PENDAHULUAN
Indonesia adalah salah satu negara dengan penggunaan internet tertinggi. Ini berdasarkan survei yang dilakukan oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII). Menurut APJII, penetrasi internet di Indonesia telah meningkat dari 64,8% pada tahun 2018 menjadi 73,7% pada tahun 2020, 77,01% pada tahun 2022, dan 78,19% pada tahun 2023. Jumlah orang yang menggunakan internet pada tahun 2024 akan mencapai 221.563.479 orang. Dapat disimpulkan bahwa terjadi peningkatan 1,4% [1]. Penduduk asli pengguna internet adalah generasi digital native. Isitilah tersebut muncul karena individu tersebut sejak lahir sudah terindikasi dengan internet. Sebagai seorang pustakawan, Putu Luxman Pendit mengatakan bahwa generasi digital native merasakan perkembangan teknologi dan internet sejak tahun 1990-an [2].
Literasi merupakan kajian mencakup seluruh bidang kehidupan menjadi jembatan antara perspektif/persepsi/pemikiran dan tindakan. Untuk mengembangkan kompetensi diri dalam aspek mengakses informasi, dan mencari sumber informasi yang tepat diperlukan kompetensi literasi. Kompetensi literasi individu dapat diperolah secara langsung maupun secara digital. Literasi secara langsung diperoleh melalui serangkaian peristiwa yang sudah terobservasi sebelumnya. Sedangakan literasi yang diperoleh secara digital merupakan literasi yang diakses melalui alat digital seperti smartphone yang dikenal dengan literasi digital( Digital Literacy).
Media sosial merupakan platform digital dalam media digital yang mengakses dan menyebarkan sebuah informasi. Media sosial menjadikan individu secara leluasa menyampaikan, menerima, dan belajar segala informasi yang sudah terealisasi dengan struktur. Informasi yang terdapat dalam sosial media tidak terbatas baik dalam bidang sosial, ekonomi, pendidikan, keagamaan, politik, demokrasi dan lain sebagainya. Diketahui bahwa kompetensi literasi digital individu berjalan beriringan dengan adanya media sosial sebagai platform digital untuk keberlangsungan kompetensi literasi digital.
Indonesia sebagai negara demokrasi merupakan istilah yang familiar ditelinga seluruh kalangan masyarakat. Demokrasi diartikan sebagai sistem pemerintahan yang dipercaya kekuasaan tertinggi berada ditangan rakyat [3]. Pada tahun 2024 Indonesia telah melalui pesta pemilu serentak di beberapa daerah, terdapat pemilihan presiden dan wakil presiden indonesi, dan pemilihan gubernur di beberapa provinsi Indonesia. Pada saat pesta politik, aspek demokrasi dapat diakses oleh seluruh masyarakat. Pesta politik dilaksanakan maka banyak sekali berita, ataupun informasi yang didalamnya memuat informasi demokrasi. Informasi demokrasi tersebut memuat hal-hal yang positif dan negative. Oleh sebab itu, kompetensi literasi digital telah terlaksana dengan begitu individu akan lebih kritis dalam mengakses informasi demokrasi yang ada [4]. Jadi dapat diketahui bahwa literasi digital mencakup literasi demokrasi dimana individu dapat menganilisis, memahami hingga terlibat aktif dalam opini publik terkait informasi politik dan demokrasi.
Pemilihan Gubernur Sumatera Utara adalah salah satu diantara banyaknya berita tentang pemilu yang tersorot di media sosial. Bobby Afif Nasution dan Surya adalah pasangan calon gubernur dan wakil gubernur Sumatera Utara yang memenangkan pemilu tahun 2024. Platform media digital dimanfaatkan oleh keduanya untuk mendokumentasikan dan membuat konten tentang program-program yang sudah ataupun belum terlaksana demi menarik perhatian publik. Melalui konten yang dibuat menciptakan berbagai persepsi dan penilaian khalayak umum salah satunya di kalangan Mahasiswa. Perbedaan pandangan ini mencerminkan bagaimana opini publik terbentuk melalui media digital, yang tentunya memengaruhi cara mahasiswa memaknai proses demokrasi.
Mahasiswa Prodi Tadris IPS UINSU kelahiran tahun 2000-2006 merupakan informan dalam penelitian ini. Mahasiswa Prodi Tadris IPS UINSU akan diminta menjadi informan terkait memanfaatkan informasi di platform digital, kesadaran berdemokrasi, dan persepsi mereka tentang menangnya Bobby Nasution dalam pemilihan gubernur Sumatera Utara. Melalui penelitian ini, penulis ingin mengetahui bagaimana literasi digital berperan dalam menyaring semua informasi, baik edukasi, sosial dan politik serta bagaimana hal tersebut memengaruhi sikap dan partisipasi politik dan demokrasi mahasiswa Prodi Tadris IPS UINSU.
