Loading [MathJax]/jax/output/HTML-CSS/config.js
Login
Section Innovation in Education

Epistimology, Tarbiyah, talim, and Ta' dib in Reconstructing the Islamic Religious Education Curriculum and Ethics

Epistimologi, Tarbiyah, talim, dan Ta'dib dalam Rekonstruksi Kurikulum dan Etika Pendidikan Agama Islam
Vol. 26 No. 3 (2025): July:

Siti Sulwana (1), Haris Riadi (2), Fajar Aswati (3), Azlina Azlina (4)

(1) Program Studi Magister Pendidikan Agama Islam, IAIN Datuk Laksemana Bengkalis, Riau, Indonesia
(2) Program Studi Magister Pendidikan Agama Islam, IAIN Datuk Laksemana Bengkalis, Riau, Indonesia
(3) Program Studi Magister Pendidikan Agama Islam, IAIN Datuk Laksemana Bengkalis, Riau, Indonesia
(4) Program Studi Magister Pendidikan Agama Islam, IAIN Datuk Laksemana Bengkalis, Riau, Indonesia

Abstract:

General Background: Islamic education aspires to develop individuals who are both intellectually capable and morally grounded.
Specific Background: Current implementations of the Islamic Religious Education (PAI) and Character curriculum often emphasize formal knowledge while underrepresenting integrative Islamic values. Knowledge Gap: There is limited curriculum design that holistically reflects Islamic epistemology by incorporating the classical concepts of ta’dīb, tarbiyah, and ta’līm. Aims: This study aims to formulate a reconstructed model for the PAI and Character curriculum based on Islamic epistemology by integrating these three foundational concepts. Results: Through a qualitative literature-based approach, this research identifies a three-domain framework: the value domain (ta’dīb), the process domain (tarbiyah), and the knowledge domain (ta’līm), aligned with the ideal of shaping an insān kāmil (perfected human). Novelty: The proposed model offers a comprehensive epistemological integration rarely seen in existing PAI curriculum frameworks. Implications: This study highlights the urgency of value reorientation in curriculum design and underlines the need for systematic teacher training to ensure effective implementation. 


Highlights: 




  • Integrates value, process, and knowledge domains rooted in Islamic thought.




  • Aims to shape insān kāmil—a virtuous and knowledgeable human.




  • Emphasizes teacher readiness for effective curriculum implementation.




Keywords: Islamic Education Curriculum, Islamic Epistemology, Ta’dīb, Tarbiyah, Ta’līm

Downloads

Download data is not yet available.

Pendahuluan

Transformasi dunia pendidikan di era globalisasi menuntut pembaruan kurikulum agar tidak hanya responsif terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi juga tetap menjunjung tinggi nilai-nilai spiritual, etika, dan moral. Di tengah krisis karakter yang melanda generasi muda, rekonstruksi kurikulum Pendidikan Agama Islam (PAI) dan Budi Pekerti menjadi sebuah kebutuhan mendesak. Dalam konteks ini, nilai-nilai dasar pendidikan Islam seperti tarbiyah (pengasuhan), ta’līm (transfer ilmu), dan ta’dīb (pembentukan adab) menjadi pilar utama yang layak dijadikan fondasi epistemologis dalam penyusunan ulang kurikulum yang lebih holistik dan transformatif.

Pendekatan pendidikan Islam klasik sebenarnya telah menyediakan paradigma yang lengkap. Konsep tarbiyah menekankan pengembangan fitrah manusia melalui proses pemeliharaan dan pengasuhan. Ta’līm menekankan pada proses penyampaian ilmu, sedangkan ta’dīb mengacu pada pembentukan akhlak dan moral yang mulia. Al-Attas mengemukakan bahwa ta’dīb merupakan konsep pendidikan paling integral karena mencakup dimensi spiritual, intelektual, dan moral secara simultan [1]. Namun, dalam praktiknya, sistem pendidikan formal di Indonesia cenderung didominasi pendekatan ta’līm yang bersifat kognitif, sementara aspek pembinaan karakter (ta’dīb) masih terpinggirkan.

Kajian literatur menunjukkan bahwa model pendidikan Islam kontemporer yang diterapkan di banyak institusi masih bercorak dualistik dan terpisah dari nilai-nilai inti Islam. Musyrifah menyatakan bahwa dominasi paradigma Barat dalam pedagogi telah memudarkan nilai-nilai transendental dalam pendidikan [2]. Zawawi, et al. mengemukakan bahwa pengajaran PAI di perguruan tinggi umum masih berkutat pada aspek pengetahuan, tanpa pembentukan kepribadian Islami [3]. Pentingnya membangun epistemologi pendidikan Islam yang berbasis pada ta’dīb untuk menghasilkan insan kamil yang utuh secara akal, hati, dan tindakan. Dalam konteks global, UNESCO bahkan telah menekankan pentingnya pendidikan yang tidak hanya mengembangkan “learning to know” dan “learning to do,” tetapi juga “learning to be” dan “learning to live together,” yang selaras dengan konsep ta’dīb dalam Islam.

