The Role of Justice Collaborators in Narcotics Crime Prosecution
Innovation in Social Science
DOI: 10.21070/ijins.v26i1.987

The Role of Justice Collaborators in Narcotics Crime Prosecution


Peran Saksi Pelaku yang Bekerja Sama dalam Penuntutan Tindak Pidana Narkotika

Fakultas Hukum, Universitas Trunojoyo Madura
Indonesia
Fakultas Hukum, Universitas Trunojoyo Madura
Indonesia

(*) Corresponding Author

Justice Collaborators Narcotics Crimes Legal System Organized Crime Law Enforcement

Abstract

This article examines the significance of Justice Collaborators in the legal process, particularly in narcotics cases. With the evolution of crime, especially organized narcotics crime, the introduction of Justice Collaborators has become a pivotal component in the criminal justice system. This study explores the concept of Justice Collaborators, their roles, legal protections, and the impact of their participation in legal proceedings. Utilizing a qualitative approach, the research analyzes various legal documents, court decisions, and statutory provisions related to Justice Collaborators in Indonesia. The findings indicate that Justice Collaborators play a crucial role in unveiling complex criminal activities and assisting law enforcement in investigation and prosecution. The study also highlights the legal and physical protections offered to these individuals, emphasizing their importance in dismantling organized crime networks. The implications of these findings suggest a need for further refinement in legal provisions concerning the selection and protection of Justice Collaborators, ensuring their effective utilization in the judicial process.
Highlights:

  1. Justice Collaborators are instrumental in uncovering complex criminal activities, particularly in organized narcotics crime.
  2. The legal system provides both physical and legal protections to Justice Collaborators, ensuring their safety and cooperation.
  3. The involvement of Justice Collaborators necessitates ongoing refinement in legal provisions for their selection, protection, and use in legal processes.

Keywords: Justice Collaborators, Narcotics Crimes, Legal System, Organized Crime, Law Enforcement

Pendahuluan

Justice Collaborator adalah panggung baru yang muncul sehingga memudahkan pengungkapan perilaku dan tindakan kriminal. Memang, Perkembangan perilaku kriminal semakin hari semakin meningkat. Hal ini memerlukan dorongan upaya yang lebih efektif dalam mendeteksi kasus kriminal dan perilaku kriminal. Judicial collaborator diharapkan dapat membantu aparat penegak hukum memahami aktivitas dan pola penyelesaian kasus pidana dari sudut pandang orang-orang terdekat pelaku. Dengan demikian, berbagai informasi, data, cara, dan tindak pidana yang selama ini tersembunyi berpotensi untuk terungkap. Judicial collaborator juga dapat dipahami sebagai saksi sekaligus pelaku yang bersedia bekerja sama dengan aparat penegak hukum demi mengungkap suatu kasus.[1] Munculnya alat bukti yang berasal dari kesaksian dan memperkuat keyakinan hakim karena mendapatkan keterangan dalam pembuktian dari Saksi Pelaku yang Bekerja Sama (Justice Collaborator)

Menjadi justice collaborator tentu bukan keputusan yang mudah bagi seorang pelaku kejahatan. Dalam mengungkapkan atau bersaksi membongkar kebenaran suatu skandal kriminal atau tindak pidana berat, diperlukan keberanian dan pengorbanan. Kehadiran justice collaborator ini memang sulit banyak orang yang menyangkal bahwa hal ini bisa menjadi alat ,bahkan jikaitu adalah justice collaborator yang pemberani sekaligus dihadapi dengan risiko yang sangat berpotensi membahayakan keselamatan fisik dan mentalnya, termasuk risiko terhadap pekerjaan dan masa depannya.[2] Praktik peradilan seringkali menemui beragam hambatan yuridis dan non-yuridis untuk dapat mengungkap tuntas serta menemukan kejelasan sebuah tindak pidana, terutama dalam hal menghadirkan saksi kunci mulai dari proses penyidikan hingga persidangan.[3] Penerapan justice collaborator juga terlihat dari pemberian remisi kepada narapidana kasus narkotika di beberapa lembaga pemasyarakatan (lapas).

UU Narkotika No. 35 Tahun 2009 tidak mengatur koordinasi peradilan. Namun, terkait perlindungan saksi, Pasal 100 ayat (1) menyebutkan bahwa saksi, wartawan, penyidik, jaksa, hakim yang menangani kasus pidana narkotika beserta pelaku dan keluarganya akan mendapatkan perlindungan.[4] Negara wajib memberikan perlindungan dari ancaman yang membahayakan terhadap jiwa atau harta benda seseorang, baik sebelum, selama, ataupun setelah pemeriksaan kasus. Artinya, pemberian dan penegakan perlindungan mengacu pada undang-undang yang melindungi saksi dan korban.

Sebelum konsep Justice Collaborators diperkenalkan dalam sistem pembuktian hukum, yang digunakan adalah saksi mahkota. Yang dimaksud dengan “saksi mahkota” yakni terdakwa pidana yang mula-mula melakukan tindak pidana dan kemudian mengundurkan diri untuk menjadi saksi kritis saksi mahkota hanya diperlukan dalam kasus kegiatan krimanal keterlibatan dengan memecah atau membagi situasi. Saat ini, kejahatan narkoba tidak hanya dilakukan oleh satu orang; sebaliknya, sejumlah besar orang bekerja sama dalam kelompok untuk melakukan kejahatan ini, sehingga menciptakan sindikat jaringan yang terorganisir dengan baik, rapi, dan terselubung. Selain itu, tentu saja ada juga yang melakukan kejahatan terorganisir. mereka yang menjalankan peranannya sejak sebelum kejahatan itu dilakukan sampai setelah kejahatan dilakukan, lakukan operasi penghapusan jejak sehingga memberikan berbagai kesulitan bagi aparat penegak hukum, antara lain kebutuhan untuk mengatur posisi, motivasi, dan tugas.