. Beberapa penelitian terdahulu telah mengkaji hubungan antara media social dan partisipasi politik generasi muda, misalnya penelitian yang dilakukan oleh Nuryadi Kadir (2022) [5] yang berjudul “Media Sosial dan Politik Partisipatif: Suatu Kajian Ruang Publik, Demokrasi Bagi Kaum Millenial dan Gen Z” yang dimana hasil penelitiannya menemukan bahwa media sosial membuka peluang kaum milenial dan gen z untuk ikut berpartisipasi membangun narasi-narasi public. Penelitian lain oleh Fauzan Ali Rasyid (2023) [6] yang berjudul “Meningkatkan Partisipasi Pemilu Melalui Literasi Politik Pemuda Milenial dalam Pendidikan Kewarganegaraan” yang menyoroti bahwa bahwa pendidikan kewarganegaraan berperan dalam membekali pemahaman tentang hak dan kewajiban warga negara. Meskipun demikian, penelitian-penelitian tersebut masih berfokus pada penggunaan media sosial secara umum dan belum secara mendalam menelaah hubungan antara literasi digital dan literasi demokrasi. Selain itu, masih terbatas kajian yang mengkaji bagaimana generasi digital native memaknai kontestasi politik lokal, seperti pemilihan gubernur di Sumatera Utara, dalam konteks penggunaan media digital. Gap riset yang diidentifikasi dari studi-studi sebelumnya adalah belum adanya kajian yang secara khusus menyoroti bagaimana kompetensi literasi digital mahasiswa sebagai generasi digital native memengaruhi literasi demokrasi mereka, terutama dalam memahami proses politik di tingkat lokal dan membentuk opini publik melalui media sosial.
Novelty dari penelitian ini terletak pada pendekatan kualitatif yang mengeksplorasi pengalaman, pemaknaan, serta persepsi mahasiswa Prodi Tadris IPS UINSU terhadap informasi digital dan kontestasi politik lokal. Secara khusus, penelitian ini menyoroti persepsi mahasiswa terhadap kemenangan pasangan Bobby Nasution–Surya dalam pemilihan gubernur Sumatera Utara 2024 dan bagaimana proses tersebut dimaknai melalui kacamata literasi digital dan demokrasi.
Berdasarkan uraian diatas, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui : (1) kompetensi literasi digital mahasiswa Prodi Tadris IPS UINSU dalam memanfaatkan informasi digital; (2) kompetensi literasi demokrasi mahasiswa dalam memahami hak dan kewajiban sebagai warga negara; (3) persepsi serta penilaian mahasiswa terhadap kemenangan Bobby Nasution dalam pemilihan gubernur Sumatera Utara. Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan kontribusi ilmiah dan praktis dalam meningkatkan kualitas literasi digital, literasi demokrasi dan partisipasi politik mahasiswa maupun masyarakat.
METODE
Pada penelitian ini, peneliti menggunakan jenis penelitian kualitatif fenomenologis dalam bingkai studi‑kasus intrinsik [8]. Pendekatan fenomenologi dipilih karena tujuan riset adalah menelaah makna pengalaman subjek (mahasiswa Tadris IPS UINSU) ketika berinteraksi dengan informasi politik di media digital. Sementara rancangan studi kasus memungkinkan penelusuran konteks spesifik pemilihan Gubernur Sumatera Utara 2024 secara mendalam dan holistik[7]. Teknik analisis data yang digunakan berupa data primer dari wawancara dan observasi dan data skunder berasal dari dokumen yang di perlukan untuk penelitian ini.
Sampel penelitian ini adalah mahasiswa aktif Program Studi Tadris Ilmu Pengetahuan Sosial (Tadris IPS) UIN Sumatera Utara yang lahir antara tahun 2000 hingga 2006 sebanyak 15 orang. Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan metode snowball sampling. Snowball sampling adalah teknik pengambilan sampel dalam penelitian kualitatif yang awalnya berjumlah kecil, lalu membesar seiring berjalannya penelitian hingga data dianggap cukup [9].
Pengumpulan data dilakukan melalui observasi tidak langsung, wawancara dan dokumentasi. Observasi adalah pengumpulan data yang melibatkan pengamatan. Pada penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data observasi secara tidak langsung, peneliti mengamati konten di media sosial(Instagram, TikTok, dan Twitter) yang terdapat dalam platform digital. Lexy J. Moleong mendefenisikan wawancara adalah percakapan yang dilakukan oleh dua pihak yaitu pewawancara sebagai mengajukan pertanyaan, dan terwawancara yaitu yang memberikan jawaban [10]. Informan penelitian dibagi menjadi tiga yaitu informan utama, informan kunci, dan informan pendukung. Informan utama dalam penelitian ini adalah mahasiswa aktif yang mengikuti organisasi intra kampus yaitu Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) dan Fokus Studyclub Prodi Tadris IPS UIN Sumatera Utara. Informan kunci penelitian ini adalah Ketua organisasi HMJ dan Fokus Studyclub Prodi Tadris IPS UIN Sumatera. Informan pendukung penelitian ini mahasiswa biasa prodi Tadris IPS UIN Sumatera Utara. Metode dokumentasi dilakukan dengen berpedoman pada pedoman wawancara dan rekaman audio wawancara.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan model analisis data interaktif dari Miles dan Huberman yang meliputi tiga tahap: reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan/verifikasi. Reduksi data dilakukan dengan menyaring dan mengelompokkan data sesuai tema yang relevan. Data kemudian disajikan dalam bentuk narasi tematik dan kutipan langsung untuk memudahkan interpretasi. Tahap akhir adalah penarikan kesimpulan berdasarkan pola yang ditemukan dan diverifikasi melalui proses konfirmasi.
