Login
Section Innovation in Health Science

Global Trends in Telemedicine Design Approaches Over the Past Decade

Tren Global dalam Pendekatan Desain Telemedisin Selama Sepuluh Tahun Terakhir
Vol. 26 No. 4 (2025): October:

Aditya Rahmat Zulfikar (1), Merita Arini (2)

(1) Master of Hospital Administration, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Indonesia
(2) Master of Hospital Administration, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Indonesia

Abstract:

General Background: Telemedicine has rapidly evolved as a pivotal component of global healthcare, providing remote services that enhance clinical outcomes and patient access. Specific Background: Despite significant technological advancements, the design dimension of telemedicine systems remains crucial for ensuring usability, inclusivity, and sustainability. Knowledge Gap: Previous studies have primarily addressed isolated aspects of interface or AI integration, lacking a comprehensive, data-driven mapping of global design trends in telemedicine. Aims: This study employs a bibliometric analysis of 1,115 open-access Scopus-indexed publications (2014–2024) to map thematic clusters, identify evolving research focuses, and evaluate key design approaches in telemedicine. Results: Findings reveal a sharp rise in publications post-2020 driven by the COVID-19 pandemic, with six major clusters encompassing user-centered design, clinical effectiveness, access equity, research methodology, pandemic response, and integration of scientific databases. Novelty: By synthesizing technological, clinical, and socio-economic perspectives, this research provides the first decade-long, global bibliometric analysis of telemedicine design, highlighting adaptive user-centered and evidence-based approaches. Implications: The results underscore the necessity for inclusive, crisis-responsive, and evidence-informed design strategies to enhance telemedicine’s scalability and equity across diverse healthcare contexts


Highlights:




  • Highlights rapid growth of telemedicine design research, especially post-COVID-19.




  • Identifies six global thematic clusters guiding inclusive and adaptive system design.




  • Emphasizes user-centered, evidence-based approaches for sustainable telehealth solutions.




Keywords: Telemedicine, Design, User Centered, Bibliometric, Healthcare

Downloads

Download data is not yet available.

Pendahuluan

Bertoncello menyatakan bahwa dalam kondisi saat ini, teknologi, informasi, dan komunikasi merupakan sarana yang tepat untuk mengatasi berbagai permasalahan yang berkaitan dengan kesehatan masyarakat[1]. Selain itu, sarana tersebut dapat digunakan untuk mengidentifikasi peningkatan jumlah penderita penyakit kronis, lansia, dan tenaga medis, serta sebagai cara yang baik untuk menekan biaya layanan kesehatan [1]. Transformasi digital dalam sektor kesehatan telah melahirkan berbagai bentuk layanan berbasis teknologi, salah satunya adalah telemedicine [2]

Dengan menyediakan forum daring bagi anggota staf medis di unit layanan medis untuk saling berkomunikasi demi tujuan perawatan kesehatan pasien bersama, model layanan kesehatan ini dapat terhubung secara terpadu. Hal ini akan membantu meningkatkan perbaikan klinis pasien dan meningkatkan kepatuhan terhadap terapi[3]

Mengingat kita berada di tengah era pembangunan industri 4.0 dan sistem informasi sudah sangat mengakar dalam interaksi sosial, telemedicine merupakan metode yang sangat cocok untuk zaman kita saat ini[4]. Argumen lain adalah bahwa telemedicine memungkinkan pengambilan keputusan klinis yang cepat yang sesuai untuk daerah terpencil tanpa memerlukan interaksi tatap muka dengan pasien. Ia juga memiliki kapasitas untuk mengumpulkan dan mengelola data pasien[5].Hal ini karena pasien yang tinggal di daerah terpencil dapat mengakses telemedicine dan menerima perawatan dari tenaga medis tanpa harus pergi ke institusi kesehatan, sistem telemedicine dapat menghasilkan luaran klinis yang setara atau bahkan lebih baik daripada perawatan konvensional [6].

Alasan-alasan yang telah diuraikan pada paragraf sebelumnya, kehadiran sistem telemedicine sebagai fasilitas praktik kesehatan telah menurunkan biaya perawatan pasien karena kemajuan teknologi[6]. Sebenarnya, intervensi telemedicine sudah dimulai beberapa tahun yang lalu, dan sejauh ini, berjalan cukup baik[7].Penelitian menunjukkan bahwa 83% dari keberhasilan praktik klinis telemedicine setara dengan perawatan langsung, dan 39% dari efisiensi biaya sistem telemedicine dapat menghasilkan biaya perawatan yang lebih rendah bagi pasien[7].

Hubungan dokter-pasien yang lebih baik dihasilkan dari peningkatan kepatuhan dan tingkat kepuasan pasien yang secara aktif berpartisipasi dalam percakapan yang berpusat pada pasien tentang kesehatan dan kesejahteraan mereka[8]. Dalam implementasinya, desain memiliki peran krusial dalam memastikan efektivitas, efisiensi, dan penerimaan layanan oleh pengguna. Aspek desain meliputi antarmuka pengguna, pengalaman pasien, hingga desain sistem yang menunjang komunikasi dan interaksi jarak jauh[9]. Dalam beberapa tahun terakhir, inovasi dalam desain telemedicine menunjukkan perkembangan signifikan. Misalnya, pengembangan antarmuka adaptif (adaptive UI/UX) memungkinkan sistem menyesuaikan tata letak dan fitur berdasarkan profil pengguna seperti usia, literasi digital, atau riwayat penggunaan. Di sisi lain, integrasi kecerdasan buatan (AI) ke dalam sistem telemedicine memungkinkan deteksi gejala secara otomatis, pemberian rekomendasi medis awal, dan dukungan pengambilan keputusan klinis berbasis data real-time. Selain itu, solusi desain inklusif seperti navigasi berbasis suara, mode kontras tinggi, dan bahasa visual sederhana telah mulai diadopsi untuk menjangkau pengguna dengan keterbatasan penglihatan, disabilitas kognitif, atau tingkat literasi rendah. Sayangnya, meskipun berbagai inovasi tersebut berkembang pesat, masih sedikit studi yang memetakan tren desain ini secara sistematis dalam kerangka global dan berbasis data bibliometrik.

Peran desain menjadi semakin penting selama pandemi COVID-19, ketika layanan tatap muka dibatasi dan telemedicine menjadi alternatif utama. Dalam konteks ini, desain sistem harus responsif terhadap kebutuhan pengguna dari berbagai latar belakang demografis, sosial, dan kesehatan. Namun, hingga saat ini belum banyak studi yang secara komprehensif memetakan tren dan fokus penelitian tentang desain dalam telemedicine. Beberapa studi sebelumnya cenderung fokus pada aspek tertentu dari desain, seperti hanya membahas efektivitas antarmuka pengguna atau penggunaan AI dalam diagnosis spesifik. Misalnya, studi oleh Huang et al. [10]. hanya menyoroti peningkatan kepercayaan pengguna lanjut usia terhadap teleconsultation berbasis explainable AI, tanpa mengaitkannya dengan tren desain global[11]. Studi lain oleh Singh et al. memetakan evolusi antarmuka telemedicine selama pandemi, namun terbatas pada konteks India dan tidak menyoroti pendekatan desain inklusif secara luas[12]. Dengan demikian, diperlukan studi yang mampu menyatukan dimensi teknologi, sosial, dan klinis dari pendekatan desain telemedicine secara menyeluruh. Penelitian ini mencoba mengisi kekosongan tersebut melalui pendekatan bibliometrik terhadap publikasi global selama satu dekade terakhir. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk memetakan tren global terkait pendekatan desain dalam sistem telemedicine selama satu dekade terakhir (2014–2024) melalui analisis bibliometrik berbasis data Scopus, guna mengidentifikasi tema dominan, evolusi topik, serta kontribusi riset dalam membentuk praktik desain telemedicine yang inklusif, adaptif, dan berbasis bukti.

