Pendahuluan
Dalam praktik manajemen sumber daya manusia, insentif merupakan salah satu strategi utama untuk mendorong peningkatan kinerja karyawan. Insentif berperan sebagai pemicu motivasi yang dapat mendorong individu untuk memberikan hasil kerja yang optimal. Robbins dan Judge menyatakan bahwa baik insentif finansial maupun non-finansial memiliki kekuatan dalam memotivasi karyawan untuk mencapai kinerja terbaik [1]. Bentuk insentif seperti bonus, komisi, atau penghargaan lainnya kerap kali menciptakan hubungan langsung antara kinerja dan imbalan, yang pada akhirnya berdampak positif terhadap semangat dan produktivitas kerja [2], [3], [4].
Namun demikian, insentif tidak selalu harus berbentuk materi [5]. Penghargaan non-finansial seperti apresiasi, kesempatan pelatihan, atau program pengembangan karier juga terbukti mampu meningkatkan kepuasan dan semangat kerja karyawan [6]. Di sisi lain, penerapan sistem insentif di lingkungan usaha kecil dan menengah (UKM) kerap menemui tantangan yang membuat pelaksanaannya jauh dari konsep ideal. Beberapa kendala yang sering muncul mencakup keterbatasan sumber daya, sistem evaluasi kinerja yang belum terstandar, serta ketidaksesuaian antara pemberian insentif dan ekspektasi karyawan.
Fakta menunjukkan bahwa meskipun insentif finansial umumnya berdampak positif, tidak semua karyawan memberikan respons yang sama [7]. Ada yang merasa lebih termotivasi, namun tidak sedikit pula yang menganggapnya kurang relevan atau bahkan menimbulkan beban psikologis tersendiri [8]. Hal ini dapat dipengaruhi oleh beragam faktor, seperti kebutuhan individu, lingkungan kerja, dan karakteristik organisasi [9].
Contoh konkret kondisi ini dapat diamati pada UD. Budi Karya Jarorejo, sebuah usaha kecil di wilayah Tuban. Meskipun secara teoritis program insentif dapat meningkatkan produktivitas, praktik di lapangan menunjukkan adanya hambatan implementasi. Beberapa karyawan merasa sistem insentif belum sepenuhnya mencerminkan keadilan, baik dari sisi beban kerja maupun pencapaian target. Sejalan dengan temuan Mulyati et al. , efektivitas insentif sangat dipengaruhi oleh kesesuaian antara penilaian kinerja, pemberian insentif, dan tingkat kepuasan karyawan [10]. Selain itu, pentingnya memperhatikan budaya organisasi dan semangat kerja tim juga menjadi faktor pendukung keberhasilan sistem insentif [11].
Dalam konteks tersebut, penyusunan skema insentif yang efektif harus mempertimbangkan karakteristik unik organisasi serta preferensi para pekerja. Ganbold et al. menambahkan bahwa keberhasilan sistem insentif juga dipengaruhi oleh iklim kewirausahaan dan faktor eksternal yang membentuk dinamika kerja organisasi [12]. Oleh karena itu, evaluasi dan penyesuaian berkelanjutan terhadap sistem insentif menjadi penting agar tetap relevan dengan kebutuhan dan dinamika tenaga kerja.
Kebaruan dari penelitian ini terletak pada pengamatan empiris di lingkungan usaha kecil di daerah pedesaan yang belum banyak disentuh dalam kajian sebelumnya , serta penggunaan pendekatan campuran yang menyatukan data objektif dan pemahaman mendalam terhadap persepsi pekerja . Hal ini menjadikan studi ini kontekstual sekaligus memperkaya literatur terkait strategi insentif berbasis kinerja di sektor UKM.
1. Latar Belakang & Rumusan Masalah
Hubungan antara insentif dan produktivitas karyawan telah menjadi fokus perhatian banyak studi, terutama karena pengaruhnya yang signifikan terhadap semangat dan performa kerja. Sejumlah penelitian terdahulu memberikan wawasan yang beragam terkait peran insentif finansial dan non-finansial dalam meningkatkan motivasi dan produktivitas, khususnya di sektor usaha kecil dan menengah (UKM). Sebagai contoh, penelitian oleh Mulyati et al. menegaskan bahwa insentif finansial merupakan salah satu penentu utama dalam meningkatkan performa karyawan [13], khususnya di sektor manufaktur. Temuan tersebut sejalan dengan studi dari Mfikwa et al. yang menunjukkan bahwa insentif berbasis uang memiliki korelasi positif terhadap motivasi kerja dan pencapaian kinerja optimal [14].
