I. Pendahuluan
Indonesia memandang sektor pertanian sebagai komponen utama dalam perekonomian, sehingga pemerintah menerapkan berbagai kebijakan untuk mendukung produksi di bidang ini [1]. Kebijakan pertanian secara umum bertujuan untuk memajukan sektor tersebut, meningkatkan produktivitas, dan mendorong efisiensi produksi. Sektor pertanian ini juga harus diprioritaskan karena berperan penting dalam menjaga ketahanan pangan [2]. Industri dalam sektor pertanian terus memainkan peran penting dalam pembangunan nasional karena berkontribusi besar terhadap stabilitas ekonomi dan kesejahteraan masyarakat [3]. Industri ini dituntut untuk selalu bersaing menemukan inovasi pada proses operasionalnya agar dapat mempertahankan stabilitas ekonomi negara dan juga meningkatkan keuntungan [4]. Dalam usaha untuk menemukan berbagai inovasi, perusahaan akan melakukan observasi dan identifikasi yang mendalam mengenai akar permasalahan yang dapat mengganggu proses operasional [5]. Dalam proses bisnisnya, gudang dan pengantongan adalah komponen penting dalam industri yang melibatkan penyimpanan dan pengemasan produk skala besar. Gudang sendiri adalah fasilitas yang bertujuan untuk menyimpan barang sebagai penyangga permintaan sehingga permintaan yang terjadi dapat dipenuhi [6].
PT XYZ merupakan Perusahaan yang bertanggung jawab untuk memproduksi dan menyalurkan pupuk Subsidi dengan produk utama Pupuk Anorganik. Salah satu produk pupuk subsidi adalah pupuk urea yang sangat berguna untuk nutrisi protein bagi tanaman agar membuat tanaman lebih hijau dan segar [7]. Dalam proses pergudangan dan pengantongan Urea, terdapat banyaknya permintaan konsumen yang membutuhkan pupuk dengan kemasan ukuran besar yang memiliki berat 1 ton. Dengan adanya permintaan ini mendorong perusahaan melakukan proses pengemasan pupuk Urea dalam jumbo bag di gudang untuk mempermudah penggunaan serta proses distribusi. Namun, dalam pelaksanaannya, proses pengantongan jumbo bag ini masih dilakukan secara manual dengan melibatkan tenaga kerja manusia. Hal ini mengakibatkan munculnya risiko kegagalan seperti kecelakaan saat pemindahan pupuk urea, gangguan produktivitas saat pengantongan, ketidaktepatan penimbangan, serta keterlambatan pengiriman produk urea.
Berdasarkan permasalahan tersebut, maka peneltian ini dilakukan dengan melakukan analisis dan strategi mitigasi risiko lebih mendalam pada pengantongan jumbo bag 1 ton Urea dengan metode Failure Mode and Effect Analysis dan Fault Tree Analysis. Tujuannya mengetahui potensi risiko pada alur proses pengantongan jumbo bag di PT XYZ, serta bagaimana usulan perbaikan alur proses tersebut untuk meminimalkan potensi risiko yang muncul. FMEA merupakan metode yang digunakan untuk mengenali, memprioritaskan, dan mengurangi potensi masalah pada sistem, desain, atau proses sebelum masalah tersebut muncul [8]. Proses FMEA mencakup identifikasi potensi mode kegagalan, penentuan penyebab dan dampaknya, serta pemberian nilai Risk Priority Number (RPN) untuk setiap mode kegagalan berdasarkan tingkat keparahan (severity), frekuensi kejadian (occurrence), dan kemampuan deteksi (detectability) [9]. Setelah dilakukan perhitungan FMEA, maka dilakukan pemetaan risiko menggunakan matriks risiko. Matriks Risiko (Risk Matrix) adalah representasi visual yang menggabungkan skor tingkat kemungkinan dan tingkat dampak untuk menilai serta mengklasifikasikan tingkat risiko [10]. Fault Tree Analysis adalah diagram yang digunakan untuk melacak permasalahan hingga ke akar penyebabnya dengan menggambarkan proses yang terlibat dalam bentuk pohon [11]. Diagram pohon kegagalan dibuat untuk memetakan kondisi komponen sistem (Basic Event) serta menggambarkan hubungan antara kejadian dasar dan kejadian puncak [12]. FTA memungkinkan untuk mengidentifikasi akar penyebab utama dari kecelakaan atau kerusakan yang bekontribusi terhadap kegagalan suatu sistem pada seluruh alur proses pengantongan jumbo bag 1 ton [13].
