Login
Section Innovation in Industrial Engineering

Applying the House of Risk Method for Operational Risk Management in the Frozen Food Industry

Penerapan Metode Rumah Risiko dalam Pengelolaan Risiko Operasional di Industri Makanan Beku
Vol. 26 No. 4 (2025): October:

Adyatma Nagata (1), Iriani Iriani (2), Hafid Syaifullah (3)

(1) Program Studi Teknik Industri, Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur, Indonesia
(2) Program Studi Teknik Industri, Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur, Indonesia
(3) Program Studi Teknik Industri, Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur, Indonesia

Abstract:

General Background: The frozen food industry is expanding rapidly in Indonesia, driven by consumer demand for practical, nutritious, and long-lasting products. Specific Background: However, small and medium-sized enterprises (SMEs) in this sector, such as UD Mitra Abadi in Lamongan, face operational challenges including limited cold storage, fluctuating raw material prices, and inadequate cold chain management. Knowledge Gap: Despite growing awareness of risk management, many SMEs still depend on intuition rather than structured analytical methods, leaving them vulnerable to operational disruptions. Aims: This study applies the House of Risk (HOR) method, integrated with ISO 31000:2018, to systematically identify, analyze, and mitigate operational risks in frozen food production. Results: The analysis identified 15 risk events and 26 risk agents, with key issues such as poor interdepartmental coordination, non-compliance with SOPs, and weak cold chain practices. From 18 proposed preventive actions, six were prioritized based on their Effectiveness-to-Difficulty ratio, including the use of styrofoam packaging, daily briefings, Kanban boards, and 5R principles. Novelty: This study demonstrates a structured, resource-sensitive approach to operational risk management tailored for SMEs in the frozen food sector. Implications: The findings provide practical, scalable mitigation strategies that enhance resilience, efficiency, and competitiveness in similar industries.


Highlights:




  • Identified 15 risk events and 26 risk agents in frozen food operations.




  • Prioritized 6 effective preventive actions using House of Risk analysis.




  • Provides practical, resource-sensitive strategies for SMEs’ resilience.




Keywords: Frozen Food Industry, Operational Risk, House of Risk, Risk Management, SMEs

Downloads

Download data is not yet available.

Pendahuluan

Makanan beku, juga disebut sebagai frozen food, didefinisikan sebagai produk makanan yang diawetkan melalui proses pembekuan untuk menghambat proses pembusukan [1]. Industri makanan beku terus mengalami pertumbuhan pesat seiring meningkatnya permintaan masyarakat terhadap makanan yang praktis, tahan lama, dan bernilai gizi. Di Indonesia, sektor ini menunjukkan tren positif dengan proyeksi nilai pasar mencapai USD 2,78 miliar pada tahun 2030, didorong oleh pertumbuhan rumah tangga kecil, tingginya partisipasi angkatan kerja, serta berkembangnya sistem distribusi dingin [2]. Namun demikian, industri ini masih dihadapkan pada tantangan serius dalam bentuk risiko operasional yang dapat mengancam kualitas produk, efisiensi biaya, dan kepuasan pelanggan [3]. Risiko operasional merupakan risiko yang dapat menyebabkan ketidakefisienan dalam sistem informasi serta pengendalian internal, yang berpotensi menimbulkan kerugian [4]. Risiko-risiko tersebut meliputi kerusakan produk selama distribusi, penyimpanan tidak optimal, pengemasan yang kurang memadai, hingga keterbatasan kapasitas produksi.

Penerapan manajemen risiko menjadi aspek krusial dalam menjamin keberlangsungan dan daya saing industri makanan beku yang tengah berkembang pesat. Manajemen risiko dirancang untuk membantu perusahaan dalam menghadapi ketidakpastian guna mencapai target kinerja yang telah ditetapkan oleh pemangku kepentingan [5]. Penerapan manajemen risiko terbukti efektif karena memungkinkan masalah diidentifikasi dengan jelas sebelum benar-benar terjadi [6]. Berdasarkan Annual Risk Survey: Konteks Indonesia 2023 oleh Indonesia Risk Management Professional Association (IRMAPA), ditemukan bahwa 71% perusahaan di Indonesia telah menerapkan proses manajemen risiko, meskipun baru 32% yang menempatkan manajemen risiko sebagai bagian yang terintegrasi dalam perencanaan strategis korporasi [7]. Data ini menunjukkan bahwa meskipun kesadaran akan pentingnya manajemen risiko telah meningkat, masih banyak perusahaan yang perlu memperdalam integrasi manajemen risiko secara sistematis untuk meningkatkan resiliensi bisnis.

