Luthfia Zahra (1), Fauziah Nasution (2)
Background (General): Verbal abuse is a form of non-physical violence characterized by harsh, degrading, or mocking words that harm others emotionally, and it frequently occurs within school settings. Background (Specific): Addressing verbal abuse in students is crucial as it disrupts learning environments and affects peer relationships. Knowledge Gap: While Cognitive Behavioral Therapy (CBT) techniques have been applied in various behavioral issues, limited empirical evidence exists regarding their application in reducing students’ verbal abuse. Aim: This study investigates the use of individual counseling with the Thought Stopping technique to reduce verbal abuse among students. Results: Employing a pre-experimental one-group pretest-posttest design with purposive sampling, data were collected using a validated Likert-scale verbal aggression questionnaire and analyzed using the Wilcoxon signed ranks test in SPSS. Findings revealed a significant difference between pretest and posttest scores (p = 0.042, p < 0.05), indicating a measurable reduction in verbal abuse behavior after counseling. Novelty: This study demonstrates the application of a structured CBT-based intervention specifically tailored to address verbal aggression in school settings. Implications: The results highlight the potential of Thought Stopping in individual counseling as a practical strategy for educators and counselors to foster healthier communication patterns among students.
Highlights:
Individual counseling with Thought Stopping reduced students’ verbal abuse behavior.
Wilcoxon test analysis showed a significant pretest–posttest difference (p=0.042).
The study provides practical contributions for school counselors in behavior intervention.
Keywords: Individual Counseling, Thought Stopping, Verbal Abuse, CBT, Students
Siswa, sebagai bagian dari masyarakat yang terlibat dalam interaksi sosial, memiliki tanggung jawab baik terhadap dirinya sendiri maupun terhadap lingkungan sekitarnya. Dalam kajian psikologi, komunikasi verbal merupakan salah satu unsur penting dalam pembentukan kepribadian manusia, yang berkaitan erat dengan perilaku serta pengalaman kesadaran individu. Interaksi sosial yang berlangsung dalam kehidupan sehari-hari berpotensi menimbulkan risiko yang dapat merugikan pihak lain, yang dikenal dengan istilah verbal abuse. Verbal abuse mengacu pada tindakan atau perilaku lisan yang menimbulkan dampak emosional negatif. Bentuk kekerasan berbasis kata ini kerap digunakan sebagai sarana tekanan di kalangan remaja dan menjadi fenomena yang cukup marak pada masa kini [1].
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023, jumlah anak di Indonesia mencapai sekitar 88,7 juta jiwa, atau setara dengan sepertiga dari total populasi. Meskipun demikian, anak-anak masih menghadapi berbagai permasalahan kompleks, termasuk kekerasan. Data Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) KPAI hingga Oktober 2023 mencatat sebanyak 1.478 laporan kasus kekerasan terhadap anak. Sementara itu, hasil Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) 2024 mengungkap bahwa satu dari dua anak berusia 13–17 tahun pernah mengalami sedikitnya satu bentuk kekerasan sepanjang hidupnya. Selama tahun 2024, KPAI juga menerima 2.057 pengaduan terkait kasus kekerasan pada anak.
Penelitian yang dilakukan oleh Badriyah et al. (2020) menunjukkan bahwa konseling kelompok dengan teknik thought stopping efektif dalam mereduksi kecemasan sosial. Sementara itu, Rahmawati et al. (2023) membuktikan efektivitas konseling individu menggunakan teknik yang sama, terlihat dari perubahan sikap dan perilaku klien sebelum dan sesudah intervensi. Temuan ini sejalan dengan penelitian lain yang mencatat adanya perubahan skor perilaku bullying pada kategori sedang setelah penerapan teknik thought stoppin..