Setelah menemukan akar permasalahan tersebut, dilakukan alternatif-alternatif untuk strategi mitigasi risiko demi meminimasi risiko dari alur proses pengantongan jumbo bag 1 ton. Analisis dari alternatif dilakukan menggunakan prinsip aspek mutu QDCMSE yaitu quality, cost, delivery, safety, morale, environment [14]. Kombinasi metode ini sangat relevan karena proses pengantongan jumbo bag melibatkan berbagai risiko, seperti kesalahan operasional, kegagalan peralatan, dan faktor lingkungan [15].
Pemilihan metode FMEA dan FTA dalam studi ini didasarkan pada kecocokannya dengan karakteristik proses pengantongan pupuk yang bersifat mekanis dan melibatkan interaksi manusia-mesin. FMEA digunakan untuk mengidentifikasi potensi kegagalan secara sistematis dan proaktif, sementara FTA membantu menelusuri akar penyebab kegagalan secara logis dan visual. Dibandingkan dengan metode lain seperti HAZOP atau Bowtie Analysis juga memiliki keunggulan tersendiri, HAZOP lebih tepat diterapkan pada sistem dengan aliran proses kimia yang kompleks, seperti di reaktor atau unit pemrosesan cair, sedangkan Bowtie Analysis lebih difokuskan pada manajemen pengendalian risiko dan bukan pada penelusuran teknis penyebab kegagalan. Kombinasi FMEA dan FTA dinilai paling efektif dalam memberikan gambaran menyeluruh serta mendukung pengembangan strategi mitigasi yang tepat dalam konteks proses pengantongan jumbo bag yang masih menggunakan tenaga manusia.
II. Metode
Pada tahap awal analisis, dilakukan pengumpulan data primer dan sekunder sebagai dasar dalam proses pengolahan data. Data primer dalam penelitian ini diperoleh melalui observasi langsung di lapangan, wawancara mendalam, serta penyebaran kuesioner kepada para ahli yang berkompeten di bidang pengelolaan dan pemeliharaan sistem pengantongan jumbo bag. Informan yang terlibat antara lain AVP Pemeliharaan Gudang dan Pengantongan, Staf Candal Pemeliharaan, SPV Gudang dan Pengantongan Urea, serta Foreman Gudang. Sementara itu, data sekunder dikumpulkan dari dokumentasi internal perusahaan berupa data historis jumlah pengantongan, biaya pengantongan, serta catatan permasalahan yang sering terjadi dalam proses pengantongan jumbo bag. Kombinasi data primer dan sekunder ini digunakan untuk memperoleh gambaran yang komprehensif terhadap kondisi aktual di lapangan serta sebagai dasar dalam merumuskan solusi pengendalian risiko yang tepat. Setelah data dari kedua sumber tersebut telah tercukupi, maka dilanjutkan dengan proses analisis menggunakan metode FMEA (Failure Mode and Effect Analysis) untuk menilai tingkat risiko, serta FTA (Fault Tree Analysis) untuk mengidentifikasi akar penyebab dari risiko-risiko tersebut. Berdasarkan hasil identifikasi risiko yang paling signifikan, selanjutnya disusun rekomendasi perbaikan yang difokuskan pada lima aspek mutu, yaitu kualitas (quality), biaya (cost), ketepatan pengiriman (delivery), Moral (Morale), keselamatan kerja (safety), dan lingkungan (environment).
