Loading [MathJax]/jax/output/HTML-CSS/config.js
Login
Section Innovation in Art and Design

Satai Dance As A Representation Of Barimou Perulai In The Koto Tuo Community Of Jambi Province

Tari Satai Sebagai Representasi Barimou Perulai Pada Masyarakat Koto Tuo Provinsi Jambi
Vol. 26 No. 3 (2025): July:

Resa Ulfa (1), Slamet MD (2)

(1) Pascasarjana Institut Seni Indonesia Surakarta, Indonesia
(2) Pascasarjana Institut Seni Indonesia Surakarta, Indonesia

Abstract:

General Background: Traditional dances are vital expressions of communal identity and cultural continuity. Specific Background: In the Koto Tuo community of Jambi Province, Satai Dance is widely recognized as a welcoming performance, yet its deeper origin as a ritual rooted in the Barimou Perulai tradition—aimed at spiritual protection for pregnant women—remains understudied. Knowledge Gap: Existing literature often focuses on choreographic elements but lacks analysis of symbolic cultural representation. Aims: This study aims to explore how Satai Dance functions as a symbolic reconstruction of Barimou Perulai, articulating identity and spirituality within the Koto Tuo society. Results: Through qualitative ethnographic methods and dance anthropology, findings reveal that the dance encapsulates layers of meaning through movement, music, costumes, and props that reflect sacred values, communal solidarity, and local cosmology. Novelty: This research offers a new anthropological lens on Satai Dance by framing it as a triadic representation—reflective, intensional, and constructionist—of cultural heritage, as conceptualized by Stuart Hall. Implications: The study underscores the dance’s function not only as cultural preservation but as a communicative tool for transmitting moral, social, and spiritual values, supporting its integration in education, cultural policy, and identity formation efforts.
Highlight :




  • Satai Dance serves not only as performance art but as a representation of the spiritual and social values rooted in the Barimou Perulai tradition.




  • The dance incorporates symbolic elements—movement, costume, music, and properties—that reflect the cultural identity of the Koto Tuo community.




  • It plays a vital role in preserving local heritage amid the pressures of modernization and globalization.




Keywords : Satai Dance, Barimou Perulai, Cultural Representation, Koto Tuo Community, Dance Anthropology

Downloads

Download data is not yet available.

Pendahuluan

Tari penyambutan yang dimiliki oleh masyarat Desa Koto Tuo adalah Tari Satai. Tari Satai merupakan cerminan keragaman budaya masyarakat yang hingga saat ini masih dilestarikan. Tari ini sangat berperan penting dalam berbagai perayaan hari- hari besar atau penyambutan tamu. Dalam hal ini, Tari Satai tidak hanya berfungsi sebagai tari pemyambutan ataupun hiburan bagi masyarakat, namun tari ini juga berperan sebagai sarana untuk penyampain pesan dan penghormatan terhadap nenek moyang, yang dikenal oleh masyarakat setempat dengan sebutan “Ninek Karamak” nenek keramat melalui nilai-nilai yang terkandung di dalamnya .

Dilihat dari keberadaannya, Tari Satai masih sering ditampilkan pada acaran yang diadakan di desa tersebut. Seperti pada acara penyambutan danrem di rumah Bupati pada 15 november 2023, penutupan festifal danau kerinci xxl pada 05 november 2023, pembukaan acara kenduri sko pada 16 sepember 2024, dan penyambutan kunjungan Gubernur Jambi pada tanggal 07 september 2024. Ini membutikan bahwa Tari Satai sebagai tari penyambutan tamu yang utama ditampilkan pada setiap acara besar yang diadakan oleh masyarakat sekitar, selain itu tari satai tidak hanya dilihat sebagai keindahan dalam pertunjukan, tetapi menjadi bagian dari masyarakat yang akan ditampilkan dalam berbagai acara mulai dari acara adat setempat, keagamaan, penyambutan, hingga perayaan hari-hari besar yang melibatkan masyarakat sekitar .

Dalam proses penciptaannya Tari Satai merupakan tari yang terispirasi dari tradisi Barimou Perulai. Tradisi ini biasanya dilaksanakan oleh masyarakat sekitar untuk menolak balak agar tidak terjadi kemalangan khususnya pada ibu hamil. Tradisi Barimou Perulai diturunkan dari generasi kegenerasi yang biasanya dilakukan oleh sekelompok masyarakat atas kepercayaan terhadap dunia gaib,makhluk gaib, roh, kekuatan sakti atau gaib, kepercayaan mengenai penyakit dan kematian . Tari Satai sebagai representasi tradisi Barimou Perulai dapat dilihat dari unsur-unsur yang membentuk Tari Satai, salah satunya yaitu dari syair Tari Satai yang berisi seruan atau panggilan terhadap leluhur dan nada yang begitu mengalun sehingga membuat tari ini menjadi lebih . Dalam hal ini tergambar bahwa Tari Satai memiliki unsur spiritual di dalamnya, selain itu dalam Tari Satai juga terdapat nilai sosial dan norma sebagai representasi dari Barimou Perulai melalui makna dan simbol.

Dalam hal ini teori representasi digunakan untuk menjelaskan bagaimana Harun Pasir membaguan keindahan dalam merepresentaikan Tari Satai sebagai penggambaran tradisi Barimou Perulai pada masyarakat Desa Koto Tuo. Representaasi berarti menggunakan bahasa untuk mengatakan sesuatu yang bermakna untuk merepresentasikan kepada orang lain. Representasi merupakan bagian penting dari proses dimana makna diproduksi dan dipertukarkan antara anggota suatu budaya. Representasi memang melibatkan penggunaan bahasa, tanda dan gambar yang mewakili atau merepresentasikan sesuatu. Dengan ini representasi merupakan cara untuk memproduksi makna .

Tanpa disadari dengan lajunya pengaruh globalisasi kebudayaan luar yang masuk ke desa koto tuo mempengaruhi kehidupan masyarakat setempat khususnya pada aspek budaya. Salah satu kebudayan tersebut adalah tradisi Barimo Perulai yang menjadi inspirasi proses penciptaan Tari Satai yang telah menjadi identitas budaya masyarakat koto tuo. terlebih lagi saat ini masyarakat tidak tertarik akan tradisi yang mereka miliki, mereka cenderung menyukai kebudayaan luar, oleh karena itu representasi digunakan sebagai bentuk mempertahankan tradisi yang mereka miliki yang digambarkan dalam bentuk tari. sehinga budaya yang dimiliki dapat dipertahankan sebagai identidas masyarakat sekitar

