Legal Protection for Limited Liability Companies as Consumer Users of Virtual Office Services in Indonesia Perlindungan Hukum Bagi Perseroan Terbatas Sebagai Konsumen Pengguna Jasa Virtual Office di Indonesia Kemala Ajeng Sukma ajengmalaaa10@gmail.com Indonesia 17 11 2023 <bold id="_bold-12">PENDAHULUAN</bold>

Dunia berkembang sangat dinamis di era globalisasi, Sebagian besar masyarakat Indonesia sudah mengenal dan memanfaatkan beragam inovasi teknis. Kemajuan teknologi informasi menuntut lebih dari sekedar menjalani gaya hidup yang lebih kontemporer. Lingkungan bisnis adalah lingkungan yang harus selalu up to date dengan kemajuan dalam segala hal mulai dari produk hingga penetapan protokol hingga pengelolaan perseroan terbatas.[1] Bisnis juga bersifat kontemporer, dengan sumber daya seperti informasi dan teknologi lainnya untuk membantu peluncuran dan pengoperasian perusahaan.

Dalam perdagangan di Indonesia, perseroan terbatas, atau perseroan gabungan, merupakan salah satu struktur hukum yang paling populer. Perusahaan perseroan terbatas yang besar dan serius sering kali dikelola oleh pengusaha atau komunitas lokal. Hal ini membawa kita pada kesimpulan bahwa perseroan terbatas dan juga kemitraan, koperasi, dan bentuk usaha lainnya memiliki perseroan terbatas di Indonesia dengan selisih yang signifikan. Tidak dapat disangkal bahwa terdapatperseroan terbatas di Indonesia. Tentu saja ada alasannya. Berikut beberapa faktor atau alasan banyaknya perseroan terbatas di Indonesia:[2]

1. hanya untuk fitur tanggung jawab terbatas;

2. Atau tergantung kasusnya dengan maksud untuk sedikit mengubah perusahaan di masa depan;

3. Atau karena alasan perpajakan.

Pada buku Agus Budiarto, Sri Rejeki Hartono dipaparkan yakni “masyarakat sangat mengapresiasi bentuk perusahaan saham gabungan karena perusahaan saham gabungan pada umumnya mempunyai kemampuan untuk tumbuh, mempertahankan kapitalisasi yang muda dan sebagai perusahaan saham gabungan mempunyai tanggung jawab perusahaan” potensial untuk membawa keuntungan baik bagi institusi tersebut maupun bagi para pemegang sahamnya..[3] Perseroan terbatassaat ini merupakan bentuk hukum pilihan bagi korporasi, sebagian karena kewajibannya. Selain itu, perseroan terbatas memfasilitasi pengalihan kekayaan pemilik atau pemegang saham kepada pihak ketiga dengan mengizinkan mereka menjual seluruh saham perusahaannya.

Cara dan struktur pembentukan perseroan terbatas di Indonesia juga memperhatikan kemajuan teknologi informasi di dunia usaha, terutama jika ingin melakukannya tanpa mengeluarkan biaya sewa yang besar.[4] Dengan membeli properti berupa gedung atau membentuk perseroan terbatas, Anda dapat membentuk perseroan terbatas kantor virtual. Menurut pandangan Laksmi, Fuad Gani, dan Budiantoro, istilah "kantor virtual" merujuk pada suatu "ruang kerja" dalam lingkungan virtual, di mana seseorang dapat menyelesaikan tugas-tugas yang dibutuhkan untuk mengelola bisnis pribadi atau profesional tanpa harus berada secara fisik di lokasi tersebut. Definisi ini menyoroti perbedaan konsepnya dengan pandangan lain mengenai kantor virtual.

Dalam interpretasi tersebut, Tempat kerja yang dimaksud merujuk pada lingkungan kerja yang berada dalam domain internet. Dikarenakan eksistensinya hanya terdapat dalam ranah maya, maka tempat kerja ini tidak pernah bersifat fisik atau berlokasi di dunia nyata. Oleh sebab itu, alamat website perusahaan sama dengan alamat kantor pusat perusahaan. Definisi lain dari kantor virtual adalah berbagi kantor melalui model sewa dimana ruang kantor dapat dibagi. Virtual Office merupakan entitas sewa kantor yang dikelola oleh penyedia layanan kantor virtual dan pengguna kantor virtual. Desi Karunia menyampaikan:

The purpose of a leasing agreement for a Virtual Office is a physical location for conducting business. A thing has the potential to become a legal object if it satisfies a set of requirements, such as having human authority, economic worth, and the ability to consequently be employed as an object in a legal action Tujuan dari perjanjian sewa Kantor Virtual adalah lokasi fisik untuk menjalankan bisnis. Suatu benda berpotensi menjadi obyek hukum apabila memenuhi sejumlah syarat, misalnya mempunyai kewibawaan manusia, mempunyai nilai ekonomis, dan kesanggupan untuk dijadikan obyek dalam suatu perbuatan hukum”.[5]

Aturan hukum yang sesuai adalah hukum perdata karena hubungan hukum antara penyedia kantor virtual dan pendatang adalah hukum privat. Perkembangan hukum dalam suatu komunitas selalu dipengaruhi oleh beragam norma yang tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat.[6]

