Loading [MathJax]/jax/output/HTML-CSS/config.js
Login
Section Innovation in Ecology

Challenging Educational Stereotypes Through the Grass Roots Curriculum Model

Menantang Stereotip Pendidikan Melalui Model Kurikulum Akar Rumput
Vol. 26 No. 3 (2025): July:

Ebtafil Mukti (1), Agus Tinus (2)

(1) Program Pasca Sarjana Pedagogi, Universitas Muhammadiyah Malang, Indonesia
(2) Program Pasca Sarjana Pedagogi, Universitas Muhammadiyah Malang, Indonesia
Fulltext View | Download

Abstract:

In the context of education reform in Indonesia, curriculum innovation at the elementary level remains crucial to address local needs while aligning with national standards. Specifically, Madrasah Ibtidaiyah (MI) Insan Kamil in Tumpang, Malang, has adopted a Grass Roots curriculum development model to integrate Islamic values with contextual learning. However, limited studies have examined the practical application and broader educational impact of this model within Islamic elementary schools, especially its relevance to global educational discourse. This study aims to explore: (1) the design of curriculum development using the Grass Roots approach, (2) managerial strategies in its implementation, and (3) institutional goals in applying the model. The results reveal that the approach empowers educators and communities collaboratively, emphasizing project-based learning that integrates core subjects with local wisdom and Islamic values. The novelty lies in its ability to bridge national curriculum standards with contextualized religious and cultural content, offering a distinct model of grassroots-driven education. This has implications for enhancing student engagement, strengthening local identity, and promoting sustainable, practical learning. The study recommends stakeholder collaboration and improved resource access to optimize this innovative curriculum model in Islamic elementary education.


Highlights:




  • Empowers community and educators through collaborative curriculum design.




  • Integrates Islamic values with project-based and contextual learning.




  • Enhances student engagement and promotes sustainable local education.




Keywords: Grass Roots Model, Curriculum Development, Madrasah Management, Contextual Learning, Islamic Education

Downloads

Download data is not yet available.

EDUCATIONAL STEREOTYPES WITH THE GRASS ROOTS MODEL CURRICULUM AT INSAN KAMIL MADRASAH IBTIDAIYAH (MI) TUMPANG DISTRICT, MALANG REGENCY

( STEREOTIPE PENDIDIKAN DENGAN KURIKULUM MODEL GRASS ROOTS DI MADRASAH IBTIDAIYAH (MI) INSAN KAMIL KECAMATAN TUMPANG , KABUPATEN MALANG )

Abstract . This research to study Grass Roots model implementation development curriculum at the Insan Kamil Elementary School (MI), Tumpang, Malang Regency. Research This discuss goals main the following: (1) understand design development curriculum use approach grass roots, (2) analyzing the managerial strategies used in implementation curriculum, and (3) identify the desired goal achieved by the institution in apply Curriculum approach Grass Roots.

With use methodology study qualitative, research This project dynamics curriculum for fulfil need public with guard harmony with standard education national that is curriculum independence. Findings disclose that curriculum approach Grass Roots empowerment educators and society in a way collaborative to form curriculum that integrates Islamic values with practice life so that push ability student in a way overall.

Curriculum This prioritize learning based on project, merge eye core subjects such as science, mathematics, and literacy with knowledge and culture contextual local. Beside that MI often develops curriculum based on local wisdom or contextual Islamic Values. This makes it seem “special” or not universal so that studies about it are less concodered as general reference in global education . Although​ face challenge like limited source power and necessity training teacher intensive, approach This increase involvement students, improve identity local, and supports education practical sustainable. This study conclude that the grass roots model have significant potential​ for increase relevance and quality education at Madrasah Ibtidaiyah Insan Kamil. Research This recommend strengthening collaboration between stakeholders interests and expansion access to source Power For maximize benefit approach curriculum innovative this.

Keywords - Grass Roots Model Curriculum; Managerial Strategy Curriculum ; Madrasah based management ; C ontextual curriculum .

.

Sekitar tahun 1980-an atau 1990-an sekolah yang berbasis nilai agama Islam masyarakat akan mempunyai pandangan negatif dan tidak mau menyekolahkan anak mereka di sekolah Islam atau madrasah. Mereka cenderung memasukkan anak mereka ke sekolah negeri atau memasukkan anak di sekolah swasta yang berbasis non Islam.

Masyarakat mempunyai pandangan negatif terhadap sekolah yang berbasis Islam. Stigma negatif yang berkembang di masyarakat adalah sekolah berbasis islam terutama madrasah yang bergabung dengan lembaga pondok pesantren atau yang mandiri berdiri diluar lembaga pondok pesantren ini tidak memiliki keunggulan di ilmu pengetahuan dan teknologi serta pendidikan yang diajarkan cenderung konservatif seperti yang diajarkan di pondok pesantren. Dengan dimasukkan di sekolah Islam atau madrasah, masyarakat memandang anaknya hanya akan diajari tentang ilmu agama saja dan tidak diajarkan ilmu pengetahuan umum dan keterampilan yang mendukung kehidupan anak mereka.

Selama bertahun-tahun Madrasah ibtidaiyah yang setingkat sekolah dasar mengalami kondisi yang sangat terpuruk dan tidak diminati oleh masyarakat untuk menyekolahkan anaknya di madrasah ibtidaiyah. Namun beberapa dekade belakangan ini mengalami kebangkitan yang sangat signifikan dan mampu menunjukkan sebagai madrasah ibtidaiyah unggulan dan mempunyai daya saing yang kuat. Perkembangan lembaga pendidikan yang berbasis agama Islam sangat pesat. Banyak sekolah-sekolah yang didirikan dengan konsep pelabelan dan pola pendidikan yang berbasis agama Islam. Sekolah-sekolah yang didirikan secara perorangan maupun kelembagaan dari masyarakat berbasis madrasah yang salah satunya setara dengan sekolah dasar (SD) adalah madrasah Ibtidaiyah.(MI).

Jumlah madrasah yang didirikan oleh masyarakat secara perorangan maupun kelembagaan mengalami peningkatan yang signifikan dari tahun ke tahun. Hal ini bisa dilihat dari data statistik pendidikan islam di tahun 1997, jumlah madrasah yang mencakup Raudhatul Athfal (RA), madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs), dan madrasah Aliyah (MA) di Indonesia sejumlah 47.988 buah, kemudian pada tahun 2015 jumlah madrasah mengalami kenaikan sejumlah 76.551 buah, dengan jumlah siswa lebih dari 8 juta anak. Dari data tersebut menunjukkan adanya kenaikan sekitar 60% selama 8 tahun, atau rata-rata setiap tahun peningkatan 3% .

Sama dengan data yang dikemukakan Education management information system (EMIS) Kemenag, jumlah madrasah mengalami kenaikan. RA, MI, MTs, dan MA yang pada tahun ajaran 2019/2020 secara berturut-turut adalah 29.842 (RA), 25.593 (MI), 18.176 (MTs), dan 8.807 (MA) mengalami perubahan 30.098 (RA), 25.816 (MI), 18.346 (MTs), dan 9.131 (MA) di Tahun ajaran 2020/2021. Begitu juga dengan jumlah pesarta didik, di tahun ajaran 2019/2020 semester ganjil, jumlah keseluruhan peserta didik dari RA hingga MA sebanyak 9.450.198 siswa. Sedangkan pada semester ganjil tahun ajaran 2020/2021 jumlah peserta didik mengalami kenaikan menjadi 9.450.284 siswa. Dari data tersebut jumlah rata-rata madrasah ibtidaiyah baru mengalami kenaikan 8% setiap tahun. Hal yang serupa juga dikemukakan oleh Sekretaris Jenderal pendidikan Islam Ali Ramadhani .

Dengan adanya data penelitian tentang jumlah Madrasah mulai dari tingkat dasar sampai menengah atas yang dikuti oleh minat siswa yang masuk di madrasah belum ada penelitian fenomena yang mengungkapkan kenaikan yang sangat signifikan di pendidikan madrasah terutama di Madrasah Ibtidaiyah yang berada di pedesaan. Begitu juga dengan perkembangan madrasah ibtidaiyah didaerah kecamatan tumpang, kabupaten malang mengalami peningkatan perkembangan yang sangat pesat salah satunya adalah madrasah ibtidaiyah (MI) Insan Kamil Tumpang Malang. Madrasah ini sejak berdiri sampai sekarang sudah berjalan kurang lebih 7 tahun. Dari tahun ke tahun jumlah peserta didik yang masuk ke Madrasah Ibtidaiyah (MI) Insan Kamil mengalami peningkatan. Jumlah peserta didik yang meningkat menandakan tingkat kepercayaan masyarakat pada lembaga pendidikan berbasis Islam madrasah ibtidaiyah semakin meningkat tajam.

Madrasah ibtidaiyah merupakan tingkat pendidikan yang paling dasar dari pendidikan madrasah. Madrasah ibtidaiyah juga lembaga pendidikan yang setara dengan sekolah dasar (SD) dengan ciri keagamaan terutama Islam yang sangat kuat. Sama dengan sekolah dasar, para siswa juga diajarkan ilmu-ilmu pengetahuan dasar dan umum. Lembaga pendidikan madrasah ibtidaiyah dipilih oleh masyarakat karena adanya kombinasi pendidikan bercirikan pesantren dengan menanamkan nilai-nilai islam dan pengetahuan umum yang sama diajarkan di sekolah umum.

Lembaga pendidikan madrasah merupakan lembaga pendidikan islam yang lebih modern dengan memadukan antara pendidikan pesantren dan sekolah yang materinya terintegrasi antara agama dan pengetahuan umum. Madrasah memiliki fungsi menghubungkan sistem lama dengan sistem baru dengan cara mempertahankan nilai-nilai lama yang masih bagus serta dapat dipertahankan untuk mengambil sesuatu yang baru dalam ilmu dan teknologi, yang bermanfaat bagi kehidupan umat Islam. Sedangkan isi kurikulum madrasah pada umumnya sama dengan pendidikan di pondok pesantren ditambah dengan ilmu-ilmu umum yang diajarkan disekolah umum non madrasah .

Perkembangan madrasah secara umum di Indonesia mengalami pasang surut atau diibaratkan hidup enggan matipun segan terhadap kondisi madrasah sekitar tahun 1980-1990-an. Madrasah mulai mengalami peningkatan pesat di tahun 2000-an dengan semakin sadarnya orang tua terhadap kebutuhan pendidikan agama islam pada anak-anak mereka. Madrasah memiliki ketangguhan dan keunggulan yang sudah teruji bertahun-tahun. Keterujian madrasah secara umum dalam daya hidup (survival), daya juang, daya tahan (elant vital) dapat dibuktikan bahwa madrasah mempnyai kemampuan adaptasi hidup di segala zaman dan keadaan, sejak zaman penjajahan belanda, jepang, kemerdekaan, revolusi politik orde baru, orde baru, reformasi, hingga abad 21 yang semakin menunjukkan eksistensi madrasah tumbuh pesat. Hal ini bisa dibandingkan dengan keberadaan sistem persekolahan yang lain, misalanya sekolah taman siswa yang pernah menjadi sekolah favorit unggulan dijaman belanda, jepang, awal kemerdekaan, dan awal orde baru, dalam perkembangannya mengalami kemunduran atau kalah bersaing dengan sekolah negeri pada saat pemerintah orde baru gencar melakukan pembangunan sekolah negeri terutama setingkat SLTP di era 1980-an. Sistem persekolahan yang lain yaitu PGRI yang populer sebagai sekolah swasta di era 1985-an berbarengan dengan berdirinya SMP / SMA negeri ternyata juga sebagian besar mengalami kebangkrutan dan terpaksa tutup ketika harus bersaing dengan madrasah di era 1990-an .

Sedangkan daya adaptasi dan evolusi bisa dilihat dengan fakta ketika zaman penjajahan, madrasah merupakan lembaga pendidikan diluar lingkaran sistem pendidikan dan persekolahan yang diakui atau didirikan penjajahan belanda dan jepang. Ketika terjadi revolusi kemerdekaan para tokoh muslim memperjuangkan keberadaan madrasah masuk pada sistem pendidikan nasional. Sehingga berhasil dikeluarkan SKB tiga menteri 1975, UU No. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, GBHN tahun 1993 yang pertama kali memuat istilah madrasah yaitu SD/MI, UU No. 20 tahun 2003 tentang SISDIKNAS maupun berbagai peraturan penunjangnya. Saat ini madrasah sudah menjadi bagian inti dari sistem pendidikan nasional. Walaupun madrasah sudah menjadi sekolah bercirikan agama Islam, tetap tidak pernah kehilangan jati diri sebagai lembaga pendidikan yang mengajarkan agama islam. Sebenarnya madrasah memiliki kemampuan beradaptasi dan berevolusi sesuai keadaan disekitar tapi bisa tetap mempertahankan jati diri sebagai bagian penting lembaga pendidikan Islam .

Dalam pengembangan pendidikan di daerah yang notabene adalah pedesaan diperlukan sebuah pemikiran dan kerja ekstra supaya lembaga pendidikan yang didirikan yang hal ini Madrasah ibtidaiyah (MI) Insan Kamil Tumpang malang dapat bertahan dan bisa berkembang. Pengembangan bukan hanya memikirkan kelengkapan prasarana dan sarana yang dimiliki untuk menarik masyarakat supaya mau menyekolahkan anak pada MI Insan Kamil ini, tapi juga penyelenggaraan pendidikan MI Insan Kamil harus mempunyai kemampuan dalam menyusun kurikulum dan metode pembelajaran pengajaran yang menarik bagi calon peserta didik.