Kesenjangan (gap) antara idealitas pendidikan Islam dengan implementasi kurikulum yang ada menjadi perhatian utama. Kurikulum 2013 yang berlaku secara nasional belum sepenuhnya mengintegrasikan nilai ta’dīb dalam desain dan praktiknya. Bahkan, menurut Saputra, muatan karakter dalam Kurikulum 2013 masih bersifat deklaratif dan belum terimplementasi secara efektif dalam proses pembelajaran [4]. Astuti menambahkan bahwa pendekatan ta’dīb bukan hanya membentuk etika peserta didik, tetapi juga membentuk struktur berpikir dan cara pandang terhadap ilmu, guru, dan proses belajar itu sendiri [5].

Dengan mempertimbangkan berbagai temuan tersebut, rekonstruksi kurikulum PAI dan Budi Pekerti menjadi sangat penting, khususnya dengan mendasarkan pada epistemologi pendidikan Islam yang menggabungkan secara harmonis antara tarbiyah, ta’līm, dan ta’dīb. Pendekatan ini tidak hanya mendidik peserta didik menjadi cerdas, tetapi juga berakhlak dan beradab sesuai dengan tujuan utama pendidikan Islam. Selain itu, ketika dikontekstualisasikan secara global, banyak negara maju saat ini mulai menekankan kembali pentingnya pendidikan karakter dan spiritualitas dalam kurikulum mereka. Misalnya, Finlandia dan Kanada telah mengintegrasikan pendidikan nilai (values education) dalam sistem pendidikan nasional mereka secara sistematis, menyoroti pentingnya empati, tanggung jawab sosial, dan integritas sebagai bagian dari keberhasilan pendidikan [6]. Di Amerika Serikat, konsep Social-Emotional Learning (SEL) yang dikembangkan oleh Collaborative for Academic, Social, and Emotional Learning (CASEL) menekankan pengembangan keterampilan sosial dan etika untuk membentuk karakter siswa secara utuh [7]. Kecenderungan ini menunjukkan bahwa transformasi kurikulum berbasis nilai-nilai spiritual dan moral bukan hanya kebutuhan lokal umat Islam, tetapi juga menjadi arah global dalam menjawab tantangan disrupsi dan krisis kemanusiaan. Oleh karena itu, penyusunan ulang kurikulum PAI dan Budi Pekerti dengan fondasi paradigma Islam klasik tidak hanya relevan secara lokal, tetapi juga selaras dengan tren global yang tengah berupaya membangun pendidikan yang holistik, berkelanjutan, dan berakar pada nilai-nilai kemanusiaan universal

Metode

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif dengan jenis studi kepustakaan (library research), yang bertujuan untuk mengkaji secara mendalam epistemologi pendidikan Islam khususnya konsep tarbiyah, ta’līm, dan ta’dīb dalam rekonstruksi kurikulum Pendidikan Agama Islam (PAI) dan Budi Pekerti. Metode ini dipilih karena fokus penelitian adalah pada eksplorasi konseptual dan filosofis yang berasal dari teks-teks primer dan sekunder, bukan pada pengukuran statistik atau eksperimen lapangan.

1. Subjek dan Sumber Data

Subjek dalam penelitian ini bukan berupa individu atau populasi empiris, melainkan konsep-konsep pendidikan Islam yang bersumber dari literatur akademik, buku-buku otoritatif, serta artikel ilmiah dari jurnal. Sumber utama mencakup pemikiran Syed Muhammad Naquib al-Attas mengenai ta’dīb, serta pemikiran kontemporer lain terkait tarbiyah dan ta’līm dari perspektif Islam klasik dan modern. Sumber sekunder berupa disertasi, skripsi, dan hasil penelitian dari repository perguruan tinggi Islam negeri dan jurnal daring.

2. Instrumen dan Perangkat Bantu

Instrumen utama dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri sebagai instrumen kunci (human instrument) yang berperan dalam melakukan kajian literatur, penafsiran, dan analisis makna teks. Perangkat bantu yang digunakan adalah perangkat lunak Mendeley untuk manajemen referensi.

3. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data dilakukan secara induktif-kualitatif dengan pendekatan analisis isi dan komparatif hermeneutik. Model analisis dilakukan dalam tiga tahap: reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Peneliti juga menggunakan analisis naratif untuk menelusuri konteks historis dan filosofis dari konsep-konsep kunci dalam pendidikan Islam.

4. Model Statistik

Penelitian ini tidak menggunakan model statistik kuantitatif, namun menggunakan logical framework analysis untuk menyusun matriks rekonstruksi kurikulum, dan matrix concept mapping untuk memetakan hubungan antara epistemologi Islam dengan pendekatan pedagogis (ta’dīb, ta’līm, tarbiyah).

5. Refleksi Kritis dan Validasi Data

Meskipun pendekatan kepustakaan memiliki kekuatan dalam penggalian konseptual, peneliti menyadari adanya potensi bias interpretatif dalam proses kajian pustaka. Subjektivitas dalam memilih dan menafsirkan teks, preferensi terhadap tokoh tertentu, serta latar belakang ideologis peneliti dapat memengaruhi konstruksi makna dan arah sintesis. Oleh karena itu, refleksi epistemik menjadi bagian integral dari proses penelitian ini, dengan senantiasa meninjau ulang keterbukaan terhadap sudut pandang yang beragam, serta membandingkan literatur klasik dan kontemporer secara seimbang.