Dalam industri makanan beku yang sangat bergantung pada rantai dingin (cold-chain), penerapan manajemen risiko yang efektif mendukung pengambilan keputusan manajerial yang strategis. Rantai dingin merupakan bagian dari rantai pasok yang menjamin pengendalian suhu untuk produk mudah rusak [8]. Suhu rendah berperan penting dalam memperpanjang umur simpan, menjaga kualitas, serta mencegah pertumbuhan bakteri dan risiko penyakit bawaan makanan. Namun demikian, banyak perusahaan, terutama skala kecil dan menengah masih mengandalkan pengalaman dan intuisi dalam mengelola risiko tanpa pendekatan analitis yang sistematis. Salah satunya yaitu UD Mitra Abadi, suatu usaha kecil menengah (UKM) di Kabupaten Lamongan, Jawa Timur yang bergerak di bidang produksi dan distribusi makanan beku, khususnya produk olahan berbahan dasar ayam dan ikan dengan merek dagang bernama “Horizon”. Badan usaha ini menghadapi berbagai tantangan, seperti keterbatasan kapasitas penyimpanan bahan baku dan produk jadi. Selain itu, distribusi produk juga belum sepenuhnya memenuhi standar cold-chain karena perusahaan masih menggunakan kendaraan biasa tanpa box berpendingin. Kemasan produk pun masih menggunakan kantong plastik sederhana tanpa perlindungan suhu tambahan seperti styrofoam dan dry ice, yang berpotensi menurunkan kualitas produk selama pengiriman. Permasalahan-permasalahan tersebut apabila tidak dikelola secara sistematis, dapat berdampak serius terhadap kualitas produk, efisiensi operasional, dan kepuasan pelanggan.

Sebagai upaya untuk mengelola risiko-risiko operasional tersebut secara efektif, metode House of Risk (HOR) digunakan dalam penelitian ini. Metode ini memadukan Failure Modes and Effects Analysis (FMEA) dengan konsep House of Quality (HOQ) guna memperoleh analisis risiko yang lebih sistematis dan efektif [9]. HOR merupakan pendekatan proaktif dalam membantu mengidentifikasi sumber risiko, menentukan tingkat prioritas risiko, serta merancang strategi mitigasi yang efektif [10]. Terdapat dua fase analisis utama, yaitu HOR fase I dan HOR fase II. Tahap pertama dalam metode House of Risk (HOR) berfokus pada identifikasi risiko yang dapat terjadi dalam setiap proses bisnis. Langkah awal dilakukan dengan memetakan berbagai tahapan proses bisnis untuk mengetahui potensi risiko yang mungkin muncul [11]. HOR fase I bertujuan untuk menentukan peringkat berdasarkan Aggregate Risk Potential (ARP), yang mempertimbangkan tiga faktor utama: tingkat kemunculan risiko (occurrence), tingkat keparahan dampak (severity), dan hubungan antar faktor risiko (interrelationship). Sedangkan, HOR fase II berfokus pada penentuan langkah yang paling tepat untuk diterapkan terlebih dahulu dengan mempertimbangkan efektivitas sumber daya yang digunakan serta tingkat kinerja proyek atau objek yang terlibat [12]. Dengan mengadopsi metode ini, UD Mitra Abadi diharapkan dapat memperoleh pemahaman yang lebih mendalam mengenai sumber-sumber risiko dalam aktivitas operasionalnya, serta membantu dalam merancang langkah-langkah preventif dalam meminimalkan potensi kerugian dan mendukung pertumbuhan usaha.

Metode

Penelitian ini merupakan studi deskriptif kuantitatif yang bertujuan untuk mengidentifikasi dan mengelola risiko operasional dalam proses persediaan, produksi, dan distribusi pada industri makanan beku. Objek kajian adalah UD Mitra Abadi, sebuah usaha kecil menengah (UKM) pengolah makanan beku berbasis ikan yang berlokasi di Lamongan, Jawa Timur. Pengumpulan data dilakukan sepanjang Juni 2025 hingga data dinyatakan lengkap.

Teknik pengumpulan data primer dilakukan melalui observasi lapangan, wawancara semi-terstruktur, dan penyebaran kuesioner. Sedangkan, data sekunder didapatkan melalui studi literatur mengenai risiko operasional di industri yang sejenis. Kuesioner yang disebarkan merupakan kuesioner tertutup, yaitu kuesioner dengan opsi jawaban yang telah tersedia. Teknik sampel yang digunakan adalah Judgement Sampling, yaitu pemilihan sampel berdasarkan suatu pertimbangan tertentu, seperti pendidikan, pengalaman, serta pengetahuan akan topik terkait [13]. Hal ini dilakukan agar mendapatkan hasil yang tepat dan akurat menjawab permasalahan yang ada.

Penelitian ini mengintegrasikan kerangka kerja manajemen risiko berdasarkan SNI ISO 31000:2018 dengan metode House of Risk (HOR) untuk mengidentifikasi, menganalisis, dan merancang strategi mitigasi terhadap risiko operasional. ISO 31000:2018 dirancang sebagai acuan internasional yang menetapkan prinsip-prinsip dasar dan panduan umum dalam penerapan sistem manajemen risiko [14]. Proses manajemen risiko ISO 31000:2018 terdiri dari tahapan identifikasi risiko, analisis risiko, evaluasi risiko, dan perlakuan risiko. Integrasi ini memungkinkan pendekatan yang sistematis dalam pengelolaan risiko, yang ditunjukkan dalam diagram alir (flowchart) berikut:

