbatasan waktu pendampingan individual, dan kurangnya dukungan sosial yang menyeluruh. Untuk memperkuat praktik inklusif, guru disarankan terus meningkatkan kompetensi dalam manajemen kelas inklusif dan teknik regulasi emosi, sekolah perlu menyediakan pendamping khusus serta sarana pembelajaran adaptif, orang tua didorong menjadi mitra aktif dalam menerapkan strategi selaras di rumah, dan pemerintah diharapkan memperkuat kebijakan pendidikan inklusif melalui pelatihan, anggaran, dan pendampingan profesional. Akhirnya, penelitian ini menegaskan bahwa anak dengan ADHD harus dipandang bukan sebagai masalah, melainkan sebagai individu dengan potensi besar yang akan berkembang jika diberi ruang

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Kepala TK Negeri 2 Kaubun, para guru, orang tua, serta peserta didik yang telah berpartisipasi dan memberikan dukungan dalam pelaksanaan penelitian ini. Terima kasih juga kepada pihak sekolah dan dinas pendidikan setempat atas arahan dan fasilitasi yang memungkinkan penelitian ini terselesaikan dengan baik.

References

A. F. Skinner, The Behavior of Organisms: An Experimental Analysis. New York, NY: Appleton-Century, 1938.

S. Alfiyah, N. L. Fitri, and N. Novitasari, “Strategi Guru dalam Menangani Siswa ADHD di TK ABA Percontohan Bojonegoro,” Mitra Ash-Shibyan: Jurnal Pendidikan dan Konseling, vol. 6, no. 2, pp. 115–124, 2023, doi: 10.46963/mash.v6i02.927.

R. Azhimah, R. Kurniawati, D. P. Sari, and A. R. Putri, “Strategi Pembelajaran Interaktif untuk Anak ADHD di Pendidikan Anak Usia Dini,” Pediaku: Jurnal Ilmiah Pendidikan Anak Usia Dini, vol. 5, no. 2, pp. 45–60, 2024.

S. A. Azis, A. R. Hidayat, M. Ramadhan, and A. Yusuf, “Manajemen Kepala Sekolah dalam Meningkatkan Kinerja Guru di SDN 1 Lamahala,” Jurnal Pendidikan, vol. 1, no. 2, pp. 1–8, 2022.

R. A. Barkley, Attention-Deficit Hyperactivity Disorder: A Handbook for Diagnosis and Treatment. New York, NY: Guilford Press, 2014.

E. E. Barton, “Naturalistic Interventions to Support Social-Emotional Development in Preschool,” Journal of Early Intervention, vol. 42, no. 3, pp. 189–207, 2020, doi: 10.1177/1053815119890025.

E. E. Barton, “The Effectiveness of Play-Based Interventions for Children with ADHD,” Early Childhood Research Quarterly, vol. 52, pp. 64–76, 2020, doi: 10.1016/j.ecresq.2019.08.002.

H. Basri, “Optimalisasi Peran Guru Pendidikan Anak Usia Dini yang Proporsional,” Ya Bunayya, vol. 1, no. 1, pp. 29–45, 2019.

K. L. Bierman, C. E. Nix, M. T. Heinrichs, and D. M. Domitrovich, “The Impact of a School Readiness Program on Attention Problems and Social Skills,” Child Development, vol. 81, no. 3, pp. 785–800, 2010, doi: 10.1111/j.1467-8624.2010.01438.x.

T. Booth and M. Ainscow, Index for Inclusion: Developing Learning and Participation in Schools, 2nd ed. Bristol, UK: Centre for Studies on Inclusive Education, 2002.

U. Bronfenbrenner and P. A. Morris, “The Bioecological Model of Human Development,” in Handbook of Child Psychology: Theoretical Models of Human Development, 6th ed., R. M. Lerner and W. Damon, Eds. Hoboken, NJ: Wiley, 2006, pp. 793–828.

CASEL, “Social and Emotional Learning Framework,” 2020. Available: [https://casel.org](https://casel.org)

K. E. Childs, D. Kincaid, H. P. George, and N. A. Gage, “The Relationship Between School-Wide Implementation of PBIS and Student Discipline Outcomes,” Journal of Positive Behavior Interventions, vol. 18, no. 2, pp. 89–99, 2016, doi: 10.1177/1098300715590398.

J. W. Creswell, Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approaches, 4th ed. Thousand Oaks, CA: SAGE, 2014.

K. A. Dahlan, “Strategi Pembelajaran Guru dalam Meningkatkan Kemandirian Anak Usia 5–6 Tahun di TK Aisyiyah 2 Cianjur,” Jurnal Pemikiran dan Pengembangan Pembelajaran, vol. 6, no. 2, pp. 1806–1813, 2024.