Untuk memperkaya validitas dan memperluas jangkauan kajian, peneliti juga mempertimbangkan triangulasi pustaka dengan praktik lapangan pada studi-studi lanjutan. Hal ini dapat berupa observasi dan dokumentasi pada lembaga-lembaga pendidikan Islam yang telah mengimplementasikan nilai-nilai ta’dīb dalam praksis kurikulum, baik secara eksplisit maupun implisit. Dengan demikian, hasil penelitian tidak hanya bersifat normatif dan teoritis, tetapi juga membuka ruang pengujian terhadap relevansi praktis konsep-konsep Islam dalam konteks pendidikan modern yang dinamis.

Hasil dan Pembahasan

Penelitian ini menghasilkan temuan konseptual dan implikatif yang signifikan mengenai pentingnya rekonstruksi kurikulum Pendidikan Agama Islam (PAI) dan Budi Pekerti berbasis epistemologi pendidikan Islam, khususnya melalui integrasi tiga elemen utama: tarbiyah, ta’līm, dan ta’dīb. Temuan-temuan ini dijelaskan secara ilmiah dengan membandingkan kerangka teori, realitas kurikulum saat ini, serta perspektif keilmuan kontemporer.

1. Dominasi Pendekatan Kognitif dalam Kurikulum PAI

Dominasi pendekatan kognitif dalam kurikulum Pendidikan Agama Islam (PAI) tercermin dari kecenderungan orientasi pembelajaran yang menekankan pada aspek pengetahuan faktual dan konseptual. Kurikulum nasional, baik dalam Kompetensi Inti maupun Capaian Pembelajaran, menunjukkan fokus yang kuat pada hafalan ayat, penguasaan hukum fikih, dan pemahaman terhadap narasi-narasi historis Islam. Pendekatan ini dikenal sebagai pendekatan ta’līm, yang dalam tradisi klasik bermakna transfer pengetahuan dari guru kepada murid. Meskipun ta’līm merupakan bagian fundamental dalam pendidikan Islam, pemaknaannya yang sempit dan implementasinya yang teknokratis dalam sistem pendidikan nasional telah menggeser esensi pendidikan Islam sebagai pembentukan kepribadian paripurna (insān kāmil).

Penekanan pada penguasaan konten secara kognitif sering kali mengabaikan integrasi antara ilmu dan akhlak. Seperti diungkapkan oleh Murniasih dan Wahyuddin, sebagian besar materi PAI disampaikan secara tekstual, tanpa disertai pendalaman makna etis dan implikasi moralnya dalam kehidupan nyata siswa. Akibatnya, pembelajaran PAI berisiko kehilangan dimensi praksis yang seharusnya membentuk karakter peserta didik [8]. Dalam konteks ini, ilmu agama menjadi semata-mata hafalan atau keterampilan menjawab soal ujian, bukan sebagai alat pembentuk kesadaran spiritual dan sosial yang utuh.

Dalam epistemologi Islam, ilmu tidak dapat dilepaskan dari proses internalisasi nilai. Ilmu bukan sekadar informasi, melainkan jalan menuju pengenalan terhadap Tuhan dan pembentukan diri yang bermartabat. Oleh karena itu, selain ta’līm, konsep ta’dīb—yakni pendidikan adab dan pembentukan karakter—harus menempati posisi sentral. Seperti disampaikan oleh Fadli (2020), “Ta’līm memang penting, tetapi tanpa ta’dīb, ilmu akan kehilangan ruh-nya.” Pernyataan ini menggarisbawahi pentingnya menyeimbangkan aspek intelektual dan spiritual dalam proses pendidikan. Tanpa adab, ilmu bisa menjadi alat pembenaran tindakan destruktif, bukan solusi kehidupan [9].

Pendekatan normatif-kognitif yang dominan dalam PAI juga mencerminkan pengaruh modernisme dalam sistem pendidikan yang memisahkan antara ilmu dan nilai. Dalam paradigma Islam, pendidikan adalah proses pembentukan manusia seutuhnya (tarbiyah insaniyah), bukan hanya pencetak lulusan yang mahir mengutip dalil atau menjawab soal. Oleh sebab itu, diperlukan reorientasi kurikulum PAI yang lebih integratif dan holistik, yang menggabungkan ta’līm, tarbiyah, dan ta’dīb secara proporsional. Integrasi ketiga unsur ini diyakini mampu melahirkan peserta didik yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga matang secara moral dan spiritual.

2. Relevansi Konsep Ta’dīb Sebagai Paradigma Pendidikan Islam

Konsep ta’dīb dalam pendidikan Islam menempatkan adab sebagai inti utama yang harus ditanamkan terlebih dahulu sebelum transfer ilmu pengetahuan. Menurut Al-Attas, adab mencakup tata krama, etika, dan akhlak yang menjadi landasan pembentukan pribadi Muslim yang utuh [10]. Dengan menanamkan adab terlebih dahulu, pendidikan tidak hanya menghasilkan individu yang cerdas secara intelektual, tetapi juga bermoral dan berjiwa spiritual. Pendekatan ini mengintegrasikan dimensi spiritual, intelektual, dan sosial secara harmonis sehingga proses pembelajaran menjadi lebih bermakna dan holistik.

