Chemical Castration in Indonesian Criminal Law: Human Rights Perspective
Innovation in Social Science
DOI: 10.21070/ijins.v26i1.991

Chemical Castration in Indonesian Criminal Law: Human Rights Perspective


Kebiri Kimia dalam Hukum Pidana Indonesia: Perspektif Hak Asasi Manusia

Universitas Trunojoyo Madura
Indonesia
Universitas Trunojoyo Madura
Indonesia

(*) Corresponding Author

Human Rights Chemical Castration Indonesian Law Sexual Violence Penal System

Abstract

This study delves into the controversial practice of chemical castration for sexual offenders against children within Indonesian criminal law, examining it through a human rights lens. Adopting a normative legal method, the research incorporates legislative and conceptual analysis with data sourced from primary and secondary legal materials. The study reveals a stark incongruity between chemical castration and rehabilitation goals of the penal system, highlighting its inhumane nature and violation of human dignity. Furthermore, the research discusses the additional sanction of electronic detection devices, scrutinizing its infringement on privacy rights and inconsistency with the International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR). This study underscores the critical need for a penal system that respects human rights while addressing sexual violence against children, calling for a shift from punitive to rehabilitative approaches.
Highlights:

  • Chemical castration in Indonesia's penal system conflicts with rehabilitation goals and human rights principles, being inhumane and degrading.
  • The additional use of electronic detection devices infringes on perpetrators' privacy rights and contradicts international human rights conventions.
  • The study advocates for a penal system that balances the need for justice in cases of sexual violence against children with respect for human rights and dignity.

Keywords: Human Rights, Chemical Castration, Indonesian Law, Sexual Violence, Penal System

Pendahuluan

Perkembangan sosial saat ini mencerminkan tingginya tingkat kejahatan di kalangan masyarakat, dan salah satu jenis kejahatan yang mencolok adalah kekerasan seksual terhadap anak. Setiap perilaku yang mendegradasikan, mencela, menghina, atau menyerang tubuh dan fungsi reproduksi seseorang dapat dikategorikan sebagai kekerasan seksual. Definisi dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa kekerasan seksual adalah tindakan yang ditujukan pada seksualitas atau organ seksual seseorang tanpa adanya persetujuan dari individu tersebut.[1] Menurut laporan dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), terjadi 9.645 insiden kekerasan dan tindak kriminal terhadap anak di Indonesia selama periode Januari hingga 28 Mei 2023. Dalam statistik ini, perempuan menjadi korban sebanyak 8.615 kasus, sementara laki-laki mengalami 1.832 kasus. Kejadian kekerasan seksual terhadap anak mencatatkan angka tertinggi dengan 4.280 kasus, disusul oleh kekerasan fisik sebanyak 3.152 kasus dan kekerasan psikis sebanyak 3.053 kasus.

Sistem peradilan pidana Indonesia adalah bagian dari sub-sistem hukum yang sudah ada. Tujuan utama dari sistem peradilan pidana adalah untuk mengatasi kejahatan dan memberikan kepuasan kepada masyarakat bahwa keadilan telah dilaksanakan serta orang yang terbukti bersalah akan bertanggung jawab atas perbuatannya. Selain itu, dalam hukum pidana, pemberian sanksi pidana merupakan salah satu dari tiga isu yang sangat krusial, selain tindak pidana dan pertanggungjawaban. Oleh karena itu, wewenang negara dalam menjatuhkan sanksi pidana kepada terdakwa dianggap sebagai permasalahan yang sangat penting dan mendasar. Meskipun demikian, perlu diperhatikan bahwa penjatuhan sanksi pidana juga harus memperhatikan hak asasi manusia terdakwa, meskipun tindakan tersebut berarti kehilangan kebebasan.[2]

Menurut Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), hukuman tetap harus berusaha menjadi sarana rehabilitasi dan mempertimbangkan prinsip kemanusiaan saat peradaban modern berkembang.[3] Sehingga, menurut Komnas HAM, tindakan kebiri kimia dianggap sebagai pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang dilarang oleh pemerintah. Menteri Kesehatan tidak setuju bahwa pengebirian, baik melalui pemotongan saluran atau penyuntikan zat kimia, dapat dianggap sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia.

Menurut Pasal 28G dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, hak untuk tidak mengalami penyiksaan dan bebas dari perlakuan yang merendahkan martabat manusia dianggap sebagai hak yang bertentangan dengan penggunaan kebiri kimia. Jika tidak ada usaha perbaikan, penilaian terhadap kebiri kimia cenderung hanya fokus pada hukuman bagi pelaku. Hukum kebiri dianggap mengembalikan konsep pembalasan seperti pada zaman kolonial. Sebaliknya, Indonesia menggunakan metode pemidanaan yang lebih modern yang bertujuan untuk memperbaiki perilaku pelaku. Lebih lanjut, ada beberapa orang di komunitas yang percaya bahwa biaya dan persetujuan pelaku pelecehan seksual dapat memengaruhi penerapan hukuman. Jurnal ini bertujuan untuk menjelaskan fenomena pelaku kekerasan seksual yang menggunakan kebiri kimia dalam hukum pidana Indonesia.[4]

Dengan merujuk pada penjelasan konteks yang telah disampaikan sebelumnya, maka pembentukan pertanyaan penelitian dalam kajian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

  1. Bagaimana Penjatuhan Sanksi Kebiri Kimia Berdasarkan Perspektif Hak Asasi Manusia Dan Hukum Pidana?
  2. Bagaimana Penerapan hukum terhadap pelaku kekerasan seksual pada anak berdasarkan perspektif Hukum pidana?
  3. Bagaimana Efektifitaas Penerapan Sanksi Kebiri Kimia Kepada Pelaku Kekerasan Seksual Pada Anak?