Gambar 1. Diagram Alir Penelitian
III. Hasil dan Pembahasan
Potensi Risiko
Untuk mendukung analisis risiko pada proses pengantongan urea jumbo bag, dilakukan identifikasi terhadap potensi risiko kegagalan melalui penyebaran kuesioner kepada para ahli yang berpengalaman di bidang tersebut dengan atribut di bawah ini.
Tabel 1. Atribut-Atribut Potensi Risiko
KegiatanTop EventKode RisikoKejadian RisikoKode Risiko
Pemindahan Pupuk UreaKecelakaan saat pemindahan pupuk ureaR1Banyak menggunakan alat beratR11
Kurangnya pelatihan penggunaan alat beratR12
Area kerja tidak diberi tanda peringatanR13
Pengantongan Jumbo BagKecelakaan kerja atau gangguan produktivitas saat pengantonganR2Beban kerja fisik berlebihR21
Pengantongan manual membutuhkan tenaga tambahanR22
Ketidaktercapaian target rate pengantonganR23
Waktu pengantongan lamaR24
Kantong jatuh atau menimpa pekerjaR25
Ketidakstabilan alat pengisianR26
Operator terpeleset ceceran pupuk di sekitar area kerjaR27
Lingkungan terpapar debu atau zat kimiaR28
PenimbanganKetidaktepatan penimbanganR3Komponen mekanis timbangan macetR31
Timbangan terkena pupuk sehingga tidak presisiR32
Kabel sensor rusak karena korosiR33
Timbangan harus diulang karena hasil tidak akuratR34
Pemindahan Produk UreaKeterlambatan pengiriman produk ureaR4Lokasi gudang penyimpanan berbedaR41
Lalu lintas alat berat meningkatR42
Tidak ada koordinasi antar divisiR43
Waktu tempuh antar gudang terlalu lamaR44
Failure Mode and Effect Analysis (FMEA)
Tahap selanjutnya ialah melakukan analisis Failure Mode and Effect Analysis (FMEA) untuk menentukan prioritas dari risiko yang paling tinggi. Analisis ini bertujuan untuk mengidentifikasi potensi kegagalan dalam suatu proses, mengevaluasi dampaknya, serta menetapkan tindakan perbaikan berdasarkan tingkat risiko. Dengan menggunakan FMEA, setiap potensi kegagalan akan dinilai berdasarkan tiga komponen utama, yaitu tingkat keparahan (severity), kemungkinan terjadinya (occurrence), dan kemampuan deteksi (detection). Hasil dari ketiga komponen ini akan dikalikan untuk mendapatkan nilai Risk Priority Number (RPN), yang menjadi acuan dalam menentukan prioritas penanganan risiko.
Tabel 2. Identifikasi Nilai Severity, Occurence, Detection, dan Risk Priority Number
Kode RisikoRisikoSODRPN
R11Banyak menggunakan alat berat63354
R12Kurangnya pelatihan penggunaan alat berat54360
R13Area kerja tidak diberi tanda peringatan43336
R21Beban kerja fisik berlebih984288
R22Pengantongan manual membutuhkan tenaga tambahan873168
R23Ketidaktercapaian target rate pengantongan985360
R24Waktu pengantongan lama984288
R25Kantong jatuh atau menimpa pekerja773147
R26Ketidakstabilan alat pengisian774196
R27Operator terpeleset ceceran pupuk di sekitar area kerja884256