Metode

Penelitian ini menggunakan metodologi qualitative literature review. Basis data jurnal peer-review terkenal di dunia (https://www.scopus.com/) ditelusuri untuk mengumpulkan data penelitian. Dengan menggunakan kata kunci "Telemedicine," "Design," dan "Healthcare," ditemukan 2803 dokumen. Pencarian basis data Scopus dengan tahun publikasi mulai dari 2014 hingga 2024 menghasilkan 2166 dokumen. Penelitian ini secara eksklusif memperhitungkan artikel jurnal tentang medicine, menghasilkan 1565 dokumen. Pencarian didasarkan pada bahasa publikasi, yang dalam hal ini adalah bahasa Inggris dan mencakup sekitar 1537 dokumen. Terakhir, pencarian dibatasi pada akses terbuka untuk sekitar 1115 dokumen. Untuk memberikan gambaran yang jelas tentang apa yang dilakukan, proses yang terlibat dalam penyelidikan ini diberikan dalam (Gambar 1) di bawah ini.

Figure 1. Skema Pemilihan Publikasi

Informasi mengenai peta riset didistribusikan melalui ekspor data dalam format file RIS. Selanjutnya, dua bentuk pendekatan digunakan untuk menyusun peta kepemimpinan bibliometrik: analisis menggunakan perangkat lunak VOSviewer dan analisis hasil pencarian melalui menu Scopus. Berdasarkan tahun publikasi, institusi penerbit, negara asal publikasi, nama jurnal, dan topik penelitian, dilakukan analisis deskriptif terhadap hasil pencarian dari Scopus. Sementara itu, VOSviewer digunakan untuk menghasilkan peta bibliometrik yang menggambarkan perkembangan penelitian mengenai topik penting, yaitu desain telemedicine.

Pemilihan metode analisis bibliometrik dalam studi ini didasarkan pada kebutuhan untuk mengidentifikasi pola, tren, dan hubungan tematik dalam publikasi ilmiah secara luas. Basis data Scopus dipilih karena merupakan salah satu indeks ilmiah terbesar dengan cakupan multidisipliner dan metadata yang kaya untuk keperluan analisis jaringan, seperti co-authorship, co-occurrence, dan citation analysis. Penggunaan perangkat lunak VOSviewer memperkuat validitas visualisasi hubungan tematik dan jaringan kata kunci, yang menjadi fondasi pemetaan literatur ini. Pemilihan kata kunci seperti telemedicine, design, dan healthcare juga mempertimbangkan keseimbangan antara cakupan luas dan kekhususan tema yang diteliti.

Penggunaan perangkat lunak VOSviewer dalam analisis ini tidak hanya bertujuan untuk menghasilkan visualisasi jaringan kata kunci atau kolaborasi penulis, tetapi juga sebagai dasar untuk interpretasi tematik yang lebih mendalam. Untuk memastikan bahwa hasil visualisasi tidak hanya bersifat deskriptif, interpretasi dilakukan dengan mengacu pada kemunculan kata kunci dominan, kekuatan keterhubungan (link strength), dan posisi simpul dalam klaster tertentu. Selain itu, peneliti melakukan validasi silang secara manual dengan meninjau beberapa artikel representatif dari setiap klaster utama yang dihasilkan, guna memastikan bahwa representasi visual sesuai dengan substansi konten publikasi. Pendekatan ini mendukung analisis tematik yang lebih bermakna dan mampu menangkap arah serta kontribusi riset secara lebih kontekstual.

Analisis data dalam penelitian ini tidak hanya dilakukan secara deskriptif melalui kuantifikasi frekuensi kata kunci dan visualisasi jaringan bibliometrik, tetapi juga dilengkapi dengan pendekatan analisis tematik (thematic analysis) untuk memperdalam pemaknaan terhadap masing-masing klaster yang dihasilkan oleh VOSviewer. Setiap klaster utama dianalisis secara kualitatif dengan meninjau beberapa publikasi kunci yang berada di simpul sentral atau memiliki keterkaitan kuat (total link strength) dalam jaringan. Melalui proses ini, peneliti mengidentifikasi tema-tema dominan, arah riset, serta kontribusi spesifik yang muncul dalam tiap klaster. Pendekatan ini memberikan konteks yang lebih kaya dan memungkinkan penarikan kesimpulan yang lebih reflektif atas tren dan gap penelitian dalam desain sistem telemedicine.

Kata Kunci dan Strategi Pencarian

( TITLE-ABS-KEY ( telemedicine ) AND TITLE-ABS-KEY ( design ) AND TITLE-ABS-KEY ( healthcare ) ) AND PUBYEAR > 2013 AND PUBYEAR < 2025 AND ( LIMIT-TO ( SUBJAREA , "MEDI" ) ) AND ( LIMIT-TO ( LANGUAGE , "English" ) ) AND ( LIMIT-TO ( OA , "all" ) )

Hasil dan Pembahasan

A . Hasil

Analisis tren publikasi menunjukkan peningkatan signifikan dalam jumlah dokumen terkait telemedicine selama periode 2014 hingga 2024. Ini ditunjukksan pada gambar 2, pada tahun 2014, terdapat 27 dokumen yang dipublikasikan, dan angka ini meningkat drastis hingga mencapai puncaknya pada tahun 2024 dengan 229 dokumen. Lonjakan terbesar terjadi antara tahun 2020 (99 dokumen) dan 2021 (152 dokumen), yang kemungkinan besar dipengaruhi oleh pandemi COVID-19 yang mendorong adopsi telemedicine secara masif. Setelah sedikit penurunan pada 2023 (156 dokumen), jumlah publikasi kembali melonjak pada 2024. Pola ini mencerminkan pergeseran paradigma dalam layanan kesehatan global menuju penggunaan teknologi digital dan komunikasi jarak jauh.

Figure 2. Number of publications by year

Figure 3. Analisis Negara dengan Publikasi Terkait Telemedicine

Dalam hal kontribusi negara, seperti pada gambar 3, Amerika Serikat mendominasi dengan total lebih dari 350 dokumen, menjadikannya pusat utama penelitian telemedicine global. Inggris menempati posisi kedua dengan sekitar 190 dokumen, diikuti oleh Australia, Belanda, dan Kanada. Negara-negara Eropa seperti Jerman, Italia, Spanyol, dan Swedia juga menunjukkan partisipasi yang cukup aktif, sedangkan China muncul sebagai satu-satunya negara Asia dalam sepuluh besar. Pola ini menunjukkan bahwa negara-negara maju mendominasi diskursus ilmiah dalam bidang telemedicine, yang berkaitan erat dengan infrastruktur digital yang lebih mapan dan kebijakan kesehatan yang progresif.

Title Author and Year Sources Cited by
Wearable devices in medical internet of things: Scientific research and commercially available devices Haghi, M., Thurow, K., Stoll, R. (2017) Healthcare Informatics Research, 23(1), pp. 4–15 581
Patient Characteristics Associated With Telemedicine Access for Primary and Specialty Ambulatory Care During the COVID-19 Pandemic Eberly, L.A., Kallan, M.J., Julien, H.M. , ... Deleener, M.E., Adusumalli, S. (2020) JAMA Network Open, 3(12), e2031640 565
Infection and mortality of healthcare workers worldwide from COVID-19: A systematic review Bandyopadhyay, S., Baticulon, R.E. Kadhum, M., ... Jani, A., Khundkar, R. (2020) BMJ Global Health, 5(12), e003097 457
M-Health adoption by healthcare professionals: A systematic review Gagnon, M.-P., Ngangue, P., Payne-Gagnon, J., Desmartis, M. (2016) Journal of the American Medical Informatics Association, 23(1), pp. 212–220 432
Mobile technology and the digitization of healthcare Bhavnani, S.P., Narula, J., Sengupta, P.P. (2018) European Heart Journal, 37(18), pp. 1428–1438 320
Table 1. Kutipan publikasi berdasarkan bidang subjek

Dokumen-dokumen ini seperti pada table 1, memperlihatkan bahwa topik-topik seperti perangkat wearable, mHealth, dan dampak COVID-19 menjadi fokus dominan dalam publikasi yang berpengaruh tinggi. Hasil analisis ini menunjukkan bahwa telemedicine bukan lagi pendekatan alternatif, melainkan telah menjadi komponen utama dalam sistem layanan kesehatan global. Lonjakan publikasi selama pandemi mencerminkan kebutuhan mendesak akan layanan kesehatan jarak jauh. Sementara itu, dominasi negara-negara maju menunjukkan perlunya kolaborasi internasional yang lebih inklusif agar manfaat telemedicine dapat menjangkau negara-negara berkembang. Selain itu, artikel-artikel yang paling disitasi umumnya membahas integrasi teknologi baru dan tantangan aksesibilitas, menandakan pentingnya pendekatan multidisipliner dalam pengembangan telemedicine.