Sewa adalah jenis kontak yang khas dan merupakan tantangan yang sering dihadapi masyarakat. Perjanjian sewa mengatur hubungan antara para pihak. Alamat kantor terdaftar dan kantor itu sendiri tunduk pada Perjanjian Sewa Kantor Virtual; jadi, agar perjanjian itu dianggap dapat dilaksanakan, perlu memenuhi persyaratan yang telah dijelaskan pada Pasal 1320 dan 1548 KUH Perdata.[7] Jika suatu perjanjian didasarkan pada dasar hukum dan melibatkan badan hukum, ketentuan yang mengatur persyaratan sahnya dapat ditemukan dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Berdasarkan ketentuan Pasal 1548 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, kontrak sewa merupakan perjanjian di mana satu pihak menyetujui untuk memberikan sejumlah uang kepada pihak lain sebagai ganti atas izin pihak lain untuk menggunakan suatu barang dalam periode waktu yang telah ditentukan. Jenis barang yang dapat disewakan meliputi baik barang bergerak maupun barang tidak bergerak. Penyewa dan tuan tanah adalah dua pihak dalam perjanjian sewa, dan keberadaan mereka saling terkait satu sama lain. Hak dan kewajiban pihak yang terkait dengan hubungan hukum ini ditetapkan berdasarkan ketentuan ini.[5] Hanya terdapat satu peraturan perundang-undangan yang menangani virtual office, yaitu Surat Edaran BPTSP No. 6 Tahun 2006. Namun, ketentuan ini hanya menetapkan prosedur penerbitan sertifikat lokasi dan izin lainnya khusus untuk pengguna kantor virtual, dan cakupannya terbatas hanya pada wilayah DKI Jakarta.Meskipun layanan kantor virtual semakin banyak digunakan di kota-kota di Indonesia, Ini bukan hanya berlaku di wilayah DKI Jakarta. Hambatan hukum disebabkan oleh tidak adanya undang-undang yang mengatur kantor virtual karena pihak-pihak yang terlibat, khususnya konsumen dan perusahaan terbatas, tidak aman atau terlindungi secara hukum. Diperlukan karena kantor virtual, meskipun merupakan konsep baru yang inovatif, memiliki kekurangan. Tentu saja, hal tersebut dapat melanggar hak pelanggan. Berikut kekurangan sistem kantor virtual khususnya di Indonesia: Peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan kantor virtual hanyalah Surat Edaran BPTSP No. 6 Tahun 2006. Namun yang diatur hanyalah sertifikat lokasi dan izin lainnya bagi pengguna layanan Kantor Virtual. oleh undang-undang ini. Surat edaran ini hanya mencakup wilayah DKI Jakarta selain itu. Meskipun penggunaan layanan kantor virtual meningkat di seluruh kota di Indonesia, Tempat ini tidak hanya terbatas pada DKI Jakarta. Terdapat celah hukum dimana pelaku usaha yang melakukan aktivitas kantor virtual, khususnya konsumen dan pelaku usaha, kurang mendapatkan keamanan dan perlindungan hukum karena tidak adanya aturan atau ketentuan yang mengatur tentang kantor virtual. Karena Kantor Virtual adalah teknologi baru yang revolusioner dan memiliki kekurangan, pengguna layanannya memerlukan perlindungan hukum. Hal ini jelas berisiko melanggar hak-hak konsumen.

Tidak semua jenis usaha cocok dan bisa menggunakan kantor virtual. Jenis usaha yang dapat memperoleh manfaat dari kantor virtual antara lain:[8]

1. Startup

Startup merupakan startup yang umumnya memanfaatkan teknologi untuk menunjang bisnisnya. Biasanya startup memiliki karyawan yang sedikit dan sering menggunakan internet, sehingga pekerjaan bisa dilakukan dimana saja. Oleh karena itu, kantor virtual sangat cocok untuk perusahaan ini. Namun tidak semua startup bisa dikelola melalui kantor virtual. Jika sebuah startup menjalankan website atau aplikasi komersil, maka perusahaan tersebut tidak bisa lagi menggunakan virtual office sebagai tempat usahanya, karena perusahaan jenis ini tergolong perusahaan industri sehingga tempat usahanya pun harus dekat dengan industri. daerah. Daerah. Namun jika startup berlokasi di wilayah yang belum ada sistem zonasinya, maka startup yang menjalankan bisnis jenis ini bisa menggunakan virtual office.

2. Kantor Hukum

Di Indonesia, prosedur penerimaan pengacara dijelaskan dalam UU Nomor 18 Tahun 2003 mengenai Advokat dan Kode Etik Advokat. Meskipun demikian, dalam undang-undang tersebut tidak terdapat ketentuan yang mengatur kriteria untuk firma hukum. Sehingga seseorang yang memenuhi syarat Undang-Undang Kejaksaan dapat berpraktik sebagai pengacara. Lisensi pengacara adalah lisensi tunggal dan tidak memerlukan kepemilikan izin lebih lanjut. Berkat ini, pengacara dapat mengelola kantor hukum mereka sendiri di kantor hukum virtual. Kantor virtual merupakan pilihan yang tepat bagi pendatang baru di sebuah firma hukum, karena dengan back office yang lengkap dan nyaman, pengacara dapat menyewa firma hukum yang profesional.

3. Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM)

UMKM yakni perusahaan yang sering dijalankan oleh satu orang, satu keluarga, atau satu perusahaan kecil. UMKM biasanya memiliki sumber pendanaan yang terbatas karena ukurannya yang kecil, oleh karena itu penggunaan kantor virtual tidak dilarang oleh undang-undang bagi UMKM. Usaha kecil dan menengah dapat memanfaatkan kantor virtual sebagai kantor pusat perusahaan mereka untuk memangkas pengeluaran dan memenangkan lebih banyak kepercayaan pelanggan atau mitra bisnis ketika mereka ingin berinvestasi.

4. Jasa konsultasi

Konsultan memiliki lisensi swasta seperti pengacara dan permohonan lisensi dibuat berdasarkan saran yang diberikan. Misalnya, jika seseorang ingin menjadi akuntan pajak, harus mengajukan permohonan ke Departemen Umum Pajak untuk mendapatkan izin praktik. Karena konsultan bekerja di sektor jasa, tidak ada kewajiban untuk mematuhinya. Bisnis kini dapat dimulai di ruang kantor, dan kantor virtual adalah pilihan yang bijaksana, terutama bagi konsultan yang baru saja berkualifikasi. Bagi konsultan yang suka bekerja jarak jauh, kantor virtual adalah ruang kerja yang tepat, apalagi hampir semua posisi kini tersedia. diproduksi. dapat diselesaikan dan ditangani secara online, meniadakan persyaratan untuk kantor di luar pertemuan klien

Kelemahan sistem Virtual Office khususnya di Indonesia adalah:[9]

1. Tidak ada peraturan tersendiri mengenai penyewaan kantor virtual;

2. Konsumen dapat mengalami kerugian dalam transaksi kantor virtual apabila tagihan diterbitkan lebih lambat dari batas waktu yang telah disepakati;

3. Seharusnya penyedia layanan kantor virtual tidak memberikan informasi yang rinci dan dapat dipercaya tentang layanan yang mereka sediakan;

4. Penyedia layanan tidak memiliki kemampuan untuk mengontrol layanan yang mereka berikan kepada pelanggan;

5. Kantor virtual hanyalah ruang kerja online; Dan

6. Seringkali penyedia layanan dan pelanggan tidak berinteraksi secara langsung saat menyewa kantor virtual.

Selain kelemahan yang telah dibahas di atas, penggunaan layanan kantor virtual juga menimbulkan risiko yang dapat merugikan perseroan terbatas. sebagai konsumen, yaitu:[10]

1. Tidak ada persyaratan legislatif yang mengatur kantor virtual; ini berarti tidak ada bahaya hukum, hambatan, atau pembatasan dalam penerapan hukum.

