Isroatul Khasanah (1), Hermanto (2)
General background: Inclusive education requires teachers to provide equitable learning opportunities for all children, including those with special needs. Specific background: In many early childhood settings, teachers lack formal training to differentiate instruction and manage diverse classrooms effectively. Knowledge gap: Research on structured and collaborative instructional supervision in resource-limited kindergartens is limited. Aim: This study aimed to develop and test a school action research–based model of instructional supervision to strengthen teacher practice in inclusive classrooms. Results: Four teachers participated in two cycles of structured supervision combining observation, feedback, and individual coaching. Teacher performance scores improved from a pre-intervention mean of 2.5 (50%) to 3.6 (72%) in Cycle I and 4.25 (85%) in Cycle II, surpassing the success criterion of ≥4.0. The most significant progress occurred in differentiated lesson planning, behavior management, reflection, and responsiveness to feedback. Novelty: This study provides empirical evidence that a simple yet systematic supervision model, supported by coaching and reflective forums, can produce measurable improvement in inclusive early childhood settings without requiring high-cost interventions. Implications: The findings suggest that this model can be scaled and adapted by policymakers and school leaders to strengthen professional development programs for inclusive education nationwide.
Teacher performance increased across all domains after structured supervision cycles
Differentiated planning, reflection, and behavior management showed the most progress
Model provides a scalable approach for inclusive education in resource-limited settings
Instructional Supervision, Inclusive Education, Teacher Performance, School Action Research, Early Childhood Education
Pendidikan inklusif memandang setiap anak sebagai subjek pembelajar yang berhak memperoleh kesempatan belajar yang setara dalam satuan pendidikan yang sama. Prinsip kesetaraan kesempatan ini telah memperoleh legitimasi kuat di Indonesia melalui Undang Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan dipertegas oleh Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan serta yang Memiliki Potensi Kecerdasan dan atau Bakat Istimewa. Kedua regulasi tersebut menjadi payung normatif bagi satuan pendidikan untuk menghadirkan layanan yang adil, bermutu, dan adaptif terhadap keberagaman kebutuhan peserta didik [1], [2].Pada jenjang pendidikan anak usia dini, khususnya Taman Kanak Kanak, penerapan inklusi memiliki arti strategis. Masa kanak kanak awal merupakan periode kritis perkembangan kognitif, bahasa, sosial emosional, dan motorik. Kualitas stimulasi dan pengalaman belajar pada fase ini akan sangat memengaruhi lintasan perkembangan anak pada jenjang berikutnya. Literatur pedagogi inklusif menekankan bahwa pembelajaran yang efektif pada konteks usia dini menuntut diferensiasi strategi, materi, dan asesmen agar responsif terhadap kebutuhan individual serta ritme perkembangan yang tidak seragam antar anak [6], [3]. Dengan kata lain, keberhasilan inklusi pada level Taman Kanak Kanak tidak hanya ditentukan oleh ketersediaan akses, tetapi juga oleh kapasitas guru dalam mengelola proses belajar yang benar benar berpihak pada kebutuhan setiap anak.
Kenyataan di lapangan menunjukkan tantangan yang nyata. Di TK Negeri 2 Kecamatan Muara Wahau Kabupaten Kutai Timur yang telah mulai menerapkan prinsip inklusif, komposisi kelas bersifat heterogen. Terdapat anak dengan perkembangan tipikal berdampingan dengan anak yang menunjukkan indikasi kebutuhan khusus seperti hambatan komunikasi, kesulitan memusatkan perhatian, atau tantangan perilaku. Berdasarkan observasi dan wawancara awal, tidak ada guru yang pernah menjalani pelatihan khusus dalam pendidikan inklusif. Guru mengalami kesulitan dalam memilih dan menggunakan sumber belajar adaptif, menyusun rencana pembelajaran yang terdiferensiasi, mengidentifikasi indikator awal gangguan perkembangan, dan menerapkan manajemen perilaku positif. Selain berdampak buruk pada harga diri dan kesehatan emosional guru dalam menangani dinamika kelas, situasi ini juga menurunkan kualitas kesempatan belajar bagi siswa berkebutuhan khusus maupun tipikal. Diyakini bahwa tantangan mendasar dalam kelas inklusif berkaitan dengan tiga domain penting. Kemampuan untuk membedakan instruksi berdasarkan elemen konten, proses, dan produk merupakan langkah pertama untuk memastikan bahwa tujuan pembelajaran tetap dapat dicapai oleh anak-anak dengan beragam profil kemampuan. Langkah kedua adalah manajemen perilaku, yang menekankan pada pencegahan, penguatan positif, dan intervensi yang tepat. Ketiga, modifikasi proses berdasarkan evaluasi berkelanjutan terhadap kebutuhan anak-anak tertentu. Tanpa fondasi yang kuat dalam ketiga area ini, guru akan kesulitan mengelola keragaman kebutuhan di kelas, yang akan menurunkan efektivitas pembelajaran, menurut literatur tentang praktik inklusi [3].