Jika berbicara tentang representasi kebudayaan, Tari Satai tidak hanya dilihat dari bentuk fisiknya saja, melainkan nilai-nilai apa saja yang terkandung secara simbolis di dalam Tari Satai tersebut sehingga dapat merepresentasikan Tradisi Barimou Perulai. Representasi merupakan perbuatan “mewakili” yaitu menghadirkan Kembali sesuatuhal yang lain yang bukan berasl dari dalam dirinya . Dalam halini Mulai dari (1) gerak, yang ditampilan dalam Tari Satai mengandung arti dan makna yang mengambarkan kehidupan masyarakat yang dituangkan dalam bentuk tari. Gerak tari diambil dari gerakan tradisi masyarakat sekitar yaitu Barimou Perulai yang dipadukan dengan gerak tari sehingga dalam penciptaan tari seringkali sulit untuk dipisahkan dari peristiwa keseharian . (2) Musik pengering Tari Satai meberikan makna mendalam karena syair yang dilantunkan dalam musik tersbut menggunkan Bahasa daerah yang diambil dari mantra-matra yang digunakan oleh masyarakat. Sal Murgiyanto menjelaskan bahwa musik iringan dapat terdiri dari kata-kata, nanyian, pantun, serta alat-alat musik sederhana. (3) rias dan pakaian merupakan kelengkapan yang menyatu dengan watak tokoh peran masing-masing, pemakaian warna dapat menunjukkan watak peran . kostum yang dikenakan oleh penari satai juga memiliki makna tersendiri karena menggunkan baju adat masyarakat setempat yang memiliki filosof inya sendiri dalam berpakain. (4) Keberadaan property dalam sebuah koreografi bersifat fungsional dan sangat khas, penggunaan property tidak boleh semata-mata berfungsi dekoratif saja melainkan harus memiliki tujuan fungsional yang sangat dibutuhkan oleh penata tari . Property yang digunkan dalam tari satai diambil dari alat- alat yang sering digunakan masyarakat saat malaksanakan tradisi barimou perulai.

Penelitian terkait tari satai sebelumnya sudah pernah dilakukan oleh Resa Ulfa Meryni (2023), Putri anisa utami (2020) dan Zahdianto (2018) dari penelian diatas sedikit banyak menjelaskan tentang tari satai. yang pertama fokus penelitiannya pada keberadaan tari satai dari tahun 2011 hingga 2015, sedangkan pada penelitin ke dua fokus penelitiannya pada penciptaan tari satai atau koreografi dari tari satai, penelitian ketiga membahas tentang tari yang sudah diciptakan oleh Harun Pasir dan pada penelitian yang terahir mambahas tentang sejarah kebudayaan masyarakat koto tuo.

Namun penelitian tentang representasi sudah banyak dilakukan oleh peeliti terdahulu antara lain: . membahas tentang “Tari Bedhaya Ela-Ela Karya Agus Tasman:Representasi Rasa Budaya Jawa” disertasi ini membahas tentang representasi tari ke rasa Budaya jawa. Penelitian dari tulisan ini merepresentasikan masyarakat bali dalam dalam novel tarian bumi karya Oka Rusmini. . “Representasi Madura Dalam Pertunjukan Seni Tari Sila Karya Hari Ghulur”. Tulisan ini memfokus kajianya pada identitas masyarakat madura yang direpresentasikan dalam pertunjukan tari sila karya Hari Ghulur. “Representasi Makna Kultural Dalam Gerakan Tari Seka Kontemporer Suku Kamoro Papua” dalama artikel ini menerangkan bahwa sebuah tari juga dapat menjadi representasi yang menghubungkan masyarakat dan budaya . “Filosofi Tari Nggah Imau Pada Festival Kerinci” dalam tulisan ini sedikit banyak menjelaskan tentang kebudayaan dan tradisi yang ada pada masyarakat kerinci. “Representasi Estetika Jawa Dalam Struktur Ragam Hias Tari Topeng Malang” dalamartikel ini membahas tentang representasi sisi struktur estetika ragam jawa hias pada topeng malang “Pertunjukan Tari Piring Kumun Sebagai Representasi Sosiologi Gender Dalam upaya Pelestarian Adat Budaya Kerinci” pembahasan dalam artikel ini menjelaskan tentang adat pada masyarakat kerinci dan juga membahas tentang tari piring yang direpresentasikan dalam bentuk upaya pelestarian adat budaya kerinci. “Representasi Perempuan Dalam Pertunjukan Demi Masa: Sebuah Kajian Tari Karya Alfiyanto” tulisan ini mendeskripsikan tantang identitas Feminimitas yang direpresentasikan oleh penari dengan mewujudkan keberagaman ekspresi dari sisi maskulin- feminimnya pada pertunjukan demi masa. . “Representasi nilai estetika tari dagiang wullung sebagai bentuk tari rakyat di Selaawi” pada tari ini berbentuk gendre tari rakyat yang mampu menciptakan karya tari yang merepresentasikan ciri identitas Selaawi “ Representasi makna symbol gerak Tari Tor-Tor Naposo Nauli Bulung Dalam Bahasa Indonesia” dalam artikel ini membahasa bagai mana makna symbol dalam geraka Tari Tor-Tor Naposo Nauli Bulung dapat mereprsentasikan kedalam Bahasa Indonesia . “Budaya Tradisional Sebagai Daya Tarik Konten Modren:Representasi unsur Budaya Tradisional Dalam Konten Video Karya Raditya Bramantya” dalam artikel ini juga menjelaskan bagaimana budaya tradisional menjadi daya Tarik konten modern sebgai bentuk representasi dari unsur budaya tradisional. Dari beberapa referesin kajian diatas penulis melihat belum ada kajian ilmiah yang membahas tentang tari satai sebagai representasi kebudayaan masyarakat koto tuo maka dari itu penelitian ini menjadi penting untuk dikaji.

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjelaskan tentang representasi kebudayaan melalui Tari Satai dalam kehidupan masyarakat Desa Koto Tuo, serta untuk memfokuskan pentingnya melestarikan tradisi Barimau Parulai sebagai bagian dari warisan budaya yang harus dijaga. Melalui metode kualitatif dengan pendekatan antropologi, penelitian ini dapat memberikan pengetahuai mengenai bagaimana Tari Satai berkontribusi terhadap identitas dan kohesi sosial masyarakat Koto Tuo. Kebaruan dari penelitian ini terletak pada pendekatannya yang tidak hanya mengungkap asal-usul Tari Satai, tetapi juga menelaah bagaimana representasi simbolik dari tradisi Barimou Perulai dikonstruksi kembali dalam bentuk tari pertunjukan. Belum ada kajian sebelumnya yang secara khusus membedah Tari Satai sebagai medium representasi budaya lokal Koto Tuo dengan pendekatan antropologi tari.

Metode

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan desain studi kasus (case study), karena bertujuan untuk mengungkap secara mendalam proses representasi tradisi Barimou Perulai ke dalam Tari Satai di masyarakat Koto Tuo. Desain ini dipilih agar peneliti dapat mengeksplorasi makna simbolik, nilai-nilai budaya, dan konteks sosial yang melatarbelakangi penciptaan serta pelaksanaan tari tersebut dalam kehidupan masyarakat. Sumber data dalam penelitian ini diperoleh dari data primer dan sekunder. Data primer dikumpulkan melalui wawancara mendalam dan observasi partisipatif, sedangkan data sekunder diperoleh dari studi pustaka, dokumentasi, serta rekaman video atau foto pertunjukan Tari Satai. Partisipan dalam penelitian ini dipilih secara purposif dengan kriteria mereka memiliki pengetahuan dan pengalaman langsung dalam praktik Tari Satai atau tradisi Barimou Perulai. Adapun jumlah partisipan terdiri dari satu orang koreografer (Harun Pasir sebagai pencipta Tari Satai), dua orang tokoh adat yang memahami konteks tradisi Barimou Perulai, dan tiga orang penari senior yang aktif dalam pementasan Tari Satai di berbagai acara adat dan budaya.

