Pendahuluan
Pendidikan merupakan upaya yang disengaja dan terorganisir dalam menyampaikan arahan atau bantuan untuk menggali dan mengoptimalkan kemampuan, baik fisik maupun spiritual, yang ditanamkan oleh orang dewasa kepada peserta didik untuk membantu mereka meraih tujuan hidup dan mampu berdiri secara mandiri [1]. Pendidikan adalah proses perubahan tingkah laku, penambahan ilmu pengetahuan dan pengalaman hidup agar peserta didik menjadi lebih dewasa dalam pemikiran dan sikap [1]. Pendidikan juga bisa disebut proses dan usaha untuk memastikan bahwa semua sumber daya manusia dapat dikembangkan dan berfungsi sesuai kodratnya (optimal). Pendidikan merupakan salah satu dari sekian banyak yang tidak bisa terpisahkan dari kehidupan manusia. Di sisi lain pendidikan juga dipandang sebagai alah satu aspek yang memiliki peran pokok dalam mempersiapkan sekaligus membentuk generasi muda dimasa yang akan datang [2]. Tidak hanya itu pendidikan juga mendorong peningkatan masyarakat dari generasi ke generasi, pendidikan diyakini akan menumbuhkan kreativitas dan inovasi yang dapat menghasilkan generasi yang mampu memberikan perubahan [3]. Jadi pendidikan ini adalah pondasi utama dalam membentuk manusia yang berkualitas baik melalui sebuah aspek maupun moral, melalui pendidikan seseorang tidak hanya memperoleh sebuah ilmu tapi juga memperoleh berbagai pengalaman baik dan buruk yang dapat disaring dalam otak untuk diterapkan ke dalam kehidupan sehari-harinya. Arah dan perkembangan sebuah bangsa sangat bergantung pada bagaimana sistem pendidikannya dibangun dan dijalankan, karena melalui proses pendidikan, seseorang dibentuk menjadi pribadi yang berkarakter dan memiliki kesadaran sosial.
Dalam konteks kurikulum nasional, khususnya Kurikulum Merdeka, guru Akidah Akhlak memiliki peran sentral dalam menginternalisasikan nilai-nilai Profil Pelajar Pancasila seperti religiusitas, integritas, kemandirian, dan gotong royong ke dalam perilaku siswa secara sistematis dan berkelanjutan. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian oleh Andini, dkk dalam Jurnal Pendidikan Agama Islam Al-Thariqah, yang menegaskan bahwa keberhasilan pembentukan karakter sangat ditentukan oleh keteladanan dan konsistensi guru dalam menyampaikan materi akidah akhlak yang kontekstual dan aplikatif [4]. Di sisi lain, jika ditinjau dari perspektif global, pendidikan karakter juga mengalami perkembangan melalui pendekatan Social Emotional Learning (SEL) yang dipromosikan secara internasional dan mengedepankan pengembangan kompetensi seperti empati, kesadaran diri, dan keterampilan sosial. Penelitian yang dilakukan oleh Yulia & Wibowo dalam Jurnal Pendidikan Karakter menunjukkan bahwa integrasi nilai lokal (religius) dengan pendekatan karakter global dapat menciptakan pembelajaran yang lebih komprehensif dan adaptif terhadap perubahan zaman [5]. Oleh karena itu, guru Akidah Akhlak dituntut tidak hanya menguasai substansi keislaman, tetapi juga mampu memadukan nilai-nilai tersebut dengan strategi pembelajaran yang inovatif dan responsif terhadap kebijakan pendidikan karakter baik nasional maupun global. Sebagaimana dijelaskan oleh Triyono dalam Jurnal Pendidikan Islam, guru yang mampu mengintegrasikan ajaran akhlak Islam dengan praktik pembelajaran berbasis karakter modern dapat menciptakan lingkungan pendidikan yang kondusif bagi perkembangan kepribadian siswa secara holistik [6]. Dengan demikian, penguatan peran guru Akidah Akhlak melalui sinergi antara kebijakan pendidikan karakter nasional dan pendekatan global tidak hanya memperluas cakrawala pembelajaran, tetapi juga menciptakan model pendidikan yang lebih humanis, spiritual, dan berkelanjutan dalam membentuk generasi yang berkarakter unggul.
Pembentukan karakter adalah usaha untuk memperbaiki dan mempengaruhi sifat dan watak manusia agar memiliki mental yang sehat seperti dalam Al-quran dan hadits. Karena ini karakter juga dapat diartikan sebagai cara untuk membimbing manusia dalam mengambil keputusan untuk bertindak agar dapat membangun hubungan antar manusia yang baik, damai dan sejahtera [5]. Dari pengertian ini karakter sangat berhubungan identik dengan akhlak karena perilaku-perilaku manusia ditentukan oleh pembentukan karakter dan akhlaknya.