Sutikno dalam [2], mengemukakan bahwa verbal abuse atau kekerasan verbal merupakan tindakan yang menyasar perasaan seseorang melalui ungkapan kata-kata kasar tanpa kontak fisik, termasuk ucapan yang bersifat mengadu domba, mengancam, menghina, atau melebih-lebihkan kesalahan dan permasalahan orang lain. Lestari dalam [3] mendefinisikan verbal abuse sebagai segala bentuk perkataan yang bersifat menghina, membentak, memaki, atau menakut-nakuti dengan menggunakan kata-kata yang tidak pantas. Sementara itu, Johnson dalam [4] menjelaskan bahwa kekerasan verbal merupakan bentuk ucapan yang ditujukan kepada seseorang dan dapat dianggap merendahkan, tidak sopan, rasis, seksis, homofobik, diskriminatif usia (ageism), atau mengandung hujatan, baik melalui nada suara yang merendahkan maupun penggunaan keakraban yang berlebihan. Perilaku verbal abuse ini tidak mengenal batas usia dan dapat terjadi di berbagai situasi, termasuk di lingkungan sekolah.
Verbal abuse terjadi ketika orang tua, pengasuh, atau lingkungan sekitar kerap mengucapkan kata-kata yang merendahkan, memojokkan, meremehkan, atau memberi label negatif kepada anak, sehingga hinaan tersebut tertanam kuat dalam dirinya [5]. Pengalaman masa kecil yang dipenuhi perlakuan tidak pantas serta pola asuh yang keliru menjadi salah satu faktor yang dapat mendorong anak melakukan tindakan kekerasan. Verbal abuse yang dilakukan oleh teman sebaya dapat dipengaruhi oleh berbagai latar belakang, seperti pengalaman pernah menjadi korban bullying, keinginan untuk menunjukkan kekuasaan di lingkungan sekolah, atau merasa diri paling cerdas di kelas. Apabila mereka menemukan teman yang dianggap lemah, perilaku verbal abuse dapat muncul dalam bentuk celaan, panggilan dengan nama hewan, menyebut nama orang tua, hingga melakukan body shaming terhadap teman yang memiliki kekurangan fisik [3].
Dampak psikologis dari kekerasan verbal (verbal abuse) antara lain membuat anak kurang peka terhadap perasaan orang lain, menghambat perkembangan anak, memicu perilaku agresif, menimbulkan gangguan emosi, mengganggu hubungan sosial, serta berpotensi membentuk kepribadian sosiopat atau antisocial personality disorder. Gangguan kepribadian ini ditandai oleh perilaku yang secara terus-menerus mengabaikan atau melanggar hak asasi orang lain [3].
Adapun bentuk Verbal Abuse dapat dibagi menjadi beberapa kategori, antara lain:
1.Menyebutkan Nama Buruk; Pemberian nama jelek atau penghinaan yang berhubungan dengan karakter atau kemampuan individu, seperti "bodoh" atau "sok pintar".
2.Menakut-nakuti; Penggunaan ancaman verbal untuk menimbulkan rasa takut, sehingga korban merasa tertekan dan tidak berdaya.
3.Penghardikan; Tindakan membentak atau memarahi dengan kata-kata kasar, yang dapat menyebabkan trauma psikologis pada korban.
4.Body Shaming; Menghina fisik seseorang, yang sering terjadi di kalangan remaja, dan dapat berdampak negatif pada self-esteem mereka [2].
Penelitian yang dilakukan oleh Anggun [6]menunjukkan bahwa konseling kelompok dengan teknik thought stopping efektif dalam mereduksi kecemasan sosial. Temuan ini sejalan dengan penelitian Selvia yang mengidentifikasi adanya perbedaan dan perubahan rata-rata pada kelompok eksperimen menggunakan teknik thought stopping sebesar 0,490, yang tergolong dalam kategori perubahan skor sedang. Berdasarkan hasil tersebut, dapat disimpulkan bahwa teknik thought stopping efektif untuk menurunkan perilaku bullying pada kategori sedang [7].