Tak hanya aspek finansial, penghargaan non-material seperti pengakuan, penghargaan moral, dan peluang pengembangan diri juga terbukti mampu meningkatkan semangat dan loyalitas karyawan. Studi oleh Nguyen, Chau, dan Huynh menekankan bahwa pengakuan dan apresiasi dari manajemen bukan hanya mampu mendorong semangat kerja, tetapi juga memperkuat ikatan karyawan terhadap organisasi. Hal ini sangat penting terutama di lingkungan UKM, di mana relasi personal dan budaya organisasi cenderung lebih kental [15].
Meski demikian, efektivitas insentif—baik yang bersifat finansial maupun non-finansial—tidak selalu bersifat universal [16]. Setiap organisasi memiliki dinamika tersendiri yang memengaruhi respons karyawan terhadap insentif yang diberikan [17]. Faktor-faktor seperti nilai budaya perusahaan, gaya kepemimpinan, dan karakteristik individu karyawan turut membentuk persepsi terhadap keadilan dan relevansi pemberian insentif [18]. Karena itu, pendekatan satu ukuran untuk semua sering kali tidak efektif.
Dalam konteks ini, penelitian yang dilakukan terhadap UD. Budi Karya Jarorejo menjadi penting karena memberikan gambaran empiris dari sebuah usaha kecil yang belum banyak dikaji. Sebagian besar riset sebelumnya lebih menyoroti perusahaan besar atau institusi formal yang memiliki sistem insentif yang lebih mapan dan terstruktur. Sementara itu, sektor usaha kecil kerap menghadapi tantangan unik dalam merancang dan menerapkan sistem penghargaan yang sesuai.
Berdasarkan paparan tersebut, maka penelitian ini dirancang untuk menjawab tiga pertanyaan utama:
1. Sejauh mana pemberian insentif di UD. Budi Karya Jarorejo memengaruhi produktivitas karyawan?
2. Faktor-faktor apa saja yang memengaruhi efektivitas pemberian insentif di lingkungan kerja usaha kecil?
3. Apakah insentif finansial memiliki pengaruh yang lebih kuat dibandingkan insentif non-finansial dalam meningkatkan kinerja karyawan?
Dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi nyata terhadap pemahaman tentang efektivitas insentif dalam konteks UKM, serta menawarkan rekomendasi yang aplikatif bagi pelaku usaha dalam merancang strategi insentif yang lebih tepat sasaran.
2. Landasan Teori
Dalam memahami keterkaitan antara insentif dan produktivitas kerja, beberapa teori motivasi kerja digunakan sebagai dasar analisis. Salah satunya adalah Teori Dua Faktor dari Herzberg, yang menjelaskan bahwa motivasi kerja dapat dipengaruhi oleh dua kelompok faktor: faktor pemenuh (motivator) dan faktor kebersihan (hygiene). Insentif finansial termasuk dalam kategori hygiene factor, yang meskipun tidak selalu meningkatkan motivasi secara langsung, namun ketiadaannya dapat menyebabkan ketidakpuasan kerja. Sebaliknya, penghargaan non-finansial seperti pengakuan dan kesempatan berkembang masuk dalam kategori motivator, yang dapat meningkatkan semangat dan keterlibatan karyawan dalam jangka panjang.
Teori Keadilan (Equity Theory) juga relevan dalam konteks ini. Teori ini menyatakan bahwa karyawan cenderung membandingkan usaha dan hasil yang mereka terima dengan rekan kerja lainnya. Jika mereka merasa perlakuan yang diterima adil, maka motivasi akan meningkat. Sebaliknya, persepsi ketidakadilan bisa menimbulkan kekecewaan dan menurunkan produktivitas. Oleh karena itu, persepsi terhadap keadilan dalam pemberian insentif menjadi sangat penting dalam membangun loyalitas dan komitmen karyawan.
Dalam konteks organisasi kecil seperti UKM, aspek personal dan sosial juga menjadi faktor penentu penting dalam efektivitas insentif. Budaya organisasi yang terbuka, hubungan yang erat antara pimpinan dan karyawan, serta sistem penghargaan yang transparan akan memperkuat dampak insentif terhadap produktivitas.
Metode
Penelitian ini menggunakan pendekatan campuran (mixed methods), yang menggabungkan metode kuantitatif dan kualitatif secara integratif. Tujuan dari pendekatan ini adalah untuk memperoleh pemahaman yang lebih komprehensif mengenai pengaruh insentif terhadap produktivitas kerja karyawan di UD. Budi Karya Jarorejo, Tuban.
