PENDAHULUAN
Moderasi agama adalah salah satu pilar terpenting dari perkembangan agama. Moderasi agama ini disebabkan oleh fenomena radikalisasi dalam konteks sikap agama ekstrem yang muncul di Indonesia. Menurut Somer dan McCoy [1] , teori moderasi selalu menganggap moderasi sebagai motivasi untuk adaptasi, kerja sama, atau kompromi, sehingga menekankan eksplorasi atas kepentingan dan atribut ideologis. Konsep moderasi agama (wasathiyah) menekankan kualitas, adaptasi, dan motivasi kerja melalui sikap ideologis moderat, sebagaimana disampaikan Muratoskomer , Konsep ini sejajar dengan temuan dalam pendidikan wasathiyah yang menekankan keseimbangan antara kualitas profesional dan nilai ideologis moderat [2]
Konteks pendidikan menggabungkan posisi penting pendidikan agama Islam dengan internalisasi sikap santai. Pendidikan agama Islam mengajarkan sifat pendidikan Islam, termasuk moderasi. Tanggung jawab untuk mempromosikan Islam adalah mengisi berbagai masalah sosial dalam masyarakat, terutama yang berkaitan dengan pemahaman agama. Isi ajaran mengenai perbedaan dalam pemahaman terkait dengan toleransi, multikultural, dan konteks agama adalah alat penting untuk isi pendidikan agama Islam. Di tengah perbedaan antara posisi dan latar belakang sosial, pendidikan Islam tetap muncul dari pemahaman keagamaan sentimental yang disebabkan oleh perspektif agama. Pada waktu -waktu tertentu, ketika sistem agama tidak mengatasi keragaman pemahaman agama yang ada, nuansa pemahaman agama menyebabkan konflik horizontal yang meluas, terutama ketika mereka dapat mengabaikan realitas keragaman dan memperdalam pemahaman mereka tentang agama [3].
Moderasi beragama merupakan prinsip penting dalam membangun harmoni sosial dan menghindari ekstremisme di tengah masyarakat yang majemuk seperti Indonesia [4]. Dalam konteks pendidikan, terutama di jenjang SMP, internalisasi nilai-nilai moderasi seperti toleransi, penghormatan terhadap perbedaan, anti-kekerasan, dan sikap adil menjadi krusial dalam membentuk karakter peserta didik. Pendidikan Agama Islam (PAI) memiliki posisi strategis sebagai media penanaman nilai-nilai tersebut. Di SMP N 2 Ngadirojo, pembelajaran PAI menjadi salah satu ruang yang potensial untuk mengintegrasikan nilai-nilai moderasi ke dalam keseharian siswa, baik secara kognitif maupun afektif. Namun, sejauh ini belum banyak kajian empiris yang mengungkap secara khusus bagaimana nilai-nilai tersebut ditanamkan, strategi apa yang digunakan guru, serta apa saja tantangan dan faktor pendukung dalam proses tersebut. Maka dari itu, penelitian ini bertujuan untuk mengungkap strategi guru PAI dalam menanamkan nilai-nilai moderasi beragama, mendeskripsikan bentuk nilai moderasi yang paling dominan muncul dalam proses pembelajaran, serta menganalisis faktor-faktor pendukung dan penghambatnya. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif dengan menggali pengalaman guru dan siswa secara mendalam, sehingga menghasilkan gambaran kontekstual dan reflektif mengenai praktik moderasi di lingkungan SMP N 2 Ngadirojo.
SMP Negeri 2 Ngadirojo sebagai salah satu institusi pendidikan di Kabupaten Wonogiri memiliki peran penting dalam membentuk karakter siswa melalui pembelajaran agama. Dalam konteks ini, penanaman nilai-nilai moderasi beragama menjadi bagian integral dari proses pembelajaran dan pembinaan karakter siswa. Melalui pendekatan yang tepat dalam pendidikan agama, sekolah diharapkan mampu melahirkan generasi muda yang religius, toleran, dan berwawasan kebangsaan.
Dibandingkan dengan penelitian-penelitian sebelumnya yang telah mengkaji penanaman nilai moderasi di daerah lain seperti Curup, Bajawa, dan Tanjung Gusta, penelitian ini menawarkan konteks baru pada wilayah Jawa Tengah selatan yang memiliki karakter budaya lokal yang khas. Penelitian Arifin menekankan pentingnya integrasi materi moderasi dalam RPP, sedangkan Yosep lebih banyak menyoroti peran digitalisasi dalam penguatan toleransi beragama. Berbeda dengan itu, penelitian ini menitikberatkan pada pembelajaran langsung di ruang kelas dengan nuansa kultural dan sosial yang melekat kuat dalam keseharian siswa di sekolah negeri pedesaan [5]. Dengan demikian, penelitian ini menutup celah riset yang belum banyak menelusuri praktik moderasi beragama di lingkungan sekolah negeri berbasis komunitas non-pesantren. Temuan dari penelitian ini diharapkan tidak hanya memperkaya khasanah akademik Pendidikan Agama Islam, tetapi juga memberikan sumbangsih praktis dalam penguatan kurikulum moderasi beragama di sekolah-sekolah formal.
