Religious Marriage in Indonesia in the Perspective of Islamic Law and Positive Law in Indonesia : Legal Comlexities and the Issuance of Supreme Court Circular Letter No. 2 of 2023
Innovation in Social Science
DOI: 10.21070/ijins.v25i.975

Religious Marriage in Indonesia in the Perspective of Islamic Law and Positive Law in Indonesia : Legal Comlexities and the Issuance of Supreme Court Circular Letter No. 2 of 2023


Perkawinan Beda Agama Di Indonesia Dalam Perspektif Hukum Islam Dan Hukum Positif Di Indonesia Kompleksitas dan Implikasi Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2023

Fakultas Hukum, Universitas Al-Azhar
Indonesia
Fakultas Hukum, Universitas Al-Azhar
Indonesia
Fakultas Hukum, Universitas Al-Azhar
Indonesia

(*) Corresponding Author

Interfaith Marriage Legal Certainty Islamic Law Indonesian Ulema Council Circular Letter No. 2 of 2023

Abstract

This normative legal research aims to clarify the regulation of interfaith marriages in Indonesia, considering both positive law and Islamic law perspectives, and assess the impact of Circular Letter No. 2 of 2023 on legal certainty in this matter. The study found that the 1974 Marriage Law lacks comprehensive protection for interfaith marriages. Islamic law, particularly according to the Indonesian Ulema Council (Mui), tends to prohibit such marriages due to perceived violations of fiqh principles, such as preventing harm (sadd al-zarî’ah). Despite these differing opinions, Circular Letter No. 2 of 2023 is expected to provide legal clarity and potentially resolve the controversy surrounding interfaith marriages in Indonesia. The Supreme Court's prohibition on interfaith marriages has sparked debates and protests in society, with some activists arguing that the court's order is a clear violation of people's constitutional rights, such as freedom of religion.

Highlights:

  • The study aims to clarify the regulation of interfaith marriages in Indonesia, considering both positive law and Islamic law perspectives, and assess the impact of Circular Letter No. 2 of 2023 on legal certainty in this matter.
  • The 1974 Marriage Law lacks comprehensive protection for interfaith marriages, and Islamic law tends to prohibit such marriages due to perceived violations of fiqh principles.
  • Despite differing opinions, Circular Letter No. 2 of 2023 is expected to provide legal clarity and potentially resolve the controversy surrounding interfaith marriages in Indonesia.

Keywords: Interfaith Marriages, Legal Certainty, Islamic Law, Indonesian Ulema Council, Circular Letter No. 2 of 2023.

PENDAHULUAN

Perkawinan Antara Individu Dengan Keyakinan Agama Yang Berbeda Menjadi Perbincangan Hangat Di Kalangan Ahli Hukum Dan Masyarakat Indonesia. Situasi Ini Tak Dapat Dihindari Karena Indonesia Dikenal Dengan Keragaman Agama, Bahasa, Dan Budayanya Yang Kaya. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Pasal 2 Ayat 1, Secara Tegas Menyatakan Bahwa Suatu Pernikahan Dianggap Sah Jika Dilakukan Sesuai Dengan Prinsip Agama Dan Keyakinan Pribadi Pasangan Yang Akan Menikah. [1] Dengan Demikian, Pasal Tersebut Menyiratkan Bahwa Perkawinan Seharusnya Dilakukan Antara Dua Individu Yang Memeluk Agama Yang Serupa. Hal Ini Konsisten Dengan Prinsip-Prinsip Agama Mereka Masing-Masing, Seperti Dalam Islam, Di Mana Seorang Muslim Diwajibkan Untuk Menikah Dengan Seorang Muslim Lainnya Untuk Mencapai Maksud Ibadah Dengan Sepenuhnya.[2] Penyebab Utama Permasalahan Yang Ada Adalah Ketidakpastian Dalam Peraturan Hukum Di Indonesia, Khususnya Dalam Situasi Pernikahan Antara Individu Yang Memiliki Keyakinan Agama Yang Berbeda[3]. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Memiliki Ketidakjelasan Dalam Mengatur Perkawinan Antara Individu Yang Memiliki Keyakinan Agama Yang Berbeda. Di Sisi Lain, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan Memberikan Peluang Untuk Perkawinan Lintas Agama. Ketidakjelasan Ini Dalam Hukum Tentang Sahnya Perkawinan Menciptakan Berbagai Masalah, Termasuk Kesulitan Dalam Proses Pencatatan Perkawinan Di Kantor Catatan Sipil Yang Diperlukan Untuk Pengakuan Resmi Oleh Pemerintah.