R28Lingkungan terpapar debu atau zat kimia763126
R31Komponen mekanis timbangan macet985360
R32Timbangan terkena pupuk sehingga tidak presisi995405
R33Kabel sensor rusak karena korosi986432
R34Timbangan harus diulang karena hasil tidak akurat872112
R41Lokasi gudang penyimpanan berbeda45120
R42Lalu lintas alat berat meningkat44232
R43Tidak ada koordinasi antar divisi43224
R44Waktu tempuh antar gudang terlalu lama33218
Pada Tabel 2 berisi penilaian tingkat keparahan (severity), kemungkinan terjadinya (occurrence), dan kemampuan deteksi (detection) dari 5 orang yang ditentukan secara purposive, yaitu para ahli seperti AVP Pemeliharaan Gudang dan Pengantongan, Staf Candal Pemeliharaan, SPV Gudang dan Pengantongan Urea, dan Foreman Gudang yang telah memiliki pengalaman kerja di bidang tersebut. Perhitungan nilai Risk Priority Number (RPN) dengan rumus sebagai berikut:
RPN=Severity ×Occurence×Detection (1)
Dengan contoh perhitungan sebagai berikut:
R11=6 ×3×3=54
Berdasarkan tabel di atas, didapatkan nilai peringkat tertinggi pada perhitungan Risk Priority Number (RPN) ada pada proses penimbangan dan pengantongan jumbo bag. Pada proses penimbangan produk, didapatkan kejadian risiko kabel sensor rusak karena korosi (R33) dengan nilai RPN sebesar 432, timbangan terkena pupuk sehingga tidak presisi (R32) sebesar 402, komponen mekanis timbangan macet (R31) sebesar 360, serta timbangan harus diulang karena hasil tidak akurat (R34) sebesar 112. Sedangkan pada proses pengantongan jumbo bag, didapatkan kejadian risiko ketidaktercapaian target rate pengantongan (R23) dengan nilai RPN sebesar 360, beban kerja fisik berlebih (R21) dan waktu pengantongan lama (R24) sebesar 288, terpeleset ceceran pupuk di sekitar area kerja (R27) sebesar 256, ketidakstabilan alat pengisian (R26) sebesar 196, pengantongan manual membutuhkan tenaga tambahan (R22) sebesar 168, kantong jatuh atau menimpa pekerja (R25) sebesar 147, serta lingkungan terpapar debu atau zat kimia (R28) sebesar 126.
Tabel 3. Hasil Pemetaan Risiko
Dampak (Severity)
1 = Sangat Ringan2 = Ringan3 = Sedang4 = Berat5 = Sangat Berat
Kemungkinan
(Occurrence)1 = Sangat Kecil
2 = KecilR13, R42, R43, R41R12, R11
3 = SedangR41R28
4 = BesarR27, R26, R22, R25, R34R33, R23, R31, R21, R24,
5 = Sangat BesarR32
Tabel 3 adalah tabel pemetaan risiko dilakukan dengan mengacu pada dua kriteria utama, yakni tingkat keparahan (severity) dan kemungkinan terjadinya (occurrence). Risiko kemudian diklasifikasikan ke dalam tiga kategori, yaitu risiko rendah (low), sedang (medium), dan tinggi (high). Seluruh 19 risiko yang teridentifikasi dianalisis dan dipetakan guna mengetahui level masing-masing risiko secara lebih sistematis.