Peneliti | Tahun | Judul | Konteks Lokasi | Fokus | Temuan Utama |
---|---|---|---|---|---|
Ahmad, R. | 2020 | Moderasi Beragama di Kalangan Siswa MA | Urban, sekolah swasta | Strategi guru | Siswa cenderung toleran, tapi belum aktif berdialog lintas iman |
Sari, D. | 2022 | Pendidikan Multikultural dan Moderasi Beragama | Sekolah inklusi, kota besar | Kurikulum dan budaya sekolah | Multikulturalisme kuat mendukung sikap moderat siswa |
Penelitian ini | 2025 | Penanaman Nilai Moderasi Beragama di SMP N 2 Ngadirojo | Pedesaan, negeri, publik | Pendekatan pedagogis PAI di desa | Nuansa kultural lokal menumbuhkan moderasi berbasis pengalaman langsung |
Kebaruan penelitian ini terletak pada pengkajian implementasi program boarding school di lingkungan SMK berbasis kejuruan dengan latar kultural pedesaan. Berbeda dari kebanyakan studi yang berfokus pada lingkungan urban atau pesantren, penelitian ini menyoroti bagaimana karakter Islami dibentuk dalam situasi sosial yang lebih heterogen dan sederhana
Penelitian senada juga dilakukan oleh Az Zahra, F. dkk. dalam artikelnya Integrasi Nilai-Nilai Moderasi Beragama dalam Kurikulum PAI di SMPN 6 Sangatta Utara. Penelitian ini mengkaji bagaimana guru mengintegrasikan nilai-nilai moderasi, seperti toleransi, anti-radikalisme, dan penghormatan terhadap perbedaan, ke dalam proses pembelajaran PAI secara sistematis [6]. Pendekatan yang digunakan adalah kualitatif deskriptif dengan metode observasi dan wawancara. Hasilnya menunjukkan bahwa keberhasilan penanaman nilai-nilai moderasi sangat dipengaruhi oleh kreativitas guru dalam menyusun RPP, membangun komunikasi dua arah dengan siswa, serta kemampuan guru memberi keteladanan dalam bersikap moderat. Persamaan dengan penelitian di SMP N 2 Ngadirojo terletak pada fokus yang sama terhadap integrasi nilai moderasi dalam proses pembelajaran formal di kelas. Namun, konteks geografis dan sosial yang berbeda Sangatta Utara sebagai wilayah perkotaan dengan tantangan pluralitas yang kompleks, dibandingkan Ngadirojo yang lebih homogen dan berbasis komunitas pedesaan menjadi pembeda yang penting. Penelitian yang dilakukan oleh peneliti ini melengkapi studi milik Az Zahra, dkk dengan mengangkat peran nilai-nilai lokal dan budaya desa sebagai penguat nilai moderasi yang bersifat kontekstual.
Oleh karena itu, penelitian atau kajian ini bertujuan untuk menggali bagaimana proses penanaman nilai-nilai moderasi beragama dilakukan di SMP N 2 Ngadirojo melalui pendidikan agama, serta mengidentifikasi faktor-faktor pendukung dan penghambat dalam implementasinya.
METODE
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitataif. Moleong [7] menjelaskan penelitian kualitatif adalah sebuah penelitian yang menghasilkan prosedur analisis yang tidak menggunakan prosedur analisis statistik atau cara kuantifikasi. Metode penelitian kualitatif adalah suatu jenis metode penelitian yang menggunakan deskripsi dalam bentuk kalimat atau makalah penelitian untuk menyelidiki, menemukan, menggambarkan dan menjelaskan ciri-ciri atau pengaruh sosial.
Strauss & Corbin Keadaan penelitian kualitatif adalah semacam tes, dan hasilnya tidak diperoleh dengan proses statistik atau bentuk penghitungan lainnya. Dalam metode kualitatif ini, fenomena atau stadion yang khas dari lingkungan sosial menekankan penelitian. Studi ini didasarkan pada perumusan situasi individu atau kelompok sosial sesuai dengan tujuan penelitian. Sedanagkan metode pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara dan observasi, Wawancara merupakan metode pengumpulan data kualitatif yang dilakukan melalui interaksi verbal secara langsung antara peneliti dan informan, dengan tujuan menggali informasi mendalam terkait topik penelitian [8]. Teknik ini memungkinkan peneliti memperoleh data yang lebih kontekstual dan reflektif berdasarkan pengalaman serta perspektif informan. Dalam penelitian ini, wawancara dilakukan secara terstruktur kepada guru Pendidikan Agama Islam (PAI) dan guru agama non-Islam di SMP Negeri 2 Ngadirojo. Instrumen wawancara disusun dalam bentuk daftar pertanyaan yang relevan dengan fokus penelitian, khususnya terkait implementasi nilai-nilai moderasi beragama di lingkungan sekolah. Sedangkan Pengamatan ini dilakukan untuk mendapatkan informasi tentang perilaku manusia, seperti halnya dalam kehidupan nyata.
