Sukesi (1), Pujaningsih (2), Ishartiwi (3)
General Background: Early childhood education plays a crucial role in shaping children’s development, yet teachers often struggle to conduct systematic initial assessments for identifying children with special needs. Specific Background: Despite inclusive education being a global and national priority, many kindergarten teachers lack the necessary skills, leading to delayed interventions and missed opportunities for tailored support. Knowledge Gap: Previous training programs remain mostly theoretical, one-directional, and disconnected from real classroom contexts, with limited research combining guided training and Project-Based Learning (PjBL) for early assessment in preschool settings. Aims: This study aimed to improve kindergarten teachers’ skills in conducting initial assessments of children with special needs through guided training using a PjBL approach. Results: Using collaborative School Action Research in two cycles, findings showed significant improvements in teachers’ cognitive, affective, and psychomotor competencies, with more structured assessment practices and reflective attitudes toward inclusive education. Novelty: The study introduces an integrated training model that extends the application of PjBL from instructional design to early assessment, an area rarely explored in early childhood education research. Implications: The proposed model provides a replicable framework for education authorities and early childhood institutions to strengthen teacher competence in inclusive education, contributing to sustainable improvements in service quality and supporting broader educational equity goals.Highlight :
Teachers’ ability in early assessment improved through guided training with PjBL.
Competence increased across cognitive, affective, and psychomotor aspects.
The model supports sustainable inclusive education practices.
Keywords : Initial Assessment, Children With Special Needs, Kindergarten Teachers, Project-Based Learning, Guided Training, Inclusive Education
Pendidikan anak usia dini merupakan dasar utama untuk membentuk kepribadian, karakter dan ketrampilan anak, multilateral yang akan menjadi bekal dasar yang berguna bagi kehidupan mereka di masa depan. Masa usia dini sering disebut masa emas. Karena pada tahap tersebut perkembangan otak anak berkembang dengan sangat menggembirakan. Pengalaman belajar bahkan bisa berpengaruh besar terhadap kualitas hidup mereka kelak [1]. Guru Taman Kanak-Kanak (TK) ini memiliki peran penting dalam memandu anak-anak proses perkembangan, baik dari segi kognitif, sosial emosional, bahasa (Sastra), maupun psikomotorik. Peran itu semakin penting lagi bila guru TK bersinggungan dengan anak Berkebutuhan Khusus (ABK), yang membutuhkan lebih banyak keahlian dalam mengenal kebutuhan-kebutuhan khusus anak sehingga assessment awal sebaiknya ditempuh dengan tepat, sistematis, terstruktur [2].
Untuk membantu guru menentukan cara terbaik mendukung pembelajaran setiap anak dan jenis dukungan yang mereka butuhkan, asesmen dini sangat penting bagi pendidikan inklusif. Dengan menggunakan tes yang tepat, guru dapat menentukan sejak dini apa yang dapat dilakukan seorang anak dan apa yang mungkin menjadi tantangan bagi mereka. Hal ini memungkinkan mereka untuk menerapkan intervensi lebih cepat, lebih akurat, dan lebih efektif [3]. Namun, pada kenyataannya, melakukan asesmen dini masih menghadirkan kesulitan besar bagi sebagian besar guru taman kanak-kanak. Misalnya, guru seringkali tidak memiliki alat yang jelas dan hanya mengandalkan observasi sepintas di kelas taman kanak-kanak inklusif. Akibatnya, orang tua hanya mengetahui tentang transisi anak-anak mereka ke sekolah dasar, dan anak-anak yang menunjukkan tanda-tanda keterlambatan bicara yang jelas tidak menerima intervensi tepat waktu. Studi sebelumnya telah menunjukkan bahwa banyak pendidik tidak berpengalaman dalam menggunakan alat penilaian standar, menunjukkan kekurangan dalam memahami indikator perkembangan anak, dan kurang percaya diri dalam menyampaikan hasil penilaian kepada orang tua [4]. Hal ini menunjukkan bahwa ada kesenjangan antara apa yang perlu diketahui guru taman kanak-kanak dan apa yang dapat mereka lakukan dalam hal penilaian.
Model pelatihan yang ditawarkan saat ini berkaitan erat dengan keterbatasan kapasitas guru dalam melakukan penilaian awal. Sebagian besar program pelatihan yang signifikan biasanya satu arah, teoretis, dan tanpa pengalaman dunia nyata. Keterampilan penilaian, di sisi lain, adalah kemampuan praktis yang membutuhkan instruksi intensif, introspeksi, dan pengalaman langsung untuk dikuasai [5]. Akibatnya, pendidik tidak dapat mengenali kebutuhan khusus siswa di kelas pada waktu yang tepat. Ada kemungkinan lebih besar bahwa kondisi anak akan tidak memadai dan perawatan mereka akan tertunda, yang dapat menghambat upaya untuk pendidikan inklusif. Pelatihan terbimbing, juga dikenal sebagai pelatihan yang diawasi, adalah pendekatan pengganti yang sesuai untuk menangani masalah ini. Dengan pembinaan terbimbing, yang menekankan pada perolehan bantuan langsung dari instruktur atau mentor yang berkualifikasi, guru dapat belajar melalui pengalaman dunia nyata, praktik langsung, dan refleksi kelompok. Teori Vygotsky menyatakan bahwa pembelajaran yang efektif terjadi di zona perkembangan proksimal (ZPD), yaitu keterampilan yang dapat dipelajari seseorang dengan bantuan orang yang lebih berpengalaman [6]. Dalam hal ini, pembinaan terbimbing menyediakan lingkungan yang aman di mana guru dapat bereksperimen, menerima umpan balik, dan segera melakukan penyesuaian. Selain itu, teori pembelajaran eksperiensial Kolb, yang menyoroti bahwa pembelajaran bermakna terjadi ketika orang menjalani siklus nyata mengalami, merefleksikan, menafsirkan, dan menerapkan kembali, konsisten dengan pendekatan efektivitas ini. Oleh karena itu, kombinasi PjBL dan pelatihan terbimbing meningkatkan kecakapan teknis, kepercayaan diri, dan pengetahuan guru sekaligus memperkuat sikap profesional mereka saat melakukan evaluasi awal bagi siswa berkebutuhan khusus. Kerangka teoritis ini menempatkan penelitian ini dalam wacana akademis yang lebih luas dan menunjukkan bagaimana pelatihan strategi yang dibutuhkan dalam teori pembelajaran kontemporer dapat mengatasi kesulitan aktual pendidikan inklusif di lapangan.
