Loading [MathJax]/jax/output/HTML-CSS/config.js
Login
Section Innovation in Education

Coastal Adolescents' Perceptions of Higher Education

Persepsi Remaja Pesisir Pantai Tentang Pendidikan di Perguruan Tinggi
Vol. 26 No. 3 (2025): July:

Marwansyah Marwansyah (1), Hasnun Jauhari Ritonga (2)

(1) Program Studi Bimbingan Penyuluhan Islam, Fakultas Dakwah Dan Komunikasi, Universitas Islam Negeri Sumatera Utara, Indonesia
(2) Program Studi Bimbingan Penyuluhan Islam, Fakultas Dakwah Dan Komunikasi, Universitas Islam Negeri Sumatera Utara, Indonesia

Abstract:

General Background: Education is a cornerstone for the development of high-quality human resources. Specific Background: In remote coastal areas, access and motivation toward higher education remain limited. Knowledge Gap: Limited research explores how adolescents in such marginalized regions perceive higher education and the factors that hinder their participation. Aim: This study investigates the perceptions of coastal adolescents in Dahari Selebar Village regarding higher education and the sociocultural factors influencing their educational decisions. Methodology: Using a qualitative approach, data were collected through observations and in-depth interviews with five adolescents who discontinued their formal education and the village head. Results: Findings reveal that although adolescents perceive higher education positively—associating it with self-development, future success, and achieving aspirations—socioeconomic constraints, insufficient parental encouragement, and entrenched local norms often discourage educational continuation. Novelty: This study provides an in-depth account of educational aspirations in coastal youth, highlighting a tension between positive perception and structural barriers. Implications: The findings underscore the urgency of targeted interventions to raise awareness and provide socioeconomic support in coastal regions, contributing to efforts aimed at enhancing educational equity and preparing future generations to navigate global challenges.


Highlights: 



  • Highlights coastal adolescents' positive yet conflicted view on higher education.



  • Reveals economic and parental factors as key obstacles to continuation.



  • Urges targeted support and awareness to improve educational access.


Keywords: Adolescent Perception, Higher Education, Coastal Communities, Educational Barriers

Downloads

Download data is not yet available.

Pendahuluan

Studi ini mengedepankan model intervensi berbasis persepsi yang berfokus pada pemahaman mendalam terhadap cara remaja memandang pendidikan tinggi, termasuk harapan, hambatan, dan motivasi mereka. Model ini dirancang untuk merespons langsung persepsi yang ditemukan dalam penelitian, dengan pendekatan yang adaptif dan kontekstual, seperti penyusunan program mentoring oleh mahasiswa atau alumni yang berasal dari latar belakang serupa, penyampaian informasi pendidikan secara visual dan naratif yang relevan, serta pelibatan orang tua dan tokoh masyarakat dalam mengubah pola pikir kolektif. Dengan mengutamakan suara dan pengalaman remaja itu sendiri, model ini menjadi inovasi yang humanis dan partisipatif dalam mendorong peningkatan minat dan kesiapan melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi di kalangan remaja pesisir.

Pendidikan merupakan salah satu unit penting dalam perkembangan suatu bangsa, terutama dalam mempersiapkan sumber daya manusia yang berkualitas dan siap menghadapi tantangan global. Pendidikan secara sederhana dapat diartikan sebagai usaha manusia untuk membina kepribadiannya sesuai nilai-nilai masyarakat dan kebudayaan [1]. Pendidikan sebagai suatu sarana yang menyumbangkan sumber daya manusia yang dimaksudkan untuk meningkatakan pengetahuan serta kemampuan seseorang dalam melakukan kegiatan aktivitas, juga diharapkan mampu untuk membuka cara untuk berpikir ekonomis dalam arti mampu mengembangkan potensi yang ada untuk memperolah hasil semaksimal mungkin. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab 1 Pasal 1 menyebutkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan-keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (Indonesia, n.d). Pendidikan memiliki nilai yang strategis dan urgen dalam pembentukan suatu bangsa. Pendidikan juga berupaya untuk menjamin kelangsungan hidup bangsa tersebut. Sebab lewat pendidikanlah akan diwariskan nilai-nilai luhur yang dimiliki suatu bangsa [2].

Pendidikan adalah hal yang sangat penting bagi sebuah bangsa. Karena perkembangan dan kemajuan suatu bangsa dapat diukur melalui kualitas pendidikan dan Sumber Daya Manusia [3]. Remaja memegang kunci sebagai agen perubahan atau agent of change yang memiliki peran penting dalam kemajuan bangsa itu sendiri, baik buruknya suatu negara dilihat dari kualitas pendidikan pada remajanya. Mengingat peran yang sangat penting dalam mewujudkan masyarakat yang berkualitas, remaja-remaja harus ceria dan cerdas.