Gambar 1. Diagram Alir Penelitian

Hasil dan Pembahasan

A . Analisis Risiko ( H ouse of Risk Fase I)

Tahapan identifikasi dan analisis risiko dilakukan melalui HOR Fase I, yang memetakan hubungan antara risk event dan risk agent serta menghitung nilai Aggregate Risk Potential (ARP). Langkah awal dalam Fase I adalah mengidentifikasi berbagai risk event yang berpotensi muncul pada setiap tahapan proses operasional. Risk event merujuk pada peristiwa atau kondisi yang dapat menghambat kelancaran aktivitas, menimbulkan kerugian, atau menyebabkan ketidaksesuaian terhadap standar mutu, waktu, dan biaya produksi. Tingkat keparahan dampak dari masing-masing risk event dinilai menggunakan skor severity, yang mencerminkan besarnya konsekuensi apabila risiko tersebut benar-benar terjadi. Hasil identifikasi risk event disajikan dalam Tabel berikut.

Kode Risk Event (E i ) Severity (S i )
E1 Keterlambatan penerimaan bahan baku 7
E2 Ketidakseimbangan persediaan bahan baku 5
E3 Kerusakan bahan baku selama penyimpanan 7
E4 Bahan baku tidak sesuai dengan standar mutu 7
E5 Ketidaksesuaian jumlah persediaan dengan catatan 5
E6 Peningkatan biaya pengadaan bahan baku 6
E7 Produk tidak memenuhi standar mutu 7
E8 Kerusakan produk selama proses produksi 7
E9 Penundaan jadwal produksi 7
E10 Proses produksi melebihi target waktu 7
E11 Ketidakseimbangan penggunaan bahan baku 7
E12 Pekerja mengalami cedera di area produksi 5
E13 Kerusakan produk saat diterima pelanggan 9
E14 Keterlambatan pengiriman produk kepada pelanggan 9
E15 Ketidaksesuaian jumlah produk yang dikirim 9
Table 1.

Tabel 1. Identifikasi Risk Event dengan Tingkat Keparahan Dampaknya (Severity)

Selanjutnya, untuk setiap risk event yang telah diidentifikasi, dilakukan penelusuran terhadap faktor-faktor penyebab atau pemicu yang disebut sebagai risk agent. Risk agent merupakan sumber risiko yang berkontribusi terhadap terjadinya suatu risk event dalam proses operasional. Identifikasi risk agent dilakukan melalui observasi lapangan dan wawancara dengan pemilik usaha UD Mitra Abadi. Setiap risk agent kemudian dinilai berdasarkan tingkat kemungkinan kemunculannya (occurrence), yang mencerminkan frekuensi atau kecenderungan risiko tersebut muncul dalam kondisi aktual. Hasil identifikasi risk agent disajikan dalam tabel berikut.

Kode Risk Agent (A j ) Occurrence ( O j )
A1 Keterlambatan pengiriman bahan baku oleh pemasok 3
A2 Kegagalan pemasok dalam memenuhi pesanan 1
A3 Ketidakakuratan dalam perencanaan kebutuhan 7
A4 Kapasitas freezer tidak lagi mampu menampung kebutuhan 8
A5 Freezer mengalami kerusakan 3
A6 Proses inspeksi kualitas bahan baku tidak dilakukan 8
A7 Evaluasi kualitas pemasok tidak dilakukan 2
A8 Kelalaian pekerja dalam menjalankan tugas 6
A9 Pencatatan persediaan tidak dilakukan secara real-time 9
A10 Fluktuasi harga bahan baku 3
A11 Ketergantungan pada satu pemasok utama 1
A12 Kurangnya pelatihan dan evaluasi pekerja 1
A13 SOP tidak dipatuhi secara konsisten oleh pekerja 5
A14 Lingkungan kerja kurang terawat dengan baik 1
A15 Peralatan produksi tidak dalam kondisi steril 1
A16 APD tidak digunakan secara konsisten oleh pekerja 8
A17 Kerusakan mesin atau alat-alat produksi 1
A18 Alur kerja tidak optimal (terjadi bottleneck process) 1
A19 Kesalahan dalam formulasi bahan baku 3
A20 Kelelahan pekerja akibat beban kerja tinggi 1
A21 Rantai dingin produk tidak dijaga dengan baik 9
A22 Penanganan produk yang kurang baik selama pengiriman 10
A23 Gangguan atau kerusakan armada pengiriman 3
A24 Hambatan pengiriman akibat kondisi lalu lintas atau perubahan cuaca 3
A25 Kesalahan pencatatan atau dokumentasi pengiriman 1
A26 Komunikasi dan koordinasi antardivisi yang kurang baik 8
Table 2.

Tabel 2. Identifikasi Risk Agent dengan Tingkat Kemunculannya (Occurrence)

Setelah risk agent dan risk event berhasil diidentifikasi, langkah berikutnya adalah menentukan tingkat korelasi antara keduanya. Korelasi ini menggambarkan seberapa besar kontribusi masing-masing risk agent terhadap terjadinya risk event tertentu. Penilaian dilakukan dengan menggunakan skala 1, 3, dan 9, di mana nilai 1 menunjukkan hubungan lemah, dan nilai 9 menunjukkan hubungan sangat kuat. Hasil penilaian korelasi tersebut menjadi dasar perhitungan nilai Aggregate Risk Potential (ARP), melalui rumus:

(1)

di mana:

Oj = nilai occurrence dari risk agent,

Si = nilai severity dari risk event,

Rij = nilai korelasi antara risk event dan risk agent.