Untuk menjamin keabsahan data, peneliti menggunakan triangulasi sumber, teknik, dan waktu, serta melakukan member checking dengan informan. Langkah ini memastikan temuan yang valid dan kredibel terkait kompetensi literasi digital dan literasi demokrasi mahasiswa Prodi Tadris IPS UINSU, serta persepsi mereka terhadap fenomena politik lokal.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Beriku akan peneliti paparkan data awal informan mengenai Tingkat Pasrtisipasi Politik Mahasiswa Prodi Tadris IPS UIN Sumatera Utara dan kreteria informan.
Figure 1. Tingkat Pasrtisipasi Politik Mahasiswa Prodi Tadris IPS UIN Sumatera Utara
Berdasarkan Diagram Batang Tingkat Partisipasi Politik, dapat dilihat bahwa sebagian besar mahasiswa (66%) tergolong dalam kategori aktif memilih pada Pemilu Gubernur Sumatera Utara 2024. Sebanyak 20% tidak memilih, dan sisanya (14%) bersikap netral atau apatis. Tingginya tingkat partisipasi politik ini mencerminkan bahwa mayoritas mahasiswa memiliki kesadaran politik yang cukup baik, yang didukung oleh kemampuan literasi digital mereka dalam mengakses dan menyaring informasi. Informan yang aktif dalam organisasi dan memiliki intensitas penggunaan media sosial di atas lima jam per hari cenderung memiliki kesadaran yang lebih tinggi untuk menggunakan hak pilihnya. Sebaliknya, mahasiswa yang tidak memilih atau bersikap netral umumnya kurang aktif secara organisasi dan memiliki durasi penggunaan media sosial yang lebih rendah. Sikap netral juga muncul karena kurangnya pemahaman yang mendalam terhadap program kandidat, sebagaimana terlihat dalam wawancara yang menunjukkan bahwa beberapa mahasiswa hanya mengandalkan informasi dari media sosial tanpa melakukan validasi lebih lanjut.
No | Inisial Informan | Usia | Keanggotaan Organisasi | Intensitas Media Sosial (jam/hari) | Platform Favorit |
---|---|---|---|---|---|
1 | SA | 21 | HMJ Tadris IPS | 4–5 jam | TikTok, Instagram |
2 | FF | 22 | Fokus Studyclub Tadris IPS | 6–7 jam | Instagram, YouTube |
3 | TR | 23 | - | 3–4 jam | Twitter, WhatsApp |
4 | DD | 21 | HMJ Tadris IPS | 5 jam | Google, Instagram |
5 | PA | 22 | - | 3 jam | TikTok, WhatsApp |
Sumber: olaj data 2025
Berdasarkan Tabel 1 dan hasil wawancara, informan dalam penelitian ini merupakan mahasiswa Prodi Tadris IPS UIN Sumatera Utara yang berusia antara 21 hingga 23 tahun. Seluruh informan tergolong dalam generasi Z, yaitu generasi yang sejak remaja telah terbiasa dengan penggunaan teknologi digital. Karakteristik ini sangat relevan dengan fokus penelitian mengenai literasi digital dan demokrasi, mengingat generasi ini menjadi pengguna aktif media sosial dan konsumen utama informasi digital. Dari sisi keanggotaan organisasi, tiga dari lima informan aktif dalam organisasi kampus, seperti Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) dan Focus Studyclub, sedangkan dua lainnya tidak aktif dalam organisasi. Keanggotaan dalam organisasi menunjukkan adanya akses terhadap forum diskusi dan kegiatan literasi yang lebih terstruktur, yang berpotensi memengaruhi cara mahasiswa memaknai dan merespons isu-isu demokrasi dan politik.
Dari segi intensitas penggunaan media sosial, informan rata-rata mengakses media sosial selama 3 hingga 7 jam per hari. Platform yang paling banyak digunakan adalah TikTok, Instagram, YouTube, WhatsApp, dan Twitter. Pemilihan platform tersebut umumnya didasarkan pada kebutuhan personal masing-masing, baik untuk hiburan, komunikasi, maupun pencarian informasi. Penggunaan media sosial dengan intensitas tinggi, terutama oleh mereka yang aktif dalam organisasi, memperlihatkan adanya hubungan antara paparan informasi digital dengan partisipasi dalam diskursus publik, termasuk dalam hal politik dan demokrasi.
A.Kompetensi Literasi Digital Mahasiswa Prodi Tadris IPS UIN Sumatera Utara dalam Ruang Lingkup Memanfaatkan Informasi Digital
Literasi merupakan kemampuan alamiah setiap orang untuk belajar dan menambah pengetahuan. Proses ini biasanya dilakukan oleh setiap orang dengan sadar dan dengan tujuan tertentu. Dengan bantuan alat visual, literasi membuat informasi menjadi mudah untuk dipahami. Pencaindera, yang mencakup otak, telinga, dan mata, akan membantu orang mengakses dan mengingat informasi yang ada. Di era modern, semua aspek kehidupan dapat diakses melalui media digital. Setiap orang sangat terbiasa dengan berbagai teknologi digital. Mereka telah mengalami transformasi dari hanya memungkinkan komunikasi tanpa visual menjadi memungkinkan komunikasi dengan fitur audio dan visual. Selain aspek komunikasi, teknologi digital saat ini juga telah berkembang untuk mengirimkan berbagai informasi dalam bentuk foto, teks, dan video.