1. Kuantitatif
Pada tahap kuantitatif, data dikumpulkan melalui penyebaran kuesioner kepada karyawan yang telah bekerja minimal satu tahun. Variabel yang diukur meliputi insentif finansial, insentif non-finansial, kepuasan kerja, dan produktivitas. Data dianalisis menggunakan regresi linier berganda untuk mengetahui pengaruh langsung antar variabel, serta moderated regression analysis (MRA) untuk menguji efek interaksi atau moderasi antar faktor.
Uji validitas instrumen dilakukan menggunakan teknik korelasi Pearson Product Moment, sedangkan reliabilitasnya diuji dengan Cronbach Alpha. Hasilnya menunjukkan seluruh variabel memiliki nilai alpha di atas 0,70, yang menunjukkan bahwa instrumen memiliki tingkat reliabilitas yang memadai.
2. Kualitatif
Sementara pada tahap kualitatif, dilakukan wawancara mendalam secara semi-terstruktur dengan sepuluh karyawan dari berbagai divisi serta satu perwakilan manajemen. Wawancara ini bertujuan untuk menggali persepsi, pengalaman, dan pandangan subyektif mengenai sistem insentif yang berlaku. Untuk menjaga keabsahan data, dilakukan triangulasi sumber dan teknik, serta proses konfirmasi ulang (member checking) guna meminimalkan bias interpretasi.
Data kualitatif dianalisis menggunakan pendekatan tematik, yaitu dengan mengidentifikasi pola dan tema umum dari narasi responden. Integrasi antara pendekatan kuantitatif dan kualitatif ini diharapkan dapat menghasilkan pemahaman yang tidak hanya akurat secara statistik, tetapi juga kaya akan dimensi kontekstual dan sosial yang khas dari lingkungan UKM.
Hasil dan Pembahasan
A. Hasil
1. Hasil Penelitian : Kuantitatif
Analisis data kuantitatif dalam penelitian ini menggunakan regresi linier berganda untuk mengukur sejauh mana insentif finansial, insentif non-finansial, dan kepuasan kerja berpengaruh terhadap produktivitas karyawan. Hasil analisis menunjukkan bahwa insentif finansial (X1) memiliki pengaruh signifikan terhadap produktivitas kerja (Y), dengan nilai koefisien regresi sebesar 0,4736 dan nilai signifikansi p = 0,000. Temuan ini menegaskan bahwa semakin tinggi jumlah insentif finansial yang diterima, semakin besar pula peningkatan produktivitas karyawan.
Sementara itu, insentif non-finansial (X2) juga terbukti memberikan dampak positif terhadap produktivitas, meskipun kontribusinya tidak sebesar insentif finansial. Nilai koefisien regresi sebesar 30.520, dengan nilai t = 4,265 dan p = 0,000, menunjukkan adanya hubungan yang signifikan. Hal ini memperlihatkan bahwa bentuk-bentuk insentif seperti apresiasi, pelatihan, atau lingkungan kerja yang mendukung tetap menjadi faktor penting dalam mendorong semangat kerja.
Di sisi lain, variabel kepuasan kerja (X3) menunjukkan pengaruh negatif yang tidak signifikan terhadap produktivitas, dengan koefisien regresi sebesar -7.290, nilai t = -0.975, dan p = 0.335. Artinya, meskipun karyawan merasa puas dengan pekerjaannya, hal ini tidak serta-merta meningkatkan produktivitas kecuali jika didukung oleh sistem insentif yang tepat.
Nilai R-squared sebesar 0,947 menandakan bahwa sekitar 94,7% variasi dalam produktivitas karyawan dapat dijelaskan oleh ketiga variabel tersebut. Adapun sisanya, 5,3%, kemungkinan dipengaruhi oleh faktor lain di luar model seperti pengalaman kerja, beban tugas, atau karakteristik individu. Nilai F-statistic sebesar 275,8 dengan signifikansi sangat tinggi (p = 2,11e-29) memperkuat bukti bahwa model regresi ini mampu secara efektif menjelaskan hubungan antara insentif dan produktivitas kerja secara keseluruhan.
a. Grafik Regresi / Path Analysis

Figure 1. Grafik Tanggapan Karyawan terhadap Pelatihan
Berikut adalah grafik batang bertumpuk yang menampilkan tanggapan karyawan terhadap pelatihan berdasarkan data gambar 1. Grafik ini menggambarkan persepsi mereka terhadap efektivitas pelatihan dari berbagai aspek, seperti peningkatan pengetahuan dan dorongan profesionalisme.