Salah satu taktik penting dalam konteks kompetensi guru adalah supervisi instruksional. Alih-alih dipandang hanya sebagai alat administratif, supervisi dipandang sebagai proses pengembangan profesional berkelanjutan yang bertujuan untuk meningkatkan standar perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian pembelajaran. Rujukan klasik dan kontemporer tentang supervisi menekankan peran pemantauan berbasis bukti, umpan balik yang spesifik dan dapat ditindaklanjuti, serta pendampingan yang membantu guru memecahkan masalah instruksional nyata di kelas [4]. Ketika supervisi dijalankan secara konsisten, terarah, dan berfokus pada kebutuhan guru, kualitas pengajaran dan hasil belajar peserta didik cenderung meningkat. Dimensi lain yang tidak kalah penting adalah sifat supervisi yang reflektif dan kolaboratif. Pendekatan ini menempatkan guru sebagai profesional yang dihargai penilaiannya, yang diajak berdialog untuk menganalisis praktiknya, menimbang alternatif strategi, dan merancang perbaikan yang realistis. Kajian tentang efikasi guru menunjukkan bahwa praktik supervisi yang membangun kepercayaan profesional, menyediakan ruang refleksi terstruktur, dan memberikan umpan balik langsung dapat memperkuat keyakinan diri guru, memantik kreativitas instruksional, dan meningkatkan kesiapsiagaan menghadapi situasi kelas inklusif yang kompleks [5]. Pada ranah pendidikan anak usia dini, keberhasilan supervisi juga menuntut pemahaman komprehensif tentang karakteristik perkembangan dan sensitivitas terhadap kebutuhan individual sehingga rekomendasi yang lahir benar benar aplikatif di ruang kelas [6].
Kondisi di TK Negeri 2 Kecamatan Muara Wahau menunjukkan adanya kesenjangan antara tuntutan pedagogi inklusif dan praktik pengawasan yang berlangsung. Supervisi cenderung bersifat administratif dan ritual. Belum ada pembelajaran analitis mendalam yang menyertai observasi kelas. Memberikan umpan balik umum kepada guru lebih merupakan pendekatan langsung, yang tidak mendorong pengambilan keputusan proses yang baik. Praktik manajemen yang baik dan pembelajaran yang terdiferensiasi belum banyak mendapat perhatian. Selama strategi belum berubah, guru akan terus kekurangan dukungan teknis yang diperlukan untuk meningkatkan kualitas manajemen kelas inklusif secara signifikan. Oleh karena itu, studi ini menunjukkan bahwa supervisi instruksional merupakan intervensi penting untuk meningkatkan efikasi guru TK dalam mengelola kelas inklusif. Pendekatan Penelitian Tindakan Sekolah (School Action Research/SRA), yang menekankan siklus perencanaan, tindakan, observasi, dan refleksi, digunakan untuk merancang studi ini. Kepala sekolah dan guru bekerja sama untuk melakukan observasi kelas berbasis instrumen standar, diikuti dengan sesi umpan balik spesifik indikator kinerja dan rekomendasi untuk perencanaan pembelajaran yang terdiferensiasi. Tiga area kinerja interaksi pembelajaran adaptif dan responsif untuk peserta didik yang beragam, konsistensi perilaku manajemen yang positif dan suportif, dan kualitas perencanaan yang memprioritaskan kebutuhan individu diperkirakan akan mengalami peningkatan yang terukur sebagai hasil dari strategi ini. Kontribusi teoretis studi ini memperkuat bukti bahwa, dalam konteks inklusi anak usia dini, supervisi pengajaran yang reflektif dan kolaboratif secara signifikan memengaruhi kemanjuran dan kinerja guru. Temuan diharapkan memperkaya literatur yang mengaitkan kualitas supervisi dengan peningkatan kualitas pengajaran dan capaian belajar dalam pengaturan kelas yang heterogen [4], [5], [6]. Kontribusi praktisnya adalah tersedianya model supervisi yang kontekstual untuk satuan pendidikan Taman Kanak Kanak di daerah yang menghadapi keterbatasan sumber daya, dengan langkah langkah implementasi yang jelas, alat bantu yang sederhana namun andal, dan mekanisme tindak lanjut yang realistis untuk memastikan keberlanjutan perbaikan praktik.