Hasil wawancara menunjukkan bahwa mahasiswa prodi Tadris IPS UIN Sumatera Utara sangat aktif dalam menggunakan media digital. Sri Al Fatia menyebut” Saya mulai lancar mengakses informasi di platform digital sekitar umur 14-15 tahun”. Diketahui bahwa usia sekitar 14 tahun mahasiswa sudah mulai aktif menggunakan media digital meskipun tidak secanggih sekarang. Mahasiswa prodi Tadris IPS UIN Sumatera Utara juga dinyatakan aktif dalam kompetensi dasar yang baik untuk mengakses dan memanfaatkan informasi digital. Platform digital yang paling aktif digunakan mahasiswa prodi Tadris IPS UIN Sumatera Utara diantaranya, yaitu Google, Whatsapp, TikTok, Youtube, Instagram, dan Twitter. Platform tersebut digunakan sesuai dengan kebutuhan tertentu. Fatimah menyebut, “ saya biasa mendapatkan informasi digital melalui TikTok, Goggle, Instagram, dan Youtube”. Temuan ini menunjukkan bahwa mahasiswa telah memiliki aspek penting dalam literasi digital yakni kemampuan untuk mengakses dan menggunakan teknologi. Glister menerangkan literasi digital dimulai dengan kemampuan untuk mengakses perangkat teknologi, baik perangkat keras maupun lunak, seperti aplikasi dan sistem operasi [11]. Sehingga diketahui langkah awal mahasiswa untuk berliterasi digital diperlukan kemampuan untuk mengakses dan menggunakan perangkat. Literasi digital identik dengan kemampuan literasi melalui media digital berupa perangkat keras dan lunak. Dengan kemampuan awal tersebut, maka mahasiswa terlebih dahulu menyesuaikan aplikasi yang sesuai untuk mencari referensi, informasi, komunikasi, maupun hiburan agar tidak terjadi kesalahan untuk memenuhi tujuan serta kebutuhan.
Tidak hanya dalam aspek kemampuan mengakses, mahasiswa juga menyadari peran informasi digital sangat besar dan penting dalam ruang lingkup sosial dan politik yang didapat melalui literasi digital. Fachry Fauzy menyebutkan “ informasi digital berperan besar bagi kesadaran sosial dan politik mahasiswa agar peka terhadap hal-hal yang berhubungan dengan isu-isu sosial dan politik”. Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa informasi digital berperan terhadap kewarganegaraan mahasiswa. Dengan adanya informasi digital dalam bentuk teks maupun video singkat di media sosial membuat mahasiswa dapat berpikir kritis untuk memahami keadaan sosial politik yang terjadi pada tingkat lokal, nasional, maupun internasional. Taufik Rivaldi menerangkan “bahwa banyak mahasiswa yang saya lihat ikut nimbrung atau menyenggol berita-berita pemerintahan yang sedang viral di media sosial, jadi menurut saya bikin sadar di zaman sekarang”. Mahasiswa prodi Tadris IPS UIN Sumatera Utara telah menunjukkan kesadaran yang memasuki tahap lanjutan berliterasi digital. Hal tersebut selaras dengan pernyataan Bawden yang mendefenisikan literasi digital sebagai keterampilan yang digunakan untuk mengakses, memahami, merangkai, dan menyebarkan informasi(Syafrizal, 2023:26). Kesadaran tersebut tidak muncul secara instan, melainkan sebagai wujud dari keterpaparan secara intens yang dihadirkan oleh platform digital berupa isu-isu sosial dan politik sehingga berkembangnya kompetensi literasi digital mahasiswa dalam mengakses dan memahami informasi.
Sejalan dengan meningkatnya kesadaran sosial dan politik mahasiswa prodi Tadris IPS UIN Sumatera Utara, perkembangan informasi digital semakin signifikan yang memiliki dampak nyata terhadap kemudahan arus interaksi, mencari sumber pengetahuan dan tanggapan setiap individu terhadap isu-isu publik. Dinda Dyah Pitaloka menerangkan bahwa “perkembangan teknologi sudah signifikan, karena hal itu apalagi kita sebagai mahasiswa kalua kita tidak peka terhadap era digital, maka kita akan ketinggalan informasi dan juga bisa ketinggalan zaman”. Pada kenyataannya, di era serba digital mengharuskan kita untuk ikut aktif berperan dalam memanfatkan kemudahan baik untuk mencari pengetahuan ataupun kejadian yang terjadi di publik tanpa pandang bulu. Tetapi, dibalik itu semua kita harus waspada terhadap kemudahan yang sudah didapatkan melalui platform digital yang tidak tahu dampak untuk kedepannya. Putri Audya Sari juga mengungkapkan “menurut Saya, kemudahan teknologi dan informasi saat ini dampaknya yaitu seimbang 50 banding 50 antara dampak positif dan negative. Kalua dampak positifnya yaitu kita dapat lebih mudah untuk mencari dan mendapatkan pengetahuan. Sedangkan dampak negatifnya adalah banyaknya informasi palsu”. Hal tersebut selaras dengan pernyataan Paul Glister mengenai aspek penting keterampilan digital yaitu kemampuan memahami dampak sosial dan budaya dari penggunaan teknologi digital [13]. Pernyataan diatas dapat dipahami bahwa perkembangan informasi digital sangat penting, tetapi terdapat dampak yang dihasilkannya. Kemudahan karena adanya media digital sekarang banyak ditemui dimanfaatkan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab untuk membuat informasi hoaks yang sifatnya mengundang kegaduhan.