Sistem pembentukan karakter dapat terbentuk melalui lingkungan dan aktivitas yang dilakukan dalam kehidupan sehari hari yang biasanya ditemui oleh seseorang tersebut, selain itu juga bisa dibantu dengan pembelajaran dan pencontohan dari keluarga maupun dari jenjang pendidikan seperti sekolah dan yang lainnya. Di setiap jenjang sekolah pastinya ada mata pelajaran yang diajarkan oleh guru tentang akhlak melalui pembelajaran agama dan kepercayaan yang dianut masing-masing siswanya. Pembentukan karakter juga dapat melalui hal tersebut karena pembentukan karakter sangat berkaitan dengan akhlak dan agama.
Akhlak dalam ajaran Islam dipandang sebagai dasar utama dalam membentuk karakter manusia, karena dari sanalah muncul sikap, perilaku, dan kepribadian seseorang. Di sekolah, pengembangan akhlak perlu ditindak lanjuti dengan sistematis dan terencana agar siswa dapat menerapkannya dalam kehidupan yang nyata. Rendahnya tingkat keberhasilan pendidikan agama Islam kerap kali berkaitan erat dengan belum terbentuknya akhlak mulia dalam diri siswa, yang tampak dari perilaku keseharian mereka [7].
Guru merupakan seorang pendidik yang berperan tidak hanya sebagai penghubung dan pengalir budaya bangsa kepada generasi berikutnya, tetapi juga dalam membentuk mental, menciptakan kepribadian yang positif dan bermanfaat agar kelak dapat berguna bagi negara dan masyarakat. Di samping itu, peran guru sangat dibutuhkan dalam membimbing siswa untuk mengasah kemampuan, memperluas wawasan, serta menanamkan nilai-nilai moral dan pembentukan karakter dalam diri mereka. Guru yang biasanya mengajarkan pembentukan karakter dan akhlak siswa dalam sekolah berbasis agama adalah guru akidah akhlak [8].
Tanggung jawab seorang guru sangat luas dalam melaksanakan pendidikan yang ditujukan kepada peserta didik. Peran guru dalam hal pengetahuan adalah menyalurkan ilmu dan keterampilan kepada siswa, salah satunya guru akidah akhlak. Dengan demikian guru pendidikan agama islam khususnya guru akidah akhlak harus membekalinya dengan wawasan keilmuan dengan ilmu agama yang luas agar penyampaiannya terhadap siswanya tidak salah dan sesuai dengan ajaran agama islam.
Seiring berjalannya waktu, guru akidah akhlak memiliki peran yang tidak mudah dalam membentuk karakter dan moral remaja yang baik di setiap masa. Guru akidah akhlak menjalankan perannya sebagai pendidik dengan memberikan dorongan semangat kepada peserta didik, bersikap tegas terhadap siswa yang menunjukkan perilaku kurang baik, serta membimbing mereka ke arah sikap yang positif. Hal ini bertujuan agar siswa mampu membentuk karakter seperti kedisiplinan, kemandirian, tanggung jawab, dan nilai-nilai luhur lainnya yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Metode
Penelitian ini dilakukan dengan cara wawancara yang digabungkan dengan metode kualitatif. Jadi seorang peneliti menggunakan cara wawancara kepada guru yang bersangkutan dalam penelitian kualiatif untuk mengumpulkan semua data data peristiwa tentang topik pembahasan hasil observasi. Observasi dalam penelitian kualitatif melibatkan pengamatan langsung dan sistematis terhadap perilaku guru dan siswa pada situasi nyata, memungkinkan peneliti menangkap data kontekstual yang kaya dan bermakna [9]. Penelitian ini dilakukan di Madrasah Tsanawiyah Negeri 7 Klaten yang terletak di Jalan Tasgading, Dusun 2, Desa Krajan, Kecamatan Jatinom, Kabupaten Klaten, Provinsi Jawa Tengah. Dua sumber data yang digunakan untuk mendapatkan temuan hasil penelitian: sumber data primer: berasal dari hasil wawancara dan observasi dan temuan hasil data sekunder: yang berasal dari jurnal, penelitian terdahulu, buku dan dokumen.