Hasil perhitungan nilai ARP ditunjukkan pada tabel HOR Fase I seperti berikut.

Risk Event(Ei) Risk Agent (Aj) Si
A1 A2 A3 A4 A5 A6 A7 A8 A26
E1 9 9 3 7
E2 3 3 9 9 3 5
E3 9 9 3 7
E4 9 9 7
E5 3 5
E15 3 9 9
Oj 3 1 7 8 3 8 2 6 8
ARP 339 229 1092 1248 270 1176 182 1050 1320
Table 3.

Tabel 3. House of Risk Fase I

B. Evaluasi Risiko

Tahapan evaluasi risiko menggunakan prinsip Pareto (80:20 rule) untuk mengidentifikasi sebagian kecil risk agent yang memberikan kontribusi paling besar terhadap total potensi risiko secara keseluruhan. Dalam hal ini, penanganan terhadap risk agent tidak dilakukan secara menyeluruh, mengingat adanya keterbatasan biaya yang menjadi faktor pertimbangan [15]. Risk agent diperingkatkan terlebih dahulu berdasarkan nilai ARP-nya masing-masing seperti pada tabel berikut.

Rank Kode Risk Agent (A j ) ARP %ARP ARP Kumulatif
1 A26 Komunikasi dan koordinasi antardivisi yang kurang baik 1320 9,01% 9,01%
2 A21 Rantai dingin produk tidak dijaga dengan baik 1296 8,85% 17,87%
3 A4 Kapasitas freezer tidak lagi mampu menampung kebutuhan 1248 8,52% 26,39%
4 A6 Proses inspeksi kualitas bahan baku tidak dilakukan 1176 8,03% 34,42%
5 A13 SOP tidak dipatuhi secara konsisten oleh pekerja 1170 7,99% 42,41%
6 A22 Penanganan produk yang kurang baik selama pengiriman 1170 7,99% 50,40%
7 A3 Ketidakakuratan dalam perencanaan kebutuhan 1092 7,46% 57,86%
8 A9 Pencatatan persediaan tidak dilakukan secara real-time 1053 7,19% 65,05%
9 A8 Kelalaian pekerja dalam menjalankan tugas 1050 7,17% 72,22%
10 A16 APD tidak digunakan secara konsisten oleh pekerja 1008 6,88% 79,10%
26 A25 Kesalahan pencatatan atau dokumentasi pengiriman 81 0,55% 100,00%
Total 14.643 100,00%
Table 4.

Tabel 4. Pemeringkatan Risk Agent Berdasarkan Nilai ARP

Tabel di atas menampilkan urutan pemeringkatan risk agent berdasarkan nilai ARP masing-masing dengan total nilai ARP sebesar 14.643. Selain itu, ditampilkan pula persentase kontribusi nilai ARP terhadap total nilai ARP keseluruhan (%ARP) dan kumulatifnya (%ARP Kumulatif). Data tersebut divisualisasikan menggunakan diagram Pareto seperti pada gambar berikut.

Gambar 2. Diagram Pareto Risk Agent

Berdasarkan grafik tersebut, diketahui bahwa terdapat 10 risk agent teratas (38,46%) dengan nilai ARP yang menyumbang total 79,10% dari total nilai ARP keseluruhan. Kontribusi risiko dari beberapa risk agent tersebut berada jauh di atas rata-rata, yang ditandai oleh kurva kumulatif yang menanjak tajam di awal. Hal ini sesuai dengan prinsip Pareto yang menyatakan bahwa sekitar 80% dampak berasal dari sekitar 20% penyebab [9]. Dengan demikian, 10 risk agent tersebut menjadi prioritas mitigasi dalam penyusunan rencana mitigasi (preventive action).

C. Perlakuan Risiko ( House of Risk Fase II)

Tahapan perlakuan risiko diimplementasikan melalui HOR fase II, yaitu pemilihan tindakan mitigasi berdasarkan rasio Effectiveness to Difficulty (ETD). Pendekatan ini bertujuan untuk meminimalkan potensi risiko operasional dengan mengidentifikasi dan mengevaluasi rencana mitigasi risiko yang dapat diterapkan secara efektif dan efisien. Tindakan mitigasi disusun dengan mempertimbangkan efektivitasnya dalam mereduksi risiko serta kesesuaian dengan kapasitas sumber daya perusahaan. Untuk itu, dilakukan penilaian tingkat kesulitan penerapan (difficulty) terhadap masing-masing tindakan, yang mencerminkan kompleksitas teknis, biaya, dan keterjangkauan implementasi. Penilaian dilakukan dengan menggunakan skala 3, 4, dan 5, di mana nilai 4 menunjukkan implementasi yang mudah, dan nilai 5 menunjukkan implementasi yang sulit serta membutuhkan investasi dan perubahan yang besar. Rincian tindakan mitigasi (preventive action) beserta tingkat kesulitannya disajikan dalam tabel berikut.