Berdasarkan beberapa penelitian yang telah dipaparkan, bahwa teknik tought stopping dihipotesiskan dapat mereduksi perilaku Verbal Abuse. Selain itu, pemilihan teknik ini didasarkan pada hasil kajian yang menunjukkan efektivitasnya dalam menurunkan perilaku dan dapat membuka dan membenahi pola pikir, yang mana kebiasaan seseorang berpikir dapat mengubah seseorang berperilaku.
Fenomena yang terjadi di sekolah SMA Swasta Gotong Royong bahwa melihat adanya kekerasan verbal yang dilakukan oleh seorang siswa kepada teman sebaya nya seperti memaki “Bodoh” dan mengejek dengan menyebut nama orang tua, begitu juga dengan teman tersebut yang tidak mau mengalah sehingga terjadi keributan yang merusak jam istirahat. Tidak sekali peneliti melihat kejadian tersebut sehingga peneliti tertarik untuk melakukan kajian tentang fenomena tersebut.
Berdasarkan permasalahan yang ada, diperlukan pelaksanaan layanan yang tepat, salah satunya melalui konseling individu. Konseling individu, atau konseling personal, merupakan proses pembelajaran yang berlangsung dalam hubungan khusus dan bersifat pribadi antara konselor dengan konseli melalui sesi wawancara [8]. Menurut Prayitno, konseling individu adalah layanan yang diselenggarakan oleh guru bimbingan dan konseling untuk membantu seorang siswa mengatasi permasalahan pribadinya. Sementara itu, Tohirin menjelaskan bahwa tujuan konseling individu adalah agar siswa mampu memahami kondisi diri, lingkungan, permasalahan yang dihadapi, serta kekuatan dan kelemahan yang dimilikinya sehingga dapat mengatasinya secara mandiri. Dengan kata lain, konseling individu bertujuan untuk menyelesaikan masalah yang dialami oleh konseli atau siswa [9].
Penelitian ini hadir untuk mengisi celah tersebut dengan menguji efektivitas konseling individu menggunakan teknik thought stopping secara khusus pada siswa yang melakukan verbal abuse. Kebaruan penelitian ini terletak pada pengukuran yang tidak hanya berfokus pada penurunan perilaku negatif, tetapi juga memberikan rekomendasi praktis bagi konselor sekolah dalam merancang intervensi yang relevan, aplikatif, dan dapat diintegrasikan dalam layanan bimbingan konseling sehari-hari. Dengan demikian, hasil penelitian diharapkan memberikan kontribusi teoretis sekaligus manfaat langsung dalam praktik lapangan.
Dalam proses pelaksanaan konseling individu, terdapat berbagai teknik yang dapat diterapkan, salah satunya adalah teknik thought stopping. Teknik ini merupakan bagian dari terapi perilaku yang bertujuan membantu individu mengubah pola pikirnya dengan memberikan instruksi untuk mengatakan “berhenti” ketika muncul pikiran yang mengganggu atau mengancam, kemudian menggantinya dengan pikiran positif. Dengan demikian, teknik thought stopping dapat dimanfaatkan setiap kali individu ingin menyingkirkan pikiran yang mengganggu maupun pikiran yang tidak diinginkan [10].
Joseph Wolpe dalam [10] mendefinisikan thought stopping sebagai teknik yang digunakan untuk menghentikan pikiran negatif yang berpotensi merugikan diri dengan mengucapkan “STOP” dan menggantinya dengan pikiran positif. Teknik ini berfungsi menghentikan alur pikiran dan merupakan bagian dari pendekatan Cognitive Behavioral Therapy (CBT) yang bertujuan membantu mengubah proses berpikir. Pola kebiasaan berpikir seseorang dapat memengaruhi perubahan perilakunya. Rofiq dalam [11] strategi thought stopping digunakan untuk mengatasi ketidakproduktifan atau dominasi pikiran dan gambaran negatif tentang diri dengan cara menekan atau menghilangkan kesadaran negatif tersebut. Teknik ini umumnya diberikan kepada konseli yang cenderung terjebak pada peristiwa masa lalu yang tidak dapat diubah.
Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk menguji efektivitas konseling individu dengan teknik thought stopping dalam mereduksi perilaku verbal abuse pada siswa yang berpotensi merugikan orang lain. Melalui penerapan teknik ini, diharapkan siswa mampu membangun hubungan yang harmonis dengan orang lain serta mengembangkan keterampilan sosial secara lebih optimal. Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan, peneliti memutuskan untuk melaksanakan studi dengan judul “Efektivitas Konseling Individu dengan Teknik Thought Stopping dalam Mereduksi Perilaku Verbal Abuse Siswa”. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi konseptual yang bermanfaat bagi pengembangan praktik konseling di masa mendatang.
Penelitian ini menerapkan pendekatan kuantitatif dengan metode eksperimen, menggunakan desain One Group Pretest-Posttest. Desain ini dipilih karena memungkinkan peneliti untuk membandingkan kondisi subjek sebelum dan sesudah diberikan perlakuan (treatment), sehingga perubahan yang terjadi dapat diamati secara langsung pada kelompok yang sama. [12].
Penelitian ini dilaksanakan di SMA Swasta Gotong Royong, Afd. II Perkebunan Bangun Serapuh, Kecamatan Gunung Malela, Kabupaten Simalungun. Populasi penelitian mencakup seluruh siswa kelas XI yang terdiri atas dua kelas dengan total 37 siswa. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah purposive sampling, yakni metode penentuan sampel berdasarkan kriteria atau pertimbangan tertentu. Teknik ini termasuk dalam kategori non-probability sampling karena tidak memberikan peluang yang sama bagi setiap anggota populasi untuk dipilih [13].
Sample yang diperoleh sebanyak 5 siswa dengan kriteria anak yang memiliki skor Verbal Abuse dengan rentang nilai 41-50 yang menunjukkan tingkat Verbal Abuse kategori tinggi berdasarkan hasil tes yang telah dilakukan sebelumnya. Penelitian ini dilaksanakan di SMA Swasta Gotong Royong, Afd. II Perkebunan Bangun Serapuh, Kecamatan Gunung Malela, Kabupaten Simalungun. Populasi penelitian mencakup seluruh siswa kelas XI yang terdiri atas dua kelas dengan total 37 siswa. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah purposive sampling, yakni metode penentuan sampel berdasarkan kriteria tertentu yang relevan dengan tujuan penelitian. Teknik ini termasuk dalam kategori non-probability sampling karena tidak memberikan peluang yang sama bagi setiap anggota populasi untuk terpilih.
Instrumen penelitian yang digunakan adalah angket agresi verbal berbasis skala Likert yang diadaptasi dari penelitian Sentosa [14]. Angket ini dirancang untuk mengukur tingkat perilaku agresi verbal siswa dengan menggunakan empat kategori jawaban, yaitu (SS) Sangat Sesuai, (S) Sesuai, (J) Jarang, dan (TP) Tidak Pernah. Setiap indikator terdiri atas dua jenis pernyataan, yakni favourable dan unfavourable. Item favourable merupakan pernyataan yang mendukung dan disusun dalam bentuk negatif, sedangkan item unfavourable adalah pernyataan yang tidak mendukung dan berbentuk positif. Penyusunan item dilakukan secara acak untuk menghindari bias akibat kecenderungan responden memberikan jawaban pada satu posisi tertentu dalam angket [14].
Analisis data dalam penelitian ini dilakukan menggunakan uji statistik nonparametrik dengan metode Wilcoxon, dibantu oleh perangkat lunak IBM SPSS Statistics for Windows versi 3.0.
Sebelum digunakan, instrumen diuji validitas dan reliabilitasnya pada 20 responden di luar sampel penelitian. Uji validitas dilakukan menggunakan korelasi Product Moment Pearson, menunjukkan bahwa seluruh butir memiliki nilai r hitung > r tabel (0,444), sehingga dinyatakan valid. Uji reliabilitas menggunakan koefisien Cronbach’s Alpha menghasilkan nilai 0,872, yang menunjukkan tingkat reliabilitas tinggi.