Selain Itu, Situasi Ini Juga Menimbulkan Kekhawatiran Di Kalangan Pemimpin Agama Dan Anggota Agama Tertentu Karena Bertentangan Dengan Keyakinan Keagamaan Mereka. Sebagai Hasilnya, Hal Ini Menarik Perhatian Aktif Dari Para Aktivis Hak Asasi Manusia Yang Berjuang Untuk Menyuarakan Pendapat Mereka. Pada Tahun 2022, Perhatian Utama Difokuskan Pada Kasus Perkawinan Antar Individu Dengan Keyakinan Agama Yang Berbeda, Ketika Permohonan Pernikahan Semacam Itu Diajukan Ke Pengadilan Negeri Surabaya Pada Tanggal 13 April 2022. Hasil Akhirnya Adalah Keputusan Oleh Seorang Hakim Tunggal Pada Tanggal 26 April 2022, Yang Mengizinkan Permohonan Tersebut. Kemudian, Hakim Tersebut Menginstruksikan Dinas Kependudukan Dan Pencatatan Sipil Setempat Untuk Mencatat Pernikahan Sesuai Dengan Keputusan Pengadilan.Di Tahun 2023 Ini, Perhatian Terhadap Isu Perkawinan Lintas Agama Semakin Meningkat, Terutama Setelah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Mengizinkan Perkawinan Antara Jea, Seorang Kristen, Dan Sw, Yang Beragama Islam, Dalam Putusan Kasus Nomor 155/Pdt.P/2023/Pn.Jkt.Pst. Dengan Jumlah Perkawinan Lintas Agama Yang Semakin Mendapatkan Persetujuan Pengadilan, Mahkamah Agung, Sebagai Lembaga Peradilan Tertinggi Di Indonesia, Harus Mengambil Langkah-Langkah Dan Mencari Solusi Yang Mempertimbangkan Keadilan Bagi Masyarakat. Isu Yang Akan Dianalisis Dalam Artikel Ini Adalah Sejauh Mana Kejelasan Hukum Dalam Konteks Perkawinan Lintas Agama Dari Perspektif Hukum Islam Di Indonesia, Dan Bagaimana Implikasinya Terhadap Sema Nomor 2 Tahun 2023. Apakah Langkah Penerbitan Sema Ini Akan Berhasil Dalam Mengklarifikasi Status Hukum Perkawinan Lintas Agama, Atau Sebaliknya, Akan Menimbulkan Permasalahan Dan Kontroversi Dalam Masyarakat Indonesia?

METODE

Penelitian ini mengadopsi metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Data penelitian diperoleh dari Bahan hukum primer dan sekunder. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan hukum yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak yang berwenang berupa Al-Qur’an & Al-Hadits. Sedangkan bahan hukum sekunder berupa studi pustaka, yaitu berasal dari sumber-sumber kepustakaan utamanya buku-buku dan jurnal-jurnal terdahulu yang relevan dengan topik penelitianData ini kemudian dianalisis dan disajikan secara deskriptif, sehingga memberikan gambaran yang lebih terperinci dan memadai tentang topik yang sedang diteliti.

Permasalahan

1. Seperti apa pandangan perkawinan beda agama berdasarkan perspektif hukum islam di indonesia (perspektif ulama indonesia dan ke empat mazhab)

2. Seperti apa dampak dan kontroversi pernikahan beda agama dalam perspektif hukum positif indonesia

3. Bagaimana terbitnya surat edaran mahkamah agung nomor 2 tahun 2023 dapat mengatasi dan menutup celah hukum pencatatan perkawinan beda agama di indonesia?

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Fenomena Perkawinan Beda Agama : Bagaimana Perspektif Majelis Ulama Indonesia ?

Dalam Bukunya Yang Berjudul "Fikih Perkotaan," Muhamad Jamil Mengungkapkan Bahwa Walaupun Terdapat Perbedaan Pandangan, Pada Tahun 1980, Majelis Ulama Indonesia (Mui) Telah Mengeluarkan Fatwa Yang Ditandatangani Oleh Prof. Dr. Hamka Mengenai Pernikahan Antara Individu Yang Berbeda Agama. Dalam Fatwa Tersebut, Mui Mengumumkan Bahwa: (1) "Pernikahan Antara Wanita Muslim Dengan Pria Non-Muslim Diharamkan Secara Hukum," Dan (2) "Pria Muslim Dilarang Untuk Menikahi Wanita Non-Muslim." Tentang Perkawinan Antara Pria Muslim Dan Wanita Ahli Kitab, Terdapat Perbedaan Pendapat. Setelah Pertimbangan Yang Mendalam, Mui Menyatakan Bahwa Perkawinan Semacam Itu Hukumnya Diharamkan, Karena Kerugian Yang Mungkin Timbul Dianggap Lebih Besar Daripada Manfaat Yang Dapat Diperoleh. Atho Mudzhar Mencatat Bahwa Ada Hal Menarik Dalam Fatwa Ini, Yaitu Alqur'an Secara Eksplisit Memperbolehkan Seorang Pria Muslim Untuk Menikahi Seorang Perempuan Dari Kalangan Ahli Kitab, Namun Fatwa Mui Justru Melarangnya Dengan Alasan Mafsadah (Harm). Fatwa Mui Ini Ditegaskan Kembali Melalui Penerbitan Fatwa Mui Nomor: 4/Munas Vii/Mui/8/2005 Pada Tanggal 28 Juli 2005. Substansi Dari Fatwa Ini Sebenarnya Tidak Jauh Berbeda Dengan Yang Dikeluarkan Pada Tahun 1980. Fatwa Mui Tersebut Menegaskan Bahwa Perkawinan Beda Agama Dianggap Haram Dan Tidak Sah.

Menurut Pandangan Penulis, Fatwa Mui Ini Merupakan Keputusan Yang Bijaksana Dan Relevan Dengan Konteks Indonesia Saat Ini, Mengingat Penurunan Nilai-Nilai Keislaman Di Tengah Masyarakat Muslim, Permasalahan Moral Dan Iman Yang Semakin Meningkat Akibat Kompleksitas Dan Globalisasi Kehidupan. Dalam Pandangan Penulis, Kerugian Atau Dampak Negatif (Mafsadat) Yang Mungkin Terjadi Akibat Pernikahan Antara Seorang Muslim Dengan Non-Muslim Jauh Lebih Besar Daripada Manfaat Yang Mungkin Diperoleh. Meskipun Ada Pandangan Beberapa Ulama Yang Memperbolehkan Seorang Pria Muslim Menikahi Wanita Ahli Kitab, Seperti Yahudi Atau Kristen, Sulit Untuk Menemukan Pria Yang Memiliki Keyakinan Dan Iman Yang Kuat, Sehingga Dapat Membimbing Istrinya Yang Beragama Ahli Kitab Dengan Benar, Sebagaimana Yang Dilakukan Oleh Beberapa Sahabat Sebelum Larangan Yang Dienforced Oleh Khalifah Umar Ibn Khattab. Terlebih Lagi, Jika Konsep Ahli Kitab Diperluas, Sebagaimana Yang Dijelaskan Oleh Rasyd Ridha, Yang Tidak Hanya Mencakup Agama Yahudi Dan Kristen, Melainkan Juga Wanita Yang Menganut Agama Ardhi, Seperti Hindu Dan Buddha, Hal Ini Telah Menjadi Landasan Pemikiran Bagi Beberapa Sarjana Islam Di Indonesia Untuk Mendukung Pernikahan Beda Agama.