Suatu lembaga pendidikan yang dapat bertahan dan bisa berkembang diperlukan suatu acuan dasar atau disebut benchmark yang merupakan suatu proses untuk membandingkan sesuatu yang sejenis melalui tolak ukur yang sudah ditentukan. Benchmark ini dilakukan oleh penyelenggara pendidikan MI Insan Kamil dengan tujuan mendapatkan hasil perbandingan sehingga bisa melakukan perbaikan dan untuk pengembangan yang lebih baik . Dalam mempertahankan dan mengembangkan sebuah produk atau merk, sebuah lembaga pendidikan dalam hal ini adalah Nama sekolah yang selalu dapat dikenal dan dipercaya masyarakat maka harus mempunyai perbandingan diantara lembaga pendidikan atau sekolah lain yang memiliki keunggulan spesifik yang tidak dipunyai sekolah yang lain dalam satu area atau wilayah tertentu.

Penyelenggaraan pendidikan Madrasah bukan hanya memberikan pendidikan tapi juga bisa memberikan kehidupan pada anak peserta didik. Karena pendidikan itu adalah kehidupan.maka kegiatan belajar harus dapat membekali peserta didik dengan kecakapan hidup (life skill atau life compentence) yang sesuai dengan lingkungan kehidupan dan kebutuhan peserta didik. Unesco (1984) mengemukakan dua prinsip pendidikan yang relevan dengan dunia pendidikan di Indonesia: pertama, pendidikan harus diletakkan pada empat pilar, yaitu belajar mengetahui (learning to know), belajar melakukan (learning to do), belajar hidup dalam kebersamaan (learning to live together), belajar menjadi diri sendiri (learning to be); kedua belajar seumur hidup (life long learning) .

Jantung dari kehidupan lembaga pendidikan yang bisa dijadikan benchmark adalah kurikulum. Kurikulum itu sendiri merupakan pedoman mendasar dalam proses belajar dan mengajar didunia pendidikan. Bertahan dan berhasil sebuah lembaga pendidikan, mampu tidaknya seorang anak didik dan pendidik menyerap dan memberikan pengajaran, serta sukses atau tidaknya suatu tujuan pendidikan itu bisa dicapai semua tergantung pada kurikulum yang diterapkan. Bila kurikulum yang dikembangkan dilakukan secara sistematis, komprehensif, dan integral dengan segala kebutuhan pembelajaran anak didik untuk mempersiapkan diri menghadapi kehidupannya, tentu hasil atau outputnya pendidikan itu mampu mewujudkan harapan. Tapi bila tidak, kegagalan demi kegagalan dapat terus mengikuti dunia pendidikan .

Kurikulum memegang peranan kunci dalam pendidikan karena berkaitan dengan penentuan arah, isi, dan proses pendidikan yang pada akhirnya menentukan macam dan kualifikasi output lulusan sebuah lembaga pendidikan. Kurikulum menyangkut perencanaan dan pelaksanaan pendidikan baik dalam lingkup kelas, sekolah, daerah, wilayah maupun nasional. Semua pihak berkepentingan dengan kurikulum terutama lembaga pendidikan, karena kurikulum merupakan kunci utama dalam tercapainya tujuan pendidikan dalam masyarakat .

Pengembangan kurikulum merupakan sesuatu hal yang harus dilaksanakan oleh setiap lembaga pendidikan atau sekolah. Hal ini agar tujuan pendidikan dapat tercapai maksimal. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Dirjen Diknas Kemendiknas Indra Jati Sidi :

“Lembaga pendidikan atau Sekolah tidak dilarang untuk pengembangan kurikulumnya sendiri. Dalam kaitan ini sekolah seharusnya lebih kreatif dan inovatif untuk mengembangkan kurikulum yang bermanfaat bagi peserta didik, tanpa harus menunggu petunjuk dari pemerintah. Hanya saja pengembangan itu harus tetap berdasarkan pada desain kurikulum nasional yang berlaku”.

Kebebasan sekolah untuk mengembangkan kurikulum secara mandiri sesuai kebutuhan sekolah seperti apa yang dikemukakan oleh Dirjen Diknas Kemendikns Indra Jati Sidi, bisa dijadikan peluang sekaligus tantangan bagi pelaku pendidikan terutama bagi kepala sekolah dalam birokrasi pendidikan yang ada di lembaga pendidikan atau sekolah .

Dengan adanya keleluasaan dalam penerapan kurikulum di sekolah, maka penyelenggaraan pendidikan atau sekolah harus mempunyai kemampuan kreatifitas dan inovasi dalam pengembangan kurikulum yang berlaku di sekolah. Pengkombinasian kurikulum yang diterapkan secara nasional yaitu kurikulum merdeka dengan kurikulum muatan lokal yang disusun sekolah. Kurikulum yang disusun pemangku kebijakan penyelenggaraan pendidikan berdasarkan kebutuhan sekolah, pendidik, dan siswa biasanya di kenal dengan kurikulum grass roots.

Di sisi lain perkembangan pendidikan yang pesat secara nasional memerlukan perubahan kurikulum nasional yang terjadi dari kurikulum 2013 atau K-13 berubah menjadi Kurikulum Merdeka yang merupakan kebutuhan secara nasional untuk pengembangan kurikulum. Kebutuhan penggantian kurikulum 2013 menjadi kurikulum merdeka dapat dilihat dari beberapa alasan. Kurikulum 2013 dianggap kurang fleksibel dan tidak bisa adaptasi dengan perubahan yang terjadi di dunia pendidikan dan masyarakat. Kurikulum merdeka berusaha membentuk siswa yang tangguh, mandiri, dan kreatif melalui pendekatan yang moderat dan inklusif. . Kurikulum Merdeka merupakan upaya untuk memperkuat otonomi pendidikan di sekolah. Kurikulum ini memberikan sekolah keleluasaan yang lebih besar untuk membuat kurikulum yang lebih sesuai dengan kondisi potensi daerah dan kebutuhan siswa. Hal ini akan mendorong pendidikan yang lebih terbuka, beragam, dan punya hubungan dengan konteks lokal .

Kebebasan pengembangan kurikulum yang berdasarkan kebutuhan lokal di sekolah maka bisa dilakukan pendekatan grass roots. Pendekatan ini digunakan untuk menjabarkan aplikasi Kurikulum Merdeka yang berlaku nasional dengan kurikulum lokal yang disusun dan diterapkan di sekolah. Kurikulum Merdeka yang berlaku nasional bisa disebut kurikulum administrative atau kurikulum top down dan line staf procedure. Ketiga istilah ini mempunyai pengertian yang sama yaitu suatu pendekatan atau proses pengembangan kurikulum yang dilaksanakan oleh tim atau pejabat tingkat pusat sebagai pemilik dan pembuat kebijakan. Kurikulum yang berlaku nasional merupakan wewenang dari pemerintah pusat dengan menyiapkan tim pengembangan kurikulum sendiri., sedangkan satuan pendidikan yang diselenggarakan pemerintah maupun lembaga swasta dan para gurunya tinggal melaksanakan pembelajaran di sekolah .

Untuk kebutuhan di suatu lembaga pendidikan dilakukan penyesuaian terhadap kurikulum nasional yang berlaku di Indonesia. Sekolah masih melakukan penyusunan ulang dalam melaksanakan kurikulum nasional dengan melakukan pencampuran atau blending dengan kurikulum bermuatan lokal yang disesuaikan dengan kebutuhan sekolah. Pencampuran atau blending kurikulum antara kurikulum nasional dan kurikulum muatan lokal bisa dilakukan pendekatan atau prosedur grass roots.

Penggunaan kurikulum dengan model grass roots untuk pengembangan kurikulum di sekolah atau madrasah dasar dapat dilihat pada penelitian sebelumnya yang di lakukan oleh Pratiwi et al (2022) pada SD Negeri 104 Palembang mengemukakan bahwa di SDN 104 Palembang menerapkan kurikulum nasional dengan pengembangan lokal yang berdasarkan pada inisiatif guru dan kepala sekolah. Di sekolah tersebut dibentuk tim guru dalam penyusunan atau memperbaiki komponen kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan (materi ajar, aktivitas, evaluasi). Penggunaan model grass roots dalam kurikulum sangat berguna dalam menyesuaikan kurikulum ke dalam karakteristik sekolah juga dapat meningkatkan relevansi dan kemandirian guru . Pengembangan kurikulum dengan model grass roots bisa dilihat pada penelitian yang dilakukan oleh Sri Atin & Rokhimawan (2023) yang dilakukan di Madrasah Ibtidaiyah tapi tidak dijelaskan spesifik lokasinya MI, menyebutkan bahwa program pengembangan diri (self-development) yang dijalankan oleh MI (seperti Tahfid Camp, Ramadhan Ceria, Tasmi’ Parade, Wisata Religi, dll) dintegrasikan dan dijalankan secara bertahap dalam proses pembelajaran. Model grass roots yang diterapkan dalam kurikulum bisa diperlihatkan melalui identifikasi masalah moral dan etika (bullying, etika siswa). Model grass roots bisa membuka inisiatif guru madrasah untuk merancang solusi, implementasi yang berkelanjutan hingga evaluasi dalam pembelajaran . Kurikulum dengan model grass roots juga digunakan dalam pendidikan Anak Usia Dini di Jakarta seperti diungkapkan dalam penelitian Bu’ulolo & Waruwu (2024) menjelaskan bahwa kurikulum dirancang bersama guru dan orang tua untuk menyesuaikan kebutuhan lokal. Dengan begitu anak dalam belajar lebih antusias untuk mengikuti kelas bahasa inggris karena materi terasa dekat dan menarik. Disisi lain materi yang dikembangkan sesuai dengan pengalaman dan latar budaya anak dengan menunjukkan hasil signikas dalam pemahaman dan interaksi dalam komunikasi lisan .

Pendekatan atau prosedur grass roots merupakan kebalikan dari kurikulum administrative yaitu penyusunan kurikulum yang dilakukan berasal dari emansipasi dan aspirasi dari bawah atau yang biasa disebut buttom up. Pengembangan kurikulum dimulai atau muncul dari tingkat bawah, yaitu sekolah sebagai satuan pendidikan dan para guru serta peserta didik. Aspirasi dari bawah ini biasanya dihasilkan dari pengalaman yang sudah lama dirasakan oleh sekolah atau guru, yang mana keberadaan kurikulum yang dijalankan mempunyai beberapa kendala atau memiliki ketidaksesuaian dengan apa yang dibutuhkan dengan kondisi atau potensi yang terjadi di lapangan. Penerapan kurikulum dengan model grass roots yang dilakukan oleh Lembaga Pendidikan Madarasah Ibtidaiyah (MI) Insan Kamil dilakukan dengan mengadopsi dengan kurikulum model grass roots yang sudah diterapkan di Lembaga Pendidikan yang lain. Selain itu penerapan kurikulum juga bisa berasal dari aspirasi dari guru-guru dan wali murid serta Masyarakat yang sesuai dengan kebutuhan Pendidikan di lingkungan sekitar .

Adapun permasalahan yang berusaha diangkat untuk diungkapkan adalah

  • Bagaimanakah Desain pengembangan kurikulum dengan pendekatan grass roots di MI. Insan Kamil Kec. Tumpang, Kab. Malang.
  • Bagaimanakah manajerial madrasah dalam pengelolahan kurikulum dengan pendekatan grass roots
  • Apakah tujuan (goals) yang ingin dicapai Madrasah dalam penerapan kurikulum dengan pendekatan grass roots

Dengan keberadaan kurikulum di lembaga pendidikan atau sekolah merupakan sesuatu yang mempunyai peranan kunci utama dalam pengembangan dan peningkatan mutu pendidikan dan pembelajaran di sekolah. Penelitian yang dilakukan pada sekolah yang berlandaskan nilai-nilai Islam terutama Madrasah Ibtidaiyah dengan kurikulum dengan model grass roots yang berada di pedesaan sangat jarang dilakukan maka dengan tulisan ini berusaha mengangkat tema “Stereotipe Pendidikan Dengan Kurikulum Model Grass Roots di Madrasah Ibtidaiyah (MI) Insan Kamil di Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang.

  • Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif dengan mendeskripsikan fenomena yang terjadi lingkungan MI Insal Kamil secara mendalam melalui proses pengumpulan data yang intensif ; . Lokasi penelitian berada di Madrasah Ibtidaiyah Insan Kamil, Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang, dilaksanakan mulai Agustus 2024 hingga selesai.
  • Prosedur penelitian mengacu pada tahapan Creswell (1994) , yaitu: identifikasi masalah tentang stereotipe pendidikan di Madrasah Ibtidaiyah Insan kamil, studi pustaka, penentuan tujuan, pengumpulan data, dan pelaporan. Teknik pengumpulan data meliputi wawancara dengan guru dengan jumlah 5 guru yang berkompeten dalam pengembangan kurikulum, siswa sekitar 5 anak di kelas IV dan kelas VI, wawancara dengan orang tua murid berjumlah 5 orang, serta pemangku kebijakan di MI Insan Kamil, observasi di lingkungan Madrasah dan aktivitas anak-anak dalam pembelajaran dalam kelas maupun aktivitas di luar kelas , dokumentasi kegiatan yang dilakukan oleh guru dan siswa selama dalam kegiatan di madrasah, dan diskusi kelompok terarah dengan guru dan siswa . Analisis data dilakukan melalui melalui data wawancara dari kepala madrasah, guru, dan orang tua tentang peran serta warga madrasah dalam merancang kurikulum dengan direduksi untuk mengindentifikasi informasi yang sesuai dengan prinsip grass roots, penyajian data dilakukan dengan mengorganisasi data ke dalam bentuk yang mudah dibaca dan dipahami seperti dalam bentuk narasi, table, matriks atau bagan. Dan penarikan kesimpulan dengan menafsirkan makna dari data yang telah direduksi dan disajikan untuk menemukan pola, tema, atau proposisi yang menjawab focus penelitian. .
  • Untuk menjamin keabsahan data, digunakan teknik triangulasi dengan membandingkan hasil wawancara kepala madrasah dengan data observasi dan dokumen di MI Insan Kamil supaya bisa memastikan konsistensi dan keabsahan kesimpulan, pengamatan berkesinambungan pada setiap aktivitas di lingkungan Madrasah Ibtidaiyah Insan Kamil, serta diskusi dengan rekan sejawat untuk menguji kredibilitas, validitas, dan reliabilitas data.