Kejahatan narkotika adalah jenis kejahatan terorganisir yang meresahkan. Mereka tidak terbatas pada perbatasan suatu negara; sebaliknya, hal ini berdampak pada semua negara. Namun, narkotika terkadang sangat membantu dalam pengobatan dan terapi etika diterapkan secara tidak benar atau bertentangan dengan pedoman yang ditetapkan atau saran medis akan berdampak buruk pada tubuh pengguna, hasilnya mirip dengan efek delirium, yaitu penurunan Seiring dengan kesadaran mental muncullah kegelisahan dan halusinasi, atau kesalahan besar.[5]

  1. Bagaimana perkembangan Justice Collaborator dalam memberikan keringan pidana terhadap pelaku tindak hukum?
  2. Bagaimana penerapan hukum terhadap pelaku tindak hukum narkotika yang menjadi Justice Collaborator?

Pembahasan

Perkembangan Justice Collaborator dalam memberikan keringan pidana terhadap pelaku tindak hukum

Dalam perkembangan saat ini, terdapat pengaturan yang menarik dalam sistem pengaturan saksi tersangka, dimana tersangka akan mendapat keistimewaan, khususnya keringanan pidana, apabila orang tersebut mengaku dan mau bekerja sama.bersama-sama untuk mengungkap kasus ini, khususnya justice collaborator peradilan. Tujuan ini merupakan cita-cita luhur, sesuai dengan semangat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang mengamanatkan pembentukan pemerintahan negara Indonesia. dengan maksud untuk menjaga dan melindungi seluruh rakyat Indonesia dan keturunan yang berasal dari berbagai lapisan masyarakat di Indonesia.[6] Demikian pula, dengan memegang teguh semangat Undang-Undang Dasar (UUD), terutama Pasal 22 D ayat (1) yang mengungkapkan bahwa "Setiap individu memiliki hak untuk mengakui, menjamin, melindungi, dan meyakini keadilan hukum serta perlakuan yang sama di depan hukum."

Dalam evolusi sistem hukum nasional, dapat mencerminkan gambaran yang representatif terhadap kualitas hukum yang telah dibentuk, sehingga pengawasan terhadap proses pembuatan dan penegakan hukum itu sendiri menjadi penting. Istilah "justice collaborator" telah beberapa kali muncul dalam sidang di Indonesia, menunjukkan bahwa dalam perkembangannya, justice collaborator sangat bermanfaat dalam mengungkap kasus-kasus yang kompleks. Saat ini, peran mereka menjadi perhatian utama, karena kontribusi vital mereka dalam mengungkap kejahatan-kejahatan tertentu yang sulit diidentifikasi oleh lembaga penegak hukum. Kolaborator yudisial dapat didefinisikan sebagai saksi yang terlibat dalam tindak pidana dan bersedia memberikan bantuan atau bekerja sama dengan aparat penegak hukum.[7]

Justice Collaborator memiliki tiga peran utama. Pertama, mengungkap terjadinya suatu tindak pidana atau rencana akan terjadinya suatu tindak pidana, sehingga aset hasil tindak pidana tersebut dapat dipulihkan oleh negara. Kedua, memberikan informasi kepada aparat penegak hukum. Ketiga, memberikan kesaksian dalam proses peradilan.[8]

Di negara lain seperti Italia, judicial collaborator sudah sangat berperan membantu penegakan hukum memberantas mafia. Di Amerika Serikat, alat ini juga berperan besar membantu penegak hukum menindak korupsi. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia telah membuat kesepakatan tentang Justice Collaborator. Hakim yang menentukan apakah seseorang memenuhi syarat menjadi Justice Collaborator. Hal ini diatur dalam UU No. 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Aturan ini juga mengatur peranan terhadap pelaku tindak pidana dari sudut pandang hakim. Keberadaan Justice Collaborator dalam persidangan mengungkap kejahatan terorganisir akan memudahkan hakim menguji hukum dan memutus perkara.[9] Oleh sebab itu, pendeteksian tindak pidana khusus akan lebih cepat, mudah, dan sederhana.

Keberhasilan (atau kegagalan) kasus pidana sangat dipengaruhi oleh saksi. Keterangan yang disampaikan dalam sidang pengadilan. Sesuai Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, dalam Penjelasan Umum dijelaskan bahwa keberhasilan proses peradilan pidana sangat bergantung pada bukti yang telah diungkapkan atau ditemukan. Dalam konteks persidangan yang melibatkan saksi, banyak kasus yang tidak terungkap karena kurangnya ketersediaan saksi.[10]

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban memiliki empat tujuan utama dalam penyusunannya, yaitu:

Pertama, untuk mengisi kekosongan regulasi mengenai saksi, korban kejahatan, pelapor, dan justice collaborator dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) terkait persamaan di hadapan hukum. Kedua, untuk menghentikan berbagai praktik ilegal yang menghalangi saksi atau pelapor untuk bersaksi secara jujur atau menghentikan pelaporan dengan cara-cara kekerasan, ikatan hukum, bujukan, dan sebagainya.[11]