2. Perseroan terbatas tidak dapat secara hukum menyatakan haknya jika penyedia kantor virtual mengajukan pailit. Selama ini konsumen layanan kantor virtual di Indonesia sebagian besar menggunakan Undang-Undang Perlindungan Konsumen No. 8 Tahun 1999 atau dikenal dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen sebagai landasan hukumnya. “Perlindungan konsumen melibatkan segala tindakan yang menjamin kepastian hukum untuk melindungi hak-hak konsumen,” bunyi Pasal 1 Ayat 1 UU Perlindungan Konsumen. Yang dimaksud dengan “kepastian hukum” adalah peranan UU Perlindungan Konsumen sebagai pengaman terhadap kesewenang-wenangan yang merugikan perekonomian.

Meskipun UUPK tidak secara tegas mengatur e-commerce, namun transaksi di kantor virtual dapat dianggap sebagai e-commerce, dan oleh karena itu, aktivitas sewa guna usaha ini diatur oleh UUPK. Pasal 16 Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) menyatakan bahwa pelaku usaha yang menyediakan produk dan/atau jasa melalui pesanan tidak diizinkan untuk tidak menyelesaikan pesanan. Ketentuan ini menjadi dasar hukum yang relevan bagi pelanggan yang menggunakan Layanan Kantor Virtual. b) melanggar komitmen yang dibuat sehubungan dengan suatu layanan atau pencapaian; menyepakati waktu penyelesaian sesuai yang dijanjikan. Karena transaksi kantor virtual biasanya mengikuti arahan dan instruksi, bukan pihak yang secara langsung memesan produk atau layanan yang disampaikan, Pasal 16 bisa berfungsi sebagai perlindungan dalam transaksi-transaksi tersebut, di mana pada akhirnya pemasok meneken kontrak. Akan tetapi, karena undang-undang UUPK tidak secara eksplisit mengatur hak-hak konsumen dalam transaksi digital, hal ini dapat menimbulkan kekurangan dalam perlindungan mereka, maka mereka tidak dapat melindungi konsumen dalam transaksi kantor virtual. transaksi digital yang digunakan di kantor virtual berbeda dari transaksi tradisional dalam beberapa hal.[11]

Mengingat latar belakang informasi yang diberikan di atas, penulis penasaran untuk mengetahui apakah pembatasan hukum berlaku bagu perseroan terbatas yang memakai layanan kantor virtual di Indonesia.

<bold id="_bold-13">METODE</bold>

Untuk memverifikasi keabsahan logika yurisprudensi pelanggaran dalam kasus ini, kajian hukum membuka undang-undang yang terkait dengan perlindungan hukum untuk perusahaan terbatas sebagai klien. Penelitian ini menerapkan pendekatan metode normatif doktrinal, yang merujuk pada proses ilmiah untuk melakukan analisis.[12] Dalam penelitian ini, terdapat tiga jenis sumber data yang dimanfaatkan, yaitu sumber hukum utama, sumber hukum kedua, dan sumber hukum ketiga. Ketentuan hukum utama mencakup isi hukum primer, karya-karya yang terkait dengan topik yang menjadi fokus penelitian dianggap sebagai sumber hukum kedua, dan ensiklopedia hukum dianggap sebagai sumber hukum ketiga.[13] Pendekatan yang dipakai pada kajian ini yaitu pendekatan perundang-undangan. Proses analisis kemudian mensistematisasikan klasifikasi bahan hukum tertulis dan mengaitkannya dengan teori, konsep, dan ilmu pengetahuan peneliti. Berdasarkan hasil penataan secara sistematis, selanjutnya dilakukan teknik interpretasi atau penafsiran normatif.

<bold id="_bold-14">HASIL DAN PEMBAHASAN</bold> <bold id="bold-be1278769a49dea29f965d5366d89f9f">A. </bold> <bold id="_bold-15">Kondisi</bold> <bold id="_bold-16">Kekosongan</bold> <bold id="_bold-17">Hukum Dalam </bold> <bold id="_bold-18">Perlindungan</bold> <bold id="_bold-19">Hukum Bagi Perseroan </bold> <bold id="_bold-20">Terbatas</bold> <bold id="_bold-21">Sebagai</bold> <bold id="_bold-22">Konsumen</bold> <bold id="_bold-23">Pengguna</bold> <bold id="_bold-24">Layanan</bold> <italic id="_italic-8"> <bold id="_bold-25">Virtual Office </bold> </italic> <bold id="_bold-26">di Indonesia </bold>

Dalam UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, dijelaskan bahwa Perseroan Terbatas adalah entitas hukum yang terbentuk melalui kontrak dan mencakup seluruh usaha yang melibatkan saham serta memenuhi syarat-syarat tertentu, sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini dan peraturan pelaksanaannya. Kewajiban Perseroan Terbatas, sebagaimana diuraikan dalam Pasal 40 Tahun 2007, juga mengatur langkah-langkah pendiriannya. Pasal 7 hingga 14 dari UU Nomor 40 Tahun 2007 mengatur persyaratan pembentukan Perseroan Terbatas. Karena itu adalah “kontrak”, maka ditentukan oleh suatu pokok bahasan, yang bisa berupa beberapa pokok bahasan, paling sedikit dua pokok bahasan, atau hanya dua pokok bahasan kalau itu yang tertulis pda pasal 1313 KUHPerdata. Yang dimaksud dengan “akta pendirian” yakni “akta” yang ditandatangani oleh para pendiri untuk mendirikan persekutuan komanditer pada tahun yang tercantum dalam akta notaris. Pada kenyataannya, undang-undang ini mengatur berbagai hak dan tanggung jawab pendiri sehubungan dengan pendirian dan pengelolaan perseroan terbatas. Pasal 8 ayat (1) UU Perseroan Terbatas merupakan contoh perjanjian yang memuat hak dan kewajiban tersebut. Perjanjian lain yang dikenal sebagai “Laporan Keuangan” perusahaan juga mempunyai ketentuan berikut. Pasal 7 dari Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 mengenai Perseroan Terbatas mengatur persyaratan hukum untuk pembentukan perseroan terbatas di Indonesia. Pasal tersebut menyebutkan bahwa (1) perseroan dapat dibentuk oleh 2 (dua) orang atau lebih dengan menggunakan akta notaris dalam bahasa Indonesia. Selain itu, (2) pendiri perseroan diwajibkan untuk berpartisipasi dalam usaha dengan menyertakan saham pada saat pendirian usaha. (3) Dalam proses penggabungan, aturan yang terdapat dalam Pasal (2) tidak berlaku. (4) Ketika Keputusan Menteri yang menegaskan legalitas badan usaha itu diumumkan, perusahaan tersebut akan diberikan status badan hukum. (5) Apabila perusahaan menjadi legal dan jumlah pemegang sahamnya kurang dari 2 (dua), pemegang saham yang terdampak diharuskan untuk membagikan sebagian sahamnya dalam waktu maksimal 6 (enam) bulan setelah kejadian tersebut. Hal ini memberikan kesempatan bagi perusahaan untuk mentransfer kepemilikan sahamnya kepada pihak lain atau mengeluarkan saham baru kepada pihak ketiga. Jika kurang dari dua pemegang saham tetap dalam periode yang disebutkan dalam ayat (5), pemegang saham tersebut akan bertanggung jawab secara pribadi atas semua kewajiban dan kerugian yang timbul dari kegiatan usahanya. Pengadilan negeri dapat membubarkan perseroan atas permintaan pihak-pihak yang berkepentingan. Selain itu, perusahaan penyelenggara bursa efek, lembaga kliring dan penjaminan, lembaga kustodian dan penyelesaian, serta lembaga lain yang dicantumkan dalam Undang-Undang Pasar Modal terkecuali dari ketentuan yang mengatur pembentukan dua subjek atau lebih sesuai dengan Pasal 1 dan Undang-Undang serta ketentuan Pasal 5 dan 6.