Stereotipe yang terdapat dalam pendidikan yang menerapkan kurikulum merdeka dengan pendekatan grass roots di Madrasah Ibtidaiyah sering kali dikaitkan pada asumsi bahwa pendekatan grass roots ini cenderung memiliki karakter tradisional, tidak memiliki kreatifitas, serta tidak relevan dengan perkembangan zaman yang mengalami perubahan dengan cepat. Namun demikian kurikulum yang menerapkan pendekatan grass roots pada dasarnya adalah dengan pengembangan sumber daya masyarakat di sekitar madrasah , dengan menyesuaikan pendidikan dan kebutuhan masyarakat, serta memberikan keluasaan madrasah dalam muatan lokal yang memiliki ciri khas.

Berikut adalah tabel tematik dari Stereotipe Kurikulum dengan Model Grass Roots di Madrasah Ibtidaiyah Insan Kamil :

Dalam kesempatan yang lain orang tua siswa dan juga sebagai komite madrasah mengemukakan bahwa sebagian orang tua bahkan pernah menanyakan, “Ini kurikulumnya benar resmi atau hanya buatan madrasah saja?”. Hal ini mengindikasikan bahwa fleksibilitas kurikulum yang diterapkan dengan model grass roots dapat disalahpahmi sebagai tidak mengikuti standar nasional kurikulum yang diberlakukan oleh pemerintah pusat. Seperti apa yang didalam pemikiran Freire (1998) mengemukakan bahwa pendidikan tidak seharusnya bersifat sentralistik dan seragam. Kurikulum kontekstual memungkinkan guru dan madrasah untuk menyusun isi pembelajaran sesuai realitas lokal tanpa kehilangan esensi pendidikan. Maka otonomi madrasah dalam merancang kurikulum bukan bentuk penyimpangan, tetapi justru representasi pendidikan yang berkeadilan

Stereotipe pendidikan yang sudah melekat di masyarakat dapat diberikan penjelasan supaya bisa meluruskan pandangan negative yang sudah berkembang luas. Asumsi yang berkembang di dalam masyarakat terhadap Madrasah Ibtidaiyah dengan kurikulum model grass roots beranggapan bahwa kurikulum dengan pendekatan grass roots ini terkurung dalam metode kuno yang kurang berkembang dan tidak bisa mengikuti zaman. Meskipun dalam penerapan pendidikan yang dijalankan, kurikulum model grass roots ini lebih condong menerapkan kerjasama antara komunitas, guru, pemegang kepentingan dan siswa sehingga bisa melakukan penyesuaian pada kurikulum dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat sekitar lingkungan madrasah. Seperti ini bisa menjadikan sebuah pandangan di masyarakat atau orang tua siswa apa yang dialami seorang guru komputer di MI Insan Kamil mengungkapkan bahwa, “Masyarakat mengira karena Madrasah memberikan pelajaran pertanian dan tradisi, anak-anak tidak melek dan menguasai teknologi.” Ini memperlihatkan bahwa unsur lokal dan tradisional dalam kurikulum sering dikonotasikan dengan keterbelakangan, seolah-olah tidak sejalan dalam menghadapi era digitalisasi. Padahal nenurut UNESCO (2015) mengemukakan bahwa pendidikan masa kini perlu mengintegrasikan budaya lokal dengan keterampilan global, termasuk teknologi informasi. Agar bisa menciptakan peserta didik yang siap menghadapi kompleksitas dunia modern tanpa kehilangan akar identitasnya .

Penerapan kurikulum di Madrasah Ibtidaiyah Insan Kamil menggunakan pendekatan grass roots kerap kali beranggapan tidak bisa menggunakan teknologi yang sedang berkembang. Meski bersandarkan pada muatan lokal yang berkembang di masyarakat, kurikulum dengan pendekatan grass roots tetap dapat memadukan teknologi sesuai dengan kemampuan dan perkembangan muatan lokal yang berkembang di Masyarakat , misalnya melalui pembelajaran berbasis proyek yang melibatkan teknologi sederhana. Karena lingkungan sekitar MI Insan Kamil adalah masyarakat agrikultur maka siswa diajarkan cara menanam sayuran dengan menggunakan teknologi hidroponik sederhana dalam pot dari bungkus plastik minyak goreng. Hal ini bisa dilihat dari pernyataan guru pengajar di kelas 4 (tidak mau dicantumkan identitasnya) bahwa kurikulum yang digunakan oleh MI Insan Kamil hanya bisa digunakan untuk wilayah pedesaan, “Andaikata siswa MI Insan Kamil pindah sekoah ke kota besar, katanya pelajaran di MI Insan Kamil terlalu sederhana.” Dan tidak cukup menantang untuk kebutuhan siswa di kota atau untuk mobilitas sosial lebih luas. Anggapan ini bahwa kurikulum lokal tidak transferable menunjukkan kesalahpahaman terhadap nilai kulturan dan keunggulan lokal dalam pendidikan. Hal ini memperlihatkan mispersepsi pada keunggulan kurikulum lokal. Seperti yang dikemukakan oleh MacCarty (2005) bahwa community-based curriculum memprioritaskan pembangunan identitas kultural siswa yang merupakan pijakan yang kuat untuk menghadapi perubahan sosial di manapun mereka berada baik di kota maupun di desa. Kurikulum ini lebih menekankan pada identitas kultural yang penting dibangun bahkan dalam masyarakat modern dan global .

Kurikulum dengan pendekatan grass roots difokuskan pada komunitas lokal sekitar Madrasah Ibtidaiyah Insan Kamil masih dianggap tidak dapat melakukan persaingan dengan standard Kurikulum Nasional yang diterapkan oleh pemerintah. Pendekatan grass roots ini memberikan prioritas pada pendidikan holistic (menyeluruh) yang tidak hanya kecerdasan akademik sebagai standard utama tetapi juga penguatan karakter siswa, keterampilan sosial bermasyarakat, dan pemahaman budaya yang berkembang di Masyarakat .

Madrasah Ibtidaiyah dengan kurikulum pendekatan grass roots sering kali dipandang hanya memberikan porsi yang lebih besar pada muatan pelajaran agama Islam. Meski agama Islam menjadi muatan pendidikan yang dipentingkan, pendekatan grass roots ini bisa diterapkan dalam mensinergikan pelajaran umum (sains, matematika, literasi dan pelajaran umum lainnya) yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari di lingkungan sekitar siswa . Terdapat pandangan bahwa pendidikan yang menggunakan pendekatan grass roots tidak bisa membantu siswa untuk maju dan bersaing ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi lagi. Sebaliknya, pendekatan grass roots ini memberikan pembekalan pada siswa dengan ketrampilan hidup ( life skill ) yang bisa adaptasi dengan kebutuhan lingkup lokal maupun nasional .

Kurikulum merdeka yang diterapkan oleh Madrasah Ibtidaiyah Insan Kamil dengan pendekatan grass roots ini dipusatkan pada kebutuhan lokal, potensi kemampuan dan kebutuhan siswa, dan kerjasama dengan komunitas madrasah. Dalam kurikulum merdeka ini, madrasah dapat mensinergikan nilai-nilai agama Islam dengan sains, teknologi, seni, dan literasi. Pendekatan berbasis proyek (project based learning) memungkinkan siswa memahami agama Islam dalam implementasi kehidupan nyata di masyarakat yang berbasis pada ekonomi pertanian . Salah satu hal inilah yang menjadi stereotipe negatif yang muncul di pandangan masyarakat adalah kurikulum yang diterapkan di MI Insan Kamil tidak cukup akademis. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan kepala Madrasah Ibtidaiyah Insan Kamil yang menyebutkan bahwa “kadang masyarakat luar mengira bahwa kita kurang serius karena banyak kegiatan praktek dan budaya lokal.” Kegiatan pembelajaran yang menekankan praktek, seperti pertanian, kerajinan lokal, dan budaya keislaman khas pedesaan, kerap dipersepsikan sebagai kegiatan non-akademik. Padahal sebaliknya menurut Snyder (2022), pendekatan grass roots curriculum justru bertujuan untuk mengontekstualisasikan pembelajaran agar lebih bermakna dan relevan dengan kehidupan siswa sehari-hari. Kurikulum semacam ini menjembatani kesenjangan antara sekolah dan dunia nyata yang dihadapi oleh siswa

Kurikulum merdeka dengan model grass roots memberikan kebebasan terhadap madrasah untuk menyusun rancangan kurikulum sesuai dengan kebutuhan siswa dan masyarakat sekitar, misalnya dengan memperkenalkan ketrampilan praktis, teknologi digital, atau kearifan local . Model grass roots ini bisa mendorong guru menggunakan pendekatan kreatif dan inovatif dalam kegiatan pembelajaran di kelas, seperti pembelajaran berbasis permainan, eksplorasi lingkungan atau teknologi digital sederhana, sehingga dapat meningkatkan daya tarik siswa terhadap proses pendidikan yang dilakukan di Madrasah Ibtidaiyah Insan Kamil.

Pendekatan grass roots ini lebih mudah dalam kerjasama antara komunitas di dalam madrasah. Komunitas yang sering dilibatkan, madrasah dapat memanfaatkan sumber daya lokal sekitar untuk mendukung fasilitas pendidikan yang dijalankan, seperti belajar di luar kelas atau melibatkan praktisi dari masyarakat sekitar sebagai rujukan dalam pembelajaran berbasis lokal. Disisi lain apa yang diungkapkan kepala madrasah dengan menjalin kerjasama dengan komunitas madrasah masih mendapatkan stigma negatif yang salah satunya ada pernyataan dari wali murid, “Ada yang bilang terlalu banyak campur tangan masyarakat, padahal ini adalah musyawarah.” Kolaborasi yang dilakukan antara madrasah dan masyarakat baik itu melalui tokoh masyarakat atau agama dianggap sebagai intervensi yang mengganggu profesionalisme pendidik madrasah. Sedangkan sebaliknya menurut Hargreaves (2004), Community-Based Education menekankan bahwa keberhasilan kurikulum lokal justru bergantung pada keterlibatan aktif masyarakat. Musyawarah, gotong royong, dan partisipasi dari orang tua adalah komponen penting dalam membangun kurikulum yang konstekstual, berdaya, dan berkelanjutan . Kurikulum yang digunakan madrasah dapat memiliki dampak pada pengembangan potensi lokal. Pendekatan grass roots ini membantu siswa memahami dan mengembangkan potensi daerah sekitar, menjadikan mereka lebih kompetitif dan punya keterikatan dengan tantangan lokal maupun global.

Stereotipe negatif yang sudah melekat kuat pada madrasah di mata masyarakat dapat diubah dengan komunikasi yang positif dua arah antara madrasah dan masyarakat. Madrasah melakukan publikasi atas keberhasilan dan prestasi siswa dalam akademik maupun non akademik dengan selalu melakukan inovasi pada proses pembelajaran yang dikembangkan untuk mengubah persepsi masyarakat yang lebih positif lagi . Salah satu stereotipe yang sering muncul adalah anggapan bahwa kurikulum berbasis lokal, apabila yang dirancang oleh sekolah dan masyarakat sendiri tidak memenuhi standard akademik atau bersifat informal. Ketika masyarakat dilibatkan secara aktif, baik dalam merancang konten lokal, yang bisa memberi masukan terhadap pembelajaran kontekstual, maupun menjadi narasumber praktek hidup, maka mereka menghadirkan otoritas pengetahuan lokal yang valid dan teruji. Ini membuktikan bahwa kurikulum grass roots juga memiliki nilai ilmiah dan pedagogis, karena lahir dari kebutuhan nyata dan berbasis pengalaman.

Kurikulum yang dikembangkan oleh madrasah bersama masyarakat memiliki legitimasi sosial yang lebih kuat karena tumbuh dari kebutuhan nyata. Hal ini mampu menepis anggapan bahwa kurikulum madrasah, khususnya yang berbasis lokal merupakan “buatan sendiri yang tidak resmi”. Justru partisipasi mayarakat membuat kurikulum lebih otentik, kontektual, dan diterima luas oleh lingkungan sekitar. Ketika masyarakat dilibatkan maka akan terjadi peningkatan sense of belonging terhadap madrasah. Ini mendorong masyarakat untuk tidak hanya mendukung, tetapi juga menjaga keberlangsungan program pendidikan yang ada. Rasa kepemilikan ini menjadikan stereotipe “kurikulum tidak cocok untuk masa depan” berubah menjadi keyakinan bahwa madrasah mampu menghasilkan lulusan yang adaptif dan relevan. Dengan adanya keterlibatan masyarakat dalam pengembangan Madrasah Ibtidaiyah Insan Kamil akan terjadi peningkatan sense of belonging terhadap madrasah. Ini mendorong mereka untuk tidak hanya mendukung, tetapi juga menjaga keberlangsungan program pendidikan yang ada. Rasa kepemilikan ini menjadikan stereotipe “Kurikulum tidak cocok untuk masa depan” berubah menjadi keyakinan bahwa madrasah mampu menghasilkan lulusan yang adaptif dan releva.