Sedangkan keabsahan data dijaga melalui teknik triangulasi data. Menurut Patton dan Carter, triangulasi adalah strategi menggunakan berbagai sumber dan metode seperti observasi, wawancara, dan dokumentasi untuk mendalami fenomena sosial secara komprehensif. Dengan membandingkan data dari guru, siswa, dan dokumen pembelajaran PAI, penelitian ini berusaha memastikan bahwa temuan tidak sekadar berdasarkan satu perspektif atau satu teknik pengumpulan. Misalnya, bila wawancara menunjukkan bahwa guru aktif menanamkan sikap toleransi, maka observasi sesi kelas dan dokumen RPP juga diperiksa untuk memastikan implementasi nilai tersebut secara nyata dan konsisten. Pendekatan ini menambah kekuatan validitas internal dan kredibilitas penelitian, karena menuntut kesesuaian dan konvergensi temuan dari berbagai sumber tanpa mengabaikan konteks sosial budaya lokal yang unik di Ngadirojo [9].
Pemilihan informan dilakukan secara purposive, dengan mempertimbangkan keterlibatan langsung dalam pelaksanaan program boarding school. Informan terdiri atas dua guru Pendidikan Agama Islam (berusia 35–50 tahun, laki-laki dan perempuan), satu guru non-Muslim (beragama Kristen, usia 40 tahun), kepala sekolah, serta enam siswa (tiga laki-laki dan tiga perempuan) yang berusia antara 16–18 tahun. Pemilihan siswa mempertimbangkan keterlibatan aktif mereka dalam kegiatan keagamaan dan kehidupan di asrama, serta latar belakang sosial ekonomi yang beragam. Informasi latar belakang ini penting untuk menunjukkan representativitas data dan memperkaya konteks analisis.
Untuk menjaga transparansi proses, wawancara dilakukan dengan panduan pertanyaan terbuka yang fleksibel namun tetap terarah pada fokus penelitian. Beberapa contoh pertanyaan yang digunakan dalam proses wawancara antara lain:
No | Pertanyaan Singkat |
---|---|
1 | Apa arti moderasi beragama menurut Anda? |
2 | Nilai moderasi apa yang diajarkan dalam PAI? |
3 | Bagaimana Anda menanamkan sikap toleransi siswa? |
4 | Apakah kurikulum mendukung moderasi beragama? |
Seluruh data yang diperoleh dianalisis dengan teknik analisis tematik, melalui tahapan reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Fokus analisis diarahkan pada tema-tema seperti internalisasi nilai religius, pembiasaan ibadah, kedisiplinan, dan tanggung jawab, sebagaimana muncul dari hasil wawancara dan pengamatan langsung di lapangan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada dasarnya, moderasi sebenarnya diajarkan oleh Islam. Islam ditarik oleh Al -Qur'an. Dalam Al -Quran, istilah moderasi disebut Alwaysathiyyah, tetapi ada juga diskusi tentang pemahaman moderasi dalam kaitannya dengan konteks. Kata "al-wasthiyyah" berasal dari kata-kata al-Wasth, Sederhananya, makna wesathiyyah terdiri dari istilah dari makna etimologisnya. Ini berarti sifat -sifat yang mengagumkan yang didirikan seseorang dari tren ekstrem
Dari pemahaman dasar wasathia dalam Kamus Arab, kita dapat menarik kesimpulan bahwa konsep Wesatia memiliki dua makna utama. Pertama, ia berfungsi antara dua kondisi, dua kondisi atau antarmuka (al-Bainiyyah) antara dua halaman yang berlawanan, sebagai kata benda (ism) dengan pola zhaf yang cenderung lebih spesifik. Kedua, makna abstrak (teoretis) termasuk keadilan, pilihan, utama, dan makna tertinggi (dominasi/al-khiyâr). [10] Moderasi agama dalam konteks strategi budaya kita sangat penting ketika mempertahankan perayaan orang -orang Indonesia dan keragaman. Sebagai negara yang beragam, pendiri Pancasila, fondasi bangsa dan bangsa, dapat mencapai pendapatan yang signifikan: negara bagian Republik Indonesia. Pancasila menunjukkan kemampuan untuk menggabungkan berbagai kelompok etnis, bahasa, etnis, budaya dan agama. Meskipun Indonesia tidak dinyatakan sebagai negara keagamaan, ia masih mengakui bahwa agama memainkan peran penting dalam kehidupan sehari -hari warganya. Nilai -nilai yang terkandung dalam agama diintegrasikan ke dalam bea cukai dan kebijaksanaan lokal. Faktanya, implementasi ritual agama dan budaya dapat menjadi harmonis dan damai, karena beberapa hukum agama diintegrasikan ke dalam sistem hukum nasional.