Figure 2. Grafik Tanggapan Karyawan terhadap Pemberian Bonus
Grafik di atas menampilkan tanggapan karyawan terhadap pemberian bonus, dengan fokus pada empat indikator utama. Terlihat bahwa indikator "bonus sesuai prestasi kerja" memperoleh tingkat persetujuan tertinggi (100% responden setuju), menunjukkan pentingnya keterkaitan antara penghargaan dan pencapaian individu.

Figure 3. Grafik Tanggapan Karyawan terhadap Motivasi
Grafik ini menunjukkan bahwa sebagian besar karyawan bekerja dengan orientasi motivasi yang kuat, baik karena alasan ekonomi maupun kebutuhan aktualisasi diri dan sosial. Indikator seperti "kerja untuk aktualisasi diri" dan "kerja karena butuh relasi sosial" mendapat tingkat persetujuan tinggi, mencerminkan bahwa motivasi karyawan tidak hanya bersifat material.

Figure 4. Grafik Tanggapan Karyawan terhadap Produktivitas Kerja
Berikut adalah grafik batang bertumpuk untuk Tabel 5.4: Tanggapan Karyawan terhadap Produktivitas Kerja. Grafik ini menunjukkan bahwa sebagian besar karyawan merasa produktivitas mereka didukung oleh kerja sama tim, kreativitas, keterampilan, serta fasilitas kerja yang memadai.

Figure 5. Model Path Analysis Hubungan Variabel
Berikut adalah visualisasi grafik path analysis berdasarkan Tabel 5.10. Diagram ini menunjukkan arah dan kekuatan hubungan antar variabel:
a. Pelatihan → Motivasi (0.354)
b. Pemberian Bonus → Motivasi (0.362)
c. Pelatihan → Produktivitas (0.371)
d. Pemberian Bonus → Produktivitas (0.456)
e. Motivasi → Produktivitas (0.535)
2. Hasil Penelitian : Kualitatif
Untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam mengenai hasil kuantitatif, dilakukan wawancara mendalam terhadap sepuluh karyawan dari berbagai divisi, serta perwakilan manajemen. Hasil wawancara menunjukkan bahwa insentif finansial seperti bonus dan tunjangan menjadi faktor yang paling dihargai oleh karyawan. Banyak responden menyebut bahwa pencapaian target produksi disertai dengan pemberian bonus menjadi motivasi utama dalam meningkatkan produktivitas mereka.
Namun demikian, muncul juga beberapa keluhan terkait ketidakadilan dalam pembagian insentif. Beberapa karyawan merasa bahwa sistem pemberian bonus belum sepenuhnya transparan dan terkadang bersifat subjektif. Ada perasaan bahwa usaha keras tidak selalu berbanding lurus dengan insentif yang diterima, terutama jika dibandingkan dengan rekan kerja lain yang beban kerjanya lebih ringan.
Selain itu, insentif non-finansial seperti penghargaan atas kinerja, kesempatan mengikuti pelatihan, dan lingkungan kerja yang nyaman juga diakui memiliki dampak positif, terutama bagi karyawan yang memiliki motivasi intrinsik tinggi. Mereka cenderung menghargai pengakuan dari atasan dan peluang untuk berkembang sebagai bentuk penghargaan yang bermakna. Sebaliknya, bagi karyawan yang lebih bergantung pada motivasi eksternal, insentif finansial tetap menjadi pendorong utama produktivitas.
Temuan kualitatif ini memperkuat hasil kuantitatif bahwa persepsi keadilan dan bentuk insentif yang diberikan menjadi kunci penting dalam menentukan sejauh mana insentif mampu memengaruhi produktivitas secara nyata.
B. Pembahasan
1. Diskusi dan Interpretasi
Hasil penelitian ini memperkuat pemahaman bahwa sistem insentif yang dirancang dengan tepat memiliki dampak signifikan terhadap produktivitas kerja karyawan, terutama dalam konteks usaha kecil. Baik data kuantitatif maupun temuan kualitatif menunjukkan bahwa insentif finansial berperan sebagai pendorong utama semangat kerja, selaras dengan teori Dua Faktor Herzberg, di mana kompensasi material termasuk dalam kategori hygiene factor yang berpengaruh terhadap kepuasan jangka pendek.
