Kharisma Nurfaridah (1), Ali Daud Hasibuan (2)
Background (General): Adolescents often experience intense self-conscious emotions such as shame, guilt, and anxiety, which may hinder their confidence and social interaction. Background (Specific): At Madrasah Aliyah Muallimin UNIVA Medan, many students were found to struggle with excessive self-conscious emotions, leading to avoidance behaviors and decreased academic engagement. Knowledge Gap: While guided imagery has been studied in reducing anxiety and stress, its specific effect on overly self-conscious emotions among Islamic high school students remains underexplored. Aim: This study investigates the effectiveness of group counseling with guided imagery in reducing excessive self-conscious emotions in MA students. Results: Using a quasi-experimental pretest-posttest control design with 16 purposively sampled students, findings revealed a significant reduction in self-conscious emotions in the experimental group (M pretest = 60.38; M posttest = 56.00; p < 0.05), supported by paired sample t-test results. Novelty: The study is among the first to apply guided imagery in group counseling within an Islamic educational setting, focusing specifically on excessive self-conscious emotions. Implications: The results highlight guided imagery as a practical and culturally adaptable intervention for school counseling, with potential to enhance students’ self-confidence, emotional regulation, and overall academic performance.Highlight :
Group counseling with guided imagery effectively reduces excessive self-conscious emotions.
Students gain relaxation and positive emotional control through visualization.
The method improves confidence and supports emotional well-being
Keywords : Counseling, Guided Imagery, Overly Self-Conscious Emotions, Group Counseling, Students
Remaja cenderung mengalami emosi yang lebih kuat, seperti rasa malu, cemas, marah, atau bahkan euforia yang berlebihan, sebagai respons terhadap perubahan dalam dirinya dan lingkungannya. Remaja tidak hanya ditandai oleh perubahan fisik dan sosial, tetapi juga oleh perkembangan emosi yang signifikan. Salah satu aspek emosional yang signifikan pada tahap ini adalah self-conscious emotions atau emosi kesadaran diri, yaitu emosi yang berkaitan dengan evaluasi diri terhadap standar dan norma sosial. Emosi ini mencakup perasaan malu, bersalah, rendah diri, dan canggung. Emosi ini berdampak Ketika seseorang menanggapi perasaannya atau fikirannya secara berlebihan.
Self-Conscious Emotions dikembangkan oleh June Price Tangney pada tahun 1995 dan dikembangkan serta direvisi kembali bersama tracy dan robins pada tahun 2007. Beliau merupakan seorang psikolog klinis dan profesor di George Mason University. Dalam bukunya mendefinisikan Self-conscious emotions merupakan variable yang berperan dalam mempengaruhi hubungan antara standar moral dan perilaku moral. Emosi yang berada di Self-Conscious Emotions yakni shame, guilt, dan embarrassed berfungsi sebagai umpan balik terhadap perilaku moral di lingkungan (Tangney.,et al, 2007). Ramdhani, (2016) juga menjelaskan bahwa Self-Conscious Emotions atau emosi kesadaran diri yang berlebihan adalah emosi yang muncul dari evaluasi diri terhadap perilaku pribadi berdasarkan standar moral dan nilai sosial.
Self-conscious emotions atau emosi kesadaran diri ini memiliki keterkaitan dengan moral, dikarenakan adanya refleksi diri dan evaluasi dalam diri. Singkatnya, self-conscious emotions merupakan sebuah respon yang muncul setelah individu mengalami sebuah peristiwa. Emosi ini berdampak pada diri ketika seseorang menanggapi perasaannya atau fikirannya secara berlebihan. Ketika tidak ditanggapi secara belebihan, emosi kesadaran diri tidak menyebabkan permasalahan yang serius dan mengganggu serta bukan menjadi suatu emosi yang negatif pada diri.
Dalam konsep islam, emosi kesadaran diri juga berkaitan halnya dengan proses pembentukkan karakter, pengendalian dan pengenalan terhadap diri. [3]. Memiliki emosi kesadaran diri yang berlebihan mengakibatkan hilangnya rasa kepercayaan diri pada diri sendiri [4].
Penelitian yang dilaksanakan pada siswa kelas IX di SMPN X, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, menunjukkan bahwa tema atribusi yang paling dominan berkaitan dengan emosi diri berupa rasa bersalah, yang dialami oleh 15 partisipan (27,78%). Sementara itu, tema atribusi dengan frekuensi terendah adalah “merasa gagal” dan “insiden memalukan”, masing-masing hanya dialami oleh dua partisipan (3,7%). Temuan dari penelitian sebelumnya tersebut mengindikasikan bahwa fenomena self-conscious emotions telah cukup banyak terjadi di kalangan peserta didik [5].
Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan peneliti, masih banyak siswa kelas X di MA Muallimin Univa Medan yang menunjukkan tingkat emosi kesadaran diri berlebihan yang cukup tinggi. Kondisi ini terlihat dari perilaku mereka yang cenderung mudah merasa gugup, canggung, atau tidak percaya diri ketika menjadi pusat perhatian, seperti saat berbicara di depan kelas, mengikuti lomba, atau bahkan ketika harus mengemukakan pendapat dalam diskusi. Beberapa siswa tampak berlebihan dalam memikirkan bagaimana orang lain menilai penampilan, ucapan, atau tindakannya, sehingga sering kali mereka menghindari situasi yang menuntut interaksi sosial terbuka. Fenomena ini menunjukkan bahwa emosi kesadaran diri berlebihan menjadi salah satu permasalahan psikologis yang cukup menonjol di lingkungan sekolah, yang apabila tidak ditangani dapat menghambat perkembangan kepercayaan diri dan keterampilan sosial siswa.
Siswa dengan tingkat emosi kesadaran diri yang berlebihan seringkali mengalami hambatan dalam berinteraksi dengan teman sebaya, enggan berpartisipasi aktif dalam kegiatan akademik, serta rentan terhadap kecemasan sosial. Sebuah penelitian Sari & Fauziah, (2019) di Jakarta Pusat menunjukkan bahwa meskipun sebagian besar siswa memiliki tingkat self-compassion yang sedang, masih terdapat kecenderungan untuk melakukan kritik diri dan merasa terasing, yang dapat memperburuk emosi self-conscious siswa. Oleh karena itu, diperlukan intervensi yang efektif untuk membantu siswa mengelola emosi ini agar mereka dapat berkembang secara optimal.
Oleh karena itu, diperlukan teknik yang dapat bertujuan membantu siswa mengelola emosi negatif yang ada dari dalam diri dan menggantinya dengan emosi positif dan yang lebih sehat, sehingga siswa dapat mengitegrasikan dan mengembangkan serta dapat mengelolanya secara baik. Teknik yang dapat digunakan adalahteknik visualisasi Guided Imagery (imajinasi terbimbing) yang merupakan pendekatan dari Psikonalisis/humanistik.
Guided imagery merupakan salah satu teknik relaksasi yang relatif sederhana dan mudah diterapkan, yang berfungsi untuk membantu individu mengurangi tingkat stres secara efektif serta menurunkan ketegangan fisik maupun psikologis. Teknik ini dikembangkan oleh Hanscarl Leuner (1984), seorang psikiater, psikoterapis dan peneliti dari jerman yang menggabungkan pendekatan psikoanalisis dengan metode visualisasi terstruktur untuk mengeksplorasi emosi dan konflik bawah sadar. Terapis Gestalt juga mendasari pada Imagery guna membantu klien menangani konflik internal atau mengurangi kecemasan [8].
Dalam perspektif islam, teknik ini merupakan Muhasabah nafs. Muhasabah adalah proses introspeksi dan evaluasi diri terhadap perbuatan yang telah dilakukan, baik yang terlihat maupun yang tersembunyi. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:
Figure 1.
“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat).” (QS. Al-Hasyr: 18).
Ayat ini menegaskan pentingnya kesadaran diri dan evaluasi sebagai bentuk tanggung jawab spiritual atas amal dan kehidupannya.
Salah satu tujuan utama dari guided imagery adalah mencapai ketenangan batin (inner peace). Dalam Islam, relaksasi spiritual dicapai melalui dzikir, tilawah, shalat, dan doa. Aktivitas-aktivitas tersebut tidak hanya melibatkan dimensi verbal dan fisik, tetapi juga memunculkan dimensi visual dan emosional.
Diantara modalitas integratif, Guided Imagery dianggap sebagai “modalitas relaksasi” oleh National Center for Complementary and Integrative Health, karena dapat mengaktifkan respons relaksasi alami tubuh secara mendalam yang ditandai dengan pernapasan yang lebih lambat dan tekanan darah yang lebih rendah serta peningkatan perasaan sejahtera [9]
Teknik ini diawali dengan tahap relaksasi, di mana individu diminta menutup mata, kemudian secara perlahan menarik napas dan menghembuskannya dengan ritme teratur. Selanjutnya, klien diarahkan untuk mengosongkan pikiran dari berbagai gangguan, lalu membayangkan hal-hal yang menyenangkan sehingga dapat menimbulkan rasa nyaman dan ketenangan (Lutfiani et al., 2023)
Menurut Luís dan Kolcaba, guided imagery berperan dalam membantu individu mengatasi pola pikir yang kaku, otomatis, maupun perasaan putus asa. Penerapan teknik ini dapat meningkatkan harga diri dan mendorong transendensi pribadi, sehingga memberikan kontribusi terhadap terciptanya pengalaman positif. Proses imajinasi berfungsi sebagai penghubung antara pikiran dan tubuh, yang mengintegrasikan persepsi, emosi, serta respons psikologis, fisiologis, dan perilaku [11].
Dalam bimbingan dan konseling Islam, teknik guided imagery dapat disesuaikan untuk memperkuat spiritualitas dan nilai-nilai tauhid. Konselor dapat memandu klien membayangkan situasi yang berkaitan dengan pengalaman ibadah yang mendalam, seperti berada di hadapan Ka’bah, sujud di malam yang sunyi, atau menikmati ketenangan surga. Teknik ini dapat membantu menurunkan kecemasan sekaligus menumbuhkan semangat religius dan kedekatan dengan Allah SWT. Integrasi ini menjadi penting agar teknik yang digunakan tetap berada dalam koridor syariat [12].