Berdasarkan hasil wawancara peneliti kepada Guru PAI Bapak Awal Aqsha Nugroho, beliau berkata bahwa “saya amati dalam sesama islam saja itu juga sudah ada perbedaan, banyak bapak ibu guru dan juga siswa yang memiliki latar belakang berbeda, sebut saja NU, Muhammadiyah, LDII, MTA, dll mbk. Masing -masing ada perbedaan yang kita pahami, tapi saya saat diskusi dengan siswa juga selalu bertanya ada pendapat lain atau tidak ada tambahan atau tidak . dan masing masing siswa ini juga sudah menghargai akan perbedaan itu, dalam pembiasaan kita juga sudah toleransi mbk misalnya saja hari jumat kita yg islam solat duha dan lain lain berjamaah, sedangkan yang non islam ada kegiatan kerohanian dengan guru non islam kebetulan ada 2 guru non islam di sini”
Hal ini sejalan dengan perkataan Rubini, Salma Allifatu Fuadah, dan Hani Zahrani, dalam artikel mereka “The Concept Of Tolerance Interreligious And Its Boundaries In An Islamic Perspective”, agama Islam secara kuat menganjurkan toleransi antarpenganut agama lain selama mereka tidak memerangi umat Islam. Para penulis menyatakan bahwa:
“Islam advises people to tolerate religious diversity with a minimum degree of tolerance.… tolerance between religions is more muamalah than connection on worldly matters like social and interpersonal relationships with other humans” [11]
Maksudnya, Islam mengajarkan bahwa hubungan dengan pemeluk agama lain dibatasi dalam ranah muamalah interaksi sosial dan kegiatan kemasyarakatan bukan dalam bentuk percampuran akidah. Ini menandakan bahwa praktik toleransi bersifat pragmatis dan normatif, tanpa mengubah keyakinan atas dasar keimanan. Dengan kata lain, semua agama di negara yang beragam dapat hidup berdampingan dengan harmonis.
Penelitian ini menyediakan kerangka normatif kuat bagi artikel Anda untuk memperkuat argumen bahwa penanaman nilai moderasi beragama melalui Pendidikan Agama Islam di SMP N 2 Ngadirojo bukan hanya dibenarkan, tetapi juga diperintahkan oleh Islam itu sendiri. Ini membantu membangun legitimasi teologis dalam mendukung dialog antarpenganut agama dan memperkuat budaya toleransi di sekolah.
A.Penguatan Moderasi Beragama Melalui Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI)
Di dunia pendidikan, topik pendidikan agama Islam (PAI) memiliki posisi strategis sebagai media untuk membentuk karakter siswa berdasarkan nilai -nilai Islam. Ini memainkan peran penting tidak hanya dalam aspek ibadah dan kepercayaan, tetapi juga dalam mediasi moderasi agama sikap, menciptakan generasi yang toleran, beragam, dan harmonis. Pie tidak hanya mengajarkan doktrin agama, tetapi juga membentuk perspektif siswa tentang berbagai realitas sosial. Sikap moderasi atau Wasatya adalah nilai utama yang mendorong siswa untuk tidak hadir dalam kedua teks (secara harfiah) dan liberal, agama. Dalam Al -Quran, Allah berfirman:
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat pertengahan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia…” (QS. Al-Baqarah: 143).
Melalui pembelajaran PAI, siswa dikenalkan nilai-nilai penting seperti tawasuth (sikap tengah), tasamuh (toleransi), i’tidal (adil), dan tawazun (seimbang), yang semuanya berkontribusi terhadap terbentuknya pribadi moderat. Hal ini sejalan dengan pandangan yang menyatakan bahwa pendidikan Islam di sekolah harus diarahkan pada pembentukan karakter siswa yang berakhlak mulia dan mampu menjunjung tinggi nilai-nilai kebersamaan dalam masyarakat majemuk.[3] Di kelas PAI, guru bertindak sebagai perantara yang memberikan nilai melalui pendekatan yang berhubungan dengan konteks, reflektif dan interaktif, serta menyediakan bahan. Diskusi tentang perbedaan di sekolah, agama dan budaya membuat ruang belajar yang sangat efektif untuk memahami bahwa perbedaan bukanlah ancaman dan harus ditangani dengan hati -hati.
Pendidikan Islam yang baik harus melahirkan generasi religius sekaligus kosmopolitan, yaitu individu yang kokoh dalam iman namun terbuka dan aktif dalam membangun kehidupan bersama secara damai. Inilah tujuan dari PAI yang transformatif: membentuk manusia yang tidak hanya saleh secara individu, tetapi juga saleh secara sosial. Dengan penguatan nilai-nilai moderasi melalui mata pelajaran PAI, sekolah menjadi tempat yang subur untuk menanamkan sikap inklusif, toleran, dan cinta damai. Hal ini sangat relevan dengan tantangan zaman di mana berbagai paham intoleran dapat dengan mudah memengaruhi generasi muda melalui media sosial dan lingkungan sekitar .
B.Penerapan Moderasi Beragama dalam PAI
1.Integrasi Nilai Moderasi dalam Perencanaan Pembelajaran
Mengintegrasikan nilai -nilai moderasi agama dalam Rencana Implementasi Pembelajaran (RPP) adalah langkah strategis yang memberikan sikap toleransi, keseimbangan, dan evaluasi terhadap keragaman pada tahap awal. Penelitian oleh Saefudin et al. (2023)[12] menunjukkan bahwa nilai -nilai mitigasi seperti Tawasuth (tengah), tazamuh (resistensi), i'tidal (adil), dan tawazun (keseimbangan) dapat diintegrasikan ke dalam rencana kurikulum dan pendidikan. Semua bahan yang diajarkan dimaksudkan untuk fokus tidak hanya pada pengetahuan agama tetapi juga pada cara -cara agama untuk menekankan rasa saling menghormati dan keseimbangan.