Kerjasama antara berbagai pihak, terutama aparat penegak hukum dan pemangku kepentingan lainnya, sangat penting dalam pelaksanaan proses perlindungan saksi dan korban di Indonesia. Hal ini terbukti dengan besarnya perhatian yang diberikan pada Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban, yang mengatur pentingnya kerjasama antar lembaga yang berwenang memberikan perlindungan. Kemunculan aturan Menteri Hukum dan HAM 2011 tentang perlindungan pelapor, saksi, dan kolaborator peradilan, serta SEMA No. 4 Tahun 2011 telah memperkuat supremasi hukum dalam melindungi para pelapor dan kolaborator.[12]

Pemanfaatan justice collaborator dalam mengungkap perkara pidana menghadapi batasan signifikan pada tindak pidana tertentu yang termasuk kategori berat, sesuai SEMA Nomor 4 Tahun 2011. Jenis tindak pidana seperti korupsi, terorisme, narkotika, pencucian uang, perdagangan orang, dan kejahatan terorganisir lainnya yang masuk dalam lingkup tersebut telah menimbulkan masalah dan ancaman serius bagi stabilitas dan keamanan masyarakat. Dampaknya merusak institusi, nilai demokrasi, etika, keadilan, serta membahayakan pembangunan berkelanjutan dan supremasi hukum.[13]

Perkembangan justice collaborator Terkait dengan perlindungan keluarga dari LPSK atau organisasi lain yang dikenal dengan nama Lembaga Perlindungan Korban dan Saksi dapat memberikan rasa aman dan pendampingan merupakan jaminan Negara bagi keluarga justice collaborator yang ditugaskan pada LPSK atau yang disebut dengan Korban dan Lembaga Perlindungan Saksi, dan dapat memindahkan justice collaborator atau keluarganya ke lokasi yang lebih aman. Kemudian pastikan pendamping keadilannya ada di LPSK atau yang disebut Layanan Perlindungan Korban dan Saksi ketika pendamping keadilan menjadi saksi atau pemberi keterangan di persidangan.[14]

Apabila melihat dari perkembangan situasi di Indonesia, peran justice collaborator menjadi sangat krusial karena individu tersebut terlibat secara langsung dalam tindak kriminal atau dapat dianggap sebagai pelaku kecil dalam suatu jaringan kejahatan. Keberadaan justice collaborator dimaksudkan untuk membongkar dalang kejahatan terbesar, sehingga tindak pidana dapat diungkap dan diselesaikan. Peran justice collaborator tidak hanya terbatas pada mereka yang berperan minimal dalam suatu tindak pidana, tetapi juga mencakup kejahatan bersifat luar biasa.[15] Oleh karena itu, hakim berpandangan bahwa saksi dan tersangka harus memberikan informasi yang diistimewakan. Dalam persidangan, hakim harus mempertimbangkan informasi yang telah di dapat guna untuk mengurangi hukuman yang dijatuhkan kepda orang yang telah bersedia menjadi justice collaborator.

Justice collaborators telah menjadi fokus perhatian akhir-akhir ini karena perannya yang sangat krusial dalam mengungkap kejahatan tertentu yang sulit diungkap oleh penegakan hukum. Pemerintah Indonesia telah menunjuk kolaborator yudisial sesuai dengan konteks yang sedang dibahas oleh pemerintah. Kolaborator ini akan diatur sebagai alat penegakan hukum dan akan dimasukkan ke dalam satu pasal pada KUHAP. Apabila justice collaborator memberikan keterangan dan bukti yang sangat vital, penyidikan bersama dan tertutup dapat secara efektif mengungkap kejahatan tersebut. Hal ini juga memungkinkan pengungkapan pelaku lain yang memiliki peran lebih penting atau dominan, serta pengembalian aset hasil kejahatan. Bagi saksi yang bersedia bekerja sama, hakim dapat menentukan hukuman dan mempertimbangkan tingkat kesalahan yang dilakukan. Keberadaan Justice Collaborators dapat memaksimalkan prinsip-prinsip speedy trial.peradilan yang lembut dan mudah, sederhana dalam hal hukuman pidana. Perkumpulan Hakim Pidana akan memberikan sanksi kepada individu yang melanggar hukum dan memiliki status sebagai kolaborator hukum, sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.[16]

Setiap negara perlu menilai dengan lebih teliti dan transparan setiap kasus khusus, guna memberikan imbalan hukum yang sebanding kepada individu yang bersedia bekerja sama secara signifikan dalam proses penyelidikan maupun penuntutan, sebagaimana dijelaskan dalam konvensi tersebut. Prinsip ini juga ditegaskan dalam ayat (3), yang menunjukkan bahwa setiap negara peserta diharapkan mempertimbangkan dengan cermat kemungkinan sesuai dengan prinsip-prinsip hukum yang berlaku di negaranya masing-masing. Prinsip-prinsip ini secara implisit memberikan insentif kepada pelaku kejahatan yang bersedia berkolaborasi dalam proses penyelidikan atau penuntutan, sebagaimana diatur dalam Pasal 26 konvensi PBB Anti Kejahatan Transnasional yang Terorganisir.[17]

Tindak pidana merupakan suatu istilah yang umum digunakan dalam Hukum Indonesia, dimana istilah tindak pidana lebih banyak ancamannya pada suatu tindakan yang mengandung arti berbuat atau berbuat (aktif) dan tidak berbuat (pasif) yang berkaitan erat dengan suatu sikap pikiran seseorang yang melakukan atau bertindak. Tindakan atau kematian yang mengandung unsur-unsur atau sifat-sifat yang melawan hukum peraturan hukum yang ada yang melarang tindakan tersebut tindakan seperti itu dapat dihukum.[18]