Manusia sebagai makhluk sosial dan individual memiliki perbedaan fisik, latar belakang, pola pikir, dan karakter. Perbedaan ini menjadikan sudut pandang setiap individu dalam memahami suatu hal melalui inderanya pun berbeda-beda, yang semuanya ditentukan oleh persepsi masing-masing [4]. Menurut Stephen P. Robbins dalam Ananda Hulwatun dkk. [5], persepsi adalah proses yang dilakukan individu untuk mengorganisasi, menafsirkan, atau menginterpretasikan kesan-kesan inderawi guna memberi makna bagi lingkungannya. Dalam arti luas, persepsi mencerminkan cara seseorang menilai atau melihat sesuatu berdasarkan pengalaman dan sudut pandangnya sendiri [6]. Dalam psikologi, teori persepsi dibagi menjadi dua konsep utama, yaitu bottom-up dan top-down. Teori bottom-up menyatakan bahwa persepsi dimulai dari input sensorik yang diterima indera dan diproses secara bertahap hingga menjadi kesadaran bermakna. Sebaliknya, teori top-down menekankan bahwa persepsi dipengaruhi oleh pengetahuan, pengalaman, dan harapan sebelumnya. Persepsi remaja, khususnya, dipengaruhi oleh faktor sosial, ekonomi, budaya, dan pengalaman pribadi. Remaja yang berada di daerah pesisir seperti Desa Dahari Selebar mungkin memiliki pandangan beragam mengenai pendidikan tinggi, tergantung pada dukungan keluarga, lingkungan sosial, serta persepsi terhadap manfaat pendidikan itu sendiri [7].

Tantangan pendidikan di wilayah pesisir masih menjadi persoalan yang kompleks dan berlapis. Masyarakat yang tinggal di daerah pesisir, seperti nelayan, kerap kali berhadapan dengan keterbatasan akses terhadap pendidikan yang layak, baik dari segi infrastruktur, tenaga pengajar, maupun fasilitas penunjang lainnya [8]. Berbeda dengan wilayah perkotaan yang lebih mudah menjangkau institusi pendidikan, masyarakat pesisir sering kali harus menempuh jarak yang jauh dengan kondisi jalan yang tidak memadai [9]. Hal ini secara langsung berpengaruh terhadap minat dan keberlanjutan pendidikan anak-anak di sana. Toni Nasution, dkk. [10] menekankan bahwa kondisi sosial dan ekonomi masyarakat pesisir memperumit situasi ini, karena mayoritas orang tua lebih mementingkan kebutuhan ekonomi harian dibandingkan dengan investasi pendidikan jangka panjang. Akibatnya, banyak anak remaja di daerah pesisir lebih cepat terdorong untuk masuk ke dunia kerja demi membantu perekonomian keluarga daripada melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi. Situasi ini diperparah dengan tidak adanya program pembinaan atau sosialisasi pendidikan yang berkelanjutan dari pihak sekolah maupun pemerintah setempat, sehingga masyarakat kurang mendapat dorongan untuk memprioritaskan pendidikan sebagai sarana mobilitas sosial [11].

Salah satu wilayah yang mencerminkan kondisi tersebut adalah Desa Dahari Selebar, Kecamatan Talawi, Kabupaten Batu Bara, Sumatera Utara. Desa ini merupakan kawasan pesisir dengan potensi sumber daya kelautan yang besar, namun belum diiringi oleh kemajuan dalam bidang pendidikan. Banyak remaja di desa ini yang tidak melanjutkan pendidikan setelah menamatkan jenjang SMA atau bahkan sebelumnya. Hal ini tidak lepas dari pola pikir dan persepsi masyarakat—terutama keluarga nelayan—yang memandang bahwa pendidikan tinggi bukan suatu kebutuhan mendesak. Westi Alokamai [12] mengungkapkan bahwa sebagian besar masyarakat lebih memilih anaknya segera bekerja, baik dengan membantu melaut atau merantau ke kota untuk mencari pekerjaan, daripada melanjutkan kuliah yang dianggap mahal dan tidak langsung menghasilkan pendapatan. Selain itu, rendahnya kesadaran terhadap manfaat pendidikan tinggi membuat banyak remaja merasa cukup dengan kemampuan dasar dan pengalaman hidup tanpa perlu menempuh pendidikan formal lebih lanjut. Ketidakhadiran tokoh masyarakat, guru, atau alumni perguruan tinggi sebagai panutan dalam komunitas tersebut juga menjadi faktor yang memperkuat rendahnya motivasi remaja untuk menempuh pendidikan tinggi [13].

Beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa sebenarnya persepsi masyarakat terhadap pendidikan tinggi tidak sepenuhnya negatif. Mereka menyadari bahwa pendidikan memiliki manfaat, namun kesadaran tersebut tidak serta-merta diiringi oleh tindakan nyata untuk mendorong anak-anak melanjutkan ke perguruan tinggi. Jamaluddin [14] mencatat bahwa kurangnya motivasi belajar, lingkungan sosial yang kurang mendukung, serta dorongan untuk segera mandiri secara finansial merupakan faktor-faktor yang paling dominan dalam memengaruhi keputusan remaja untuk tidak melanjutkan pendidikan. Selain itu, ada pula stigma bahwa kuliah tidak selalu menjamin pekerjaan yang baik, sementara bekerja sejak dini dianggap lebih realistis. Selanjutnya, Farkhanah,dkk [15] menegaskan bahwa semua masyarakat mendapat kesempatan untuk menikmati pendidikan, baik dalam pendidikan yang diberikan oleh keluarga, maupun lembaga pendidikan formal, karena akan berdampak pada perubahan pola pikir menjadi lebih baik. Sayangnya, sebagian besar penelitian sebelumnya lebih banyak menyoroti persepsi orang tua atau masyarakat umum, sementara suara dan pandangan remaja itu sendiri masih jarang diteliti secara mendalam. Padahal, remaja adalah pihak yang mengalami langsung konflik antara harapan pendidikan dan tekanan ekonomi-sosial, sehingga persepsi mereka menjadi kunci dalam memahami akar permasalahan rendahnya angka partisipasi pendidikan tinggi di kalangan masyarakat pesisir [16].

Berdasarkan uraian tersebut, maka penelitian ini berfokus pada persepsi remaja pesisir di Desa Dahari Selebar yang tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi. Fokus ini penting mengingat keputusan untuk melanjutkan pendidikan sangat dipengaruhi oleh pemahaman dan persepsi individu terhadap nilai dan manfaat pendidikan itu sendiri. Dengan mengeksplorasi persepsi remaja secara langsung, penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran yang lebih utuh mengenai alasan-alasan konkret yang mendasari keputusan mereka. Selain itu, hasil penelitian ini juga dapat menjadi dasar dalam merancang strategi intervensi sosial, edukatif, dan kebijakan yang lebih tepat sasaran dalam meningkatkan partisipasi pendidikan tinggi di daerah pesisir. Pentingnya pendekatan berbasis kebutuhan dan persepsi lokal menjadi krusial agar program peningkatan akses pendidikan tidak bersifat top-down semata, tetapi benar-benar menyentuh kesadaran dan kebutuhan nyata remaja dan keluarga mereka. Pendidikan sebagai investasi masa depan tidak akan efektif jika tidak dibarengi dengan perubahan cara pandang yang menyeluruh dalam komunitas tempat remaja tersebut tumbuh dan berkembang.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengungkap dan memahami secara mendalam bagaimana persepsi remaja pesisir di Desa Dahari Selebar, Kecamatan Talawi, Kabupaten Batu Bara terhadap pendidikan tinggi, khususnya bagi mereka yang memutuskan untuk tidak melanjutkan ke jenjang tersebut. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi cara pandang remaja terhadap pentingnya pendidikan tinggi, termasuk latar belakang ekonomi, sosial, budaya, serta pengaruh lingkungan dan keluarga. Dengan mengetahui persepsi yang berkembang di kalangan remaja, diharapkan penelitian ini dapat memberikan gambaran yang lebih realistis mengenai tantangan dan hambatan yang mereka hadapi, sekaligus menjadi dasar untuk merancang strategi yang tepat dalam membangun kesadaran dan motivasi remaja pesisir agar lebih menghargai pendidikan tinggi sebagai sarana untuk memperbaiki kualitas hidup dan masa depan mereka.

Penelitian ini juga, memberikan kontribusi penting bagi inovasi pendidikan dengan menghadirkan perspektif langsung dari kelompok remaja yang sering terpinggirkan dalam akses pendidikan tinggi. Hal tersebut akan mendasari, terbukanya peluang bagi perumusan kebijakan dan program yang lebih inklusif serta berbasis kebutuhan nyata. Hal ini untuk mengatasi; menurunnya motivasi belajar, kurangnya penyediaan informasi yang tepat, serta tidak terdapatnya dukungan lingkungan sosial dan ekonomi. Hal ini sejalan dengan riset dilakukan di Malaysia, lewat program Youth Empowerment Foundation Malaysia (YEF Msia). Melalui inisiatif seperti Transit Home, perpustakaan komunitas, dan kelas bimbingan belajar gratis, YEF menciptakan ruang aman dan suportif bagi remaja dan keluarga kurang mampu. Dengan menjadikan persepsi remaja sebagai dasar intervensi, penelitian ini mendorong lahirnya pendekatan pendidikan yang lebih partisipatif, kontekstual, dan berkelanjutan di wilayah pesisir. Temuan ini dapat secara langsung menginspirasi lahirnya program nyata seperti bimbingan belajar gratis berbasis komunitas, sosialisasi perguruan tinggi melalui tokoh lokal dan alumni sukses, serta beasiswa khusus untuk remaja pesisir yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah, LSM, atau perguruan tinggi itu sendiri.

Metode

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif, yang memungkinkan peneliti untuk menggali secara mendalam makna dan persepsi yang dimiliki oleh subjek penelitian terkait pendidikan tinggi. Metode yang dipilih adalah metode deskriptif, di mana fokusnya adalah pada pemaparan secara rinci mengenai bagaimana remaja di Desa Dahari Selebar memandang pendidikan tinggi, khususnya bagi mereka yang tidak melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi. Jenis penelitian yang dipilih yaitu fenomenologi, karena penelitian ini akan mengkaji mengenai pengalaman subjektif remaja di Desa Dahari Selebar mengenai pendidikan tinggi. Hal ini juga berkaitan dengan persepsi remaja pesisir yang jauh dari kota dan terkesan kuno.