2.Pendekatan Pembelajaran Kontekstual dan Dialogis
Pendekatan kontekstual dan interaktif ketika belajar memungkinkan siswa untuk memahami pengajaran agama dalam konteks kehidupan sehari -hari yang dipenuhi dengan perbedaan. Studi oleh Maulana et al. (2023)[13] menyoroti pentingnya diskusi, studi kasus, dan analisis masalah sosial agama terkait. Pendekatan ini melatih siswa tidak hanya untuk secara harfiah memahami teks -teks agama, tetapi untuk menempatkan ajaran agama dalam konteks kehidupan sehari -hari yang dipenuhi dengan perbedaan.
Peneliti melakukan Wawancara dengan guru Agama Katolik yang mengatakan bahwa ”Saya sangat menjunjung tinggi sikap toleransi beragama, saya beri contoh ke siswa tuh gini, kadang kalo pak alwan ada kepentingan saya di suruh ngisi pembelajaran agama ya saya mau, tapi ya hanya garis besar saja ngajarnya, denga begitu saya harap siswa dapat paham akan hal sikap saya itu“. Hal tersebut mencerminkan model pembelajaran inklusif dan kolaboratif sebagaimana dijelaskan)[14] di mana guru cross-agama turut berkontribusi lewat kerjasama dan teladan nyata. [15],
3.Peran Keteladanan Guru
Guru memainkan peran sentral dalam mengomunikasikan nilai moderasi agama menggunakan contoh. Penelitian oleh Ramdani [16] menunjukkan bahwa guru-guru Pai menggunakan model pembelajaran berbasis Isla (Islaman Liramins) pada kaset SMKN 10. Ini menekankan penguatan materi dan desain model pembelajaran kolaboratif. Guru juga bekerja dengan pemangku kepentingan lain untuk mengomunikasikan nilai moderasi agama di antara siswa. Contoh guru dalam sikap terintegrasi, toleran dan adil memiliki dampak yang kuat pada sikap siswa terhadap keragaman
4.Evaluasi Pembelajaran yang Menyentuh Aspek Kognitif, Afektif, dan Psikomotorik
Evaluasi pembelajaran menyentuh aspek kognitif, emosional dan psikomotorik penting untuk mengukur sejauh mana nilai moderasi agama biasanya tertanam pada siswa. Sebuah studi oleh Hasan [17] di SD Negeri 03 Pontianak City menunjukkan bahwa penilaian kognitif dilakukan melalui tes tertulis yang mengukur pemahaman siswa tentang pendidikan agama dan nilai -nilai karakter. Penilaian psikomotor dilakukan melalui rekonsiliasi lingkungan, termasuk penilaian keterampilan siswa dan sikap yang mungkin fisik atau praktis. Penilaian ini menyoroti toleransi, penilaian, dan implementasi keragaman pengajaran agama dalam tindakan konkret.
Dengan menerapkan langkah -langkah ini, instruksi agama Islam adalah alat yang sangat efektif untuk membentuk kepribadian siswa yang tidak hanya religius tetapi juga dapat hidup berdampingan dengan keanekaragaman. Siswa diajari perbedaan bukan sebagai ancaman tetapi sebagai kekayaan. Ini tentu sangat berguna untuk menciptakan masyarakat yang harmonis dan damai.
C.Faktor Penghambat Penerapan Moderasi Beragama dalam PAI
Meskipun penerapan moderasi beragama dalam pendidikan agama sangat penting, terdapat beberapa faktor yang dapat menghambat proses tersebut. Faktor-faktor penghambat ini perlu dikenali dan diatasi agar tujuan pembelajaran [13] PAI yang moderat dan inklusif dapat tercapai. Berikut adalah beberapa faktor penghambat beserta pembahasannya:
1.Kurangnya Pemahaman dan Keterampilan Guru dalam Mengajarkan Moderasi Beragama
Banyak guru Pendidikan Agama Islam (PAI) masih mengajarkan materi secara tekstual dan normatif, tanpa mengaitkannya dengan realitas sosial dan keberagaman yang dihadapi siswa dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini menunjukkan adanya ketidaksiapan guru dalam merespons dinamika keberagaman, yang bisa disebabkan oleh minimnya pelatihan atau kurangnya pengalaman dalam mengelola kelas yang heterogen secara pandangan keagamaan. Dalam wawancara dengan guru agama mengakatan” sebetulnya kepelatihan terkait moderasi beragama itu sangat penting karena dengan itu kita pahamharus bagaimana saja menindak lanjuti permasalahan yang sedang buming ini “. Oleh karena itu, penting bagi guru untuk mendapatkan pelatihan yang komprehensif mengenai integrasi nilai-nilai moderasi beragama dalam pembelajaran, termasuk kemampuan mengelola diskusi yang menyentuh isu-isu sensitif secara inklusif dan konstruktif. [18]
2.Tantangan dari Lingkungan Sosial yang Intoleran
Lingkungan sosial di sekolah -sekolah yang tidak mendukung prinsip moderasi agama dapat menjadi hambatan serius bagi internasionalisasi nilai toleransi di antara siswa. Kondisi ini sering terjadi ketika siswa berasal dari komunitas konservatif atau memiliki pandangan eksklusif dari kelompok lain. Untuk mengatasi tantangan ini, kerja sama antara sekolah, orang tua dan masyarakat diperlukan untuk menciptakan ekosistem pendidikan yang terintegrasi, toleran dan hormat. Sekolah memainkan peran strategis dalam pelatihan berkelanjutan tentang pentingnya koeksistensi damai di Kementerian Penelitian dan Pembangunan Agama Indonesia.