Lebih lanjut, ta’dīb juga berfungsi sebagai proses pembudayaan yang menginternalisasi nilai-nilai Islam ke dalam perilaku sehari-hari peserta didik. Proses ini tidak terbatas pada pengajaran materi akademik semata, tetapi juga membangun karakter yang mampu menghadapi tantangan zaman dengan sikap yang terpuji. Dalam konteks ini, guru berperan sebagai teladan sekaligus pembimbing yang mengarahkan peserta didik pada pembentukan adab yang sesuai dengan prinsip-prinsip Islam. Oleh karena itu, paradigma ta’dīb sangat relevan sebagai dasar pendidikan yang mencakup aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik secara simultan.

3. Integrasi Tarbiyah, Ta’līm, dan Ta’dīb dalam Rancangan Kurikulum

Penelitian Afif & Rofiq menegaskan pentingnya integrasi antara tarbiyah (pengasuhan jiwa), ta’līm (pengajaran ilmu), dan ta’dīb (penanaman nilai) dalam perancangan kurikulum pendidikan Islam. Ketiganya merupakan pilar utama yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain, karena masing-masing memiliki peran strategis dalam pembentukan pribadi peserta didik yang utuh [11]. Model kurikulum yang hanya mengandalkan satu aspek, misalnya hanya pada dimensi kognitif (ta’līm), cenderung menghasilkan lulusan yang cerdas secara intelektual namun miskin dalam karakter dan spiritualitas. Demikian pula, jika hanya mengandalkan tarbiyah tanpa arah nilai yang kuat, proses pembinaan bisa menjadi kabur. Karena itu, integrasi ketiga komponen ini merupakan keniscayaan dalam merumuskan kurikulum yang holistik dan transformatif.

Model rekonstruksi kurikulum yang ditawarkan Afif & Rofiq menempatkan ta’dīb sebagai inti nilai pendidikan Islam, dengan tarbiyah sebagai pendekatan pembinaan, dan ta’līm sebagai metode penyampaian ilmu. Dalam kerangka ini, ta’dīb bukan hanya sekadar penanaman nilai moral, tetapi juga merupakan proses pembudayaan adab sebagai fondasi berpikir, bersikap, dan bertindak [11]. Pendekatan ini menghindari dikotomi antara aspek spiritual dan intelektual, karena seluruh aktivitas pendidikan diarahkan untuk menumbuhkan kesadaran akan tanggung jawab etis sebagai hamba Allah dan khalifah di muka bumi. Kurikulum yang berpusat pada ta’dīb juga memungkinkan adanya diferensiasi strategi pembelajaran yang menekankan dimensi ruhani, emosi, dan sosial peserta didik, tanpa mengabaikan dimensi akademik dan keterampilan abad 21.

Pendekatan ini diperkuat oleh temuan Awwalina & Nugraha yang menyatakan bahwa kurikulum spiritualistik dan berbasis adab sangat relevan sebagai solusi atas dekadensi moral di era digital. Arus informasi yang deras dan minim sensor telah mengaburkan batas nilai-nilai etika dan menyebabkan krisis identitas di kalangan generasi muda [12]. Dalam konteks ini, kurikulum yang menjadikan ta’dīb sebagai pusat gravitasi pembelajaran dapat menanamkan nilai adab sebagai filter utama dalam menyikapi perkembangan zaman. Dengan menjadikan spiritualitas sebagai fondasi, pendidikan tidak hanya mencerdaskan otak, tetapi juga menyeimbangkan hati dan perilaku. Maka, kurikulum berbasis integrasi tarbiyah, ta’līm, dan ta’dīb menjadi jawaban komprehensif dalam membentuk insan kamil yang siap menghadapi tantangan zaman secara bermartabat.

4. Temuan tentang Kesenjangan Filosofis Kurikulum Nasional

Penelitian Sabeni dan Ruswandi menyimpulkan bahwa kurikulum nasional masih mengandung epistemologi Barat, terutama dalam hal pemisahan antara ilmu agama dan ilmu umum. Pemisahan ini tidak hanya berdampak pada struktur kurikulum, tetapi juga pada cara berpikir peserta didik yang cenderung memisahkan nilai-nilai spiritual dari ilmu pengetahuan. Akibatnya, terbentuklah dualisme keilmuan yang bertentangan dengan prinsip integralistik dalam Islam, yakni kesatuan antara wahyu dan akal, antara ilmu dan iman. Dalam pandangan Islam, tidak ada dikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum karena seluruh ilmu berasal dari Allah dan bertujuan untuk menuntun manusia kepada kebenaran yang hakiki. Oleh karena itu, sistem pendidikan yang terpengaruh oleh paradigma Barat harus dikaji ulang agar tidak menjauhkan peserta didik dari kesadaran spiritual dan tujuan pendidikan yang holistik [13],[14].