Pada akhirnya, upaya meningkatkan kinerja guru melalui supervisi pengajaran bukan sekadar cara untuk memenuhi persyaratan hukum; melainkan upaya profesional untuk memastikan setiap anak mendapatkan layanan terbaik yang disesuaikan dengan kebutuhan mereka. Dalam kerangka pendidikan inklusif, keberhasilan berarti memastikan semua siswa memiliki akses terhadap pengalaman belajar yang bermakna. Untuk mencapai tujuan ini, sangat penting bagi guru untuk mendapatkan bantuan yang memadai agar dapat terus belajar, memikirkan proses pengajaran mereka, dan meningkatkannya. Supervisi pembelajaran yang dirancang dengan prinsip prinsip di atas merupakan salah satu instrumen paling nyata untuk mewujudkannya [1]–[6]. Kebaruan penelitian ini terletak pada penerapan supervisi pembelajaran berbasis siklus Penelitian Tindakan Sekolah (PTS) yang dipadukan dengan coaching individual dalam konteks Taman Kanak-Kanak yang menghadapi keterbatasan sumber daya. Berbeda dari studi supervisi pada umumnya yang lebih menekankan aspek administratif atau pengawasan rutin, penelitian ini menawarkan model supervisi yang reflektif, kolaboratif, sekaligus kontekstual untuk pendidikan inklusif di tingkat PAUD. Nilai tambahnya adalah pada desain implementasi yang sederhana namun aplikatif, sehingga dapat direplikasi oleh satuan pendidikan lain di daerah dengan kondisi serupa, sekaligus memberi dasar bagi pengembangan kebijakan dan program pelatihan guru pada level yang lebih luas.
Penelitian ini menggunakan Penelitian Tindakan Sekolah untuk meningkatkan kinerja guru dalam pengelolaan kelas inklusi melalui supervisi pembelajaran yang sistematis, kolaboratif, dan partisipatif dengan mengadopsi model siklus Kemmis dan McTaggart yang meliputi perencanaan pelaksanaan tindakan observasi dan refleksi [7]. Penelitian ini berlangsung di TK Negeri 2 di Kecamatan Muara Wahau dari Maret hingga Juni 2025. Empat guru kelas terlibat langsung dalam pembelajaran inklusif karena mereka tertarik menjadi perancang, pelaksana, dan evaluator proses belajar mengajar. Siklus pertama berfokus pada perlunya diagnosis dan intervensi dini melalui pengembangan RPPH yang ramah inklusif untuk implementasi pembelajaran, dilengkapi dengan supervisi langsung, umpan balik, observasi, dan proses interaksi, yang kemudian dianalisis untuk merancang penyempurnaan. Siklus kedua menekankan penguatan dan pendalaman melalui revisi strategi diferensiasi coaching individual diskusi antar guru serta observasi lebih rinci pada kemampuan diferensiasi manajemen emosi anak dan penggunaan media adaptif. Data kuantitatif berupa skor kinerja guru dianalisis dengan teknik statistik deskriptif menggunakan rata-rata, persentase capaian, dan kategori kualitatif (sangat baik, baik, cukup, kurang) berdasarkan interval skor. Kriteria minimal 80% guru yang memperoleh skor rata-rata ≥ 4,0 digunakan untuk menghitung persentase penyelesaian dan menilai keberhasilan setiap siklus. Melalui proses kategorisasi tematik berdasarkan indikator kinerja (perencanaan, implementasi, pengelolaan kelas, interaksi dengan anak berkebutuhan khusus, refleksi, dan respons terhadap supervisi), data kualitatif dari wawancara, catatan lapangan, dan dokumentasi diringkas. Triangulasi antara narasi empiris dan temuan numerik juga dilakukan melalui penyajian data dalam bentuk narasi deskriptif yang membantu interpretasi hasil kuantitatif. Adapun siklus perencanaan dan tindakan yang akan dilakukan ialah sebagai berikut:
Figure 1. Siklus Perencanaan dan Tindakan Penelitian
1. Kondisi Awal Kinerja Guru
Berdasarkan observasi dan wawancara awal yang dilakukan dengan 7 (tujuh) guru di TK Negeri 2 Kecamatan Muara Wahau, terungkap bahwa kinerja guru dalam mengelola kelas inklusi masih cukup rendah. Mereka belum sepenuhnya mengerti tentang pendidikan inklusi dan belum bisa merancang metode pembelajaran yang sesuai bagi berbagai kemampuan anak, termasuk anak berkebutuhan khusus (ABK).