Imam Al-Ghazali Mengungkapkan Bahwa Pada Prinsipnya, Al-Maslahah Adalah Tentang Mencari Manfaat Dan Menghindari Kerugian Dengan Tujuan Untuk Memelihara Dan Menjaga Maqaṣid Alsyari‘Ah (Tujuan-Tujuan Syariah). Istilah Al-Maṣlaḥah Pada Dasarnya Bermakna Mencari Keuntungan Dan Menghindari Kerugian. Dalam Konteks Teori Al-Maslahat Imam Ghazali Ini, Jelas Bahwa Memelihara Agama Merupakan Prioritas Utama Dibandingkan Dengan Hal Lainnya. Dampak Dari Pernikahan Seorang Pria Muslim Dengan Wanita Non-Muslim Seringkali Menciptakan Konflik Yang Berkelanjutan Dan Dapat Merusak Tujuan Pernikahan, Yaitu Membentuk Keluarga Yang Penuh Kedamaian, Kasih Sayang, Dan Rahmat. Kemungkinan Terjadinya Apostasi Di Kalangan Umat Islam Akibat Pernikahan Beda Agama Tidak Lagi Menjadi Rahasia, Terutama Jika Seorang Pria Muslim Dengan Keimanan Yang Lemah Menikahi Wanita Non-Muslim Yang Militan Dan Fanatik Dalam Agamanya.

B. Pandangan Empat Madzhab Terhadap Pernikahan Beda Agama

Saat Ini, Terdapat Banyak Madzhab Yang Tersebar Di Seluruh Dunia. Namun, Yang Paling Terkenal Dan Paling Banyak Diikuti Adalah Empat Madzhab Utama, [5] Yaitu Madzhab Hanafi, Madzhab Maliki, Madzhab Syafi'i, Dan Madzhab Hambali. [6]

1. Madzhab Hanafi

Imam Abu Hanifah Berpendapat Bahwa Perkawinan Antara Seorang Pria Muslim Dan Seorang Wanita Musyrik Adalah Mutlak Haram. Namun, Ia Mengizinkan Perkawinan Antara Seorang Pria Muslim Dengan Seorang Wanita Ahli Kitab, Bahkan Jika Wanita Ahli Kitab Tersebut Mempercayai Konsep Trinitas (Doktrin Tentang Tiga Pribadi Dalam Tuhan, Yang Bertentangan Dengan Pemahaman Islam). Dalam Konteks Madzhab Hanafi, Istilah "Ahli Kitab" Merujuk Kepada Siapa Pun Yang Mempercayai Salah Satu Agama Samawi Dan Mengakui Kitab Suci Yang Pernah Diturunkan Oleh Allah Swt.

Namun, Menurut Pandangan Ulama Hanafi, Jika Seorang Wanita Ahli Kitab Tinggal Di Wilayah Yang Tunduk Pada Hukum Islam, Disarankan Agar Pria Muslim Menghindari Perkawinan Dengan Wanita Tersebut (Dikategorikan Sebagai "Makruh"). Lebih Lanjut, Jika Wanita Ahli Kitab Tinggal Di Wilayah Yang Sedang Berperang Atau Terjadi Konflik Dengan Islam, Menurut Pandangan Madzhab Hanafi, Perkawinan Semacam Itu Tidak Diperbolehkan Karena Dapat Menimbulkan Fitnah (Kesulitan).

Para Ulama Dari Madzhab Hanafi Mengizinkan Pria Muslim Untuk Menikahi Wanita Ahli Kitab, Baik Dari Kalangan Bani Israil Atau Bukan, Dan Baik Yang Merdeka Maupun Budak. Akan Tetapi, Persetujuan Ini Diberikan Dengan Syarat Bahwa Pria Muslim Tersebut Memiliki Iman Yang Kuat Dan Tidak Terancam Untuk Meninggalkan Keyakinannya Karena Perbedaan Agama Dengan Wanita Ahli Kitab. Pria Muslim Tetap Diharapkan Menjadi Teladan Dalam Rumah Tangganya, Menjalankan Ketaatan Kepada Allah Swt, Baik Bagi Keluarganya Maupun Keluarga Istrinya.

Pendapat Imam Abu Hanifah Tentang Keharaman Menikahi Wanita Musyrik Didasarkan Pada Ayat Al-Qur'an Surah Al-Baqarah Ayat 221, Sementara Izin Untuk Menikahi Wanita Ahli Kitab Didasarkan Pada Ayat Al-Qur'an Surah Al-Maidah Ayat 5. Meskipun Pendapat Ini Memungkinkan, Menurut Madzhab Hanafi, Perkawinan Semacam Itu Tetap Dikategorikan Sebagai "Makruh," Atau Dianjurkan Untuk Dihindari.