Kode Preventive Action ( PA k ) Difficulty (D k )
PA1 Menyusun Kanban board atau papan tugas 3
PA2 Melaksanakan briefing dan doa bersama tiap pagi 3
PA3 Menggunakan dry ice dan standardisasi pengepakan produk 4
PA4 Memisahkan penyimpanan bahan baku dengan produk jadi 3
PA5 Menginvestasikan bertahap ke armada berpendingin 5
PA6 Menerapkan Just-in-Time dan buffer stock maksimum 4
PA7 Menginvestasikan bertahap untuk menambah unit freezer 5
PA8 Menginvestasikan bertahap ke ruang penyimpanan dingin 5
PA9 Standardisasi dan dokumentasi inspeksi bahan baku 3
PA10 Memvisualisasikan SOP melalui poster 3
PA11 Menerapkan audit dan evaluasi mingguan 4
PA12 Menggunakan styrofoam dalam pengepakan produk 4
PA13 Menerapkan forecasting berbasis moving average 3
PA14 Meningkatkan koordinasi produksi-penjualan secara rutin 3
PA15 Menerapkan pencatatan stok secara real-time 4
PA16 Memberlakukan sistem reward & penalty 4
PA17 Menerapkan prinsip 5R di area kerja 3
PA18 Menyediakan stasiun APD lengkap dan pengingat visual 3
Table 5.

Tabel 5. Penyusunan Tindakan Mitigasi dengan Tingkat Kesulitan Penerapannya (Difficulty)

Langkah selanjutnya yang harus dilakukan yaitu melakukan pemetaan tingkat korelasi antara masing-masing tindakan mitigasi dengan risk agent yang dituju. Korelasi ini dinilai untuk mengukur sejauh mana efektivitas suatu preventive action dalam menurunkan kemungkinan munculnya penyebab risiko tertentu. Penilaian dilakukan dengan menggunakan skala 1, 3, dan 9, di mana nilai 1 menunjukkan tindakan yang kurang relevan terhadap pengurangan risk agent, dan nilai 9 menunjukkan tindakan yang sangat relevan dalam mereduksi risk agent.

Setelah tingkat efektivitas antara preventive action dengan risk agent ditentukan, kemudian akan dihitung Total Effectiveness of Action (TE) untuk mengukur tingkat efektivitas keseluruhan suatu preventive action dalam mengurangi potensi risiko yang disebabkan oleh berbagai risk agent. Nilai TE dihitung menggunakan rumus:

(2)

di mana:

ARPj= nilai Aggregate Risk Potential dari masing-masing risk agent prioritas,

Ejk= nilai efektivitas atau korelasi antara preventive action dengan risk agent.

Untuk mendapatkan ukuran efisiensi relatif dari setiap tindakan mitigasi, dilakukan perhitungan nilai Effectiveness to Difficulty Ratio (ETD). Nilai tersebut dihitung melalui rumus:

(3)

di mana:

TEk= nilai Total Effectiveness dari masing-masing preventive action

Dk= tingkat kesulitan penerapan atau Degree of Difficulty dari preventive action.

Strategi mitigasi yang diusulkan beserta nilai ETD-nya sebagai dasar pengambilan keputusan dalam pengelolaan risiko operasional dirangkum pada tabel HOR Fase II sebagai berikut.

Risk Agent(Aj) Preventive Action (PAk) ARPj
PA1 PA2 PA3 PA4 PA5 PA6 PA7 PA8 PA18
A26 9 9 1320
A21 9 9 9 3 3 1296
A4 9 9 9 1248
A6 3 1176
A16 9 1008
TEk 16089 16440 12834 15192 12834 14508 15120 15120 12582
Dk 3 3 4 3 5 4 5 5 3
ETDk 5363 5480 3209 5064 2567 3627 3024 3024 4194
Table 6.

Tabel 6. House of Risk Fase II

Tahap akhir dalam House of Risk Fase II adalah melakukan pemeringkatan terhadap seluruh preventive action berdasarkan nilai ETD. Tindakan mitigasi dengan nilai ETD tertinggi diprioritaskan karena dianggap memberikan kontribusi maksimal dalam pengendalian risiko dengan tingkat kesulitan yang relatif rendah. Hasil pemeringkatan ini memberikan rekomendasi strategis bagi perusahaan dalam menyusun rencana implementasi tindakan mitigasi secara bertahap, mulai dari tindakan dengan prioritas tinggi hingga yang memerlukan evaluasi dan alokasi sumber daya lebih lanjut. Hasil tersebut disajikan pada tabel berikut.