Sementara itu, menurut Santrock (dalam Yesi et al., 2023), berbagai faktor seperti lingkungan keluarga, teman sebaya, sekolah, masyarakat, dan media sosial dapat memicu gangguan mental emosional pada remaja. Teman sebaya memainkan peran penting dalam membantu remaja mengenali dirinya. Dukungan dari teman sebaya memberikan rasa dihargai dan dimengerti, serta mendorong perkembangan positif baik secara emosional, sosial, maupun akademik.
Salah satu layanan bimbingan dan konseling yang peneliti gunakan adalah konseling kelompok. Konseling kelompok memungkinkan siswa untuk berbagi pengalaman dan mendapatkan dukungan dari teman sebaya dalam lingkungan yang terstruktur. Dalam layanan bimbingan kelompok, teknik Guided Imagery dapat diterapkan dengan membantu siswa mengenali emosi sadar diri negatif dari diri mereka seperti malu, cemas, tidak percaya diri, berfikir berlebihan (overthinking), rasa bersalah serta mengevaluasi emosional tersebut.
Menurut penelitian sebelumnya, pada teknik Guided Imagery telah diterapkan dalam konseling kelompok untuk mengatasi berbagai masalah emosional pada siswa. seperti pada penelitian Penggunaan Teknik Guided Imagery dalam Konseling Kelompok, Sebuah penelitian oleh Issrahli Shaddri dkk [15] meneliti Penggunaan Teknik Guided Imagery Terhadap Tingkat Kecemasan Siswa Mengikuti Aktivitas Konseling Kelompok. Hasilnya menunjukkan bahwa teknik ini efektif dalam menurunkan tingkat kecemasan siswa. Meskipun penelitian tersebut menunjukkan efektivitas teknik Guided Imagery dalam mengurangi kecemasan, akan tetapi studi yang secara spesifik meneliti pengaruhnya terhadap emosi diri berlebihan (self-conscious emotions) pada siswa MA/Sederajat masih terbatas. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan khusus untuk menguji efektivitas konseling kelompok dengan teknik Guided Imagery terhadap emosi kesadaran diri berlebihan pada siswa MA di Muallimin UNIVA Medan.
Beberapa penelitian terdahulu menunjukkan bahwa teknik guided imagery dalam konseling kelompok telah digunakan untuk menangani berbagai permasalahan psikologis siswa, meskipun dengan fokus variabel yang berbeda. Penelitian oleh oleh Zahra Dkk [16] pada siswa SMA Negeri 10 Medan, yang menunjukkan bahwa guided imagery mampu mengurangi kecemasan berlebihan dan meningkatkan rasa percaya diri, tetapi variabel yang diteliti tetap bersifat umum dan belum menyentuh dimensi kesadaran diri berlebihan. Sementara itu, Raml [17] mengembangkan model konseling kelompok berbasis guided imagery untuk membantu siswa SD menyelesaikan masalah pribadi, dengan hasil yang positif, namun fokusnya pada keterampilan pemecahan masalah, bukan pada aspek emosional yang terkait dengan persepsi berlebihan terhadap pandangan orang lain. Dibandingkan dengan ketiga penelitian tersebut, penelitian ini memiliki kebaruan pada variabel yang lebih spesifik, yaitu emosi kesadaran diri berlebihan, penggunaan guided imagery dalam format konseling kelompok pada siswa Madrasah Aliyah, serta konteks pendidikan keagamaan yang jarang diangkat dalam penelitian sebelumnya.
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, peneliti terdorong untuk melaksanakan penelitian mengenai “Efektivitas Konseling Kelompok Dengan Teknik Visualisasi Guided Imagery Untuk Mengurangi Emosi Kesadaran Diri Berlebihan Pada Siswa MA”. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam pengembangan metode intervensi yang efektif untuk membantu siswa mengelola emosi mereka, sehingga dapat meningkatkan kepercayaan diri dan prestasi akademik.
Penelitian ini menerapkan pendekatan kuantitatif. Pendekatan kuantitatif dipahami sebagai suatu metode penelitian ilmiah yang dilakukan secara sistematis untuk mengkaji komponen-komponen suatu fenomena beserta kualitas hubungan di antara komponen tersebut. Secara umum, penelitian kuantitatif diartikan sebagai proses investigasi terstruktur terhadap fenomena dengan mengumpulkan data yang bersifat terukur, kemudian dianalisis menggunakan teknik statistik, matematika, atau metode komputasi (Saputra, 2022).