Hasil observasi pra tindakan menggunakan skala satu sampai lima pada aspek perencanaan pelaksanaan pengelolaan kelas interaksi dengan anak berkebutuhan khusus refleksi dan respons terhadap supervisi menunjukkan rata rata awal sekitar lima puluh persen yang berada pada kategori cukup rendah sehingga menegaskan perlunya intervensi melalui supervisi pembelajaran, sedangkan wawancara awal menguatkan temuan tersebut karena keempat guru menyatakan belum pernah mengikuti pelatihan khusus pendidikan inklusi, mengaku kesulitan mengelola perilaku anak berkebutuhan khusus, dan seluruhnya menyatakan membutuhkan bimbingan supervisi yang spesifik terkait strategi pembelajaran inklusif.
2 . Siklus I
Pada tahap perencanaan, kepala sekolah bersama para guru mengadakan rapat koordinasi untuk menyamakan tujuan dan peran dalam PTS, mengidentifikasi permasalahan utama pengelolaan kelas inklusi berdasarkan hasil observasi awal dan wawancara, serta menyusun program supervisi pembelajaran yang menitikberatkan pada penyusunan RPPH ramah inklusi, pemilihan metode dan media pembelajaran adaptif, dan strategi pengelolaan perilaku anak berkebutuhan khusus. Instrumen supervisi dipersiapkan berupa lembar observasi supervisi, format evaluasi RPPH, dan panduan wawancara reflektif, sementara jadwal supervisi, waktu pelaksanaan tindakan, dan mekanisme pembimbingan pasca supervisi ditetapkan agar sinkron dengan kegiatan sekolah.
Pada tahap pelaksanaan tindakan, guru melaksanakan pembelajaran di kelas inklusi sesuai RPPH yang telah disusun sementara peneliti dan kepala sekolah melakukan supervisi langsung di kelas dengan mengamati aspek perencanaan, pelaksanaan pembelajaran inklusif, pengelolaan kelas, dan interaksi dengan anak berkebutuhan khusus. Setelah pembelajaran selesai diberi umpan balik segera yang bersifat konstruktif dan praktis sebagai bahan perbaikan, dan guru diminta menyusun refleksi pribadi mengenai proses pembelajaran serta rencana tindak lanjut berdasarkan masukan yang diterima.
Observasi dilakukan secara kontinu selama proses pembelajaran untuk mencatat kesungguhan guru dalam menyusun dan mengimplementasikan RPPH inklusif, kemampuan menerapkan diferensiasi metode, respons guru terhadap perilaku anak berkebutuhan khusus, pengelolaan suasana kelas, serta upaya membangun interaksi positif antar anak; semua temuan dicatat dalam lembar observasi supervisi dan dokumentasi lapangan sebagai dasar analisis, refleksi bersama, dan penyusunan perbaikan untuk siklus berikutnya.
Hasil observasi Siklus I menunjukkan rata-rata skor komposit 3,6 (72%) yang menggambarkan peningkatan nyata dari kondisi awal yang rata-rata < 2,5. Perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran memperoleh skor terbaik pada tingkat indikator, dengan skor 4,0 (80%). Refleksi dan evaluasi memperoleh skor 3,75 (75%), respons terhadap supervisi memperoleh skor 3,5 (70%), manajemen kelas inklusif memperoleh skor 3,25 (65%), dan interaksi dengan anak berkebutuhan khusus memperoleh skor terburuk yaitu 3,0 (60%). Guru D dan Guru E memiliki rata-rata pencapaian tertinggi (≥ 3,7), sedangkan Guru R memperoleh rata-rata terendah (3,5). Semua guru menunjukkan hasil yang lebih baik dibandingkan sebelum tindakan. Dari hasil ini, dapat ditarik beberapa kesimpulan yang bermanfaat. Kekuatan utama guru adalah dapat membuat RPPH inklusif dan menindaklanjutinya sesuai rencana, yang berarti indikator perencanaan dan pelaksanaan memperoleh skor yang baik. Meskipun demikian, masih terdapat beberapa kelemahan. Misalnya, ketika guru mengubah strategi untuk memenuhi kebutuhan setiap siswa, mereka justru mengganggu pembelajaran. Mereka juga kesulitan menangani perilaku anak berkebutuhan khusus, dan masih jarang menggunakan media pembelajaran adaptif. Hasil ini konsisten dengan skor rendah untuk manajemen kelas dan interaksi dengan anak berkebutuhan khusus. Para peneliti, kepala sekolah, dan guru sepakat bahwa telah terjadi banyak kemajuan, tetapi target keberhasilan minimum (skor 4,0/80%) belum sepenuhnya tercapai. Hal ini berarti bahwa perbaikan difokuskan pada Siklus II, dengan fokus pada peningkatan metode, pelatihan teknik manajemen perilaku berbasis penguatan positif, peningkatan penggunaan media adaptif, dan pembinaan pasca-supervisi untuk memastikan bahwa apa yang dipelajari di kelas dipraktikkan.