Data penelitian ini diperoleh melalui observasi, wawancara dan dokumentasi. Informasi langsung mengenai pembentukan akhlak yang dilakukan oleh guru Akidah Akhlak di MTsN 7 Klaten dalam proses pembelajarannya. Melalui pengamatan dan wawancara yang responden, data ditulis dengan kata kata. Responden dalam penelitian ini dipilih secara sengaja dengan mempertimbangkan keterkaitan langsung terhadap judul yang dibahas, yaitu pembentukan karakter dan akhlak siswa. Wawancara ini melibatkan 3 orang informan yang terdiri dari 2 guru Akidah Akhlak dan 1 guru Bimbingan Konseling (BK) di MTs Negeri 7 Klaten. Setiap informan diwawancarai dengan durasi sekitar 25–35 menit menggunakan pedoman pertanyaan semi-terstruktur. Pemilihan MTs Negeri 7 Klaten sebagai lokasi penelitian didasarkan pada reputasinya yang baik dalam penerapan pendidikan agama Islam serta komitmennya dalam pembinaan karakter siswa. Guru Akidah Akhlak dipilih karena mereka memiliki peran utama dalam menyampaikan nilai-nilai keislaman kepada siswa melalui pembelajaran di kelas. Sementara itu, guru BK dipilih karena memiliki tanggung jawab dalam membina dan menangani perkembangan perilaku serta permasalahan siswa di lingkungan sekolah.
Sementara itu dokumentasi penelitian terdiri dari modul pembelajaran, kondisi dari sekolah dan dokumen pelengkap lainnya. Untuk memastikan keakuratan data, dilakukan triangulasi data. Triangulasi data adalah proses pengumpulan data dari sumber yang berbeda seperti wawancara, observasi dan dokumen. Menurut [10] triangulasi dapat dijelaskan sebagai metode pengumpulan data yang mencakup penggabungan berbagai teknik dan sumber data yang sudah ada. Melalui pengumpulan dan perbandingan beberapa set data, triangulasi berperan dalam mengurangi potensi ancaman terhadap validitas dan reliabilitas setiap data. Proses selanjutnya biasa disebut dengan proses reduksi data yaitu dengan mengurangi atau menyederhanakan hasil wawancara dan observasi tanpa kehilangan informasi penting. Reduksi data mencakup: merangkum data, melakukan pengkodean, mencari tema, dan membentuk kelompok-kelompok [11]. Metodenya adalah dengan menyeleksi secara cermat antara ringkasan dan mengelompokkannya ke dalam format yang lebih besar. Selanjutnya data disajikan dalam bentuk uraian dengan alur yang jelas tentang pembentukan karakter akhlak pada mata pelajaran akidah akhlak di MTsN 7 Klaten. Berdasarkan uraian yang telah diberikan akan dapat ditarik sebuah kesimpulan tentang topik ini.
Berikut adalah tabel yang merangkum jenis data, instrumen pengumpulan data, dan teknik analisis data dalam penelitian kualitatif yang menggunakan observasi, wawancara, dan dokumentasi.
Jenis Data | Instrumen Pengumpulan Data | Teknik Analisis Data |
---|---|---|
Data deskriptif tentang peran guru Akidah Akhlak dalam membentuk karakter siswa | Pedoman observasi (lembar cek perilaku guru & siswa) | Reduksi data → penyajian data → penarikan kesimpulan (Miles & Huberman) |
Persepsi guru, siswa, dan orang tua terkait pembinaan akhlak | Pedoman wawancara semi-terstruktur | Interpretasi naratif |
Dokumen pendukung (jadwal kegiatan, laporan pembinaan, RPP) | Format studi dokumentasi | Analisis isi (content analysis) |
Hasil dan Pembahasan
A. Peranan Guru Akidah Akhlak dalam Membentuk Karakter Siswa
1.1 Pengertian Peran dan Guru Akidah Akhlaq
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) guru adalah seseorang yang memiliki profesi mengajar. Sedangkan didalam bahasa Arab guru biasa disebut dengan Al-Mudarris yang diartikan sebagai seseorang yang mengajar atau memberikan pengajaran atau dapat disebut Ustadz yang berarti seseorang yang mengajar dalam bidang Agama Islam [12]. Menurut [13], Secara umum, peran merujuk pada tanggung jawab dan tindakan yang diharapkan dari seseorang sesuai dengan kedudukan sosialnya, baik dalam lingkungan yang resmi maupun tidak resmi. Dari penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa peran adalah kewajiban dan tanggung jawab yang harus dilakukan seseorang sesuai dengan posisinya dalam konteks tertentu di lingkungan yang bersangkutan. Analisis empiris mengungkap bahwa strategi pembiasaan (taqrir, shalat berjamaah, kultum), keteladanan guru, dan penguatan nilai moral secara kontekstual signifikan meningkatkan karakter siswa pada aspek religiusitas, kejujuran, kedisiplinan, dan empati—hasil sejalan dengan penelitian Rusmawati & Adawiyah [6]. Model keteladanan guru sebagai murabbi sesuai dengan kerangka Ta’dib Syed M. Naquib Al-Attas, yang menegaskan pendidikan islam bertujuan melatih jiwa tunduk kepada nilai Allah, bukan hanya sekedar tarnsfer pengetahuan.