Melalui pengamatan tidak langsung melaui konten-konten di sosial media, peneliti telah mengelompokkan beberapa dampak positif dan dampak negatif perkembangan informasi digital, diantaranya sebagai berikut:
1.Dampak Positif Informasi Digital
a.Kemudahan akses informasi, yaitu segala informasi di berbagai bidang dapat dicari melalui platform digital yang tersedia, misalnya melalui Goggle.
b.Kemudahan akses komunikasi, yaitu komunikasi dapat terjalin dengan lancer melalui platform media sosial, seperti Whatsapp meskipun berjarak jauh.
c.Transformasi dalam bidang pendidikan, yaitu ditemui sekarang ini akses pendidikan banyak dilakukan melalui daring apabila terdapat hal yang menghalangi, misalnya menggunakan aplikasi Zoom atau Google Meet.
d.Kemudahan berinovasi dalam dunia bisnis, yaitu banyak ditemui dalam bidang bisnis berinovasi pada ranah digital untuk menarik perhatian konsumen, misalnya masing-masing pengusaha mengadakan live ataupun konten yang isinya memuat diskon dari harga yang ditawarkan.
e.Efisiensi pekerjaan meningkat dengan media digital, yaitu dengan adanya media digital pekerjaan dapat dimudah untuk diperiksa tanpa memakan waktu yang lama, contohnya sekarang banyak tersedia aplikasi atau AI yang dapat membantu pekerjaan manusia agar lebih cepat dan tepat.
2.Dampak Negatif Informasi Digital
a.Lemahya privasi dan keamanan, yaitu keadaan dimana informasi pribadi dapat mudahnya diretas oleh oknum yang tidak bertanggung jawab, contohnya banyaknya ditemui akun-akun media sosial seseorang yang diretas dan dimanfaatkan untuk meminta uang ataupun pulsa.
b.Kecanduan menggunakan internet, yaitu keadaan individu yang tidak dapat lepas dari kecanduan gadget, sebagai contoh kecanduan game dan dance TikTok
c.Perubahan interaksi digital, yaitu kemudahan diera digital berdampak pada interaksi tergambarkan oleh seseorang yang lebih dominan berinteraksi secara online dbandingkan ofline.
d.Penyebaran informasi palsu, yaitu dimana informasi ataupun berita yang dibuat bertujuan untuk menggiring masyarakat kepada hal perpecahan, contohnya adanya berita mengenai adanya pendaftaran JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) gratis pada tanggal 27 Mei 2025.
e.Pelanggaran hak cipta, yaitu terdapat kecurangan pengakuan hak cipta yang nyatanya adalah ciptaan orang lain, contohnya terdapat berita salah satu mahasiswa yang melakukan plagiarisme teman sekelas untuk kebutuhan kelulusan kuliah.
B.Kompetensi Literasi Demokrasi Mahasiswa Prodi Tadris IPS UIN Sumatera Utara dalam Ruang Lingkup Memahami Hak dan Kewajiban sebagai Warga Negara
Setelah membahas bagaimana literasi digital mahasiswa dalam menghadapi arus informasi, penting juga untuk mengkaji pemahaman mahasiswa terkait hak dan kewajiban sebagai warga negara berdasarkan literasi demokrasi yang tumbuh dalam keseharian mereka. Literasi demokrasi dapat diartikan sebagai kemampuan individu untuk memahami hak dan kewajiban sebagai warga negara, berpikir kritis, dan ikut berpartisipasi dalam proses demokrasi baik secara langsung maupun tidak langsung. Singkatnya, literasi demokrasi adalah bekal penting bagi setiap warga negara untuk ikut serta dalam membangun masyarakat yang demokratis, bermartabat, dan sejahtera.
Secara umum, hak asasi manusia dan kewajiban warga negara di Indonesia tercermin dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Sebagai mahasiswa, menyadari bahwa hak mahasiswa sebagai warga negara yaitu hak atas pendidikan, hak menyuarakan pendapat, serta hak berpartisipasi dalam kegiatan sosial dan politik. Hasil wawancara mahasiswa prodi Tadris IPS UIN Sumatera Utara menunjukkan mereka memiliki pemahaman yang baik mengenai demokrasi, hak dan kewajiban sebagai warga negara. Hal tersebut diterangkan oleh Nur Aisyah “Memahami demokrasi sebagai kesempatan menyuarakan pendapat dan untuk memperoleh pendidikan,ikut aktif kegiatan sosial termasuk ikut dalam pemilu dan isu kebangsaan”. Pernyataan tersebut menunjukkan adanya kesadaran kritis terhadap demokrasi substantive,bukan hanya demokrasi prosedural. Hal tersebut sejalan dengan teori yang disampaikan oleh Westheimer dan Kahne bahwa nilai demokrasi memiliki kedudukan yang sama dengan akademik, berprioritas terhadap beragam individu untuk bertanggung jawab dan aktif berpartisipasi [14].