Rank Kode Risk Agent (A j ) ETD
1 PA12 Menggunakan styrofoam dalam pengepakan produk 5549
2 PA2 Melaksanakan briefing dan doa bersama tiap pagi 5480
3 PA1 Menyusun Kanban board atau papan tugas 5363
4 PA17 Menerapkan prinsip 5R di area kerja 5328
5 PA4 Memisahkan penyimpanan bahan baku dengan produk jadi 5064
6 PA14 Meningkatkan koordinasi produksi-penjualan secara rutin 4596
18 PA5 Menginvestasikan bertahap ke armada berpendingin 2567
Table 7.

Tabel 7. Pemeringkatan Preventive Action Berdasarkan Nilai ETD

Berdasarkan tabel pemeringkatan tindakan mitigasi di atas, diketahui bahwa PA12 (menggunakan styrofoam dalam pengepakan produk) menempati urutan pertama dalam prioritas penanganan yang bertujuan untuk mereduksi risikoA21 (rantai dingin produk tidak dijaga dengan baik) dan A22 (penanganan produk yang kurang baik selama pengiriman). Styrofoam box yang disarankan untuk pengiriman produk di UD Mitra Abadi yaitu sebagai berikut.

Gambar 3. Styrofoam Box

Styrofoam ini memiliki tipe AG75 hard density, yang memenuhi standar Garuda Indonesia dan memiliki dimensi eksternal 75×42×32 cm. Box ini memiliki kapasitas hingga 30 kg (mampu memuat sekitar 60-75 unit produk) dan tersedia di pasaran dengan kisaran harga Rp60.000 per unit. Penggunaan styrofoam box mampu menjaga kestabilan suhu dingin produk, sekaligus memberikan perlindungan fisik terhadap tekanan selama proses pengiriman [16]. Strategi dinilai sebagai tindakan mitigasi yang efektif karena mudah diterapkan, tidak memerlukan pelatihan khusus, dan biayanya relatif terjangkau jika dibandingkan dengan potensi kerugian akibat kerusakan produk.

Tindakan yang menempati urutan kedua dalam prioritas penanganan yaitu PA2 (melaksanakan briefing dan doa bersama tiap pagi). Briefing berfungsi sebagai forum singkat untuk menyampaikan informasi penting terkait target kerja harian, kendala operasional, perubahan jadwal produksi, serta evaluasi performa kerja sebelumnya. Melalui kegiatan ini, risikoA26 (komunikasi dan koordinasi antardivisi yang kurang baik) dapat diminimalkan karena setiap tim memiliki pemahaman yang selaras sebelum memulai aktivitas kerja. Selain itu, pentingnya kepatuhan terhadap SOP juga dapat ditekankan kembali, sehingga risiko A13 (SOP tidak dipatuhi secara konsisten) juga dapat direduksi. Dengan terciptanya suasana kerja yang tertib dan terarah sejak pagi, langkah ini secara tidak langsung dapat mereduksi risiko A8 (kelalaian pekerja dalam menjalankan tugas), khususnya pada aktivitas rutin yang rawan diabaikan.

Tindakan yang menempati urutan ketiga dalam prioritas penanganan yaitu PA1 (menyusun Kanban board atau papan tugas). Kanban board merupakan alat visual manajemen kerja yang memuat daftar tugas harian dan status pekerjaan menggunakan media white board dan sticky notes. Implementasi ini secara langsung dapat mengatasi risiko A26 (komunikasi dan koordinasi antardivisi yang kurang baik) karena setiap divisi memiliki akses visual terhadap pekerjaan yang sedang dan akan dilakukan. Selain itu, Kanban board juga membantu mengurangi risiko A8 (kelalaian pekerja dalam menjalankan tugas) karena setiap individu dapat melihat tugasnya secara jelas. Papan tugas ini juga dapat menunjukkan beberapa bahan baku yang perlu diisi ulang, sehingga dapat mereduksi risikoA9 (pencatatan persediaan tidak dilakukan secara real-time). Penerapan Kanban board digambarkan dalam ilustrasi berikut.

Gambar 4. Kanban Board

Penggunaan Kanban board efektif sebagai mekanisme pengendalian produksi yang mengintegrasikan proses kerja dan menerapkan sistem just-in-time untuk meningkatkan efisiensi serta menghindari keterlambatan dalam output produksi [17]. Strategi ini relatif mudah diterapkan, fleksibel, serta mendorong budaya kerja yang lebih kolaboratif dan teratur di UD Mitra Abadi. Berikut merupakan ilustrasi implementasi dari Kanban board.