Disisi lain keterlibatan orang tua dan wali siswa dalam proses pembelajaran bisa digunakan untuk menunjukkan bahwa pendidikan di Madrasah Ibtidaiyah Insan Kamil memiliki kualitas yang tidak kalah dengan sekolah umum maupun Madrasah Ibtidaiyah yang lain. Untuk memperkuat kompetensi guru dilakukan pelatihan supaya dalam mengimplementasikan kurikulum merdeka dengan pendekatan grass roots dapat meningkatkan mutu pendidikan dan daya saing siswa yang lebih baik.

  • Stereotipe Pendidikan di Madrasah Ibtidaiyah
  • Desain Pengembangan Kurikulum di Madrasah dengan Pendekatan Grass Roots
  • Desain pengembangan kurikulum dengan model grass roots di Madrasah Ibtidaiyah (MI) Insan Kamil dapat dirancang dengan fokus pada penguatan sumber daya lokal, kebutuhan dan kemampuan peserta didik, serta kerjasama dengan masyarakat sekitar. Pendekatan grass roots ini memastikan kurikulum tidak hanya berhubungan erat secara akademik tetapi juga kontekstual praktek kehidupan keseharian siswa dan berbasis nilai-nilai masyarakat yang berkembang . Pengembangan kurikulum dengan model grass roots dapat dilihat pada faktor pendukung dan tantangan yang dihadapi oleh Madrasah Ibtidaiyah Insan Kamil :
  • Dalam melakukan pengembangan kurikulum dengan pendekatan grass roots memerlukan analisis kebutuhan lokal diantaranya adalah (a) Pemetaan potensi lokal. Mengidendifikasi sumber daya alam, budaya, ekonomi, dan tradisi lokal yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan ajar. (b) Kebutuhan peserta didik dan masyarakat sekitar. Dengan melibatkan siswa, orang tua, dan tokoh masyarakat dalam survey untuk mengetahui kebutuhan pendidikan bagi pengembangan potensi daerah sekitar. (c) Isu dan tantangan daerah sekitar madrasah dengan menggabungkan isu-isu lokal seperti keberlanjutan lingkungan pertanian dan sumber mata air sekitar, pengembangan teknologi yang dibutuhkan masyarakat, atau kewirausahaan kecil ke dalam pembelajaran di madrasah .

Madrasah dengan kurikulum model grass roots dapat melakukan rancangan tujuan pembelajaran yang dibagi dalam tujuan umum adalah untuk membentuk peserta didik yang beriman, berakhlak mulia, cerdas, dan kompeten sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman. Bisa membangun kesadaran peserta didik terhadap potensi dan permasalahan di lingkungan sekitar mereka. Sedangkan tujuan khusus yang ingin dicapai madrasah adalah mengintegrasikan nilai-nilai agama Islam dengan ketrampilan hidup. Siswa mempunyai kemampuan literasi dalam budaya membaca, numerasi dengan kemampuan berdagang dan berwirausaha secara mandiri, dan ketrampilan hidup yang berbasis proyek .

Dalam pengembangan kurikulum dengan pendekatan grass roots adalah struktur dari kurikulum. Struktur kurikulum ini terdiri dari kurikulum inti, kurikulum ini mengacu pada Standard Nasional Pendidikan (SNP) dan mencakup mata pelajaran seperti agama, bahasa, matematika, sains, dan sosial. Selain kurikulum inti terdapat kandungan kurikulum yang memiliki muatan lokal. Kurikulum ini berbasis kearifan lokal (misalnya seni budaya dalam bentuk tarian, ketrampilan khas daerah). Penanaman nilai-nilai karakter lokal seperti gotong royong, sopan santun, dan kebersamaan antar siswa dan lingkungan sekitarnya . Pengembangan kurikulum tidak bisa terlepas dengan ekstrakurikuler yang bisa diikuti oleh siswa seperti pramuka, seni tari daerah, atau pelatihan pertanian dan perikanan sederhana yang dapat diterapkan di lingkungan siswa.

Madrasah Ibtidaiyah yang penyusunan kurikulum dengan pendekatan grass roots ini melakukan integrasi nilai-nilai Agama Islam dengan kontekstualisasi di lingkungan sekitar dalam kehidupan keseharian siswa. Misalnya pelajaran IPA dengan studi lingkungan sekitar atau pembelajaran matematika yang berbasis pada masalah yang dihadapi kehidupan keseharian siswa. Selain itu kurikulum dengan pendekatan grass roots ini lebih pada penekanan pembelajaran tematik pada siswa. Tema-tema pembelajaran di madrasah yang diberikan dihubungkan dengan kehidupan lokal, misalnya tema “Menjaga Kebersihan Sungai dan Sumber Mata Air” untuk mengintegrasikan IPA, IPS, dan nilai-nilai Islam .

Pengembangan kurikulum di Madrasah Ibtidaiyah Insan Kamil dilakukan dengan melibatkan pemegang kepentingan yang terlibat didalamnya. Salah satu pemegang kepentingan yang utama adalah guru. Dalam penyusunan kurikulum ini guru diberi pelatihan untuk memahami kurikulum dengan pendekatan grass roots dan cara menggabungkannya ke dalam Pendidikan di madrasah. Pemegang kepentingan yang mendukung lainnya di madrasah adalah orang tua dan masyarakat. Dengan keterlibatan mereka dalam kegiatan sekolah seperti parenting skill, penanaman pohon, festival budaya, atau program kewirausahaan kecil. Pendukung lain yang berada di lingkungan sekitar madrasah adalah tokoh masyarakat, diantaranya adalah dengan mengundang tokoh agama atau budaya lokal sekitar madrasah sebagai narasumber dalam pelatihan di madrasah untuk pengembangan nilai-nilai agama Islam dan kebudayaan yang berkembang di masyarakat sekitar madrasah .

Yang terakhir dalam penyusunan dan pengembangan kurikulum dengan model grass roots adalah evaluasi dan penyesuaian kurikulum. Tahapan ini menjadi penting karena menjadi dasar untuk memperbaiki, menyempurnakan, dan mengembangkan kurikulum secara berkelanjutan. Evaluasi dan penilaian ini bersandarkan pada proses dan hasil, penilaian ini tidak hanya pada ujian akademik, tetapi juga pada ketrampilan dan proyek nyata yang dilakukan oleh siswa. Evaluasi dan penilaian juga dilakukan secara bertahap dan berkelanjutan dengan keterlibatan semua pihak pendukung untuk merefleksikan keberhasilan yang sudah tercapai dan kekurangan yang perlu diperbaiki ke masa depannya. Hal ini mencerminkan prinsip dasar dari grass roots curriculum development, yaitu partisipasi aktif dari pihak-pihak yang terlibat langsung dalam pelaksanaan pendidikan di Madrasah Ibtidaiyah Insan Kamil .

Dalam pengembangan desain kurikulum yang menggunakan pendekatan grass roots dilakukan dengan beberapa tahapan yaitu :

Bagan Alur Proses Desain Pengembangan Kurikulum

Beberapa contoh implementasi kurikulum dengan pendekatan grass roots. Proyek berbasis komunitas, siswa kelas IV belajar kegiatan pertanian dengan tanam tanaman lokal dan memasarkan hasil panen dalam program kewirausahaan sekolah. Pengintegrasian nilai agama, siswa belajar tentang kebersihan (Thaharah) sambil memahami cara menjaga lingkungan sekitar. Kegiatan budaya, program mingguan berupa pembelajaran yang dimasukkan dalam ekstrakurikuler seni budaya lokal seperti memainkan alat musik tradisional yang disesuaikan dengan nilai-nilai agama Islam yang diajarkan oleh guru-guru di Madrasah Ibtidaiyah Insan Kamil.

Didalam pengembangan Madrasah juga memiliki kelemahan (weakness), banyak madrasah yang sudah berjalan menghadapi keterbatasan infrastruktur atau prasarana dan sarana seperti laboratorium, perangkat teknologi pendukung (computer, LCD proyektor), atau bahan ajar modern yang mendukung pembelajaran dengan penerapan kurikulum Merdeka. Hal ini sangat berpengaruh terhadap efektivitas implementasi kebijakan pendidikan terkini, seperti kurikulum Merdeka . Penerapan kurikulum merdeka dengan pendekatan grass roots bisa membuat tidak semua guru mengerti dan memiliki kemampuan dan keahlian yang baik. Kelemahan yang dihadapi madrasah adalah ketergantungan pada kebijakan pemerintah yang kadang membatasi inovasi dan kreatifitas dalam pengembangan kurikulum yang mau diterapkan di Madrasah. Permasalahan yang utama dalam pengembangan madrasah secara fisik (prasarana dan sarana) yang merupakan kelemahan paling klasik dan umum yang dihadapi oleh madrasah adalah anggaran pendidikan dari pemerintah pusat maupun daerah dimana untuk alokasi dana bagi madrasah sering kali lebih kecil dibandingkan sekolah umum

Peluang (Oportunities) yang dipunyai oleh MI Insan Kamil adalah terdapat di Kurikulum Merdeka yang memberikan ruang lebih leluasa pada Madrasah Ibtidaiyah Insan Kamil untuk bisa mengembangkan model pembelajaran yang lebih kontekstual dan fleksibel pada guru dan siswa . Adanya kesempatan Kerjasama dengan Lembaga swasta, pemerintah, serta tokoh Masyarakat dapat dimanfaatkan untuk peningkatan kapasitas guru melalui pelatihan dan pendampingan berkelanjutan. Keterlibatan tokoh agama dan komunitas local di sekitar Madrasah Ibtidaiyah (MI) Insan Kamil juga dapat memperkuat penerimaan kurikulum yang diterapkan oleh Masyarakat sekitar.

Ancaman (threats) yang dihadapi oleh Madrasah Ibtidaiyah pada umumnya dan MI insan Kamil pada khususnya adalah tidak semua Madrasah Ibtidaiyah memiliki akses yang seimbang terhadap sumber daya, teknologi, dan pelatihan. Kebijakan pendidikan yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat maupun daerah sering kali mengalami perubahan terus menerus yang dapat menghambat konsistensi penerapan kurikulum yang dilakukan oleh MI Insan Kamil. Guru yang merupakan pelaku utama dalam penerapan Kurikulum Merdeka sering kali terbebani oleh tuntutan administrasi yang menyita banyak waktu untuk menyusun dan melaksanakan pembelajaran kreatif dan inovatif . Disatu sisi orang tua siswa tidak semuanya bisa memahami dan mengerti konsep kurikulum merdeka dan betapa pentingnya pendekatan grass roots dalam pengembangan kurikulum di MI Insan Kamil. Ancaman yang menjadikan beban berat adalah semakin banyaknya MI lain disekitar Madrasah Ibtidaiyah Insan Kamil dan sekolah umum yang juga memberikan penawaran program pembelajaran yang bisa jadi mirip atau sama dengan yang diterapkan oleh MI Insan Kamil.

Dalam analisis SWOT yang digunakan bisa menjadi rujukan supaya mendapatkan strategi untuk pengembangan lembaga Madrasah Ibtidaiyah Insan Kamil. Madrasah bisa meminta bantuan atau kerjasama dengan pemerintah atau lembaga lain supaya bisa memberikan pelatihan berkesinambungan untuk peningkatan kapasitas ketrampilan dan kemampuan guru-guru di madrasah. MI Insan Kamil dapat melebarkan sayapnya untuk bisa berkembang juga diperlukan keterlibatan komunitas lokal dan tokoh agama sekitar madrasah dalam perancangan kurikulum yang dapat meningkatkan hubungan harmonis. Dalam menunjang efektivitas pembelajaran di MI Insan Kamil dibutuhkan peningkatan akses terhadap sumber daya digital dengan penggunaan akses internet untuk mendapatkan referensi bahan pembelajaran yang relevan untuk mendukung fleksibilitas pembelajaran yang diperlukan oleh siswa.

Terdapat beberapa implikasi praktis yang akan didapatkan oleh MI Insan Kamil dalam pengembangan kurikulum dengan model grass roots dengan menggunakan analisis SWOT adalah perumusan visi strategis yang dilakukan oleh kepala madrasah. Analisis yang diterapkan oleh madrasah dapat menyediakan data yang relevan tentang posisi internal dan eksternal madrasah. Kepala madrasah dapat menggunakan temuan ini sebagai dasar dalam penyusunan visi jangka panjang kurikulum yang selaras dengan kebutuhan lokal. Madrasah dapat menentukan tujuan dan arah pengembangan kurikulum agar tidak bersifat seragam / top-down, akan tetapi bisa beradaptasi dan sesuai konteks perkembangan. Analisis ini bisa digunakan dalam penerapan strategi implementasi seperti kolaborasi dengan masyarakat dan pemanfaatan potensi serta sumber daya lokal dalam pembelajaran berbasis proyek dan nilai-nilai budaya komunitas .

Implikasi praktis yang tidak kalah penting adalah desain pembelajaran yang dilakukan oleh tim kurikulum. Tim pengembang yang dibentuk madrasah terdiri dari guru, pengawas, dan kepala madrasah, dapat memanfaatkan hasil analisis SWOT untuk mengintegrasikan kekuatan lokal (misalnya budaya, bahasa, ekonomi setempat) ke dalam materi dan aktivitas pembelajaran. Hasil analisis SWOT dapat digunakan untuk merancang proyek-proyek pembelajaran berbasis pengalaman nyata yang relevan dengan kehidupan siswa. Selain itu analisis dapat digunakan untuk mengatasi kelemahan internal seperti keterbatasan media belajar, dengan pendekatan kreatif dan berbasis komunitas seperti apa yang disampaikan oleh Print (1993), desain kurikulum yang berhasil adalah yang bersumber dari kondisi nyata institusi dan komunitasnya .