Jenis/metode penelitian yang dipilih dalam penelitian ini adalah Kuasi-Eksperimen dengan pre-test post-test design yang terdiri dari dua kelas subjek, yaitu eksperimen dan control. Kuasi-eksperimen sendiri merupakan salah satu jenis desain penelitian eksprimen, tetapi sampel tidak dipilih secara acak karena sampel berbentuk convenient yaitu sampel sudah terbentuk secara alami [19]. Peneliti menggunakan pretest-postest design untuk mengetahui efektivitas perlakuan yang diberikan terhadap subjek penelitian. Desain penelitian ini memiliki kemiripan dengan pretest–posttest control group design pada metode pra-eksperimen, namun pada penerapannya baik kelompok eksperimen maupun kelompok kontrol ditentukan tanpa proses pemilihan secara acak (non-randomized) [20]. Perlakuan atau intervensi setelah pelaksanaan pre-test hanya diberikan kepada kelompok eksperimen, sedangkan kelompok kontrol tidak memperoleh perlakuan apapun setelah tahap pre-test.
Populasiiadalahisejumlah subjek/objek dengan karakteristik dan kuantitas tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kesimpulannya dapat digeneralisasikan (Hasibuan A. D, 2023: 71). Populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas X MA Muallimin Univa Medan sebanyak 2 kelas yang berjumlah sekitar 55 siswa. Hasil pretest pada populasi menunjukkan, sebanyak 18 siswa mengalami self-conscious emotions tinggi dengan hasil persentase sebanyak 32,73%, 32 siswa di tingkat sedang dengan persentase 58,18% dan 5 siswa dengan self-conscious emotions tingkat rendah dengan hasil persentase 9,09%. Berdasarkan hasil tersebut maka dapat disimpulkan bahwa tingkat Self-Conscious Emotion siswa kelas X di MA Muallimin Univa Medan lebih cenderung ke sedang 58,18% yaitu sebanyak 32 siswa.
Penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling, yaitu salah satu metode pengambilan sampel non-acak (non-random sampling) di mana peneliti secara sengaja memilih subjek penelitian berdasarkan karakteristik atau kriteria tertentu yang relevan dengan tujuan penelitian. Pendekatan ini diharapkan dapat membantu peneliti memperoleh pemahaman yang lebih mendalam terhadap permasalahan yang dikaji [22]. Sampel terdiri dari 16 siswa, yakni 8 siswa kelompok eksperimen dan 8 siswa lainnya kelompok kontrol dengan tingkat emosi kesadaran diri tingkat tinggi (Self-Conscious Emotions) berdasarkan hasil pre-test.
Instrumen dalam penelitian ini menggunakan angket/kuesioner yang mengadaptasi skala Self Consciousness Scale (SCS-R) yang dikembangkan dan direvisi oleh Scheier & Carver pada tahun 1985 serta diadaptasi oleh [23] yang terdiri dari 18 item valid yaitu private self consciousness sebanyak 6 item, public self consciousness sebanyak 7 item, serta aspek online social anxiety sebanyak 5 item. Skala ini menggunakan skala likert yang mana masing-masing item memiliki 4 pilihan jawaban yaitu SS(sangat sesuai), S(sesuai), TS(tidak setuju), dan STS(Sangat Tidak Setuju). Skala ini diberikan dalam dua tahap, yaitu sebelum intervensi (pre-test) dan setelah intervensi (post-test) untuk mengukur perubahan yang terjadi. Instrumen ini telah di uji validitas dan realibilitasnya. Hal ini dapat dikatehui karena nilai r tabel pada taraf signifikansi 5% adalah sebesar 0,1587. Validitas suatu item dapat dianggap terpenuhi apabila nilai r hitung melebihi nilai r tabel. Selanjutnya hasil uji reliabilitas menggunakan program SPSS menunjukkan nilai Cronbach Alpha sebesar 0,805. Nilai Cronbach Alpha di atas 0,05 (0,805 > 0,05) menunjukkan reliabilitas yang memadai.
Prosedur penelitian terdiri dari tiga tahap. Tahap pertama adalah persiapan, mencakup identifikasi siswa dengan Self-Conscious Emotions tinggi melalui pre-test serta pemilihan sampel. Tahap kedua adalah pelaksanaan, berupa kurang lebih 3 sesi konseling kelompok yang berdurasi 60–90 menit dengan pendekatan Guided Imagery yang melibatkan relaksasi, visualisasi positif, dan internalisasi pikiran konstruktif. Tahap ketiga adalah analisis data dengan membandingkan hasil pretest dan posttest untuk menilai efektivitas intervensi.
Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan uji statistik paired sample t-test untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan yang signifikan antara hasil pre-test dan post-test. Jika data tidak berdistribusi normal, maka analisis dilakukan menggunakan uji Wilcoxon sebagai alternatif [24]. Analisis ini bertujuan untuk melihat pengaruh konseling kelompok dengan teknik Guided Imagery dalam mengurangi Self-Conscious Emotions pada siswa MA.