Metode

Metode penelitian yang diterapkan dalam penelitian ini adalah metode hukum normatif. Pendekatan yang digunakan mencakup analisis perundang-undangan dan analisis konseptual. Sumber hukum yang dijadikan acuan terdiri dari peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan sanksi kebiri kimia bagi pelaku kekerasan seksual pada anak sebagai bahan hukum primer, serta buku, jurnal, dan literatur akademik lainnya sebagai bahan hukum sekunder.

Metode pengumpulan data yang digunakan melibatkan studi pustaka, di mana bahan-bahan hukum yang relevan dikumpulkan dan dievaluasi. Data yang berhasil terhimpun kemudian dianalisis secara deskriptif kualitatif, dengan fokus pada interpretasi, pembongkaran, dan penjelasan bahan-bahan hukum. Tujuannya adalah untuk memahami substansi dan signifikansi penerapan sanksi kebiri kimia terhadap pelaku kekerasan seksual terhadap anak. Hasil analisis disajikan secara sistematis dan logis, bertujuan untuk memberikan gambaran yang jelas tentang implementasi sanksi kebiri kimia dalam kerangka hukum pidana Indonesia.

Pembahasan

Penjatuhan Sanksi Kebiri Kimia Berdasarkan Perspektif Hak Asasi Manusia Dan Hukum Pidana

Kebiri kimia merupakan suatu prosedur bedah yang melibatkan pemanfaatan bahan kimia atau tindakan bedah dengan tujuan menghentikan fungsi kelamin pada ovarium, baik pada laki-laki maupun perempuan. Penerapan kebiri juga dapat dilakukan pada manusia dan hewan. Sesuai dengan penjelasan dalam Undang-Undang Nomor 17 tahun 2016, kebiri kimia mengacu pada pemberian hormon anti androgen melalui penyuntikan, yang memiliki kemampuan untuk menghambat fungsi androgen yang memicu dorongan seksual. Untuk sepenuhnya menghilangkan dorongan seksual, proses kebiri kimia juga dapat melibatkan konsumsi pil dengan kandungan anti androgen.[5] Peningkatan insiden kejahatan seksual, terutama terhadap anak, menjadi perhatian pemerintah yang mengadopsi tindakan kebiri kimia untuk menghentikan fungsi testis. Kebiri ini dapat dilakukan melalui metode bedah dengan mengangkat testis atau menggunakan bahan kimia. Hak asasi manusia merupakan hak-hak yang diberikan kepada setiap individu sebagai hasil dari martabat kemanusiaannya, dan bukan berasal dari undang-undang atau pemberian masyarakat. Terdapat banyak perangkat yang mengatur hak-hak asasi manusia, yang menetapkan hak-hak setiap orang.[6]

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 mengamanatkan penggunaan sanksi kebiri kimia terhadap pelaku kekerasan seksual pada anak. Dalam konteks medis, proses kebiri dikenal sebagai kastrasi, dan saat ini, kastrasi pada pria dilakukan secara kimia daripada prosedur fisik dengan pengangkatan testis. Salah satu metode yang digunakan melibatkan pemberian hormon antiandrogen melalui pil atau suntikan. Hormon antiandrogen berfungsi menekan hormon pria, mengakibatkan penurunan hormon testosteron, dan menghilangkan dorongan seksual. Efek dari obat antiandrogen mirip dengan kastrasi fisik, dan penggunaannya juga dapat menyebabkan kerusakan tulang yang bersifat permanen. [7]

Beberapa peraturan telah dilanggar dalam penggunaan hukuman kebiri kimia, terutama terkait dengan penggunaan sanksi yang dianggap menyiksa, kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat. Menghukum seseorang dengan menghilangkan dorongan seksual dianggap sebagai tindakan yang menyiksa, kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat manusia. Setiap individu lahir dengan hak-hak tertentu, dan pencabutan hak-hak tersebut oleh negara tanpa pertimbangan yang jelas dianggap sebagai pelanggaran hak asasi manusia. Setiap individu memiliki hak terhadap dorongan seksualnya sendiri dan memiliki tanggung jawab untuk menghindari melanggar ketentuan yang ada sebagai konsekuensi dari dorongan seksualnya. [8]

Melindungi hak asasi manusia adalah dasar hukum. Ironisnya, hukum dapat berfungsi sebagai alat yang merusak dan mengabaikan hak-hak manusia. Kekerasan seksual terhadap anak dianggap sebagai perbuatan yang tidak manusiawi, jadi menghilangkan dorongan seksual tidak dianggap sebagai cara yang tepat untuk menghukum pelaku. Pemerintah perlu mempertimbangkan sanksi tambahan yang lebih berorientasi pada kemanusiaan untuk memberikan efek jera kepada pelaku tanpa merugikan hak-hak dasar mereka. Sebagai ilustrasi, penggunaan kebiri kimia dianggap sebagai pelanggaran hak asasi manusia karena menghambat hak individu untuk hidup dan berketurunan.[9]