Pasal 1 ayat 1 dari Undang-Undang Perseroan Terbatas (UUPT) menyatakan bahwa suatu perusahaan adalah entitas hukum yang didirikan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Ini merupakan perbedaan dengan Ketentuan Hukum yang Umum (KUHD), yang tidak secara jelas menyatakan bahwa perusahaan tersebut memiliki status sebagai entitas hukum. Ketentuan badan hukum dapat diidentifikasi melalui ciri-ciri berikut: memiliki kepemilikan aset sendiri, memiliki tujuan yang spesifik, memiliki kepentingan sendiri, dan memiliki organisasi yang terstruktur.[14]

Dalam pelaksanaannya, pihak yang menyewa kantor virtual umumnya merupakan entitas bisnis yang berbentuk perseroan terbatas ("PT"). Posisi hukum PT dijelaskan dalam Pasal 5 Undang-Undang Perseroan Terbatas No. 40 Tahun 2007 ("UUPT") dengan ketentuan sebagai berikut:

a. Anggaran dasar Perseroan mengatur bahwa Perseroan harus mempunyai nama dan tempat tinggal yang keduanya berada dalam batas negara Republik Indonesia.

b. Perseroan telah memberikan alamat lengkap sesuai dengan lokasi kantor utamanya.

c. Identitas perusahaan beserta alamat situs webnya perlu disebutkan pada setiap dokumen tertulis, termasuk surat-menyurat, pengumuman yang diterbitkan oleh perusahaan, materi cetak, dan dokumen hukum di mana perusahaan terlibat sebagai salah satu pihak.

Dalam uraian Pasal 5 Undang-Undang Perlindungan Tenaga Kerja, dijelaskan bahwa:

a. Lokasi Perseroan juga berfungsi sebagai kantor pusat perusahaan.

b. Perusahaan harus memiliki alamat yang sesuai dengan lokasinya, yang harus dicantumkan, misalnya dalam korespondensi, dan melalui alamat tersebut perusahaan dapat dihubungi.

Dalam penjelasan Pasal 5 UUPT menyatakan sebagai berikut:

a. Kantor pusat perusahaan terletak pada tempat yang sama dengan tempat kedudukannya.

b. Perusahaan harus memiliki alamat web yang mencerminkan tempat tinggalnya. Alamat ini dapat digunakan untuk korespondensi dan menghubungi perusahaan.

Pasal 5 hampir semua pelaku usaha harus memberikan alamat tempat tinggal yang lengkap dan dapat dihubungi. Padahal, dengan model kantor virtual, badan usaha tidak mengelola aktivitasnya di wilayah yang terkait dengan pekerjaannya, karena kantor virtual hanya memberikan alamat kantor. Secara praktis, tugas-tugas kini sering dilaksanakan di luar lingkungan kantor virtual atau bahkan di rumah. Tetapi seiring waktu berlalu, pemerintah akhirnya menetapkan peraturan yang lebih terperinci mengenai kantor virtual untuk menghindari potensi pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 40 tentang Perseroan Terbatas.

Peraturan tersebut mengatur penggunaan kantor virtual dalam hukum perusahaan yang dianggap sah selama mencantumkan alamat bisnis asli dan nomor telepon asli yang dapat dihubungi. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 2 SE PTSP DKI Jakarta Nomor 6/2016. Pelaku Usaha yang berkeinginan menggunakan kantor virtual harus memenuhi beberapa persyaratan untuk mendirikan PT, termasuk kewajiban mencantumkan alamat Virtual Office dan alamat tempat kegiatan atau aktivitas nyata (baik itu kantor atau rumah tinggal) dalam surat keterangan domisili dan persyaratan izin berikutnya. Ketentuan ini mengatur bahwa kantor terdaftar perusahaan atau kegiatan tertentu harus disebutkan. Ini adalah salah satu cara untuk memenuhi persyaratan, yaitu untuk memulai usaha Sebagai perusahaan terdaftar, PT. memiliki kewajiban untuk mematuhi peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah. Dalam setiap kontrak standar antara penyedia layanan kantor virtual dan penyewa, ketentuan ini selalu dimasukkan untuk mengurangi risiko tindakan kriminal. [8]

Akibatnya, mulai bulan Mei 2019, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah menghentikan penggunaan Surat Keterangan Domisili Berusaha (SKDU) sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik, khusus mengenai penggunaan OSS yang mengatur mengenai pembentukan PT SKDP (Surat Keterangan Domisili Perusahaan). Hal ini telah diatur dalam Keputusan Wali Kota Provinsi Nomor 25 Tahun 2019 DPMPTSP DKI Jakarta mengenai Penutupan Pelayanan Non-Perizinan Surat Keterangan Domisili Perusahaan dan Usaha. Langkah ini bertujuan untuk mempermudah proses transaksi bisnis bagi para pengusaha yang berencana mendirikan perusahaan di Indonesia. PT dan badan usaha lainnya tetap tidak aktif dalam dunia usaha/komersial meskipun SKDP telah dilikuidasi. Hal ini sesuai dengan Peraturan Detail Tata Ruang dan Zonasi sebagaimana tercantum dalam PERDA Nomor 1 Tahun 2014. Anda perlu menjalankan bisnis di luar rumah jika ingin mendirikan perusahaan bersama; dengan kata lain, perusahaan harus berlokasi di area industri.[15]

Mendirikan bisnis menggunakan alamat kantor virtual mungkin masih bisa menjadi pilihan bagi organisasi yang harus mematuhi persyaratan yang ada jika harus menggunakan alamat zona. Pengusaha hanya perlu mengurus kelengkapan dokumen lain perusahaannya, antara lain NPWP, NIB, atau izin tetap melalui lokasi kantor pusat. Hal ini menunjukkan bahwa kantor virtual mematuhi hukum perusahaan karena termasuk dalam peraturan lain yang menjunjung dan mengatur hukum bisnis.