Analisis data dilakukan dengan membandingkan skor pretest dan posttest yang diukur menggunakan angket Verbal Abuse yang telah divalidasi. Skor pretest mencerminkan tingkat perilaku Verbal Abuse siswa sebelum mendapat layanan konseling, sedangkan skor postest mencerminkan kondisi setelah dilakukan intervensi.
Berikut ini disajikan hasil perbandingan skor pretest dan posttest yang diukur dalam bentuk grafik dan tabel deskriptif untuk memberikan gambaran awal mengenai perbedaan skor sebelum dan sesudah layanan diberikan.
Figure 1. Hasil Pretest dan Posttest
Penurunan skor rata-rata dari 41,20 menjadi 37,00 menunjukkan terjadinya pengurangan perilaku verbal abuse sebesar 4,20 poin setelah intervensi. Skala pengukuran mengacu pada rentang 0–50, di mana skor lebih tinggi menunjukkan intensitas perilaku verbal abuse yang lebih besar. Berdasarkan kategori interpretasi, skor awal berada pada kategori tinggi, sedangkan skor akhir turun ke kategori sedang, menunjukkan keberhasilan intervensi.
Berdasarkan gambar 1 dan tabel 2 dapat diketahui bahwa terdapat penurunan skor dari pretest ke posttest, penurunan juga tampak dari mean atau rata-rata nilai posttest sebesar 37.00 lebih kecil dari pada rata-rata nilai pretest sebesar 42.20 . Hal ini menjelaskan bahwa perilaku Verbal Abuse atau kekerasan verbal yang dialami oleh siswa berkurang. Penurunan skor ini merupakan dampak dari treatment yang telah diberikan yaitu berupa konseling individu menggunakan pendekatan CBT teknik Thought Stopping.
Tabel peringkat (Ranks) menunjukkan bahwa semua siswa (5 responden) mengalami penurunan skor setelah diberikan layanan konseling (Negative Ranks = 5), dan tidak ada siswa yang mengalami peningkatan skor (Positive Ranks = 0) maupun skor yang tetap (Ties = 0). Penurunan skor ini menunjukkan bahwa terdapat perubahan perilaku ke arah yang lebih positif, yaitu berkurangnya kecenderungan perilaku Verbal Abuse pada siswa setelah mengikuti sesi konseling individu dengan teknik Thought Stopping.
Temuan ini mengindikasikan bahwa layanan konseling yang diberikan, memberikan dampak terhadap penurunan skor sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini.
Untuk mengetahui keefektifan konseling individu menggunakan teknik Thought Stopping untuk mereduksi perilaku Verbal Abuse siswa, peneliti menggunakan uji Wilcoxon Signed Ranks Test terhadap hasil pretest dan posttest dari lima responden. Hasil analisis menunjukkan nilai Z sebesar -2,032 dan nilai signifikansi (Asymp. Sig. 2-tailed) sebesar 0,042. karena nilai signifikansi lebih kecil dari 0,05 (0,042 < 0,05), maka dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara hasil pretest dan posttest.
Hasil penelitian ini menunjukkan adanya penurunan skor perilaku Verbal Abuse siswa setelah diberikan layanan konseling individu dengan teknik Thought Stopping. Berdasarkan data pretest dan posttest yang dianalisis menggunakan uji Wilcoxon Signed Ranks Test, diperoleh nilai signifikansi 0,042 (p < 0,05). Ini mengindikasikan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara perilaku Verbal Abuse sebelum dan sesudah layanan diberikan
Penurunan skor pada seluruh responden (Negative Ranks = 5) memperkuat temuan bahwa teknik Thought Stopping efektif dalam membantu siswa mengendalikan pikiran negatif yang menjadi pemicu perilaku verbal. Teknik ini bekerja dengan cara menghentikan pikiran otomatis negatif melalui perintah sadar seperti kata “STOP!”, kemudian menggantinya dengan pikiran alternatif yang lebih positif atau realistis. Proses ini merupakan bagian dari terapi kognitif perilaku (CBT) yang fokus pada pengubahan pola pikir untuk menghasilkan perubahan pada perilaku. . Temuan ini sejalan dengan pendapat Joseph Wolpe dalam [10], yang menyatakan bahwa Thought Stopping adalah teknik terapi perilaku untuk menghentikan pikiran negatif yang berulang dan menggantinya dengan pikiran alternatif yang lebih sehat. Teknik ini berfokus pada kontrol kognitif individu terhadap pikirannya sendiri, yang kemudian berdampak pada perubahan perilaku nyata.