Namun, efektivitas sistem insentif tidak semata bergantung pada bentuk atau jumlahnya. Temuan kualitatif mengungkap bahwa persepsi keadilan dan transparansi dalam proses pemberian insentif menjadi aspek kunci yang menentukan dampak nyata terhadap motivasi dan produktivitas. Ketika karyawan merasa bahwa penghargaan yang diberikan mencerminkan pencapaian kerja secara objektif, loyalitas dan produktivitas cenderung meningkat. Sebaliknya, ketidakseimbangan atau ketidakjelasan dalam sistem insentif dapat menimbulkan ketidakpuasan dan penurunan semangat kerja.
Selain insentif finansial, penghargaan non-material seperti pelatihan, pengakuan, dan suasana kerja yang mendukung turut memberikan kontribusi positif, terutama bagi karyawan dengan motivasi intrinsik yang tinggi. Hal ini memperkuat relevansi pendekatan multifaktor dalam mendorong kinerja, sebagaimana ditegaskan dalam teori Maslow bahwa aktualisasi diri dan pengakuan sosial menjadi kebutuhan psikologis penting dalam dunia kerja.
Menariknya, variabel kepuasan kerja dalam model regresi justru tidak menunjukkan pengaruh signifikan terhadap produktivitas. Hal ini menegaskan bahwa kenyamanan kerja belum cukup untuk mendorong kinerja optimal apabila tidak diiringi dengan sistem penghargaan yang terstruktur dan relevan. Hasil ini selaras dengan studi Rahmadi & Partiwi dan Alamsyah et al. yang menunjukkan pentingnya insentif sebagai pengungkit aktual atas motivasi kerja [19], [20].
Secara umum, kekuatan model penelitian ini tercermin dari nilai R-squared sebesar 94,7%, yang menunjukkan bahwa variabel-variabel utama dalam studi ini menjelaskan hampir seluruh variasi dalam produktivitas. Hal ini menjadi bukti bahwa strategi insentif, jika dikelola dengan adil, transparan, dan sesuai konteks, dapat menjadi alat manajerial yang sangat efektif untuk mendorong kinerja dalam lingkungan UKM.
Simpulan
Penelitian ini menyimpulkan bahwa insentif finansial memiliki pengaruh paling kuat terhadap produktivitas tenaga kerja di lingkungan usaha kecil seperti UD. Budi Karya Jarorejo. Insentif non-finansial juga berperan penting, terutama dalam mendukung semangat kerja karyawan yang memiliki motivasi intrinsik. Sebaliknya, kepuasan kerja yang tidak disertai dengan sistem penghargaan yang tepat tidak memberikan dampak signifikan terhadap peningkatan produktivitas.
Secara keseluruhan, keberhasilan program insentif sangat ditentukan oleh persepsi keadilan, kesesuaian antara prestasi dan penghargaan, serta transparansi dalam pelaksanaannya. Hal ini menunjukkan bahwa pengelolaan insentif tidak hanya bersifat teknis, tetapi juga menyangkut aspek psikologis dan sosial dalam hubungan kerja.
Rekomendasi
Berdasarkan hasil dan temuan penelitian, beberapa rekomendasi dapat diberikan:
1. Evaluasi Berkala Sistem Insentif: Manajemen perlu secara rutin meninjau efektivitas sistem insentif agar tetap relevan dengan pencapaian kerja dan kebutuhan tenaga kerja.
2. Transparansi dalam Penghargaan: Proses penilaian dan pembagian insentif sebaiknya dilakukan secara terbuka dan terukur agar dapat menumbuhkan kepercayaan dan semangat kerja.
3. Penguatan Insentif Non-Finansial: Pelatihan, pengembangan kapasitas, serta pengakuan informal perlu dijadikan bagian integral dari strategi insentif jangka panjang.
4. Perbaikan Komunikasi Internal: Saluran komunikasi dua arah perlu diperkuat agar kebijakan yang diterapkan mencerminkan aspirasi dan kebutuhan karyawan.
5. Penyusunan Sistem yang Adaptif: Bagi pelaku UKM secara umum, penting untuk mengembangkan sistem insentif yang fleksibel dan mampu menyesuaikan dengan karakteristik tenaga kerja modern.
Dengan menerapkan rekomendasi ini, diharapkan perusahaan tidak hanya mampu meningkatkan produktivitas kerja, tetapi juga menciptakan lingkungan kerja yang sehat, kolaboratif, dan berkelanjutan.