<bold id="bold-1e2545396b5cb7085b7fffdb4affad07">B.</bold> <bold id="_bold-27">Rencana</bold> <bold id="_bold-28">Perlindungan</bold> <bold id="_bold-29">Perusahaan di Indonesia</bold>

Prosedur zonasi yang kini diatur oleh pemerintah daerah menjadi faktor utama pendirian kantor virtual. Karena kurangnya lahan, banyak bangunan perusahaan tidak dapat lagi dibangun di Jakarta, dan pemerintah sedang dalam proses menerapkan perencanaan kota yang sebenarnya. Peraturan zonasi usaha yang diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran PTSP DKI Jakarta No 6 Tahun 2016 didasarkan pada PERDA DKI Jakarta No 1 Tahun 2014 tentang Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi dengan Kantor Virtual.

Kantor Virtual adalah perusahaan yang menyewakan kantor dan dijalankan oleh penyewa dan penyedia layanan kantor virtual. Kegiatan yang dilakukan melalui meja transaksi virtual merupakan jenis kontrak yang termasuk dalam hukum perdata. Subekti menginterpretasikan perjanjian sebagai suatu situasi di mana seseorang berjanji memberikan sesuatu kepada satu orang atau lebih.[16] Sistem partisipasi hukum bersifat terbuka, yang berarti KUH Perdata memberikan kesempatan kepada setiap individu untuk menyusun suatu perjanjian dalam berbagai bentuk, baik yang diatur secara khusus oleh undang-undang, peraturan tertentu, atau peraturan baru yang belum mencakup ketentuan tertentu, asalkan tidak melanggar Pasal 1320 KUH Perdata. Menurut hukum, jika terdapat konflik antara ketentuan Bagian Umum dan Ketentuan Khusus, maka yang akan berlaku adalah Ketentuan Khusus. Oleh karena itu, Kantor Virtual tunduk pada ketentuan Pasal KUH Perdata karena belum ada peraturan khusus yang mengatur Kantor Virtual di Indonesia.

Pasal 1548 KUH Perdata mengemukakan bahwa persewaan merupakan suatu perjanjian di mana satu pihak berjanji untuk menyediakan penggunaan suatu barang kepada pihak lain selama periode waktu tertentu, dengan imbalan pembayaran harga yang telah disepakati oleh pihak terakhir tersebut. Orang bisa mendapatkan apa saja. Sifat aset yang disewakan, baik tetap maupun bergerak. Transaksi sewa kantor virtual termasuk dalam kategori e-commerce karena dilakukan secara online melalui Internet. Sewa melalui internet, pada dasarnya, mirip dengan sewa konvensional di mana terdapat kontrak untuk menggunakan barang atau jasa dengan pembayaran yang sesuai. Perbedaan utama antara persewaan online dan persewaan tradisional terletak pada sumber daya yang digunakan. Dalam persewaan tradisional, pertemuan langsung di lokasi tertentu diperlukan untuk menentukan barang atau jasa yang akan disewa serta jumlah yang akan ditawarkan. Sebaliknya, proses transaksi online mengandalkan media online sebagai sarana utama, sehingga tidak memerlukan pertemuan langsung antara pihak-pihak yang terlibat. Negosiasi harga dapat dilakukan dari mana saja tanpa keharusan para penyewa bertemu di lokasi yang sama untuk mencapai kesepakatan harga properti.

Selain itu, penggunaan Virtual Office juga harus mematuhi persyaratan yang tercantum dalam perjanjian, yang pada dasarnya merujuk pada Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata).

1. Kesepakatan;

2. Kecakapan;

3. Suatu hal tertentu;

4. Sebab yang halal.

Jika persyaratan pertama dan kedua terpenuhi, yang disebut sebagai syarat subyektif (yang berkaitan dengan pihak-pihak yang melakukan perjanjian), maka konsekuensinya adalah perjanjian dapat diakhiri oleh salah satu pihak yang merasa dirugikan. Kegagalan dalam memenuhi syarat ketiga dan keempat, yang berkaitan dengan ketidakpatuhan terhadap syarat obyektif kontrak, akan mengakibatkan batalnya kontrak menurut hukum. Dapat dikatakan jika Sewa Kantor Virtual memenuhi persyaratan kontrak yang sah maka kontrak tersebut sah.[17] Para peneliti menemukan bahwa kesepakatan Kantor Virtual mematuhi semua norma yang dijelaskan dalam Pasal 1320 KUH Perdata setelah mereka memeriksa dengan teliti rincian perjanjian tersebut.

Mereka mempunyai perjanjian yang mengikat secara hukum, dan karena kantor virtual dilaksanakan oleh beberapa pihak penyedia kantor virtual dan pengguna kantor virtual kedua belah pihak diwajibkan oleh ketentuan perjanjian sewa kantor virtual. Karena sebuah perusahaan menggunakan layanan kantor virtual, mereka memutuskan untuk berkumpul. Diharapkan mereka yang dapat memanfaatkan layanan lokasi virtual ini akan dapat menggunakannya sebagai alamat kantor resmi, sarana pengiriman surat, cara untuk mencantumkan nomor telepon perusahaan, anggota staf yang bertanggung jawab menangani korespondensi, anggota staf di bertugas membalas email, penyelenggara domain perusahaan dan layanan terkait lainnya diharapkan mengikuti peraturan yang telah disepakati oleh kedua belah pihak. Hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa calon pelanggan dapat memverifikasi keabsahan bisnis dan lokasinya yang terletak di lokasi utama. Sebelum menyewa ruang kantor, penyewa diharuskan mencari alamat kantor yang ingin mereka gunakan secara online atau mengunjungi ruang kerja virtual secara fisik. Setelah mereka menemukan ruang kantor yang memenuhi kebutuhan mereka dengan mempertimbangkan biaya dan fasilitas tambahan yang ditawarkan oleh pemiliknya, mereka dapat melanjutkan untuk menyewanya. Ketika penyewa ingin menggunakan penyedia layanan kantor virtual, mereka sering kali menghubungi mereka melalui telepon atau email daripada secara langsung. Mereka bahkan mungkin mengunjungi kantor penyedia layanan secara langsung. [18]

Pemasok kantor virtual sering kali memberikan perjanjian sewa standar kepada penyewa, yang harus menerima syarat dan ketentuan untuk menggunakan alamat kantor. Penyewa tidak dapat menggunakan fasilitas kantor virtual tanpa menyetujui sewa. Suatu kontrak mengikat pihak-pihak yang meratifikasinya (Pasal 1338 ayat (1) B.W). Setelah mencermati ketentuan-ketentuan tersebut di atas, peneliti menyimpulkan bahwa kontrak kantor virtual memenuhi setiap kriteria yang tercantum dalam Pasal 1320 KUH Perdata.[19]