Penelitian ini dilaksanakan di salah satu sekolah, yaitu MA Muallimin UNIVA Medan. Alasan pemilihan lokasi ini adalah karena peneliti menemukan adanya siswa yang mengalami self-conscious emotions atau emosi moral di sekolah tersebut. Proses penelitian dimulai dengan tahap persiapan selama dua minggu yang mencakup pengurusan perizinan serta penyusunan instrumen. Selanjutnya, pengukuran pre-test dilakukan selama satu minggu dan kemudian dilanjutkan dengan pemberian perlakuan berupa layanan konseling kelompok selama 2 hingga 3, rangkaian sesi pertemuan. Setelah tahap perlakuan selesai, posttest dilaksanakan selama satu minggu. Secara keseluruhan kegiatan penelitian ini berlangsung selama 5 minggu, dimulai dari tanggal 8 April hingga 14 Mei 2025. Setelah itu, dilakukan analisis data, dan pada dua minggu terakhir dilakukan penyusunan laporan penelitian.
Dengan metode yang dirancang secara sistematis ini, diharapkan penelitian dapat memberikan bukti empiris mengenai efektivitas Konseling Kelompok dengan Teknik Guided Imagery Untuk Mengurangi emosi kesadaran diri yang berlebihan Pada Siswa MA.
Figure 2. Hasil Pre-test dan Post-test Kelompok Eksperimen
Berdasarkan Grafik Yang Tersaji, Dapat Disimpulkan Bahwa Dari 8 (Delapan) orang dalam kelompok eksperimen saat dilakukan post-tet berada dalam tingkat emosi kesadaran diri tingkat tinggi berjumlah 4 siswa, dan 4 siswa dalam kondisi tingkat emosi kesadaran diri sedang. setelah dilakukan post-test hasilnya menunjukkan perubahan tingkat emosi kesadaran diri 8 siswa menjadi rendah. Hal ini menunjukkan intervensi yang dilakukan memberikan dampak yang evektif terhadap tingkat emosi kesadaran diri siswa.
Figure 3. Hasil Pre-test dan post-test Kelompok Eksperimen
Berdasarkan Grafik Yang Tersaji, Dapat Disimpulkan Bahwa Dari 8 (Delapan) orang dalam kelompok eksperimen saat dilakukan pre-tet berada dalam tingkat emosi kesadaran diri tingkat tinggi. Setelah dilakukan post-test hasilnya tidak menunjukkan perubahan tingkat emosi kesadaran diri siswa yang signifikan.
Uji Normalitas Sebaran
Pengujian normalitas terhadap variabel Self-Conscious Emotion telah diuji dengan metode kolmogorov-Smirnov. Metode ini dilakukan dengan tujuan menentukan apakah dua variabel tersebut berdistribusi normal atau tidak. Lebih jelasnya lihat di tabel.1;
Tabel.1 di atas menunjukkan bahwa data pre-test pada kelompok eksprimen memiliki nilai signifikan (Sig) sebesar 0,200 > 0,05, dan pre-test pada kelompok kontrol memiliki nilai sig sebesar 0,200 > 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa data pretest kelompok eksperimen dan kontrol untuk variabel Self-Conscious Emotions memenuhi asumsi distribusi normal. Selanjutnya, hasil pengujian post-test kelompok eksprimen memiliki nilai signifikan (Sig) sebesar 0,068 > 0,05, dan pada posttest kelompok kontrol memiliki nilai Sig sebesar 0,200 > 0,05, sehingga dapat disimpulkan bahwa data post-test kelompok eksperimen dan kontrol untuk variabel Self-Conscious Emotions memenuhi asumsi distribusi normal. Dengan demikian, secara keseluruhan, data dari variabel emosi kesadaran di berlebih (overly Self-Conscious Emotions), baik pada tahap pretest maupun posttest, dapat dikatakan berdistribusi normal.
Uji Homogenitas
Guna mengidentifikasi keberadaan atau ketiadaan kesamaan antara kelompok kontrol dengan kelompok eksperimen dilakukan dengan menguji hoxmogenitas. Uji homogenitas untuk emosi kesadaran diri berlebihan (overly Self-Conscious Emotion) siswa dapat dilihat dari hasil SPSS pada tabel.2 berikut ini:
Berdasarkan hasil analisis menggunakan perangkat lunak SPSS, pada bagian based on mean, diperoleh nilai t sebesar 0,031, yang lebih besar daripada tingkat signifikan yang ditetapkan, yaitu 0,05 (t = 0,031 > 0,05). Dengan demikian, hipotesis nol (H₀) diterima. Ini menunjukkan bahwa data yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari populasi dengan variansi yang homogen. Dalam hal ini, tidak ada perbedaan signifikan dalam variansi di antara kelompok data yang dianalisis, yang menunjukkan bahwa asumsi tentang homogenitas variansi terpenuhi.
Uji Hipotesis
Berdasarkan hasil analisis uji T sampel berpasangan (paired samples t-test) bahwa terdapat perbedaan tingkat emosi kesadaran diri berlebihan pada siswa yang signifikan secara statistik. Untuk perbedaan skor stress akademik dapat dilihat pada tabel.4 berikut:
Pada tabel.3 yang menunjukkan sebelum siswa diberikan layanan konseling kelompok dengan Teknik Guided Imagery berada pada kategori tinggi yaitu (M = 60,38, p < 0,05). Sementara itu pada hasil posttest yaitu setelah diberikan perlakuan terdapat penurunan Tingkat emosi kesadaran diri berlebihan pada siswa yaitu (M =56,00, p < 0,05). Dengan melihat hasil tersebut dapat kita pahami bahwa emosi kesadaran diri berlebihan pada siswa kelas X MA Muallimin Univa Medan dapat diturunkan melalui layanan konseling kelompok dengan teknik Guided Imagery.