Pada aspek memahami hak dan kewajiban sebagai warga negara, dimana hak diartikan sesuatu yang pantas didapatkan, dan kewajiban diartikan sebagai sesuatu yang harus dilakukan untuk negara ini. Adapun hak untuk warga negara berdasarkan UUD 1945 Pasal 28A sampai 28J terbagi menjadi tiga, diantaranya yaitu hak untuk hidup, hak atas kebebasan berpendapat, hak atas perlindungan hukum, dan hak atas pendidikan. Sedangkan kewajiban sebagai warga negara diantaranya yaitu kewajiban untuk mematuhi hukum, kewajiban berpartisipasi dalam pembangunan, dan kewajiban untuk menjaga persatuan dan kesatuan [15]. Rifki menyatakan “Saya sadar punya hak untuk belajar dan berpendapat, tetapi juga punya kewajiban untuk ikut aktif dan taat aturan kampus”. Pernyataan tersebut dimaknai bahwa sebagai mahasiswa memahami hak warga negara untuk belajar dan berpendapat, tetapi pada kewajiban dipahami sebagai mahasiswa berkewajiban mematuhi peraturan kampus salah satunya membayar kwajiban administrasi seperti UKT (Uang Kuliah Tunggal). Sebagaimana dijelaskan oleh UNESCO terkait literasi demokrasi dimana demokrasi menuntut setiap warga negara untuk berpartisipasi dalam membangun tata kelola dan fungsi penting masyarakat [14].
Di era digital saat ini telah menghadirkan perubahan yang siginifikan dalam sega aspek. Salah satu aspek yang terkena dampak pada era digital adalah dunia politik dalam ruang lingkup demokrasi. Media digital dimanfaatkan para politikus untuk melancarkan tujuan yang telah direncanakan dan masyarakat berperan sebagai konsumen dari informasi digital yang disajikan. Demokrasi sebagai sistem yang dianut bangsa Indonesia juga mulai mengalami perubahan akibat adanya era digital. Publik secara siginifkan dapat mengamati secara langsung terhadap arus dunia politik dan sistem demokrasi Indonesia saat ini. Sebagai salah satu warga Indonesia, Putri Audya menyadari apa yang terjadi dengan demokrasi di Indonesia, ia menyatakan “Sistem demokrasi Indonesia saat ini sedikit mundur, karena dapat dilihat dari berita yang terjadi belakangan ini”. Arti kemunduran yang dimaksud bukan pada rakyatnya, melainkan pada pemerintahannya yang mulai tidak memegang prinsip demokrasi. Semakin jelas kemunduran yang muncul membuat masyarakat semakin maju untuk menyuarakan prinsip demokrasi. Seperti yang disampaikan oleh Ariq “Demokrasi tidak hanya sebatas bebas berpendapat, tetapi setiap warga memiliki hak yang sama seperti hak untuk mendapatkan pendidikan dan kesehatan yang sama”. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Robert A. Dahl menjelaskan bahwa hak-hak warga negara dalam sistem demokrasi merupakan sebagian dari kontrol rakyat terhadap penguasa. Adapun ciri khas demokrasi menurut Robert A. Dahl, yaitu sikap tanggap pemerintah secara terus menerus terhadap preferensi atau keinginan warga negaranya [16].
Berdasarkan ungkapan Robert A. Dahl mengenai demokrasi, dapat dimaknai bahwa dalam sistem demokrasi warga negara merupakan instrument kontrol politik yang menjadi alat untuk mengawasi, mengarahkan, dan membatasi kekuasaan pemerintah. Selain itu, demokrasi tidak hanya sebatas sistem prosedural, melainkan mencakup substansial. Demokrasi substansial merupakan demokrasi yang substansinya meliputi penggunaan prinsip demokrasi seperti kebebasan individu untuk mengkritik, dan pemerintah mendengarkan dan merespons aspirasi rakyat [17]. Peneliti menemukan kesenjangan, melalui observasi secara tidak langsung diketahui bahwa pada saat pesta politik tahun 2024 atas pencalonan presiden dan wakil presiden Indonesia, dimana seorang wakil presiden tidak memenuhi persyaratan batasan umur untuk menjadi wakil presiden. Beramai-ramai warga Indonesia melalui platform digital yang tersedia menyuarakan pendapatnya bahwa hal tersebut telah melanggar peraturan yang semestinya dilaksanakan. Namun, pada kenyataannya suara-suara tersebut diacuhkan dan sekarang sudah diangakat menjadi wakil presiden Indonesia periode tahun 2024-2029. Hal tersebut dapat dikatakan bahwa sistem demokrasi Indonesia saat ini sedang tidak stabil, karena dalam menentukan seorang wakil presiden sudah melanggar peraturan perundang-undangan yang sudah ada. Selain itu, aspirasi rakyat juga tidak didengarkan oleh pemerintah. Bentuk demokrasi yang baik dapat digambarkan bahwa antara rakyat saling bekerja sama, dimana rakyat mendapatkan hak dengan semestinya, dan pemerintah menjamin hak rakyat yang sebenarnya.
C.Persepsi dan Penilaian Mahasiswa Prodi Tadris IPS UIN Sumatera Utara Terkait Menangnya Bobby Nasution dalam Pemilihan Gubernur Sumatera Utara
Provinsi Sumatera Utara telah mengalami pesta pemilihan umum pada tahun 2024 sebagai salah satu bagian proses demokrasi Indonesia. Sumatera Utara treletak di bagian utara pulau Sumatera yang secara geografis terdiri dari pegunungan, dataran rendah, dan dikelilingi oleh Samudera Hindia bagian barat, dan Selat Malaka di bagian timur. Sumatera Utara dikenal sebagai daerah yang kaya akan keberagamannya, mulai dari agama, suku, ras dan budaya, serta adat istiadatnya. Keberagaman tersebut memiliki pengaruh dalam kehidupan sosial dan politik di daerah Sumatera Utara. Dalam pelaksanaan pemilu saat ini sangat menjadi perhatian khusus karena penggunaan media sosial menjadi tempat pelaksanaan kampanye. Selain itu, pihak Komisi Pemilihan Umum (KPU) memanfaatkan media sosial sebagai instrument untuk mensosialisasikan tentang pemilu. Oleh karena itu, dapat diketahui bahwa adanya kecanggihan media digital sangat bermanfaat dalam duni politik dan demokrasi yang menunjukkan tingkat partisipasi masyarakat semakin meningkat.