Dalam ranah hukum pidana, minimal diperlukan sistem keadilan restoratif yang bertujuan untuk memperbaiki atau memulihkan perbuatan pidana yang dilakukan oleh pelaku. Sistem ini mengusung tindakan yang memberikan keuntungan bagi pelaku, korban, dan lingkungan sekitarnya yang terlibat secara langsung pada saat terjadinya tindak pidana. Pendekatan ini berfokus pada solusi masalah, berbeda dengan pendekatan dalam penyelesaian kasus orang dewasa yang cenderung mengarah pada tujuan pelaku sendiri. Dalam hal pemidanaan, titik tolaknya adalah untuk "melindungi masyarakat" dan "mengembangkan kepribadian pelaku".[19]

Kedudukan restorative justice dalam kerangka sistem peradilan pidana dapat diidentifikasi melalui dua aspek, yakni eksternal dan internal terhadap sistem peradilan pidana. Kenyataannya, mayoritas masyarakat masih mengandalkan peraturan hukum dan prosedur hukum yang sedang berlaku. Sementara itu, para pengambil kebijakan tetap mempercayai serta mengandalkan sistem peradilan pidana yang telah ada. Dalam konteks ini, pandangan yang berasal dari perspektif legislatif dan eksekutif yang menganut pendekatan restorative justice hanyalah salah satu model alternatif. Perkara pidana yang diajukan didasarkan pada kerangka hukum yang berbeda dari hukum yang berlaku dalam negara tersebut.[20]

Secara umum, penegakan hukum dapat didefinisikan sebagai tindakan menggunakan instrumen hukum tertentu untuk memaksa kepatuhan. Terkait dengan permasalahan pidana sebagai sarana mencapai tujuan pemidanaan dalam kerangka hukum pidana Indonesia, belum secara resmi dirinci dalam undang-undang. Oleh karena itu, kriteria yang digunakan untuk menilai relevansi pidana denda bersifat lebih konseptual dan dalam batasannya bersifat antisipatif. Saat pidana denda dihubungkan dengan tujuan pemidanaan yang terdapat dalam naskah rancangan kitab undang-undang hukum pidana baru sebagai bagian dari usaha reformasi hukum di Indonesia.[21]

Dalam konteks tujuan pemidanaan, perlu dipertimbangkan berbagai teori pemidanaan yang telah ada. Terdapat tiga kelompok teori hukuman yang dapat dibedakan, yakni teori retribusi (juga dikenal sebagai teori absolut atau distributif), teori tujuan (juga dikenal sebagai teori relativistik), dan teori gabungan. Doktrin absolut mengajarkan bahwa hukuman harus dipenuhi sesuai dengan kejahatan yang dilakukan dan karena alasan inilah Negara, dengan satu atau lain cara, telah menemukan alasan yang tepat untuk menjatuhkan hukuman. Dalam konteks ajaran relatif, kami menemukan interpretasi yang berbeda. Dalam konsep ini, hukuman dianggap sebagai upaya atau sarana pertahanan diri. Berbeda dengan pendekatan yang bersifat mutlak, dalam pendekatan yang bersifat relatif, keterkaitan antara ketidakadilan dan kejahatan tidak dijelaskan secara tegas. Kedua pasal tersebut memiliki keterkaitan erat dengan tujuan hukum pidana, yaitu untuk melindungi harta benda dan menjadi penangkal terhadap ketidakadilan atau kekacauan dalam masyarakat.[22]

Tujuan utama dari hukum pidana adalah agar orang yang melakukan tindak pidana dapat merenungkan perbuatannya dan tidak mengulangi pelanggaran hukum (prevensi khusus). Selain itu, hukuman juga dimaksudkan untuk memberikan contoh kepada masyarakat sehingga mereka tidak melakukan tindakan serupa yang melanggar hukum (prevensi umum).[23] Melaksanakan program rehabilitasi sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pelayanan Pemasyarakatan (disebut sebagai UU Pemasyarakatan). Pasal 2 menyajikan ketentuan mengenai pelaksanaan program rehabilitasi dengan tujuan melatih para narapidana agar dapat menjadi individu yang lebih baik, menyadari kesalahan yang dilakukan, melakukan perbaikan diri, dan menghindari perulangan tindak pidana. Hal ini bertujuan agar mereka dapat diterima kembali oleh masyarakat, berkontribusi aktif dalam pembangunan, serta mampu menjalani kehidupan normal sebagai warga negara yang baik dan bertanggung jawab.