Instrumen penelitian yang digunakan meliputi panduan wawancara semi-terstruktur, yang berisi daftar pertanyaan terbuka mengenai sejarah dan makna Tari Satai, simbolisme gerakan, musik, kostum, hingga proses kreatif penciptaannya. Selain itu, peneliti juga menggunakan lembar observasi untuk mencatat detail gerakan tari, properti yang digunakan, ekspresi penari, serta interaksi sosial selama pertunjukan berlangsung. Dokumentasi berupa foto dan video turut menjadi bagian dari instrumen pendukung. Teknik pengumpulan data meliputi observasi, wawancara dan studi Pustaka yang akan dijelaskan sebagai berikut: (1) observasi merupakan suatu teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan penelitian langsung kelapangan dan melitinya secara teliti dan mencatatnya dengan sistematis . Pengamatan dilakuan secara langsung Ketika pertujukan Tari Satai ditampilkan di Desa Koto Tuo, selain itu peneliti juga melakukan pengamatan langsung terhadap tradisi maupun kebiasaan masyarakat yang ada di Desa tersebut tepatnya pada tangal 04 septembar 2024, dari observasi tersebut dapat dilihat bahwa tari satai sangat merepresentasian kebudayaan yang masyarakat sekitar.(2) Wawancara dalam sebuah penelitian merupakan hal pokok untuk mendapatkan sumber informasi yang dibutuhkan. wawancara ini mengunakan pedoman yang mana fungsi dari pedoman tersebut meberikan tuntunan dalam mengkomunikasikan secara langsung pertanyaan terhadap responden yang akan diwawancarai . Dalam penelitian narasumber yang digunkan dalam penelitian ini adalah narasumber yang mengetahui tentang Tari Satai. (a) Harun Pasir sebagai narasumber utama untuk menggali tentang proses berkesenian harun Pasir dalam menciptakan tari Satai, sehingga dapat menggambarkan kebudayaan masyarakat sekitar selalui tari satai. (b) Suhaimi seorang pemangku adat yang mengetahui tentang tradisi yang ada dimasyarakat, (3) Studi pustaka mengarah terhadap pustaka-pustaka yang ada sangkut pautnya dengan penelitian. Pustaka itu seperti pustaka tertulis dan pustaka audio visual. Studi pustaka tertulis yang dicari mengarah pada literatur-literatur yang akan diteliti. Pustaka Audio Visual Menurut Sugiyono yang dikutip oleh Umar sidiq. Dokumentasi merupakan catatan peristiwa yang sudah terjadi berupa tulisan, gambar, video atau karya monumental yang dimiliki oleh penliti . Dalam penelitian ini peneliti menggunkan dokumentasi melalui Henpon untuk mengambil gambar, videoa ataupun rekaman suara yang terkait dengan penelitian yang peneliti kaji. Teknik analisis data dilakukan secara bertahap melalui proses transkripsi hasil wawancara dan catatan observasi, yang kemudian dianalisis menggunakan teknik coding untuk mengidentifikasi pola atau tema penting. Selanjutnya, dilakukan kategorisasi berdasarkan isu-isu utama yang muncul, seperti representasi reflektif, intensional, dan konstruksionis. Untuk menjamin keabsahan data, dilakukan triangulasi sumber (antara informan) dan triangulasi metode (antara wawancara, observasi, dan dokumentasi). Hasil temuan kemudian diinterpretasikan dengan mengacu pada teori representasi Stuart Hall dan konsep budaya lokal (local genius), guna menjelaskan bagaimana nilai-nilai adat masyarakat Koto Tuo dimaknai ulang dan dikomunikasikan melalui seni pertunjukan Tari Satai.

Hasil dan Pembahasan

A. Tari Satai Sebagai Representasi

Kebudayaan merupakan cerminan dari identitas suatu masyarakat yang bukan hanya tentang tradisi atau adat istiadat yang dilestarikan, tetapi juga mencakup pemahaman, nilai-nilai, simbol, serta cara hidup yang diwariskan dari generasi ke generasi. Identitas dapat dipahami baik dari perspektif individu maupun kelompok. Bagi sebuah kelompok, identitas mencerminkan kesamaan atau ciri khas yang dimiliki oleh anggotanya. Ketika sekelompok individu berbagi karakteristik dan pemahaman tertentu, mereka akan dianggap bagian dari kelompok tersebut. Sebaliknya, individu yang tidak memiliki kesamaan tersebut akan dikategorikan sebagai pihak di luar kelompok . Di dalam prosesnya, kebudayaan membentuk dan dibentuk oleh pengalaman, lingkungan, serta interaksi sosial yang dinamis. Uraian tersebut sesuai dengan yang diungkapkan Koentjaraningrat yang mendefinisikan kebudayaan sebagai seluruh sistem gagasan dan rasa, tindakan, serta karya yang dihasilkan manusia dalam kehidupan bermasyarakat yang dijadikan miliknya dengan cara belajar . Demikian pula Tari Satai yang dipandang sebagai simbol dari Barimou Perulai karena gerak, musik, dan properti yang digunakan dalam tarian ini menggambarkan nilai-nilai kehidupan yang terdapat pada masyarakat Koto Tuo. Gerak dalam Tari Satai kali ini merupakan penggambaran tradisi Barimou Perulai. Selain itu, tarian ini seringkali menjadi bagian dari upacara adat yang bertujuan untuk mengikat komunitas dan merawat nilai-nilai tradisional yang hidup di masyarakat.

Setiap gerak dalam Tari Satai memiliki filosofi tertentu. Secara harfiah, philosophia berarti "pecinta kebijaksanaan" atau "sahabat pengetahuan". Kata ini telah diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi "filsafat", dengan bentuk adjektif tetap "filsafat" dan bukan "filosofis". Untuk menyebut seseorang yang mempelajari atau mendalami filsafat, istilah yang benar adalah "filsuf", bukan "filosof" . Seperti gerak yang menggambarkan kesabaran, keteguhan, dan kerjasama adalah simbol dari ajaran moral yang harus dimiliki oleh setiap anggota masyarakat. Ini menunjukkan bahwa tarian bukan hanya sebuah ekspresi seni, tetapi juga sarana untuk menjaga keseimbangan sosial dalam komunitas. Sebagaimana yang dikemukakan oleh James Wilson dalam bukunya The . menjelaskan bahwa relasi personal dapat menjadi inspirasi yang membentuk suatu kebudayaan subjektif, maka interaksi sosial yang bersifat mikro dapat membentuk budaya yang makro. Secara sosiologis, budaya subjektif bermula dari institusi keluarga sebagai tempat subjek menjalankan unsur-unsur intersubjektivitas. Kemandirian, empati, etika, kepedulian, dan nilai-nilai lain bermula dari kehidupan bersama orang-orang terdekat (significant others).