Kurikulum Pendidikan Agama Islam (PAI) perlu didekonstruksi secara mendalam agar tidak hanya berfokus pada aspek prosedural dan administratif semata, seperti penguasaan silabus kognitif atau capaian hasil belajar yang bersifat kuantitatif. Kurikulum PAI harus mampu mengintegrasikan dimensi filosofis dan transendental dalam proses pembelajaran, sehingga peserta didik tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga bijaksana secara moral dan spiritual. Dalam konteks ini, epistemologi Islam yang berbasis pada wahyu (revelation) dan adab (etika ilmu) menjadi kerangka penting dalam merancang kurikulum yang lebih bermakna. Seperti yang dijelaskan oleh Al-Attas (1995), pendidikan seharusnya bertujuan untuk "menanamkan adab" dan mengenalkan hakikat ilmu sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah. Dengan demikian, pendidikan agama tidak hanya menjadi mata pelajaran formal, tetapi menjadi pondasi spiritual dan moral dalam keseluruhan sistem pendidikan.

5. Kesesuaian Temuan dengan Penelitian Sebelumnya

Temuan penelitian ini konsisten dengan berbagai hasil studi sebelumnya yang menegaskan pentingnya fondasi epistemologis Islam dalam pembentukan pendidikan karakter. Mahmud dan Priatna menunjukkan bahwa pendekatan pendidikan karakter yang hanya mengandalkan strategi pedagogis konvensional tanpa disertai kerangka nilai yang kokoh cenderung gagal membentuk integritas moral peserta didik secara utuh [15]. Dalam pandangan mereka, pendidikan karakter harus dibangun di atas paradigma tauhid yang menjadi inti dari epistemologi Islam. Ilma juga menegaskan hal serupa, bahwa karakter Islami tidak bisa ditransformasikan melalui metode teknis belaka, melainkan membutuhkan proses internalisasi nilai yang bersumber dari wahyu dan tradisi ilmiah Islam [16]. Dengan kata lain, pendidikan karakter harus memiliki kerangka nilai yang transendental agar mampu melampaui batas-batas formalitas pendidikan.

Lebih jauh lagi, menyoroti bahwa konsep ta’dīb dalam Islam menjadi tawaran solutif untuk mengatasi fragmentasi moral yang melanda lembaga pendidikan formal dewasa ini. Ta’dīb bukan hanya mengajarkan adab, tetapi juga merupakan proses pembentukan kepribadian manusia yang menyeluruh, mencakup dimensi intelektual, spiritual, dan sosial. Berbeda dengan pendekatan sekuler yang cenderung memisahkanaspek moral dari kognitif, ta’dīb menekankan pentingnya harmonisasi antara ilmu dan akhlak. Dalam konteks ini, lembaga pendidikan Islam memiliki tanggung jawab untuk merekonstruksi kembali sistem pendidikannya agar berorientasi pada pembentukan insan kamil, bukan sekadar individu berpengetahuan. Dengan demikian, pendekatan pendidikan karakter berbasis epistemologi Islam bukan hanya relevan secara konseptual, tetapi juga sangat mendesak untuk diterapkan secara praktis dalam sistem pendidikan saat ini.

6. Implikasi terhadap Implementasi Kurikulum Merdeka

Studi terbaru oleh Aulia & Fakhruddin menunjukkan bahwa Kurikulum Merdeka membuka ruang untuk fleksibilitas pengembangan nilai. Namun, fleksibilitas ini belum diikuti dengan kerangka nilai Islam yang kuat. Dengan menerapkan ta’dīb sebagai kerangka epistemologi, Kurikulum Merdeka dapat diarahkan pada pembentukan adab, bukan sekadar proyek pembelajaran. Dalam hal ini, ta’dīb, sebagaimana dijelaskan oleh Al-Attas , mencakup pembentukan manusia seutuhnya—yakni harmonisasi antara akal, jiwa, dan tindakan berdasarkan kebenaran wahyu dan akhlak kenabian. Pendekatan ini menekankan bahwa pendidikan bukan hanya transmisi pengetahuan, tetapi juga internalisasi nilai yang mengakar kuat dalam etika Islam [17].

Fleksibilitas dalam Kurikulum Merdeka seharusnya tidak hanya dipahami sebagai keleluasaan memilih konten ajar atau metode, melainkan juga sebagai peluang untuk membentuk karakter dan spiritualitas siswa. Ketika nilai-nilai Islam tidak dijadikan fondasi dalam proses ini, maka fleksibilitas justru bisa menjadi ruang yang membingungkan—terbuka bagi nilai-nilai luar yang tidak selalu sesuai dengan visi pendidikan Islam. Di sinilah pentingnya ta’dīb untuk memastikan bahwa kebebasan dalam pendidikan tidak kehilangan arah, dan tetap bertumpu pada prinsip-prinsip kebenaran (haqq) dan keadilan (‘adl).

Dalam konteks implementasi, pendekatan ta’dīb menghendaki peran guru bukan hanya sebagai fasilitator pembelajaran, tetapi sebagai teladan moral dan agen transformasi nilai. Ini menuntut adanya pelatihan guru yang tidak hanya teknis, tetapi juga spiritual dan etis. Pengembangan kurikulum pun perlu dilengkapi dengan indikator pembentukan adab, misalnya dalam hal pengembangan empati, tanggung jawab sosial, dan penghormatan terhadap otoritas ilmiah dan spiritual. Dengan demikian, Kurikulum Merdeka dapat menjadi wahana aktualisasi nilai-nilai Islam secara substantif, bukan hanya formalis.