Tabel 4. Peringkat RPN
RankKode RisikoKejadian RisikoSODRPNKategori Risiko
1R33Kabel sensor rusak karena korosi986432Sangat Tinggi
2R32Timbangan terkena pupuk sehingga tidak presisi995405Sangat Tinggi
3R23Ketidaktercapaian target rate pengantongan985360Sangat Tinggi
4R31Komponen mekanis timbangan macet985360Sangat Tinggi
5R21Beban kerja fisik berlebih984288Sangat Tinggi
6R24Waktu pengantongan lama984288Sangat Tinggi
7R27Terpeleset ceceran pupuk di sekitar area kerja884256Tinggi
8R26Ketidakstabilan alat pengisian774196Tinggi
9R22Pengantongan manual membutuhkan tenaga tambahan873168Tinggi
10R25Kantong jatuh atau menimpa pekerja773147Tinggi
11R28Lingkungan terpapar debu atau zat kimia763126Tinggi
12R34Timbangan harus diulang karena hasil tidak akurat872112Tinggi
13R12Kurangnya pelatihan penggunaan alat berat54360Rendah
14R11Banyak menggunakan alat berat63354Rendah
15R13Area kerja tidak diberi tanda peringatan43336Rendah
16R42Lalu lintas alat berat meningkat44232Rendah
17R43Tidak ada koordinasi antar divisi43224Rendah
18R41Lokasi gudang penyimpanan berbeda45120Rendah
19R44Waktu tempuh antar gudang terlalu lama33218Rendah
Dari hasil pemetaan risiko dapat diketahui bahwa kejadian risiko dari proses pengantongan seperti beban kerja fisik berlebih (R21) dengan RPN 288, ketidaktercapaian target rate pengantongan (R23) RPN 360, dan waktu pengantongan lama (R24) RPN 288 serta proses penimbangan produk seperti kabel sensor rusak karena korosi (R33) RPN 432, timbangan terkena pupuk sehingga tidak presisi (R32) RPN 405, dan komponen mekanis timbangan macet (R31) RPN 360 berada di zona warna merah dengan tingkat sangat tinggi yang berarti harus segera dilakukan tindakan langusng. Kemudian untuk kejadian risiko dari proses pengantongan seperti pengantongan manual membutuhkan tenaga tambahan (R22) dengan RPN 168, kantong jatuh atau menimpa pekerja (R25) RPN 147, ketidakstabilan alat pengisian (R26) RPN 196, operator terpeleset ceceran pupuk di sekitar area kerja (R27) RPN 256 dan lingkungan terpapar debu atau zat kimia (R28) RPN 126 serta proses penimbangan produk seperti timbangan harus diulang karena hasil tidak akurat (R34) RPN 112 berada di zona warna oranye dengan tingkat tinggi yang berarti harus dilakukan tindakan perbaikan segera. Sedangkan untuk kejadian risiko yang lain berada di zona warna hijau muda masih bisa untuk ditoleransi.
Fault Tree Analysis (FTA)
Setelah dilakukan perhitungan Risk Priority Number (RPN) melalui metode Failure Mode and Effect Analysis (FMEA), diketahui bahwa nilai RPN di atas 100 menandakan perlunya tindakan perbaikan segera. Nilai RPN yang tinggi ditandai dengan warna merah (risiko sangat tinggi) dan warna oranye (risiko sedang). Risiko-risiko tersebut terutama muncul pada proses pengantongan dan penimbangan jumbo bag, yang merupakan tahapan krusial dalam menjamin kualitas serta keselamatan kerja. Oleh karena itu, diperlukan analisis lanjutan untuk menelusuri akar permasalahan secara lebih mendalam. Analisis ini dilakukan menggunakan metode Fault Tree Analysis (FTA), yang berfungsi untuk mengidentifikasi serta menelusuri penyebab dasar dari permasalahan secara sistematis. Berikut merupakan penyebab kejadian risiko pada proses pengantongan dan penimbangan jumbo bag
Tabel 5. Akar Penyebab Risiko Pengantongan dan Penimbangan Jumbo Bag
KegiatanRisiko Kegagalan
(Top Event)Penyebab KegagalanAkar Penyebab (Basic Event)
PenimbanganKetidaktepatan penimbanganKomponen mekanis timbangan macetKurangnya pelumas pada komponen,
Tidak ada jadwal perawatan,
Komponen aus karena umur pakai
Timbangan terkena pupuk sehingga tidak presisiTidak ada pelindung timbangan,