2. Madzhab Maliki

Menurut Madzhab Maliki, Perkawinan Antara Seorang Pria Muslim Dan Seorang Wanita Musyrik, Begitu Juga Sebaliknya, Dianggap Haram. Imam Malik Memiliki Dua Pandangan Tentang Perkawinan Beda Agama. Pertama, Ia Berpendapat Bahwa Menikahi Wanita Ahli Kitab (Yang Mengikuti Agama Samawi Dan Memiliki Kitab Suci) Adalah Makruh Mutlak, Baik Wanita Tersebut Adalah Dzimmiyah (Tinggal Di Wilayah Yang Tunduk Pada Hukum Islam) Atau Harbiyah (Tinggal Di Wilayah Yang Sedang Berperang Dengan Islam). Namun, Jika Ada Kekhawatiran Bahwa Wanita Ahli Kitab Tersebut Akan Memengaruhi Anak-Anaknya Untuk Meninggalkan Agama Ayahnya, Maka Perkawinan Semacam Itu Dianggap Haram.

Imam Malik Menggunakan Metode Pendekatan Yang Dimaksud Untuk Menutup Jalan Yang Mengarah Pada Keburukan (Saddu Zari’ah), [7] Sehingga Jika Khawatir Kemafsadatan (Kerusakan) Akan Muncul Dalam Sebuah Pernikahan Beda Agama (Dengan Perempuan Ahli Kitab). Maka Diharamkan Sehingga Jika Ada Kekhawatiran Bahwa Perkawinan Beda Agama, Khususnya Dengan Wanita Ahli Kitab, Akan Menimbulkan Kerusakan, Maka Perkawinan Tersebut Diharamkan.

Madzhab Maliki Juga Berpendapat Bahwa Makruh Menikahi Wanita Ahli Kitab Yang Adalah Dzimmiyah, Terutama Jika Mereka Tinggal Di Wilayah Islam. Hal Ini Disebabkan Karena Meskipun Mereka Tunduk Pada Hukum Islam, Mereka Masih Diperbolehkan Untuk Mengonsumsi Minuman Beralkohol (Khamr), Memakan Daging Babi, Dan Menghadiri Gereja, Yang Merupakan Tindakan Yang Bertentangan Dengan Ajaran Islam, Sedangkan Suami Mereka Sebagai Muslim Harus Menghindari Hal Tersebut. Dikhawatirkan Bahwa Hal Ini Akan Memengaruhi Pendidikan Anak-Anak Mereka Dan Menyebabkan Mereka Menjauh Dari Ajaran Agama Ayahnya. Selain Itu, Perkawinan Dengan Wanita Ahli Kitab Yang Berada Di Dar Al-Harb (Wilayah Yang Tidak Tunduk Pada Hukum Islam) Dianggap Lebih Berisiko, Karena Mereka Tidak Tunduk Pada Hukum Islam Dan Perilaku Mereka Yang Bertentangan Dengan Islam Dapat Mempengaruhi Suami Muslim Dan Anak-Anak Mereka, Mendorong Mereka Untuk Memeluk Agama Lain Selain Islam.

3. Madzhab Syafi’i

Madzhab Syafi'i Adalah Salah Satu Dari Empat Madzhab Utama Dalam Islam Dan Didirikan Oleh Abu Abdullah Muhammad Bin Idris Asy-Syafi'i, Yang Lebih Dikenal Sebagai Imam Syafi'i. Madzhab Syafi'i Muncul Pada Pertengahan Abad Ke-2 Hijriyah. Dalam Karyanya Yang Terkenal, Al-Umm, Imam Syafi'i Menyatakan Pandangannya Mengenai Perkawinan Antara Individu Dari Agama Yang Berbeda.

Imam Syafi'i Berpendapat Bahwa Perkawinan Antara Seorang Pria Muslim Dengan Seorang Wanita Musyrik Atau Seorang Wanita Muslim Dengan Seorang Pria Musyrik Adalah Haram, Dan Dalam Hal Ini, Semua Ulama Sepakat Dalam Mengharamkannya. Menurut Pemahaman Imam Syafi'i, Bahkan Wanita Muslim Yang Terlibat Dalam Perbuatan Zina Juga Tidak Dihalalkan Untuk Pria Musyrik, Penyembah Berhala, Atau Pria Ahli Kitab.

Imam Syafi'i Juga Menjelaskan Bahwa Allah Swt Memberikan Keringanan (Rukhsah) Melalui Surah Al-Maidah Ayat 5 Setelah Turunnya Surah Al-Mumtahanah Ayat 10. Ini Memungkinkan Perkawinan Dengan Wanita Merdeka Dari Kalangan Ahli Kitab. Menurut Pemikiran Imam Syafi'i, Larangan Allah Tentang Perkawinan Dengan Perempuan Budak Mereka Merupakan Alasan Mengapa Hal Ini Diperbolehkan.

Imam Syafi'i Juga Berpendapat Bahwa Setiap Muslim Diizinkan Untuk Menikahi Perempuan Merdeka Dari Kalangan Ahli Kitab, Tanpa Pengecualian. [8] Yang Termasuk Dalam Golongan Perempuan Ahli Kitab Yang Dapat Dinikahi Adalah Perempuan Yahudi Dan Nasrani Dari Bani Israil. Imam Syafi'i Menekankan Bahwa Yang Dimaksud Dengan Perempuan Israil Adalah Mereka Yang Telah Memeluk Agama Yahudi Sebelum Turunnya Wahyu Al-Qur'an Kepada Nabi Muhammad Saw. Namun, Jika Diketahui Bahwa Mereka Bertentangan Dengan Ajaran Al-Qur'an Dalam Hal Apa Yang Dihalalkan Dan Diharamkan, Maka Hukumnya Menjadi Haram Menikahi Perempuan-Perempuan Tersebut, Serupa Dengan Perempuan-Perempuan Majusi.