Sebaliknya, metodologi Pembelajaran Berbasis Proyek (PjBL) memiliki potensi yang signifikan untuk diimplementasikan dalam pelatihan guru. PjBL adalah metode pembelajaran berbasis proyek yang memungkinkan siswa atau guru untuk mengambil bagian dalam perencanaan, pelaksanaan, dan produksi proyek yang penting bagi pekerjaan mereka [7]. Selain mempelajari teori penilaian, PjBL memberikan pengalaman praktis kepada guru dengan memungkinkan mereka melakukan tugas-tugas seperti mengembangkan alat untuk melacak perkembangan anak, melakukan penilaian di kelas, dan mengomunikasikan temuan penilaian kepada orang tua. PjBL memberikan pengalaman belajar yang kontekstual, kolaboratif, dan reflektif yang membantu mengembangkan keterampilan praktis yang lebih dalam, menurut Thomas [7] dan Krajcik dan Blumenfeld [8]. Penelitian sebelumnya telah menunjukkan kemanjuran PjBL dalam meningkatkan kemahiran pendidik anak usia dini di sejumlah bidang. Fitriana [4] menunjukkan bahwa pelatihan terbimbing yang dikombinasikan dengan pendekatan praktik kehidupan nyata dapat meningkatkan kapasitas guru pendidikan anak usia dini untuk melayani anak-anak berkebutuhan khusus, sementara Prasetyo dan Lestari [9] menemukan bahwa penggunaan PjBL dapat meningkatkan kemampuan guru untuk menciptakan pembelajaran inklusif. Saat ini ada beberapa penelitian yang secara khusus menggabungkan PjBL dan pelatihan terbimbing untuk meningkatkan kemahiran penilaian guru taman kanak-kanak. Sebagian besar penelitian masih berfokus pada asesmen di jenjang sekolah dasar dan menengah, sedangkan kajian di tingkat PAUD masih jarang dilakukan [10]. Kondisi ini menunjukkan adanya celah penelitian (research gap) yang penting untuk dijawab.
Dengan menggabungkan PjBL dengan teknik pelatihan terbimbing, studi ini bertujuan untuk menciptakan model pelatihan guru taman kanak-kanak berdasarkan paralel ini. Selain memberi guru pengalaman praktis dan kontekstual, kombinasi ini mengatasi kekurangan model pelatihan sebelumnya, yang terlalu teoretis. Guru yang menerima pelatihan ini dapat menerapkan gagasan penilaian awal untuk mengidentifikasi anak-anak dengan kebutuhan khusus dengan cara yang praktis, bijaksana, dan kooperatif selain memahaminya secara konseptual. Akibatnya, studi ini baru karena menggabungkan PjBL dan pelatihan terbimbing untuk meningkatkan keterampilan penilaian guru taman kanak-kanak pada saat yang sama. Pendekatan ini belum umum digunakan dalam penelitian pendidikan anak usia dini di Indonesia. Temuan studi ini diharapkan dapat memajukan model pelatihan guru pendidikan anak usia dini secara teoritis dan secara praktis meningkatkan kemampuan guru taman kanak-kanak untuk mendukung pelaksanaan pendidikan inklusif berkualitas tinggi di Indonesia.
Melalui partisipasi aktif para pendidik, kepala sekolah, dan peneliti, Penelitian Tindakan Sekolah (SAR) merupakan pendekatan kualitatif yang bertujuan untuk secara langsung meningkatkan praktik pendidikan di lingkungan sekolah [11], [12]. Pendekatan ini dipilih karena dapat mengintegrasikan prosedur penelitian dan praktik pada saat yang sama, memastikan bahwa temuan penelitian tidak hanya teoritis tetapi juga benar-benar berkontribusi pada pengembangan kompetensi guru. SAR lebih relevan daripada survei penelitian yang hanya menggambarkan kondisi atau eksperimen yang memberikan prioritas pada variabel kontrol karena memungkinkan guru untuk belajar melalui pengalaman langsung, refleksi, dan perbaikan berkelanjutan. Proses seleksi ini juga diprediksi berdasarkan kebutuhan untuk menganalisis secara cermat proses peningkatan kompetensi guru taman kanak-kanak dalam penilaian awal anak berkebutuhan khusus, dengan peneliti berperan sebagai kolaborator dan fasilitator [13]. Desain penelitian menggunakan model spiral Kemmis dan McTaggart [14], yang terdiri dari fase perencanaan, pelaksanaan, observasi, dan refleksi yang diulang dalam beberapa siklus. Program pelatihan terpandu berdasarkan Project-Based Learning (PjBL) dikembangkan oleh peneliti dan sekolah selama tahap perencanaan, bersama dengan alat untuk penilaian, observasi, dan pendampingan kontekstual [15]. Implementasinya meliputi latihan, pendampingan guru dalam pengembangan dan penggunaan alat penilaian awal, dan metode penilaian berbasis proyek di kelas [16]. Partisipasi guru, kemampuan penilaian, dan tantangan baru didokumentasikan melalui observasi sistematis menggunakan catatan lapangan, jurnal reflektif, dokumentasi, dan lembar observasi [17]. Refleksi kemudian dilakukan untuk mencapai tujuan, mengidentifikasi hambatan, dan mengembangkan rencana perbaikan untuk siklus berikutnya untuk menjamin peningkatan kompetensi guru terjadi secara bertahap, metodis, dan berkelanjutan [18].