Hukum pidana adalah undang-undang yang berkaitan dengan perbuatan pidana. Dalam kasus di mana suatu lembaga memiliki otoritas untuk memberikan sanksi kepada seseorang karena perilaku yang dianggap tidak pantas, istilah "pidana" digunakan. Dalam proses pemidanaan, pidana digunakan sebagai balasan tersirat atas tindakan seseorang yang dianggap tidak baik. Penegakan hukum melalui pemidanaan bertujuan untuk melindungi masyarakat, mencegah terjadinya tindak pidana, memberikan pembelajaran kepada terpidana agar dapat menjadi individu yang lebih baik, dan menyelesaikan konflik yang timbul akibat perbuatan pidana. Penerapan hukuman kebiri kimia terhadap pelaku kekerasan seksual terhadap anak didasarkan pada prinsip-prinsip tujuan pemidanaan. Dalam penggunaan hukuman kebiri kimia, faktor-faktor seperti pencegahan, pembinaan sosial, pemulihan keseimbangan, penciptaan kedamaian, dan pembebasan pelaku kekerasan seksual terhadap anak dari rasa bersalah harus dipertimbangkan.[9]

Melakukan evaluasi ulang terhadap penggunaan tindakan kebiri kimia dalam kasus pemidanaan sangat penting karena ini tidak sesuai dengan tujuan pemidanaan, yaitu untuk mencapai keseimbangan dan kedamaian dalam kehidupan manusia. Hukuman tidak seharusnya digunakan sebagai pembalasan tetapi seharusnya difokuskan pada mencapai tujuan tertentu untuk mengembalikan keseimbangan yang terganggu oleh tindakan kriminal. Jika penangkapan pelaku kekerasan seksual terhadap anak hanya dianggap sebagai bentuk pembalasan, hal ini menunjukkan bahwa paradigma hukum pidana klasik masih tetap relevan.[10] Terpidana yang menjalani hukuman kebiri kimia harus melakukannya dalam waktu tidak lebih dari dua tahun setelah menjalani pidana utamanya, dan proses tersebut harus dilaksanakan dengan melibatkan program rehabilitasi serta pengawasan teratur oleh lembaga pemerintah yang memiliki tanggung jawab terhadap aspek hukum, sosial, dan kesehatan.[11]

Meskipun begitu, penerapan kebiri kimia tidak dapat menjadi metode universal untuk semua pelaku kejahatan seksual terhadap anak karena perbedaan dalam jenis pelaku dan kebutuhan perawatan yang beragam. Kebiri kimia hanya relevan untuk pelaku kejahatan seksual yang mengidap paraphilia, terutama gangguan pedofilia. Telah terbukti bahwa kebiri kimia dapat mengurangi tingkat hormon testosteron pada pria, terutama dengan pemberian injeksi Depo Provera setiap minggu, yang dapat membantu mengurangi risiko pengulangan tindak pidana bagi mereka yang mengalami paraphilia. Sayangnya, baik Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 maupun Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang kebiri kimia tidak mengatur secara tegas bahwa prosedur ini hanya boleh dilakukan pada pelaku kejahatan seksual terhadap anak yang benar-benar menderita gangguan paraphilia. Hal ini berarti bahwa pelaku kejahatan seksual terhadap anak tanpa adanya gangguan paraphilia juga dapat menjadi objek kebiri kimia, sehingga mengurangi efektivitasnya dan tidak mencapai tujuan yang diharapkan.[12]

Putusan tentang kebiri kimia terhadap pelaku pelecehan seksual pada anak di bawah umur yakni sebagai berikut:

Putusan Nomor 69/PID.SUS/2019/PN.MJK[13]

Dengan merujuk pada Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan peraturan perundang-undangan terkait lainnya, Keputusan Pengadilan Negeri Mojokerto Nomor 69/Pid. Sus/2019/PN.MJK mengacu pada Pasal 76D dan Pasal 81 Ayat (2) dari Undang-Undang No. 17 Tahun 2016. Majelis hakim menyatakan bahwa terdakwa dengan sah dan meyakinkan terbukti bersalah atas tindak pidana kekerasan memaksa anak melakukan hubungan seksual, baik dengan dirinya maupun dengan orang lain. Sebagai konsekuensinya, terdakwa dijatuhi hukuman penjara selama 12 tahun, denda sejumlah Rp 100.000.000,00, dan kurungan tambahan selama 6 bulan. Selain itu, terdakwa juga dikenai pidana kebiri kimia. Masa penahanan dan penahanan terdakwa dikurangkan sepenuhnya berdasarkan putusan tersebut.

Hakim memutuskan bahwa terdakwa perlu tetap berada dalam tahanan, dengan alasan bahwa barang bukti akan dimusnahkan, dan menetapkan biaya perkara sebesar Rp 5.000,00 untuk ditanggung oleh terdakwa. Keputusan hakim juga menyatakan bahwa terdakwa harus dijatuhi hukuman karena adanya keadaan yang memberatkan, yang mengindikasikan bahwa perbuatannya telah menimbulkan dukacita mendalam bagi keluarga korban dan mengakibatkan ketidaknyamanan di masyarakat. Meskipun demikian, faktor-faktor yang dapat meringankan situasi tidak dipertimbangkan.

Meskipun putusan hakim tidak secara eksplisit menguraikan pertimbangan hukum terkait pemberian sanksi pidana tambahan berupa kebiri kimia sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 81 Ayat (7) UU No. 17 Tahun 2016, hakim tetap memutuskan berdasarkan kewenangannya untuk menjatuhkan hukuman. Keputusan untuk memberlakukan sanksi pidana tambahan berupa kebiri kimia didasarkan pada fakta persidangan yang menunjukkan bahwa Terdakwa terbukti melakukan persetubuhan dengan sejumlah anak sebanyak 9 kali, sesuai dengan ketentuan Pasal 81 Ayat (5) yang menyebutkan 'menimbulkan korban lebih dari 1 orang'. Meskipun demikian, hakim tidak menyajikan rincian secara mendalam terkait Pasal 81 Ayat (7) dalam pertimbangan hukumnya dalam putusan tersebut.