3 . Siklus II
Pada tahap perencanaan Siklus II, kepala sekolah dan guru menyusun RPPH hasil revisi yang memuat metode diferensiasi lebih beragam, penyesuaian materi sesuai karakteristik anak berkebutuhan khusus, serta persiapan media visual dan alat peraga adaptif; selain itu disusun strategi pengelolaan perilaku yang dipersonalisasi untuk setiap anak ABK, jadwal supervisi yang lebih intensif, rancangan coaching individu pasca-supervisi, dan forum diskusi reflektif antar guru sebagai wadah berbagi pengalaman dan perbaikan praktik. Pada tahap pelaksanaan, guru menerapkan pembelajaran berdasarkan RPPH yang telah direvisi sementara peneliti dan kepala sekolah melakukan supervisi lanjutan melalui pengamatan langsung di kelas dengan perhatian khusus pada pengelolaan perilaku anak ABK; supervisi dilengkapi pemberian umpan balik segera dan coaching individual setelah pembelajaran sehingga guru mendapat kesempatan merevisi RPPH dan strategi pelaksanaan berdasarkan masukan praktis. Selama observasi Siklus II peneliti dan kepala sekolah memantau kesiapan guru dalam melaksanakan pembelajaran inklusif, tingkat keterlibatan anak ABK dalam aktivitas pembelajaran, respons guru terhadap perilaku khusus, penggunaan media adaptif, serta suasana dan interaksi sosial antar peserta didik; semua temuan dicatat secara terperinci pada lembar observasi khusus sebagai bukti untuk analisis dan refleksi lanjutan.
Hasil observasi pada Siklus II menunjukkan peningkatan keseluruhan yang signifikan dibandingkan Siklus I dengan rata rata skor komposit 4,25 atau 85 persen sehingga semua guru mencapai skor rata rata minimal 4,0 yang telah ditetapkan sebagai indikator keberhasilan intervensi. Secara indikator, terjadi kenaikan pada hampir seluruh aspek penilaian; perencanaan pembelajaran meningkat dari 4,0 menjadi 4,25 (80% ke 85%), pelaksanaan pembelajaran dari 4,0 menjadi 4,25 (80% ke 85%), pengelolaan kelas inklusif dari 3,25 menjadi 4,0 (65% ke 80%), interaksi dengan ABK dari 3,0 menjadi 4,0 (60% ke 80%), refleksi dan evaluasi dari 3,75 menjadi 4,5 (75% ke 90%), serta respons terhadap supervisi dari 3,5 menjadi 4,5 (70% ke 90%). Dari sisi individu, Guru D dan Guru E menunjukkan kemajuan paling menonjol dengan skor rata rata masing masing 4,7 dan 4,3 sementara Guru M dan Guru R juga mengalami perbaikan menjadi rata rata 4,0; peningkatan ini menandakan transfer pembelajaran dari kegiatan supervisi ke praktik kelas yang lebih konsisten pada seluruh guru. Refleksi bersama setelah Siklus II mengonfirmasi perbaikan kualitas praktik; guru melaporkan meningkatnya kepercayaan diri dalam menyusun dan menerapkan RPPH inklusif, intensifikasi penggunaan media adaptif, serta efektivitas pengelolaan perilaku anak ABK; guru juga menyatakan metode supervisi yang menggabungkan umpan balik langsung coaching individual dan forum diskusi reflektif sangat membantu dalam mempercepat perubahan praktik. Sehingga, data kuantitatif dan temuan kualitatif pada Siklus II menunjukkan bahwa supervisi pembelajaran yang terstruktur dan berkelanjutan berhasil meningkatkan profesionalisme dan kinerja guru dalam pengelolaan kelas inklusi, dan temuan ini menjadi dasar kuat untuk merekomendasikan penguatan skema pembinaan serupa secara berkelanjutan di unit PAUD lain.
Dari hasil yang diperoleh, berikut ini dapat dilihat perkembangan kinerja guru:
Figure 2. Diagram Perkembangan Kinerja Guru Antar Siklus
Gambar di atas memperlihatkan tren peningkatan kinerja guru dari tahap pra-tindakan hingga siklus II. Pada tahap pra-tindakan, skor rata-rata kinerja guru masih berada di angka 2,5 atau setara dengan 50% dari kriteria keberhasilan. Setelah intervensi pada siklus I, terjadi peningkatan yang cukup signifikan, dengan rata-rata skor mencapai 3,6 (72%). Peningkatan ini terutama terlihat pada Guru A dan Guru D yang berhasil mencapai skor di atas 3,7. Pada siklus II, seluruh guru menunjukkan peningkatan kinerja yang konsisten dan merata. Guru A mencapai skor 4,3; Guru B sebesar 4,0; Guru C sebesar 4,0; dan Guru D bahkan mencapai 4,7. Secara keseluruhan, rata-rata kinerja guru meningkat menjadi 4,25 (85%), sehingga melampaui batas ketuntasan yang ditetapkan yaitu rata-rata ≥ 4,0. Grafik ini menegaskan bahwa supervisi pembelajaran yang sistematis, reflektif, dan dilengkapi coaching individual mampu memberikan dampak positif yang nyata terhadap peningkatan kualitas perencanaan, pelaksanaan, dan pengelolaan kelas inklusif. Dengan visualisasi ini, pembaca dapat lebih mudah memahami arah perubahan sekaligus mengapresiasi capaian penelitian, karena peningkatan terlihat jelas dalam bentuk tren yang terukur dari pra-tindakan ke siklus II.