Tari Satai sebagai representasi dari tradisi Barimou Perulai tidak hanya dapat dipahami melalui narasi verbal dari para informan, tetapi juga dapat ditelusuri melalui elemen-elemen artistik yang tampil dalam struktur pertunjukan. Hasil observasi dan wawancara menunjukkan adanya keterkaitan kuat antara unsur gerak, musik, kostum, dan properti dalam Tari Satai dengan makna simbolik dari praktik ritual adat yang diwariskan turun-temurun di masyarakat Koto Tuo.

Untuk memperjelas hubungan tersebut, berikut disajikan tabel yang memetakan elemen artistik, makna simbolik, dan temuan lapangan:

Elemen Artistik Makna Simbolik Temuan Lapangan
Gerak (Sembow, Nyerau, Ngayung Tango) Mengandung nilai penghormatan, perlindungan, dan kesakralan Gerak diambil dari ritual Barimou Perulai dan dipertahankan dalam pementasan
Musik & Syair Doa dan mantra dalam bahasa lokal, bentuk komunikasi spiritual Syair berbahasa Kerinci dengan nada mendayu memanggil roh leluhur
Kostum Adat Simbol identitas dan struktur sosial masyarakat adat Penari mengenakan pakaian tradisional dengan warna dan motif khas Kerinci
Properti (sesajen, daun, wadah) Representasi alat ritual dan kekuatan pelindung Properti disesuaikan dengan alat ritual asli, digunakan saat pementasan
Formasi Tari Solidaritas sosial dan kekompakan komunitas Penari tampil dalam formasi melingkar dan barisan sebagai simbol kebersamaan
Table 1. Pemetaan Elemen Artistik – Makna Simbolik – Temuan Lapangan

Penelitian juga mencatat peningkatan frekuensi penampilan Tari Satai selama tiga tahun terakhir. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan Tari Satai tetap hidup dan aktif ditampilkan dalam berbagai acara budaya dan adat, terutama yang berskala lokal maupun kabupaten.

B. Tari Satai Dan Nilai Budaya Dalam Masyarakat Koto Tuo

Tari Satai Dan Nilai Budaya Dalam Masyarakat Koto Tuo Berdasarkan yang disampaikan oleh Anthony Shay dalam Bandem, disebutkan bahwa fungsi tari merupakan penguatan validasi sosial.Dalam artian, keberadaan tari memiliki fungsi sebagai media merekatkan hubungan sosial kemasyarakatan. Merujuk pada keberadaannya, Tari Satai bukan hanya sekadar tari yang berfungsi sebagai hiburan, namun juga sarana ekspresi budaya yang kaya akan simbolisme dan fungsi sosial. Di masyarakat Koto Tuo, tari ini erat kaitannya dengan konsep Barimou Perulai, melalui berbagai macam gerak dalam Tari Satai yang penuh makna, memperlihatkan keharmonisan antara individu. Dapat dikatakan sebagai representasi dari tradisi Barimou Perulai karena tari ini mengandung elemen- elemen simbolis yang berkaitan dengan nilai adat tersebut. Setiap gerak dalam tari ini bukan hanya bersifat estetis, tetapi juga berkaitan dengan kehidupan sosial masyarakat Koto Tuo, seperti kerja sama dan penghormatan antar generasi. Seperti gerak seperti selamat datang, sembow, ngayung tango, nyerau dan lain sebagainya. gerak tersebut melambangkan sikap hormat, kekuatan, dalam kehidupan masyarakat.

Tradisi Barimou Perulai

Figure 1. Pelaksanaan Tradisi Barimou Perulai (Resa Ulfa Meryni) 04 September 2024.

C. Representasi Simbolik dan Filosofi Tari Satai

Kebudayaan berlangsung tidak selalu tetap dan abadi, kebudayaan senantiasa tumbuh dan berkembang seiring dengan proses rasionalitas manusia yang menciptakan kebudayaan itu sendiri. Pada masa tertentu dapat muncul kebudayaan baru yang lebih digemari oleh manusia pada zamannya. Budaya tersebut dapat saja terjadi akibat suatu lintas budaya atau akulturasi budaya, sehingga budaya tersebut semakin menarik untuk digunakan oleh manusia tersebut Sama seperti halnya setiap gerak dalam Tari Satai diyakini memiliki makna khusus yang merujuk pada proses kegiatan tradisi yang erat akan representasi simbolik. Pada prinsipnya bahwa penciptaan tradisi adalah suatu proses simbolisasi, formalisasi atau ritualisasi, suatu usaha penanaman nilai-nilai atau normanorma tertentu dalam perilaku dengan cara pengulangan, dan secara otomatis mengacu pada masa lalu, yang dilandasi dengan adanya mitos-mitos. Handler dan Linnekin bahwa tradisi harus dipahami sebagai suatu proses simbolisasi yang mengacu pada simbolisme masa lalu dan menginterpretasikan kembali atau mengintegrasikan dengan simbol-simbol masa kini .

Tari ini juga dapat dikatakan merepresentasi ajaran adat yang diwariskan secara turun-temurun guna menjaga keutuhan masyarakat Koto Tuo. Tari ini disebut sebagai bentuk penghormatan terhadap nenek moyang dan warisan budaya, sekaligus sebagai media untuk menyampaikan nilai-nilai kebersamaan, persatuan, dan penghormatan kepada leluhur. Dalam Tari Satai, unsur seni terlihat dari kostum, musik, serta gerak tari yang khas. Kostum biasanya dibuat dari bahan-bahan alami yang berasal dari lingkungan sekitar, yang mencerminkan hubungan erat masyarakat dengan alam. Musik pengiringnya terdiri dari alat musik tradisional seperti gong, kendang, atau serunai dan juga syairyang diambil dari sayair tradisi Barimou Perulai menggunakan Bahasa daerah kerinci yang menambah suasana sakral pada tarian tersebut. Kombinasi antara gerakan dan musik ini menghadirkan sebuah karya yang tidak hanya indah secara visual tetapi juga sarat makna simbolik.

Hasil observasi lapangan menunjukkan bahwa gerakan “Sembow” yakni gerakan membungkuk sambil merentangkan tangan ke depan sering dilakukan pada awal pementasan sebagai bentuk penghormatan terhadap tamu dan leluhur. Gerakan ini tidak hanya bersifat estetis, tetapi mencerminkan nilai spiritual masyarakat Koto Tuo yang percaya pada kekuatan pelindung dari roh “Ninek Karamak”. Syair dalam musik pengiring pun memuat mantra tolak bala yang diambil langsung dari praktik Barimou Perulai, dinyanyikan dengan nada mendayu dalam bahasa Kerinci, seperti kutipan syair: “Oi Ninek kamik manang... lindungi kami dari celako, dari sakit, dari bala”.

Bandingkan dengan studi yang lebih fokus pada bentuk koreografi dan struktur komposisi Tari Satai. Penelitian Utami tidak membahas secara mendalam isi syair maupun relasi antara gerak dan struktur kepercayaan masyarakat. Temuan dalam penelitian ini memperluas pembacaan tersebut dengan menelusuri makna simbolik yang melekat secara kultural dan spiritual.