Penelitian ini dilakukan di wilayah Desa Dahari Selebar, Kabupaten Batu Bara, dengan subjek penelitian sebanyak enam orang yang terdiri dari lima remaja yang tidak melanjutkan pendidikan tinggi dan satu informan kunci yaitu Kepala Desa. Para informan ini dipilih karena mereka merupakan penduduk asli Desa Dahari Selebar yang berada pada usia remaja, serta dinilai mempunyai kemampuan untuk melanjutkan ke pendidikan tinggi. Sedangkan kepala desa dipilih, karena kepala desa yang lebih mengetahui kondisi penduduk, khususnya di bidang pendidikan. Melalui wawancara mendalam, peneliti berusaha memperoleh gambaran yang komprehensif tentang pandangan dan pengalaman mereka terkait isu pendidikan tinggi. Pendekatan kualitatif sendiri menurut Creswell [17] adalah sebuah metode penelitian yang menggunakan kerangka teori dan penafsiran untuk memahami masalah sosial dan manusia dari perspektif individu atau kelompok tertentu.

Dalam proses pengumpulan data, penelitian ini mengandalkan teknik yang berjalan secara empiris dan sistematis untuk membangun teori berdasarkan temuan lapangan [18]. Data dikumpulkan melalui berbagai cara, yaitu observasi langsung, wawancara mendalam, dan dokumentasi yang terkait dengan topik penelitian. Observasi memungkinkan peneliti untuk menangkap kondisi sosial dan budaya yang melatarbelakangi persepsi remaja, sementara wawancara mendalam menjadi sumber utama untuk mendapatkan informasi subjektif tentang pengalaman, pandangan, dan motivasi mereka. Sebelum digunakan, wawancara mendalam diberikan terlebih dahulu kepada ahli, untuk ditelaah serta dikoreksi, agar pertanyaan yang diberikan sesuai dengan masalah yang diteliti. Dokumentasi juga digunakan untuk melengkapi dan memperkuat data yang diperoleh, seperti catatan resmi desa atau dokumen lain yang relevan dengan konteks pendidikan di Desa Dahari Selebar.

Penelitian kualitatif ini bersifat “perspektif emic”, artinya data yang dikumpulkan bukanlah hasil interpretasi subjektif dari peneliti, melainkan berasal langsung dari pengalaman, pemikiran, perasaan, dan realitas yang dialami oleh para partisipan [19]. Dengan demikian, pendekatan ini menempatkan subjek penelitian sebagai sumber utama kebenaran informasi, sehingga hasil penelitian akan lebih menggambarkan kenyataan sosial sebagaimana terjadi di lapangan tanpa bias peneliti. Pendekatan ini sangat relevan untuk memahami bagaimana persepsi remaja pesisir terhadap pendidikan tinggi, karena memberikan ruang bagi mereka untuk menyampaikan pandangan dan pengalaman secara terbuka dan autentik.

Dalam analisis data, peneliti menggunakan teknik analisis deskriptif kualitatif yang bertujuan menyajikan data berupa kata-kata, kalimat, dan narasi yang diperoleh dari wawancara serta dokumen pendukung secara sistematis dan terstruktur [20]. Data yang terkumpul kemudian diolah dengan cara menggabungkan dan menyelaraskan berbagai informasi yang diperoleh dengan teori-teori yang relevan agar dapat memberikan pemahaman yang utuh mengenai fenomena yang diteliti. Proses ini meliputi reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan secara bertahap, sehingga hasil akhir penelitian tidak hanya sekadar deskripsi, tetapi juga analisis yang mendalam dan berbobot sesuai dengan konteks sosial budaya masyarakat pesisir di Desa Dahari Selebar. Hal ini dapat terjadi akibat 3 faktor yaitu ekonomi, dukungan, lingkungan, dan kurangnya dukungan orang tua.

Hasil dan Pembahasan

Hasil wawancara dan observasi di Desa Dahari Selebar menunjukkan bahwa remaja memiliki persepsi positif tentang pendidikan tinggi, meskipun mereka tidak melanjutkan ke jenjang tersebut. Berikut adalah persepsi atau temuan kunci dari 5 informan remaja, yaitu;

No Narasumber Temuan Kunci Faktor
1 R1 (Laki-laki, 18 Tahun) Tidak yakin untuk bisa kuliah dikarenakan biaya dan tidak ingin membebani kedua orang tua. Ekonomi dan Orang tua
2 R2 (Laki-laki, 18 Tahun) Ingin melanjutkan pendidikan Tinggi tapi terkendala dengan ekonomi. Ekonomi
3 R3 (Laki-laki, 18 Tahun) Lebih tertarik kerja sebagai nelayan dan menghasilkan uang. Ekonomi dan Lingkungan
4 R4 (Perempuan, 19 Tahun) Memiliki cita-cita jadi seorang guru namun terhambat dengan ekonomi serta dukungan orang tua. Ekonomi dan Oang tua
5 R4 (Perempuan, 19 Tahun) Ingin kuliah namun orang tua lebih mendukung untuk bekerja. Orang tua dan Lingkungan
Table 1. Persepsi Remaja di Desa Dahari Selebar