Adapun Bagan siklus yang akan dilakukan pada penelitian ini ialah sebagai berikut:
Figure 1. Bagan Siklus
Model spiral Kemmis dan McTaggart [20], yang terdiri dari empat tahap—perencanaan, tindakan, observasi, dan refleksi—digunakan dalam desain penelitian. Tahap-tahap ini diulang dua kali dalam dua siklus. Mengidentifikasi kendala guru, pelatihan berbasis PjBL, menyusun alat penilaian, memberikan tes awal, dan menganalisis hasil merupakan bagian dari kegiatan siklus I. Berdasarkan temuan refleksi siklus I, siklus II difokuskan pada bimbingan intensif, praktik lapangan, studi kasus, dan penyempurnaan instrumen. Data dikumpulkan melalui evaluasi kinerja guru, studi dokumentasi, wawancara semi-terstruktur, observasi terstruktur, dan jurnal reflektif [21]. Di antara sumber daya yang digunakan adalah lembar observasi berdasarkan indikator kompetensi penilaian [22], pedoman wawancara, jurnal reflektif guru, dan rubrik penilaian kinerja. Standar kompetensi guru PAUD dari Kementerian Pendidikan Nasional [23], teori kompetensi pedagogik [24], dan studi penilaian kinerja guru oleh Cangelosi [25] dan Glickman [26] dikonsultasikan dalam penyusunan indikator observasi dan pedoman wawancara. Thomas [27] dan Markham [28] dikutip dalam penggunaan PjBL sebagai kerangka pelatihan. Observasi terstruktur, wawancara semi terstruktur, studi dokumentasi, evaluasi kinerja guru, dan jurnal reflektif digunakan untuk mengumpulkan data [21]. Rubrik penilaian kinerja, jurnal reflektif guru, pedoman wawancara, dan lembar observasi berdasarkan indikator kompetensi penilaian [22] merupakan beberapa alat yang digunakan. Standar kompetensi guru PAUD dari Kementerian Pendidikan Nasional [23], teori kompetensi pedagogik [24], dan studi penilaian kinerja guru oleh Cangelosi [25] dan Glickman [26] dikonsultasikan dalam penyusunan indikator observasi dan pedoman wawancara. Thomas dan Markham [28] dikutip dalam penggunaan PjBL sebagai kerangka pelatihan. Menurut Miles, Huberman, dan Saldaña, analisis data kualitatif dilakukan dalam tiga tahap: reduksi data, penyajian data, dan penarikan/verifikasi kesimpulan. Triangulasi data dilakukan dengan membandingkan temuan observasi, wawancara, refleksi jurnal, dan dokumen guru. Prosedur analisis setiap siklus diulang, yang menunjukkan peningkatan kompetensi guru yang stabil, terorganisir, dan berkelanjutan.
Untuk mengevaluasi kemampuan guru TK dalam melakukan asesmen awal untuk anak berkebutuhan khusus (ABK), observasi awal dilakukan sebelum intervensi. Berdasarkan observasi, para guru umumnya kurang menguasai keterampilan asesmen secara optimal. Guru DN memiliki kecakapan dasar dalam mengenali ciri ABK, namun pencatatan dan pelaporan hasil asesmen belum sistematis. Meskipun mereka tidak mampu menciptakan alat yang terstruktur, guru di MY memahami konsep asesmen awal. Penilaian menjadi lebih intuitif dan berbasis pengalaman karena guru WN terus berjuang dengan konseptualisasi dan masalah teknis. Menurut wawancara guru, yang menguatkan temuan observasional, guru mengakui nilai penilaian dini dalam pendidikan inklusif tetapi merasa sulit untuk memahami ide-ide mendasar, prosedur, dan pilihan alat ukur yang sesuai. Selain itu, guru merasa sulit untuk membedakan antara siswa dengan disabilitas perkembangan dan mereka yang memiliki variasi dalam perkembangan yang khas. Pelatihan teknis yang tidak memadai dan kurangnya alat penilaian yang dapat dipercaya memperburuk masalah ini. Mayoritas format penilaian guru, menurut analisis dokumen, bersifat generik, tidak terstandarisasi, dan tidak berkonsentrasi pada pemetaan kebutuhan siswa tertentu. Selain itu, beberapa jurnal refleksi guru terus bersifat deskriptif, kurang memperhatikan pemrosesan hasil penilaian. Untuk meningkatkan kapasitas mereka, guru harus menerima pelatihan yang kontekstual, terstruktur dengan baik, dan relevan mengingat keadaan pra-siklus. Taktik yang tepat untuk mengatasi masalah ini dan meningkatkan keterampilan guru dalam evaluasi awal anak-anak berkebutuhan khusus adalah pelatihan terbimbing menggunakan pendekatan Pembelajaran Berbasis Proyek (PjBL).
Kami menggunakan analisis dan observasi pra-siklus untuk menemukan perbedaan tingkat kompetensi guru selama asesmen pertama anak berkebutuhan khusus. Guru DN menunjukkan kompetensi rendah hingga sedang, meskipun beliau pandai membuat instrumen sederhana dan memiliki pemahaman dasar tentang anak berkebutuhan khusus. Namun, ditemukan kekurangan yang signifikan dalam evaluasi hasil tes, komunikasi orang tua, dan implementasi Pembelajaran Berbasis Proyek (PBL)—yang semuanya hampir mustahil. Hal ini menunjukkan bahwa untuk meningkatkan kompetensinya, DN masih membutuhkan pelatihan yang ketat dan pendampingan berkelanjutan.
Pemahaman dan penilaian Guru MY masih dalam tahap awal. Meskipun pengetahuan dasar mulai muncul, integrasi, implementasi, dan analisis hasil evaluasi PBL masih kurang. Kapasitas MY untuk membuat alat penilaian terstruktur masih terbatas, meskipun mereka telah menunjukkan pendekatan kolaboratif. Oleh karena itu, untuk meningkatkan kompetensinya, diperlukan simulasi integrasi PBL yang lebih realistis, pendampingan yang ketat, dan pelatihan teknis berbasis praktik.
Dibandingkan dengan dua guru lainnya, Guru WN menunjukkan tingkat kemahiran paling rendah. Dalam evaluasi awal anak berkebutuhan khusus, ia memperoleh skor terendah di hampir semua komponen penilaian, yang menunjukkan kurangnya kemahiran teknis dan pemahaman konseptual. Guru berkualifikasi nasional tidak mampu menciptakan alat asesmen yang sesuai, mengenali karakteristik anak berkebutuhan khusus, atau menafsirkan hasil asesmen dengan tepat. Meskipun demikian, terdapat peluang untuk menumbuhkan pola pikir introspektif dan kemauan untuk berdialog. Hal ini merupakan titik awal yang krusial ketika menawarkan pelatihan intensif, terutama dalam hal memahami konsep asesmen dan menerapkan PjBL.
Adapun yang dinilai ialah sebagai berikut:
Temuan ini menunjukkan bahwa kemampuan guru dalam melakukan evaluasi awal untuk mengidentifikasi anak berkebutuhan khusus bervariasi. Hal ini mendukung perlunya pelatihan berbasis pembelajaran berbasis proyek untuk membekali guru dengan pemahaman yang lebih baik dan keterampilan yang berguna dalam membuat dan melaksanakan penilaian. Oleh karena itu, hasil pra-siklus memvalidasi bahwa pengetahuan konseptual, keterampilan pengembangan instrumen, dan penerapan identifikasi sistematis guru masih terbatas dalam melakukan penilaian awal. Hal ini mendukung perlunya pelatihan terbimbing berbasis pembelajaran berbasis proyek sebagai intervensi untuk membantu guru mengembangkan pemahaman yang lebih mendalam dan keterampilan praktis dalam membuat dan melaksanakan penilaian yang sesuai dengan konteks pendidikan inklusif, efektif, dan reflektif.