Imam Syafi'i Juga Berpendapat Bahwa Menikahi Budak Perempuan Ahli Kitab Hukumnya Haram Menurut Madzhab Ini.

4. Madzhab Hambali

Madzhab Hambali, Yang Didirikan Oleh Imam Ahmad Bin Hanbal, Adalah Salah Satu Madzhab Utama Dalam Islam Dan Merupakan Salah Satu Madzhab Yang Sangat Dihormati Dalam Sejarah Peradaban Islam. Imam Ahmad Bin Hanbal Adalah Seorang Ulama Besar Dan Intelektual Muslim Yang Memainkan Peran Penting Dalam Perkembangan Pemikiran Islam. Imam Hanbal Adalah Murid Dari Imam Syafi'i, Dan Meskipun Terdapat Kesamaan Antara Madzhab Hambali Dan Madzhab Syafi'i, Terdapat Beberapa Perbedaan Penting Dalam Pandangan Mereka Mengenai Perkawinan Antara Individu Dari Agama Yang Berbeda.

Menurut Madzhab Hambali, Perkawinan Dengan Laki-Laki Dan Perempuan Musyrik Yang Berarti Mereka Yang Menyekutukan Allah Swt Adalah Haram. Namun, Madzhab Hambali Memperbolehkan Perkawinan Dengan Perempuan Ahli Kitab Dari Kalangan Yahudi Dan Nasrani. Mereka Juga Berpendapat Bahwa Tidak Boleh Menikahi Budak Perempuan Ahli Kitab, Karena Mereka Memahami Bahwa Ayat "Al-Muhshanat" Dalam Surah Al-Maidah Ayat 5 Merujuk Pada Perempuan Ahli Kitab Yang Merdeka. [9]

Menurut Madzhab Hambali, Ahli Kitab Adalah Ahl At-Taurah Dan Ahl Al-Injil, Yaitu Umat Yahudi, Orang-Orang Nasrani, Dan Orang-Orang Yang Mengikuti Ajaran Usuluddin. Mereka Berpendapat Bahwa Perempuan Ahli Kitab Yang Mengikuti Kitab Zabur, Shuhuf Ibrahim, Dan Syits Tidak Boleh Dinikahi, Karena Mereka Dianggap Bukan Termasuk Dalam Golongan Ahli Kitab.

Imam Hambali Mengklarifikasi Bahwa Pendapatnya Tentang Pembolehan Pernikahan Dengan Perempuan Ahli Kitab Berlaku Pada Zaman Mereka. Namun, Pada Zaman Sekarang, Imam Hambali Mungkin Akan Mengharamkan Perkawinan Beda Agama, Baik Dengan Orang Musyrik Maupun Dengan Ahli Kitab. Ini Disebabkan Oleh Perubahan Dalam Pemahaman Dan Keyakinan Perempuan Ahli Kitab Pada Zaman Sekarang, Di Mana Banyak Dari Mereka Tidak Memahami Isi Dan Kandungan Kitab-Kitab Mereka Sebagaimana Yang Terjadi Pada Zaman Dahulu.

Meskipun Ada Perbedaan Pendapat Di Antara Madzhab-Madzhab Tersebut, Para Ulama Islam Telah Sepakat Dalam Fatwa Yang Menyatakan Bahwa Perkawinan Beda Agama Adalah Haram Dan Tidak Sah. Ini Termasuk Perkawinan Laki-Laki Muslim Dengan Perempuan Ahli Kitab, Yang Menurut Qaul Mu'tamad (Pendapat Mayoritas) Juga Dianggap Haram Dan Tidak Sah Menurut Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 4/Munas Vii/Mui/2005.

C. Dampak Pernikahan Beda Agama Dalam Perspektif Hukum Islam

Pernikahan Beda Agama Sering Terjadi Di Indonesia, Yang Memiliki Keragaman Ras, Suku, Dan Agama. Hal Ini Dapat Berdampak Negatif, Terutama Dalam Hal Dampak Psikologis Bagi Kedua Pasangan Dan Perkembangan Keagamaan Anak-Anak Mereka. Pernikahan Beda Agama Dapat Memicu Konflik Internal, Terutama Di Antara Pasangan Yang Berbeda Keyakinan. Resiko Pernikahan Beda Agama Mencakup Masalah Keabsahan Pernikahan, Pencatatan Pernikahan, Status Anak, Hak Dan Kedudukan Anak, Hingga Potensi Masalah Terkait Dengan Warisan.

Beberapa Dampak Negatif Dari Pernikahan Beda Agama Termasuk:

1. Kelahiran Keturunan Dengan Nasab Yang Tidak Jelas, Karena Menurut Hukum Islam, Pernikahan Beda Agama Dianggap Tidak Sah, Sehingga Anak Yang Lahir Dari Pernikahan Tersebut Disebut Sebagai Anak Garis Ibu, Yang Berarti Nasab Anak Terputus Dari Bapak Biologisnya.

2. Terputusnya Hak Waris, Karena Perbedaan Agama Antara Pewaris Dan Ahli Waris Dapat Menyebabkan Terputusnya Hak Waris Seseorang.

3. Menciptakan Ketidakpastian Dalam Pemilihan Agama Bagi Anak-Anak, Karena Orang Tua Yang Berbeda Keyakinan Cenderung Memberikan Kebebasan Kepada Anak-Anak Mereka Untuk Memilih Agama. Namun, Kebebasan Ini Dapat Menjadi Beban Psikologis Bagi Anak-Anak.