Analisis SWOT yang digunakan oleh Madrasah Ibtidaiyah Insan Kamil dapat memberikan implikasi teoritis yaitu bisa memperkuat pendekatan partisipatif dan kontekstual. Kurikulum dengan pendekatan grass roots berlandaskan pada partisipasi aktif masyarakat dan pendidik atau pengajar lokal dalam pengembangan kurikulum. Dalam kerangka ini, analisis SWOT yang digunakan menjadi alat analisis partisipatif yang bisa digunakan untuk memetakan kondisi realitas madrasah dan lingkungannya. Analisis ini dapat memberikan ruang bagi ber bagai aktor lokal untuk berkontribusi dalam perencanaan kurikulum juga bisa menjadi pendorong munculnya kurikulum yang relevan secara budaya dan sosial. Model ini sejalan dengan pandangan Eisner (2002) yang mengungkapkan bahwa kurikulum seharusnya lahir dari interaksi antara nilai lokal, konteks sosial, dan kebutuhan peserta didik .

Dengan menggunakan Analisis SWOT bisa mendorong kurikulum yang diterapkan menjadi inklusif dan responsif. Dalam artian inklusif karena kurikulum ini bisa mengakomodasi kebutuhan siswa lebih beragam (termasuk siswa yang berkebutuhan khusus. Kurikulum yang digunakan bisa lebih responsif karena kurikulum ini bisa disesuaikan dengan perkembangan zaman, tantangan global, dan peluang teknologi. Selain itu juga kurikulum ini berakar lokal namun berorientasi global, dengan menyesuaikan nilai lokal ke dalam konteks kompetensi abad 21. Lembaga UNESCO (2017) juga menyebutkan bahwa pendidikan abad 21 harus mampu menjembatani nilai-nilai lokal dengan kebutuhan global agar siswa mampu hidup dan berpartisipasi secara aktif dalam masyarakat global .

Guna memastikan keberlanjutan penerapan kurikulum yang efektif dan efisien diperlukan monitoring dan evaluasi dari Madrasah maupun Yayasan sebagai penyelenggaraan pendidikan. Kegiatan ini diperlukan untuk pengembangan sistem evaluasi yang dapat mencerminkan pendekatan grass roots tanpa mengesampingkan standard nasional yang digunakan oleh madrasah. Penerapan kurikulum merdeka dengan menggunakan pendekatan grass roots perlu dilakukan penguatan komunikasi dua arah antara madrasah dengan orang tua siswa . Hal ini bisa dilakukan dengan memberikan sosialisasi kepada orang tua dan masyarakat tentang pentingnya dan kemanfaatan kurikulum merdeka bagi keberlajutan berjalannya MI Insan Kamil untuk masa depan.

Berikut tabel analisis SWOT di Madrasah Ibtidaiyah Insan Kamil :

Manajemen Berbasis Madrasah di MI Insan Kamil

Manajemen Berbasis Madrasah (MBM) merupakan pendekatan desantralistik yang menempatkan madrasah sebagai pusat pengambilan keputusan, dengan peningkatan kapasitas sumber daya daerah sekitar, keterlibatan pemegang kepentingan, dan memberdayakan kelompok di madrasah. Penerapan Managemen Berbasis Madrasah (MBM) memiliki beberapa prinsip yang bisa digunakan diantaranya adalah kemandirian, partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas . Seperti yang dikemukakan oleh Mulyasa (2009) , MBM merupakan bentuk otonomi manajemen pendidikan yang memberikan kewenangan yang luas kepada kepala madrasah, guru, dan komite madrasah dalam mengelolah dan memajukan madrasah berdasarkan potensi dan kebutuhan lingkungan masing-masing. Pendekatan ini diyakini mampu meningkatkan efisiensi, efektifitas, dan relevansi pendidikan karena pengambilan keputusan lebih dekat dengan sumber permasalahan dan kebutuhan nyata peserta.

Dalam hal prinsip kemandirian madrasah dengan penerapan MBM ini bisa mempunyai keleluasaan kewenangan dalam pengembangan kurikulum yang disesuaikan dengan visi, misi, dan kebutuhan peserta didik serta masyarakat sekitar. Madrasah yang didalam komunitasnya terdapat guru, siswa, dan orang tua bisa memperkuat keterlibatan masyarakat secara aktif dalam perancangan dan pengembangan kurikulum yang diterapkan oleh Madrasah Ibtidaiyah Insan Kamil. Pengembangan kurikulum yang dilakukan madrasah dalam semua prosesnya dilaksanakan dengan keterbukaan (transparency), sehingga setiap pemegang kepentingan memahami arah dan tujuan perubahan yang diperlukan oleh Madrasah Ibtidaiyah Insan Kamil. Pengelolaan dalam pengembangan kurikulum yang dilakukan oleh madrasah memiliki tanggung jawab kepada masyarakat, khususnya dalam pencapaian hasil belajar secara akademik maupun karakter yang dimiliki oleh siswa .

Pengelolaan kurikulum yang diterapkan memiliki beberapa peranan utama yang yang bisa mempengaruhi keberlangsungan keberadaan madrasah. Kepala madrasah sebagai leader atau pemimpin, mempunyai tugas memimpin pengembangan visi, misi, dan arah implementasi kurikulum merdeka yang digunakan oleh madrasah. Pemimpin ini bisa menjadi pendorong terwujudnya kreatifitas, inovatif dan memberikan dukungan kepada guru dalam proses pembelajaran . Peranan yang penting lainnya sebagai pelaksana dan fasilitator adalah guru. Guru mempunyai kemampuan dalam mengembangkan pembelajaran kreatif inovatif yang sesuai dengan kontekstual lokal dalam praktek kehidupan sehari-hari. Peran guru bisa meningkatkan ketrampilan melalui pelatihan dan diskusi kelompok pada siswa di kelas . Orang tua dan komunitas memiliki peranan aktif dalam mendukung proyek pembelajaran dan menyediakan sumber daya lokal yang dibutuhkan oleh siswa dan madrasah. Komponen utama adalah siswa sebagai subjek pembelajaran dengan diberdayakan untuk belajar secara aktif dan mandiri, sesuai dengan kurikulum merdeka.

Pengembangan kurikulum merdeka dengan pendekatan grass roots yang diterapkan MI Insan Kamil dapat menggunakan tahapan-tahapan strategis yang diperlukan dengan pemilahan kebutuhan lokal disekitar madrasah. Kegiatan yang dilakukan adalah dengan mengadakan diskusi kelompok terarah atau forum group discussion (FGD) dengan guru, orang tua, siswa, dan masyarakat untuk menggali kebutuhan belajar dan nilai-nilai lokal yang sesuai. Tujuan yang ingin dicapai dalam kegiatan ini adalah menyesuaikan isi kurikulum dengan potensi sumber daya daerah, tradisi, dan nilai-nilai Islam yang menjadi ciri khas MI Insan Kamil.

Penerapan kurikulum yang dilakukan MI Insan Kamil membutuhkan program untuk penguatan kemampuan dan keahlian guru. Kegiatan yang dilakukan adalah guru diberikan pelatihan yang intensif terkait filosofi kurikulum Merdeka, metode pembelajaran berbasis proyek atau Project based Learning (PjBL), serta desain pembelajaran yang konstekstual berdasarkan lingkungan dan praktek kehidupan keseharian siswa . Diantara guru-guru Madrasah Ibtidaiyah Insan Kamil juga dibentuk Kelompok Kerja Guru (KKG) untuk saling berbagi praktik terbaik dan materi ajar untuk diberikan kepada siswa.

Penyusunan dan perencanaan kurikulum yang diterapkan di Madrasah Ibtidaiyah Insan Kamil dilakukan dengan partisipatif seluruh stake holder yang ada. Perencanaan ini dilakukan oleh tim kurikulum yang terdiri dari kepala madrasah, guru, dan perwakilan masyarakat untuk penyusunan perencanaan kurikulum dengan pendekatan grass roots yang bersandarkan pada komponen-komponen yang sudah ditetapkan dalam Kurikulum Merdeka. Penyusunan kurikulum pendekatan grass roots ini merupakan penggabungan nilai-nilai keislaman dengan pengetahuan umum lainnya. Kurikulum ini memuat nilai-nilai Islam yang aplikatif dalam praktek kehidupan sehari-hari siswa, misalnya melalui tema pembelajaran yang berdasarkan akhlak mulia dalam keseharian dengan program makan siang bersama didalam kelas oleh siswa untuk menanamkan kebersamaan dan berbagi dengan siswa lainnya.

Kurikulum yang diterapkan oleh madrasah diperlukan keterlibatan komunitas madrasah terutama orang tua siswa. Orang tua dilibatkan dalam kegiatan pembelajaran berbasis proyek yang bersentuhan dengan kehidupan sehari-hari (contohnya adalah budaya gotong royong, pengelolaan lingkungan yang bersih bebas sampah). Selain keterlibatan orang tua dari siswa juga dilakukan kerjasama dan keterlibatan masyarakat sekitar madrasah bisa dalam bentuk mengundang tokoh lokal atau ulama daerah sekitar madrasah untuk memberikan kontribusi dalam kegiatan pembelajaran di Madrasah Ibtidaiyah Insan Kamil.

Kurikulum yang sudah direncanakan dan disusun dengan baik selanjutnya adalah implementasi kurikulum dari madrasah dengan melakukan proyek kontekstual yang berkembang di masyarakat. Guru-guru bersama siswa dapat mengembangkan proyek-proyek belajar berbasis lingkungan dan tradisi lokal, seperti pengelolaan kebun madrasah, eksplorasi budaya lokal tari topeng malangan, atau kegiatan kewirausahaan kecil didalam madrasah .

Langkah yang terakhir dan strategis dalam keberlanjutan penerapan kurikulum di madrasah adalah monitoring dan evaluasi. Kegiatan ini dilakukan evaluasi berkelanjutan dengan pelibatan seluruh komponen pemegang kepentingan di madrasah untuk menilai efektivitas dan efiensi kurikulum pendekatan grass roots yang diterapkan, baik segi akademik maupun pengembangan karakter siswa . Dari hasil evaluasi dapat digunakan untuk memperbaiki desain kurikulum pendekatan grass roots secara berkelanjutan yang bisa dijadikan dasar untuk refleksi bersama dalam organisasi Madrasah Ibtidaiyah Insan Kamil.

Pengembangan kurikulum merdeka dengan pendekatan grass roots di Madrasah Ibtidaiyah Insan Kamil akan memberikan dampak yang sangat signifikan bagi perkembangan madrasah. Kurikulum yang diterapkan lebih berkaitan erat dengan kebutuhan siswa dan masyarakat, sehingga pembelajaran bisa lebih bermakna dan mempunyai nilai kemanfaatan yang lebih besar. Pelaksanaan kurikulum yang dilakukan oleh guru dapat memberikan pemberdayaan dan penguatan kapasitas guru lebih maksimal dan memiliki kendali penuh atas proses pembelajaran bagi siswa. Kegiatan pembelajaran di madrasah bisa memberikan penguatan identitas lokal daerah setempat dengan melestarikan budaya dan nilai-nilai lokal yang sejalan dengan nilai-nilai Islam yang tertanam di masyarakat. Keuntungan yang diperoleh dari penerapan kurikulum dengan model grass roots adalah citra positif yang diterima dari masyarakat sekitar madrasah. MI Insan Kamil dapat menjadi model percontohan dalam inovasi dan kreatifitas pendidikan berbasis komunitas dan kebutuhan lokal sekitar.

Kurikulum yang digunakan oleh Madrasah Ibtidaiyah dengan pendekatan grass roots memiliki tantangan yang harus dihadapi dan dicarikan solusi yang tepat bagi keberlanjutan madrasah untuk masa depannya. Pada semua madrasah akan selalu menghadapi tantangan dan permasalahan yang sama yaitu dalam keterbatasan sumber daya yang dimiliki. Dengan keterbatasan ini pemegang kepentingan madrasah harus mempunyai pemecahan permasalahan yang bisa dengan cara pengajuan program bantuan dari pemerintah atau lenbaga swasta, untuk pengembangan kurikulum kedepannya yang lebih baik.

Penerapan kurikulum selalu berhadapan pada keterbatasan pemahaman guru terhadap kurikulum dengan pendekatan grass roots. Kendala keterbatasan ini bisa dikurangi dengan memberikan pelatihan rutin dan membentuk mentor lokal sesama guru madrasah untuk pendampingan guru . Kurikulum dari pemerintah pusat yang selalu berubah-ubah akan memberikan penyimpangan orientasi pada paradigma kurikulum yang diterapkan madrasah. Untuk itu diperlukan sosialisasi yang intensif kepada seluruh pemegang kepentingan Madrasah tentang kemanfaatan kurikulum merdeka dengan pendekatan grass roots. Penerapan kurikulum di madrasah juga akan menghadapi kendala pada evaluasi yang dilakukan. Evaluasi ini bisa dilakukan dengan mengembangkan rubrik atau laporan penilaian berbasis kompetensi sederhana dan praktis yang bisa diakses oleh semua pemegang kepentingan di MI Insan Kamil.

Penyelenggaraan Pendidikan dalam Pengembangan Kurikulum

Keberlanjutan keberadaan Madrasah Ibtidaiyah Insan Kamil tidak terlepas dari kedudukan dan peranan dari Yayasan Insan kamil yang menaungi madrasah. Yayasan sebagai penyelenggaraan pendidikan melibatkan peran strategis mereka sebagai pengarah dan fasilitator atas berjalannya keberlangsungan madrasah. Peran ini mencakup perencanaan jangka panjang, pengawasan terhadap pelaksanaan program, serta penguatan hubungan dengan masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya .

Pengembangan Kurikulum Merdeka di madrasah dengan pendekatan grass roots di tingkat penyelengaraan pendidikan atau yayasan menempatkan pihak-pihak yang terlibat langsung dalam proses pendidikan sebagai pemeran utama dalam merancang, mengimplementasikan, dan mengevalusi kurikulum yang dijalankan. Pendekatan grass roots ini melibatkan pendekatan partisipatif dari bawah ke atas (bottom up), yang berorientasi pada kebutuhan yang spesifik bagi peserta didik, sekolah, dan komunitas lokal sekitarnya.

Yayasan memiliki pengaruh yang sangat besar dalam membangun kolaborasi dengan pemegang kepentingan madrasah. Yayasan memfasilitasi kerjasama antara guru, kepala sekolah, orang tua, dan masyarakat untuk memastikan kurikulum yang dirancang benar-benar sesuai dengan kebutuhan lokal dalam pembelajaran di madrasah . Peranan dari yayasan merupakan penghubung antara kebijakan pusat dengan pelaksanaan lokal yang dalam hal ini adalah madrasah. Guna peningkatan mutu kurikulum dari madrasah, yayasan dapat mengundang pakar pendidikan dari pemerintah maupun Lembaga Pendidikan tinggi swasta dalam pendampingan proses penyusunan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan perkembangan madrasah .

Kepala sekolah yang merupakan kepanjangan tangan dari kebijakan yayasan sebagai penyelenggaraan pendidikan Madrasah Ibtidaiyah Insan Kamil, dapat dilibatkan sebagai penggerak utama dalam perancangan dan penyusunan kurikulum. Kepala sekolah juga memiliki fungsi sebagai mediator antara guru, masyarakat, dan kebijakan pendidikan nasional . Penyelenggaraan pendidikan dalam hal ini adalah yayasan dapat mendukung kepala sekolah dengan memberikan panduan kebijakan yang fleksibel untuk diadaptasikan pada konteks lokal madrasah.

Untuk kelancaran jalannya madrasah dengan baik, maka yayasan yang menaungi madrasah harus mempunyai fungsi sebagai penyediaan sumber daya dan fasilitas. Dukungan dari yayasan dalam pengembangan kurikulum dapat dilakukan dengan menyediakan dana operasional, akses ke teknologi pendidikan, dan materi belajar yang berhubungan dengan kurikulum . Yayasan juga harus memiliki kemampuan lain dalam menggalang donasi untuk penguatan anggaran madrasah atau kerjasama dengan lembaga eksternal untuk mendukung kebutuhan ini.

Dengan pendekatan grass roots dalam pengembangan kurikulum, yayasan tidak hanya dilihat sebagai penyedia sumber anggaran madrasah dan kebijakan tetapi juga sebagai penggerak transformasi pendidikan yang relevan secara kontekstual, partisipatif, dan berkelanjuatan . Kurikulum tidak hanya menjadi dokumen formal, tetapi juga mencerminkan kebutuhan, nilai, dan potensi sumber daya lokal yang dirancang bersama oleh para pemegang kepentingan di grass roots. Yayasan dengan kedudukan sebagai fasilitator dan peran strategis di berbagai aspek pengembangan kurikulum, lembaga ini berfungsi sebagai motor utama penggerak pendidikan yang adaptif, kontekstual, dan relevan dalam komponen-komponen Kurikulum Merdeka.

Yayasan yang merupakan penyelenggaraan pendidikan harus memiliki kepedulian dan kepekaan dalam menjamin keberlanjutan dari keberadaan Madrasah Ibtidaiyah Insan Kamil. Yayasan membangun sistem yang berkelanjutan dengan cara memastikan bahwa pengembangan dan penerapan kurikulum merdeka dengan pendekatan grass roots tidak hanya berjalan sementara waktu, tetapi juga mampu mengembangkan dengan seiring berjalannya waktu jangka panjang. Komitmen yang dipegang oleh yayasan terhadap keberlangsungan kualitas pendidikan yang sedang berjalan. Yayasan harus menjamin bahwa semua perubahan kurikulum dengan pendekatan grass roots memiliki tujuan untuk meningkatkan kualitas pendidikan siswa, baik akademik maupun non-akademik.

Pengelolaan Pendidikan dalam Pengembangan Kurikulum dengan Model Grass Roots

Pengelolaan pendidikan madrasah dengan pendekatan grass roots dalam pengembangan kurikulum bertujuan untuk melibatkan semua pihak terkait, terutama komunitas lokal, guru, siswa dan pemegang kepentingan lainnya dalam proses penyusunan dan pelaksanaan kurikulum . Pendekatan grass roots ini berfokus pada kebutuhan, potensi, dan karakteristik masyarakat setempat di lingkungan MI Insan Kamil sehingga kurikulum yang dihasilkan relevan, kontekstual, dan dapat memberikan peningkatan kualitas pendidikan yang signifikan di Madrasah Ibtidaiyah Insan Kamil.

Salah satu yang memiliki kewenangan dalam keberlanjutan madrasah adalah kepala sekolah beserta perangkatnya sebagai pengelolaan Madrasah Ibtidaiyah. Kepala madrasah merupakan pemimpin operasional untuk memastikan kurikulum dirancang, diterapkan, dan dieavaluasi dengan baik di tingkat madrasah . Kepala madrasah diangkat oleh yayasan dengan kewenangan yang melekat sebagai pemimpin akademik. Kepala madrasah memiliki tugas mengejawantakan visi dan misi yayasan yang menjadi arah berjalannya kurikulum yang relevan dengan kebutuhan siswa. Kepala madrasah memastikan bahwa kurikulum dengan pendekatan grass roots yang dikembangkan relevan dengan kebutuhan lokal di madrasah .

Kepala madrasah dalam pengembangan kurikulum merdeka dengan pendekatan grass roots membentuk tim pengembang kurikulum. Tim yang dibentuk kepala madrasah melibatkan guru, komite madrasah, orang tua siswa, tokoh masyarakat, dan pihak lain yang berkepentingan di MI Insan Kamil. Program pengembangan kurikulum dilakukan dengan memberikan pelatihan kepada guru agar mampu berkontribusi secara efektif dan efisien dalam proses pengembangan kurikulum yang berlandaskan kebutuhan lokal madrasah.

Kewenangan kepala madrasah adalah merancang kurikulum yang bermuatan lokal sesuai kebutuhan madrasah. Meskipun kurikulum disesuaikan dengan kebutuhan lokal madrasah namun kepala madrasah harus memastikan bahwa kurikulum pendekatan grass roots tetap sesuai dengan standard kurikulum nasional yang berlaku , dengan menambahkan muatan lokal seperti kearifan budaya, seni daerah, atau tradisi Agama Islam di sekitar madrasah. Kurikulum yang dirancang sedapat mungkin melakukan kontekstualisasi pembelajaran di dalam kelas madrasah dengan mengintegrasikan materi ajar yang sesuai dengan kondisi kehidupan sehari-hari siswa di lingkungan MI Insan Kamil.

Keberlangsungan atas keberadaan MI Insan Kamil tidak terlepas dari pengaruh peran kepala madrasah. Pimpinan madrasah harus memiliki keteladanan dan inisiator yang kreatif inovatif dalam pengembangan MI Insan Kamil untuk lebih maju. Seorang kepala madrasah harus bisa menunjukkan kepemimpinan yang visioner dan inspiratif dalam pelaksanaan kurikulum Merdeka dengan pendekatan grass roots. Pemimpin madrasah dapat memberikan inspirasi berkemajuan bagi guru, siswa, dan masyarakat dengan komitmen terhadap peningkatan kualitas pendidikan di MI Insan Kamil.

Seperti yang dikemukakan oleh Zamroni bahwa guru dalam pengembangan kurikulum merdeka dengan pendekatan grass roots juga memiliki peranan yang sangat strategis di MI Insan Kamil. Sebagai ujung tombak pembelajaran, guru sebagai pendidik tidak hanya menjalankan kurikulum tetapi juga berperan aktif dalam proses perancangannya agar sesuai dengan kebutuhan siswa, karakteristik lokal, dan potensi masyarakat sekitar MI Insan Kamil.

Keterlibatan guru untuk mengembangkan kurikulum adalah merupakan sumbangsih atas berjalannya kurikulum yang sudah dijalankan. Guru memberikan pemasukan ide kreatif inovatif dalam tim pengembang kurikulum yang dibentuk kepala MI Insan Kamil berdasarkan pada pengamatan langsung di kelas. Guru mempunyai kebebasan untuk menyelaraskan kebebasan mengajar yang diberikan dalam kurikulum merdeka dengan pendekatan grass roots.

Tuntutan untuk kemajuan pendidikan di MI Insan Kamil, guru memiliki beban tugas untuk merancang dan menyusun pembelajaran yang kontekstual dalam kelas. Guru-guru dalam mengembangkan modul lokal dengan menyusun modul atau materi ajar yang relevan dengan lingkungan sekitar, seperti sejarah setempat, lingkungan hidup, atau seni lokal. Dengan kontekstualisasi pengajaran di madrasah, guru memberikan fasilitas pembelajaran berbasis proyek yang menghubungkan teori dengan praktik di lapangan seperti mengenal proses bercocok tanam di lingkungan sekitar madrasah yang berbasis agrikultur.

Keaktifan kreatifitas guru dalam pengajaran dapat membentuk inovasi dalam metode pembelajaran. Guru akan melakukan pembelajaran yang bersifat diferensiasi dengan menerapkan pendekatan yang sesuai pada kebutuhan dan kemampuan masing-masing siswa. Pembelajaran yang selalu inovatif dan kreatif dapat menggunakan teknologi untuk menghadirkan sumber belajar tambahan yang mendukung muatan lokal dan nasional . Kreatifitas guru dapat mengaktifkan siswa dengan mendorong pembelajaran yang bersandarkan pada eksplorasi, diskusi, dan kerjasama agar siswa lebih aktif dalam proses pembelajaran.

Budaya Madrasah dalam Pengembangan Kurikulum dengan Model Grass Roots

Budaya madrasah yang berkembang di MI Insan Kamil dengan pembawahan guru-guru yang mayoritas adalah lulusan atau pernah mengenyam pendidikan di pondok pesantren maka budaya madrasah mempunyai peranan penting dalam pengembangan kurikulum merdeka dengan pendekatan grass roots. Budaya madrasah yang terbentuk dapat memberikan nilai-nilai, tradisi, dan pola interaksi yang ada di madrasah dapat menjadi fondasi kuat dalam merancang kurikulum yang relevan dan kontekstual .

Budaya religious yang dibawah oleh guru-guru yang rata-rata lulusan pesantren ini dapat dijadikan landasan dalam mengembangkan dan mengelolah kurikulum di madrasah. Kurikulum yang diterapkan merupakan integrasi nilai-nilai Islam yang masuk sebagai budaya religious madrasah, seperti shalat berjamaah, membaca Al Qur’an, dan pengamalan akhlakul karimah yang bisa menjadi bagian tidak terpisahkan dalam kurikulum . Kurikulum merdeka dapat dirancang untuk mengintegrasikan nilai-nilai ini dalam setiap pembelajaran. Contohnya kontekstualisasi mata pelajaran IPA digabungkan dengan konsep “khalifah fil ardh” untuk tidak merusak dan melestarikan lingkungan sekitar.

Memasukkan budaya madrasah yang kuat dapat terbentuk karakter Islami di dalam pribadi siswa. Budaya madrasah yang terbentuk menekankan pada penguatan akhlak dapat menjadi dasar untuk pengembangan profil pelajar pancasila Islami, seperti religiusitas, toleransi, dan tanggung jawab sosial. Pembentukan akhlak mulia pada siswa dapat menjadi pencerminan etika Islam dalam kehidupan sehari-hari baik di sekolah, rumah, maupun di Masyarakat . Madrasah mengajarkan nilai-nilai seperti tawadhu (kerendahan hati), amanah (kepercayaan), ikhlas (ketulusan), dan kasih sayang dalam konteks pendidikan di madrasah. Siswa melakukan pembiasaan perilaku baik seperti salam, sopan santun, shalat berjamaah, dan menjaga kebersihan yang diintegrasikan dalam rutinitas kehidupan madrasah. Guru juga menerapkan pembelajaran tentang adab dalam Islam, seperti adab berbicara, adab makan bersama teman, adab belajar, dan adab terhadap orang tua dan guru.

Salah satu pengembangan kurikulum merdeka dengan model grass roots dilakukan untuk peningkatan kedekatan hubungan siswa dengan Allah melalui pembelajaran agama dan praktek ibadah sehari-hari yang dapat memperkuat spitualitas siswa . Spiritualitas yang dibentuk pada diri masing-masing siswa, madrasah memberikan waktu luang yang digunakan untuk kegiatan peribadatan seperti shalat dhuha, shalat dhuhur berjamaah, membaca Al Qur’an, dzikir, dan doa sebelum dan sesudah kegiatan madrasah. Siswa juga diajarkan tafsir dan hadist untuk membantu memahami ajaran Islam secara mendalam dan relevan dengan kehidupan sehari-hari mereka. Madrasah mengadakan kajian rutin yang mambahas tema-tema Islami bisa menjadi inspirasi siswa dalam menjalani kehidupan yang bersandarkan pada nilai-nilai Islami.