1. Peta Perkembangan Penelitian Ditampilkan Di Telemedicine

Figure 4. Analisis visualisasi jejaring berdasarkan informasi pada judul dan deskripsi

Visualisasi jaringan kata kunci yang dihasilkan melalui analisis co-occurrence menggunakan VOSviewer menggambarkan lanskap penelitian telemedicine selama periode 2014–2024. Kata kunci "telemedicine" tampak dominan dan berada di pusat jaringan, menunjukkan bahwa topik ini merupakan fokus utama dalam literatur yang dianalisis. Kata kunci penting lainnya yang muncul dalam ukuran node besar dan posisi sentral antara lain "questionnaire", "randomized controlled trial", "female", dan "covid-19". Keberadaan kata kunci ini merefleksikan orientasi kuat penelitian terhadap evaluasi layanan, uji klinis, kelompok populasi tertentu, serta pengaruh pandemi terhadap penggunaan teknologi kesehatan jarak jauh.

Dari segi desain telemedicine, hasil visualisasi ini mengungkap bahwa aspek desain tidak hanya bersifat teknis, tetapi juga sangat terkait dengan faktor manusia, konteks sosial, dan efektivitas klinis. Klaster merah, misalnya, berisi kata kunci seperti questionnaire, ehealth, physician, trust, dan adoption, yang menunjukkan bahwa desain layanan telemedicine harus mempertimbangkan persepsi, kepercayaan, dan sikap dari pengguna baik tenaga kesehatan maupun pasien. Ini menunjukkan bahwa pendekatan user-centered design menjadi penting dalam pengembangan sistem.

Klaster hijau memperlihatkan kaitan desain telemedicine dengan integrasi sistem monitoring dan evaluasi klinis, seperti telemonitoring, heart failure, adherence, dan blood pressure. Desain sistem dalam konteks ini harus mampu mendukung pengumpulan data klinis secara real-time dan pengambilan keputusan yang berbasis bukti, khususnya untuk penyakit kronis. Klaster biru menyoroti pentingnya desain yang inklusif, dengan perhatian pada kelompok rentan seperti perempuan dan minoritas (female, pregnancy, socioeconomic factors), yang berarti telemedicine harus dirancang agar aksesibel dan relevan secara budaya dan sosial.

Klaster kuning mencerminkan dimensi efisiensi dan efektivitas biaya dalam desain, dengan kata kunci seperti comparative study dan quality adjusted life year. Hal ini menunjukkan perlunya mempertimbangkan aspek ekonomi dalam desain intervensi telemedicine agar dapat diterapkan secara berkelanjutan. Sementara itu, klaster ungu mengangkat tema besar COVID-19 yang menjadi katalis utama dalam adopsi telemedicine secara luas. Dalam hal ini, desain harus fleksibel dan mampu merespons kondisi darurat, termasuk integrasi cepat dengan sistem kesehatan yang ada.

Secara keseluruhan, hasil ini menegaskan bahwa desain telemedicine yang baik harus bersifat multidisipliner, mencakup dimensi teknologi, klinis, sosial, dan ekonomi. Visualisasi ini menjadi dasar yang kuat untuk menyimpulkan bahwa keberhasilan telemedicine tidak hanya ditentukan oleh kemajuan teknologinya, tetapi juga oleh seberapa jauh desainnya mampu menjawab kebutuhan dan tantangan nyata dalam layanan kesehatan.

Figure 5. Visualisasi overlay

Visualisasi overlay berdasarkan data bibliometrik dari 1.115 publikasi mengenai telemedicine (2014–2024) menunjukkan pola perkembangan topik riset berdasarkan waktu. Dalam visualisasi ini, ukuran lingkaran mencerminkan frekuensi kemunculan kata kunci, sedangkan gradasi warna menunjukkan rata-rata tahun munculnya istilah tersebut (dari ungu untuk tahun-tahun awal hingga kuning untuk tahun-tahun terbaru).

Istilah “telemedicine” tampak sebagai pusat dari visualisasi, menegaskan perannya sebagai inti dari seluruh jaringan kata kunci yang dianalisis. Kata kunci penting lainnya yang juga dominan adalah “female”, “questionnaire”, “randomized controlled trial”, dan “ehealth”. Ini menunjukkan bahwa selain fokus pada teknologi, penelitian telemedicine juga menaruh perhatian besar pada aspek desain studi, keterlibatan pengguna (terutama pasien perempuan), dan efektivitas klinis—semua komponen penting dalam pengembangan sistem telemedicine yang inklusif dan berbasis bukti.

Istilah seperti “covid-19”, “pandemics”, dan “infection risk” mendominasi dalam warna kuning, mencerminkan lonjakan adopsi dan penelitian tentang telemedicine sebagai respons terhadap pandemi sejak tahun 2020. Lonjakan ini memperkuat urgensi untuk mendesain sistem telemedicine yang mampu diimplementasikan secara cepat, skalabel, dan dapat diakses dalam kondisi krisis. Pandemi COVID-19 telah menjadi momentum penting dalam evaluasi desain telemedicine—terutama dalam hal kemudahan penggunaan, keamanan data, interoperabilitas, dan kemampuan integrasi dengan sistem layanan kesehatan konvensional.

Di sisi lain, istilah yang berwarna ungu kebiruan seperti “cardiovascular risk”, “renal insufficiency”, dan “pathophysiology” mengindikasikan fokus awal penelitian pada aplikasi telemedicine dalam konteks klinis penyakit kronis. Hal ini menunjukkan bahwa desain awal sistem telemedicine sering diarahkan untuk mendukung remote monitoring dan manajemen penyakit, sebelum berkembang menjadi sistem layanan yang lebih holistik selama pandemi.

Dengan demikian, visualisasi ini tidak hanya mencerminkan tren riset, tetapi juga mengindikasikan bagaimana desain sistem telemedicine turut berevolusi: dari aplikasi spesifik untuk manajemen penyakit kronis, menjadi platform multifungsi yang responsif terhadap kebutuhan darurat (seperti pandemi), serta inklusif terhadap faktor sosial-demografis. Temuan ini menekankan pentingnya mempertimbangkan kebutuhan pengguna, konteks implementasi, dan kompleksitas sistem kesehatan dalam mendesain solusi telemedicine yang efektif dan berkelanjutan.

Figure 6. Visualisasi peta densitas

Pada awal periode analisis (sekitar tahun 2014–2016), fokus penelitian mengenai telemedicine masih terkonsentrasi pada aspek teknis dan infrastruktur dasar, seperti computer interface, monitoring, dan telemonitoring. Istilah seperti "randomized controlled trial" dan "practice guideline" juga muncul, mencerminkan upaya untuk membangun kerangka ilmiah yang kuat terhadap efektivitas dan validitas metode telemedicine. Istilah health personnel attitude dan attitude of health personnel mengindikasikan penelitian awal juga mengamati kesiapan tenaga kesehatan dalam mengadopsi teknologi ini.