Dari tabel diatas dijelaskan bahwa dari 5 informan yang terdiri dari 3 laki-laki dan 2 perempuan menyatakan faktor remaja tidak melanjutkan ke pendidikan tinggi, khususnya di desa Dahari Selebar yaitu disebabkan lemahnya ekonomi, lingkungan yang kurang mendukung, serta tidak adanya motivasi akibat tidak ada dukungan dari orang tua. Sehingga remaja lebih memilih membantu perekonomian orangtua dan keluarganya. Untuk lebih jelasnya akan di paparkan melalui diagaram berikut ini:

Figure 1. Persepsi Remaja di Desa Dahari Selebar

Persepsi ini mencerminkan harapan dan aspirasi mereka terhadap pendidikan, yang dianggap penting untuk masa depan. Adapun persepsi mereka tentang pendidikan tinggi sebagai berikut:

1. Pendidikan Tinggi Sebagai Tempat Menambah Ilmu Pengetahuan dan Wawasan

Persepsi remaja pesisir pantai Desa Dahari Selebar terhadap pendidikan tinggi menunjukkan pandangan yang positif dan strategis. Mereka melihat perguruan tinggi sebagai tempat untuk memperdalam ilmu pengetahuan serta sebagai jalan untuk meraih masa depan yang lebih baik. Bagi sebagian besar remaja di daerah ini, pendidikan tinggi dianggap sebagai wadah penting untuk membentuk pola pikir yang lebih luas, terbuka, dan kritis. Hal ini sejalan dengan pandangan Nugraha [21] yang menyatakan bahwa pendidikan tinggi memiliki peran krusial dalam menciptakan sumber daya manusia yang mampu mengembangkan dan menerapkan ilmu pengetahuan dalam kehidupan nyata.

Selain menjadi tempat untuk belajar secara akademis, pendidikan tinggi juga dipandang sebagai ruang untuk mengeksplorasi ilmu baru yang sebelumnya belum pernah dikenal atau dijangkau saat di bangku sekolah menengah. Lingkungan akademik yang lebih terbuka memberikan kebebasan bagi mahasiswa untuk memilih bidang ilmu yang sesuai dengan minat dan bakat mereka. Di sinilah remaja menemukan kesempatan untuk memperdalam minatnya pada bidang tertentu seperti teknologi, sosial, ekonomi, atau sains. Eksplorasi ini menjadi bekal penting dalam proses pembentukan jati diri dan penguatan kompetensi di masa depan.

Tidak hanya itu, pendidikan tinggi juga menawarkan pengalaman belajar yang jauh lebih luas dibandingkan pendidikan sebelumnya. Pengalaman tersebut tidak terbatas di dalam kelas, tetapi juga melalui kegiatan organisasi, seminar ilmiah, pelatihan kepemimpinan, bahkan program pertukaran pelajar baik di dalam maupun luar negeri. Kegiatan-kegiatan ini membuka ruang bagi remaja untuk membangun jaringan sosial, melatih kemampuan komunikasi, dan memperkuat karakter kepemimpinan yang akan berguna saat mereka terjun ke dunia kerja atau kehidupan bermasyarakat.

Lebih dari sekadar teori, pendidikan tinggi juga membekali mahasiswa dengan keterampilan praktis yang relevan dengan kebutuhan zaman. Pembelajaran yang berorientasi pada praktik, proyek penelitian, serta keterlibatan dalam kegiatan pengabdian masyarakat memungkinkan mahasiswa untuk mengaplikasikan ilmu yang mereka pelajari secara langsung. Inilah yang menjadikan pendidikan tinggi bukan hanya pusat pengetahuan, tetapi juga pusat pengembangan kemampuan adaptasi, kolaborasi, dan pemecahan masalah dalam konteks nyata kehidupan sehari-hari. Elizabeth [22] menyatakan Pendidikan Tinggi adalah lembaga ilmiah yang mempunyai tugas menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran diatas perguruan tingkat menengah, dan yang memberikanpendidikan dan pengajaran berdasarkan kebudayaan dan kebangsaan Indonesia dengan carailmiah

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa remaja pesisir pantai Desa Dahari Selebar memandang pendidikan tinggi sebagai sarana penting dalam menciptakan perubahan positif dalam kehidupan mereka. Meskipun mereka hidup di wilayah yang cukup jauh dari pusat kota dan fasilitas pendidikan tinggi yang lengkap, hal ini tidak mengurangi semangat dan kesadaran mereka akan pentingnya melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Dukungan dari keluarga, lingkungan, serta motivasi pribadi menjadi faktor penting yang mendorong mereka untuk menjadikan pendidikan tinggi sebagai pijakan menuju masa depan yang lebih cerah dan bermakna.