Keterlibatan orang tua dan tokoh agama dalam pembentukan budaya madrasah di MI Insan Kamil dengan partisipasi pada berbagai kegiatan seperti pengajian dan majelis taklim dapat diperluas menjadi kerjasama dalam pengembangan kurikulum, contohnya orang tua diundang untuk memberikan masukan proyek pembelajaran yang berbasis kearifan lokal yang Islami atau orang tua dilibatkan dalam pelatihan parenting skill bernilai Islami untuk mendukung pembelajaran siswa di madrasah maupun di rumah. Tradisi gotong royong dan kegiatan bakti sosial yang sering dilakukan oleh siswa di lingkungan sekitar madrasah atau sekitar lingkungan wali murid dapat diitegrasikan sebagai proyek pembelajaran bagi siswa untuk mengasah rasa simpati dan empati pada orang-orang yang tidak mampu secara ekonomi.

Kebudayaan komunitas lokal yang dijaga di madrasah, seperti seni kaligrafi, seni qasidah, dan seni baca Al Quran bisa dikembangkan sebagai bagian dari kurikulum yang sudah dijalankan, contohnya proyek membuat kaligrafi Al Qur’an yang dikombinasikan dengan pembelajaran seni dan bahasa arab. Tradisi yang berlaku di masyarakat misalnya tradisi peringatan maulid Nabi, Isra Mi’raj, penyembelihan hewan kurban di hari idul adha, atau Tadarus bersama dapat menjadi momen pembelajaran lintas mata pelajaran.

Budaya gotong royong yang berkembang di dalam madrasah dapat dijadikan modal yang sangat mudah dalam pengembangan kurikulum dengan pendekatan grass roots. Guru madrasah dapat melakukan kerjasama untuk mengembangkan kurikulum sesuai dengan konteks dan kebutuhan local . Budaya gotong royong di lingkungan madrasah yang kuat dapat memberikan kemudahan dalam proses kerjasama ini. Misalnya guru agama dan guru sains kerjasama dalam membuat pembelajaran lintas disiplin ilmu tentang ekosistem sungai dan sawah yang dikaitkan dengan nilai-nilai Islam. Keterlibatan siswa yang termasuk dalam budaya madrasah adalah budaya musyawarah yang biasanya diterapkan di madrasah bisa menjadi pendorong siswa untuk lebih aktif memberikan masukan dalam pembelajaran yang dijalankan.

Madrasah yang mempunyai tradisi kuat dalam memadukan ilmu agama dan umum bisa digunakan sebagai pendukung kurikulum merdeka dalam pembelajaran yang holistic dan terintegrasi . Misalnya mata pelajaran matematika yang dikaitkan dengan perhitungan zakat atau waktu shalat. Madrasah dapat menggunakan kegiatan harian sebagai konteks pembelajaran, misalnya siswa diajarkan logika di dalam Fiqih atau diajarkan literasi sejarah umat-umat terdahulu dan Nabi-Nabi sebelum Rasulullah Muhammad malalui kajian Al Qur’an.

Salah satu budaya madrasah yang selalu berlaku adalah budaya musyawarah. Budaya madrasah yang mengutamakan musyawarah ini dapat dimanfaatkan dalam evaluasi kurikulum yang diterapkan dalam madrasah. Guru, siswa, orang tua, dan tokoh agama bersama-sama memberikan umpan balik dalam peningkatan kualitas kurikulum di Madrasah Ibtidaiyah Insan Kamil. Evaluasi yang dilakukan madrasah tidak hanya melihat hasil akademis, tetapi juga perubahan karakter siswa apakah sesuai dengan nilai-nilai Islam dan budaya masyarakat yang berlaku.

Perkembangan madrasah terutama MI Insan Kamil memiliki tantangan yang harus dihadapi diantaranya adalah keterbatasan pemahaman guru terhadap pendekatan kurikulum merdeka dan kurangnya sumberdaya untuk mengembangkan kurikulum di madrasah secara mandiri. Disisi lain madrasah juga mempunyai peluang untuk bisa mengembangkan kurikulum lebih maju lagi. Madrasah memiliki peluang besar yang tidak dipunyai lembaga pendidikan umumnya adalah budaya religius yang kuat dapat menjadi modal utama untuk pengembangan pola pikir dan karakter siswa. Madrasah memiliki kekuatan lainnya adalah keterlibatan masyarakat untuk memperkuat dukungan terhadap implementasi kurikulum yang diterapkan.

  • Manajerial dalam Pengembangan Kurikulum di Madrasah Ibtidaiyah Insan Kamil
  • Tujuan Penerapan Kurikulum Merdeka Model Grass Roots di Madrasah Ibtidaiyah Insan Kamil

Penerapam kurikulum Merdeka dengan model grass roots ini dilakukan menggunakan cara pembelajaran yang berhubungan erat sama kebutuhan lokal yang berkembang di masyarakat. Pembelajaran ini bisa dilakukan pembekalan pada siswa dengan ketrampilan dan pengetahuan yang relevan pada konteks sosial, budaya, dan ekonomi yang berkembang di lingkungan sekitar siswa . Aplikasi yang bisa diterapkan adalah dengan menyesuaikan pembelajaran pada kearifan lokal yang sudah terbentuk seperti seni budaya, tradisi kehidupan, atau praktek pertanian di lingkungan sekitar. Keterlibatan siswa dalam kegiatan yang berbasis pada masyarakat dapat dilakukan seperti proyek konservasi lingkungan sungai atau budaya membaca di Masyarakat .

Lembaga pendidikan seperti MI Insan Kamil yang bersandarkan pada keislaman akan berusaha menanamkan nilai-nilai Islam dan karakter mulia (Akhlakul Kharima) dalam penerapan kurikulum merdeka dengan model grass roots. Madrasah akan membentuk siswa yang memiliki akhlak mulia yang sesuai dengan ajaran Islam serta mampu menjadi keteladanan dalam kehidupan bermasyarakat . Yang dilakukan madrasah dalam pembelajaran dengan mengintegrasikan pendidikan karakter yang bersandarkan pada nilai-nilai keislaman, seperti amanah, adab, dan gotong royong, dalam semua mata pelajaran yang diterima siswa. Guru juga mengajarkan aplikasi nilai-nilai agama melalui kegiatan nyata, seperti sedekah kolektif siswa semua tingkatan kelas atau membantu masyarakat yang tidak mampu secara ekonomi di lingkungan sekitar madrasah.

Madrasah Ibtidaiyah Insan Kamil dalam proses pembelajaran yang dilakukan di kelas melakukan penanaman dan penguatan keberagaman dan inklusi pada semua siswa. Kegiatan ini dilakukan untuk membangun lingkungan belajar yang menghargai keberagaman dan inklusif untuk semua siswa termasuk siswa yang memiliki kebutuhan khusus . Untuk menjalankan inklusifitas dan keberagaman di dalam kelas, madrasah menyediakan program pembelajaran yang ramah bagi siswa yang memiliki latar belakang dan kemampuan yang beragam. Madrasah juga menanamkan pada semua siswa tentang pemahaman terhadap nilai toleransi dan harmonisasi dalam kehidupan bermasyarakat .

Madrasah mengajarkan dan menanamkan nilai-nilai kemandirian yang harus dipahami oleh siswa. Nilai kemandirian ditanamkan secara kuat yang ditujukan untuk membentuk siswa yang mandiri, percaya diri, dan mampu mengambil inisiatif dan kreatif dalam menyelesaikan masalah di keseharian kehidupan siswa . Nilai-nilai mandiri pada siswa dicontohkan dalam makan siang yang dilakukan dengan mengambil sendiri makanannya dan membersihkan perangkat makan miliknya secara mandiri tanpa bantuan orang lain. Dengan kemandirian yang ditanamkan sejak dini siswa akan terbiasa dengan kebersihan dan kerapihan dalam kelas, misalnya tidak ada coretan dibangku atau didinding kelas dan kerapian dalam menyusun sepatu pada tempatnya yang telah disediakan oleh madrasah terletak di sebelah pintu masuk tiap kelas

Program yang diberikan untuk peserta didik adalah dengan menyiapkan siswa sebagai generasi yang berdaya guna dan bermanfaat. Dengan program ini madrasah mengharapkan bisa membentuk generasi yang mampu memberikan kontribusi positif bagi masyarakat dan memiliki keterampilan untuk menciptakan peluang kerja atau berwirausaha secara kontekstual. Untuk itu madrasah mengajarkan ketrampilan praktis sejak dini seperti bercocok tanam di polybag, membuat produk kerajianan atau makanan yang bisa dijual pada orang tua atau sesama siswa dalam even festival yang diselenggarakan oleh Yayasan di madrasah. Selain itu memberikan pelatihan kewirausahaan yang bernuansa lokal dengan melakukan praktek secara kontekstual dengan melakukan jual beli produk melalui kantin yang tersedia didalam kompleks madrasah.

Dalam menjalankan kurikulum merdeka dengan model grass roots dapat membentuk keberlanjutan pendidikan yang berlandaskan pada nilai dan konteks. Madrasah berharap untuk menjadikan pembelajaran sebagai proses berkelanjutan yang tidak hanya berhenti di sekolah, tetapi juga relevan untuk kehidupan siswa bagi kehidupan masa depan. Dengan ini madrasah dapat mendorong siswa untuk menjadi pembelajar sepanjang hayat dengan membangun minat baca dan rasa ingin tahu yang kuat terhadap sesuatu yang baru .

Tujuan utama penerapan kurikulum merdeka dengan pendekatan grass roots di MI Insan Kamil adalah membangun siswa dengan memiliki keunggulan secara akademik, bermoral Islami, relevan dengan kebutuhan lokal, dan siap menghadapi tantangan global . Pendekatan ini menekankan kolaborasi, relevansi lokal, inklusif, pengembangan ketrampilan yang berbasis pada kreatifitas dan inovatif untuk kehidupan jangka panjang agar siswa tidak hanya sukses dalam kehidupan pribadinya, tetapi bisa menjadi agen perubahan bagi masyarakat sekitarnya .

Penerapan kurikulum di Madrasah Ibtidaiyah Insan Kamil dengan desain pengembangan kurikulum yang didasarkan pada prinsip grass roots yang menekankan pada kontektualisasi pembelajaran, partisipasi aktif komunitas, dan fleksibilitas dalam pengembangan materi ajar. Kurikulum ini memang dirancang dengan mengintegrasikan standard nasional (Kurikulum Kemenag) dengan kearifan lokal seperti praktek pertanian, nilai-nilai pesantren, budaya musyawarah, dan tradisi desa. Proses desain dilakukan melalui musyawarah madrasah yang melibatkan kepala madrasah, guru, orang tua, dan tokoh masyarakat yang dapat menjadikan kurikulum sebagai hasil dialog antara kebutuhan lokal dan tuntutan pendidikan nasional.

Dengan adanya stigma bahwa Madrasah Ibtidaiyah hanya menekankan pembelajaran agama Islam saja, maka dalam pengelolaan kurikulum di MI Insan Kamil menunjukkan model manajerial yang kolaboratif, demokratis, dan reflektif. Kepala Madrasah berperan sebagai fasilitator, bukan pengendali tunggal. Tim kurikulum lokal bertanggung jawab dalam menyusun silabus tematik, merancang kegiatan pembelajaran, serta melakukan monitoring dan evaluasi. Madrasah membuka ruang dialog antara sekolah dan masyarakat dalam menyusun keputusan strategis kurikulum. Ini menunjukkan bahwa manajemen pendidikan berbasis komunitas dapat dijalankan secara profesional, sekaligus responsif terhadap dinamika lokal.

Penerapan kurikulum dengan pendekatan grass roots di MI Insan Kamil kecamatan tumpang kabupaten malang tidak hanya bermaksud untuk menjawab tuntutan administratif pendidikan nasional, melainkan lebih jauh diarahkan pada pencapaian visi jangka panjang yang menyentuh aspek identitas, karakter, literasi, dan transformasi sosial peserta didik. Dalam keberlanjuatan penerapan kurikulum ini madrasah menargetkan terciptanya peserta didika yang memiliki identitas dan kebanggaan lokal. Dalam konteks ini, proses pembelajaran dirancang agar anak-anak mengenali, menghargai, dan mencintai budaya serta lingkungan tempat mereka hidup. Dengan menghadirkan materi yang bersumber dari kehidupan sehari-hari di desa, praktek pertanian lokal, tradisi Islam-Jawa, hingga bahasa daerah. Madrasah berharap peserta didik tumbuh sebagai pribadi yang berakar kuat pada nilai-nilai lokal yang positif. Hal ini sangat penting untuk mencegah keterasingan budaya di tengah arus globalisasi.

Madrasah untuk perkembangan peserta didik memiliki komitmen untuk membangun karakter islami dan jiwa kemandirian melalui pembelajaran yang kontektual dan aplikatif. Nilai-nilai keislaman seperti kejujuran, tanggung jawab, kesederhanaan, dan gotong royong tidak diajarkan secara teoritik, tetapi juga melalui aktivitas nyata seperti pengelolaan kebun sekolah, kegiatan sosial berbasis musyawarah, dan latihan keterampilan hidup. Pendidikan agama dan karakter tidak terpisah dari kehidupan siswa, tetapi diintegrasikan dalam kurikulum sebagai bagian dari pembentukan kepribadian.

Dalam pengembangan kemampuan dan keahlian peserta didik, madrasah berupaya mempersiapkan peserta didik sebagai agen perubahan di lingkungan masyarakatnya sendiri. Peserta didik diarahkan untuk tidak hanya menjadi individu yang mumpuni secara akademik, tetapi juga peka terhadap kebutuhan dan persolan komunitas. Dalam hal ini madrasah menanamkan nilai tanggung jawab sosial dan keterlibatan aktif, agar anak-anak tumbuh sebagai generasi yang mampu memajukan lingkungan sekitarnya, baik melalui bidang ekonomi keluarga, pendidikan, maupun pelestarian budaya dan alam.