Tumpahan pupuk yang tidak segera dibersihkan
Kabel sensor rusak karena korosiLingkungan kerja yang tercecer pupuk,
Bahan kabel yang tidak tahan korosi,
Tidak ada penggantian kabel secara berkala
Timbangan harus diulang karena hasil tidak akuratTimbangan belum dikalibrasi,
Operator tidak mengikuti SOP
Pengantongan Jumbo BagKecelakaan kerja atau gangguan produktivitas saat pengantonganBeban kerja fisik berlebihKekurangan tenaga kerja,
Pengisian pupuk menggunakan sekop (manual)
Pengantongan manual membutuhkan tenaga tambahanTidak tersedia mesin otomatis atau semi otomatis
Ketidaktercapaian target rate pengantonganProduktivitas operator rendah akibat kelelahan
Waktu idle akibat antrean atau kerusakan alat
Waktu pengantongan lamaHambatan teknis pada alat,
Penataan alur kerja tidak efisien
Kantong jatuh atau menimpa pekerjaTidak adanya pembatas atau penyangga,
Penempatan kantong kurang aman
Ketidakstabilan alat pengisianPengisian menggunakan sekop tidak merata,
Alat tidak dikalibrasi dengan baik
Operator terpeleset ceceran pupuk di sekitar area kerjaBanyaknya pupuk tercecer saat pengisian,
Tidak ada pembersihan ceceran
Lingkungan terpapar debu atau zat kimiaArea kerja terlalu dekat dengan sumber polutan,
Area kerja kurang sirkulasi udara
Ketidaktepatan Penimbangan
Gambar 2. Fault Tree Ketidaktepatan Penimbangan
Di bawah ini merupakan keterangan mengenai nama kejadian dari kode kejadian gambar 2:
Tabel 5. Keterangan Fault Tree Ketidaktepatan Penimbangan
Kode KejadianNama Kejadian
R31Komponen mekanis timbangan macet
R32Timbangan terkena pupuk sehingga tidak presisi
R33Kabel sensor rusak karena korosi
R34Timbangan harus diulang karena hasil tidak akurat
R31.1Kurangnya pelumas pada komponen
R31.2Tidak ada jadwal perawatan
R31.3Komponen aus karena umur pakai
R32.1Tidak ada pelindung timbangan
R32.2Tumpahan pupuk yang tidak segera dibersihkan
R33.1Lingkungan kerja yang tercecer pupuk
R33.2Bahan kabel yang tidak tahan korosi
R33.3Tidak ada penggantian kabel secara berkala
R34.1Timbangan belum dikalibrasi
R34.2Operator tidak mengikuti SOP
Berdasarkan Gambar 2 dan Tabel 5, terdapat empat penyebab utama yang menjadi faktor ketidaktepatan, yaitu: Komponen mekanis timbangan macet (R31), Timbangan terkena pupuk sehingga tidak presisi (R32), Kabel sensor rusak karena korosi (R33), dan Timbangan harus diulang karena hasil tidak akurat (R34). Masing-masing faktor utama memiliki penyebab dasar (basic events) yang saling terkait.
Komponen Mekanis Timbangan Macet (R31)
Penyebab ini merupakan akibat dari kurangnya pelumas pada komponen (R31.1), tidak ada jadwal perawatan (R31.2), serta komponen aus karena umur pakai (R31.3). Ini menunjukkan bahwa aspek pemeliharaan preventif sangat krusial untuk mencegah kerusakan fungsional timbangan.
Timbangan Terkena Pupuk Sehingga Tidak Presisi (R32)
Ketidakpresisian diakibatkan oleh tidak ada pelindung timbangan (R32.1), serta tumpahan pupuk yang tidak segera dibersihkan (R32.2). Hal ini menunjukkan lemahnya pengendalian kebersihan area kerja dan perlindungan terhadap alat.
Kabel Sensor Rusak karena Korosi (R33)
Penyebab kerusakan sensor meliputi lingkungan kerja yang tercecer pupuk (R33.1), bahan kabel yang tidak tahan korosi (R33.2), serta tidak ada penggantian kabel secara berkala (R33.3). Kerusakan ini berpengaruh langsung terhadap data timbangan.
Timbangan Harus Diulang karena Hasil Tidak Akurat (R34)
Ketidakakuratan di tahap ini dipicu oleh Timbangan belum dikalibrasi (R34.1) serta operator tidak mengikuti SOP (R34.2). Faktor ini menekankan pentingnya standar kerja dan kedisiplinan operator.