2. Pendidikan Tinggi Sebagai Tempat untuk Menentukan Masa Depan dan Cita-Cita

Remaja di Desa Dahari Selebar memiliki persepsi bahwa pendidikan tinggi memainkan peran yang sangat krusial dalam menentukan arah masa depan seseorang. Mereka menyadari bahwa melalui berbagai program studi yang ditawarkan oleh perguruan tinggi, mereka memiliki kesempatan untuk memilih jalur karier yang sesuai dengan minat, potensi, dan tujuan hidup mereka. Pemilihan jurusan ini menjadi titik awal yang penting dalam membangun masa depan yang lebih baik, di mana pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh di bangku kuliah diyakini akan memberikan kontribusi besar dalam menghadapi persaingan dunia kerja yang semakin ketat. Hal ini sejalan dengan pendapat Parinduri, dkk [23] yang menegaskan bahwa pendidikan tinggi membentuk fondasi yang kokoh dalam pengembangan karier dan profesionalisme seseorang.

Lebih dari sekadar tempat menimba ilmu akademik, pendidikan tinggi juga dipandang sebagai sarana untuk mewujudkan cita-cita dan mengembangkan diri secara menyeluruh. Remaja di Desa Dahari Selebar memandang bahwa perguruan tinggi menyediakan berbagai fasilitas pendukung seperti laboratorium, perpustakaan, dan bimbingan akademik yang dapat menunjang proses pembelajaran. Selain itu, keterlibatan dalam kegiatan ekstrakurikuler, organisasi mahasiswa, magang industri, dan proyek penelitian dianggap sebagai peluang berharga untuk memperoleh pengalaman praktis yang tidak bisa didapatkan di bangku sekolah menengah. Semua kegiatan ini menjadi bekal yang memperkaya kompetensi pribadi sekaligus membuka jejaring sosial yang penting dalam pengembangan karier masa depan.

Namun, di balik harapan dan pandangan yang positif terhadap pendidikan tinggi, realitas sosial dan ekonomi yang dihadapi remaja pesisir di Desa Dahari Selebar menunjukkan adanya kesenjangan antara aspirasi dan praktiknya. Banyak dari mereka yang meskipun memiliki keinginan untuk melanjutkan pendidikan, terpaksa mengurungkan niat tersebut karena tuntutan hidup. Mereka lebih memilih untuk langsung bekerja membantu orang tua demi menopang kebutuhan ekonomi keluarga. Dalam wawancara dengan Kepala Desa Dahari Selebar, diketahui bahwa mayoritas remaja memang memiliki pandangan positif terhadap perguruan tinggi, tetapi faktor ekonomi menjadi penghambat utama yang sulit mereka atasi tanpa bantuan atau dukungan dari luar.

Faktor kondisi ekonomi keluarga yang terbatas memang menjadi salah satu kendala terbesar. Banyak keluarga di wilayah pesisir ini bergantung pada sektor informal seperti perikanan, pertanian kecil, atau pekerjaan serabutan yang penghasilannya tidak menentu. Oleh karena itu, sebagian besar orang tua lebih memilih anak-anaknya bekerja setelah tamat SMA atau SMP agar bisa segera membantu memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Pandangan masyarakat yang lebih mengutamakan kerja daripada pendidikan juga memperkuat keyakinan bahwa pendidikan tinggi bukan suatu keharusan. Seperti yang dikemukakan oleh Muliani [24], masyarakat pesisir cenderung percaya bahwa selama masih bisa bekerja dan menghasilkan uang, pendidikan tinggi tidaklah mutlak diperlukan. Pandangan ini turut membentuk budaya pragmatis yang sulit diubah dalam waktu singkat.

Selain faktor ekonomi, lingkungan sosial juga sangat berpengaruh dalam membentuk cara pandang remaja terhadap pendidikan. Di Desa Dahari Selebar, kehidupan masyarakat pesisir yang dekat dengan laut membentuk tradisi dan norma sosial yang kuat. Banyak remaja terbiasa melihat orang-orang di sekelilingnya bekerja sebagai nelayan, buruh tambak, atau pedagang hasil laut. Pola ini menciptakan pandangan bahwa bekerja di sektor tersebut adalah pilihan hidup yang wajar dan realistis. Akibatnya, motivasi untuk menempuh pendidikan lebih tinggi seringkali menurun karena tidak melihat banyak contoh nyata di lingkungan sekitar yang berhasil melalui jalur pendidikan tinggi. Minimnya figur panutan dari kalangan masyarakat yang sukses lewat jalur pendidikan membuat pendidikan tinggi tampak sebagai jalan yang jauh dan tidak pasti.