Pada Siklus I, pelatihan terbimbing berbasis Project-Based Learning (PjBL) dilaksanakan melalui workshop dan diskusi intensif. Materi yang diberikan meliputi konsep dasar asesmen awal ABK, pengenalan instrumen asesmen, analisis studi kasus, dan penyusunan instrumen asesmen berbasis kasus. Guru dilibatkan aktif dalam perancangan instrumen, praktik penerapan di kelas, serta refleksi awal. Observasi menunjukkan adanya peningkatan kemampuan guru dibandingkan pra-siklus. Meskipun masih kesulitan menafsirkan hasil dan menerapkan Pembelajaran Berbasis Proyek (PBL), Guru DN mulai memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang anak berkebutuhan khusus, perangkat pengembangan, dan implementasi asesmen. Guru MY berkembang pesat, mulai menyusun materi yang relevan, menggunakan tes yang lebih sesuai, dan berpartisipasi aktif dalam kelompok proyek serta introspeksi. Guru WN membuat kemajuan dalam mengidentifikasi ciri-ciri anak berkebutuhan khusus dan mencoba menciptakan sumber daya, tetapi ia masih kesulitan memahami hasil dan menerapkannya. Meskipun terdapat variasi dalam kinerja individu, semua guru menunjukkan tren umum peningkatan kompetensi.
Temuan wawancara mendukung temuan ini. Para instruktur melaporkan mempelajari informasi baru tentang hasil asesmen awal, menjadi lebih nyaman dengan perangkat asesmen, dan mulai menyadari nilai dari strategi dokumentasi. Mereka masih merasa kesulitan untuk menjelaskan hasil tes kepada orang tua, memasukkan Pembelajaran Berbasis Proyek (PBL) ke dalam pelajaran mereka, dan memahami hasil tes karena kurangnya pengalaman. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun Siklus I berhasil menghasilkan pengetahuan dan keterampilan baru, panduan teknis dan reflektif yang ekstensif masih diperlukan.
Untuk memahami secara lebih mendalam proses pembelajaran dan transformasi internal yang dialami guru selama mengikuti pelatihan terbimbing dengan pendekatan Project-Based Learning (PjBL), peneliti meminta para guru yang terlibat untuk menuliskan jurnal reflektif. Penulisan jurnal ini dilakukan secara rutin selama pelaksanaan tindakan, terutama setelah setiap sesi pelatihan dan praktik asesmen awal terhadap anak berkebutuhan khusus (ABK). Menyelidiki pengalaman masing-masing guru dalam menerapkan materi pelatihan, termasuk proses berpikir mereka, tantangan yang dihadapi, pencapaian, dan refleksi atas keterampilan penilaian awal mereka, merupakan tujuan penulis jurnal reflektif ini. Melalui jurnal ini, para guru dapat berbagi perspektif, sikap, dan keterampilan mereka yang terus berkembang dalam menerapkan asesmen inklusif yang memenuhi kebutuhan masing-masing siswa. Jurnal ini merupakan alat yang berharga. Selain itu, jurnal reflektif memberikan kesempatan bagi guru untuk menyampaikan ide, emosi, serta saran dalam mengembangkan praktik asesmen yang lebih efektif.
Pada pelaksanaan Siklus I, ketiga guru menunjukkan adanya peningkatan kemampuan dalam melakukan asesmen awal terhadap anak berkebutuhan khusus (ABK) setelah mengikuti pelatihan terbimbing dengan pendekatan Project-Based Learning (PjBL). Masing-masing guru menunjukkan capaian yang bervariasi, menggambarkan perbedaan tingkat perkembangan dan kebutuhan bimbingan yang perlu diberikan, sebagai berikut:
Pelatihan terbimbing berbasis pembelajaran berbasis proyek telah terbukti meningkatkan kapasitas guru dalam melakukan evaluasi awal terhadap siswa berkebutuhan khusus. Kesenjangan kinerja guru menunjukkan pentingnya pendampingan tatap muka yang berkelanjutan, terutama dalam meningkatkan kemampuan analisis data dan memperdalam integrasi asesmen berbasis proyek ke dalam pendidikan anak usia dini.
Perencanaan Siklus II didasarkan pada hasil refleksi dari Siklus I, dengan fokus pada peningkatan kemampuan asesmen praktis dan penggabungan studi kasus nyata anak berkebutuhan khusus. Dengan tetap berpegang pada prinsip-prinsip Pembelajaran Berbasis Proyek (PjBL), perencanaan dilakukan secara kolaboratif dengan mempertimbangkan kondisi lapangan. Kegiatan dilakukan dengan cara yang lebih praktis, termasuk latihan analitis berbasis studi kasus dan pengalaman praktis dalam menciptakan dan menggunakan alat asesmen di kelas. Hal ini bertujuan untuk menjamin bahwa para pendidik tidak hanya memahami gagasan tersebut, tetapi juga menerapkan penilaian dengan cara yang peka terhadap kebutuhan anak-anak.
Observasi Siklus II menunjukkan peningkatan di hampir setiap aspek kemahiran guru. Meskipun hasil analisis masih perlu pemeriksaan lebih lanjut, Guru DN lebih metodis dalam pembuatan dan penerapan instrumen. Guru MY menunjukkan partisipasi aktif dalam kerja sama tim dan mulai memodifikasi instrumen sesuai kebutuhan anak-anak, tetapi konsistensinya masih kurang. Guru WN menunjukkan peningkatan dalam memahami dasar-dasar penggunaan instrumen dasar, tetapi ia masih mengalami kesulitan dalam analisis data dan tindak lanjut. Ketiganya mulai berupaya memasukkan komponen PjBL ke dalam tes, tetapi pelaksanaannya masih dalam tahap awal.
Meningkatnya kepercayaan diri, pemahaman yang lebih baik tentang ciri-ciri anak berkebutuhan khusus, dan penghargaan terhadap pentingnya dokumentasi dan tindak lanjut penilaian semuanya dikonfirmasi oleh wawancara guru. Jurnal reflektif yang ditulis guru menegaskan perubahan sikap menuju lebih reflektif, terbuka untuk berkolaborasi, serta mulai mengaitkan asesmen dengan konteks nyata anak. Secara keseluruhan, Siklus II memperlihatkan perkembangan positif dalam kompetensi guru, meski masih terdapat kebutuhan pendampingan terutama pada analisis hasil asesmen dan penguatan integrasi PjBL agar lebih kontekstual.