Struktur perilaku dalam suatu peran sangat dipengaruhi oleh kepribadian individu, sehingga pelaksanaan peran pun akan berbeda sesuai dengan karakter masing-masing orang [14]. Oleh karena itu, peran dapat dipahami sebagai bentuk evaluasi terhadap sejauh mana seseorang menjalankan tugasnya dalam mencapai tujuan yang telah ditentukan.
Guru merupakan pendidik profesional yang tujuannya adalah untuk mengajar, melatih dan mengevaluasi. Seorang guru adalah seseorang dengan kemampuan untuk mengajarkan ilmu yang mereka punya kepada siswa siswanya dengan tujuan yang baik yaitu agar tercapainya visi dan misi yang ada dalam sekolah [10]. Oleh karena itu, peneliti berpendapat bahwa guru sangat bertanggung jawab dalam memberikan ilmu atau mencerdaskan peserta didik selama proses pembelajaran dan untuk bekal kedepannya dalam kehidupan yang akan dilalui oleh para peserta didiknya. Guru akidah akhlak tidak hanya menjalankan peran melalui penyampaian materi pelajaran, tetapi juga melalui sikap dan perilaku yang mencerminkan keteladanan bagi para siswanya. Seperti dalam Al-Quran surah Al-Ahzab ayat 21 yang berbunyi :
Figure 1.
Artinya:
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.”
Maka guru yang berfungsi untuk mendidik mempunyai kewajiban untuk meneladani sifat-sifat Rasul dan menjadikannya pedoman dalam mendidik siswanya. Terlebih lagi adalah guru akidah akhlak yaitu guru yang bertugas mengajarkan tentang pembentukan karakter dan perilaku anak dan harus mempunyai kemampuan dan pengalaman untuk memecahkan masalah serta memberikan sebuah solusi dalam kehidupan yang akan datang.
Berikut penulis melampirkan sajian data temuan pola karakter siswa sekaligus dengan peran guru
Aspek Karakter | Temuan Karakter Siswa | Peran Guru Akidah Akhlak |
---|---|---|
Religiusitas | Sebagian besar siswa memiliki kesadaran beribadah, namun belum konsisten. | Memberikan keteladanan dan pembiasaan ibadah harian. |
Disiplin | Siswa cenderung belum disiplin dalam waktu belajar dan tugas. | Menanamkan nilai kedisiplinan melalui jadwal dan evaluasi rutin. |
Tanggung Jawab | Tanggung jawab siswa meningkat saat diberi amanah dalam kegiatan keagamaan. | Memberikan tanggung jawab sesuai kemampuan dan pembimbingan. |
Empati dan Toleransi | Empati berkembang melalui kegiatan sosial, meski masih terbatas. | Mengintegrasikan pembelajaran akhlak dengan kisah dan praktik nyata. |
Integritas | Siswa menunjukkan kejujuran dalam pengawasan langsung, tapi masih fluktuatif. | Menanamkan pentingnya amanah dan kejujuran melalui diskusi dan contoh. |
1.2 Tugas Guru Akidah Akhlaq dalam Membentuk Karakter Siswa
Pendidikan akhlak agama Islam yang disekolah dikenal dan dititik beratkan kepada mata pelajaran akidah akhlak dan sekaligus merupakan bagian kehidupan dari masyarakat di Indonesia yang telah berjalan sekian lama diharapkan mampu membendung dampak negatif dari kemajuan Pendidikan agama Islam harus mampu menciptakan generasi yang hebat di bidang ilmu pengetahuan dan kuat dalam pondasi spritual [1]. Menurut Thomas Lickona (1991) bahwa pendidikan karakter harus mencakup aspek moral knowing, moral feeling, dan moral action. Pendekatan ini dapat membantu siswa menginternalisasi nilai-nilai kearifan lokal, yang merupakan bagian penting dari karakter mereka. Teori ini mendukung gagasan bahwa pendidikan karakter dapat diintegrasikan dengan nilai-nilai budaya lokal. Kearifan lokal yang mencakup nilai-nilai sosial, etika, moral, dan budaya yang berkembang di masyarakat memiliki potensi besar dalam membentuk karakter siswa [15]
Guru akidah akhlak tidak hanya sekedar mengajarkan murid tentang pengertian bagaimana pentingnya keyakinan kepada Allah. Tetapi guru akidah akhlak juga mengajarkan dan memberikan contoh bagaimana cara membentuk karakter yang baik sesuai dengan ajaran sudah ditentukan dalam agama islam. Yang utama adalah akidah ini merujuk kepada keyakinan atau pondasi yang berkaitan dengan keimanan kepada Allah, malaikat, kitab, rasul, hari kiamat dan lain lain. Sedangkan akhlak adalah sifat atau perilaku yang ada kepada seseorang yang mendorongnya untuk berbuat dengan mudah tanpa pemikiran baik itu perbuatan buruk maupun perbuatan jelek [11]. Dari akidah guru berharap siswa mengerti dan paham jika setiap perbuatan yang dilakukan itu selalu diawasi oleh Allah SWT dan malaikat malaikat yang selalu mencatat baik buruknya perbuatan yang dilakukan. Dua hal ini yaitu akidah dan akhlak sangat berkaitan erat karena ketika seseorang mempunyai akidah yang bagus sudah pasti menimbulkan atau menghasilkan akhlak yang mulia. Di lingkungan sekolah guru adalah orang tua yang ditugaskan untuk mendidik dan memberikan ilmu untuk siswa siswanya menjadi lebih baik dan benar. Di sekolah menengah pertama yang berbasis agama seperti Madrasah Tsanawiyah ini pasti lebih ditekankan dalam ilmu agama terutama pada mata pelajaran akidah akhlak karena pada setiap mata pelajaran yang ada di dalam sekolah ini pasti dikaitkan dengan ilmu ilmu agama. Yang bertugas mendidik dan mengajarkan pelajaran akidah dan akhlak siswa disekolah ini adalah guru akidah akhlak.