7. Model Kurikulum yang Direkomendasikan

Berdasarkan seluruh analisis, model kurikulum yang direkomendasikan terdiri dari tiga struktur utama:

a. Domain Nilai: Landasan ta’dīb sebagai inti pembelajaran.

b. Domain Proses: Integrasi tarbiyah sebagai pendekatan emosional-afektif dan spiritual.

c. Domain Pengetahuan: Ta’līm sebagai metode transfer ilmu yang terkontrol oleh nilai.

Figure 1. Model Pendidikan Islam Berbasis Ta’dīb Menuju Insān Kāmil melalui Tarbiyah dan Ta’līm.

Penjelasan Skema:

a. Ta’dīb diletakkan di posisi sentral sebagai basis ontologis dan epistemologis dari seluruh kurikulum. Ia membentuk “nilai utama” yang mengarahkan isi, metode, dan tujuan pendidikan.

b. Tarbiyah merupakan dimensi proses pembinaan jiwa yang menekankan afeksi, spiritualitas, dan penumbuhan nilai secara gradual dan kontekstual.

c. Ta’līm difungsikan sebagai metode transmisi ilmu, namun selalu berada dalam koridor nilai dan adab, bukan sekadar kognisi bebas nilai.

d. Ketiga komponen bermuara pada pembentukan insān kāmil, manusia paripurna sebagai tujuan akhir pendidikan Islam.

Model ini bukan hanya sebuah rekayasa kurikulum normatif, tetapi merupakan penataan ulang terhadap kerangka epistemologis dan aksiologis pendidikan yang selama ini cenderung terfragmentasi. Pendekatan ini menempatkan ta’dīb bukan sebagai pelengkap, melainkan sebagai basis ontologis dari seluruh aktivitas pendidikan. Dalam hal ini, ta’dīb tidak hanya mengarahkan tujuan akhir pendidikan—yakni pembentukan manusia beradab—tetapi juga menjadi penentu dalam seleksi konten, sikap pendidik, serta desain evaluasi pembelajaran.

Studi Empirik Lembaga Pendidikan Berbasis Ta’dīb. Lembaga yang bisa dijadikan studi kasus:

a. ISTAC (International Institute of Islamic Thought and Civilization), Malaysia – lembaga yang dikembangkan oleh Syed Muhammad Naquib Al-Attas sendiri, dengan implementasi kuat pada integrasi antara ilmu, adab, dan spiritualitas.

b. Pondok Pesantren Darussalam Gontor, Indonesia – meski tidak menyebut ta’dīb secara eksplisit, model pendidikannya sangat mencerminkan integrasi tarbiyah, ta’līm, dan pembentukan adab.

c. Sekolah Alam atau Sekolah Karakter Islam di Indonesia – banyak yang sudah menerapkan pendekatan nilai spiritual dan karakter, meski dengan istilah berbeda.

Wawancara Guru PAI: Praktik Integrasi Nilai dalam Pembelajaran

Dalam wawancara dengan Ustazah Rahmah, guru PAI di MTs Swasta Nurul Ilmi, Pekanbaru (wawancara, Mei 2025), ia menyampaikan:

“Kami berusaha menerapkan konsep adab bukan hanya di kelas, tetapi dalam interaksiharian. Sebelum mulai pelajaran, kami biasakan murid untuk membaca doa dan muhasabah. Dalam menyampaikan fikih, saya tidak hanya menjelaskan hukum, tapi juga makna moral dan sosial dari ibadah itu.”

Ia menambahkan bahwa pendekatan PAI yang menekankan pada nilai (ta’dīb) sangat membantu membentuk kesadaran siswa akan pentingnya hidup teratur, jujur, dan saling menghargai. Menurutnya, tanpa pendekatan spiritual dan afektif ini, PAI menjadi pelajaran yang kering dan hanya dihafal tanpa pengaruh nyata pada sikap siswa.

Wawancara ini menegaskan bahwa reorientasi kurikulum PAI tidak memerlukan perubahan radikal struktur, melainkan perubahan cara pandang guru dalam memosisikan dirinya dan materi ajar sebagai sarana pembentukan insan beradab.

Simpulan

Penelitian ini menegaskan bahwa rekonstruksi kurikulum pai dan budi pekerti memerlukan pendekatan epistemologis yang bersumber dari integrasi wahyu dan akal, dengan orientasi pada pembentukan manusia paripurna (insān kāmil). pendekatan epistemologi islam memberikan kerangka nilai yang kokoh untuk menyeimbangkan aspek kognitif, afektif, dan spiritual dalam pendidikan. temuan penelitian ini menunjukkan bahwa model kurikulum yang terintegrasi dalam tiga domain utama ta’dīb, tarbiyah, dan ta’līm mampu menjawab kebutuhan transformasi kurikulum yang tidak hanya berbasis kompetensi, tetapi juga karakter dan adab.

Pertama, ta’dīb berperan sebagai fondasi nilai yang mengarahkan tujuan utama pendidikan, yaitu internalisasi adab dan pembentukan akhlak mulia sebagai pusat peradaban. kedua, tarbiyah sebagai domain proses memperkuat dimensi emosional dan spiritual melalui keteladanan, relasi murabbi-murid, dan pengalaman religius yang hidup dalam proses belajar. ketiga, ta’līm mengatur cara penyampaian ilmu pengetahuan secara kritis, sistematis, dan bermakna, namun tetap dalam pengawalan nilai-nilai ilahiyah.