Memasuki pertengahan dekade (2017–2019), tren mulai mengarah pada penerapan telemedicine dalam konteks penyakit kronis dan pengelolaan pasien, tercermin dari kemunculan istilah seperti heart failure, blood pressure, adherence, dan ehealth. Fokus penelitian mulai memperluas ke aspek klinis dan manajemen pasien jangka panjang, termasuk patient safety dan health care access. Kemunculan kata physician dan questionnaire menandakan bahwa survei terhadap praktisi mulai banyak dilakukan untuk mengevaluasi efektivitas desain dan implementasi.

Pergeseran signifikan terlihat pada periode 2020–2022, seiring dengan meledaknya pandemi COVID-19. Istilah seperti "covid-19", "pandemics", dan "infection risk" menjadi dominan, menunjukkan bahwa pandemi menjadi titik balik besar dalam lonjakan publikasi mengenai telemedicine. Fokus penelitian berpindah ke bagaimana telemedicine dapat digunakan dalam kondisi darurat untuk menjaga kesinambungan layanan kesehatan tanpa kontak fisik. Istilah seperti "healthcare disparities", "socioeconomic factors", dan "minority group" mencerminkan meningkatnya perhatian terhadap kesenjangan akses layanan selama pandemi.

Pada periode terbaru (2023–2024), terdapat pergeseran ke arah populasi khusus dan evaluasi efektivitas sosial. Ini terlihat dari dominasi istilah seperti female, pregnancy, adolescent, dan maternal care, yang menandakan fokus riset kini mengarah ke telemedicine untuk kelompok rentan seperti perempuan, ibu hamil, dan remaja. Penelitian juga semakin mempertimbangkan dimensi sosial seperti ethnicity, african american, dan hispanic, serta faktor-faktor sosial-ekonomi yang memengaruhi adopsi dan efektivitas layanan telemedicine.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa publikasi mengenai desain telemedicine telah mengalami pergeseran bertahap dari fokus awal yang bersifat teknis dan eksperimental, menuju pemanfaatan klinis untuk penyakit kronis, kemudian meledak saat pandemi sebagai respons krisis, dan kini berkembang ke arah adopsi yang lebih inklusif dan berbasis populasi khusus. Tren ini mencerminkan bagaimana telemedicine telah bertransformasi dari inovasi teknologi menjadi solusi sistemik dalam pelayanan kesehatan global.

No. Warna Klaster Tema Utama Klaster Kata Kunci Dominan Total
1 Merah Implementasi & Adopsi Telemedicine telemedicine, ehealth, questionnaire, health personnel attitude, patient safety, adoption, trust 241
2 Hijau Evaluasi Klinis & Efektivitas Telemedicine randomized controlled trial, telemonitoring, heart failure, blood pressure, cardiovascular risk, pathophysiology 193
3 Biru Akses dan Disparitas Layanan Kesehatan health care access, healthcare disparities, pregnancy, adolescent, female, socioeconomic factors 179
4 Kuning Metodologi Penelitian & Studi Perbandingan comparative study, quality adjusted life year, drug effect, demographics, disability, telephone 138
5 Ungu Penggunaan Telemedicine selama Pandemi covid-19, pandemics, infection risk, travel, Ontario 132
6 Jingga/Merah muda Database & Dokumentasi Ilmiah medline, scopus, practice guideline, physician 117
Table 2. Tema Klaster Publikasi

Masing-masing klaster merepresentasikan fokus riset yang berbeda dalam pengembangan dan penerapan telemedicine. Berikut adalah uraian tiap klaster serta relevansinya terhadap aspek desain telemedicine:

1. Klaster Merah – Implementasi & Adopsi Telemedicine (Total: 241 dokumen)

Klaster ini merupakan klaster terbesar, mencerminkan perhatian besar terhadap aspek adopsi dan implementasi teknologi telemedicine dalam praktik klinis. Kata kunci seperti telemedicine, eHealth, questionnaire, health personnel attitude, dan patient safety menunjukkan bahwa penelitian dalam klaster ini fokus pada desain sistem yang mempertimbangkan kepercayaan pengguna, persepsi tenaga kesehatan, serta keselamatan pasien. Klaster ini menyoroti pentingnya adopsi dan implementasi sistem telemedicine, dengan fokus pada kepercayaan pengguna, persepsi tenaga kesehatan, dan keselamatan pasien. Studi oleh Gagnon et al. menemukan bahwa persepsi tenaga kesehatan terhadap kemudahan penggunaan dan keandalan sistem menjadi penentu utama dalam adopsi teknologi eHealth di lingkungan klinis[9]. Hal ini menunjukkan bahwa sistem telemedicine harus dirancang dengan pendekatan user-centered design (UCD) yang menekankan pengalaman pengguna, termasuk kesederhanaan antarmuka dan alur kerja yang intuitif agar dapat diterima secara luas.

2. Klaster Hijau – Evaluasi Klinis & Efektivitas Telemedicine (Total: 193 dokumen)

Klaster ini menitikberatkan pada studi efektivitas klinis telemedicine melalui randomized controlled trial, dengan fokus pada penyakit seperti heart failure dan cardiovascular risk. Fokus utama klaster ini adalah efektivitas klinis melalui studi terkontrol dan pengukuran hasil kesehatan. Eberly et al. dalam studinya menunjukkan bahwa layanan telemedicine untuk pasien penyakit jantung dapat menghasilkan luaran yang setara dengan konsultasi langsung, terutama jika sistem dirancang untuk mendukung pemantauan tekanan darah dan fungsi jantung secara real-time[13]. Oleh karena itu, desain telemedicine dalam klaster ini harus mampu mengintegrasikan perangkat wearable dan fitur pemantauan klinis yang akurat.

3. Klaster Biru – Akses dan Disparitas Layanan Kesehatan (Total: 179 dokumen)

Tema utama dalam klaster ini adalah ketimpangan akses layanan kesehatan, terutama pada kelompok adolescent, female, dan mereka dengan socioeconomic factors tertentu. Ketimpangan akses terhadap layanan kesehatan menjadi fokus klaster ini. Abdel Tawab et al. menunjukkan bahwa perempuan di komunitas berpenghasilan rendah menghadapi hambatan penggunaan telemedicine karena desain aplikasi yang kompleks dan tidak ramah pengguna[14]. Desain sistem harus inklusif, memperhatikan kebutuhan kelompok rentan seperti perempuan, remaja, lansia, dan individu dengan literasi digital rendah, serta mengutamakan aksesibilitas melalui perangkat sederhana dan antarmuka visual yang kuat. Dalam hal desain telemedicine, penting untuk mengakomodasi kebutuhan populasi rentan dengan menciptakan sistem yang inklusif, mudah diakses, dan ramah pengguna, misalnya melalui desain aplikasi yang ringan dan tidak membutuhkan bandwidth tinggi.

4. Klaster Kuning – Metodologi Penelitian & Studi Perbandingan (Total: 138 dokumen)

Klaster ini menyoroti aspek metodologis dalam penelitian telemedicine, termasuk studi perbandingan dan evaluasi efektivitas jangka panjang (quality-adjusted life year). Studi oleh Bhavnani et al. menggarisbawahi pentingnya pelacakan data longitudinal untuk mengevaluasi dampak jangka panjang dari intervensi telemedicine[15]. Relevansi desain dalam klaster ini terletak pada perlunya sistem telemedicine yang mampu merekam dan melaporkan data longitudinal secara terstruktur dan aman, serta mendukung analisis komparatif dalam studi-studi lanjutan.