Namun, memberikan hak-hak kepada narapidana seperti yang disebutkan memerlukan pengecualian yang lebih ketat terutama bagi mereka yang terlibat dalam tindak pidana yang dianggap luar biasa (extraordinary crime), seperti misa.[24]

Pengurangan hukuman adalah suatu proses di mana hukuman yang dijatuhkan kepada seseorang dikurangi atau diberikan keringanan tertentu. Ada beberapa alasan dan metode yang dapat menyebabkan pengurangan hukuman . Yang pertama yaitu Remisi jadi remisi itu adalah pengurangan atau penghapusan hukuman sebagai tindakan khusus atau umum yang dilakukan oleh pihak berwenang. Remisi dapat diberikan atas dasar kebijaksanaan, pertimbangan kemanusiaan, atau pertimbangan lainnya.kedua hak asasi manusia dimana hak asasi manisia ini faktor terbesar alasan diberikannya keringan pidana ,Ketiga kerja sosia dalam beberapa system hukum ,narapidana dapat diberikan kesempatan untuk melakukan kerja sosial atau program rehabilitas sebagai pengurangan hukuman, keempat yaitu pembebasan bersyarat Pembebasan bersyarat adalah bentuk pengurangan hukuman di mana narapidana dapat dibebaskan dari penjara sebelum masa tahanan penuhnya berakhir, tetapi masih harus mematuhi beberapa ketentuan dan aturan tertentu, terakhir yaitu hukuman yang diapat di ubah jadi Beberapa hukuman dapat diubah seiring waktu berdasarkan perilaku narapidana atau faktor-faktor lain yang dianggap relevan oleh pihak berwenang.[25]

Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), perlindungan saksi mewajibkan bahwa keterangan yang diberikan oleh tersangka dan saksi kepada penyidik harus diberikan tanpa tekanan dari pihak lain dan dalam bentuk apapun. Larangan tekanan ini berlaku secara tegas terhadap orang yang diminta memberikan keterangan. Tidak diperbolehkan adanya tekanan atau paksaan yang menunjukkan unsur kekerasan, baik selama proses penyiksaan maupun di luarnya.[26]

Perlindungan hukum adalah contoh layanan yang seharusnya diberikan pemerintah kepada masyarakat untuk memberikan rasa aman. Masyarakat percaya bahwa saksi dan korban harus dilindungi dalam sistem peradilan dalam konteks perlindungan ini. Dalam proses penegakan hukum Indonesia, istilah "Saksi Pelaku yang Bekerjasama" menjadi istilah baru. Justice Collaborator adalah istilah yang mengacu pada aturan bahwa seseorang yang menjadi tersangka, terdakwa, atau terpidana dapat bekerja sama dengan penegak hukum untuk mengungkap kejahatan tertentu, terutama kejahatan narkotika.[27]

Perlindungan fisik dan hukum diberikan kepada kolaborator keadilan. Perlindungan fisik mencakup pengawasan dan pengawalan, penggantian biaya hidup, dan pemindahan ke tempat persembunyian, yang dapat dilakukan oleh LPSK atau Lembaga Pemasyarakatan sesuai dengan fungsi dan tanggung jawab masing-masing. Sementara itu, saksi yang bekerja sama dengan pelaku menerima perlindungan hukum dan kompensasi, termasuk pemberian informasi terkait kasusnya, seperti keringanan hukuman atau penuntutan yang lebih ringan, serta rekomendasi untuk remisi dan pembebasan bersyarat.[28]

Penerapan hukum terhadap pelaku tindak hukum narkotika yang menjadi Justice Collaborator

Sejumlah putusan pengadilan, seperti Putusan Mahkamah Agung Nomor 920K/Pid.Sus/2013, Putusan Pengadilan Negeri Pematang Siantar Nomor 231/Pid.Sus/2015/PN.Pms, dan Putusan Pengadilan Negeri Pekanbaru Nomor 683/Pid.Sus/2016/PN.Pbr, menetapkan status Terdakwa sebagai Kolaborator Keadilan, sehingga Hakim memperhatikan.[3] Salah satu bukti penggunaan Kolaborator Keadilan adalah pemberian remisi kepada narapidana yang terlibat dalam kasus narkotika di beberapa Lembaga Permasyarakatan. Sebagai contoh, di Lapas Kelas IIA Banda Aceh, remisi diberikan kepada narapidana yang berperilaku baik, bertindak sebagai Kolaborator Keadilan, dan memenuhi syarat lain sesuai dengan peraturan yang berlaku.[29]

Pertama, Pasal 1 Ayat (2) jo Pasal 10A Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban (selanjutnya disebut Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban) menetapkan bahwa Saksi Pelaku adalah tersangka, terdakwa, atau terpidana yang bekerja sama dengan penegak hukum untuk mengundu.[4]

Kedua, ada Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 tahun 2011 tentang Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborator) dalam Penanganan Perkara Tindak Pidana Tertentu. Surat Edaran ini disebut SEMA tentang Pelapor Tindak Pidana dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama.

Ketiga, ada peraturan bersama yang dibuat oleh Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia Nomor M.HH-11.HM.03.02.th.2011, Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor PER045/A/JA/12/2011, Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 1 tahun 2011, Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor KEPB-02/01-55/12/2011, dan Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Republik Indonesia Nomor 4 tahun 2011. Peraturan ini kemudian dikenal sebagai Peraturan Bersama Menkumham, Kejaksaan RI, Kepolisian.