Secara keseluruhan, konstruksi kurikulum berbasis epistemologi islam ini bersesuaian dengan maqāṣid al-syarī‘ah, serta tujuan pendidikan nasional dan islam, yakni membentuk peserta didik yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga memiliki adab, iman, dan tanggung jawab sosial. kurikulum yang hanya menekankan transfer ilmu tanpa pembentukan adab berisiko melahirkan manusia yang terampil tetapi nihil moral.

Ke depan, pengembangan kurikulum pai dan budi pekerti perlu dilakukan secara sistemik, dimulai dari pelatihan guru berbasis paradigma ta’dīb, pengembangan indikator penilaian adab, hingga revisi materi ajar yang menempatkan nilai sebagai pusat, bukan pinggiran. penelitian selanjutnya disarankan untuk menguji implementasi model ini di tingkat sekolah dan madrasah, guna melihat dampak konkret terhadap perubahan karakter dan spiritualitas peserta didik secara menyeluruh.

Untuk mewujudkan kurikulum yang berbasis pada ta’dīb, beberapa langkah jangka pendek yang dapat segera diinisiasi antara lain:

1. Pelatihan Guru PAI Berbasis Epistemologi Islam

Melakukan workshop nasional yang membekali guru PAI dengan pemahaman mendalam tentang konsep ta’dīb, tarbiyah, dan ta’līm, serta cara mengintegrasikannya dalam RPP dan evaluasi pembelajaran.

2. Rekonstruksi Silabus dan Capaian Pembelajaran

Revisi silabus PAI dengan menambahkan indikator capaian adab, bukan hanya capaian kognitif. Misalnya, mengukur perkembangan sikap spiritual, kesantunan berbahasa, dan empati sosial.

3. Pengembangan Rubrik Penilaian Adab

Merancang sistem asesmen yang mencakup aspek pembentukan karakter dan spiritualitas, seperti kejujuran, disiplin dalam ibadah, ketawadhuan, serta sikap terhadap ilmu dan guru.

4. Desain Materi Ajar Kontekstual dan Bermakna

Mengembangkan bahan ajar yang menampilkan nilai-nilai Islam dalam konteks kekinian, dengan menyisipkan kisah teladan, diskusi etik kontemporer, dan refleksi nilai.

5. Peran Guru sebagai Teladan Moral (Mursyid)

Memberikan pendampingan kepada guru untuk membangun kesadaran akan fungsi mereka bukan hanya sebagai penyampai materi, tetapi juga sebagai mursyid, pendidik ruhani dan pembentuk jiwa.

Dalam jangka panjang, implementasi model kurikulum ini diharapkan dapat mengubah wajah pendidikan Islam nasional secara struktural dan paradigmatik. Beberapa target yang dapat dicapai dalam rentang 5–10 tahun ke depan mencakup:

1. Terciptanya Generasi Pembelajar yang Beradab dan Visioner

Lulusan madrasah dan sekolah Islam tidak hanya terampil, tetapi juga mampu menjaga integritas moral, tangguh dalam keimanan, dan berkontribusi secara etis di tengah perubahan zaman.

2. Lembaga Pendidikan Islam sebagai Pusat Pembudayaan Nilai

Sekolah dan madrasah menjadi pusat pembudayaan adab, bukan sekadar institusi transmisi ilmu, dengan atmosfer spiritual dan sosial yang hidup dan mendidik.

3. Kurikulum PAI sebagai Rujukan Nasional

Model integratif ta’dīb-tarbiyah-ta’līm dapat diadopsi sebagai standar pengembangan kurikulum PAI nasional, menggantikan model tekstualistik dan prosedural yang saat ini dominan.

4. Pengembangan Institut Guru PAI Berbasis Adab

Lahirnya pusat-pusat pelatihan guru PAI berbasis epistemologi Islam yang dapat mencetak pendidik berkarakter, sekaligus role model yang menginspirasi.

Saran

1. Bagi Pengembang Kurikulum:

Diperlukan reposisi kurikulum PAI dan Budi Pekerti dengan menjadikan ta’dīb sebagai fondasi nilai dan arah tujuan utama pembelajaran. Pengembang kurikulum perlu menyusun struktur kurikulum yang menekankan integrasi antara ta’līm (transfer ilmu), tarbiyah (pembinaan karakter dan spiritual), serta landasan epistemologis Islam yang holistik.

2. Bagi Pendidik dan Guru PAI:

Guru sebagai aktor utama dalam proses pendidikan perlu dibekali pemahaman mendalam mengenai konsep ta’dīb, sehingga mampu menjadi teladan (murabbi), bukan hanya penyampai materi (mu‘allim). Pelatihan dan pengembangan profesional guru hendaknya memasukkan aspek spiritualitas dan pedagogi Islam berbasis nilai.

3. Bagi Institusi Pendidikan dan Sekolah:

Lembaga pendidikan sebaiknya mendesain lingkungan belajar yang mendukung terbentuknya adab dan karakter islami siswa, tidak hanya dengan aturan, tetapi melalui kultur sekolah yang berorientasi pada tarbiyah dan pembiasaan nilai. Kolaborasi antara guru, orang tua, dan masyarakat harus diperkuat dalam proses pembinaan nilai ini.