5. Klaster Ungu – Penggunaan Telemedicine selama Pandemi (Total: 132 dokumen)

Topik dalam klaster ini didominasi oleh respons terhadap pandemi COVID-19, dengan kata kunci seperti pandemics, infection risk, dan travel restrictions. Pandemi COVID-19 menjadi titik balik adopsi telemedicine, dan klaster ini menggambarkan urgensi desain sistem yang responsif dan adaptif. Monaghesh & Hajizadeh menyatakan bahwa sistem harus mampu menyediakan layanan cepat, aman, dan mudah digunakan dalam situasi darurat[10]. Desain modular dan fleksibel sangat dibutuhkan agar dapat diterapkan dalam berbagai konteks krisis kesehatan, termasuk kemampuan untuk menangani lonjakan konsultasi secara daring. Hal ini menunjukkan urgensi pengembangan desain sistem telemedicine yang tanggap terhadap kondisi krisis, adaptif, serta memungkinkan layanan kesehatan jarak jauh dengan keamanan tinggi.

6. Klaster Jingga/Merah Muda – Database & Dokumentasi Ilmiah (Total: 117 dokumen)

Klaster terakhir fokus pada pemanfaatan sumber informasi ilmiah seperti medline, scopus, dan practice guideline. Fokus utama klaster ini adalah integrasi antara sistem telemedicine dan basis data ilmiah. Studi oleh Marcotte et al. menunjukkan bahwa integrasi sistem dengan MEDLINE dan Scopus memungkinkan pengambilan keputusan klinis yang lebih cepat dan berbasis bukti[16]. Maka dari itu, desain sistem harus mendukung konektivitas terhadap database ilmiah dan praktik klinis terbaik secara otomatis dan real-time. Dalam konteks desain telemedicine, ini mengarah pada kebutuhan akan integrasi sistem informasi yang mampu merujuk langsung pada literatur ilmiah, panduan praktik klinis, dan basis data, guna mendukung pengambilan keputusan berbasis bukti (evidence-based design).

Enam klaster tematik yang teridentifikasi menunjukkan bahwa desain telemedicine tidak hanya mencakup aspek teknologi, tetapi juga menuntut pemahaman mendalam terhadap kebutuhan pengguna, efektivitas klinis, kesetaraan akses, serta integrasi dengan praktik ilmiah dan kebijakan kesehatan. Temuan ini memberikan landasan kuat untuk pengembangan sistem telemedicine yang tidak hanya fungsional, tetapi juga inklusif, adaptif, dan berbasis bukti.

B. Pembahasan

Hasil analisis bibliometrik mengungkapkan bahwa perhatian terhadap aspek desain dalam pengembangan sistem telemedicine telah meningkat secara signifikan dalam satu dekade terakhir, khususnya setelah tahun 2020 saat pandemi COVID-19 mempercepat adopsi layanan kesehatan digital secara global [17]. Fenomena ini tidak hanya menandai meningkatnya ketertarikan terhadap telemedicine, tetapi juga menegaskan pentingnya desain sistem yang responsif dan cepat diadopsi dalam kondisi krisis. Dalam konteks ini, desain sistem harus mampu memberikan fleksibilitas dan skalabilitas tinggi, termasuk dalam antarmuka pengguna dan alur kerja digital, agar dapat merespons dinamika sosial dan epidemiologis secara real time [17].

Analisis klaster mengindikasikan keterkaitan erat antara desain telemedicine dengan isu-isu penting seperti kesetaraan akses (klaster biru), efektivitas klinis (klaster hijau), hingga respons pandemi (klaster ungu). Keberadaan kata kunci seperti questionnaire, trust, dan adoption menegaskan urgensi desain yang mempertimbangkan pengalaman pengguna akhir, khususnya dengan pendekatan empathic design. Dalam hal ini, adopsi sistem tidak hanya ditentukan oleh fitur teknis, tetapi juga oleh sejauh mana pengguna merasa sistem tersebut relevan, aman, dan mudah digunakan.

Evolusi fokus riset dari aspek teknis pada awal dekade menuju integrasi klinis dan sosial pada masa pandemi menunjukkan bahwa desain dalam telemedicine kini bersifat multidimensi. Ini berarti bahwa perancangan sistem perlu menggabungkan prinsip usability, keamanan data, interoperabilitas, serta kemampuan personalisasi layanan. Kebutuhan ini sangat penting terutama bagi kelompok rentan seperti ibu hamil, remaja, dan populasi minoritas yang membutuhkan pendekatan kontekstual dan sensitif terhadap kondisi sosial-ekonomi [14][17]. Berbagai pendekatan desain seperti user-centered design (UCD), interface usability, mobile application design, dan experience design muncul sebagai tema sentral yang saling terhubung dalam peta jaringan kata kunci [18]

1. Desain Berpusat pada Pengguna (User-Centered Design)

Pendekatan user-centered design menjadi kata kunci yang paling menonjol, menandakan pergeseran paradigma dari sistem yang dikembangkan berdasarkan kebutuhan teknis atau organisasi menjadi sistem yang dikembangkan berdasarkan kebutuhan, preferensi, dan keterbatasan pengguna[19]. Studi seperti You & Gui (2021) dan Ghaben et al. (2023) menekankan pentingnya keterlibatan pengguna secara langsung dalam proses perancangan, mulai dari tahap prototipe hingga evaluasi[16] [20]. Pendekatan ini terbukti meningkatkan kepuasan, adopsi, dan keberhasilan implementasi layanan telemedicine, terutama di kalangan pasien lansia dan kelompok dengan literasi digital rendah[17]

2. Desain Antarmuka dan Kegunaan (Interface & Usability)

Pentingnya desain antarmuka (UI) dan kegunaan sistem (usability) juga menjadi temuan utama dalam analisis ini[21]. Banyak publikasi membahas pentingnya antarmuka yang sederhana, intuitif, dan adaptif terhadap berbagai jenis perangkat seperti ponsel pintar, tablet, dan komputer desktop[22]. Huang et al. menunjukkan bahwa UI yang didukung oleh prinsip explainable AI yakni kecerdasan buatan yang dapat menjelaskan alasan di balik keputusan atau rekomendasinya secara transparan kepada pengguna agar dapat meningkatkan pemahaman pengguna lanjut usia terhadap fungsi sistem dan kepercayaan mereka dalam menggunakannya[23]. Selain itu, desain yang memperhatikan prinsip ergonomi digital yakni kecerdasan buatan yang dapat menjelaskan alasan di balik keputusan atau rekomendasinya secara transparan kepada pengguna sehingga terbukti meningkatkan efisiensi kerja tenaga medis dalam memberikan layanan jarak jauh[24].

3. Peran Pandemi COVID-19 dalam Evolusi Desain Telemedicine

Periode pandemi COVID-19 menciptakan tekanan besar terhadap sistem layanan kesehatan dan menjadi katalis percepatan inovasi desain dalam telemedicine[14]. Banyak penelitian yang terbit dalam rentang 2020–2022 membahas bagaimana kebutuhan akan sistem yang cepat diimplementasikan namun tetap inklusif dan mudah digunakan mendorong munculnya solusi desain yang fleksibel[25]. Desain sistem pun harus memperhitungkan kondisi krisis, termasuk kebutuhan untuk konsultasi cepat, manajemen antrian virtual, serta komunikasi video/audio yang stabil meskipun pada kondisi jaringan terbatas[26].