Hasil penelitian menunjukkan peningkatan kinerja guru yang konsisten dari pra-tindakan (rata-rata 2,5 atau 50%) ke Siklus I (3,6 atau 72%) dan selanjutnya ke Siklus II (4,25 atau 85%). Peningkatan tersebut terjadi pada seluruh dimensi yang diukur yaitu perencanaan pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran, pengelolaan kelas inklusif, interaksi dengan anak berkebutuhan khusus (ABK), refleksi dan evaluasi, serta respons terhadap supervisi. Temuan ini memperkuat gagasan bahwa supervisi pembelajaran yang sistematis, reflektif, dan kolaboratif dapat meningkatkan kompetensi praktik guru secara nyata di lapangan [4], [7]. Perencanaan pembelajaran inklusif mengalami peningkatan substansial; guru yang semula kesulitan menyusun RPPH berdiferensiasi menjadi mampu merancang tujuan, materi, dan aktivitas yang menyesuaikan kemampuan peserta didik sehingga keterlibatan seluruh anak meningkat. Temuan ini sejalan dengan temuan Friend dan Bursuck yang menekankan pentingnya diferensiasi instruksional dalam kelas inklusi [3] serta dengan studi yang menekankan bahwa pembinaan praktis memperbaiki kualitas perencanaan guru [9].
Pada aspek pelaksanaan pembelajaran adaptif, intervensi supervisi yang mengkombinasikan observasi langsung, umpan balik terfokus, dan coaching individual membantu guru memilih metode yang lebih fleksibel serta memanfaatkan media visual dan aktivitas permainan interaktif sehingga proses belajar menjadi lebih responsif terhadap kebutuhan individual [10]. Hal ini mendukung temuan penelitian terdahulu yang menunjukkan bahwa pendampingan teknis mempercepat transfer kompetensi ke praktik kelas [11]. Pengelolaan kelas inklusif dan penanganan perilaku anak menunjukkan perbaikan yang signifikan pada Siklus II. Guru belajar menerapkan strategi penguatan positif, teknik pengalihan, dan pengaturan lingkungan kelas yang preventif sehingga frekuensi kejadian perilaku problematik menurun dan durasi intervensi menjadi lebih singkat. Perbaikan ini konsisten dengan literatur manajemen kelas inklusif yang menyatakan bahwa bimbingan praktis dan contoh langsung meningkatkan kemampuan guru dalam menangani dinamika perilaku [12], [5]. Interaksi guru dengan ABK meningkat dari aspek empati, kesabaran, hingga penggunaan komunikasi alternatif dan arahan sederhana yang berulang; perbaikan ini memperlihatkan peningkatan efikasi sosial-emosional guru dan berdampak positif terhadap partisipasi ABK dalam kegiatan kelompok. Temuan ini selaras dengan penelitian yang menunjukkan bahwa supervisi reflektif meningkatkan kepercayaan diri guru ketika berinteraksi dengan siswa berkebutuhan khusus [13].
Refleksi dan evaluasi pembelajaran menjadi kebiasaan yang lebih terstruktur setelah penerapan mekanisme umpan balik dan forum diskusi antar guru. Adanya dokumentasi reflektif dan tindak lanjut RPPH menunjukkan bahwa supervisi tidak hanya memperbaiki keterampilan teknis tetapi juga membentuk budaya pembelajaran profesional yang berkelanjutan, sebagaimana dicatat dalam kajian supervisi klinis [14]. Reaksi guru terhadap supervisi berubah dari pasif menjadi proaktif; diskusi kelompok dan bimbingan individual membantu guru menyerap kritik dan membuat perubahan pada metode mereka sendiri. Perubahan perspektif ini konsisten dengan gagasan bahwa supervisi dialogis mendorong pembelajaran mandiri dan budaya perbaikan berkelanjutan [15].