Temuan ini menunjukkan bahwa dalam konteks Tari Satai, gerak bukan semata hasil eksplorasi koreografi, melainkan perwujudan nilai-nilai ritual dan spiritual yang hidup dalam masyarakat. Hal ini memperkaya khazanah kajian tari dengan pendekatan etnografis yang memadukan bentuk dan makna secara seimbang.

D. Simbol Dalam Kebudayaan

Simbol dalam Kebudayaan Simbol dalam kebudayaan memiliki fungsi penting sebagai alat komunikasi yang memperkuat nilai, norma, dan identitas kolektif dalam masyarakat. Berger dan Chaffee, dalam buku Handbook of Communication Science yang diterbitkan pada tahun 1987, memberikan definisi yang cukup jelas tentang komunikasi. Mereka mendeskripsikan ilmu komunikasi sebagai kajian mengenai produksi, proses, dan dampak dari sistem tanda dan simbol. Ilmu ini bertujuan untuk menjelaskan fenomena terkait melalui pengembangan teori-teori yang dapat diuji dan diterapkan secara umum. Hal ini terjadi pula dalam konteks kebudayaan masyarakat Koto Tuo, simbol bukan hanya representasi fisik atau visual, melainkan juga mengandung makna mendalam yang dipahami secara bersama oleh anggota masyarakat. Secara tidak langsung masyarakat Koto Tuo mengeksplorasi peran simbol sebagai manifestasi nilai-nilai kebudayaan mereka dengan fokus pada bagaimana simbol dibentuk, diterima, dan diwariskan di dalam suatu komunitas. Hal tersebut membuat masyarakat setempat untuk dapat lebih menggali dalam mengenai cara simbol memengaruhi interaksi sosial dan pembentukan identitas kelompok.

James Spradley menunjukkan bahwa simbol merupakan bagian dari tanda, yang masing-masing disebutkan bahwa tanda atau signs terdiri dari: Icon (Formal Association); Index (Natural Association); dan Symbol (Arbitrary Association). Dari sifat-sifat tersebut maka simbol sosial hanya memungkinkan dimengerti oleh anggota masyarakat yang memilikinya. Sebagai suatu media komunikasi yang kongkret atau komunikasi secara verbal maka simbol-simbol tersebut dapat dilihat pada penggunaan gerak isyarat dan kata-kata di dalam bahasa. Tetapi dalam pemanfaatan yang lebih bermakna dan konseptual maka sistem simbol berfungsi sebagai identitas untuk mengikat anggota-anggota dalam suatu komunitas, atau sebagai media integrasi sosial, yang terwujud sebagai sistem nilai ataupun pranata sosial. Adapun pemanfaatan simbol sebagai media komunikasi atau interaksi sosial ini dimungkinkan melalui proses interpretasi. Karena itu manusia tidak hanya akan beradaptasi pada lingkungannya, tetapi juga pada lingkungan simboliknya .

Simbol dalam kebudayaan memiliki nilai yang unik karena ia tidak hanya membawa bentuk visual, namun juga makna yang dipahami secara kolektif oleh komunitas yang bersangkutan. Setiap simbol yang dihasilkan oleh masyarakat mencerminkan nilai, keyakinan, serta identitas mereka, yang menjadi landasan penting dalam interaksi sosial sehari-hari. Sulit dibayangkan adanya eksistensi tanpa nilai, begitu pula nilai tanpa eksistensi. Realitas bukan sekadar bersifat mental maupun material, melainkan merupakan gabungan antara pikiran dan benda, fakta dan nilai, yang semuanya saling terhubung dan tidak dapat dipisahkan. Keyakinan yang menjadi simbol bagi suatu masyarakat dapat memperkuat rasa percaya diri, yang didefinisikan sebagai keyakinan seseorang terhadap dirinya sendiri serta cara mereka memandang dirinya melalui konsep diri yang dimiliki . Simbol-simbol ini sering kali digunakan dalam berbagai konteks, seperti ritual keagamaan, upacara adat, dan acara-acara kebudayaan untuk memperkuat kohesi sosial dan menjaga kesinambungan nilai-nilai budaya.

Temuan pada jurnal ini menunjukkan bahwa tari satai mengandung simbol dalam kebudayaan masyarakat Koto Tuo yang merupakan tujuan dari diciptakannya tarian ini dan memiliki berbagai fungsi yang meliputi:

1.Pewarisan Nilai: Tari Satai berperan sebagai medium untuk memperkuat nilai-nilai sosial yang dijunjung tinggi oleh masyarakat Koto Tuo. Misalnya, nilai yang terkandung dalam tradisi Barimou Perulai digambarkan dalam Tari Satai, penggunaan simbol tertentu menunjukkan makna religi dan penghormatan yang kuat.

2.Pembentuk Identitas Kolektif: Seperti kostum yang digunakan pada Tari Satai, mencerminkan identitas kelompok yang membedakan satu kelompok masyarakat dengan yang lainnya. Hal ini memperkuat rasa kebersamaan dan identitas di antara anggota masyarakat.

3.Alat Interaksi Sosial: Narasi bahasa yang dibangun dalam Tari Satai yang menggunakan Bahasa daerah memungkinkan interaksi sosial yang berkelanjutan karena ia membawa makna yang disepakati bersama. Simbol- simbol ini menjadi “bahasa” yang dimengerti oleh semua anggota masyarakat kerinci, yang membuat mereka merasa terhubung dalam jalinan sosial.

E. Fungsi Sosial dan Ritual Tari Satai dalam Aspek Estetika

Andrienne K. Kaeppler menuturkan bahwa eksistensi tari tak terlepas dari lingkungan budaya dan sosial yang membentuknya . Menurut Abidin Zaenal, eksistensi adalah proses yang bersifat dinamis, yakni sesuatu yang terus berkembang atau menjadi. Istilah ini sejalan dengan kata exsistere, yang berarti keluar dari, melampaui, atau mengatasi. Dengan demikian, eksistensi tidak bersifat kaku atau statis, melainkan fleksibel dan dapat mengalami perkembangan maupun kemunduran, bergantung pada kemampuan untuk mengaktualisasikan potensi yang ada di dalamnya.

Sebagai tari yang berakar pada tradisi masyarakat Koto Tuo, Tari Satai sering kali ditampilkan dalam upacara adat dan peristiwa penting dalam kehidupan masyarakat, seperti penyambutan tamu, upacara penghormatan, dan upacara hari besar lainnya. Fungsi sosial tari ini terlihat jelas dalam peranannya sebagai penghubung antar generasi. Tari Satai mengajarkan generasi muda mengenai pentingnya identitas budaya dan memupuk rasa bangga terhadap warisan leluhur mereka. Tarian ini juga berfungsi sebagai sarana pengikat sosial dan menjadi media komunikasi budaya yang menghubungkan masyarakat Koto Tuo dengan nilai-nilai budaya yang diwariskan. Jika ditinjau dari gerak tubuh, Tari Satai menggunakan gerak yang dominan lincah dan dinamis dengan iringan musik tradisi khas. Setiap geraknya mencerminkan aspek-aspek yang terhubung dengan tradisi Barimou Perulai Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa tarian ini tidak hanya bersifat hiburan, tetapi juga mencerminkan filosofi hidup dan kearifan lokal yang masih dijaga hingga kini.