Sebelum pelatihan, guru-guru TK yang menjadi peserta penelitian mengikuti asesmen awal (pra-siklus) untuk mengetahui seberapa baik pemahaman dan keterampilan mereka dalam melakukan asesmen awal untuk anak berkebutuhan khusus (ABK). Evaluasi didasarkan pada beberapa komponen dasar: pemahaman ABK, perencanaan asesmen, pelaksanaan asesmen, analisis hasil asesmen, kolaborasi, refleksi, dan pemanfaatan metodologi Pembelajaran Berbasis Proyek (PjBL). Hasil asesmen pra-siklus menunjukkan bahwa sebagian besar guru masih kesulitan memahami konsep asesmen awal, membuat perangkat asesmen terstruktur, dan menggunakan pendekatan PjBL dalam kegiatan asesmen mereka. Hasil ini digunakan untuk merencanakan pelatihan terbimbing yang dilaksanakan pada Siklus I.
Sehingga dapat dijelaskan bahwa pelatihan terbimbing berbasis Project-Based Learning terbukti berkontribusi positif terhadap peningkatan keterampilan guru dalam melaksanakan asesmen awal bagi ABK. Variasi capaian antar guru menunjukkan pentingnya pemberian pendampingan yang bersifat individual dan berkelanjutan, terutama untuk memperkuat kemampuan analisis data dan memperdalam integrasi asesmen berbasis proyek dalam pembelajaran anak usia dini.
Refleksi yang dilakukan pada akhir Siklus II merupakan tahapan penting dalam meninjau keberhasilan program pelatihan terbimbing yang mengadopsi pendekatan Project-Based Learning (PjBL) untuk meningkatkan kompetensi guru Taman Kanak-Kanak (TK) dalam melaksanakan asesmen awal terhadap anak berkebutuhan khusus (ABK). Mereka juga mulai membuat dan menggunakan instrumen penilaian yang lebih sesuai dengan kebutuhan setiap anak. Dibandingkan dengan Siklus I, proses penilaian direncanakan dan dilaksanakan secara lebih efisien dan teratur. Penyediaan tindakan lanjutan yang lebih kontekstual dan analisis hasil penilaian juga menunjukkan kemajuan. Para guru menunjukkan kematangan profesional yang lebih baik dengan menanggapi tuntutan kelas dengan fleksibilitas dan perhatian yang lebih besar. Peningkatan keterampilan komunikasi dan pemahaman tentang nilai sinergi dalam pendidikan inklusif juga ditunjukkan dengan semakin terjalinnya hubungan kolaboratif dengan orang tua dan pendidik lainnya.
Aktivitas berbasis proyek yang sederhana namun bermakna telah diintegrasikan oleh para guru ke dalam implementasi PjBL, yang mendorong eksplorasi potensi anak yang lebih komprehensif dan proses asesmen kontekstual yang lebih menyenangkan. Namun, refleksi ini mengidentifikasi beberapa masalah yang masih ada, seperti sumber daya penilaian yang tidak memadai, disparitas pemahaman guru tentang literasi penilaian, dan kurangnya waktu untuk evaluasi yang menyeluruh. Hal ini menyiratkan bahwa masih diperlukan pendampingan dan pengembangan kapasitas guru yang berkelanjutan. Dengan mempertimbangkan semua hal, refleksi Siklus II menunjukkan bahwa pelatihan Pembelajaran Berbasis Proyek (PjBL) sangat memadai dan memungkinkan guru TK untuk melakukan penilaian awal yang sejalan dengan prinsip-prinsip inklusif dan berfokus pada kebutuhan setiap anak.
Siklus II menunjukkan kemajuan yang lebih nyata dibandingkan Siklus I, terutama dalam membantu guru menjadi lebih baik dalam melakukan asesmen awal untuk anak berkebutuhan khusus (ABK). Guru yang mendapatkan pelatihan terbimbing berkelanjutan dalam metode Pembelajaran Berbasis Proyek (PjBL) menunjukkan pemahaman dan kemampuan yang lebih baik untuk menggunakan konsep-konsep asesmen yang inklusif dan sesuai dengan situasi. Guru mulai lebih memahami apa yang membedakan anak berkebutuhan khusus, dan mereka mampu membuat rencana dan alat asesmen yang lebih terfokus dan terorganisir.Proses pelaksanaan asesmen juga mengalami peningkatan dari segi keteraturan dan analisis hasil yang lebih reflektif, yang kemudian dimanfaatkan untuk menyusun tindak lanjut pembelajaran yang relevan dengan kebutuhan anak. Profesionalisme guru juga semakin baik, ditunjukkan dengan perilaku yang lebih reflektif, kemauan untuk bekerja sama, dan komitmen untuk memperbaiki dan menyempurnakan prosedur penilaian. Selain itu, tes yang dibuat oleh guru terbukti lebih baik dan mendukung gagasan pendidikan inklusif. Namun, masih terdapat beberapa masalah, seperti kurangnya waktu untuk penilaian yang menyeluruh, guru yang kurang memahami cara kerjanya, dan kebutuhan akan alat penilaian yang lebih baik. Namun, secara keseluruhan, hasil Siklus II menunjukkan bahwa pelatihan menggunakan pendekatan PjBL membantu guru TK melakukan penilaian awal untuk anak berkebutuhan khusus secara lebih efektif dan dalam jangka waktu yang lebih lama.