Tindakan yang menempati urutan keempat dalam prioritas penanganan adalah PA17 (menerapkan prinsip 5R di area kerja). Penerapan 5R (Ringkas, Rapi, Resik, Rawat, dan Rajin) mendorong pekerja untuk menyortir barang-barang yang tidak perlu (Ringkas), menata peralatan dan area kerja secara efisien (Rapi), membersihkan tempat kerja secara rutin (Resik), merawat fasilitas dan perlengkapan agar tetap dalam kondisi optimal (Rawat), serta membangun kebiasaan positif dan disiplin kerja (Rajin). Strategi ini berperan penting dalam mengurangi risiko A13 (SOP tidak dipatuhi secara konsisten), karena lingkungan kerja yang bersih dan terorganisir secara tidak langsung mendorong pekerja lebih mudah mengikuti SOP yang berlaku. Penerapan 5R juga membantu menurunkan risiko A8 (kelalaian pekerja dalam menjalankan tugas), karena pengaturan alat kerja dan visualisasi prosedur menjadi lebih jelas. Selain itu, ketersediaan dan penataan APD yang rapi akan meningkatkan kepatuhan pekerja dalam penggunaannya, sehingga risiko A16 (APD tidak digunakan oleh pekerja) dapat diminimalkan. Dengan penerapan prinsip 5R yang konsisten, perusahaan dapat menciptakan budaya kerja yang lebih disiplin dan berorientasi pada mutu. Penerapan metode 5R tidak hanya memberikan dampak pada efisiensi operasional, tetapi juga berkontribusi langsung terhadap peningkatan kepuasan pelanggan melalui perbaikan proses kerja yang sistematis [18].

Menariknya, terdapat beberapa tindakan yang relatif sederhana namun memiliki nilai ETD tinggi, seperti PA4 (memisahkan penyimpanan bahan baku dengan produk jadi) dan PA14 (meningkatkan koordinasi produksi-penjualan secara rutin). Kedua tindakan mitigasi ini menempati urutan kelima dan keenam dalam prioritas penanganan. Kedua tindakan tersebut secara efektif dapat mereduksi risiko A6 (proses inspeksi mutu bahan baku tidak dilakukan) dan A3 (ketidakakuratan dalam perencanaan kebutuhan). Hal ini menandakan bahwa efisiensi risiko tidak selalu ditentukan oleh biaya besar, namun lebih pada ketepatan strategi dan kemudahan dalam pelaksanaan.

Di sisi lain, tindakan seperti PA7 (menginvestasikan bertahap untuk menambah unit freezer), PA8 (menginvestasikan bertahap ke ruang penyimpanan dingin), dan PA5 (menginvestasikan bertahap ke armada berpendingin) menempati posisi tiga terendah dalam prioritas penanganan, meskipun potensinya besar dalam mereduksi risiko A4 (kapasitas freezer tidak lagi mampu menampung kebutuhan). Nilai ETD yang rendah menunjukkan bahwa efektivitasnya belum sebanding dengan tingkat kesulitan atau biaya tinggi yang dibutuhkan untuk realisasinya, sehingga tindakan ini dapat dikategorikan sebagai mitigasi jangka panjang.

Simpulan

Pendekatan House of Risk (HOR) terbukti efektif dalam memetakan alur bisnis dan risiko operasional yang terukur serta menghasilkan prioritas strategi mitigasi yang berbasis data. Hasil identifikasi menghasilkan 15 risk event dan 26 risk agent yang relevan dengan kondisi aktual perusahaan, yang diperoleh melalui observasi lapangan dan wawancara dengan pemilik usaha. Hasil penilaian ini menunjukkan bahwa beberapa risk agent memiliki nilai Aggregate Risk Potential (ARP) yang tinggi, seperti komunikasi dan koordinasi antardivisi yang kurang baik (A26) sebesar 1320, rantai dingin produk tidak dijaga dengan baik (A21) sebesar 1296, dan kapasitas freezer tidak lagi mampu mencukupi kebutuhan (A4) sebesar 1248. Melalui analisis ARP dan diagram Pareto, sepuluh risk agent dipilih menjadi risiko dengan prioritas penanganan karena menyumbang hampir 80% permasalahan total di UD Mitra Abadi. Rencana mitigasi disusun secara sistematis menggunakan House of Risk Fase II, yang mempertimbangkan efektivitas relatif tindakan mitigasi terhadap penyebab risiko serta tingkat kesulitan implementasinya. Sebanyak 18 preventive action dirumuskan, kemudian diperingkatkan berdasarkan nilai Effectiveness to Difficulty (ETD). Enam tindakan teratas dipilih sebagai prioritas penanganan karena secara kolektif telah mampu menjawab seluruh risk agent dengan skor Aggregate Risk Priority (ARP) tertinggi. Tindakan-tindakan ini diprioritaskan untuk segera diimplementasikan guna menurunkan potensi risiko operasional secara signifikan.

References

R. Sundari, “Preferensi Konsumen Dalam Membeli Produk Makanan Beku/Frozen Food di Kota Pekanbaru (Studi Kasus Comel Frozen Food),” Jurnal Bisnis Kompetitif, vol. 2, no. 3, pp. 203–209, 2023, doi: 10.35446/bisniskompetif.v2i3.1629.

Mordor Intelligence, “Frozen Food Indonesia Market Size & Share Analysis - Growth Trends & Forecasts (2025–2030),” Mordor Intelligence, Apr. 21, 2025. [Online]. Available: https://www.mordorintelligence.com/industry-reports/indonesia-frozen-food-market

D. S. Haryani, O. Abriyoso, and A. S. Putri, “Analisis Risiko Operasional pada UMKM Kerupuk Bu Mitro di Kelurahan Tanjungpinang Barat,” Aksara: Jurnal Ilmu Pendidikan Nonformal, vol. 8, no. 2, p. 1513, 2022, doi: 10.37905/aksara.8.2.1513-1524.2022.