Di lingkungan sekolah pelajaran akidah akhlak ini biasanya merujuk kepada sikap kejujuran, tanggung jawab, menghormati orang lain. Strategi yang digunakan guru akidah akhlak untuk menanamkan nilai nilai akidah dan akhlak kepada siswanya lebih banyak menggunakan kegiatan formal seperti tatap muka agar memberikan kesan materi yang lebih dalam dan tanya jawab melalui forum diskusi agar lebih mudah dipahami dan dibina. Pembiasaan melalui proses pembelajaran akidah lebih ditekankan agar siswa dapat menerapkan bentuk akidah dan akhlak yang baik tersebut melalui kehidupan sehari harinya terutama di lingkungan mereka berada contohnya seperti sekolah. Selain memberikan bentuk berupa ilmu pembelajaran, guru juga memberikan contoh sikap keteladanan secara langsung salah satunya seperti menerapkan 3S (salam, senyum, sapa) saat bertemu, memberikan contoh bentuk sikap kejujuran melalui kantin kejujuran, diberikan pengertian tentang sikap percaya diri agar jujur dengan kemampuannya sendiri saat ujian dan sikap tanggung jawab melalui jadwal piket yang telah ditetapkan dikelas masing masing. Cara mengecek perkembangan siswa dapat melalui pengamatan langsung karena sifat perubahan anak didik siswa di lingkungan sekolah bisa dilihat langsung oleh guru, bisa juga melalui lembar penelitian yang harus diisi siswa atau buku yang berisikan tentang tata tertib dan karakter yang seharusnya dimiliki oleh anak MTs untuk mengamati bentuk perilaku akhlak apa yang sudah dilakukan siswa di dalam maupun luar sekolah.
Analisis dari berbagai studi empiris mengungkap bahwa tugas utama guru Akidah Akhlak meliputi peran sebagai pendidik intelektual, teladan moral, motivator spiritual, pengelola pembiasaan ritual keagamaan, dan evaluator akhlak siswa, yang semuanya terjalin dalam satu kesatuan sistem pendidikan karakter holistik. Dalam penelitian Wahyudi, menemukan bahwa keteladanan guru baik dalam bertutur, bersikap, maupun kehadiran spiritual berkontribusi signifikan terhadap penguatan karakter jujur dan religius siswa hingga 37 % [16].