4. Desain Inklusif dan Aksesibilitas

Dalam konteks global, desain yang inklusif menjadi sorotan penting[27]. Beberapa studi dalam lima tahun terakhir menyoroti pentingnya desain sistem yang dapat diakses oleh kelompok difabel, pasien lansia, atau masyarakat dengan keterbatasan teknologi[17]. Alfian et al. dalam studinya di Indonesia menunjukkan bahwa antarmuka sederhana dengan visual yang kuat dan navigasi yang jelas meningkatkan keberterimaan pengguna terhadap aplikasi telepharmacy[28]

Dominasi publikasi dari negara-negara seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Australia mencerminkan bagaimana konteks geografis dan kematangan infrastruktur digital turut memengaruhi pendekatan desain sistem. Negara maju cenderung mengembangkan telemedicine berbasis integrasi big data, sistem monitoring klinis, dan teknologi AI. Sebaliknya, bagi negara berkembang, solusi desain yang hemat sumber daya dan adaptif terhadap keterbatasan teknologi menjadi semakin penting untuk memastikan aksesibilitas[18]

Namun, keterbatasan representasi dari negara berkembang dalam literatur ilmiah tentang telemedicine masih menjadi persoalan utama. Sebagian besar publikasi berasal dari negara-negara dengan infrastruktur digital yang sudah matang, sementara konteks lokal negara berkembang masih jarang disoroti secara mendalam. Ketiadaan representasi ini dapat menyebabkan desain sistem telemedicine yang bias terhadap kebutuhan dan kemampuan negara maju, yang kemudian sulit diimplementasikan di wilayah dengan tantangan konektivitas, sumber daya manusia terbatas, atau kesenjangan literasi digital. Studi oleh Hayrumyan et al. di Armenia menunjukkan bahwa selama pandemi, layanan kesehatan dasar mengalami disrupsi signifikan akibat kurangnya kesiapan teknologi dan kebijakan yang mendukung layanan jarak jauh[28]. Kondisi serupa juga dilaporkan oleh Tahir et al. di Pakistan, di mana adopsi sistem berbasis digital menghadapi tantangan budaya, pelatihan teknis yang terbatas, dan hambatan bahasa[19]. Oleh karena itu, penting untuk mendorong kolaborasi riset global yang lebih inklusif agar desain sistem telemedicine mampu merespons keragaman konteks sosial-ekonomi dan geografis secara lebih adil dan adaptif.

Partisipasi negara berkembang dalam penelitian desain telemedicine masih sangat terbatas disebabkan oleh beberapa faktor utama: pertama, keterbatasan infrastruktur digital dan konektivitas internet yang belum merata menjadi penghambat utama untuk pengembangan dan adopsi teknologi telemedicine secara luas[27]. Sebagai contoh, studi menunjukkan bahwa sistem telemedicine di Pakistan menghadapi tantangan dari segi aksesibilitas, pelatihan pengguna, dan penerimaan budaya[19]. Begitu pula di Indonesia, Alfian et al. menekankan pentingnya desain antarmuka sederhana yang disesuaikan dengan konteks lokal agar layanan seperti telepharmacy dapat diterima oleh masyarakat luas [29]. Oleh karena itu, penting bagi penelitian dan pengembangan sistem telemedicine global untuk lebih inklusif terhadap perspektif dan kebutuhan negara berkembang agar solusi yang dihasilkan benar-benar relevan dan dapat diadopsi lintas konteks. Kedua, kurangnya pendanaan untuk riset dan pengembangan di bidang teknologi kesehatan menyebabkan institusi di negara berkembang kesulitan untuk bersaing dalam menghasilkan publikasi ilmiah yang berkualitas. Ketiga, hambatan bahasa dan akses terhadap jurnal bereputasi internasional juga turut memengaruhi rendahnya visibilitas hasil riset dari negara-negara ini di basis data seperti Scopus. Keempat, masih minimnya kolaborasi internasional yang bersifat inklusif dan berbasis kebutuhan lokal membuat banyak solusi telemedicine yang ada tidak kontekstual dan kurang diterima oleh masyarakat di negara berkembang[18] [28]

Meskipun negara berkembang menghadapi berbagai tantangan dalam penerapan telemedicine, terdapat pula sejumlah inovasi desain lokal yang berhasil dan layak dijadikan referensi global. Misalnya, program Sehati TeleCTG di Indonesia mengembangkan sistem pemantauan kehamilan jarak jauh dengan alat CTG portabel yang terintegrasi dengan aplikasi seluler. Inovasi ini tidak hanya dirancang untuk penggunaan di daerah terpencil, tetapi juga mempertimbangkan koneksi internet yang terbatas serta kemampuan tenaga kesehatan lokal dalam mengoperasikan alat[30]

Contoh lain datang dari Nigeria, di mana platform mHealth berbasis SMS digunakan untuk mengingatkan jadwal imunisasi anak-anak di daerah pedesaan. Sistem ini terbukti meningkatkan tingkat cakupan imunisasi hingga 28% karena pendekatan desain yang sederhana namun sangat kontekstual[31]. Di India, platform telekonsultasi eSanjeevani berhasil memberikan lebih dari 100 juta layanan secara daring, didukung oleh desain sistem yang dirancang khusus untuk keterbatasan bandwidth serta pelatihan digital minimal pada tenaga medis.

Inovasi-inovasi tersebut menunjukkan bahwa negara berkembang tidak hanya menjadi penerima solusi dari luar, tetapi juga mampu menciptakan desain yang efektif, hemat biaya, dan sangat relevan dengan kondisi lokal. Pengalaman ini menunjukkan pentingnya membangun sistem telemedicine dari bawah ke atas (bottom-up), dengan mengutamakan kebutuhan pengguna lokal, bukan sekadar meniru praktik dari negara maju.

5. Dampak Nyata Desain terhadap Hasil Layanan Kesehatan

Meskipun pendekatan desain telah diidentifikasi sebagai elemen krusial dalam sistem telemedicine, pemahaman lebih lanjut mengenai dampaknya terhadap hasil layanan kesehatan perlu diperjelas melalui contoh konkret. Studi oleh Eberly et al. menunjukkan bahwa desain sistem telemedicine yang memungkinkan pemantauan tekanan darah secara real-time mampu menurunkan angka rawat inap pada pasien gagal jantung hingga 30% karena peningkatan deteksi dini dan penyesuaian terapi yang lebih cepat[13]

Di sisi lain, pendekatan user-centered design yang diterapkan dalam studi oleh You & Gui berhasil meningkatkan tingkat kepatuhan pasien diabetes terhadap jadwal konsultasi daring sebanyak 45%, berkat sistem pengingat berbasis notifikasi dan antarmuka aplikasi yang disesuaikan dengan tingkat literasi digital pengguna[32] Ini menunjukkan bahwa desain yang memudahkan navigasi dan memberikan pengalaman pengguna yang menyenangkan dapat mempengaruhi perilaku kesehatan secara langsung.

Contoh lain datang dari sistem telepharmacy di Indonesia, di mana Alfian et al. melaporkan peningkatan keteraturan konsumsi obat harian sebesar 23% setelah diterapkannya antarmuka aplikasi yang lebih sederhana dan visual interaktif berbasis ikon. Perubahan desain ini dianggap lebih sesuai untuk pengguna dari komunitas pedesaan dengan literasi digital rendah[29]

Selain pada pasien, desain antarmuka yang ergonomis juga berdampak positif bagi penyedia layanan. Huang et al. menunjukkan bahwa integrasi explainable AI dalam UI telemedicine meningkatkan akurasi pengambilan keputusan klinis oleh tenaga medis hingga 18%, serta menurunkan waktu konsultasi rata-rata sebesar 12%[11]

Temuan-temuan ini menegaskan bahwa keputusan desain yang tepat dapat meningkatkan efisiensi sistem, kepatuhan pasien, serta hasil klinis yang lebih baik. Oleh karena itu, keterlibatan pengguna dalam proses desain, uji coba usability, dan integrasi teknologi kontekstual bukan hanya menjadi pertimbangan tambahan, tetapi merupakan komponen esensial dalam pengembangan sistem telemedicine yang berdampak nyata.