Putusan Nomor 287/PID.SUS/2020/PN.SDN

Menurut ketentuan yang tercantum dalam Pasal 81 Ayat (1) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2016 yang mengubah Kedua Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak, penyidik menyatakan bahwa Dian Ansori Bin M. Soleh sebagai Terdakwa telah dapat dipastikan secara tegas dan meyakinkan melakukan tindak pidana "persetubuhan terhadap anak di bawah umur".[11]

Putusan Pengadilan Negeri Sukadana Nomor 287/Pid.Sus/2020/PN Sdn menjatuhkan hukuman kepada Dian Ansori Bin M. Soleh, yang melibatkan 20 tahun penjara dan denda senilai 800.000.000,00 rupiah. Apabila denda tidak dibayar, akan digantikan dengan kurungan selama 3 bulan. Selain itu, Terdakwa akan menjalani tindakan kebiri kimia maksimal selama 1 tahun setelah menyelesaikan hukuman pokok.

Walaupun syarat-syarat yang diatur dalam pasal tersebut telah dipenuhi, terdapat sedikit perbedaan antara tuntutan dari penuntut umum dan keputusan hakim. Penuntut umum tidak mengusulkan hukuman tambahan seperti kebiri kimia dalam tuntutannya, sementara hakim dalam putusannya memberikan hukuman tambahan tersebut kepada terdakwa. Hal ini disebabkan oleh pertimbangan hakim terhadap fakta hukum bahwa perbuatan terdakwa tidak hanya terjadi sekali. Oleh karena itu, hakim memutuskan memberikan hukuman tambahan berupa kebiri kimia sebagai langkah pencegahan untuk mengendalikan kecenderungan terdakwa melakukan tindakan yang terkait dengan kejahatan seksual, melampaui hukuman penjara yang telah diberikan.

Putusan No.989/PID.SUS/ 2021/PN.Bdg[14]

menetapkan bahwa Herry Wirawan, atau Heri bin Dede, telah dinyatakan bersalah atas tindak pidana. Sebagaimana diuraikan dalam dakwaan utama, Herry Wirawan didakwa karena dengan sengaja melakukan kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengan pendidik, menyebabkan lebih dari satu korban berulang kali. Terdakwa dihukum penjara seumur hidup karena perbuatannya. Selain itu, terdakwa harus memberikan restitusi sebesar 331.527.186,00 rupiah kepada Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia, sesuai dengan undang-undang yang berlaku.

Kasus pemerkosaan terhadap belasan santri di Kota Bandung dianggap sebagai kejahatan yang sangat serius dan kejam yang direncanakan, bukan hanya sebagai perbuatan spontan. Herry Wirawan melaksanakan tindakannya secara bertahap dengan menggunakan unsur ancaman psikologis, penyekapan, dan pemberian iming-iming fasilitas kepada korban. Oleh karena itu, secara perlahan, Terdakwa berhasil mempengaruhi korban untuk mencapai tujuannya. Tindakan keji yang dilakukan oleh Herry Wirawan, yang menyebabkan kehamilan dan persalinan, terjadi di berbagai lokasi, mulai dari pondok pesantren hingga penginapan seperti hotel dan apartemen. Dengan demikian, dapat disimpulxxkan bahwa perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh Herry Wirawan merupakan kejahatan yang sangat serius dan melibatkan pelanggaran berat terhadap Hak Asasi Manusia. Perbuatan pelecehan seksual tersebut tidak hanya menimbulkan dampak langsung pada korban, tetapi juga menciptakan ketidaknyamanan sosial. Pemberian hukuman mati dan kebiri kimia kepada HW dianggap sesuai dengan HAM, sementara Herry, yang terbukti melakukan pelanggaran HAM berat terhadap 13 korban santriwati, dihadapkan pada konsekuensi trauma psikis dan fisik sepanjang sisa hidupnya.

Penerapan Hukum Terhadap Pelaku Kekerasan Seksual Pada Anak Berdasarkan Perspektif Hukum Pidana

Karena hukum adalah alat manusia, pelaksanaan atau penegakan hukum harus bermanfaat bagi masyarakat. Tiga tahap terdiri dari kebijakan hukum pidana sebagai metode logis untuk memerangi kejahatan: penciptaan undang-undang, pelaksanaan undang-undang, dan eksekusi. Tahap-tahap ini mencakup penerapan hukum sesuai dengan peraturannya.Meskipun KUHP memiliki peraturan umum, dalam perkembangan penegakan hukum, dianggap kurang mampu melindungi anak secara optimal.[15] Karena itu, perlunya langkah-langkah khusus sesuai dengan tanggung jawab yang diamanatkan oleh Pasal 28B ayat (2) Konstitusi Republik Indonesia Tahun 1945, yang menjamin hak anak terhadap kelangsungan hidup, pertumbuhan, perkembangan, dan perlindungan dari diskriminasi dan kekerasan.