Hasil positif ditemukan didukung oleh sejumlah faktor penting, termasuk: (a) desain supervisi yang terstruktur dan berkelanjutan (observasi langsung + umpan balik + bimbingan); (b) partisipasi aktif dan terbuka guru dalam diskusi reflektif; (c) dukungan kepemimpinan proaktif dari kepala sekolah; (d) penggunaan media adaptif dasar; dan (e) kontekstualisasi intervensi yang sesuai dengan kondisi sumber daya lokal. Faktor-faktor ini memperkuat argumen bahwa kombinasi pendekatan teknis dan kontekstual adalah kunci keberhasilan peningkatan kualitas praktik pembelajaran inklusif [4], [5], [11]. Hasil ini konsisten dengan temuan sebelumnya yang menunjukkan efektivitas supervisi akademik sistematis terhadap peningkatan keterampilan guru inklusi [15], [16], dan mendukung bukti bahwa supervisi klinis mampu meningkatkan profesionalisme guru PAUD [17]. Kebaruan penelitian ini terletak pada penerapan model supervisi berbasis Penelitian Tindakan Sekolah (PTS) dengan dua siklus supervisi yang menekankan coaching individual serta forum reflektif di lingkungan TK dengan sumber daya terbatas; model ini memberikan bukti empiris kontekstual yang dapat menjadi rujukan implementatif bagi unit PAUD di daerah serupa. Kesimpulan menunjukkan bahwa program pelatihan guru harus mengintegrasikan observasi terstruktur, umpan balik praktis, pembinaan individual, dan forum reflektif. Kepala sekolah dan supervisor dapat mengadopsi paket instrumen sederhana (lembar observasi, formulir umpan balik, dan panduan pembinaan) yang diuji dalam studi ini untuk mempercepat pengembangan kompetensi guru yang inklusif. Selain itu, kebijakan pelatihan dan pembinaan harus memfasilitasi pendampingan berkelanjutan di tempat kerja.
Namun demikian, temuan penelitian ini juga menunjukkan beberapa hal yang berbeda dengan teori umum. Misalnya, literatur supervisi sering menekankan pentingnya dukungan teknologi pembelajaran dan perangkat asesmen digital [10], [12], sementara di konteks TK Negeri 2 Muara Wahau yang menghadapi keterbatasan sumber daya, peningkatan kinerja guru justru lebih banyak ditopang oleh pemanfaatan media sederhana dan strategi berbasis interaksi langsung. Hal ini mengindikasikan bahwa efektivitas supervisi tidak semata ditentukan oleh kelengkapan sarana, melainkan oleh konsistensi pendampingan, relevansi umpan balik, dan kesediaan guru untuk berefleksi. Selain itu, teori manajemen kelas inklusif umumnya menekankan pentingnya pelatihan intensif jangka panjang [5], [13], tetapi dalam penelitian ini perubahan signifikan sudah dapat terlihat hanya dalam dua siklus intervensi. Fakta ini memperlihatkan bahwa supervisi berbasis praktik nyata (on-the-job coaching) memiliki daya ungkit yang lebih cepat dibanding pelatihan konvensional yang bersifat teoretis. Perbedaan ini memperkaya diskursus bahwa model supervisi perlu dikontekstualisasikan: pada daerah dengan sumber daya terbatas, strategi sederhana yang konsisten lebih efektif daripada pendekatan berbasis teknologi tinggi atau pelatihan formal jangka panjang.
Berdasarkan Penelitian Tindakan Sekolah yang dilaksanakan dalam dua siklus terhadap empat guru di TK Negeri 2 Kecamatan Muara Wahau, dapat disimpulkan bahwa supervisi pembelajaran yang terstruktur, kolaboratif, dan reflektif memberikan dampak signifikan terhadap peningkatan kinerja guru dalam pengelolaan kelas inklusi. Dari 2,5 sebelum tindakan, skor kinerja guru rata-rata meningkat menjadi 3,6 pada Siklus I dan 4,25 pada Siklus II. Perencanaan RPPH yang terdiferensiasi, penerapan pembelajaran adaptif, pengelolaan perilaku anak berkebutuhan khusus, serta pengembangan keterampilan refleksi dan komunikasi profesional merupakan area yang menunjukkan peningkatan terbesar. Kerangka teoritis supervisi akademik dan klinis diperkuat oleh studi ini, yang menyoroti bahwa pendidikan supervisi merupakan proses pengembangan profesional yang berkelanjutan, bukan sekadar supervisi administratif. Penerapan supervisi berbasis Penelitian Tindakan Sekolah (PAS) di lingkungan taman kanak-kanak dengan sumber daya terbatas, beserta kombinasi observasi langsung, umpan balik terarah, bimbingan personal, dan forum reflektif, menjadikan studi ini unik. Hal ini memberikan bukti empiris bahwa kinerja guru inklusif dalam pendidikan anak usia dini (PAUD) dapat ditingkatkan secara efektif melalui supervisi yang lugas namun teratur. Guru harus terus mengembangkan kompetensi inklusif mereka melalui pelatihan, praktik reflektif, dan memandang supervisi sebagai bentuk dukungan profesional, sesuai dengan implikasi praktis studi ini. Melalui supervisi dialogis yang rutin dan pembinaan lanjutan, kepala sekolah diharapkan dapat meningkatkan peran mereka sebagai pemimpin instruksional. Selain menciptakan media dan fasilitas adaptif yang mendorong pembelajaran inklusif, lembaga pendidikan anak usia dini perlu memasukkan program supervisi pembelajaran ke dalam rencana pengembangan profesional mereka. Dalam skala yang lebih besar, dinas pendidikan dan pemerintah daerah diharapkan akan mendukung penerapan model ini dengan menyediakan sumber daya dan dukungan kebijakan, serta pelatihan supervisi khusus bagi kepala sekolah TK inklusif. Sementara itu, bagi peneliti selanjutnya dianjurkan untuk memperluas cakupan sampel dan durasi penelitian, mengadopsi metode campuran atau studi longitudinal guna menilai dampak jangka panjang, serta mengeksplorasi supervisi berbasis digital atau blended agar pembinaan guru lebih berkelanjutan dan mudah dijangkau di berbagai konteks PAUD.