Observasi juga mencatat bahwa penari Satai mengenakan busana adat Kerinci berwarna merah marun dan hitam dengan selendang emas. Warna merah melambangkan kekuatan dan perlindungan, sementara hitam sebagai simbol kesucian dan spiritualitas. Properti seperti daun surian dan wadah sesajen digunakan dalam pertunjukan untuk memperkuat suasana sakral, serupa dengan ritual Barimou Perulai yang masih dijalankan oleh sebagian masyarakat lansia di desa tersebut.

Studi membahas keberadaan Sanggar Telaga Biru dan peranannya dalam mempertahankan Tari Satai, namun tidak menyoroti secara spesifik simbolisme kostum dan properti yang digunakan. Penelitian ini menambahkan lapisan baru dengan menunjukkan bahwa pilihan kostum dan alat bukan keputusan estetis belaka, melainkan representasi identitas budaya masyarakat setempat.

Pembacaan terhadap elemen visual pertunjukan seperti kostum dan properti membuka pemahaman baru bahwa bentuk artistik dalam tari tradisional merupakan media artikulasi identitas komunal. Hal ini memperkuat posisi tari sebagai perangkat ekspresi budaya, bukan sekadar estetika panggung.

F. Tari Satai

Figure 2. Penampilan Tari Satai

(Resa Ulfa Meryni, 19 Agustus 2022)

Implikasi dan Pelestarian Budaya dan

Tantangan yang Dihadapi

Pelestarian Tari Satai sebagai bentuk representasi Barimou Perulai menjadi sangat penting, terutama di tengah gempuran budaya modern. Pendidikan dan sosialisasi tentang tari ini, baik melalui sekolah maupun acara-acara budaya lokal, dapat membantu generasi muda lebih mengenal identitas dan tradisi mereka. Upaya pelestarian juga menjadi wujud apresiasi terhadap nilai-nilai lokal dan keunikan budaya Jambi yang berharga. Tari Satai dianggap memiliki peran dalam pendidikan budaya masyarakat Koto Tuo, karena melalui tari ini, generasi muda dapat belajar dan memahami nilai-nilai luhur yang diwariskan nenek moyang mereka. Selain menghibur, Tari Satai juga menjadi media yang efektif untuk mengajarkan nilai-nilai moral dan sosial yang penting dalam kehidupan bermasyarakat. Meski beberapa elemen dalam Tari Satai ini telah beradaptasi, masyarakat Koto Tuo berusaha mempertahankan keaslian tarian ini agar tetap menjadi identitas yang kuat. Pada tulisan ini, perlu juga dibahas mengenai tantangan pelestarian Tari Satai di tengah arus modernisasi dan globalisasi. Generasi muda yang terpengaruh oleh budaya asing seringkali kurang memahami dan tertarik pada kesenian tradisi. Oleh karenanya, berbagai upaya pelestarian, seperti pendidikan budaya di sekolah-sekolah atau penyelenggaraan festival budaya, menjadi penting untuk menjaga kelangsungan Tari Satai. Pembahasan ini mungkin juga meliputi bagaimana globalisasi mempengaruhi keberlangsungan Tari Satai. Meskipun tarian ini masih dihargai dalam konteks tradisi, modernisasi dan pengaruh budaya luar bisa menyebabkan berkurangnya minat generasi muda dalam mempelajari dan melestarikan tari ini. Modernisasi dapat didefinisikan sebagai sebuah perubahan perangkat institusi pra-modern menjadi sebuah sistem institusi modern yang rasional. Jurnal ini bisa saja menyoroti upaya-upaya masyarakat atau pemerintah lokal dalam menjaga eksistensi Tari Satai agar tetap relevan di tengah arus globalisasi.

Berdasarkan data dokumentasi, Tari Satai telah ditampilkan sedikitnya sembilan kali dalam kurun 2022–2024, di antaranya dalam pembukaan Kenduri Sko (2024), penyambutan Danrem (2023), dan Festival Danau Kerinci (2023). Data ini memperlihatkan adanya kesinambungan fungsi sosial tari sebagai media penyambutan tamu dan pelestarian tradisi.

Dalam wawancara, Harun Pasir menyebutkan bahwa permintaan masyarakat untuk menampilkan Tari Satai justru meningkat ketika acara melibatkan simbol-simbol adat. Ini membuktikan bahwa tari tidak hanya berfungsi sebagai hiburan, tetapi sebagai sarana mempertahankan legitimasi budaya dan penghormatan terhadap nilai-nilai leluhur.

Keberlangsungan fungsi sosial Tari Satai menegaskan peran tari sebagai institusi budaya yang dinamis. Ini membuktikan bahwa tarian tradisional masih relevan sebagai perekat sosial sekaligus perwakilan sistem nilai lokal dalam masyarakat kontemporer.

G. Pengertian representasi menurut Stuart Hall

Stuart Hall membagi representasi ke dalam tiga bentuk; (1) Representasi reflektif, (2) Representasi intensional, dan (3) Representasi konstruksionis. Representasi reflektif adalah bahasa atau berbagai simbol yang mencerminkan makna. Representasi intensional adalah bagaimana bahasa atau simbol mengejawantahkan maksud pribadi sang penutur. Sementara representasi konstruksionis adalah bagaimana makna dikonstruksi kembali ‘dalam’ dan ‘melalui’ bahasa .

Sebagai representasi reflektif, Tari Satai membawa nilai dan makna dari Barimou Perulai ke dalam gerak dan simbol dalam tari. Gerak tari ini melambangkan sikap, sifat, dan kearifan lokal masyarakat setempat, mencakup seperti rasa hormat, gotong royong, pengetahuan, kepercayaan, kesenian, adat istiadat, dan kemampuan lain yang menjadi bagian dari identitas masyrakat. Dalam disiplin antropologi, dikenal istilah local genius, yang pertama kali diperkenalkan oleh Quaritch Wales. Para antropolog telah mendiskusikan secara mendalam konsep local genius, yang merujuk pada kekuatan budaya lokal dalam menghadapi perubahan dan mempertahankan identitasnya . Melalui gerak tangan, kaki, dan ekspresi wajah para penari, Tari Satai menggambarkan bagaimana nilai-nilai adat dijunjung tinggi dalam kehidupan sosial masyarakat. Selain itu, Tari Satai juga berfungsi sebagai media untuk melestarikan dan meneruskan kebudayaan lokal. Dengan ditampilkan di acara-acara adat atau festival budaya, tari ini tidak hanya menghibur penonton, tetapi juga memperkenalkan kepada generasi muda dan masyarakat luar mengenai pentingnya tradisi Barimou Perulai sebagai bagian dari identitas dan kebanggaan masyarakat Koto Tuo.