Faktor lain yang juga menjadi kendala signifikan adalah kurangnya dukungan dari orang tua. Seperti yang dialami oleh salah satu remaja bernama Yudi Syahputra, orang tuanya lebih memilih agar ia segera bekerja setelah lulus SMA demi membantu kebutuhan keluarga. Kurangnya pemahaman orang tua mengenai pentingnya pendidikan tinggi menjadikan mereka kurang memberikan motivasi atau bahkan melarang anak-anak mereka untuk melanjutkan kuliah. Hal ini diperkuat oleh pendapat Dalyono [25] yang menyatakan bahwa orang tua yang tidak atau kurang memperhatikan pendidikan anak akan berdampak pada lemahnya semangat belajar dan perkembangan akademik anak. Dalam konteks ini, bisa disimpulkan bahwa tantangan untuk mengakses pendidikan tinggi tidak hanya berasal dari faktor ekonomi dan budaya, tetapi juga dari lemahnya peran keluarga sebagai pendukung utama dalam pendidikan anak.

Simpulan

Persepsi remaja pesisir pantai Desa Dahari Selebar terhadap pendidikan tinggi mencerminkan adanya harapan, semangat, dan aspirasi yang cukup tinggi meskipun sebagian besar dari mereka tidak melanjutkan ke jenjang tersebut. Kesadaran akan pentingnya pendidikan sebagai sarana pengembangan pengetahuan dan keterampilan telah tumbuh di kalangan remaja desa tersebut. Mereka memahami bahwa pendidikan tinggi bukan hanya sekadar melanjutkan sekolah, tetapi merupakan investasi jangka panjang untuk membentuk masa depan yang lebih baik. Melalui pendidikan tinggi, mereka percaya dapat memperluas wawasan, menggali potensi diri, serta menentukan arah karier dan kehidupan sesuai dengan cita-cita yang ingin dicapai. Perguruan tinggi dipandang sebagai tempat strategis untuk memperdalam ilmu pengetahuan sekaligus mengembangkan kemampuan sosial, kepemimpinan, dan pengalaman praktis melalui berbagai kegiatan seperti organisasi kemahasiswaan, magang, dan penelitian. Namun, meskipun persepsi ini positif, realitas yang dihadapi justru berbanding terbalik. Banyak remaja di Desa Dahari Selebar harus menunda bahkan mengubur impian untuk kuliah karena berbagai kendala, terutama faktor ekonomi. Keterbatasan penghasilan keluarga, kebutuhan mendesak untuk membantu orang tua bekerja, serta kurangnya dukungan dan motivasi dari lingkungan sekitar membuat pendidikan tinggi hanya menjadi angan bagi sebagian besar dari mereka. Selain itu, budaya masyarakat pesisir yang lebih menekankan pada kerja langsung di sektor perikanan atau pekerjaan fisik lainnya juga turut mempengaruhi rendahnya minat dan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan.

Untuk mengubah kondisi ini dan mewujudkan cita-cita remaja yang telah memiliki persepsi positif terhadap pendidikan tinggi, diperlukan keterlibatan dan kerja sama dari berbagai pihak. Pemerintah pusat maupun daerah perlu hadir melalui program-program afirmatif seperti beasiswa, penyediaan sarana dan prasarana pendidikan yang memadai, serta penyuluhan yang menyasar langsung kepada masyarakat dan orang tua agar kesadaran kolektif terhadap pentingnya pendidikan tinggi dapat meningkat. Lembaga pendidikan juga diharapkan menjangkau daerah pesisir dengan program pendampingan atau kerja sama yang memberdayakan masyarakat lokal. Selain itu, tokoh masyarakat, pemuda, dan alumni perguruan tinggi dari desa tersebut bisa menjadi agen perubahan yang memberikan inspirasi dan contoh nyata bahwa pendidikan tinggi adalah hal yang mungkin dan bermanfaat. Dengan upaya bersama ini, persepsi positif yang sudah tumbuh di kalangan remaja dapat ditindaklanjuti dengan langkah nyata untuk mengejar pendidikan tinggi. Harapannya, remaja Desa Dahari Selebar tidak hanya mampu meraih masa depan yang lebih cerah secara individu, tetapi juga berkontribusi lebih besar dalam membangun masyarakat yang lebih maju, sejahtera, dan berdaya saing di masa depan.

Berdasarkan riset diatas, sekolah dan pemerintah lokal sebaiknya meningkatkan program penyuluhan dan motivasi pendidikan tinggi yang melibatkan alumni sukses dari desa tersebut. Program ini dapat berupa seminar, lokakarya, atau mentoring yang memberikan informasi mengenai manfaat pendidikan tinggi, jalur masuk perguruan tinggi, serta potensi karir yang dapat diraih setelah lulus. Selain itu, perlu adanya kolaborasi antara sekolah, pemerintah desa, dan perguruan tinggi untuk memberikan beasiswa atau bantuan biaya pendidikan bagi siswa berprestasi yang kurang mampu, sehingga pendidikan tinggi dapat diakses oleh semua kalangan. Hal ini untuk mengatasi; menurunnya motivasi belajar, kurangnya penyediaan informasi yang tepat, serta tidak terdapatnya dukungan lingkungan sosial dan ekonomi.