B. Permasalahan yang Dihadapi Guru Akidah Akhlak dan Solusi untuk Membentuk Karakter dan Akhlak Siswa
2.1 Permasalahan yang Dihadapi Guru Akidah Akhlaq
Permasalahan adalah sesuatu yang menjadi sumber persoalan yang perlu dicari penyeselsaian serta solusinya agar tidak berdampak kedepannya. Dalam dunia pendidikan guru memegang peran dalam menentukan keberhsilan proses belajar mengajar. Namun masih banyak permasalahan yang harus dihadapi oleh guru di lapangan [8]. Apalagi di zaman modern seperti ini, di era teknologi saat ini peran guru sebagai pendidik mengalami pergeseran yang dahulu guru sebagai orang yang sikap dan perilakunya patut dicontoh karena memberikan ilmu yang baik dan benar kepada siswa tetapi sekarang sedikit demi sedikit menjadi bergeser karena banyaknya pengaruh dampak negatif dari teknologi karena perkembangan zaman contohnya antara lain:
a. Sosial Media
Sosial media adalah teknologi zaman sekarang yang digunakan untuk sarana komunikasi berbasis internet yang memungkinkan penggunanya untuk berinterkasi dan berbagi informasi. Melalui sosial media seseorang bisa mengunggah teks, video, ataupun gambar [17]. Hal ini mempermudah orang dari berbagai tempat untuk tetap terhubung meskipun jaraknya sangat jauh untuk menjalin hubungan sosial dan bertukar informasi. Namun, bagi siswa yang masih belajar di MTsN, pengaruh dampak terhadap moral siswa lebih terlihat. Permasalahan tersebut semakin banyak muncul dan sering kali menjadi masalah sosial baik di area sekolah atau di lingkungan tempat tinggal siswa. Pengaruh sosial media ini sangat berpengaruh pada perilaku siswa, apalagi ketika sosial media ini dikonsumsi terlalu berlebihan dan diluar pengawasan orang tua. Karena pengaruh sosial media ini siswa jadi lebih susah untuk di didik dan kurang perhatian kepada ajakan guru. Contoh perilaku siswa diantara lain, Pertama, erusak moral pelajar. Karena sifat remaja yang labil, mereka dapat melihat dan meniru trend-trend yang tidak bermanfaat dari sosial media. Salah satu dampak negatif dari media sosial adalah tersebarnya informasi yang tidak sesuai dengan nilai moral, yang kerap ditiru oleh siswa, termasuk dalam penggunaan bahasa yang tidak pantas saat berkomunikasi secara langsung. Kedua, Berkurangnya waktu belajar, karena menggunakan sosial media terlalu berlebihan akan menyebabkan kecanduan dan otomatis dapat mengurangi waktu belajar dari siswa. Ketiga, Rasa tidak percaya diri, sosial media sering menampilkan kehidupan orang lain yang terlihat sempurna. Hal ini mengakibatkan munculnya sikap tidak percaya diri karena tanpa disadari mereka telah membanding-bandingkan hidupnya dengan hidup orang lain [18].
b. Lingkungan Sosial
Lingkungan juga bisa disebut dengan segala sesuatu yang ada di sekeliling individu. Lingkungan sosial berperan penting dalam keberlangsungan hidup individu, baik yang terkait dengan keluarga, sekolah, maupun masyarakat [19]. Biasanya lingkungan sosial ini mencakup tentang orang orang yang sering bertemu, bergaul dan beraktivitas dengan kita. Lingkungan sosial seperti sekolah berpengaruh terhadap hasil belajar siswa yang diperoleh anak dari sekolah, seperti interaksi yang baik antara guru, metode pengajaran guru, serta sikap anak terhadap guru dan lingkungan pembelajarannya (Nabilla and Desmon, 2022). Lingkungan belajar yang ideal adalah yang aman secara fisik, sosial, dan moral, sehingga memberikan pengaruh positif bagi individu di sekitarnya [21]. Ketika seseorang berada dalam lingkungan yang positif, seperti dikelilingi orang orang yang baik dan beriman maka ia cenderung memiliki pribadi yang baik. Sebaliknya, jika lingkungan pergaulannya dikelilingi orang orang yang dipengaruhi oleh kegiatan negatif maka kemungkinan besar ia juga akan terpengaruh dan meniru perbuatan yang negatif. Sikap yang harus dilakukan adalah kita perlu berhati hati dalam memilih lingkungan, karena lingkungan sangat menentukan arah perilaku dan kepribadian kita seperti yang dijelaskan dalam hadits:
Figure 2.
Artinya:
“Seseorang yang duduk (berteman) dengan orang sholih dan orang yang buruk adalah bagaikan berteman dengan pemilik minyak misk dan pandai besi. Jika engkau tidak dihadiahkan minyak misk olehnya, engkau bisa membeli darinya atau minimal dapat baunya. Adapun berteman dengan pandai besi, jika engkau tidak mendapati badan atau pakaianmu hangus terbakar, minimal engkau dapat baunya yang tidak enak.” (HR. Bukhari no. 2101, dari Abu Musa).
Lingkungan semacam itu adalah yang dapat membuat siswa konsentrasi pada pelajaran dan terhindar dari hal-hal negatif seperti merokok, narkoba, minuman keras, dan lain-lain. Tetapi sulit untuk menemukan lingkungan yang baik di zaman sekarang karena banyaknya siswa yang kurang pendidikan yang berkaitan dengan moral dan akhlaknya. salah pergaulan contohnya seperti bergaul dengan orang yang umurnya jauh diatasnya sehingga menimbulkan dampak buruk terhadap akhlak dan moral dari siswa tersebut. Seringkali, siswa yang belum dewasa memiliki karakter yang mudah berubah dan selalu terdorong untuk mencari tahu hal-hal baru, mendorong mereka untuk mencoba hal-hal baru meskipun mereka belum menyadari bahwa tindakan tersebut adalah kesalahan yang dapat berujung pada kerusakan. Umumnya, mereka merupakan siswa yang minim perhatian dari orang tua, sehingga mudah terbawa ke dalam pergaulan yang tidak sehat, baik karena dorongan pribadi maupun pengaruh lingkungan sekitar.