Representasi intensional dalam Tari Satai sebagai penggambaran tradisi Barimou Perulai pada masyarakat Koto Tuo merujuk pada makna mendalam dan niat yang diusung oleh setiap elemen dalam tari tersebut. Menurut Martono tradisi adalah kumpulan nilai dan norma yang diwariskan secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya, serta diyakini oleh masyarakat sebagai bagian penting dari kehidupan mereka. Berbeda dengan representasi reflektif yang menonjolkan penggambaran langsung dari ritual, representasi intensional fokus pada maksud yang ingin disampaikan oleh para seniman dibalik setiap gerak dan ekspresi dalam Tari Satai. Dalam konteks tradisi Barimou Perulai, yang merupakan prosesi adat yang dipercaya masyarakat sebagai peneolak balak agar tidak terjadi kemalangan, Tari Satai membawa pesan-pesan penting mengenai nilai-nilai yang dijunjung tinggi masyarakat Koto Tuo, seperti penghormatan kepada roh nenek moyang dan penghormatan pada nilai-nilai kebersamaan dan gotong royong. Para penari, dalam setiap gerakan yang mereka lakukan, tidak hanya menirukan gerakan adat, tetapi menyampaikan makna mendalam mengenai pentingnya menjalani hidup dengan saling menghormati.

Intensionalitas ini juga tercermin dalam pemilihan elemenelemen artistik, seperti kostum, musik, dan ekspresi yang digunakan dalam Tari Satai. Setiap warna, pola, syair dan irama musik dipilih secara sengaja untuk menyampaikan pesan kebanggaan dan penghormatan pada adat istiadat yang diwariskan turun-temurun. Musik yang mendukung tari ini, misalnya, tidak hanya berfungsi sebagai pengiring tetapi juga membawa simbolsimbol tentang semangat, dan antusiasme, yang semuanya adalah inti dari tradisi Barimou Perulai. Secara keseluruhan, representasi intensional dalam Tari Satai menunjukkan bagaimana masyarakat Koto Tuo tidak hanya melihat tari sebagai ekspresi budaya, tetapi sebagai sarana komunikasi yang sarat makna, untuk menanamkan nilai-nilai kehidupan kepada generasi muda, serta mengingatkan setiap individu akan pentingnya menghormati dan menjaga tradisi yang telah menjadi bagian dari identitas mereka.

Representasi konstruksionis dalam Tari Satai sebagai penggambaran tradisi Barimou Perulai pada masyarakat Koto Tuo adalah pandangan bahwa makna dan nilai-nilai tradisi tersebut tidak hanya diwariskan secara turun-temurun, tetapi juga dikonstruksi kembali dalam bentuk yang dapat dipahami dan relevan bagi masyarakat masa kini. Konsep konstruksionis menekankan bahwa makna tradisi tidak mutlak atau statis, tetapi merupakan hasil dari interpretasi yang terus berkembang sesuai dengan konteks sosial dan budaya. Dalam Tari Satai, konstruksi tradisi Barimou Perulai dilakukan dengan menyesuaikan gerak, kostum, dan elemen artistik lainnya agar sesuai dengan konteks sosial yang berubah. Barimou Perulai, yang pada dasarnya adalah tradisi tolak balak, direpresentasikan ulang dalam tari ini untuk menyampaikan pesan-pesan yang relevan, seperti pentingnya solidaritas, identitas budaya, dan penghargaan terhadap nilai-nilai kearifan lokal. Tari Satai tidak hanya menampilkan gerakan yang menggambarkan Barimou Perulai secara langsung, tetapi membangun ulang makna tersebut sehingga dapat dipahami dan diapresiasi oleh generasi muda yang mungkin kurang familiar dengan detail tradisi asli.

Harun Pasir berperan penting dalam merepresentasikan kembali makna tradisi ini, menyesuaikannya dengan konteks modern, tanpa menghilangkan esensi dari tradisi. Kostum, gerak dan iringan musik tari mungkin mengandung unsur-unsur baru yang memperkaya interpretasi tari tersebut. Serta pada hasil penelitian menunjukkan bahwa Harun Pasir membangun kontruksi estetika sendiri dalam merepresentasikan Tari Satai pada masyarakat Desa Koto Tuo. Pemikiran tentang keindahan dan seni telah ada sejak zaman Yunani Kuno, dikenal dengan istilah beauty, yang diterjemahkan sebagai "Filsafat Keindahan." Keindahan dapat diklasifikasikan berdasarkan cakupannya menjadi tiga jenis: keindahan dalam arti paling luas mencakup keindahan alam, seni, moral, intelektual, dan keindahan mutlak (absolut), keindahan dalam arti estetis murni merujuk pada pengalaman estetis seseorang terkait dengan segala sesuatu yang dirasakannya, keindahan dalam arti terbatas hanya berkaitan dengan objek-objek yang dapat ditangkap melalui penglihatan, seperti bentuk dan warna . Dengan demikian, Tari Satai sebagai representasi konstruksionis tidak hanya berfungsi sebagai bentuk pelestarian tradisi, tetapi juga sebagai cara untuk membangun identitas budaya yang dinamis. Tari ini mencerminkan bagaimana masyarakat Koto Tuo melihat dan membangun ulang nilai-nilai mereka untuk tetap relevan dengan kondisi zaman, sekaligus menjaga agar makna mendalam dari Barimou Perulai tetap hidup di tengah perkembangan budaya yang terus berubah.

Kesimpulan

Tari Satai merupakan bentuk transformasi budaya yang merepresentasikan tradisi Barimou Perulai dalam format seni pertunjukan yang hidup di tengah masyarakat Koto Tuo. Penelitian ini menemukan bahwa Tari Satai menyimpan tiga dimensi representasi yang saling melengkapi. Pertama, representasi reflektif, yang tercermin dalam gerakan-gerakan simbolik seperti sembow dan nyerau yang menggambarkan penghormatan, perlindungan, serta nilai spiritual masyarakat. Kedua, representasi konstruksionis, yaitu proses bagaimana nilai-nilai dalam Barimou Perulai dikonstruksi ulang menjadi bentuk tari yang lebih dapat diterima oleh generasi sekarang tanpa kehilangan esensi tradisinya. Ketiga, representasi intensional, yang merujuk pada makna dan pesan yang secara sadar ingin disampaikan oleh pencipta tari dan para penari melalui kostum, ekspresi, properti, dan syair yang digunakan dalam pementasan.

Temuan ini memperkaya pemahaman bahwa seni tari tradisional tidak hanya berfungsi sebagai ekspresi estetika, tetapi juga sebagai media pewarisan nilai, identitas budaya, dan relasi spiritual masyarakat dengan leluhur mereka. Dari sisi praktis, hasil penelitian ini berdampak pada tiga ranah penting. Pertama, dalam aspek pelestarian budaya, Tari Satai dapat diangkat dalam program revitalisasi kebudayaan lokal melalui festival tahunan, pertunjukan adat, atau dokumentasi berbasis media digital. Kedua, dari aspek pendidikan, konten tari ini sangat relevan untuk diintegrasikan dalam kurikulum seni budaya di sekolah dan sanggar sebagai bahan ajar yang mengajarkan makna simbolik dan nilai lokal. Ketiga, secara kebijakan, Tari Satai dapat diusulkan sebagai representasi kekayaan budaya nonbenda yang mencerminkan local genius Jambi, dan relevan untuk dimasukkan dalam agenda kebijakan perlindungan warisan budaya.