Lebih lanjut, menurut Rofiq dalam [11], strategi Thought Stopping efektif digunakan untuk membantu konseli yang terjebak pada pikiran negatif atau trauma masa lalu. Hal ini sangat relevan dengan temuan penelitian ini, di mana beberapa siswa menunjukkan kecenderungan berbicara kasar sebagai respon otomatis terhadap situasi sosial tertentu. Dengan teknik ini, siswa dilatih untuk secara sadar menghentikan pikiran tersebut dan menggantinya dengan respons yang lebih rasional.
Penelitian ini juga memperkuat penelitian sebelumya oleh Rahmawati dkk. (2023) dan Selvia dkk. (2017), yang menyimpulkan bahwa teknik Thought Stopping mampu mengurangi kecemasan sosial dan perilaku bullying pada siswa. Dengan menggunakan teknik ini, siswa yang sebelumnya terbiasa merespons situasi dengan kata-kata kasar atau menyakitkan, mulai menyadari pola pikir negatif dan berusaha mengendalikannya.
Selain itu, keberhasilan teknik ini juga menunjukkan pentingnya pendekatan individual dalam konseling. Karena setiap siswa memiliki pengalaman, latar belakang, dan pola pikir yang berbeda, maka pendekatan individual memberikan ruang lebih dalam untuk mengenali dan mengatasi masalah yang dihadapi. Konseling individu juga menciptakan suasana aman dan nyaman bagi siswa untuk terbuka dan mengeksplorasi dirinya, termasuk dalam menyadari dampak dari tindakan verbal yang mereka lakukan terhadap orang lain.
Seluruh responden mengalami penurunan skor perilaku Verbal Abuse setelah mengikuti layanan konseling. Dengan demikian, teknik tought stopping tidak hanya membantu siswa mengenali dan menghentikan pikiran negatif, akan tetapi juga mengajarkan siswa bagaimana cara mengelola pikiran dan emosinya secara mandiri.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa layanan konseling individu dengan teknik Thought Stopping efektif dalam mereduksi perilaku Verbal Abuse pada siswa. Hasil uji statistik Wilcoxon menunjukkan nilai signifikansi sebesar 0,042 (p < 0,05), yang menandakan adanya perbedaan yang signifikan antara skor pretest dan posttest. Semua responden mengalami penurunan skor perilaku Verbal Abuse setelah mengikuti sesi konseling, yang mengindikasikan bahwa teknik ini berhasil membantu siswa mengendalikan perilaku verbal negatif
Teknik Thought Stopping memengaruhi pola pikir dan perilaku siswa, terutama dalam mengelola impuls verbal yang sebelumnya muncul secara spontan. Melalui pengenalan pola pikir negatif dan pengalihan kepada respons yang lebih adaptif, siswa mampu membangun kesadaran diri, empati, serta kontrol emosi yang lebih baik. Keberhasilan intervensi ini juga dipengaruhi oleh sifat konseling individu yang menyediakan ruang aman bagi siswa untuk mengeksplorasi perasaan, pikiran, dan perilaku secara mendalam.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa layanan konseling individu menggunakan teknik Thought Stopping dapat dijadikan salah satu bentuk intervensi yang direkomendasikan dalam praktik bimbingan dan konseling di lingkungan sekolah. Teknik ini tidak hanya efektif dalam membantu siswa mengurangi kecenderungan perilaku Verbal Abuse, tetapi juga memberikan kontribusi terhadap pengembangan kemampuan regulasi diri, kesadaran emosi, serta pengendalian impuls. Melalui pendekatan yang bersifat personal dan terfokus, siswa dibimbing untuk memahami dampak dari perkataan mereka terhadap orang lain, sekaligus dilatih untuk mengganti pola pikir negatif dengan respons yang lebih adaptif.