3.Keterbatasan Kurikulum yang Belum Optimal Mengakomodasi Moderasi Beragama
Kurikulum Pendidikan Agama Islam (PAI) di sejumlah sekolah masih menunjukkan kecenderungan kuat pada pendekatan tekstual dan normatif, yang menitikberatkan pada aspek aqidah dan fiqh semata, tanpa diimbangi dengan penguatan materi yang berkaitan dengan nilai-nilai kebangsaan, toleransi antarumat beragama, dan pentingnya dialog lintas keyakinan dalam konteks masyarakat majemuk [19]. Akibatnya, siswa kurang dibekali dengan pemahaman yang komprehensif mengenai bagaimana hidup berdampingan secara damai dalam keberagaman. Untuk menjawab tantangan ini, diperlukan langkah strategis berupa revisi kurikulum PAI yang tidak hanya menambahkan konten moderasi beragama sebagai materi tambahan, tetapi mengintegrasikannya secara menyeluruh dalam tujuan, metode, dan evaluasi pembelajaran. Revisi tersebut harus mencakup penekanan pada pengembangan karakter peserta didik yang inklusif, toleran, dan mampu berperan sebagai agen perdamaian di tengah masyarakat plural.
4.Pengaruh Radikalisasi dan Paham Ekstrem
Perkembangan paham radikal dan ekstrem, baik melalui media sosial maupun lingkungan sekitar siswa, menjadi tantangan serius dalam implementasi nilai-nilai moderasi beragama di lingkungan pendidikan. Paham-paham tersebut cenderung mengusung tafsir keagamaan yang sempit, eksklusif, dan menolak keberagaman, sehingga berpotensi menumbuhkan intoleransi bahkan sikap anti-NKRI di kalangan generasi muda. Menurut Prof. Muhammad Ali dari University of California, narasi keagamaan radikal sering memanfaatkan media digital untuk menyebarkan ide-ide kekerasan berbasis agama dengan cara yang persuasif dan mudah diakses. Untuk menanggapi fenomena ini, sekolah harus mengambil peran strategis dalam membangun kontra narasi melalui penguatan pendidikan agama Islam yang moderat dan toleran, serta memperkuat pendidikan kewarganegaraan sebagai fondasi pembentukan karakter kebangsaan. Pendidikan yang mengedepankan prinsip tawassuth (moderat), tasamuh (toleran), dan ta’adul (adil) menjadi penting untuk membendung arus radikalisme serta membentuk kesadaran siswa akan pentingnya hidup dalam harmoni dan persatuan di tengah masyarakat yang plural.[20]
5.Kurangnya Fasilitas dan Dukungan Sumber Daya
Keterbatasan sumber daya, seperti fasilitas, buku, dan media pembelajaran, menjadi salah satu hambatan utama dalam penerapan nilai-nilai moderasi beragama di lingkungan sekolah. Pembelajaran yang efektif dalam menanamkan toleransi dan sikap inklusif membutuhkan dukungan sarana yang memadai agar metode pembelajaran seperti diskusi, studi kasus, dan proyek lintas agama dapat terlaksana dengan optimal. Menurut penelitian oleh Fitriani dan Hasanah [17], ketersediaan bahan bacaan yang mengedepankan keberagaman budaya dan agama serta pelatihan guru yang berkelanjutan merupakan faktor penting untuk menunjang pendidikan moderasi beragama yang efektif. Oleh karena itu, sekolah harus melakukan inovasi dalam penyediaan sumber daya tersebut guna menciptakan lingkungan belajar yang mendukung pembentukan karakter toleran dan moderat.
D.Upaya Mengatasi Penghambat dalam Penerapan Moderasi Beragama dalam Pendidikan Agama Islam
Penerapan moderasi beragama dalam Pendidikan Agama Islam (PAI) menghadapi berbagai tantangan yang memerlukan strategi komprehensif. Berdasarkan kajian terkini, berikut adalah langkah-langkah strategis yang dapat diambil untuk mengatasi penghambat tersebut:
1.Peningkatan Kapasitas Guru PAI
Guru Pendidikan Agama Islam (PAI) memainkan peran strategis dalam mengomunikasikan nilai moderasi agama. Namun, ada banyak guru yang cenderung mengajarkan teks dalam teks, dan tidak menggabungkannya dengan keragaman konteks sosial dan lingkungan siswa. Menurut Hasanah [17], kurangnya persiapan dan kurangnya pemahaman tentang moderasi agama dalam pengobatan berbagai kelas adalah salah satu faktor yang menghambat efektivitas pembelajaran PAI sedang. Oleh karena itu, untuk meningkatkan kualitas pengajaran agama di sekolah, pelatihan dan lokakarya yang berfokus pada pengembangan keterampilan guru dalam aspek pemahaman moderasi agama, manajemen kelas terintegrasi, dan pendekatan pembelajaran interaktif terkait konteks.