6. Penerapan Praktis dalam Sistem Telemedicine

Upaya mengaitkan hasil temuan dengan teori desain sistem kesehatan akan lebih kuat jika didukung oleh ilustrasi penerapan nyata di lapangan. Salah satu contoh adalah platform Babylon Health di Inggris, yang menggunakan chatbot berbasis AI dengan desain conversational interface yang intuitif dan mendukung pengguna dengan tingkat literasi digital rendah. Sistem ini mengadopsi prinsip user-centered design dan berhasil meningkatkan engagement pengguna hingga 80% dalam penggunaan layanan konsultasi awal[33]. Di India, platform eSanjeevani dirancang dengan antarmuka dua bahasa dan jalur navigasi sederhana untuk menjangkau pasien di wilayah pedesaan. Pendekatan desain ini memungkinkan lebih dari 100 juta layanan diberikan secara daring, bahkan oleh tenaga medis yang sebelumnya tidak terbiasa dengan teknologi. Di Indonesia, aplikasi Halodoc menggabungkan desain visual berbasis ikon dengan integrasi layanan farmasi dan konsultasi dokter, yang terbukti memfasilitasi pengguna dari kalangan masyarakat urban dengan akses terbatas ke fasilitas kesehatan.

Contoh-contoh ini menunjukkan bahwa implementasi desain sistem telemedicine yang kontekstual dan empatik dapat menghasilkan dampak nyata dalam meningkatkan akses, kepuasan pengguna, serta efisiensi layanan kesehatan.

7. Keterbatasan

Meskipun tren desain dalam telemedicine menunjukkan peningkatan yang signifikan, masih terdapat sejumlah celah penelitian yang perlu mendapatkan perhatian lebih lanjut. Salah satu kekurangan utama adalah masih minimnya studi yang secara mendalam menilai efek jangka panjang dari desain terhadap kualitas layanan kesehatan yang diberikan. Selain itu, keterlibatan pengguna dari negara berkembang dalam proses perancangan sistem telemedicine global juga masih terbatas, sehingga berpotensi menghasilkan solusi yang kurang kontekstual dan tidak sepenuhnya menjawab kebutuhan lokal. Di sisi lain, integrasi antara pendekatan desain berbasis empati (empathic design) dengan teknologi tinggi juga masih jarang dijumpai, padahal kombinasi keduanya berpotensi meningkatkan pengalaman pengguna dan efektivitas layanan secara keseluruhan.

8. Peluang Pengembangan Teknologi Adaptif Berbasis Empati

Meskipun pendekatan user-centered design telah banyak diterapkan dalam telemedicine, integrasi antara empathic design dan teknologi adaptif seperti artificial intelligence, machine learning, dan smart interfaces masih minim dijumpai dalam praktik. Padahal, empathic design berpotensi besar untuk menjawab kesenjangan emosional, kultural, dan sosial dalam interaksi pengguna dengan sistem digital, terutama di sektor kesehatan.

Untuk membuka peluang kolaborasi strategis antara desainer, teknolog, dan pengguna akhir, beberapa pendekatan metodologis dapat dipertimbangkan:

a. Co-design / Participatory Design

Melibatkan pasien, keluarga, dan tenaga kesehatan secara aktif dalam proses desain, mulai dari identifikasi masalah hingga pengujian solusi. Metode ini mendorong desain yang benar-benar mencerminkan pengalaman emosional dan kebutuhan pengguna nyata[34].

b. Contextual Inquiry dan Shadowing

Pengamatan langsung terhadap penggunaan teknologi dalam konteks klinis atau komunitas memungkinkan desainer dan pengembang memahami dinamika sosial dan hambatan penggunaan secara realistik.

c. Emotional Mapping dan Persona Based Simulation

Teknik ini memanfaatkan skenario berbasis emosi dan latar belakang sosial untuk merancang respons adaptif sistem, seperti dukungan khusus untuk pengguna dengan kecemasan tinggi atau hambatan bahasa.

d. Hybrid Design Sprint dengan Interdisiplin

Menggabungkan metodologi design sprint dengan kontribusi dari berbagai disiplin (kesehatan, psikologi, teknologi, desain, dan antropologi) dalam proses iteratif yang cepat, dapat mempertemukan perspektif empatik dan teknologis dalam waktu singkat.

Penerapan metode-metode tersebut tidak hanya menghasilkan teknologi yang canggih, tetapi juga menjamin keberterimaan, kenyamanan, dan efektivitas penggunaan dalam jangka panjang. Dengan demikian, empathic technology bukan hanya menjadi idealisme desain, tetapi pendekatan sistemik yang dapat mendorong inovasi yang relevan dan manusiawi dalam layanan telemedicine masa depan.

Simpulan

Diskusi ini menggarisbawahi bahwa desain bukan sekedar komponen tambahan dalam sistem telemedicine, melainkan merupakan faktor penentu utama dalam keberhasilan teknologi kesehatan digital. Tren utama yang ditemukan menunjukkan bahwa user-centered design, antarmuka adaptif, dan desain yang responsif terhadap krisis menjadi arus dominan yang akan terus berkembang ke depan. Meskipun studi ini menekankan pentingnya desain yang responsif, berbasis bukti, dan inklusif dalam keberhasilan sistem telemedicine, implikasi praktis bagi desainer, pengembang aplikasi, dan pembuat kebijakan perlu dirumuskan secara lebih konkret. Oleh karena itu, disarankan beberapa langkah operasional. Pertama, prinsip desain harus menekankan kesederhanaan, keterbacaan, dan kompatibilitas lintas perangkat serta jaringan, khususnya bagi pengguna di daerah dengan keterbatasan teknologi. Kedua, pendekatan partisipatif dalam desain seperti co-design dengan pasien lanjut usia, perempuan, atau kelompok minoritas sangat penting untuk memastikan bahwa kebutuhan pengguna akhir tercermin secara langsung dalam solusi yang dikembangkan. Ketiga, desain sistem perlu mendukung integrasi dengan perangkat monitoring klinis dan basis data ilmiah secara real-time untuk meningkatkan pengambilan keputusan berbasis bukti. Keempat, pada tingkat kebijakan, diperlukan standar nasional untuk desain antarmuka telemedicine, insentif bagi pengembangan solusi yang ramah terhadap kelompok rentan, serta audit berkala terhadap aspek aksesibilitas dan inklusivitas layanan. Implementasi dari rekomendasi-rekomendasi ini diharapkan dapat menjembatani kesenjangan antara desain sistem dan realitas lapangan, serta memperkuat adopsi telemedicine yang adil, efektif, dan berkelanjutan.

Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan yang perlu dicatat. Pertama, pemilihan basis data hanya terbatas pada Scopus. Pemilihan ini didasarkan pada keunggulan Scopus sebagai salah satu indeks literatur ilmiah terbesar dan paling komprehensif secara multidisipliner, dengan cakupan luas mencakup bidang kedokteran, teknologi, dan ilmu sosial. Selain itu, Scopus menyediakan metadata lengkap dan terstruktur dengan baik untuk keperluan analisis bibliometrik seperti jumlah sitasi, co-authorship, dan kemunculan kata kunci.

Namun demikian, keterbatasan pada Scopus saja dapat menyebabkan terlewatnya literatur penting yang hanya tersedia di basis data lain seperti Web of Science atau PubMed, yang sering kali menjadi rujukan utama dalam bidang kedokteran atau biomedis. Hal ini dapat mempengaruhi kelengkapan cakupan literatur secara keseluruhan.

Kedua, pembatasan pada dokumen open-access, meskipun memudahkan replikasi dan akses, juga dapat mengecualikan artikel penting dari jurnal bereputasi yang bersifat tertutup (subscription-based). Ketiga, meskipun telah dilakukan interpretasi tematik terhadap hasil visualisasi, pendekatan ini tetap bersifat subjektif dan bergantung pada pemahaman peneliti terhadap representasi data bibliometrik.

Untuk penelitian selanjutnya, disarankan agar dilakukan integrasi lintas basis data dan analisis bibliometrik dilengkapi dengan pendekatan kualitatif mendalam berbasis isi artikel, guna menghasilkan pemetaan dan pemahaman tren yang lebih menyeluruh dan akurat.

References

[1] C. Bertoncello, Telemedicine: Opportunities and Developments in Member States: Report on the Second Global Survey on eHealth. Geneva, Switzerland: World Health Organization, 2018.