c. Kurangnya komunikasi
Selain media sosial dan lingkungan sosial, tantangan dalam pembentukan akhlak perilaku siswa adalah minimnya komunikasi antara siswa, orang tua, dan guru. Hubungan komunikasi yang sehat tidak hanya terjalin di rumah antara anak dan orang tua, tetapi juga penting dibangun antara siswa dan guru dalam lingkungan belajar. Di sisi lain, guru akidah akhlak yang memiliki peran sebagai pembentuk akhlak tidak bisa sepenuhnya menangani semua siswa, dimana di dalam satu sekolah terdapat ratusan siswa dan jadwal interaksi dengan siswa yang terbatas. Jadi guru tidak bisa lebih intens berkomunikasi dengan siswa dan mengetahui alasan yang melatarbelakangi siswa berperilaku buruk. Tentunya siswa harus menjaga komunikasi yang baik dengan gurunya di sekolah maupun dengan orang tuanya di rumah. Melalui komunikasi yang efektif, guru dan orang tua dapat memahami berbagai masalah yang dihadapi siswa serta memberikan solusi yang sesuai untuk mengatasi masalah yang dialami.
C. Solusi Penyelesaian Masalah
3.1 Kolaborasi antara Guru Akidah Akhlak, Guru BK dan Orang Tua
Pendidikan akhlak dapat dikembangkan melalui dua jalur, yakni formal dan non-formal. Dalam sistem pendidikan formal, guru memegang peranan penting sebagai pengajar sekaligus pembinaan perilaku. Peran pendidik, khususnya guru akidah akhlak dan guru BK, sangat krusial dalam memperkuat karakter siswa [22]. Guru akidah akhlak berperan dalam menanamkan nilai-nilai karakter siswa saat berada di lingkungan sekolah. Guru BK juga memiliki peran di dalamnya, dimana guru BK menjadi tempat dalam melakukan konsultasi terhadap segala permasalahan yang sedang dihadapi oleh peserta didik. Selain itu guru BK juga berperan membentengi perilaku menyimpang dari peserta didik. Dalam pendidikan non-formal, peran orang tua memiliki pengaruh besar dalam memperhatikan lingkungan sosial anak. Tanggung jawab orang tua adalah mengawasi perilaku peserta didik di rumah. Orang tua perlu menjadi teladan yang baik bagi anak dan memperhatikan perilaku mereka, karena masa SMP/MTs merupakan tahap menuju remaja yang rawan terhadap pengaruh negatif dari lingkungan. Sebagai konsekuensinya, diperlukan kolaborasi antara orang tua, guru BK, dan guru akidah akhlak untuk membentuk karakter serta perilaku peserta didik.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembentukan karakter siswa yang efektif tidak hanya ditentukan oleh peran guru Akidah Akhlak secara individual, tetapi juga sangat bergantung pada kolaborasi intensif dengan guru Bimbingan Konseling (BK) dan orang tua. Guru Akidah Akhlak memberikan dasar keilmuan dan nilai-nilai spiritual Islam yang menjadi pedoman hidup siswa, sementara guru BK berperan dalam membimbing perkembangan emosi, perilaku, dan sosial siswa secara psikologis [16]. Orang tua berfungsi sebagai penguat nilai-nilai tersebut di lingkungan keluarga dengan memberikan keteladanan dan pembiasaan yang konsisten. Kolaborasi yang terjalin secara aktif melalui forum komunikasi rutin, laporan perilaku siswa, serta kesepakatan dalam pembinaan akhlak terbukti mampu mendorong pertumbuhan karakter siswa yang lebih stabil dan menyeluruh.
Secara teoritis, kolaborasi ini sejalan dengan konsep pendidikan karakter menurut Thomas Lickona yang menekankan pentingnya keterlibatan seluruh ekosistem pendidikan keluarga, sekolah, dan komunitas dalam proses pembentukan karakter anak. Lickona menyatakan bahwa karakter yang kokoh lahir dari proses internalisasi nilai melalui tiga tahapan, yaitu mengetahui yang baik (knowing the good), mencintai yang baik (feeling the good), dan melakukan yang baik (doing the good) [23]. Dalam konteks ini, guru Akidah Akhlak membangun pemahaman dan kesadaran nilai (knowing), guru BK membina aspek afektif dan sikap (feeling), dan orang tua mendampingi siswa dalam pengamalan langsung (doing) di rumah. Konsep ini juga sejalan dengan pendekatan ta’dib dalam pedagogi Islam sebagaimana dikemukakan oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas, yang menekankan pentingnya pendidikan sebagai proses pemuliaan akal dan jiwa, yang tidak dapat dilepaskan dari bimbingan berkelanjutan oleh guru yang berakhlak dan lingkungan keluarga yang religius [24]. Dengan demikian, sinergi antara ketiga pihak ini menciptakan sistem pendidikan karakter yang tidak hanya formal dan teoritik, tetapi menyatu dalam kehidupan siswa sehari-hari secara utuh, berkelanjutan, dan kontekstual.