S. Darmo, “Peran Guru dalam Pendidikan Anak Usia Dini,” Jurnal Pendidikan Anak, vol. 12, no. 1, pp. 45–60, 2024.

S. Y. Darmo, “Analisis Tingkat Pengetahuan Guru PAUD pada Penanganan Anak Berkebutuhan Khusus di Kabupaten Magetan,” Jurnal Pendidikan, vol. 4, no. 4, pp. 383–389, 2024.

S. A. Denham, “Social-Emotional Competence as Support for School Readiness: What Is It and How Do We Assess It,” Early Education and Development, vol. 17, no. 1, pp. 57–89, 2006.

S. A. Denham, Social-Emotional Learning in Childhood. New York, NY: Guilford Press, 2006.

I. L. Devi and R. Pertiwi, “Efektivitas Intervensi Sosial-Emosional Non-Farmakologis pada Anak ADHD: Scoping Review,” Repository UGM, 2025.

I. L. Devi and Y. F. Susetyo, “Intervensi Perilaku dan Multisensori untuk Anak dengan ADHD dan Gangguan Sensorik,” Gadjah Mada Journal of Professional Psychology, vol. 10, no. 2, pp. 122–133, 2024, doi: 10.22146/gamajpp.93750.

G. J. DuPaul, “Self-Regulation and Peer Mediation in ADHD: Practical Classroom Strategies,” Beyond Behavior, vol. 21, no. 2, pp. 15–24, 2012. Available: [https://files.eric.ed.gov/fulltext/EJ1246078.pdf](https://files.eric.ed.gov/fulltext/EJ1246078.pdf)

G. J. DuPaul and G. Stoner, ADHD in the Schools: Assessment and Intervention Strategies, 3rd ed. New York, NY: Guilford Press, 2014.

J. A. Durlak, R. P. Weissberg, A. B. Dymnicki, R. D. Taylor, and K. B. Schellinger, “The Impact of Enhancing Students’ Social and Emotional Learning: A Meta-Analysis of School-Based Universal Interventions,” Review of Educational Research, vol. 82, no. 4, pp. 405–432, 2011, doi: 10.3102/003465431140599.

E. Fadlina, I. S. Iriany, and M. Garut, “Pengaruh Manajemen Sekolah terhadap Kinerja Guru,” Jurnal Pendidikan, pp. 71–79, 2022.

E. Fadlina and I. S. Iriany, “ADHD pada Anak PAUD,” Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, 2022.

L. Florian and K. Black-Hawkins, “Exploring Inclusive Pedagogy,” International Journal of Inclusive Education, vol. 15, no. 5, pp. 547–552, 2011, doi: 10.1080/13603110903165141.

D. Fuchs and L. S. Fuchs, “What Is Intensive Instruction and Why Is It Important,” Teaching Exceptional Children, vol. 50, no. 4, pp. 222–232, 2017, doi: 10.1177/0040059917701054.

G. F. Gaastra, M. Groen, J. Tucha, and M. A. J. van der Meer, “Classroom Interventions for Children with ADHD: A Meta-Analysis on the Effects of Daily Report Card Interventions,” PLOS ONE, vol. 11, no. 12, 2016. Available: [https://doi.org/10.1371/journal.pone.0148841](https://doi.org/10.1371/journal.pone.0148841)

R. L. Geesa, K. Robbins, and K. Shively, “The Collaborative Model for Teaching Online SEL,” Journal of Online Learning Research, vol. 8, no. 1, pp. 67–100, 2022.

S. A. Harahap, R. Yani, M. Dasopang, and Nurlaili, “Pengembangan Keterampilan Motorik Kasar Anak Usia Dini melalui Permainan Melempar Tangkap Bola,” Kumaracitta: Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, vol. 1, no. 1, pp. 10–16, 2023, doi: 10.63577/kum.v1i1.4.

O. Hasviani, T. Handayani, and I. Fitri, “Strategi Guru PAUD dalam Meningkatkan Kemampuan Bersosialisasi Peserta Didik,” JIIP: Jurnal Ilmiah Ilmu Pendidikan, vol. 5, no. 5, pp. 1458–1466, 2022, doi: 10.54371/jiip.v5i5.583.

H. Khairi, “Upaya Guru dalam Meningkatkan Perkembangan Sosial Emosional Anak ADHD di PAUD Inklusi Yogyakarta,” Jurnal Pendidikan, vol. 1, pp. 1–7, 2020.

F. Magdalena, I. Mujtaba, and A. Damayanti, “Penanganan Optimal untuk Anak ADHD di KB-TK Lab School UMJ,” Prosiding Pendidikan, pp. 1438–1449, 2024.