Oleh karena itu, diperlukan suatu kerangka hukum yang mengatur hal tersebut, sebagaimana dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang telah mengalami perubahan melalui Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014. Selanjutnya, melalui Peraturan Presiden Pengganti Undang-Undang (PERPPU) Nomor 1 Tahun 2016 yang mengubah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, muncul sebagai Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016. Tujuan dari undang-undang ini adalah memberikan sanksi pidana berupa kebiri kimia kepada pelaku kekerasan seksual terhadap anak. Dibutuhkan sebuah model peradilan pidana yang didasarkan pada prinsip-prinsip perlindungan dan penegakan Hak Asasi Manusia untuk membangun sistem peradilan pidana yang tidak hanya memberikan perlindungan, tetapi juga menghormati martabat manusia. Dalam konteks ini, perlindungan hukum harus menitikberatkan pada prinsip keadilan dan nilai-nilai kemanusiaan, sambil mempertimbangkan hak-hak pelaku dan, yang lebih penting, pemenuhan hak-hak anak yang menjadi korban kejahatan seksual. Pada akhirnya, tujuan utama dari sistem peradilan pidana adalah mencapai proses hukum yang adil dan tidak memihak, yang melibatkan mekanisme atau prosedur yang sudah ada, dengan maksud mencapai keadilan substantif. Konsep due process of law menjadi implementasi nyata dari sistem peradilan pidana yang sepenuhnya menjamin, melindungi, dan menegakkan Hak Asasi Manusia. [16]

Putusan pengadilan perberlakuan hukuman (bukan kebiri) pada pelaku tindak pidana kekerasan seksual pada anak.

Putusan Nomor 56/Pid.Sus/2019/PN Str[17]

Dalam keputusan ini, hakim menjatuhkan hukuman kepada ayah (terdakwa) dengan penjara selama lima belas tahun dan denda sejumlah Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah), dengan ancaman pidana kurungan tiga bulan apabila denda tidak dibayar. Periode penahanan terdakwa dihitung dan dikurangkan dari hukuman yang ditetapkan. Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 35 tahun 2014, terutama Pasal 81 dan 82 ayat (1), (2), dan (3), mengatur mengenai perbuatan persetubuhan terhadap anak. Selain itu, Pasal 76D, 76E, dan beberapa pasal dalam Kitab Hukum Acara Pidana (KHUP) mengatur tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak. Persetubuhan dijelaskan dalam Pasal-pasal 287, 288, dan 291, sementara perbuatan cabul atau kekerasan seksual terhadap anak diatur oleh Pasal 289 dan 290. Pertimbangan Hakim dalam memutuskan perkara ini didasarkan pada fakta-fakta hukum yang diperoleh dari keterangan saksi, keterangan terdakwa, dan alat bukti lainnya. Pertimbangan juga mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan terdakwa, sebagaimana tercantum dalam putusan Nomor 56/Pid.Sus/2019/PN Str.

Putusan Nomor 320/Pid.Sus/2022/PN.Kpn[18]

Berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 82 ayat (2) dari Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 mengenai Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, sehubungan dengan Pasal 64 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, dan juga Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, setiap orang tua yang dapat dipastikan telah melakukan ancaman kekerasan atau tindakan cabul secara berkelanjutan terhadap anaknya, dianggap bersalah melakukan pelanggaran hukum.

Dalam dakwaan tunggal, terdakwa dinyatakan bersalah karena telah melakukan ancaman kekerasan terhadap anaknya sendiri untuk memaksa anak tersebut melakukan perbuatan cabul. Terdakwa dijatuhi hukuman penjara sepuluh tahun dan denda sebesar 100 juta rupiah atas perbuatannya. Jika denda tidak dibayar, akan dikenakan hukuman kurungan selama satu bulan. Masa penahanan dan penahanan terdakwa akan dikurangi sebagai akibat dari pidana penjara yang dijatuhkan tersebut. Satu BH berwarna ungu dan baju lengan panjang yang disita dirampas. Terdakwa tetap ditahan dan dikenakan biaya perkara sebesar Rp5.000,00.

Putusan Nomor 290/Pid.Sus/2022/PN Kpn

Seorang anak dipaksa untuk berhubungan seksual dengan orang lain dalam tindak pidana dengan sengaja melakukan kekerasan. Pasal 81 ayat (1) dan 76 D Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dihapus, bersama dengan peraturan lain yang berkaitan dengan masalah ini.

Pemberlakuan tindakan kebiri kimia terhadap pelaku kekerasan seksual terhadap anak dianggap tidak memberikan solusi yang adil bagi korban. Hal ini dikarenakan tidak terdapat bukti ilmiah yang menunjukkan keterkaitan antara kebiri kimia dan pengurangan kekerasan seksual terhadap anak, serta kurangnya bukti bahwa tindakan tersebut dapat membantu korban pulih. Oleh karena itu, penggunaan kebiri kimia dianggap sebagai respons emosional yang tidak selaras dengan prinsip-prinsip kemanusiaan dan tujuan pemidanaan. Beberapa menganggapnya sebagai upaya balas dendam negara terhadap pelaku kekerasan seksual tanpa mempertimbangkan prinsip pemulihan dan perbaikan kondisi terpidana.[19]

Efektifitaas Penerapan Sanksi Kebiri Kimia Kepada Pelaku Kekerasan Seksual Pada Anak.