Sehingga perbandingan antara keseluruhan siklus dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Temuan analisis menunjukkan bahwa, dibandingkan dengan Siklus I, sebagian besar aspek kemampuan guru meningkat secara signifikan pada Siklus II. Berdasarkan gagasan inklusivitas dan kebutuhan masing-masing anak, guru mulai menerapkan asesmen awal dengan cara yang lebih metodis, bijaksana, dan kontekstual.Perbedaan pencapaian antar siklus tersebut akan dipaparkan secara rinci dalam tabel dan pembahasan berikutnya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelatihan terbimbing dengan memanfaatkan Project-Based Learning (PjBL) telah efektif meningkatkan kompetensi guru TK dalam melakukan asesmen awal anak berkebutuhan khusus (ABK), terbukti dari adanya peningkatan pemahaman konsep, keterampilan teknis, dan kesadaran reflektif dari pra siklus hingga Siklus II. Keberhasilan ini disebabkan oleh keterlibatan guru, pemberian waktu privat yang banyak oleh fasilitator, metode pelatihan yang memperhatikan situasi, kerja sama guru, refleksi bersama guru, dan dukungan kepala sekolah. Namun masih terdapat permasalahan, seperti guru belum memiliki pengetahuan awal yang cukup, permasalahan dalam membuat alat asesmen, waktu mengajar yang kurang, media dan alat dokumentasi yang belum memadai, serta guru belum saling memahami. Faktor-faktor tersebut menunjukkan bahwa pelatihan telah banyak membantu guru dalam meningkatkan keterampilan asesmennya, namun masih memerlukan pelatihan lebih lanjut dan pendampingan secara berkala agar keterampilannya dapat berkembang secara optimal dan berkelanjutan dalam pendidikan inklusif.
Pengembangan kemampuan guru-guru Taman Kanak-Kanak dalam melaksanakan asesmen awal terhadap anak berkebutuhan khusus (ABK) dilakukan melalui pelatihan yang diarahkan dengan pendekatan Project-Based Learning (PjBL). Kompetensi guru meningkat secara bertahap dari pra-siklus ke Siklus I dan II, yang menunjukkan berakhirnya intervensi. Mayoritas guru pada pra-siklus cenderung menggunakan metode dan alat asesmen tradisional yang kurang sesuai dengan kebutuhan anak berkebutuhan khusus karena mereka belum memahami pentingnya asesmen awal dalam pendidikan inklusif. Hal ini menekankan betapa mendesaknya mengembangkan pelatihan yang terarah dan kontekstual yang memenuhi tuntutan industri yang sebenarnya. Melalui triangulasi data menggunakan observasi, wawancara, jurnal reflektif, dan dokumen penilaian, manfaat pelatihan PjBL dalam meningkatkan kompetensi guru biasanya ditunjukkan. Guru menjadi lebih sadar diri, lebih kooperatif, dan lebih menyadari pentingnya memperhatikan kebutuhan setiap siswa. Sentimen ini digaungkan oleh seorang guru yang menulis dalam jurnal reflektifnya, "Sebelumnya, saya bingung harus mulai dari mana menilai anak-anak, tetapi setelah berlatih mengembangkan instrumen observasi, saya menjadi lebih percaya diri dan tahu apa yang harus diperhatikan." Kutipan ini menggambarkan bagaimana pelatihan tersebut menghasilkan peningkatan yang nyata dalam sikap dan kemampuan para guru. PjBL juga meningkatkan keterlibatan guru dengan mendorong rasa percaya diri, kepemilikan, dan dorongan karena guru berpartisipasi aktif dalam mengembangkan dan menerapkan penilaian proyek. "Saya bersemangat untuk mencobanya lagi karena saya merasa hasilnya lebih relevan dengan situasi kelas saya dengan merancang proyek penilaian saya sendiri," ujar seorang pendidik dalam sebuah wawancara. Hal ini meningkatkan pemahaman tentang pentingnya pendidikan yang inklusif dan berkeadilan.
Temuan penelitian ini konsisten dengan penelitian Prasetyo & Lestari (2020) yang menunjukkan bahwa implementasi PjBL dapat meningkatkan kapasitas guru dalam menciptakan pembelajaran inklusif. Kesamaan ini terlihat dari bagaimana kolaborasi dan pengalaman dunia nyata membantu guru mengembangkan keterampilan praktis mereka. Namun, penelitian ini unik karena memberikan penekanan yang seimbang pada desain pembelajaran dan asesmen dini kemampuan anak berkebutuhan khusus—subjek yang sebelumnya kurang mendapat perhatian di jenjang pendidikan anak usia dini. Hasil ini juga memperluas penggunaan PjBL melampaui kegunaan awalnya sebagai alat desain pembelajaran, yaitu asesmen kebutuhan dini. Namun, hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Fitriana (2022) yang menunjukkan bahwa pelatihan langsung dan terbimbing dapat meningkatkan kemampuan guru PAUD dalam menangani kebutuhan khusus. Cara pendampingan dan refleksi mendalam dalam meningkatkan kepercayaan diri guru juga serupa. Meskipun demikian, penelitian ini menawarkan kontribusi yang unik dengan mengintegrasikan Pembelajaran Berbasis Proyek (PjBL) dan pelatihan terbimbing secara bersamaan. Melalui integrasi ini, guru dapat memahami konsep dan menggabungkannya ke dalam proyek penilaian yang ekstensif, yang mengarah pada pembelajaran yang lebih mendalam dan berkelanjutan.
Menurut teori zona perkembangan proksimal Vygotsky [31] dan penelitian Hmelo-Silver [32], Pembelajaran Berbasis Proyek (PjBL) telah terbukti berhasil dalam mendorong pembelajaran kontekstual dan kolaboratif [30], memotivasi pendidik untuk berpikir kritis, dan mempraktikkan gagasan mereka. Selain itu, pelatihan ini mengubah sikap guru agar lebih responsif terhadap kebutuhan anak-anak selain memberikan pengetahuan [33]. Hal ini mendukung gagasan McLeskey et al. [35] dan Mitchell [34] tentang betapa pentingnya mengintegrasikan teori dan praktik dalam persiapan guru yang inklusif. Melalui PjBL, guru menyusun proyek berbasis kasus nyata, yang menumbuhkan keterampilan berpikir kritis dan pemecahan masalah [36], serta meningkatkan profesionalisme dalam identifikasi dini, sesuai teori experiential learning Kolb [37] yang menekankan pembelajaran bermakna melalui pengalaman langsung, refleksi, dan penerapan kembali. Hasilnya, hasil penelitian ini tidak hanya memvalidasi temuan sebelumnya tetapi juga menyajikan metode baru untuk mengevaluasi anak berkebutuhan khusus (ABK) dalam pendidikan anak usia dini (PAUD) dengan menggabungkan pelatihan terbimbing dengan Pembelajaran Berbasis Proyek (PjBL). Pendekatan ini masih belum umum digunakan. Pengetahuan, kemahiran teknis, dan sikap profesional guru taman kanak-kanak dalam asesmen awal anak berkebutuhan khusus (ABK) terbukti meningkat melalui pelatihan berbasis proyek yang dikombinasikan dengan pendampingan sistematis. Namun, refleksi terakhir pada Siklus II memunculkan banyak masalah, seperti guru tidak memiliki cukup waktu, keterampilan pribadi, dan akses ke sumber daya yang dapat membantu mereka. Untuk mendapatkan penilaian inklusif terbaik, kita memerlukan lebih banyak strategi, seperti pendampingan berkelanjutan dan fasilitas pendukung yang baik. Refleksi terakhir pada Siklus II, di sisi lain, memunculkan sejumlah masalah, seperti perlunya fasilitas pendukung yang lebih baik, keterampilan pribadi, dan tidak cukup waktu. Akibatnya, strategi tambahan, termasuk pendampingan berkelanjutan dan fasilitas pendukung yang memadai, sangat penting untuk mencapai penilaian inklusif yang optimal. Salah satu langkah yang mungkin adalah menyiapkan sistem pendampingan berkelanjutan di mana guru berpengalaman atau pendidik khusus membantu guru taman kanak-kanak dengan proses penilaian secara teratur. Menambahkan alat penilaian digital, seperti aplikasi sederhana untuk melacak kemajuan anak-anak, juga dapat membantu membuat pencatatan lebih akurat, menghemat waktu, dan memudahkan orang tua dan sekolah untuk melaporkan. Dengan adanya dukungan struktural semacam ini, keterbatasan individu dan sarana dapat diminimalkan, sementara keberlanjutan praktik asesmen inklusif semakin terjamin.