Ucapan Terima Kasih
Terima kasih kepada Kepala TK Negeri 2 Kecamatan Muara Wahau, para guru peserta penelitian, serta seluruh pihak yang telah memberikan dukungan, waktu, dan kerjasama sehingga penelitian ini dapat terlaksana. Ucapan terima kasih khusus disampaikan kepada dosen pembimbing dan rekan sejawat yang telah memberikan bimbingan, masukan, dan motivasi hingga penyusunan laporan ini selesai.
Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, 2003.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan/atau Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa, 2009.
M. Friend and W. D. Bursuck, Including Students with Special Needs: A Practical Guide for Classroom Teachers, 8th ed. Boston, MA: Pearson, 2018.
C. D. Glickman, S. P. Gordon, and J. M. Ross-Gordon, SuperVision and Instructional Leadership: A Developmental Approach, 10th ed. Boston, MA: Pearson, 2014.
M. Tschannen-Moran and C. R. Gareis, “Reflective and Collaborative Supervision to Build Teacher Efficacy,” in The Wiley Handbook of Educational Supervision, S. J. Zepeda and J. A. Ponticell, Eds. Hoboken, NJ: Wiley, 2019, pp. 209–228.
T. Loreman, “Pedagogy for Inclusive Education,” Oxford Research Encyclopedia of Education, 2017.
S. Kemmis and R. McTaggart, The Action Research Planner. Geelong, Victoria: Deakin University Press, 1988.
S. Andayani, “Implementasi supervisi klinis untuk meningkatkan profesionalisme guru PAUD dalam konteks pendidikan inklusif,” Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, vol. 8, no. 1, pp. 35–46, 2021.
Z. Arifin, M. Mahfud, and N. Nurhayati, “Supervisi pembelajaran untuk meningkatkan profesionalisme guru,” Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, vol. 10, no. 2, pp. 120–134, 2020.
T. Booth and M. Ainscow, Index for Inclusion: Developing Learning and Participation in Schools. Bristol: Centre for Studies on Inclusive Education (CSIE), 2002.
A. Burhanuddin, Supervisi Pendidikan: Konsep dan Aplikasinya bagi Pengawas dan Guru. Bandung: Alfabeta, 2008.
W. Carr and S. Kemmis, Becoming Critical: Education, Knowledge and Action Research. Geelong, Victoria: Deakin University Press, 1986.
Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia, Pedoman Pelaksanaan Supervisi Akademik. Jakarta: Direktorat Tenaga Kependidikan, Direktorat Jenderal PMPTK, 2008.
H. Fitriani and S. Suparman, “Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja guru dalam mengelola kelas inklusif,” Jurnal Ilmiah Pendidikan, vol. 7, no. 3, pp. 87–95, 2021.
J. L. Gibson, J. M. Ivancevich, and J. H. Donnelly, Organizations: Behavior, Structure, Processes, 13th ed. New York: McGraw-Hill, 2009.
S. Arifin, A. Hidayat, and R. S. Putri, “Pembinaan dan supervisi pembelajaran di sekolah inklusi,” Jurnal Supervisi Pendidikan, vol. 3, no. 1, 2022.
M. Ismail and A. Rahman, “Supervisi akademik dalam penguatan kompetensi guru di sekolah inklusif,” Jurnal Pendidikan Khusus, vol. 6, no. 1, pp. 56–67, 2021.