Dalam Islam, Pendidikan Aqidah Islamiyah, Yaitu Dasar Dari Keimanan Seseorang Kepada Allah Swt, Merupakan Hal Yang Sangat Penting Dan Harus Diajarkan Kepada Anak-Anak Sejak Dini. Oleh Karena Itu, Islam Memandang Pernikahan Beda Agama Sebagai Sesuatu Yang Berpotensi Menimbulkan Konflik Dalam Rumah Tangga Karena Perbedaan Prinsip Dan Keyakinan, Yang Pada Gilirannya Dapat Mempengaruhi Pendidikan Agama Anak-Anak. Selain Itu, Seorang Muslim Dapat Terpengaruh Dan Bahkan Berpindah Agama Karena Dampak Dari Pasangannya Yang Memiliki Keyakinan Yang Berbeda.

Dalam Konteks Ini, Muhammadiyah Telah Menarik Kesimpulan Bahwa Laki-Laki Muslim Sebaiknya Tidak Menikahi Perempuan Ahli Kitab Pada Saat Ini. Mereka Berpendapat Bahwa Ahli Kitab Saat Ini Memiliki Keyakinan Yang Berbeda Dengan Ahli Kitab Pada Zaman Nabi Muhammad Saw, Sehingga Pernikahan Beda Agama Diyakini Tidak Akan Mewujudkan Keluarga Yang Sakinah, Yang Merupakan Tujuan Utama Dalam Pernikahan Menurut Islam.Pengajaran Islam Yang Termaktub Dalam Alquran Menyatakan Bahwa Salah Satu Maksud Utama Pernikahan Adalah Untuk Membentuk Keluarga Yang Hidup Dengan Harmoni Dan Penuh Damai. Kata "Sakinah" Digunakan Dalam Alquran, Qs Al-Rum/30:21, Yang Memiliki Arti Ketentraman Atau Kenyamanan. Namun, Isu Pernikahan Beda Agama Tetap Menjadi Sumber Kontroversi Di Kalangan Ulama. Beberapa Ulama Berpendapat Bahwa Pernikahan Beda Agama Dianggap Haram Dan Tidak Dapat Menciptakan Keluarga Yang Sakinah. Pendapat Ini Berasal Dari Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (Mui) Yang Mendasarkannya Pada Prinsip Fikih, Yaitu Bahwa Mencegah Kerusakan Diutamakan Daripada Mendapatkan Keuntungan, Serta Prinsip Sadd Al-Zarî’ah.

Dengan Merujuk Kepada Prinsip-Prinsip Ini, Mui Berpendapat Bahwa Pernikahan Antara Individu Dengan Agama Yang Berbeda Memiliki Konsekuensi Yang Tidak Menguntungkan Dan Tidak Sejalan Dengan Maksud Pernikahan Dalam Islam, Sehingga Perlu Dihindari. Tindakan Pencegahan Ini Disebut Sebagai Sadd Al-Zarî’ah. Prinsip Ini Menekankan Perlunya Mencegah Segala Bentuk Jalan Atau Sarana Yang Berpotensi Merusak Agar Dapat Mencapai Kebahagiaan. [10] Dalam Mengkaji Pandangan Ulama Tentang Pernikahan Antar Agama Yang Dianggap Tidak Dapat Mencapai Tujuan Pernikahan Yang Harmonis, Bisa Dianalisis Melalui Dua Pendekatan, Yaitu Perspektif Hukum Islam Dan Konsep Kebahagiaan. Menurut Prinsip Utilitarianisme, Kebahagiaan Merupakan Asas Utama. Utilitarianisme Ialah Suatu Pandangan Etika Yang Mengemukakan Bahwa Tindakan Yang Dianggap Baik Adalah Tindakan Yang Mengakibatkan Paling Banyak Kebahagiaan Dan Kesejahteraan Bagi Seluruh Individu Yang Terdampak Olehnya. Dalam Utilitarianisme, Manfaat Atau Prinsip Kebahagiaan Yang Paling Besar Dianggap Sebagai Dasar Hukum, Dan Tindakan Dianggap Benar Jika Mereka Cenderung Meningkatkan Kebahagiaan, Dan Salah Jika Mereka Cenderung Mengurangi Kebaikan Dan Kebahagiaan.

Saat Menilai Kebahagiaan Dalam Konteks Utilitarianisme, Ini Dilakukan Dengan Memperhitungkan Sejauh Mana Tindakan Tersebut Memberikan Manfaat Yang Signifikan. Penentuan Tingkat Manfaat Yang Besar Ini Juga Sangat Tergantung Pada Penilaian Rasional Manusia, [11] Yang Sering Disebut Sebagai Pandangan Yang Berpusat Pada Manusia. Sesuai Dengan Prinsip Manfaat Ini, Kebahagiaan Dianggap Lebih Diinginkan Dan Berharga Daripada Hal Lainnya. Misalnya, Jika Ada Dua Jenis Kebahagiaan Yang Harus Dipilih, Stuart Mill, Seorang Pemikir Utilitarianisme, Akan Menganjurkan Memilih Salah Satu Daripadanya Daripada Memilih Keduanya. Menurutnya, Lebih Benar Untuk Menganggap Bahwa Kesukacitaan Yang Lebih Diinginkan Berasal Dari Tingkat Kualitas Yang Lebih Tinggi, Sehingga Kebahagiaan Yang Lebih Tinggi Diukur Berdasarkan Kualitasnya Daripada Kuantitasnya. Selain Itu, Utilitarianisme Sangat Menekankan Tingginya Kedudukan Manusia Karena Kesadaran Yang Dimilikinya. Manusia Dianggap Lebih Tinggi Daripada Hewan Karena Kemampuannya Untuk Menyadari Dan Berusaha Mencapai Kebahagiaan Dengan Segala Daya Upayanya, Termasuk Penggunaan Akal Pikiran. Meskipun Manusia Kadang-Kadang Mengalami Keluhan Dan Kegelisahan Selama Perjuangan Mereka Untuk Mencapai Kepuasan, Hal Ini Tidak Dapat Menyebabkan Manusia Dianggap Kurang Bahagia Daripada Binatang Yang Tidak Memiliki Kesadaran Atau Kemampuan Untuk Mengeluh.