Studi ini menemukan bahwa keterampilan guru TK dalam melakukan asesmen awal untuk mengidentifikasi anak berkebutuhan khusus (ABK) meningkat melalui pelatihan terbimbing menggunakan pendekatan Pembelajaran Berbasis Proyek (PjBL). Pemahaman mereka terhadap konsep asesmen, kemahiran dalam membuat dan menggunakan alat, serta keyakinan guru dalam melakukan observasi dan menginformasikan hasil identifikasi kepada orang tua, semuanya menunjukkan peningkatan ini. Melalui pelatihan kontekstual, aplikatif, dan reflektif, guru didorong untuk belajar secara aktif, menyusun strategi penilaian yang disesuaikan dengan kelas mereka, dan memahami nilai identifikasi dini sebagai dasar perencanaan pembelajaran inklusif. Selain itu, hasil studi menunjukkan bahwa kemampuan penilaian guru dapat ditingkatkan secara progresif dan berkelanjutan melalui pendekatan pelatihan berbasis proyek yang sistematis. Hasil ini menyiratkan bahwa teknik pembelajaran berbasis pengalaman dan kontekstual dapat menjadi alternatif yang bermanfaat untuk meningkatkan kemahiran pendidik anak usia dini dalam menerapkan pendekatan pengajaran inklusif. Dinas pendidikan dan lembaga pendidikan anak usia dini lainnya didorong untuk menerapkan dan mereplikasi model pelatihan terbimbing berbasis PjBL ini dalam perumusan program guru profesional. Pendekatan ini dapat meningkatkan kualitas layanan pendidikan inklusif secara menyeluruh jika mendapatkan dukungan kebijakan dan fasilitas yang tepat. Pengintegrasian temuan studi ini ke dalam kebijakan pelatihan guru diharapkan dapat mempercepat kemajuan pendidikan anak usia dini yang memenuhi beragam kebutuhan anak. Implikasi jangka panjang dari penelitian ini mencakup potensi model pelatihan ini untuk menginformasikan penyusunan kebijakan nasional yang akan mendukung pendidik anak usia dini dalam meningkatkan pengajaran mereka kepada anak-anak penyandang disabilitas. Implementasi strategi ini secara luas dan jangka panjang dapat membantu Indonesia menciptakan sistem pendidikan yang inklusif, membantu negara ini mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) di bidang pendidikan, dan menjamin bahwa setiap anak berhak atas pendidikan yang adil, unggul, dan setara.
Ucapan Terima Kasih
Peneliti mengucapkan terima kasih kepada Kepala Sekolah, guru, serta seluruh pihak di TK Negeri 1 Kecamatan Sangkulirang atas partisipasi dan dukungannya dalam penelitian ini. Apresiasi juga disampaikan kepada pembimbing dan rekan sejawat yang telah memberikan arahan dan masukan berharga.
Arikunto, S., Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik, ed. revisi. Jakarta, Indonesia: Rineka Cipta, 2013.
Dewey, J., Experience and Education. New York, NY, USA: Macmillan, 1938.
Kemmis, S., and McTaggart, R., The Action Research Planner. Geelong, VIC, Australia: Deakin University, 1988.
Miles, M. B., Huberman, A. M., and Saldaña, J., Qualitative Data Analysis: A Methods Sourcebook, 3rd ed. Thousand Oaks, CA, USA: SAGE Publications, 2014.
Mulyasa, E., Manajemen dan Kepemimpinan Kepala Sekolah. Jakarta, Indonesia: Bumi Aksara, 2013.
Nurani, Y., and Yulianti, K., “Implementasi Asesmen Awal pada Anak Berkebutuhan Khusus di PAUD Inklusif,” Jurnal Pendidikan Anak, vol. 6, no. 2, pp. 134–144, 2020. [Online]. Available: [https://doi.org/10.21831/jpa.v6i2.31874](https://doi.org/10.21831/jpa.v6i2.31874)
Prawiradilaga, W., Desain dan Pengembangan Teknologi Pembelajaran. Jakarta, Indonesia: Kencana Prenada Media Group, 2012.
Rusman, Pembelajaran Berbasis Proyek: Mengembangkan Pembelajaran Tematik Terintegrasi di Sekolah Dasar. Jakarta, Indonesia: Rajawali Pers, 2017.
Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung, Indonesia: Alfabeta, 2019.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta, Indonesia: Sekretariat Negara, 2003.
UNESCO, Policy Guidelines on Inclusion in Education. Paris, France: UNESCO, 2009.
Abduh, M., Pendidikan Sebagai Internalisasi Nilai dan Budaya Bangsa. Yogyakarta, Indonesia: Pustaka Ilmu, 2022.
Anwar, S., Pendidikan Inklusif dan Potensi Luar Biasa Anak. Makassar, Indonesia: Lentera Edukasi, 2020.
Blumenfeld, P. C., Krajcik, J. S., and Marx, R. W., Learning with Projects: A Meaning-Centered Approach. New York, NY, USA: Teachers College Press, 2006.
Buck Institute for Education, Essentials of Project-Based Learning. Novato, CA, USA: BIE Press, 2021.
Daryanto, and Raharjo, M., Model Pembelajaran Inovatif. Yogyakarta, Indonesia: Gava Media, 2012.