Hasil uji Paired sample t-test dengan menggunakan pretest dan posttest pada layanan konseling kelompok untuk mengentaskan Self-Conscious Emotions dapat dilihat pada tabel.4 dibawah ini:
Berdasarkan hasil uji hipotesis terhadap tingkat Self-Conscious Emotions siswa, diperoleh nilai t = 0,01 (t < 0,05). Hal ini menunjukkan bahwa hipotesis nol (H₀), yang menyatakan tidak terdapat perbedaan antara Self-Conscious Emotion siswa, ditolak. Sebaliknya, hipotesis alternatif (H₁) diterima, sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan tingkat Self-Conscious Emotion siswa yang signifikan secara statistik. Dengan demikian, hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini terbukti benar dan dapat diterima, karena data yang diperoleh memberikan cukup bukti yang mendukung adanya perbedaan Self-Conscious Emotion di antara kelompok siswa yang diteliti.
Emosi kesadaran diri berlebihan (Overly Self-conscious emotions) merupakan jenis emosi yang muncul dari penilaian terhadap diri sendiri, khususnya berkaitan dengan standar, norma, atau harapan sosial. Emosi ini berkaitan erat dengan aspek moral, karena melibatkan proses refleksi dan evaluasi diri. Dalam proses refleksi tersebut, self-conscious emotions dapat berfungsi sebagai bentuk hukuman atau penguatan langsung terhadap suatu perilaku (Yunita, 2024). Siswa sering mengalami emosi seperti malu, bersalah, rendah diri, dan cemas ketika merasa gagal memenuhi harapan lingkungan. Jika tidak dikelola, emosi ini dapat mengganggu konsentrasi, motivasi, dan kesehatan mental.
Salah satu pendekatan untuk membantu siswa mengelola emosi ini adalah konseling kelompok dengan teknik Guided Imagery. Teknik ini memandu siswa membayangkan pengalaman tertentu untuk mengeksplorasi dan memahami emosinya. Dalam konseling kelompok, guided imagery membantu siswa secara bersama-sama untuk menyadari akar emosinya, membangun citra diri positif, dan mengembangkan respons adaptif terhadap tekanan sosial (Trantoro, 2021).
Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan kondisi emosi kesadaran diri berlebih pada siswa sebelum dan sesudah menerima layanan konseling kelompok dengan teknik Guided Imagery, serta menilai pengaruh layanan tersebut dalam mengatasi masalah emosi sadar diri siswa di MA Muallimin UNIVA Medan.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dipaparkan, menunjukkan bahwa adanya perubahan signifikan pada tingkat emosi kesadaran diri berlebihan atau overly self-conscious emotions pada peserta didik setelah diberikan layanan konseling kelompok dengan menggunakan teknik guided imagery. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan teknik tersebut dalam layanan konseling kelompok dapat memberikan efek positif dalam mengurangi tingkat overly Self-Conscious Emotions yang dialami oleh siswa. Oleh karena itu, penelitian ini berhasil membuktikan bahwa konseling kelompok dengan teknik Guided Imagery merupakan metode yang cukup efektif untuk membantu siswa dalam mengatasi emosi kesadaran diri yang berlebih pada siswa.
Efektivitas konseling kelompok dengan teknik guided imagery dalam mengurangi emosi kesadaran diri berlebihan pada siswa Madrasah Aliyah dapat dipahami melalui perpaduan mekanisme restrukturisasi kognitif, regulasi emosi, dan dukungan sosial yang terbentuk selama proses konseling. Teknik ini mengarahkan siswa untuk membentuk gambaran mental positif yang menggantikan citra diri negatif, sehingga menurunkan self-focused attention yang berlebihan, yakni kecenderungan untuk terus-menerus memikirkan penilaian orang lain terhadap dirinya. Sejalan dengan Luís dan Kolcaba [25] yang menyatakan bahwa Guided Imagery dapat membantu melawan pikiran yang kaku, otomatis, dan putus asa.
Proses guided imagery juga membantu menciptakan keadaan rileks yang berkontribusi pada pengendalian respon fisiologis terhadap stres. Penelitian Weigensberg dkk [26] menunjukkan bahwa teknik ini mampu menurunkan aktivitas sistem saraf simpatis, sehingga mengurangi ketegangan fisik dan memberikan rasa tenang. Dalam konteks siswa MA, suasana rileks ini mempermudah mereka membangun persepsi diri yang lebih positif dan selaras dengan nilai-nilai religius yang menekankan syukur, penerimaan diri, serta kesadaran akan potensi diri.