Persepsi dan penilaian merupakan salah satu kriteria demokrasi elektoral yang mengakui tingkat kebebasan rakyat untuk berpartisipasi dalam pemilihan pemimpin pemerintahannya. Pemilihan gubernur Sumatera Utara menjadi fokus penelitian ini sebagai arena demokrasi lokal. Dari hasil wawancara yang telah dilakukan, mahasiswa prodi Tadris IPS UIN Sumatera Utara menunjukkan tingkat partisipasi yang baik ketika pelaksanaan pemilu gubernur Sumatera Utara tahun 2024. Hal tersebut dinyatakan oleh Fachry " Partisipasi mahasiswa dalam pemilu menurut saya cukup baik, karena timbulnya rasa untuk memilih pemimpin yang sesuai dengan isi hati dan rasa pertimbangan". Berdasarkan pernyataan tersebut berkaitan dengan konsep minimalis demokrasi elektoral yang dicetuskan oleh Larry Diamond yaitu demokrasi elektoral mengakui tingkat kebebasan (berbicara, pers, organisasi, dan berserikat) agar kompetensi dan partisipasi masyarakat lebih bermakna [16]. Dengan demikian pernyataan informan tersebut menunjukkan bahwa partisipasi mahasiswa dalam pemilu tidak hanya mencerminkan hak pilih secara prosedural, tetapi juga secara elektoral dimana mahasiswa membuat hak pilihnya berdasarkan persepsi diri serta pertimbangan hati.
Bobby Afif Nasution dan Surya merupakan pasangan gubernur Sumatera Utara yang menang dalam pemilihan umum tahun 2024. Dikutip dari Detik.com keduanya menang dengan memiliki hasil suara terbanyak yaitu 3.645.611 suara [18]. Kemenangan tersebut menarik perhatian untuk dikaji perihal persepsi dan penilaian yang merupakan aspek demokrasi elektoral tingkatan lokal oleh mahasiswa Prodi Tadris IPS UINSU dengan menangnya Bobby Nasution sebagai gubernur Sumatera Utara. Beberapa mahasiswa menyatakan kepuasan dan harapan terhadap kepemimpinan Bobby Nasution, dan sebagian lainnya menyatakan ketidakpuasan yang dihubungkan dengan jejak beliau sebagai walikota Medan tahun 2020. Pada hasil wawancara, diketahui Rizki menyebutkan "Saya cukup puas dengan kemenangan Bobby Nasution karena melihat kinerja beliau sebagai walikota Medan dahulu". Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa Rizki memiliki "anchor" atau sikap awal yang positif terhadap Bobby Nasution. Menurut Muzafer Sherif mengemukakan bahwa sikap awal atau referensi internal dalam diri merupakan referensi point. Referensi internal sebagai referensi point terbentuk melalui pengalaman masa lalu yang nantinya akan menghasilkan informasi baru. Dengan demikian, sikap awal positif yang terdapat dalam diri Rizki menempatkan pada daerah lattitude of acceptance. Lattitude of acceptance dalam teori penilaian sosial Muzafer Sherif merupakan sikap penerimaan yang dihasilkan melalui referensi internal [19]. Sikap awal positif menempatkan Rizki menjadi warga Sumatera Utara yang cenderung menerima kemenangan tersebut sebagai sesuatu yang wajar dan layak.
Berlawanan dengan Rizki yang menunjukkan sikap penerimaan terhadap kemenangan Bobby Nasution, terdapat juga mahasiswa yang menempatkan kemenangan tersebut dalam wilayah latitude of rejection, yaitu sikap penolakan berdasarkan referensi internal yang negatif. Sikap ini ditunjukkan oleh Taufik yang menyebutkan “Saya tidak puas, karena saya melihat banyak program yang dijanjikan saat jadi Wali Kota Medan tidak terealisasikan dengan baik”. Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa Taufik memiliki anchor atau sikap awal skeptis terhadap Bobby Nasution yang akhirnya menghasilkan persepsi penolakan. Menurut Muzafer Sherif, latitude of rejection merupakan zona penolakan dimana individu menerima informasi tidak menyetujui informasi yang didapatkan [20]. Hal tersebut dapat terjadi karena informasi yang diterima bertolak belakang dengan referensi internal. Jadi dapat diketahui persepsi penolakan merefleksikan bagaimana sikap awal yang bersifat negatif terhadap tokoh politik dapat membentuk cara pandang seseorang yang cenderung defensive terhadap informasi baru, meskipun informasi yang didapatkan melalui media yang bersifat netral atau positif.