3.2 Menerapkan Kegiatan Keagamaan yang Mendukung
Pandangan Islam, pendidikan karakter merupakan misi utama para nabi, yaitu menyempurnakan karakter (akhlak). Manifesto Nabi Muhammad ini mengindikasikan bahwa pembentukan karakter merupakan kebutuhan utama bagi tumbuhnya cara beragama yang dapat menciptakan peradaban. Pada sisi lain, juga menunjukkan bahwa masing-masing manusia telah memiliki karakter tertentu, namun belum disempurnakan. Oleh Sebab itu, pendidikan karakter adalah proses pemberian tuntunan kepada peserta didik untuk menjadi manusia seutuhnya yang berkarakter dalam dimensi hati, pikir, raga, serta rasa dan karsa [9] . Akhlak yang positif dan berdasarkan pada nilai-nilai agama memiliki peranan penting dalam membentuk siswa menjadi individu yang baik. Di era yang semakin modern ini, muncul berbagai dampak negatif terhadap moralitas yang dimiliki oleh para siswa. Untuk itu, sekolah harus melaksanakan aktivitas yang berkaitan dengan agama sebagai usaha dalam membangun akhlak yang baik. Pelaksanaan kegiatan di sekolah dapat dilakukan melalui beberapa bentuk seperti: pelaksanaan sholat berjamaah, membaca Al-Quran sebelum memulai pembelajaran, serta pembinaan rohani oleh guru agama salah satunya oleh guru akidah akhlak. Kegiatan ini bertujuan untuk menciptakan suasana yang mendukung pembentukan lingkungan belajar yang sehat secara moral dan spiritual. Dengan suasana belajar yang baik, siswa lebih gampang diarahkan untuk bertindak sesuai dengan norma agama dan etika sosial. Dari kegiatan ini diharapkan siswa dapat memiliki iman dan akhlak yang kokoh untuk menghadapi beragam pengaruh buruk dari luar.
Kesimpulan
Penelitian ini berhasil menunjukkan bahwa guru akidah akhlak berperan besar untuk menanamkan dan membentuk sikap siswa melalui pembinaan yang berkelanjutan. Peran guru akidah akhlak bukan hanya sekedar pada penyampaian materi pelajaran saja, tetapi juga mencakup upaya membentuk karakter dan moral siswa di kehidupan yang sedang dijalani. Guru akidah akhlak perlu menanamkan nilai-nilai iman dan budi pekerti yang baik sebagai pondasi penting dalam kehidupan siswa, baik dalam lingkungan sekolah, keluarga, maupun masyarakat. Karakter siswa tidak hanya akan terbentuk dari materi yang diajarkan oleh guru, tetapi juga melalui sikap teladan guru yang terlihat dalam aktivitas sehari-harinya. Karena itulah, sikap dan perilaku guru akidah akhlak perlu selaras dengan isi materi yang diajarkan, agar siswa terdorong untuk meneladani dan mengamalkannya dalam kehidupan nyata. Upaya guru akidah akhlak dalam menanamkan nilai-nilai karakter kepada siswa sering kali mengalami kendala. Beberapa di antaranya meliputi maraknya pengaruh negatif dari media sosial, lingkungan sosial yang kurang mendukung, serta lemahnya interaksi antara siswa dengan guru maupun orang tua. Namun dalam penelitian ini menunjukkan bahwa guru akidah akhlak juga memiliki solusi terhadap masalah yang dihadapi tersebut. Misalnya, kolaborasi antara guru akidah akhlak, guru bimbingan konseling, dan orang tua serta melaksanakan aktivitas keagamaan yang bertujuan untuk mendorong perubahan pola pikir dan berbagai pengaruh positif lainnya dalam membentuk karakter dan akhlak siswa agar lebih baik. Ternyata posisi guru akidah akhlak sangat membuat perubahan karena mereka adalah bagian dari usaha membentuk generasi yang memiliki karakter sesuai dengan nilai-nilai agama.
Penelitian ini memberikan implikasi praktis bahwa guru Akidah Akhlak perlu mengintegrasikan nilai-nilai tauhid dan akhlak dalam kegiatan pembelajaran sehari-hari melalui keteladanan, pembiasaan, dan pendekatan personal. Sekolah juga disarankan untuk memperkuat sinergi antara guru, wali kelas, BK, dan orang tua dalam pembinaan karakter siswa secara berkelanjutan.