2.Sinergi dengan Orang Tua dan Masyarakat
Pengaturan keluarga dan komunitas memiliki dampak signifikan pada pembentukan toleransi siswa dan rasa terima kasih atas keragaman. Menurut Fitriani dan Hasan [17], efek sinergis dari sekolah, orang tua dan masyarakat adalah faktor kunci dalam meningkatkan pendidikan moderasi agama yang terintegrasi dan berkelanjutan. Selain itu, partisipasi siswa dalam dialog sekuler dan kegiatan sosial nirlaba di zaman keagamaan adalah cara yang efektif untuk mengomunikasikan nilai toleransi dan memperkuat hubungan antara sekolah dan pengikut agama dalam pengaturan masyarakat. Sementara itu partisipasi aktif orang tua dan masyarakat dapat meningkatkan efektivitas pendidikan karakter berdasarkan moderasi agama, yang memungkinkan siswa untuk lebih mempersiapkan mereka untuk menghadapi berbagai dinamika sosial.
3.Revisi Kurikulum PAI
Kurikulum Islam untuk Pendidikan Agama (PAI) yang digunakan saat ini berkonsentrasi secara normatif pada aspek Aqeedah dan FIQH, dan oleh karena itu tidak menekankan pengembangan toleransi, dialog antar-agama, atau apresiasi untuk perbedaan. Situasi ini meningkatkan kebutuhan mendesak untuk revisi kurikulum, yang berfokus pada pembentukan kepribadian siswa, bukan hanya aspek ritual, tetapi juga nilai -nilai seperti aluminium (pengaturan sedang), Tazam (toleransi), I'Tidal (keadilan), dan Tawazun (keseimbangan). Sebagai dasar untuk belajar. Menurut Azyumardi Azra (2021)[21], integrasi nilai rata -rata dalam kurikulum PAI membantu menciptakan tidak hanya kepatuhan agama tetapi semua siswa yang dapat hidup secara harmonis di komunitas yang berbeda. Oleh karena itu, peran pemerintah dan lembaga pendidikan dalam desain dan implementasi kurikulum yang terkait dengan tantangan sosial kontemporer sangat penting.[22]
4.Penguatan Pendidikan Kewarganegaraan dan Anti Radikalisasi
Strategi Penanaman Nilai | Peran Guru PAI | Faktor Pendukung | Faktor Penghambat |
---|---|---|---|
Integrasi nilai moderasi dalam materi PAI (toleransi, adil, anti kekerasan) | Menjadi teladan sikap moderat, menjelaskan nilai-nilai Islam secara damai | Kurikulum yang mendukung, lingkungan sekolah yang kondusif | Kurangnya pemahaman siswa terhadap konsep moderasi beragama |
Penggunaan metode dialog interaktif saat pembelajaran | Memfasilitasi diskusi terbuka dan menghargai perbedaan pendapat | Hubungan guru-siswa yang harmonis | Waktu pembelajaran yang terbatas |
Pembiasaan sikap toleransi dalam kegiatan harian dan keagamaan | Membimbing siswa dalam praktik ibadah bersama yang inklusif | Budaya sekolah yang sudah menjunjung nilai toleransi | Adanya pengaruh lingkungan luar sekolah yang intoleran |
Kolaborasi antar mata pelajaran untuk menguatkan nilai moderasi | Bekerja sama dengan guru lain dalam projek lintas kurikulum | Dukungan dari kepala sekolah dan wali siswa | Kurangnya pelatihan guru khusus terkait pendidikan moderasi |
Pembentukan kewarganegaraan memainkan peran penting dalam mengkomunikasikan nilai -nilai harmoni di antara siswa dan persatuan nasional. Bahaya radikalisasi dan pentingnya moderasi agama, yang memperkuat materi melalui pancasilla, menjadi sangat penting dalam membentuk karakter siswa yang terintegrasi dan toleran [23]. Selain itu, sekolah harus memberi siswa ruang dialog terbuka untuk membahas masalah sosial dan agama dan pada saat yang sama memprioritaskan saling menghormati dan menghormati perbedaan.Integrasi kewarganegaraan moderat dan pendidikan agama dapat menciptakan lingkungan belajar yang menguntungkan untuk berbagai tantangan konflik sosial potensial.