Undang-Undang Narkotika, atau Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009, tidak mencakup ketentuan mengenai Justice Collaborator. Meskipun demikian, dalam hal perlindungan terhadap saksi dalam konteks tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika, Pasal 100 ayat (1) menegaskan bahwa negara wajib melindungi saksi, pelapor, penyidik, penuntut umum, dan hakim yang menangani perkara beserta keluarganya dari ancaman yang dapat membahayakan diri, jiwa, dan/atau harta, baik sebelum, selama, maupun setelah proses pemeriksaan perkara. Oleh karena itu, penjaminan dan pemenuhan hak Justice Collaborator dalam konteks ini mengikuti ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban.[3]

Contoh Kasus:

Putusan No.920 K\Pid.Sus /2013

Pada hari Senin, 21 Mei sekitar pukul 20.30 WITA, Thomas Claudius Ali Junaidi, terdakwa dalam kasus ini, berada di alamat Jalan Nong Meak No. 45 RT.001/RW.004, Kelurahan Kabor, Kecamatan Alok, Kabupaten Sika. Dengan melanggar hukum dan tanpa hak yang sah, ia melakukan tindakan menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, atau menjadi perantara dalam transaksi jual beli, pertukaran, atau penyerahan narkotika Golongan I. Tindakan terdakwa ini melanggar Pasal 114 ayat (1) Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan dapat dikenai sanksi pidana sesuai ketentuan yang berlaku. Pda kasus Nartkotika ini terdapat Justice collaborator dimana terdakwa Mus Kopong sekaligus sebagai justice collaborator membantu untuk mengungkap peredaran narkotika di kota maumere Tindakan mus kopong ini berhasil dalam mengukap dan menakap siapa bandara narkoba di maumere. Dalam putusan ini penulis tidak menemukan kejangkalan kerana putusan hakim telah tepat sasaran dalam memberi hukuman terhadap terdakwa yang sebagaipengedara narkotika.[30]

Putusan Nomor 157 PK /PID.SUS/2014

Bahwa terdakwa Antonius Gunawan , selasa tanggal 27 juli 2010 pukul 20.30 wib bertempat di perumahan Pantai indah kapuk bukit golf meditarania jalan kenari VII RT.018/06 Nomor 27 Kelurahan Kamal Muara, Kecamatan Penjeringan ,Jakarta Utara, Pihak yang dituduh tanpa izin atau melanggar hukum mengajukan penawaran untuk dijual, melakukan penjualan, pembelian, penerimaan, atau menjadi perantara dalam transaksi jual-beli, pertukaran, atau penyerahan narkotika Golongan I. Saksi muahamd alfian sekaligus sebagai justice caloborataor dalam persindangan kasus narkotika sanagat membantu sekali dalam persidangan untuk mengunhkap kasus narkotika tersebut. Dalam putusan ini penulis tidak menemukan kejangkalan kerana putusan hakim telah tepat sasaran dalam memberi hukuman terhadap terdakwa yang sebagai pengedar narkotika.

Putusan Nomor 178 PK/ PID.SUS/2014

Bahwa terdakwa Yohanes Paulus Setia Dharama tanggal 25 Februari 2013 bertempat di LP Kedungpane Semarang , Seseorang yang tidak sah atau melakukan pelanggaran hukum dapat menghadapi konsekuensi hukum jika menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, atau menyerahkan narkotika Golongan I. Tindakan yang dilakukan oleh Yohanes Paulus Setia Dharma tersebut diatur oleh Pasal 131 Undang-Undang Nomor tahun 2009 tentang Narkotika dan dapat menimbulkan ancaman pidana. Dalam kasus Narkotika terdapat terdakwa sekaligus justice collaborator yaitu Terdakwa Hendro Priyo Wibisono bin Sunyoto ,Terdakwa Ariyanto, Terdakwa Galih Susanto ,Terdakwa Andi Soesanto alias Andi Amoy ,Terdakwa Agus Santoso bin Ahmad Kua dan terdakwa Yohanes Paulus Setia Dhrama akan tetapi terdakwa Yohanes Paulus Setia Dhrama lah yang mengungkap atau membongkar terkait kasus peredaran narkotika di semarang. Dalam putsan ini penulis menemukan sebuah keganjalan dimana hakim tetap memberikan hukum sesuai dengan peraturan yang ada tanpa melihat bahwa terdakwa juga sebagai justice collaborator seharusnya hakim harus meberikan keringan hukuman bagi terdakwa yang mau dengan tulus sebagai justice collaborator dengan ini penulis menemukan kekeliruan hakim dalam memutus.

Putusan Nomor 96/ Pid.Sus /2018/PN Pli

Terdakwa dianggap krn melakukan pelanggaran yang diatur dan dapat dikenakan hukuman sesuai dengan ketentuan Pasal 114 Ayat (1) dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dalam kasus ini BADRUDDI sebagai terdakwa sekaligus sebagai justice collaborator dimana terdakwa tersebut sebagai pereabtaran dlam perdagangan narkotika antara terdakwa lainya. Dalam putusan ini penulis tidak menemukan kejangkalan kerana putusan hakim telah tepat sasaran dalam memberi hukuman terhadap terdakwa yang sebagaipengedara narkotika

Dalam petunjuk resmi dari Mahkamah Agung yang dikeluarkan pada tahun 2011 mengenai perlakuan terhadap orang yang melaporkan tindak pidana (whistleblower) dan individu yang berkolaborasi dengan penegak hukum (justice collaborator) dalam kasus Tindak Pidana Tertentu, dijelaskan bahwa seseorang dapat dianggap sebagai justice collaborator asalkan bukan sebagai pelaku utama. Perubahan dalam hukum pidana dirancang untuk memberikan dukungan kepada aparat penegak hukum dalam mengungkap tindak pidana yang serius dan/atau terorganisir, serta untuk mengembalikan aset yang diperoleh dari tindak pidana dengan lebih efektif. Kriteria untuk memperoleh perlindungan sebagai justice collaborator melibatkan memiliki informasi yang signifikan, menghadapi ancaman nyata, dan melaporkan ancaman tersebut kepada pejabat yang berwenang.[8]