Menurut Pandangan Wahbah Al-Zuhailî, Larangan Pernikahan Beda Agama Disebabkan Oleh Kurangnya Harmoni, Ketenangan, Dan Kerjasama Antara Suami Dan Istri Dalam Pernikahan Semacam Itu. Perbedaan Keyakinan Agama Dapat Menimbulkan Kegelisahan Dan Ketidaktenangan, Serta Memicu Konflik Di Antara Pasangan Suami-Istri. Dengan Demikian, Gangguan Tersebut Mengakibatkan Fondasi Pernikahan Yang Seharusnya Diletakkan Di Atas Kasih Sayang Dan Cinta Menjadi Terganggu, Sehingga Tujuan Untuk Mencapai Ketenangan Dan Stabilitas Tidak Dapat Terwujud.

Selain Itu, Ketidakadaan Keyakinan Dalam Agama Tertentu Dapat Membuat Seorang Wanita Lebih Rentan Terhadap Tindakan Pengkhianatan Dalam Rumah Tangga, Serta Mengakibatkan Kerusakan Dan Perilaku Buruk. Hal Ini Dapat Menyebabkan Hilangnya Integritas, Kejujuran, Dan Moral Dalam Dirinya, Ketidakpastian Dalam Keyakinan Agamanya Mendorongnya Untuk Cenderung Mempercayai Hal-Hal Takhayul Dan Menggantikannya Dengan Imajinasi. Selain Itu, Ia Juga Lebih Rentan Terpengaruh Oleh Dorongan Hawa Nafsu Dan Perilaku Yang Tidak Etis Karena Tidak Memiliki Panduan Agama Yang Jelas. Tanpa Dorongan Untuk Memiliki Iman Kepada Allah, Mempercayai Hari Kiamat, Menjalani Hisab (Perhitungan Amal), Dan Memahami Hari Kebangkitan, Ia Merasa Kehilangan Arah Dalam Kehidupannya.

D. Kontroversi Pernikahan Beda Agama Dalam Perspektif Hukum Positif Indonesia

Sebelum Diberlakukannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Indonesia Mengadopsi Sistem Hukum Belanda Yang Dikenal Sebagai Regeling Op De Gemengde Huwelijken (Ghr), Yang Sering Disebut Sebagai Perkawinan Campuran. Dalam Konteks Ini, Perkawinan Campuran Mengacu Pada Pernikahan Antara Individu Indonesia Yang Tunduk Pada Hukum Yang Berbeda. Meskipun Demikian, Indonesia Perlu Mengatasi Isu Perkawinan Campuran, Termasuk Perkawinan Antar Agama, Meskipun Pada Dasarnya Perkawinan Beda Agama Tidak Termasuk Dalam Kategori Perkawinan Campuran.

Dengan Diberlakukannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Sebagai Bagian Dari Upaya Untuk Menyatukan Hukum Pernikahan Yang Mengharuskan Semua Pernikahan Tunduk Pada Satu Hukum Positif, Terdapat Dualisme Yang Masih Ada Dalam Praktiknya. Hal Ini Tercermin Dalam Pasal 2 Ayat (1), Yang Masih Menekankan Keberlakuan Hukum Agama. Pasal Ini Juga Dianggap Sebagai Hambatan Dalam Konteks Pernikahan Beda Agama. Namun, Pandangan Lain Menginterpretasikan Bahwa Jenis Perkawinan Tersebut Tidak Sesuai Dengan Persyaratan Hukum, Karena Hak Untuk Menjalankan Agama Adalah Hak Dasar Yang Dijamin Oleh Pasal 29 Ayat (2) Konstitusi Uud 1945.

Adapun, Ada Pendapat Yang Berpendapat Bahwa Perkawinan Antara Individu Berbeda Agama Dapat Diakui Selama Dilangsungkan Sesuai Dengan Agama Salah Satu Dari Pasangan Tersebut. Sebagai Alternatif, Ada Opsi Lain Untuk Melegalisasi Perkawinan Pasangan Yang Berbeda Agama, Seperti Mengajukan Permohonan Penetapan Pernikahan Kepada Pengadilan, Melangsungkan Pernikahan Sesuai Dengan Agama Individu Masing-Masing, Melakukan Penyesuaian Sementara Dengan Salah Satu Ajaran Agama, Atau Bahkan Menikah Di Luar Negeri. [12]

Catatan Sejarah Perkawinan Di Indonesia Mengungkapkan Perjalanan Yang Berkepanjangan Dan Penuh Kontroversi, Terutama Dalam Hal Apakah Seharusnya Ada Satu Undang-Undang Yang Universal Untuk Semua Agama Ataukah Undang-Undang Yang Berbeda Untuk Masing-Masing Kelompok Agama. Rencana Awal Revisi Undang-Undang Perkawinan Pertama Kali Diselesaikan Pada Tahun 1952 Dan 1954. Kemudian, Ada Dua Naskah Rancangan Undang-Undang (Ruu) Perkawinan Yang Dibahas Oleh Lembaga Legislatif Indonesia Pada Tahun 1958-1959. Salah Satunya Berfokus Pada Penyatuan Peraturan Perkawinan, Sementara Yang Lain Memiliki Ketentuan Terpisah Untuk Berbagai Agama. Namun, Sayangnya, Tidak Ada Dari Keduanya Yang Berhasil Disahkan. Terdapat Juga Dua Naskah Rancangan Undang-Undang Perkawinan Tambahan Yang Disusun Pada Tahun 1967 Dan 1968, Tetapi Sekali Lagi, Keduanya Juga Gagal Untuk Mendapatkan Persetujuan Dan Menjadi Undang-Undang.