Diantara sikap penerimaan (latitude of accpetnt) dan sikap penolakan (latitude of rejection), dalam teori penilaian sosial Muzafer Sherif juga menerangkan tentang sikap netral (latitude of non-commitment). Pada hasil wawancara ditemukan terdapat mahasiswa Prodi Tadris IPS UIN Sumatera Utara yang menempatkan dirinya kepada sikap netral terkait persepsi dan penilaian kemenangan Bobby Nasution sebagai gubernur Sumatera Utara. Nabila menyebutkan “Saya tidak banyak berkomentar, karena belum tahu juga program pastinya apa. Tetapi, kalua di lihat dari sosial media banyak yang positif tentang Bobby Nasution”. Pernyataan Nabila merefleksikan bahwa ia di posisi tidak sepenuhnya menolak ataupun menerima kemenangan Bobby Nasution. Karena, penilaian tersebut hanya berdasarkan pada kesan umum yang dikonsumsi melalui sosial media tanpa disertai analisis pengetahuan mendalam terkait rekam jejak kandidat. Sikap Nabila tercermin dalam teori penilaian sosial Muzafer Sherif yaitu kondisi dimana audiens belum memiliki sikap yang kuat terhadap topik tertentu [21]. Kondisi tersebut terjadi dikarenakan informasi yang diterima tidak mempengaruhi secara siginifikan baik tidak sesuai ataupun bertentangan dengan sikap awalnya yang belum terbentuk secara kuat antara menerima atau menolak. Individu seperti itu cenderung memilih sikap berhati-hati dalam menerima informasi untuk lebih lanjut seperti dalam menentukan sikap politiknya.
Persepsi dan penilaian mahasiswa Prodi Tadris IPS UIN Sumatera Utara menunjukan kebaragaman layaknya wilayah di Sumatera Utara. Sebagai seorang pemimpin di daerah sudah semestinya tidak jauh dari persepsi dan penilaian yang diberikan oleh masyarakat. Penilaian penerimaan dapat dijadikan pegangan agar tetap optimis memegang kepercayaan masyarakat. Penilaian penolakan dapat dijadikan evaluasi terhadap segala hal yang akan diberikan kepada masyarakat untuk menjadi lebih baik. Sedangkan penilaian netral dapat dijadikan acuan untuk lebih memperkuat komunikasi politik di ruang publik. Kebergaman penilaian tersebut menunjukan bahwa tingkat demokrasi elektoral di Sumatera Utara cukup baik yang digambarkan oleh mahasiswa Prodi Tadris IPS UIN Sumatera Utara.
Temuan ini memperkuat model konseptual bahwa kompetensi literasi digital berkontribusi pada pembentukan literasi demokrasi. Mahasiswa yang memiliki kemampuan untuk mengakses, mengevaluasi, dan memahami informasi digital secara kritis juga menunjukkan pemahaman yang lebih baik terhadap hak dan kewajiban sebagai warga negara serta lebih aktif berpartisipasi dalam proses demokrasi. Dengan demikian, perguruan tinggi memiliki peluang besar untuk meningkatkan kualitas partisipasi politik mahasiswa melalui penguatan literasi digital, khususnya dengan menyasar mahasiswa non-organisasi yang rentan terhadap apatisme politik. Peningkatan literasi digital tidak hanya akan mendorong keterlibatan politik, tetapi juga menciptakan mahasiswa yang lebih kritis, aktif, dan bertanggung jawab dalam kehidupan demokratis.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa mahasiswa Prodi Tadris IPS UIN Sumatera Utara telah menunjukkan kompetensi literasi digital yang cukup baik, ditandai dengan kemampuan mengakses, memahami, dan menggunakan informasi digital secara sadar dan bertanggung jawab, khususnya dalam isu sosial dan politik. Mahasiswa tidak hanya sebagai konsumen informasi, tetapi juga aktif membentuk opini publik melalui media digital. Literasi demokrasi mereka juga tergolong baik, tercermin dalam pemahaman terhadap hak dan kewajiban sebagai warga negara serta partisipasi dalam kegiatan politik seperti pemilu. Selain itu, persepsi mahasiswa terhadap kemenangan Bobby Nasution sebagai gubernur Sumatera Utara beragam, yang dipengaruhi oleh paparan informasi digital dan pengalaman personal, menunjukkan adanya pemaknaan politik yang bersifat reflektif dan kritis.
Namun, penelitian ini memiliki keterbatasan, yaitu jumlah informan yang terbatas dan fokus pada satu program studi serta satu wilayah lokal, sehingga hasilnya belum dapat digeneralisasi untuk semua konteks mahasiswa atau wilayah lain di Indonesia. Selain itu, data hanya diperoleh dari wawancara dan dokumentasi tanpa dukungan data kuantitatif yang lebih luas.
Untuk penelitian selanjutnya, disarankan agar melibatkan sampel yang lebih beragam dan lintas institusi, serta mengombinasikan metode kuantitatif dan kualitatif untuk memperoleh hasil yang lebih komprehensif. Perlu juga dikembangkan modul integratif literasi digital dan demokrasi dalam kurikulum pendidikan tinggi guna memperkuat kapasitas kritis generasi digital native secara sistematis.
SARAN
Integrasi literasi digital dan demokrasi perlu diperkuat lagi baik pada tingkat pendidikan tinggi maupun tingkat pendidikan lainnya. Dengan penguatan tersebut diharapkan mampu membantu masyarakat ataupun mahasiswa mudah mengakses informasi dan memahami perannya sebagai warga negara yang kritis dan tanggung jawab, serta mendorong tingkat partisipasi dalam menghadapi isu sosial dan politik baik tingkat nasional maupun lokal di era digital.