[1] R. I. Suspramirda, T. M. Angggriana, and B. D. Pratama, “Bentuk, Penyebab Dan Dampak Verbal Abuse Pada Siswa,” Pros. Semin. Nas. Bimbing. dan Konseling, vol. 5, no. 1, pp. 22–31, 2022.
[2] A. Dyah et al., “Pengaruh verbal abuse terhadap kepercayaan diri mahasiswa,” vol. 3, no. 1, pp. 95–105, 2025.
[3] M. M. Ulfah and W. Winata, “Pengaruh Verbal Abuse Terhadap Kepercayaan Diri Siswa,” Instruksional, vol. 2, no. 2, p. 48, 2021, doi: 10.24853/instruksional.2.2.48-52.
[4] A. A. Fitrah, R. P. Trisnani, and A. Kadafi, “Studi Kasus Verbal Abuse Pada Anak Berkebutuhan Khusus Di Sekolah Inklusi,” Semin. Nas. Bimbing. dan Konseling), vol. 6, no. 1, pp. 46–52, 2022.
[5] F. Fahrunnisa, F. Farial, and A. Heiriyah, “Pelaksanaan Layanan Bimbingan Kelompok Terhadap Kasus Bullying Verbal Di Smp Negeri 9 Banajrmasin,” pp. 1–9, 2019.
[6] T. Anggun, “Pengaruh Layanan Responsif Melalui Konseling Kelompok Dengan Teknik Thought Stopping alam Mereduksi Kecemasan Berbicara di Depan Umum Pada Peserta Didik Smpn 1 Abung Surakarta Lampung Utara Tahun Pelajaran 2022/2023,” Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung, 2023.
[7] F. Selvia, D. Y. P. Sugiharto, and Samsudi, “Teknik Cognitive Restructuring dan Thought Stopping dalam Konseling Kelompok untuk Mengurangi Perilaku Bullying Siswa,” J. Bimbing. Konseling, vol. 6, no. 1, pp. 20–27, 2017.
[8] F. Wijaya, “Konseling Individual Dalam Mengatasi Kenakalan Siswa Di Madrasah Tsanawiyah Negeri 1 Yogyakarta,” al-Tazkiah, vol. 6, no. 2, pp. 95–110, 2017.
[9] Mahdi, “Implementasi Layanan Konselin Individual Untuk Mengatasi Perilaku Bulliying Verbal dan Non-verbal Pada Perbedaan Gender di MTsN Sleman Maguwoharjo Yogyakarta,” 2017.
[10] C. R. Pradana and L. Mahrani, “AL-IRSYAD: Jurnal Bimbingan Konseling Islam Web Jurnal :,” vol. 6, pp. 63–76, 2024.
[11] Dwi Rahmawati, S. Suryati, and Z. Jannati, “Konseling Individu dengan Teknik Thought Stopping dalam Mengatasi Perilaku Agresif,” J. Soc. Couns., vol. 1, no. 3, pp. 252–259, 2023, doi: 10.59388/josc.v1i3.267.
[12] Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. PT Alfabet, 2016.
[13] A. Fauzy, Metode Sampling, 2nd ed., vol. 9, no. 1. Tanggerang Selatan: Universitas Terbuka, 2019.
[14] A. Sentosa, PENGARUH KONSELING KELOMPOK TERHADAP PERILAKU AGRESI VERBAL SISWA KELAS XI-IA 5 SMA NEGERI 1 KISARAN. 2021.