Keduanya sepakat bahwa ada beberapa pihak yang terlibat dalam penerapan kantor virtual, antara lain pengguna dan penyedia kantor virtual. Oleh karena itu pihak yang menyewakan kantor virtual adalah pengguna dan penyedia kantor virtual. tempat kerja. Fakta bahwa bisnis tersebut menggunakan penyedia desktop virtual membuat mereka setuju untuk berkolaborasi. Resepsionis, pegawai yang menangani korespondensi, pegawai yang menangani email, administrator sistem, dan lain-lain termasuk orang-orang yang dapat menggunakan layanan lokasi virtual ini sebagai alamat kantor untuk mendapatkan penomoran resmi dan memfasilitasi pengiriman surat atau nomor telepon kantor (sesuai kesepakatan kedua belah pihak). sehingga calon klien bisnis Anda dapat melihat bahwa bisnis tersebut merupakan perusahaan yang bermaksud baik dan berlokasi di lokasi utama.[20]

Saat menyewa ruang kantor, penyewa terlebih dahulu akan langsung mendatangi kantor virtual atau meminta alamat kantor yang diinginkan secara online. Setelah mereka menemukan ruang kantor yang memenuhi kebutuhan mereka, termasuk biaya dan fasilitas lainnya dari penyedia kantor virtual, mereka biasanya akan menghubungi penyedia tersebut melalui telepon atau email tanpa harus melakukan panggilan awal atau mengunjungi kantor. Syarat-syarat perjanjian sewa alamat kantor sering kali disediakan oleh penyedia kantor virtual, dan untuk memanfaatkan fasilitas tersebut, penyewa harus menerima syarat-syarat perjanjian tersebut. [9]

Kontrak mengikat para pihak yang memberikan bentuk hukumnya (Pasal 1338 Ayat (1) B.W) karena sesuai dengan asas kontrak, yaitu asas konsensualisme, yaitu kesepakatan kehendak (berkaitan dengan timbulnya perjanjian). persetujuan, atau persetujuan para pihak yang membuat perjanjian, merupakan syarat terjadinya perjanjian. Gagasan konsensualisme menyatakan bahwa jika ada kesepakatan atau kesepakatan antara orang-orang yang terlibat di dalamnya, maka hal itu dianggap telah terjadi.[21]

Sehubungan dengan tata cara kontrak, umumnya KUHPerdata tidak mengatur secara khusus bentuk atau formalitas yang harus dipenuhi. Oleh karena itu, pelaksanaan kontrak dapat dilakukan dalam berbagai bentuk, baik itu dalam bentuk tulisan tangan, bersertifikat, atau secara lisan, dan keduanya tetap memiliki keabsahan hukum. Hanya dengan adanya kontrak yang berbentuk tertulis maka akan lebih mudah untuk membuktikan adanya suatu sengketa. Tentu saja, ada berbagai jenis kontrak yang memerlukan bentuk tertulis atau disebut kontrak formal. Kantor virtual didasarkan pada model kontrak tertulis yang mengikat kedua belah pihak secara pasti.[22]

Oleh karena itu, persetujuan kedua belah pihak diperlukan untuk keabsahan hukum kontrak. Kemungkinan untuk mengadakan suatu perjanjian harus jelas dari salinan kartu identitas resmi orang yang hadir, dengan mengetahui umur atau status pemohon, kesanggupan hukumnya. Ini dapat dimengerti sebelum kedua pihak menjalankan suatu perjanjian yang disusun oleh satu atau lebih orang yang belum mencapai batasan usia yang ditetapkan, atau jika salah satu pihak yang akan terlibat dalam perjanjian tersebut belum memenuhi batasan usia yang berlaku, oleh sebab itu akan terjadi apabila suatu badan hukum tidak mempunyai yurisdiksi, maka salah satu badan hukum tersebut sewaktu-waktu dapat menarik diri dari kontrak. Oleh karena itu, batasan usia seseorang tertentu dapat membuat kontrak adalah penting. KUHPerdata yangmengatur batasan umur seseorang sebagaimana dimaksud pada Pasal 330 KUH Perdata.[23]

Tindakan-tindakan yang terkait dengan perjanjian hanya boleh dilakukan oleh pihak-pihak yang pada saat perjanjian dibuat sudah mencapai usia yang diatur oleh Pasal 330 KUHPerdata.Suatu perbuatan hukum mempunyai batas umur seseorang dapat melakukannya. Jika seseorang belum mencapai batas usia minimum yang sah, mereka dapat meminta bantuan wali yang sah untuk mengambil tindakan hukum. Hal ini harus berdasarkan ketentuan KUHPerdata mengenai usia dewasa. atau wali. Menurut Pasal 330 KUH Perdata, seseorang dianggap dewasa bila telah berumur 21 tahun atau lebih dan terus kawin untuk melakukan perbuatan hukum tambahan sebelum mencapai umur 21 tahun atau menikah.[24]

Dampaknya adalah bahwa kontrak dapat dibatalkan, dan pembatasan usia untuk membuat perjanjian dihilangkan jika kontrak tersebut ditandatangani oleh satu atau lebih individu yang tidak memenuhi persyaratan usia yang ditetapkan untuk semua pihak atau salah satu pihak dalam perjanjian. Kesepakatan dengan seseorang mempunyai arti penting. Pada kenyataannya, sebagian besar pengguna kantor virtual adalah orang dewasa yang kompeten dan juga diwakili oleh wali sah.[21]

barang tertentu. Yang dimaksud dengan “alamat kantor” adalah objek persewaan kantor virtual. Karena "alamat kantor" didefinisikan dari sudut pandang suatu produk, maka tidak dianggap sebagai elemen karena tidak signifikan. Barang merujuk kepada segala hal yang bersifat bahan atau materi, sehingga perlu dicatat bahwa alamat kantor tidak termasuk dalam kategori barang dagangan. Namun alamat kantor dapat dikategorikan sebagai objek. Nama domain dan alamat kantornya sama. Ada yang mengatakan bahwa suatu barang harus memenuhi dua syarat agar dapat dianggap suatu benda: harus mempunyai nilai ekonomi dan dapat dikuasai oleh manusia.[25]

Transaksi legal dapat diselesaikan dengan memastikan bahwa nama dan alamat domain terkendali dan memiliki nilai ekonomi. Alamat konvensional menggunakan kantor virtual; saat menggunakan alamat Internet, alamat dan nama domain adalah subjek kontrak. alasan yang dapat diterima. Kontrak tidak boleh bertentangan dengan hukum, konsensus bersama, atau moral. Perjanjian tersebut harus dilakukan dengan itikad baik dan alasan halal. Setiap orang mempunyai kebebasan untuk mengikatkan diri pada suatu kontrak atau tidak, menentukan syarat-syarat, isi dan legalitas perjanjian, Apakah perjanjian tersebut memiliki format khusus atau tidak, serta menentukan hukum yang akan mengatur perjanjian tersebut.[26]