Pemberlakuan tindakan kebiri kimia diterapkan selama dua tahun setelah pelaku kekerasan seksual terhadap anak menjalani hukuman pidana utama, yang mengakibatkan terpidana menerima hukuman ganda atas perbuatannya. Namun, pendekatan hukuman di Indonesia seharusnya tidak bersifat balas dendam, tetapi seharusnya bertujuan untuk memulihkan dan memperbaiki kondisi terpidana kekerasan seksual terhadap anak. Penggunaan kebiri kimia dianggap tidak sesuai dengan tujuan pemidanaan karena efeknya hanya bersifat sementara. Setelah penyuntikan zat kimia dihentikan, dorongan seksual terpidana dapat kembali muncul dan bahkan mungkin meningkat menjadi lebih agresif. Selain itu, terdapat potensi timbulnya perasaan negatif seperti sakit hati, dendam, dan kemarahan, terutama jika terpidana merasa menjadi korban viktimisasi.[20]

Dalam UU No. 17 Tahun 2016, yang memberikan persetujuan terhadap Perppu No. 1 Tahun 2016 yang merupakan revisi dari UU No. 34 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, terdapat ketentuan di Pasal 81. Salah satu aspek yang dibahas dalam pasal tersebut adalah mengenai kebiri kimia sebagai bentuk sanksi tambahan. Meskipun demikian, ketika dianalisis secara lebih mendalam, dapat disimpulkan bahwa kebiri kimia dan penggunaan alat pemasangan pendeteksi elektronik tidak masuk dalam kategori pidana tambahan.[11]

Ini terjadi karena adanya kriteria tambahan dalam hukuman pidana yang tidak mencakup penggunaan kebiri kimia dan perangkat deteksi elektronik. Penggunaan kebiri kimia dianggap sebagai bentuk hukuman yang dapat mengakibatkan kehilangan hak-hak pelaku, dengan efek samping yang berkepanjangan dan berbahaya. Dengan demikian, jika diatur dalam regulasi ini, hal tersebut dapat menciptakan inkonsistensi dalam pembentukan hukuman oleh pemerintah. Tindakan ini dianggap sebagai penyiksaan terhadap pelaku, yang bertentangan dengan tujuan pemidanaan yang dianut di Indonesia.[21]

Kebiri kimia dianggap sebagai bentuk "pembalasan" terhadap pelaku kejahatan, yang dijalankan atas nama kepentingan dan hak-hak korban yang telah terzalimi. Pemerintah cenderung lebih memprioritaskan peningkatan hukuman pidana bagi pelaku daripada mempertimbangkan masalah residivis (pengulangan kejahatan) dalam kasus kekerasan seksual, serta upaya pemulihan yang diperlukan untuk mendukung korban.

Penerapan sanksi kebiri kimia dengan menyuntikkan cairan kimia ke dalam tubuh pelaku, dengan maksud untuk mengurangi atau menghilangkan dorongan seksual, kegiatan seksual, bahkan dengan banyaknya efek samping berbahaya yang terus-menerus, dianggap sebagai pelanggaran terhadap hak kodrati individu dan dapat membuat pelaku mengalami penderitaan. Namun, pada era modern saat ini, tujuan hukuman tidak lagi berfokus pada pembalasan semata, melainkan bertujuan untuk memberikan keadilan bagi pelaku dan korban. Pendapat ini didukung oleh konsep hukuman yang diadopsi oleh Indonesia, yaitu konsep hukuman gabungan. Menurut teori pidana yang disampaikan dalam buku "Traite de Droit Penal" tahun 1828 oleh Pellegrino Rossi, walaupun pembalasan menjadi dasar hukuman, sanksi pidana seharusnya tidak melewati batas keadilan sebagai suatu bentuk pembalasan yang wajar. Lebih lanjut, pidana juga memiliki dampak positif, seperti perbaikan kerusakan dalam masyarakat dan prinsip pencegahan umum dari hukum pidana.[22]

Apabila kita meneliti praktik kebiri kimia di negara-negara lain seperti Amerika, Inggris, Rusia, dan Korea, mereka menerapkan pendekatan hukuman tunggal di mana keputusan untuk melakukan pengebirian terhadap pelaku pedofilia harus disetujui oleh pelaku tersebut. Jika pelaku pedofil menyetujui pengebirian, maka pengebirian kimia menjadi hukuman utama yang dijatuhkan. Sebaliknya, jika pelaku pedofil menolak kebiri, sanksi yang diterapkan adalah pidana penjara sebagai hukuman pokok. Sistem ini berbeda dengan pendekatan di Indonesia yang menerapkan sanksi dengan tingkatan yang berbeda. Di sini, pidana penjara, pengebirian kimia, dan penggunaan alat pendeteksi elektronik digabungkan menjadi satu kesatuan sanksi yang tidak dapat dipisahkan.[20]

Efek dari penggunaan obat ini akan terlihat dalam rentang waktu antara 40 jam hingga 3 bulan. Penggunaan hukuman kebiri kimia dianggap memiliki dampak yang merugikan, seperti percepatan proses penuaan tubuh. Zat anti-androgen yang disuntikkan ke dalam tubuh mengurangi kepadatan massa tulang, yang dapat meningkatkan risiko kerapuhan tulang dan patah tulang. Tambahan, obat tersebut juga mengurangi massa otot, sekaligus meningkatkan penumpukan lemak yang dapat meningkatkan risiko penyakit jantung dan gangguan pada pembuluh darah.[21]

Kritikus sanksi kebiri kimia berpendapat bahwa sanksi tersebut dapat menimbulkan efek samping yang sangat menyakitkan, termasuk osteoporosis, yang melanggar hak asasi manusia. Seorang profesor hukum dari Universitas Florida, John Stinneford, menyatakan bahwa kebiri kimiawi adalah bentuk penyiksaan yang dikenal sebagai "melumpuhkan organ". Dalam tulisannya, Stinneford menyatakan bahwa kebiri kimiawi dianggap sebagai bentuk hukuman yang kejam dan tidak lazim, melanggar Amandemen Ke-8 Konstitusi AS.[21]

Menurut Prof. Dr. dr. Wimpie Pangkahila MSc, S And, dampak penurunan kadar hormon testosteron melalui kebiri kimia pada narapidana bersifat hanya sementara, berlangsung sekitar 2 minggu hingga 3 bulan, dan membutuhkan pemberian secara berkelanjutan. Jika penggunaan kebiri kimia dihentikan, kadar testosteron dan keinginan ereksi pada individu yang telah dikebiri akan pulih seperti semula. Oleh karena itu, ada risiko bahwa pelaku dapat kembali melakukan tindakan kekerasan seksual terhadap anak. Selain itu, biaya zat tersebut sangat tinggi. Meskipun pemerintah mengklaim bahwa kebiri kimia ini bertujuan sebagai langkah pencegahan agar pelaku tidak mengulangi kekerasan seksual, namun faktanya kebiri kimia dianggap tidak efektif dalam mengurangi hasrat seksual pelaku karena efeknya hanya bersifat sementara.