Untuk menjadi Kolaborator Keadilan, sejumlah syarat harus dipenuhi. Misalnya, kejahatan yang akan diungkap harus bersifat serius dan/atau terorganisir. Selain itu, individu tersebut harus memberikan keterangan yang signifikan dan dapat dipercaya, tidak bertindak sebagai pelaku utama, bersedia mengembalikan aset yang diperoleh dari kejahatan, serta menghadapi ancaman nyata atau kekhawatiran terhadap ancaman fisik atau psikologis. Meskipun demikian, regulasi tidak memberikan definisi yang detail mengenai "kejahatan serius".[31]

Pemanfaatan status Justice Collaborator, yaitu saksi pelaku yang bekerja sama, belum optimal karena ketidakjelasan dalam peraturan hukum terkait kriteria penunjukan mereka. Kurangnya kejelasan dalam interpretasi "tindak pidana tertentu" dan "tindak pidana kasus tertentu" menjadi hambatan, karena hanya yang terakhir yang diberikan perhatian oleh Majelis Hakim. Selain itu, belum ada definisi yang jelas mengenai "Pelaku Utama" sebagai syarat untuk menjadi Justice Collaborator dalam konteks hukum pidana Indonesia. [32]

Peraturan yang berasal dari SEMA No. 4 Tahun 2011 seharusnya hanya berlaku untuk tindakan kriminal yang bersifat khusus dan terorganisir, dan tidak seharusnya diterapkan pada kejahatan umum. Oleh karena itu, peraturan yang lebih terperinci dan tegas diperlukan dalam konteks penunjukan Justice Collaborator dalam sistem hukum Indonesia, dengan tujuan untuk menjamin jalannya proses hukum yang akurat dan adil. Penggunaan istilah justice collaborator di Indonesia, sebagaimana dijelaskan dalam surat edaran Mahkamah Agung Nomor 4 tahun 2011, mengacu pada saksi pelaku yang bersedia bekerja sama.

Simpulan

Penelitian ini menggarisbawahi peran penting dari Saksi Pelaku yang bekerja sama dalam sistem hukum, khususnya dalam konteks kejahatan narkotika. Kontribusi mereka tidak hanya membantu dalam penuntutan jaringan kriminal yang kompleks, tetapi juga dalam pemulihan aset dari kejahatan ini. Perlindungan dan pemanfaatan Saksi Pelaku yang bekerja sama secara efektif merupakan kunci untuk memperkuat upaya penegakan hukum dan proses peradilan. Penelitian ini menyoroti perlunya perbaikan berkelanjutan dalam kerangka hukum seputar Justice Collaborator untuk memaksimalkan potensi mereka dalam memerangi kejahatan terorganisir. Penelitian di masa depan dapat berfokus pada dampak jangka panjang dari para kolaborator ini terhadap sistem peradilan pidana dan efektivitas perlindungan mereka di berbagai lingkungan hukum.