Siswa yang menuntut ilmu di MI Insan Kamil diberikan penguatan literasi spiritual, sosial, dan ekologis dalam kurikulum. Siswa tidak hanya dididik agar mampu membaca dan menulis dalam arti yang sempit, tetapi juga dibekali keterampilan membaca realitas sosial, mengenali krisis lingkungan, dan memaknai kehidupan dengan nilai-nilai keimanan. Literasi ini dijalankan melalui proyek-proyek pembelajaran yang berbasis pengalaman (experience Learning), observasi lapangan, refleksi agama, serta diskusi kelompok.

Dengan menggunakan kurikulum model grass roots yang adaptif dan inovatif, madrasah mempunyai tekad menjadi model madrasah berbasis kurikulum lokal yang relevan dengan kebutuhan zaman. Madrasah ini membuktikan bahwa inovasi kurikulum tidak hanya bisa lahir dari kota besar atau lembaga elit, tetapi juga dari sekolah yang berpijak pada nilai-nilai lokal dan spiritual. Ini menunjukkan bahwa pendidikan di madrasah dapat menjadi ruang transformatif yang memadukan kebudayaan lokal, nilai keislaman, dan kompetensi abad 21, melalui desai kurikulum yang partisipatif dan manajerial yang inklusif. Dengan demikian MI Insan Kamil bercita-cita menjadi rujukan bagi pengembangan pendidikan yang kontekstual, transformatif, dan berkelanjutan.

References

[1] I. Tholkhah, Strategi Peningkatan Daya Saing Madrasah Ibtidaiyah Negeri Madiun, Jakarta: Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat Kemenag, 2016.

[2] J. Pos, “Minat Siswa Masuk Madrasah Melonjak Tajam,” Jawa Pos, Jakarta, 2021. [Online]. Available: www.jawapos.com

[3] H. Nashir, Pendidikan Karakter Berbasis Agama dan Budaya, Yogyakarta: Peresindo Multi, 2013.

[4] M. M., “Mewujudkan Keunggulan Madrasah,” Jurnal Madrasah, vol. II, no. 1, pp. 1–3, Jul.–Dec. 2009.

[5] A. Anendya, “Memahami Benchmark, Manfaat, Jenis dan Strateginya,” Dewaweb.com, Jakarta, Apr. 27, 2023. [Online]. Available: www.dewaweb.com

[6] UNESCO, Rethinking Education: Toward a Global Common Good, Paris: UNESCO Publishing, 2015.

[7] Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012.

[8] W. Sanjaya, Perencanaan dan Desain Sistem Pembelajaran, Jakarta: Kencana, 2008.

[9] A. Mujahid, “Pengembangan Kurikulum Madrasah di Pesantren Munaddhomah,” Jurnal Manajemen Pendidikan Islam, vol. 1, pp. 41–50, 2020.

[10] M. Marisa, “Curriculum Innovation ‘Independent Learning’ in the Era of Society 5.0,” Jurnal Sejarah, Pendidikan dan Humaniora, vol. 5, no. 1, pp. 66–78, 2024.

[11] P. S. N. H. H. T. J. B. Manalu, “Pengembangan Perangkat Pembelajaran Kurikulum Merdeka Belajar,” Prosiding Pendidikan Dasar, vol. 1, no. 1, pp. 80–86, 2022.

[12] N. S. Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum dan Praktek, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007.

[13] Y. Pratiwi et al., “Role Model Pengembangan Kurikulum Grass Roots di Sekolah Dasar,” Bidayatuna: Jurnal Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah, vol. 5, no. 2, pp. 188–203, 2022.

[14] S. A. Rokhimawan, “The Grass Roots Curriculum Model in Basic Education Through Self-Development Program,” Jurnal Ilmiah Sekolah Dasar, vol. 8, no. 2, pp. 350–360, 2023.

[15] B. B. Waruwu and A. T. M. Waruwu, “Pengembangan Kurikulum Grass Roots dalam Meningkatkan Kemampuan Berbahasa Inggris Anak Usia Dini,” Atthufulah: Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, vol. 4, no. 2, pp. 84–91, 2024.

[16] Dakir, Perencanaan dan Pengembangan Kurikulum, Jakarta: Rineka Cipta, 2010.

[17] B. S. B. N. Rohman, “Analisis Teori Behaviorisme (Thorndike) Pada Pembelajaran Matematika dan Bahasa Indonesia SDN UPT XVII Mukti Jaya Aceh Singkil,” Jurnal Teknologi Pendidikan, vol. 4, no. 2, pp. 46–62, 2021.

[18] W. J. Creswell, Educational Research Design, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.

[19] J. W. Cresswell, Research Design: Qualitative and Quantitative Approaches, California: Sage Publications, 1994.

[20] B. Bungin, Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya, Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2007.

[21] M. Sitorus, Penelitian Kualitatif: Suatu Perkenalan, Bogor: Dokis, 1998.

[22] Y. Muri, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan Penelitian Gabungan, Jakarta: Kencana Deeplish, 2014.

[23] E. Mulyasa, Implementasi Kurikulum Merdeka Belajar, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2022.

[24] P. Freire, Pedagogy of Freedom: Ethics, Democracy, and Civil Courage, Lanham: Rowman & Littlefield, 1998.

[25] Hasbullah, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan, Jakarta: Kencana, 2020.

[26] T. L. McCarty, Language, Literacy, and Power in Schooling: Building Meaningful Curriculum in Indigenous Contexts, Mahwah: Lawrence Erlbaum Associates, 2005.

[27] D. Nugroho and H. R. Suryana, Pengembangan Kurikulum Holistik Berbasis Komunitas Lokal, Yogyakarta: Deepublish, 2021.

[28] M. Abdullah, Pendidikan Islam Berbasis Masyarakat, Jakarta: Prenada Media Grup, 2021.

[29] Zubaedi, Desain Pendidikan Karakter: Konsepsi dan Aplikasinya dalam Lembaga Pendidikan, Jakarta: Kencana, 2011.

[30] Kemendikbudristek, Panduan Implementasi Kurikulum Merdeka, Jakarta: Direktorat Jenderal PAUD, Dikdas dan Dikmen, 2022.

[31] J. Snyder, Grass Roots Curriculum Design: Participatory Approach for Educational Equity, New York: Teachers College Press, 2022.

[32] D. A. Utomo and W. Sumarni, “Pengembangan Kurikulum Berbasis Potensi Lokal di Sekolah Dasar,” Jurnal Pendidikan Dasar Indonesia, vol. 6, no. 2, pp. 112–121, 2021.

[33] A. Hargreaves, Teaching in the Knowledge Society: Education in the Age of Insecurity, New York: Teachers College Press, 2004.

[34] Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam: Upaya Mengefektifkan Pendidikan Islam di Sekolah, Madrasah, dan Pesantren, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2020.

[35] E. Sutrisno, “Pendekatan Grass Roots dalam Reformasi Pendidikan,” Jurnal Inovasi Pendidikan, vol. 10, no. 1, pp. 45–56, 2022.

[36] D. Zuchdi, Pendidikan Karakter dalam Perspektif Teori dan Praktek, Yogyakarta: UNY Press, 2015.

[37] M. Hosnan, Pendekatan Saintifik dan Kontekstual dalam Pembelajaran Abad 21, Bogor: Ghalia Indonesia, 2014.

[38] E. Mulyasa, Pengembangan dan Implementasi Kurikulum 2013, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2013.

[39] Zubaedi, Desain Pendidikan Karakter: Konsepsi dan Aplikasinya dalam Lembaga Pendidikan, Jakarta: Kencana, 2011.

[40] A. Nata, Manajemen Pendidikan: Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2005.

[41] N. S. Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktek, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2016.

[42] E. Sutrisno, “Kurikulum Berbasis Potensi Lokal dalam Meningkatkan Kualitas Pendidikan Dasar,” Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, vol. 25, no. 2, pp. 118–128, 2020.

[43] M. Muslich, Pendidikan Karakter: Menjawab Tantangan Krisis Multidimensional, Jakarta: Bumi Aksara, 2021.

[44] M. Mukhibat, “Integrasi Kearifan Lokal dalam Pendidikan Islam sebagai Wujud Kurikulum Kontekstual,” Jurnal Pendidikan Agama Islam Al-Thariqah, vol. 5, no. 1, pp. 30–42, 2020.

[45] E. Mulyasa, Pengembangan dan Implementasi Kurikulum Merdeka Belajar, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2022.

[46] D. Nuryadi and S. Suharti, Transformasi Pendidikan di Indonesia: Tantangan dan Strategi Penguatan Madrasah, Jakarta: Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan, Balitbang Kemendikbud, 2020.

[47] A. Sudrajat, “Dampak Perubahan Kebijakan Pendidikan terhadap Kurikulum,” Jurnal Ilmiah Pendidikan, vol. 7, no. 3, pp. 134–142, 2021.

[48] E. W. Eisner, The Educational Imagination: On the Design and Evaluation of School Programs, New York: Macmillan, 2002.

[49] M. Print, Curriculum Development and Design, Sydney: Allen & Unwin, 1993.

[50] UNESCO, Education for Sustainable Development Goals: Learning Objectives, Paris: UNESCO, 2017.

[51] Direktorat Pendidikan Madrasah, Pedoman Umum Manajemen Berbasis Madrasah, Jakarta: Dirjen Pendidikan Islam, 2009.

[52] E. Mulyasa, Manajemen Berbasis Sekolah: Konsep, Strategi, dan Implementasi, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009.

[53] N. Fattah, Landasan Manajemen Pendidikan, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004.

[54] U. Suharsaputra, Manajemen Pendidikan: Teori dan Praktek, Bandung: Refika Aditama, 2010.

[55] Wahyudi, “Pengembangan Desain Pembelajaran Kontekstual dalam Kurikulum Berbasis Karakter,” Jurnal Pendidikan Dasar, vol. 11, no. 1, pp. 45–56, 2020.

[56] Supriyadi, Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran Kontekstual, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2016.

[57] S. Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: Rineka Cipta, 2009.

[58] Muhktar, Manajemen Kurikulum Berbasis Sekolah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015.

[59] M. Hasan, Manajemen Lembaga Pendidikan Islam: Peran Strategis Yayasan dalam Pengelolaan Madrasah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2020.

[60] S. Sagala, Manajemen Strategi dalam Peningkatan Mutu Pendidikan, Bandung: Alfabeta, 2013.

[61] H. A. R. Tilaar, Multikulturalisme: Tantangan-Tantangan Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional, Jakarta: Rineka Cipta, 2009.

[62] E. Mulyasa, Pengembangan dan Implementasi Kurikulum 2013, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2013.

[63] S. Jihad and A. Jihad, Menjadi Guru Profesional: Strategi Meningkatkan Kualifikasi dan Kualitas Guru di Era Global, Jakarta: Erlangga, 2010.

[64] I. M. H. Ma’arif and C. A. Suyatno, Manajemen Kepala Sekolah/Madrasah, Yogyakarta: Deepublish, 2019.

[65] H. A. R. Tilaar, Pengembangan Sumber Daya Manusia dalam Era Globalisasi, Jakarta: Rineka Cipta, 2009.

[66] Departemen Pendidikan Nasional, Panduan Penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah, Jakarta: Dirjen Manajemen Dikdasmen, 2008.

[67] Zamroni, Pendidikan Kewargaan Demokratis: Paradigma, Kurikulum, dan Praktek Pembelajaran, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011.

[68] Suryadi, Budaya Sekolah dan Implementasi Kurikulum, Jakarta: Laksana, 2016.

[69] M. Zuhdi, Pendidikan Islam dalam Arus Perubahan: Perspektif Integrasi Nilai Islam dan Kurikulum, Jakarta: Kencana, 2017.

[70] Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam: Dari Paradigma Menuju Praksis, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011.

[71] A. Syafii, Model Pendidikan Karakter Berbasis Nilai-nilai Islam di Madrasah, Yogyakarta: LKIS, 2020.

[72] A. Susanto, Teori Belajar dan Pembelajaran di Sekolah Dasar, Jakarta: Kencana, 2016.

[73] A. Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, Jakarta: Kencana, 2012.

[74] A. Nurcholish, “Kurikulum Merdeka Belajar: Arah Baru Pendidikan Indonesia,” Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, vol. 11, no. 3, pp. 124–133, 2021.

[75] H. A. R. Tilaar, Multikulturalisme: Tantangan-Tantangan Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional, Jakarta: Grasindo, 2004.

[76] Sauri, “Kearifan Lokal dalam Pendidikan Islam,” Jurnal Ilmu Pendidikan Agama Islam, vol. 15, no. 2, pp. 87–98, 2017.

[77] M. Zuhdi, “Islamic Education Curriculum in Indonesia: The Return to the Basics,” Tarbiyah: Journal of Education in Muslim Society, vol. 2, no. 1, pp. 1–14, 2015.

[78] UNESCO, “Policy Guidelines on Inclusion in Education,” Paris: UNESCO, 2009. [Online]. Available: https://unesdoc.unesco.org/ark:/48223/pf0000177849

[79] Suyanto and A. Jihad, Menjadi Guru Profesional: Strategi Meningkatkan Kualifikasi dan Kualitas di Era Global, Jakarta: Erlangga, 2010.

[80] T. Lickona, Educating for Character: How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility, New York: Bantam Books, 1991.

[81] M. Fadilah, “Pendidikan Kewirausahaan Berbasis Kearifan Lokal,” Jurnal Pendidikan Ekonomi, vol. 13, no. 1, pp. 45–52, 2020.

[82] N. Longworth, Lifelong Learning in Action: Transforming Education in the 21st Century, London: Routledge Falmer, 2003.

[83] M. Fullan, Change Forces: The Sequel, London: Falmer Press, 1999.