Kebiri kimia tidak dapat dianggap sebagai solusi yang efektif, karena prosedur kebiri merupakan bentuk hukuman pidana yang tidak bertujuan untuk penyembuhan melainkan untuk menyakiti pelaku secara berlebihan. Hasil dari kebiri kimia menyebabkan tubuh pelaku menyerupai perempuan, dan dari segi medis, orang yang menjalani kebiri kimiawi akan mengalami penurunan agresivitas. Akibatnya, hasrat seksual pelaku melemah, terjadi perubahan drastis pada penampilan fisik seperti pelemahan massa otot, kerontokan bulu-bulu, perkembangan payudara, dan peningkatan berat badan.[23] Akibatnya, sanksi kebiri kimia tidak menjamin bahwa pelaku akan jera.

Dalam beberapa negara, sanksi kebiri kimia biasanya memerlukan persetujuan pelaku sebelum diterapkan. Namun, Indonesia, yang mengakui hukuman tersebut, tidak memberikan opsi persetujuan kepada pelaku pedofil. Hal ini menimbulkan kesan bahwa pemerintah tidak memberi ruang bagi pelaku pedofil untuk menolak hukuman tersebut. Efektivitas kebiri kimia hanya dapat tercapai jika pelaku pedofil secara sukarela mengajukan diri untuk menjalani hukuman tersebut atas dasar kesadaran pribadi. Sebaliknya, bagi pelaku yang menolak hukuman kebiri kimia, terutama jika mereka sudah kecanduan dan agresif, sanksi tersebut tidak akan menurunkan hormon libido mereka. Di sisi lain, kultur masyarakat di Indonesia sangat berbeda dengan kultur di negara-negara yang menerapkan sanksi kebiri kimia, terutama dalam hal tingkat kesadaran masyarakat.[24]

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pemasangan alat pendeteksi elektronik dan kebiri kimia sebenarnya merugikan dan bahkan dapat merampas hak konstitusional warga negara. Sanksi ini dianggap melanggar asas kemanusiaan dan tidak pantas diatur dalam Undang-Undang. Hak-hak tersebut telah dijamin secara jelas dalam peraturan perundang-undangan yang diakui, sehingga jenis sanksi ini bukanlah solusi yang tepat dan justru dapat menimbulkan dampak negatif di masa depan.hari.[23]

Simpulan

Penelitian ini secara meyakinkan menyoroti ketidaksesuaian antara penggunaan kebiri kimia dan prinsip-prinsip hak asasi manusia dalam hukum pidana Indonesia. Penelitian ini menunjukkan bahwa sifat penghukuman dari tindakan ini bertentangan dengan tujuan rehabilitasi dari sistem pidana modern. Temuan-temuan ini menyerukan evaluasi ulang terhadap metode penghukuman seperti kebiri kimia dan pemantauan elektronik yang lebih menjunjung tinggi martabat manusia dan sejalan dengan standar hak asasi manusia internasional. Penelitian lebih lanjut direkomendasikan untuk mengeksplorasi metode alternatif yang secara efektif menangani pelanggaran seksual sambil menghormati hak asasi manusia dari semua pihak yang terlibat.