Selain itu, format konseling kelompok menyediakan ruang bagi siswa untuk saling memberikan dukungan, membagikan pengalaman, dan memperoleh validasi sosial. Interaksi antaranggota menciptakan rasa kebersamaan yang mengurangi perasaan terisolasi akibat beban emosi kesadaran diri berlebihan. Menurut Prayitno [27] , dukungan sosial dalam kelompok dapat mempercepat perubahan perilaku dan emosi karena individu merasa didengar, diterima, dan dihargai. Keterpaduan restrukturisasi kognitif, pengendalian emosi, dan dukungan sosial inilah yang membuat guided imagery menjadi metode intervensi yang holistik. Dalam konteks pendidikan keagamaan di Madrasah Aliyah, teknik ini tidak hanya membantu siswa mengatasi perasaan negatif, tetapi juga memperkuat identitas diri yang sehat sesuai dengan tujuan pendidikan karakter Islami.
Dari keseluruhan temuan, dapat disimpulkan bahwa teknik Guided Imagery dalam konseling kelompok memiliki efektivitas yang nyata dalam mengurangi emosi kesadaran diri berlebih pada siswa. Tidak hanya memberikan relaksasi dan eksplorasi diri secara internal, namun juga memperkuat dukungan sosial dan agama serta efikasi diri yang sangat penting dalam masa remaja serta memperkuat spiritualitas dan nilai-nilai tauhid.
KESIMPULAN
Penelitian ini menunjukkan bahwa layanan konseling kelompok dengan teknik guided imagery terbukti efektif dalam menurunkan tingkat emosi kesadaran diri berlebihan pada siswa. Setelah diberikan intervensi, terjadi penurunan signifikan pada emosi seperti malu, rasa bersalah, dan rendah diri. Hasil uji statistik memperkuat bahwa teknik ini memberikan pengaruh positif terhadap kesejahteraan emosional siswa, sehingga dapat menjadi metode intervensi yang layak dipertimbangkan dalam program bimbingan dan konseling di sekolah. Implikasi praktis dari temuan ini adalah guru BK dapat mengintegrasikan guided imagery sebagai bagian dari layanan konseling kelompok rutin, khususnya bagi siswa yang menunjukkan gejala excessive self-consciousness. Pihak sekolah juga dapat mengadakan pelatihan bagi guru BK atau konselor untuk meningkatkan keterampilan dalam memandu teknik visualisasi ini. Selain itu, orang tua dapat berkolaborasi dengan pihak sekolah untuk menciptakan lingkungan rumah yang mendukung, misalnya dengan memberikan kesempatan anak berlatih teknik relaksasi atau visualisasi positif di rumah.
Untuk penelitian lanjutan, disarankan agar efektivitas guided imagery diuji pada kelompok usia yang berbeda, seperti siswa SMP atau mahasiswa, guna melihat konsistensi hasil pada tahap perkembangan yang lain. Selain itu, penelitian dapat diperluas pada konteks yang berbeda, misalnya pada siswa di sekolah umum, sekolah berasrama, atau lingkungan dengan budaya tertentu, untuk mengidentifikasi faktor kontekstual yang mempengaruhi keberhasilan intervensi. Penelitian selanjutnya juga dapat membandingkan efektivitas guided imagery dengan teknik konseling lain, seperti cognitive restructuring atau mindfulness, sehingga diperoleh pemahaman yang lebih komprehensif tentang metode yang paling tepat untuk mengatasi excessive self-consciousness. Dengan demikian, temuan ini tidak hanya memberikan manfaat praktis di lapangan, tetapi juga membuka peluang bagi pengembangan penelitian lebih lanjut dalam bidang bimbingan dan konseling.
[1] J. L. Tracy, R. W. Robins, and J. P. Tangney, The Self-Conscious Emotions: Theory and Research. New York: The Guilford Press, 2007.
[2] N. Ramdhani, “Emosi Moral dan Empati pada Pelaku Perundungan-Siber,” Jurnal Psikologi, vol. 43, no. 1, p. 66, 2016, doi: 10.22146/jpsi.12955.
[3] Malikah, “Kesadaran Diri Proses Pembentukan Karakter Islam,” Jurnal Al-Ulum IAIN Gorontalo, vol. 13, no. 1, pp. 129–150, 2013.
[4] S. Nasution, “Rasa Percaya Diri dalam Perspektif Islam,” Jurnal Pendidikan Islam, vol. 6, no. 2, pp. 1–12, 2017.
[5] Y. Budiarto, “Studi Awal Atribusi dan Emosi Malu pada Remaja: Analisis Survei Kualitatif,” Persona: Jurnal Psikologi Indonesia, vol. 8, no. 1, pp. 139–161, 2019, doi: 10.30996/persona.v8i1.2105.
[6] F. W. Sari and N. Fauziah, “Hubungan Antara Self Monitoring Dengan Penyesuaian Sosial pada Mahasiswa Rantau Minang di Universitas Diponegoro,” Jurnal Empati, vol. 8, no. 1, pp. 10–20, 2019, doi: 10.14710/empati.2019.23568.
[7] H. Leuner, Guided Affective Imagery: Mental Imagery in Short-Term Psychotherapy. Berlin: Springer, 1984.