Kenyataannya, lokasi kantor hanya disewakan jika tidak merusak properti, tidak melanggar hukum yang ada, atau tidak mematuhi nilai-nilai dan konvensi. Yang dimaksud dengan “halal” di sini adalah ketentuan hukum yang apabila melanggar norma, kesusilaan, atau kesepakatan umum masyarakat, tidak melanggar hukum dan mengakibatkan batalnya akad. Misalnya, kontrak untuk membunuh seseorang adalah batal dan tidak sah karena memiliki tujuan yang ilegal. Jika ketentuan kontrak tidak sesuai dengan undang-undang terkait, kasus tersebut dianggap ilegal.[27]

Menentukan apakah alasan suatu perjanjian bertentangan dengan norma-norma moral (geode zeden) bukanlah hal yang mudah, karena konsep kepemilikan bersifat sangat abstrak dan dapat bervariasi antara berbagai wilayah atau kota.[28] Selain itu, penghargaan masyarakat terhadap kesopanan dapat mengalami perubahan seiring berjalannya waktu. Dalam konteks kantor virtual, penggunaan alamat kantor hanya diperlukan untuk mendapatkan izin usaha dan mengurangi biaya operasional, karena tidak ada kebutuhan untuk menyewa gedung kantor serta berbagi fasilitas dan peralatan. Sebuah kantor virtual menciptakan citra merek yang positif, karena alamat kantornya bersifat virtual. Di pusat perusahaan, jadwal kerja dapat diatur dengan fleksibel, disesuaikan dengan ketersediaan waktu. Oleh karena itu, menggunakan layanan kantor virtual tidak melanggar peraturan atau standar yang berlaku, sehingga penggunaannya dapat dipertanggungjawabkan secara adil.

Dapat disimpulkan bahwa empat syarat sahnya perjanjian, yaitu persetujuan, yurisdiksi, fakta konkrit dan alasan yang dapat dibenarkan, terpenuhi dalam kontrak sewa kantor virtual, sehingga perjanjiannya dianggap sah serta hak dan kewajiban masing-masing. Sebab menurut asas kekuatan mengikat, kontrak menyangkut akibat-akibat dari kontrak. Dengan persetujuan para pihak, kontrak yang mengikat secara hukum (pacta sunt servanda) terjadi melalui kontrak. Apa yang diungkapkan oleh seseorang dalam suatu hubungan menjadi suatu ketentuan hukum bagi mereka. Aturan ini mengatur sifat mengikat kontrak. Ini bukan hanya kewajiban moral, tetapi juga kewajiban hukum yang harus dipatuhi oleh kedua pihak.[21]

"Sewa merupakan kesepakatan di mana salah satu pihak berkomitmen untuk memberikan kepada pihak lain hak untuk menikmati suatu barang dalam kurun waktu tertentu dengan pembayaran biaya tertentu, yang harus dibayarkan oleh pihak kedua, sesuai dengan Pasal 1548 dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata." Undang-Undang Perlindungan Konsumen berlaku untuk tempat kerja virtual karena perjanjian sewa yang tidak dapat diprediksi. Item tersebut hanya dapat digunakan oleh satu orang, dan kantor virtual dibayar secara adil untuk layanan yang diberikannya. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999, yang juga dikenal sebagai Undang-Undang Perlindungan Konsumen/UUPK, menyatakan bahwa perlindungan konsumen adalah "segala usaha yang bertujuan untuk memastikan kepastian hukum guna melindungi konsumen." Definisi perlindungan konsumen yang tercantum dalam Pasal 1 Angka 1 UU Perlindungan Konsumen adalah cukup merinci. Frasa "segala usaha untuk memastikan kepastian hukum" perlu diartikan sebagai langkah-langkah pencegahan terhadap tindakan-tindakan yang tidak terduga yang dapat merugikan pelaku ekonomi semata-mata untuk melindungi hak-hak konsumen. Sengaja atau tidak, ada kemungkinan permasalahan hubungan antara produsen dan konsumen disebabkan oleh kedua belah pihak.

Kerugian seringkali menjadi persoalan yang berkembang dalam interaksi antara produsen dan pelanggan. Baik produsen maupun konsumen mungkin bertanggung jawab atas kerugian ini. Baik pengusaha maupun konsumen mempunyai hak dan tanggung jawab. Industri persewaan kantor virtual diatur oleh Undang-Undang Perlindungan Konsumen No. 8 Tahun 1999, sama seperti perusahaan komersial dan konsumen lainnya. Tergantung dari layanan yang diberikan, setiap penyedia layanan kantor virtual seringkali menyediakan paket sewa yang beragam dengan layanan dan tarif yang berbeda-beda untuk setiap paketnya. Ketentuan penyewaan ini wajib mempertimbangkan hak dan tanggung jawab yang dimiliki oleh setiap pihak. Kelemahan yang disengaja dan tidak disengaja dapat terjadi dalam hubungan konsumen-profesional. Baik konsumen maupun pelaku ekonomi bisa saja melakukan pelanggaran ini, namun ada kemungkinan besar bahwa ketidakpatuhan yang dilakukan oleh pelaku ekonomi akan merugikan konsumen. Ada yang berpendapat bahwa dealer kehilangan uang lebih sedikit dibandingkan pelanggan. Oleh karena itu, dealer yang menggunakan kantor virtual menerapkan kontrak standar kepada setiap pengguna kantor virtual untuk menjaga hak dan kewajiban pedagang dan pelanggan. Kontrak standar adalah kontrak yang persyaratan tertentu diberikan oleh pedagang.[29] Prinsip dasar dari kontrak standar adalah untuk memberikan kenyamanan dan kemudahan kepada semua pihak yang terlibat dalam transaksi. Oleh karena itu, pertumbuhan yang cepat dalam penggunaan kontrak standar tidak dapat dihentikan, terutama ketika kenyamanan dalam bertransaksi menjadi suatu prioritas.