Gangguan Produktivitas Saat Pengantongan
Gambar 3. Fault Tree Gangguan Produktivitas Saat Pengantongan
Di bawah ini merupakan keterangan mengenai nama kejadian dari kode kejadian gambar 3:
Tabel 6. Keterangan Fault Tree Gangguan Produktivitas Saat Pengantongan
Kode KejadianNama Kejadian
R21Beban kerja fisik berlebih
R22Pengantongan manual membutuhkan tenaga tambahan
R23Ketidaktercapaian target rate pengantongan
R24Waktu pengantongan lama
R25Kantong jatuh atau menimpa pekerja
R26Ketidakstabilan alat pengisian
R27Operator terpeleset ceceran pupuk di sekitar area kerja
R28Lingkungan terpapar debu atau zat kimia
R21.1Kekurangan tenaga kerja
R21.2Pengisian pupuk menggunakan sekop (manual)
R22.1Tidak tersedia mesin otomatis atau semi otomatis
R23.1Produktivitas operator rendah akibat kelelahan
R23.2Waktu idle akibat antrean atau kerusakan alat
R24.1Hambatan teknis pada alat
R24.2Penataan alur kerja tidak efisien
R25.1Tidak adanya pembatas atau penyangga
R25.2Penempatan kantong kurang aman
R26.1Pengisian menggunakan sekop tidak merata
R26.2Alat tidak dikalibrasi dengan baik
R27.1Banyaknya pupuk tercecer saat pengisian
R27.2Tidak ada pembersihan ceceran
R28.1Area kerja terlalu dekat dengan sumber polutan,
R28.2Area kerja kurang sirkulasi udara
Berdasarkan Gambar 3 dan Tabel 6, ditemukan 8 faktor utama (kode R21 hingga R28) beserta beberapa penyebab dasarnya (basic events). Masing-masing faktor ini berkontribusi terhadap terhambatnya proses pengantongan.
Beban Kerja Fisik Berlebih (R21)
Penyebab utama dari faktor ini adalah kekurangan tenaga kerja (R21.1) dan pengisian pupuk menggunan sekop (manual) (R21.2) sehingga menyebabkan beban kerja berlebihan pada operator.
Pengantongan Manual Membutuhkan Tenaga Tambahan (R22)
Diperparah oleh tidak adanya mesin otomatis atau semi otomatis (R22.1), yang menyebabkan keterlambatan dan ketidakefisienan.
Ketidaktercapaian Target Rate Pengantongan (R23)
Penyebabnya meliputi produktivitas operator rendah akibat kelelahan (R23.1), serta waktu idle akibat antrean atau kerusakan alat (R23.2), yang berkontribusi terhadap ketidaktercapaian target kerja.
Waktu Pengantongan Lama (R24)
Waktu yang lama dalam proses ini disebabkan oleh hambatan teknis pada alat (R24.1), serta penataan alur kerja tidak efisien (R24.2), sehingga waktu kerja menjadi tidak optimal.
Kantong Jatuh atau Menimpa Pekerja (R25)
Hal ini disebabkan oleh tidak adanya pembatas atau penyangga (R25.1) dan penempatan kantong yang kurang aman (R25.2). Kedua kondisi ini dapat menyebabkan kecelakaan kerja.
Ketidakstabilan Alat Pengisian (R26)
Diperparah oleh Pengisian menggunakan sekop tidak merata (R26.1), serta alat tidak dikalibrasi dengan baik (R26.2), menyebabkan pengisian tidak stabil.
Operator terpeleset Ceceran Pupuk (R27)
Faktor penyebab utama adalah Banyaknya pupuk tercecer saat pengisian (R27.1) yang dikarenakan tidak adanya pembersihan rutin (R27.2), sehingga menimbulkan potensi kecelakaan.
Lingkungan Terpapar Debu atau Zat Kimia (R28)
Faktor ini terkait langsung dengan Area kerja terlalu dekat dengan sumber polutan (R28.1) serta tidak tersedianya alat ventilasi udara (R28.2), sehingga meningkatkan risiko paparan zat berbahaya.