5.Penyediaan Fasilitas dan Sumber Daya yang Memadai
Sumber daya yang terbatas, termasuk institusi, buku dan media pembelajaran, seringkali merupakan hambatan utama untuk penggunaan nilai -nilai moderat agama dalam lingkungan sekolah. Pembelajaran yang efektif untuk mengomunikasikan nilai toleransi dan sikap integratif membutuhkan dukungan yang tepat untuk lembaga, yang memungkinkan implementasi diskusi, studi kasus, dan proyek antaragama secara optimal. Menurut Putri dan Wahyudi [24], inovasi dalam penyediaan sumber daya untuk mendukung mitigasi pendidikan, seperti buku -buku yang memprioritaskan keanekaragaman agama dan budaya dan buku -buku yang memprioritaskan pelatihan berkelanjutan bagi para guru, sangat penting untuk meningkatkan kualitas pembelajaran. Oleh karena itu, sekolah perlu mengambil langkah -langkah strategis untuk mengatasi keterbatasan ini untuk menciptakan lingkungan belajar yang lebih terintegrasi dan toleran.
Berikut adalah tabel ringkas strategi penanaman nilai, peran guru, serta faktor penghambat dan pendukung:
Strategi Penanaman Nilai | Peran Guru PAI | Faktor Pendukung | Faktor Penghambat |
Integrasi nilai moderasi dalam materi PAI (toleransi, adil, anti kekerasan) | Menjadi teladan sikap moderat, menjelaskan nilai-nilai Islam secara damai | Kurikulum yang mendukung, lingkungan sekolah yang kondusif | Kurangnya pemahaman siswa terhadap konsep moderasi beragama |
Penggunaan metode dialog interaktif saat pembelajaran | Memfasilitasi diskusi terbuka dan menghargai perbedaan pendapat | Hubungan guru-siswa yang harmonis | Waktu pembelajaran yang terbatas |
Pembiasaan sikap toleransi dalam kegiatan harian dan keagamaan | Membimbing siswa dalam praktik ibadah bersama yang inklusif | Budaya sekolah yang sudah menjunjung nilai toleransi | Adanya pengaruh lingkungan luar sekolah yang intoleran |
Kolaborasi antar mata pelajaran untuk menguatkan nilai moderasi | Bekerja sama dengan guru lain dalam projek lintas kurikulum | Dukungan dari kepala sekolah dan wali siswa | Kurangnya pelatihan guru khusus terkait pendidikan moderasi |
Penelitian ini menawarkan kebaruan melalui fokusnya pada upaya penanaman nilai-nilai moderasi beragama dalam konteks pendidikan formal di tingkat SMP, khususnya di SMP Negeri 2 Ngadirojo yang terletak di kawasan semi-rural dengan latar belakang sosial keagamaan yang relatif homogen. Selama ini, kajian tentang moderasi beragama lebih banyak dilakukan pada jenjang pendidikan tinggi atau di lingkungan pesantren dan madrasah, sehingga penelitian ini mengisi kekosongan studi di tingkat pendidikan dasar-menengah umum (non-keagamaan). Kebaruan lain terletak pada pendekatan integratif yang digunakan, di mana pendidikan agama tidak hanya disampaikan secara kognitif melalui materi pelajaran, tetapi juga melalui pembiasaan, keteladanan guru, dan kultur sekolah yang menumbuhkan sikap toleran, menghargai perbedaan, serta menghindari sikap ekstrem. Dalam konteks SMP Negeri 2 Ngadirojo, yang memiliki siswa dengan latar sosial yang majemuk secara budaya meskipun relatif homogen secara agama, nilai-nilai moderasi ditanamkan sejak dini untuk mencegah lahirnya sikap intoleran yang dapat tumbuh seiring perkembangan digital dan arus informasi bebas.
Dengan demikian, penelitian ini menghadirkan perspektif baru dalam studi moderasi beragama, yakni bagaimana nilai-nilai tersebut dibentuk sejak jenjang pendidikan menengah pertama melalui pendekatan yang kontekstual, holistik, dan berbasis keseharian siswa. Pendekatan ini menunjukkan bahwa sekolah umum pun dapat menjadi ruang strategis dalam memperkuat pendidikan kebangsaan dan keagamaan yang inklusif dan moderat.
Proses pembelajaran pendidikan agama Islam (PAI) dapat diimplementasikan secara lebih efektif dan bijak melalui pengakuan dan mengatasi berbagai inhibitor yang merupakan hambatan untuk penggunaan moderasi agama. Faktor -faktor seperti sumber daya yang terbatas, kurangnya pelatihan guru, lingkungan sosial dukungan rendah, dan kurikulum yang tidak sepenuhnya dapat diatasi harus menjadi fokus peningkatan upaya untuk memperkuat pendidikan agama yang terintegrasi. Formasi PAI, yang memprioritaskan sikap moderat, tidak hanya berfungsi sebagai sarana untuk memperluas pengetahuan agama siswa secara kognitif, tetapi juga memainkan peran penting dalam mempromosikan toleransi, saling menghormati dan harmoni di antara pengikut agama di tengah keanekaragaman masyarakat. Dalam wawancara dengan pak Alwan mengatakan bahwa “alhamdulillah di SMP sini fasilitasnya sangan memadai sekali dalam pendukung pembelajaran tersebut”. Selain itu, menggunakan moderasi agama melalui pendekatan pembelajaran kontekstual dan interaktif memberi siswa keterampilan penting untuk membangun perbedaan dan menjadikan pendidikan agama sebagai alat musik, tidak hanya mendengarkan dalam aspek ritual. Memperkuat karakter nasional nasional dan demokratis yang jamak