References

[1] A. Rasyidin, Pendidikan dan Konseling Islami. Bandung, Indonesia: Citapustaka Media Perintis, 2008.

[2] W. Alokamai, "Persepsi Masyarakat Nelayan terhadap Pendidikan Formal Anak," Pensos: Jurnal Penelitian dan Pengabdian Pendidikan Sosiologi, vol. 1, no. 2, pp. 1–10, 2023.

[3] S. W. Andrie et al., "Faktor Penyebab Kurangnya Minat Anak Keluarga Nelayan Melanjutkan Pendidikan ke Perguruan Tinggi di Desa Puger Kulon Kecamatan Puger," Jurnal Pendidikan Ekonomi Undiksha, vol. 13, no. 2, pp. 422–427, 2021.

[4] S. Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta, Indonesia: Rineka Cipta, 2002.

[5] S. Ariska et al., "Teori tentang Persepsi dan Teori Atribusi Kelley," Jurnal CIDEA, vol. 3, no. 1, pp. 44–54, 2024.

[6] N. A. Astuti and I. Suwanto, "Fully Human Being pada Remaja sebagai Pencapaian Perkembangan Identitas," JBKI: Jurnal Bimbingan Konseling Indonesia, vol. 2, no. 1, pp. 9–11, 2017.

[7] A. Cecep, "Strategi Peningkatan Mutu Pendidikan di Perguruan Tinggi," Jurnal Sosioteknologi, vol. 10, no. 24, pp. 1184–1190, 2011.

[8] J. W. Creswell, Penelitian Kualitatif & Desain Riset: Memilih di Antara Lima Pendekatan, A. L. Lazuardi, Trans. Yogyakarta, Indonesia: Pustaka Pelajar, 2015.

[9] Dzulfahmi, Persepsi: Bagaimana Sejatinya Persepsi Membentuk Konstruksi Berpikir Kita. Yogyakarta, Indonesia: Psikologi Corner, 2020.

[10] E. Indrawati, "Merdeka Belajar Kampus Merdeka terhadap Perubahan Paradigma Pembelajaran pada Pendidikan Tinggi: Sebuah Tinjauan Literatur," Jurnal Bisnis, Manajemen dan Ekonomi, vol. 2, no. 2, pp. 30–38, 2021.

[11] E. H. Farkhanah et al., "Persepsi Masyarakat Nelayan tentang Pentingnya Pendidikan Formal di Kabupaten Cirebon," Sosio-Didaktika: Social Science Education Journal, vol. 11, no. 1, pp. 25–34, 2024.

[12] A. Hulwatun et al., "Persepsi," Koloni: Jurnal Multidisiplin Ilmu, vol. 2, no. 4, pp. 213–226, 2023.

[13] Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, Bab I Pasal 1.

[14] Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bab I Pasal 1.

[15] Irnawati, "Persepsi Siswa terhadap Pendidikan Tinggi dan Kecenderungannya Memilih Pendidikan Tinggi Lanjutan (Studi pada Siswa Kelas XII SMAN 3 Luwu Tahun Ajaran 2017/2018)," Jurnal Pendidikan Ekonomi, pp. 1–15, 2019.

[16] Jamaluddin et al., "Persepsi Masyarakat terhadap Pendidikan Remaja di Desa Liprak Kidul, Kecamatan Banyuanyar Kabupaten Probolinggo," Pendekar: Jurnal Pendidikan Berkarakter, vol. 5, no. 2, pp. 105–111, 2022.

[17] L. J. Meleong, Metode Penelitian Kualitatif. Bandung, Indonesia: PT Remaja Rosdakarya, 2002.

[18] I. Muliani et al., "Persepsi Masyarakat Pesisir tentang Pentingnya Keberlanjutan Pendidikan Anak di Desa Pa’jukukang Kecamatan Pa’jukukang Kabupaten Bantaeng," Unpublished Article, 2024.

[19] T. Nasution, Sahlan, and R. Lubis, Studi Masyarakat Sosial. Padang, Indonesia: Aska Pustaka, 2023.

[20] A. Nugraha, "Pentingnya Pendidikan Berkelanjutan di Era Revolusi Industri 4.0," Majalah Ilmiah Pelita Ilmu, vol. 2, no. 1, 2019.

[21] R. Y. Parinduri, D. Derlini, M. Situmeang, P. Hariati, and N. Nurmayana, "Sosialisasi Pentingnya Pendidikan Tinggi Guna Meningkatkan Pola Pikir bagi Siswa SMA," Community Development Journal: Jurnal Pengabdian Masyarakat, vol. 5, no. 3, pp. 4587–4592, 2024.

[22] I. B. Rai, "Implementasi Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi," Widyasrama, vol. 28, no. 2, pp. 1–14, 2016.

[23] Rodliyah, Pendidikan dan Ilmu Pendidikan. Jember, Indonesia: IAIN Jember Press, 2021.

[24] W. Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta, Indonesia: Prenadamedia Group, 2016.

[25] Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung, Indonesia: Alfabeta, 2019.