References

  1. L. N. R. Gultom, Studi Komparatif Antara Justice Collaborator Dengan Whistleblower Dalam Tindak Pidana Korupsi. Bandar Lampung: Universitas Lampung, 2018.
  2. N. N. R. D. Lestari, A. A. S. L. Dewi, and I. M. M. Widyantara, “Justice Collaborator dalam Pengungkapan Kasus Tindak Pidana Pembunuhan,” J. Analog. Huk., vol. 5, no. 1, pp. 8–13, 2023.
  3. F. Wijaya, Whistle Blower Dan Justice Collaborator Dalam Perspektif Hukum. Jakarta: Penaku, 2012.
  4. G. Jardan, I. Ismansyah, and N. Mulyati, “Perlindungan Hukum Terhadap Justice Collaborator Dalam Mengungkap Tindak Pidana Narkotika Ditinjau Dari Asas Keadilan,” UNES J. Swara Justisia, vol. 7, no. 2, p. 451, Jul. 2023, doi: 10.31933/ujsj.v7i2.356.
  5. R. Amin, Perlindungan Hukum Justice Collaborator dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia: Studi Perkara Tindak Pidana Narkotika. Yogyakarta: Deepublish Publisher, 2020.
  6. B. M. R. Mentari, “Saksi Pidana Pembunuhan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan Hukum Islam,” Al-Ishlah J. Ilm. Huk., vol. 23, no. 1, pp. 1–38, May 2020, doi: 10.56087/aijih.v23i1.33.
  7. N. Afifah, I. Kamalludin, and Y. Bariki, “Politik Hukum Progesif Dalam Perkembangan Justice Collaborator Sebagai Upaya Penegakan Keadilan Berimbang Di Indonesia,” J. Crepido J. Mengenai Dasar-Dasar Pemikir. Huk. Filsafat dan Ilmu Huk., vol. 4, no. 2, pp. 114–126, Nov. 2022, doi: 10.14710/crepido.4.2.114-126.
  8. D. O. Ariyanti and N. Ariyani, “Model Pelindungan Hukum Terhadap Justice Collaborator Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia,” J. Huk. Ius Quia Iustum, vol. 27, no. 2, May 2020, doi: 10.20885/iustum.vol27.iss2.art6.
  9. Bastrian, Urgensi Saksi Pelaku Yang Bekerjasama (Justice Collaborator) Dalam Pengungkapan Pelaku Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia. Palembang: Universitas Sriwijaya, 2018.
  10. G. Z. Tahitu, “Keberadaan Saksi Mahkota Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia,” Lex Crim., vol. IV, no. 1, 2015.
  11. W. A. Dunga, “Implementasi UU Perlindungan Saksi dan Korban di Kota Gorontalo,” Mimb. Huk. - Fak. Huk. Univ. Gadjah Mada, vol. 21, no. 2, p. 298, Feb. 2012, doi: 10.22146/jmh.16270.
  12. A. J. Karso, Peran, Fungsi, Kedudukan Kepolisian Dalam Pemerintahan, Penegakan Hukum Dan Kolaborasi Dalam Pemberantasan Korupsi Di Indonesia. Yogyakarta: Zahir Publishing, 2021.
  13. M. F. Akbar and D. A. Wicaksono, “The Reform Of Corruption Eradication In Indonesia: The Prismatic Law In The Recent Context,” Mimb. Huk. - Fak. Huk. Univ. Gadjah Mada, vol. 25, no. 1, p. 178, Apr. 2013, doi: 10.22146/jmh.16111.
  14. U. A. Syafii, Perlindungan Hukum Oleh Lembaga Perlindungan Saksi Dan Korban (Lpsk) Dan Implikasinya Terhadap Peran Justice Collaborator Dalam Mengungkap Kejahatan. Semarang: UIN Walisongo, 2023.
  15. D. Aji, A. Tampubolon, H. Citra, R. Bayu, and H. Antoni, “Analisis Terkait Justice Collaborator Sebagai Faktor Yang Meringankan Sanksi Pidana Richard Eliezer,” Khirani J. Pendidik. Anak Usia Dini, vol. 1, no. 2, 2023.
  16. I. Rahmawati, Kewenangan Hakim Terhadap Pembatalan Saksi Justice Collaborator Dalam Tindak Pidana Korupsi (Studi Putusan Nomor 32/Pid.Sus/TPK/2016/PN.Jkt.Pst). Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2020.
  17. B. Derek, “Pelaku Tindak Pidana Korupsi Sebagai Justice Collaborator Menurut Hukum Pidana Di Indonesia,” Lex Soc., vol. 5, no. 5, 2017, doi: https://doi.org/10.35796/les.v5i5.17702.
  18. F. Wahyuni, Dasar-Dasar Hukum Pidana Di Indonesia. Tangerang: PT Nusantara Persada Utama, 2017.
  19. D. Darmini, “Pelaksanaan Diversi Pada Sistem Peradilan Anak,” Qawwam, vol. 13, no. 1, pp. 43–63, Dec. 2019, doi: 10.20414/qawwam.v13i1.1436.
  20. M. Rahmawati et al., Peluang dan Tantangan Penerapan Restorative Justice dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia. Jakarta: Institute for Criminal Justice Reform, 2022.
  21. S. Wahyuningsih Yulianti, “Kebijakan Penegakan Hukum terhadap Kejahatan Kekerasan Seksual Kepada Anak dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia,” Amnesti J. Huk., vol. 4, no. 1, p. 17, 2022, [Online]. Available: https://doi.org/10.37729/amnesti.v4i1.1399
  22. H. Usman, “Analisis Perkembangan Teori Hukum Pidana,” J. Ilmu Huk. Jambi, vol. 2, no. 1, 2011.
  23. Sholehudin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007.
  24. A. Inderaputra, M. Huda, and E. Syahruddin, “Pertimbangan Yuridis Tentang Pengetatan Syarat Dan Tata Cara Pemberian Remisi Terhadap Narapidana Extra Ordinary Crime Khususnya Narkotika,” Palar Pakuan Law Rev., vol. 7, no. 2, pp. 548–558, Dec. 2021, doi: 10.33751/palar.v7i2.4580.
  25. M. Dahru and dan A. M. Guntara Deny, “Implementasi Pemberian Remisi Bagi Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIa Karawang Dihubungkan Dengan Permenkumham Nomor 7 Tahun 2022,” J. Ilm. Wahana Pendidik., vol. 9, no. 12, pp. 89–101, 2023.
  26. D. A. Mokorimban, “Perlindungan Terhadap Saksi Dalam Proses Pengakan Hukum Pidana Di Indonesia,” Lex Crim., vol. II, no. 1, 2013.
  27. S. N. Tuage, “Perlindungan Hukum Terhadap Saksi Dan Korban Oleh Lembaga Perlindungan Saksi Dan Korban (LPSK),” Lex Crim., vol. II, no. 2, 2013.
  28. S. Natalia, “Perlindungan Hukum terhadap Saksi dan Korban oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (Lpsk),” Lex Crim., vol. 2, no. 2, 2013.
  29. A. T. Kinanti, Analisis Pemberian Remisi Kepada Narapidana Narkoba Dalam Perspektif Undang-Undang Pemasyarakatan. Bandar Lampung: Universitas Lampung, 2023.
  30. I. A. Tan, Analisis Yuridis Terhadap Putusan Hakim Tentang Justice Collaborator Di Luar Ketentuan Surat Edaran Mahkamah Agung RI (SEMA) Nomor 4 Tahun 2011 (Studi Kasus Putusan No. 920 K/Pid.Sus/2013). Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia, 2023.
  31. I. W. P. S. Aryana, “Justice Collaborator Dalam Penegakan Tindak Pidana Korupsi,” Yust. J. Huk., vol. 12, no. 1, pp. 1–13, 2018, [Online]. Available: https://media.neliti.com/media/publications/3230-ID-justice-collaborator-dalam-tindak-pidana-korupsi.pdf
  32. S. Bakhri, Pembaruan Hukum Pidana. Tangerang Selatan: UM Jakarta Press, 2019.