Pertumbuhan dan evolusi kontrak standar dalam masyarakat terjadi dalam suatu lingkungan yang efisien, baik dari aspek waktu maupun biaya. Hal ini disebabkan oleh transaksi komersial yang sering dilakukan melalui kontrak standar tersebut secara berulang dan berkelanjutan. Perjanjian standar tersebut mencakup ketentuan-ketentuan yang melindungi hak dan tanggung jawab konsumen serta penyedia layanan kantor virtual, yang mencakup hak dan kewajiban keduanya:[29]

Hak-hak konsumen dijelaskan dalam Pasal 4 Undang-Undang Perlindungan Konsumen nomor 8 tahun 1999, yang meliputi hal-hal berikut:

“1. Hak untuk merasakan keamanan dan kenyamanan saat menggunakan produk atau jasa yang telah dibeli. 2. Hak untuk memilih barang dan jasa yang diinginkan, serta hak untuk memperolehnya dengan nilai tukar, syarat, dan jaminan yang telah disepakati. 3. Hak atas informasi yang jelas, tidak ambigu, dan jujur mengenai persyaratan jaminan atau garansi yang diberikan untuk produk dan/atau layanan. 4. Hak khusus untuk mendengar dan mempertimbangkan pendapat atau keluhan mengenai penggunaan produk atau jasa. 5. Hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dan upaya penyelesaian yang adil terkait perlindungan konsumen. 6. Hak untuk menerima pelatihan dan panduan mengenai hak-hak sebagai konsumen. 7. Hak untuk diperlakukan secara adil dan jujur tanpa adanya diskriminasi. 8. Hak untuk menerima kompensasi, baik dalam bentuk uang maupun barang pengganti, jika produk atau jasa yang diperoleh tidak sesuai dengan persyaratan perjanjian atau tidak memenuhi standar yang seharusnya. 9. Hak-hak lain yang diatur oleh ketentuan undang-undang terkait”.

Sementara itu, Pasal 5 Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 mengatur tanggung jawab konsumen dengan rincian sebagai berikut:

“1. Untuk kepentingan keamanan dan keselamatan, penting untuk membaca atau mengikuti petunjuk dan prosedur terkait penggunaan produk dan/atau layanan. 2. Selalu menjalankan bisnis dan melakukan pembelian barang dan jasa dengan cara yang dapat dipercaya. 3. Lakukan pembayaran sesuai dengan nilai tukar yang telah disepakati sebelumnya. 4. Terus berupaya mengatasi masalah penegakan hukum perlindungan konsumen dengan cara yang dapat diterima”.

Menurut Pasal 1 angka 4 dan 5 Undang-Undang Perseroan Terbatas Nomor 8 Tahun 1999, pelaku usaha didefinisikan sebagai setiap individu atau entitas usaha, baik itu berbentuk badan hukum atau non-badan hukum, yang didirikan dan beroperasi di wilayah Republik Indonesia. Mereka dapat menjalankan kegiatan usaha sendiri atau bersama-sama melalui perjanjian, yang mencakup berbagai sektor ekonomi. Pelaku usaha ini mencakup individu atau entitas yang memiliki kepentingan dalam perusahaan atau ekonomi. Oleh karena itu, berbagai perundang-undangan dan regulasi telah ditetapkan untuk mengatur hak, kewajiban, dan tanggung jawab yang melekat pada perusahaan tersebut.

Pasal 6 UUPK 8 Tahun 1999 mengatur mengenai hak-hak pelaku usaha, yang dapat dijabarkan sebagai berikut:

“1. Hak pembayaran ini sesuai dengan persyaratan yang tercantum dalam perjanjian terkait dengan ketentuan dan nilai tukar produk dan/atau layanan yang ditempatkan di bawah tanggung jawab. 2. Hak ini memungkinkan untuk mencari perlindungan hukum terhadap kegiatan konsumen lain yang bermaksud jahat. 3. Saat menyelesaikan masalah hukum yang melibatkan konsumen, penting untuk mengakui hak mereka untuk membela diri”.

Sementara itu, tanggung jawab pelaku usaha dijelaskan dalam Pasal 7 Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999, dengan rincian sebagai berikut:

“1. Lanjutkan transaksi komersial dengan tulus. 2. Bersikap adil dan jujur dalam cara Anda menangani atau membantu pelanggan, dan menghindari diskriminasi. 3. Memastikan kualitas produk dan/atau jasa yang diproduksi atau didistribusikan sesuai dengan standar mutu yang relevan. 4. Menawarkan penggantian dan perbaikan kepada konsumen apabila produk atau layanan yang mereka peroleh atau gunakan tidak memenuhi ketentuan kontrak”

Dasar-dasar penyewaan kantor virtual dan persyaratan yang harus dipenuhi oleh penyewa dan penyedia layanan adalah sebagai berikut: Berikut tugas penyedia layanan: Mengizinkan penyewa layanan menggunakan alamat resminya. 2. penyediaan fasilitas penunjang sesuai dengan kontrak. Meskipun demikian, penyewa jasa mempunyai tugas sebagai berikut: 1. Sesuai dengan ketentuan perjanjian sewa, gunakanlah jasa yang telah Anda bayarkan untuk alasan ini. 2. Membayar uang sewa sebagaimana ditentukan dalam kontrak. Oleh karena itu, sesuai dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen, kantor virtual dianggap sah jika memenuhi seluruh persyaratan yang berlaku, termasuk persyaratan para pihak, penyedia layanan, penyewa kantor virtual, dan hal-hal tersebut di atas.[9]

Ini hanya berlaku jika Anda bertindak jujur dan tidak memiliki niat negatif di kemudian hari. Perjanjian tersebut masih digunakan hingga saat ini di Indonesia untuk mengurangi risiko dan memaksimalkan efektivitas dan efisiensi waktu, mengingat legitimasi klausul standar yang ditambahkan oleh penyedia layanan kantor virtual dan setelah dipastikan menjunjung tinggi keseimbangan hak dan kewajiban antara pelaku usaha dan konsumen. Menurut hukum kontrak dan hukum perusahaan, jika ada sesuatu yang memenuhi standar untuk menjalankan bisnis, maka hal itu sah menurut hukum kontrak dan sepanjang memenuhi persyaratan keabsahan kontrak menurut hukum perusahaan. Kantor virtual adalah perjanjian yang mengikat secara hukum antara dua pihak berdasarkan interpretasi persyaratan undang-undang.

<bold id="_bold-30">SIMPULAN </bold>

Undang-Undang Perseroan Terbatas No. 40 Tahun 2007 berlaku bagi usaha perseroan terbatas yang menggunakan kantor virtual sebagai kantor terdaftarnya. Undang-undang ini melarang penggunaan kantor virtual sebagai landasan untuk memulai bisnis baru. Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 memberikan perlindungan hukum kepada konsumen dalam bentuk kontrak tradisional, namun perjanjian sewa kantor bersifat elektronik, sehingga perlindungan hukum terhadap pelanggan yang menggunakan jasa kantor virtual saat ini belum memadai. Undang-undang yang berkaitan dengan perseroan terbatas dan perlindungan konsumen harus diubah, atau peraturan baru yang khusus disesuaikan dengan kantor virtual harus dibuat, untuk mempertahankan status quo dan menjaga keselarasan transaksi kantor virtual di Indonesia. Hal ini karena kantor virtual sangat berbeda dengan transaksi tradisional dalam banyak hal.