References

  1. J. Mokale, "Pedofilia sebagai Salah Satu Bentuk Kejahatan Kekerasan Seksual Terhadap Anak," Lex Crim., vol. 2, no. 5, 2013.
  2. J. Sriwidodo, Perkembangan Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia, 2020.
  3. S. R. O. Wuri, Ketentuan Penerapan Sanksi Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendekteksi Elektronik Kepada Pelaku Kekerasan Seksual Terhadap Anak (Pedofil) Ditinjau Dari Teori Hak Asasi Manusia. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2020.
  4. Budiyono, Hak Konstitusional: Tebaran Pemikiran Dan Gagasan. Bandar Lampung: CV Anugrah Utama Raharja, 2019.
  5. M. Azizah, "Sanksi Kebiri Kimia Bagi Pemerkosa Anak Perspektif Mashlahah Mursalah," Al-Jinayah J. Huk. Pidana Islam, vol. 3, no. 2, pp. 485–510, Mar. 2018, doi: 10.15642/aj.2017.3.2.485-510.
  6. P. Aston and F. Magnis-Suseno, Hukum Hak Asasi Manusia (HAM). Yogyakarta: Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia, 2008.
  7. A. P. Kemala and P. Rinwigati, "Problematika Pidana Kebiri Kimia (Chemical Castration) Berdasarkan Perspektif Konvensi Menentang Penyiksaan," SALAM J. Sos. dan Budaya Syar-i, vol. 10, no. 3, pp. 949–960, Jul. 2023, doi: 10.15408/sjsbs.v10i3.32580.
  8. M. Monica, M. S. Hartono, and N. P. R. Yuliartini, "Sanksi Kebiri Kimia Dalam Tindak Pidana Pencabulan Anak Berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 Tentang Perlindungan Anak Ditinjau Dari Tujuan Pemidanaan Dan Perspektif Hak Asasi Manusia (Ham)," J. Komunitas Yust., vol. 4, no. 2, pp. 564–575, 2021. Available: https://ejournal.undiksha.ac.id/index.php/jatayu/article/view/38151
  9. I. G. F. Manggala, A. A. S. L. Dewi, and L. P. Suryani, "Tinjauan Yuridis Tindak Pidana Kebiri dalam Perspektif Hak Asasi Manusia," J. Konstr. Huk., vol. 2, no. 1, 2021.
  10. H. Danang Pambudhi and H. Alya Chaerunnisaa, "Meninjau Ulang Sanksi Kebiri Kimia Dari Perspektif Pembaharuan Hukum Pidana Berdasarkan Pancasila," J. Litigasi, vol. 22, no. 2, pp. 177–204, Oct. 2021, doi: 10.23969/litigasi.v22i2.3766.
  11. L. Arliman S, "Politik Hukum Pembentukan Undang-Undang Perlindungan Anak untuk Mewujudkan Perlindungan Anak yang Berkelanjutan," Syiar Huk. J. Ilmu Huk., vol. 15, no. 2, pp. 88–108, Nov. 2017, doi: 10.29313/sh.v15i2.2857.
  12. T. S. and N. Naibaho, "Penjatuhan Kebiri Kimia Bagi Pelaku Kejahatan Seksual Terhadap Anak dalam Perspektif Falsafah Pemidanaan," J. Huk. Pembang., vol. 50, no. 2, p. 329, Sep. 2020, doi: 10.21143/jhp.vol50.no2.2594.
  13. A. Fianni Sisma and W. T. Novianto, "Analisis Dasar Pertimbangan Hukum Hakim Dalam Menjatuhkan Sanksi Pidana Tambahan Kebiri Kimia (Studi Putusan Pengadilan Negeri Mojokerto Nomor: 69/Pid.Sus/2019/Pn.Mjk.)," Recidiv. J. Huk. Pidana dan Penanggulangan Kejahatan, vol. 9, no. 1, p. 50, 2020, doi: 10.20961/recidive.v9i1.47392.
  14. A. N. Fauziyyah MS, D. A. Febrianti, F. F. A. Mareza, F. I. Syafirah, and I. Istiqomah, "Analisis Penerapan Hukuman Mati dalam Perspektif Hak Asasi Manusia (Studi Kasus Herry Wirawan Putusan Nomor 86/Pid.Sus/2022/PT.BDG)," J. Huk. Lex Gen., vol. 3, no. 12, pp. 969–987, 2022, doi: 10.56370/jhlg.v3i12.344.
  15. S. M. T. Situmeang, Cyber Law. Bandung: CV. Cakra, 2020.
  16. D. S. Muhartono, "The Urgency of Regulations for the Implementation of," Publiciana J. Ilmu Sos. Dan Ilmu Polit., vol. XIV, no. 1, pp. 256–280, 2021.
  17. U. Taqwani, U. Kalsum, and A. Arnita, "Analisis Tindak Pidana Kekerasan Seksual Terhadap Anak di Bawah Umur Yang Dilakukan oleh Ayah Kandung (Studi Putusan Pengadilan Bener Meriah Nomor 56/Pid.Sus/2019/PN Str)," J. Ilm. Mhs. Fak. Huk. Univ. Malikussaleh, vol. 5, no. 2, Apr. 2022, doi: 10.29103/jimfh.v5i2.6868.
  18. W. Mawarni, R. Hidayati, and A. Rokhim, "Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Kekerasan Seksual menurut Hukum Positif di Indonesia (Analisis Putusan Nomor 320/Pid.Sus/2022/PN.Kpn)," J. Mercat., vol. 16, no. 1, pp. 13–30, Jun. 2023, doi: 10.31289/mercatoria.v16i1.9107.
  19. A. P. Widodo, "Penerapan Hukuman Kebiri Pelaku Kejahatan Seksual Terhadap Anak," J. Pembaharu Huk., vol. 1, no. 1, pp. 76–103, 2020.
  20. A. Adithya, F. Hukum, S. Karawang, and M. Nurdin, "Penerapan Peraturan Kebiri Kimia Bagi Pelaku Kekerasan Seksual Terhadap Anak," J. Kertha Semaya, vol. 9, no. 4, pp. 643–659, 2021, doi: 10.24843/KS.2021.v09.i04.p08.
  21. N. Q. Mardiya, "Penerapan Hukuman Kebiri Kimia Bagi Pelaku Kekerasan Seksual," J. Konstitusi, vol. 14, no. 1, p. 213, Jul. 2017, doi: 10.31078/jk14110.
  22. Muladi and B. N. Arief, Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana. Bandung: Alumni, 2005.
  23. Lalu Muhamad Rofi'i and Mawardi, "Analisis Kebijakan Hukum Pidana dalam Penjatuhan Sanksi Kebiri pada Pelaku Kejahatan Seksual Terhadap Anak," J. Kolaboratif Sains, vol. 5, no. 10, pp. 706–719, Oct. 2022, doi: 10.56338/jks.v5i10.2840.
  24. S. Riyanto, Febrian, and Z. Zanibar, “Bhinneka Tunggal Ika: Nilai Dan Formulasinya Dalam Peraturan Perundang-Undangan,” J. Legis. Indones., vol. 20, no. 2, pp. 1–13, 2023, doi: https://doi.org/10.54629/jli.v20i2.993.