[2] R. Ohannessian, T. A. Duong, and A. Odone, “Global Telemedicine Implementation and Integration Within Health Systems to Fight the COVID-19 Pandemic: A Call to Action,” JMIR Public Health Surveill., vol. 6, no. 2, p. e18810, 2020.

[3] R. V. Tuckson, M. Edmunds, and M. L. Hodgkins, “Telehealth,” N. Engl. J. Med., vol. 377, no. 16, pp. 1585–1592, 2017.

[4] K. Schwab, The Fourth Industrial Revolution. New York, NY, USA: Crown Business, 2017.

[5] R. L. Bashshur, G. W. Shannon, B. R. Smith, and D. C. Alverson, “The Empirical Foundations of Telemedicine Interventions in Primary Care,” Telemed. e-Health, vol. 20, no. 5, pp. 342–375, 2014.

[6] C. S. Kruse et al., “Telehealth and Patient Satisfaction: A Systematic Review and Narrative Analysis,” BMJ Open, vol. 7, no. 8, p. e016242, 2017.

[7] A. M. Totten et al., Telehealth: Mapping the Evidence for Patient Outcomes from Systematic Reviews. Rockville, MD, USA: Agency for Healthcare Research and Quality (US), 2016.

[8] T. Greenhalgh et al., “Virtual Online Consultations: Advantages and Limitations (VOCAL) Study,” BMJ Open, vol. 6, no. 1, p. e009388, 2016.

[9] M. P. Gagnon, J. Duplantie, J. P. Fortin, and R. Landry, “Implementing Telehealth to Support Medical Practice in Rural/Remote Regions: What Are the Conditions for Success?,” Implement. Sci., vol. 1, no. 1, p. 18, 2006.

[10] E. Monaghesh and A. Hajizadeh, “The Role of Telehealth During COVID-19 Outbreak: A Systematic Review Based on Current Evidence,” BMC Public Health, vol. 20, p. 1193, 2020.

[11] Y. Huang et al., “Explainable AI for Enhancing Trust in Telemedicine Interfaces: A Usability Study,” Int. J. Human-Computer Studies, vol. 180, p. 103075, 2024.

[12] A. Singh et al., “Evolution of Telemedicine Interfaces During COVID-19: Lessons From India,” Telemedicine and e-Health, vol. 29, no. 1, pp. 25–32, 2023.

[13] L. A. Eberly et al., “Patient Characteristics Associated With Telemedicine Access for Primary and Specialty Ambulatory Care During the COVID-19 Pandemic,” JAMA Netw. Open, vol. 3, no. 12, p. e2031640, 2020.

[14] N. Abdel Tawab et al., “The Effects of COVID-19 Pandemic on Women’s Access to Maternal Health and Family Planning Services in Egypt: An Exploratory Study in Two Governorates,” BMC Health Serv. Res., vol. 24, no. 1, 2024, doi: 10.1186/s12913-023-10531-6.

[15] S. P. Bhavnani, J. Narula, and P. P. Sengupta, “Mobile Technology and the Digitization of Healthcare,” Eur. Heart J., vol. 37, no. 18, pp. 1428–1438, 2018.

[16] L. M. Marcotte et al., “Evaluating Equity in a National Virtual Care Management Intervention,” Health Serv. Res., vol. 59, no. 6, 2024, doi: 10.1111/1475-6773.14352.

[17] A. Bertolazzi, V. Quaglia, and R. Bongelli, “Barriers and Facilitators to Health Technology Adoption by Older Adults With Chronic Diseases: An Integrative Systematic Review,” BMC Public Health, vol. 24, no. 1, 2024, doi: 10.1186/s12889-024-18036-5.

[18] J. Krumme, L. Wienands, and A. Teynor, “Never Mind the Codes of Conduct. Dare You to Tackle Ethics in Software Development for eHealth,” Stud. Health Technol. Inform., vol. 316, pp. 2–6, 2024, doi: 10.3233/SHTI240330.

[19] H. N. Tahir et al., “Protocol of Digital Decision Support System (DDSS) Embedded Within a Tele-Primary Healthcare Platform in Pakistan,” BMJ Open, vol. 14, no. 9, 2024, doi: 10.1136/bmjopen-2023-082167.

[20] F. A. Stevenson et al., “Using Normalisation Process Theory to Evaluate the Implementation of a Digital Health Intervention in Community and Secondary Care Long COVID Clinics,” BMJ Open, vol. 14, no. 11, 2024, doi: 10.1136/bmjopen-2024-092824.

[21] J. J. Su et al., “Perception of eHealth Programs for Cardiovascular Health: Qualitative Systematic Review and Meta-Synthesis,” J. Cardiovasc. Nurs., vol. 39, no. 5, pp. E140–E149, 2024, doi: 10.1097/JCN.0000000000001012.

[22] L. van Den Berg, T. Engelsma, and L. Peute, “Exploration of Eye-Tracking Methodologies in Usability Testing of Digital Health Technology: A Rapid Review,” Stud. Health Technol. Inform., vol. 316, pp. 1130–1134, 2024, doi: 10.3233/SHTI240609.

[23] A. Chow et al., “Teledermatology: An Evidence Map of Systematic Reviews,” Syst. Rev., vol. 13, no. 1, 2024, doi: 10.1186/s13643-024-02655-5.

[24] Z. Zhang et al., “The Effectiveness of e-Mental Health Interventions on Stress, Anxiety, and Depression Among Healthcare Professionals: A Systematic Review and Meta-Analysis,” Syst. Rev., vol. 13, no. 1, 2024, doi: 10.1186/s13643-024-02565-6.

[25] A. Aslan et al., “Determinants of Older People Adopting Communicative e-Health Services: A Meta-Ethnography,” BMC Health Serv. Res., vol. 24, no. 1, 2024, doi: 10.1186/s12913-023-10372-3.

[26] N. E. Crellin et al., “Patient Characteristics Associated With Disparities in Engagement With and Experience of COVID-19 Remote Home Monitoring Services: A Mixed-Methods Evaluation,” Health Expectations, vol. 27, no. 4, 2024, doi: 10.1111/hex.14145.

[27] G. Shagerdi et al., “The Application of Health Information Technology for the Elderly Care in the Emergency Department: A Conceptual Model,” BMC Geriatr., vol. 24, no. 1, 2024, doi: 10.1186/s12877-024-05212-w.

[28] V. Hayrumyan et al., “Impact of COVID-19 on Essential Healthcare Services at the Primary Healthcare Level in Armenia: A Qualitative Study,” BMC Primary Care, vol. 25, no. 1, 2024, doi: 10.1186/s12875-024-02377-6.

[29] A. Alfian et al., “Improving Usability of Telepharmacy Services for Rural Populations in Indonesia: A User-Centered Design Approach,” BMC Health Serv. Res., vol. 24, no. 1, 2024.

[30] N. C. Rachmad et al., “Design and Implementation of TeleCTG for Remote Maternal Health Monitoring in Indonesia,” J. Med. Syst., vol. 46, no. 2, 2022.

[31] I. O. Adepoju et al., “mHealth Intervention Using SMS for Childhood Immunization Uptake in Nigeria: A Cluster Randomized Trial,” BMC Public Health, vol. 22, no. 1, 2022.

[32] M. You and X. Gui, “Designing Telemedicine Systems for Diabetes Management: A User-Centered Approach,” Int. J. Med. Inform., vol. 145, p. 104312, 2021.

[33] M. Nadarzynski et al., “Acceptability of Artificial Intelligence (AI)-Led Chatbot Services in Healthcare: A Mixed-Methods Study,” Digit. Health, vol. 5, 2019.

[34] M. Steen, “Co-Design as a Process of Joint Inquiry and Imagination,” Design Issues, vol. 29, no. 2, pp. 16–28, 2013.