I. Magdalena, N. Suryani, and A. Fauzi, “Strategi Pembelajaran untuk Anak ADHD di PAUD,” Jurnal Psikologi Pendidikan, vol. 15, no. 3, pp. 78–92, 2024.

M. I. Mansyur, A. Handayani, and D. Rakhmawati, “Perilaku Peserta Didik ADHD dalam Pembelajaran,” Tematik: Jurnal Penelitian Pendidikan Dasar, vol. 3, no. 1, pp. 56–60, 2024, doi: 10.57251/tem.v3i1.1403.

Masrum, Manajemen Peningkatan Kinerja Guru. Jakarta, Indonesia: Prenadamedia, 2019.

Masrum, Teori Pembelajaran Sosial: Model dalam ADHD. Jakarta, Indonesia: Prenadamedia, 2019.

A. Meyer, D. H. Rose, and D. Gordon, Universal Design for Learning: Theory and Practice. Wakefield, MA: CAST, 2016.

Mukhtar, “Strategi Kepala Sekolah dalam Meningkatkan Kinerja Guru pada SMP Negeri di Kecamatan Masjid Raya Kabupaten Aceh Besar,” Jurnal Administrasi Pendidikan, vol. 3, no. 3, pp. 103–117, 2015.

B. Norwich, “The Future of Inclusive Education in England,” REACH: Journal of Inclusive Education in Ireland, vol. 30, no. 1, pp. 4–21, 2017. Available: [https://reachjournal.ie/index.php/reach/article/view/39](https://reachjournal.ie/index.php/reach/article/view/39)

D. Novitasari and A. Setiawan, “Kerja Sama Guru dan Orang Tua dalam Penanganan ADHD pada Anak Usia Dini,” Psikodimensia, vol. 20, no. 1, pp. 10–25, 2022.

E. Rusmini and M. Fajar, “Strategi Komunikasi Interpersonal Guru dalam Mengelola Anak Berkebutuhan Khusus di Sekolah Inklusi,” Jurnal Dinamika Komunikasi, vol. 8, no. 1, pp. 15–27, 2023. Available: [https://journal.moestopo.ac.id/index.php/dinamika/article/view/5308](https://journal.moestopo.ac.id/index.php/dinamika/article/view/5308)

N. Sholikhah and N. Pratisti, “Bimbingan Regulasi Emosi pada Anak ADHD melalui Pembelajaran Kelas Inklusif,” Seminar Nasional Konseling dan Pendidikan, 2024. Available: [https://proceeding.unesa.ac.id/index.php/sendik/article/view/117](https://proceeding.unesa.ac.id/index.php/sendik/article/view/117)

T. P. Sholikhah and S. Pratisti, “Lingkungan Belajar Inklusif untuk Anak ADHD: Studi Kolaborasi Orang Tua Guru,” Seminar Nasional Konseling dan Pendidikan, pp. 120–135, 2024.

J. P. Shonkoff and D. A. Phillips, From Neurons to Neighborhoods: The Science of Early Childhood Development. Washington, DC: National Academy Press, 2000.

Y. Situmorang, “Model Pendampingan Anak Usia Dini ADHD di TK Sola Gratia Tikala Manado,” Montessori Jurnal Pendidikan Kristen Anak Usia Dini, vol. 4, no. 2, pp. 90–100, 2023.

P. D. Sonia, “Intervensi Dini Berbasis Sekolah bagi Anak ADHD,” Prosiding Pendidikan, pp. 1–6, 2023.

G. Sugai and B. Simonsen, “PBIS: History, Defining Features, and Misconceptions,” Center for PBIS, 2012.

Sugiyono, Metode Penelitian Kualitatif. Bandung, Indonesia: Alfabeta, 2019.

S. C. Taiyeb, “Analisa Perilaku Sosial pada Anak ADHD,” Pendas: Jurnal Ilmiah Pendidikan Dasar, vol. 9, no. 1, pp. 1313–1318, 2024.

Vidhia, “Teori Kecerdasan Emosional dalam Pendidikan ADHD,” Jurnal Pendidikan, 2022.

C. Vidhia, “Manajemen Peningkatan Kinerja Guru untuk Menghasilkan Pembelajaran Bermutu pada SMK di Jakarta,” Jurnal Manajemen Pendidikan, vol. 12, pp. 1045–1057, 2022.

O. Vienty and F. Ajepri, “Strategi Kepala Sekolah dalam Meningkatkan Kinerja Guru,” MindSet: Jurnal Manajemen Pendidikan Islam, vol. 1, 2022.

L. S. Vygotsky, Mind in Society: The Development of Higher Psychological Processes. Cambridge, MA: Harvard University Press, 1978.