Sebagai penutup, penelitian ini membuka peluang untuk studi lanjutan, khususnya dalam bentuk kajian koreografi lintas daerah. Peneliti selanjutnya dapat melakukan perbandingan terhadap bentuk-bentuk tari tradisional yang juga berakar dari praktik tolak bala di berbagai wilayah di Indonesia. Perbandingan tersebut penting untuk mengungkap pola-pola kesamaan dan kekhasan lokal dalam membingkai nilai-nilai budaya menjadi ekspresi seni. Dengan demikian, Tari Satai tidak hanya menjadi artefak budaya yang layak dilestarikan, tetapi juga menjadi sumber pengetahuan budaya yang hidup, dinamis, dan terus membentuk jati diri masyarakatnya di tengah arus perubahan zaman..

Studi ini berkontribusi pada diskursus seni pertunjukan Nusantara karena menghadirkan pemahaman mendalam mengenai bagaimana tradisi lokal seperti Barimou Perulai diaktualisasikan kembali dalam bentuk Tari Satai sebagai bagian dari ekspresi seni yang hidup dan dinamis di masyarakat Koto Tuo. Melalui pendekatan antropologi tari, artikel ini turut memperkaya kajian lintas budaya dan representasi simbolik dalam ranah seni pertunjukan Indonesia.

Implikasi praktis dari temuan ini menunjukkan pentingnya peran pemangku seni lokal—seperti seniman, sanggar seni, dan lembaga kebudayaan—dalam mengembangkan program pelestarian budaya berbasis komunitas. Penyusunan kurikulum lokal berbasis kearifan tradisi, penyelenggaraan festival budaya, serta dokumentasi digital tari-tari tradisi seperti Tari Satai menjadi langkah strategis dalam mempertahankan identitas budaya di tengah arus globalisasi.

Ucapan Terima Kasih

Terimakasih kepada semua pihak yang telah mendukung penulisan artikel ini hingga dapat terselaikan. Terimakasih kepada kedua orang tua Kasmir dan Yetni, kepada adik kandung Nayla Kanziah atas segala dukungan baik berupa materi maupun non materi yang telah diberikan.

References

[1] Zahdianto, “Sanggar Seni Telaga Biru Di Negeri Pulau Tengah Kecamatan Keliling Danau, Kabupaten Kerinci Tahun 1988–2014,” Universitas Andalas, Padang, 2018.

[2] I. W. Dibia, Widaryanti, F. Sunanda, and Endo, Tari Komunal. Jakarta: Lembaga Pendidikan Seni Nusantara, 2006.

[3] M. Bahar, Menyiasati Musik Dalam Budaya. Padang Panjang: Kabarita, 2016.

[4] D. Noviza, “Keberadaan Tari Satai Di Pulau Tengah Kecamatan Keliling Danau Kabupaten Kerinci,” Universitas Negeri Padang, Padang, 2015.

[5] S. Hall (Ed.), Representation: Cultural Representations and Signifying Practices. London: Sage Publications, 1997.

[6] I. S. Katarina, “Tari Bedhaya Ela-Ela Karya Agus Tasman: Representasi Rasa Dalam Budaya Jawa,” 2017.

[7] S. Murgiyanto, Koreografi: Pengetahuan Dasar Komposisi Tari. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1983.

[8] R. H., Koreografi Dan Kreativitas. Yogyakarta: Kendil Media Pustaka Seni Indonesia, 2011.

[9] M. Mahsa, “Representasi Masyarakat Bali Dalam Novel Tarian Bumi Karya Oka Rusmini (Tinjauan Sosiologi Sastra),” Jurnal Kande, vol. 2, no. 2, 2021.

[10] T. Indra, Kajian Budaya Lokal. Lamongan: Pagan Press, 2019.

[11] R. R. Bulkis, “Representasi Makna Kultural Dalam Gerakan Tari Seka Kontemporer Suku Kamoro Papua,” DIEKTIS, 2014.

[12] A. N. K. Samudra, “Filosofi Tari Ngagah Imau Pada Festival Kerinci,” Prosiding Fakultas Ushuluddin Adab dan Dakwah, vol. 2, no. 1, 2024.

[13] L. Sakti and M. Fristya, “Menguak Seni Tradisi di Era Globalisasi,” E-Jurnal ISBI Bandung, vol. 10, no. 1, 2023.

[14] N. Zendat, “Representasi Makna Simbolis Gerak Tari Tor-Tor Naposo Nauli Bulung Dalam Bahasa Indonesia,” Universitas Negeri Medan, Medan, 2024.

[15] R. Fariszy, “Budaya Tradisional Sebagai Daya Tarik Konten Modern: Representasi Unsur Budaya Tradisional Dalam Konten Video Karya Raditya Bramantya,” Jurnal Ilmu Komunikasi, 2024.

[16] G. Imam, Metode Penelitian Kualitatif: Teori dan Praktik. Jakarta: Bumi Aksara, 2016.

[17] T. Anggoro, Metode Penelitian. Jakarta: Universitas Terbuka, 2008.

[18] U. Sidik, Metode Penelitian Kualitatif Di Bidang Pendidikan. Ponorogo: CV Nata Karya Tjahyadi, 2019.

[19] P. J. Burke and J. E. Stets, Identity Theory. New York: Oxford University Press, 2009.

[20] Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia Pustaka Umum, 1993.

[21] Suedi, Pengantar Filsafat Ilmu. Bandung: Alfabeta, 2016.

[22] J. Q. Wilson, The Moral Sense. New York: Simon & Schuster, 1993.

[23] R. Handler and J. Linnekin, “Tradition, Genuine or Spurious,” Journal of American Folklore, vol. 97, no. 385, pp. 273–290, 1984.

[24] P. A. Utami, “Penciptaan Tari Satai: Kajian Koreografi,” 2020.

[25] C. Berger and S. Chaffee, Handbook of Communication Science. Beverly Hills, CA: Sage, 1987.

[26] J. P. Spradley, Culture and Cognition: Rules, Maps, and Plans. San Francisco: Chandler Publishing Company, 1972.

[27] N. Rescher, Introduction to Value Theory. New Jersey: Prentice Hall, 1986.

[28] P. Davies, Meningkatkan Rasa Percaya Diri. Yogyakarta: Torrent Book, 2006.

[29] A. L. Kaeppler, Pacific Festival and Ethnic Identity in Time Out of Time. London: Essays on the Festival, 1987.

[30] Z. Abidin, Analisa Eksistensial. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007.

[31] Zahdianto, “Sanggar Seni Telaga Biru Di Negeri Pulau Tengah Kecamatan Keliling Danau Kabupaten Kerinci Tahun 1988–2014,” Universitas Andalas, Padang, 2018.

[32] Ayatrohaedi, Kepribadian Budaya Bangsa. Jakarta: Pustaka Jaya, 1986.

[33] T. L. Gie, Garis Besar Estetika (Filsafat Keindahan). Yogyakarta: Karya, 1976.