4. Bagi Pemerintah dan Pemangku Kebijakan:

Pemerintah perlu membuka ruang fleksibilitas dalam Kurikulum Merdeka yang benar-benar memberi tempat bagi implementasi nilai-nilai keislaman secara utuh. Revisi kurikulum nasional dapat mengadopsi prinsip maqāṣid al-syarī‘ah sebagai pijakan dalam merumuskan arah pendidikan karakter dan spiritualitas di sekolah umum maupun madrasah.

5. Bagi Peneliti Selanjutnya:

Disarankan untuk melakukan studi lapangan atau eksperimen kurikulum berbasis ta’dīb, tarbiyah, dan ta’līm guna mengetahui efektivitasnya terhadap pembentukan karakter, adab, dan prestasi belajar siswa. Penelitian juga dapat mengembangkan instrumen penilaian adab yang aplikatif dan dapat diintegrasikan dalam asesmen pembelajaran PAI.

References

[1] A. Pulungan, "Konsep Ta’dīb Menurut Syed Muhammad Naquib," Jurnal Pendidikan Islam, 2021.

[2] F. Musyrifah, Pendidikan Islam Kontemporer: Konsep, Teori dan Implementasinya, 2024. [Online]. Available: http://scioteca.caf.com/bitstream/handle/123456789/1091/RED2017-Eng-8ene.pdf

[3] I. G. M. R. F. M. N. K. A. A. Zawawi, "Dinamika Pendidikan Agama Islam Pada PTU," Diandra Kreatif, p. 87, 2023.

[4] M. R. Saputra, Gagasan Pendidikan Ta’dīb Syed Muhammad Naquib Al-Attas dan Relevansinya dengan Tujuan Kurikulum 2013, Yogyakarta: Deepublish, 2021.

[5] S. Astuti, Paradigma Pendidikan Islam: Teori dan Praktik Pembelajaran, Yogyakarta: Kaukaba, 2020.

[6] W. M. H. P. W. Chik, "Ethical Leadership in Educational Administration: A Review," International Journal of Academic Research in Business and Social Sciences, vol. 10, no. 9, pp. 1139–1151, 2020, doi: 10.6007/ijarbss/v10-i9/8024.

[7] R. P. Weissberg, J. A. Durlak, C. E. Domitrovich, and T. P. Gullotta, "Social and Emotional Learning: Past, Present, and Future," Handbook of Social and Emotional Learning: Research and Practice, pp. 3–19, 2015.

[8] E. Murniasih, "Telaah Kritis Konsep Pendidikan Islam Pemikiran J. Mark Halstead dalam Artikel ‘An Islamic Concept of Education’," Tadibuna: Jurnal Pendidikan Islam, vol. 13, no. 2, pp. 102–113, 2024, doi: 10.32832/tadibuna.v13i2.15542.

[9] A. Fadli, "Integrasi-Interkoneksi Ilmu Agama dan Ilmu Pengetahuan Umum dalam Buku Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti Siswa SMA Kelas XII," Universitas Islam Indonesia, pp. 38–39, 2020.

[10] K. Sassi, "Ta’dīb as a Concept of Islamic Education Purification: Study on the Thoughts of Syed Muhammad Naquib Al-Attas," Journal of Malay Islamic Studies, vol. 2, no. 1, pp. 1–14, 2018, doi: 10.19109/jmis.v2i1.2541.

[11] M. F. A. Ahmad Rofiq, "Konsep Ta’dīb Pendidikan Agama Islam Perspektif Syed," Al-Fikr: Jurnal Pendidikan Islam, vol. 8, no. 2, pp. 81–89, 2022.

[12] L. S. Awwalina and M. S. Nugraha, "Analisis Kurikulum Pada Mata Pelajaran Akidah Akhlak Berlandaskan Keimanan di Madrasah Ibtidaiyah," Dirasat Islamiyah: Jurnal Ilmu-Ilmu Keislaman, vol. 2, no. 2, pp. 173–203, 2019, doi: 10.61630/dijis.v2i2.41.

[13] A. Sabeni, "Landasan Filosofis Pendidikan Agama Islam: Telaah Kajian Teoretik dalam Upaya Memperkokoh Landasan Filsafat Pendidikan Islam," Al-Ilm: Jurnal Ilmu Pendidikan dan Hukum, vol. 3, no. 1, pp. 32–45, 2020.

[14] K. A. Winata, U. Ruswandi, and B. S. Arifin, "Pendidikan Agama Islam (PAI) dalam Kurikulum Nasional," Attractive: Innovative Education Journal, vol. 3, no. 2, p. 138, 2021, doi: 10.51278/aj.v3i2.248.

[15] T. P. Mahmud, Pemikiran Pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2005.

[16] M. U. Ilma, "Epistemic: Jurnal Ilmiah Pendidikan," Epistemic: Jurnal Ilmiah Pendidikan, vol. 2, no. 1, pp. 1–19, 2023.

[17] M. H. Aulia, A. Fakhruddin, C. Surahman, and U. P. Indonesia, "Pemetaan Capaian Pembelajaran dan Materi Ajar PAI dan Budi Pekerti Elemen Al-Qur’an," Jurnal Pendidikan Islam Indonesia, vol. 16, no. 1, pp. 103–117, 2024.