Fauziah, N., “Pentingnya Asesmen dalam Pendidikan Inklusif,” Jurnal Psikopedagogi, vol. 6, no. 2, pp. 143–156, 2019. [Online]. Available: [https://doi.org/10.12928/psikopedagogia.v6i2.11724](https://doi.org/10.12928/psikopedagogia.v6i2.11724)
Fitriana, M., “Efektivitas Pelatihan Terbimbing terhadap Kompetensi Guru PAUD dalam Melayani ABK,” Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, vol. 10, no. 2, pp. 125–137, 2022. [Online]. Available: [https://doi.org/10.21009/JPUD.102.07](https://doi.org/10.21009/JPUD.102.07)
Hidayat, T., “Strategi Asesmen Anak Berkebutuhan Khusus Berbasis Program Individual,” Jurnal Ilmiah Pendidikan Khusus, vol. 7, no. 1, pp. 77–85, 2021. [Online]. Available: [https://doi.org/10.24036/jupe70236.2021](https://doi.org/10.24036/jupe70236.2021)
Hobbs, L., and Stovall, M., “Enhancing Early Childhood Educators’ Skills in Special Needs Assessment through Mentored Projects,” Early Childhood Education Journal, vol. 48, no. 6, pp. 765–778, 2020. [Online]. Available: [https://doi.org/10.1007/s10643-020-01054-3](https://doi.org/10.1007/s10643-020-01054-3)
Indiarti, N., “Memahami Kebutuhan Belajar Anak Berkebutuhan Khusus,” Jurnal Pendidikan Inklusif Indonesia, vol. 3, no. 2, pp. 99–110, 2021.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Panduan Teknis Pelaksanaan Pendidikan Inklusif di Pendidikan Anak Usia Dini. Jakarta, Indonesia: Direktorat PAUD, 2021.
Krajcik, J. S., and Blumenfeld, P. C., “Project-Based Learning,” in The Cambridge Handbook of the Learning Sciences, R. K. Sawyer, Ed. Cambridge, UK: Cambridge University Press, 2006, pp. 317–333.
Krisnanto, A., “Pembelajaran Berbasis Proyek dalam Pendidikan Karakter,” Jurnal Inovasi Pendidikan, vol. 4, no. 1, pp. 21–34, 2022.
Lee, M. S., Park, H. Y., and Chen, Y. C., “Teacher Development through Collaborative Project-Based Learning in Early Childhood Special Education,” International Journal of Inclusive Education, vol. 26, no. 8, pp. 923–940, 2022. [Online]. Available: [https://doi.org/10.1080/13603116.2020.1792623](https://doi.org/10.1080/13603116.2020.1792623)
Mangunsong, F., Psikologi dan Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus. Depok, Indonesia: LPSP3 UI, 2021.
Muhammad, A., “Pendidikan Sebagai Proses Kolaboratif Keluarga, Sekolah, dan Masyarakat,” Jurnal Pendidikan Holistik, vol. 5, no. 1, pp. 33–47, 2022.
Nurasiah, “Model Pembelajaran Berbasis Proyek dalam Konteks Pendidikan Inklusif,” Jurnal Kajian Pendidikan Inklusif, vol. 2, no. 3, pp. 201–213, 2022.
Nurhayati, L., “Individualisasi dalam Asesmen ABK: Pendekatan Praktik Reflektif,” Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini dan Inklusif, vol. 6, no. 1, pp. 11–24, 2023.
Prasetyo, A., and Lestari, I., “Penerapan Project-Based Learning dalam Peningkatan Kompetensi Guru PAUD di Lingkungan Inklusif,” Jurnal Inovasi Pendidikan Anak Usia Dini, vol. 8, no. 3, pp. 233–247, 2020.
Rahmawati, D., “Pelatihan Asesmen Awal bagi Guru TK dalam Mengidentifikasi Anak Berkebutuhan Khusus,” Jurnal Pendidikan Inklusif, vol. 6, no. 1, pp. 45–58, 2021.
Smith, A., and Taylor, R., “Building Early Intervention through Teacher-Led Projects in Inclusive Settings,” Journal of Early Intervention Research, vol. 17, no. 3, pp. 211–229, 2021.
Sihombing, R., “Anak Berkebutuhan Khusus dan Pendidikan Berbasis Potensi,” Jurnal Psikologi Perkembangan Anak, vol. 4, no. 2, pp. 144–158, 2022.
Sugiyono, Metode Penelitian Tindakan Kelas dan Sekolah. Bandung, Indonesia: Alfabeta, 2021.
Sunardi, “Anak Berkebutuhan Khusus: Pendekatan Pedagogis dan Psikologis,” Jurnal Pendidikan Khusus dan Inklusif, vol. 5, no. 2, pp. 118–127, 2020.
Sunardin, “Penguatan Pembelajaran Berbasis Proyek untuk Pengembangan Karakter Siswa,” Jurnal Pendidikan Inovatif, vol. 3, no. 1, pp. 89–100, 2019.
Suyanto, Pendidikan Sebagai Upaya Sistematis Mengembangkan Potensi Anak. Yogyakarta, Indonesia: Pustaka Humaniora, 2020.
Supriyanto, T., “Identifikasi dan Intervensi Anak Berkebutuhan Khusus Sejak Dini,” Jurnal Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus, vol. 6, no. 2, pp. 120–133, 2022.
Thomas, J. W., A Review of Research on Project-Based Learning. San Rafael, CA, USA: The Autodesk Foundation, 2000.
Vygotsky, L. S., Mind in Society: The Development of Higher Psychological Processes, M. Cole, V. John-Steiner, S. Scribner, and E. Souberman, Eds. Cambridge, MA, USA: Harvard University Press, 1978.
Wang, L., Zhang, Y., and Li, M., “Project-Based Learning for Inclusive Education: Impact on Teacher Competence in Special Needs Assessment,” International Journal of Special Education, vol. 35, no. 2, pp. 55–70, 2020.
Yuliana, S., and Sari, M. P., “Kendala Guru PAUD dalam Pelatihan Pendidikan Inklusif: Studi di Lingkungan Sekolah Swasta,” Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran Inklusif, vol. 5, no. 1, pp. 89–102, 2023.
Zamroni, “Pendidikan Sebagai Pemberdayaan Manusia: Integrasi Aspek Kognitif, Afektif, dan Psikomotorik,” Jurnal Transformasi Pendidikan, vol. 6, no. 3, pp. 155–168, 2021.