[8] B. T. Erford, 40 Teknik yang Harus Diketahui Setiap Konselor. Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2016.
[9] L. K. Case, P. Jackson, R. Kinkel, and P. J. Mills, “Guided Imagery Improves Mood, Fatigue, and Quality of Life in Individuals With Multiple Sclerosis: An Exploratory Efficacy Trial of Healing Light Guided Imagery,” Journal of Evidence-Based Integrative Medicine, vol. 23, pp. 1–8, 2018, doi: 10.1177/2515690X17748744.
[10] M. Lutfiani and W. Husada, “Penerapan Relaksasi Guided Imagery Untuk Menurunkan Kecemasan pada Pasien Kanker Serviks,” Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat, vol. 5, no. 1, pp. 46–55, 2023.
[11] V. D. Krisnanda and S. Albab, “Pelatihan Teknik Guided Imagery Terhadap Masyarakat Gunung Sindur yang Mengalami Agoraphobia dan Manajemen,” Jurnal Pengabdian West Science, vol. 1, no. 1, pp. 7–16, 2022.
[12] S. Maskanah, E. Y. Wahidah, and H. Sulaiman, “Pendekatan Psikologis dalam Meningkatkan Kesadaran Diri dan Motivasi Belajar: Perspektif dan Implikasi Islam,” La-Tahzan: Jurnal Pendidikan Islam, vol. 16, no. 2, pp. 10–16, 2024.
[13] N. M. Yesi and N. Fitri, “Faktor-Faktor yang Memengaruhi Gangguan Mental Emosional Remaja SMA,” Jurnal Penelitian Perawat Profesional, vol. 5, pp. 609–616, 2023, doi: 10.37287/jppp.v5i2.1527.
[14] I. S. Shaddri and I. W. Dharmayana, “Penggunaan Teknik Guided Imagery Terhadap Tingkat Kecemasan Siswa Mengikuti Aktivitas Konseling Kelompok,” Consilia: Jurnal Ilmiah Bimbingan Konseling, vol. 1, pp. 68–78, 2018.
[15] I. Shaddri, W. Dharmayana, and I. Sulian, “Penggunaan Teknik Guided Imagery Terhadap Tingkat Kecemasan Siswa Mengikuti Aktivitas Konseling Kelompok,” Consilia: Jurnal Ilmiah Bimbingan Konseling, vol. 1, no. 3, pp. 66–74, 2019, doi: 10.33369/consilia.1.3.68-78.
[16] A. Zahra, S. N. Y. Wastuti, and U. Salamah, “The Application of Group Guidance Services Guided Imagery Technique to Reduce Excessive Anxiety,” Algebra: Jurnal Pendidikan Sosial dan Sains, vol. 5, no. 2, pp. 62–67, 2025, doi: 10.58432/algebra.v5i2.1266.
[17] M. Raml, “The Effectiveness of Group Solution-Focused Guided Imagery Counseling Model to Overcome Problems of Primary School Students,” Advances in Social Science, Education and Humanities Research, vol. 118, pp. 208–213, 2017, doi: 10.2991/icset-17.2017.35.
[18] Metodologi Penelitian Kuantitatif. Jakarta: Rajawali Pers, 2022.
[19] M. G. Isnawan, Kuasi-Eksperimen. Yogyakarta: Deepublish, 2020.
[20] Sugiyono, Metodologi Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta, 2020.
[21] A. D. Hasibuan, Metode Penelitian: Teori dan Praktik Riset Bimbingan Konseling Pendidikan Islam. Jakarta: Merdeka Kreasi Group, 2023.
[22] I. Lenaini, “Teknik Pengambilan Sampel Purposive dan Snowball Sampling,” Historia: Jurnal Kajian, Penelitian, dan Pengembangan Pendidikan Sejarah, vol. 6, no. 1, pp. 33–39, 2021.
[23] S. A. Sa’diyah, “Hubungan Antara Self Esteem dan Self Consciousness dengan Self Presentation Remaja Pengguna Media Sosial,” Undergraduate Thesis, UIN Sunan Ampel, Surabaya, 2020.
[24] A. Field, Discovering Statistics Using IBM SPSS Statistics, 5th ed. London: SAGE Publications, 2018.
[25] J. L. Apóstolo and K. Kolcaba, “The Effects of Guided Imagery on Comfort, Depression, Anxiety, and Stress of Psychiatric Inpatients with Depressive Disorders,” Archives of Psychiatric Nursing, vol. 23, no. 6, pp. 403–411, 2009, doi: 10.1016/j.apnu.2008.12.003.
[26] M. J. Weigensberg, C. K. F. Wen, D. Spruijt-Metz, and C. J. Lane, “Effects of Group-Delivered Stress-Reduction Guided Imagery on Salivary Cortisol, Salivary Amylase, and Stress Mood in Urban, Predominantly Latino Adolescents,” Global Advances in Health and Medicine, vol. 11, pp. 1–9, 2022, doi: 10.1177/21649561211067443.
[27] E. A. Prayitno, Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling. Jakarta: Rineka Cipta, 2004.