S. Sarjana et al., Manajemen Risiko. Bandung, Indonesia: Media Sains Indonesia, 2022.

M. Asir, R. A. Yuniawati, K. Mere, K. Sukardi, and M. A. Anwar, “Peran Manajemen Risiko dalam Meningkatkan Kinerja Perusahaan: Studi Manajemen Sumber Daya Manusia,” Entrepreneurship, Bisnis, Manajemen dan Akuntansi, vol. 4, no. 1, pp. 32–42, 2023, doi: 10.37631/ebisma.v4i1.844.

I. P. S. Arta et al., Manajemen Risiko: Tinjauan Teori dan Praktis. Bandung, Indonesia: Widina Bhakti Persada Bandung, 2021.

C. R. Vorst et al., “Annual Risk Survey – Konteks Korporasi Indonesia 2023,” 2023. [Online]. Available: https://crmsindonesia.org/wp-content/uploads/2023/09/Annual-Risk-Survey-Konteks-Indonesia-2023-ISSN-300823.pdf

M. Naufal, A. Y. Ridwan, and N. Novitasari, “Usulan Perancangan Sistem Manajemen Risiko pada Rantai Dingin Industri Pengolahan Udang Beku dengan Menggunakan Metode Fuzzy FMEA dan Fuzzy AHP,” eProceeding of Engineering, vol. 8, no. 6, pp. 12388–12399, 2021.

D. Radistya and W. Handayani, “Risk Analysis and Mitigation in the Process of Procurement of Goods and Services with the House of Risk Method Approach in the Logistics Department,” Sultanist: Jurnal Manajemen dan Keuangan, vol. 12, no. 2, pp. 341–349, 2024, doi: 10.37403/sultanist.v12i2.666.

Mujahidin, U. Cahyadi, and E. J. Hayat, “Strategi Mitigasi Risiko pada Proses Bisnis CV Dtheoria dengan Pendekatan House of Risk,” Jurnal Kalibrasi, vol. 22, no. 2, pp. 64–69, 2024, doi: 10.33364/kalibrasi/v.22-2.1862.

R. Purwaningsih, N. Susanto, H. Prastawa, A. Susanty, S. Nugroho W. P., and P. I. Ramadani, “Pemberdayaan Rumah Potong Ayam Menggunakan Metode House of Risk untuk Meningkatkan Business Sustainability,” Jurnal Pasopati, vol. 3, no. 3, pp. 153–160, 2021, doi: 10.14710/pasopati.2021.12118.

B. Prasetyo, W. E. Y. Retnani, and N. L. M. Ifadah, “Analisis Strategi Mitigasi Risiko Supply Chain Management Menggunakan House of Risk (HOR),” Jurnal Tekno Kompak, vol. 16, no. 2, pp. 72–81, 2022, doi: 10.33365/jtk.v16i2.1878.

Q. M. Pertiwi and W. Handayani, “Analisis Manajemen Risiko Penerapan Cold Chain System Pengolahan Ikan Terinasi dengan Integrasi Metode Analytical Process Network (ANP) dan Failure Mode and Effect Analysis (FMEA),” Briliant: Jurnal Riset dan Konseptual, vol. 8, no. 1, pp. 205–217, 2023, doi: 10.28926/briliant.v8i1.1144.

A. P. Aisyah and L. Dahlia, “Enterprise Risk Management Berdasarkan ISO 31000 dalam Pengukuran Risiko Operasional pada Klinik Spesialis Esti,” Jurnal Akuntansi dan Manajemen, vol. 19, no. 2, pp. 78–90, 2022, doi: 10.36406/jam.v19i02.483.

D. Arviana and Suseno, “Optimalisasi Produktivitas dan Manajemen Risiko pada Sistem Produksi Aleta Leather Menggunakan Metode House of Risk,” Jurnal Teknologi dan Manajemen Industri Terapan, vol. 3, no. 2, pp. 160–170, 2024, doi: 10.55826/jtmit.v3i2.354.

E. Setya Wijaya, Y. Sari, A. R. Baskara, and A. Rivaldy, “Penerapan Logika Fuzzy Tsukamoto untuk Pemantauan Kestabilan Suhu Menggunakan Sensor DS18B2 pada Styrofoam Box Pengemasan Ikan,” JUSTE (Journal of Science and Technology), vol. 2, no. 1, pp. 59–77, Oct. 2021, doi: 10.51135/justevol2issue1page59-77.

F. Wicaksono, I. W. Utami, and R. I. Buwono, “Penerapan Metode Line Balancing dan Kanban untuk Meningkatkan Produktivitas di PT XYZ,” Prosiding Sains Nasional dan Teknologi, vol. 14, no. 1, pp. 42–47, 2024, doi: 10.36499/psnst.v13i1.11708.

F. Sumasto et al., “Penerapan Prinsip 5S untuk Mengurangi Waste Motion dalam Proses Layanan Galon R-Water,” Jurnal Serambi Engineering, vol. 9, no. 1, pp. 7788–7794, 2023, doi: 10.32672/jse.v9i1.742.