Ruu Berikutnya Yang Diajukan Pada Tahun 1973 Memicu Perdebatan Yang Signifikan. Salah Satu Isu Utama Yang Menjadi Pusat Perdebatan Adalah Perselisihan Antara Mereka Yang Mendukung Dan Menentang Praktek Poligami, Serta Permasalahan Perkawinan Campuran Antaragama. Ruu Tersebut Telah Menciptakan Polemik Yang Intens Di Dpr, Dan Sejumlah Pelajar Universitas Yang Beragama Islam Juga Telah Mengeluarkan Protes. Gerakan Ini Dipengaruhi Oleh Semangat Aktivis Soewarni Djojoseputro, Seorang Wanita Yang Memainkan Peran Penting Dalam Organisasi Jong Java Pada Tahun 1930. [13] Konflik Muncul Karena Adanya Pertentangan Antara Usaha Untuk Memperjuangkan Kesetaraan Dan Hak-Hak Perempuan Di Satu Pihak, Dan Upaya Untuk Mengenalkan Unsur-Unsur Syariah Di Pihak Lain. Akhirnya, Akibat Dari Pertentangan Yang Berat Dan Potensi Ancaman Terhadap Ketertiban Masyarakat Yang Serius, Suatu Peraturan Yang Telah Mengalami Modifikasi Secara Resmi Diundangkan Pada Tanggal 2 Januari 1974. Peraturan Tersebut Mengizinkan Poligami, Tetapi Dengan Pengecualian Bagi Aparatur Sipil Negara, Serta Mencabut Ketentuan Yang Sebelumnya Mengizinkan Pernikahan Lintas Agama Secara Spesifik.

Pasal 2 Ayat (1) Dalam Undang-Undang Perkawinan Menyatakan Bahwa Setiap Perkawinan Wajib Didokumentasikan Secara Resmi Sesuai Dengan Ketentuan Hukum Yang Berlaku. Secara Esensial, Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Perkawinan Mengindikasikan Bahwa Sahnya Sebuah Perkawinan Tergantung Pada Ketaatan Terhadap Ajaran Agama Dan Keyakinan Pribadi Para Calon Mempelai. Beberapa Pakar Hukum Telah Mengartikan Klausa Ini Dalam Konteks Yang Merugikan (Mafhum Mukhalafah), Yang Berimplikasi Bahwa Perkawinan Menjadi Tidak Sah Jika Dilangsungkan Tanpa Memperhatikan Keyakinan Agama Pasangan. Interpretasi Ini Sejalan Dengan Penjelasan Dalam Pasal Tersebut, Yang Menyatakan Bahwa, Melalui Perumusan Pasal 2 Ayat (1), Tak Satu Pun Perkawinan Dianggap Sah Jika Melanggar Batasan Agama Dan Keyakinan, Sesuai Dengan Ketentuan Undang-Undang Dasar 1945.

Dalam Praktiknya, Perkawinan Memiliki Dua Aspek Penting Yang Harus Dipenuhi Untuk Dianggap Sah, Yaitu Validitas Dari Perspektif Hukum Negara Dan Juga Validitas Dari Sudut Pandang Agama. [14] Pernikahan Yang Tidak Didaftarkan Secara Resmi Di Badan Yang Berwenang Dapat Berpotensi Menghadapi Konsekuensi Hukum Bagi Kedua Individu Yang Bersangkutan, Termasuk Segala Aspek Berikut Ini:

1. Status Pernikahan Yang Telah Diresmikan Sesuai Dengan Keyakinan Agama Dan Pandangan Pribadi Dianggap Sah Oleh Agama, Namun Tidak Mendapatkan Pengakuan Resmi Dari Pemerintah. Akibatnya, Tidak Ada Kepastian Hukum Karena Tidak Ada Dokumen Otentik Seperti Akta Pernikahan Yang Dapat Dijadikan Bukti Sah.

2. Ketika Seorang Anak Dilahirkan Dari Perkawinan Semacam Itu, Statusnya Menjadi Tidak Jelas Dan Bisa Dianggap Sebagai Anak Di Luar Nikah, Sesuai Dengan Penjelasan Mengenai Anak Dalam Pasal 42 Dan Pasal 43 Uu Perkawinan.

3. Dalam Aspek Harta Dan Kekayaan, Situasi Ini Mungkin Menciptakan Ketidakjelasan Mengenai Status Harta Pribadi Dan Harta Bersama, Sehingga Menghadirkan Tantangan Bagi Kedua Belah Pihak Saat Ingin Mengajukan Permohonan Pembagian Harta Bersama Ke Pengadilan.

Kriteria Yang Mengatur Perkawinan Dapat Dibedakan Menjadi Dua Aspek, Yakni Persyaratan Substantif Dan Persyaratan Formal. Persyaratan Substantif Berkaitan Dengan Atribut Personal Individu Yang Hendak Menikah. Ini Meliputi Persyaratan Substantif Mutlak Yang Menggariskan Ketentuan Umum Yang Diuraikan Dalam Pasal 6 Dan Pasal 7 Uu Perkawinan, Serta Persyaratan Substantif Relatif Yang Mencakup Larangan Menikah Dengan Individu Tertentu Sesuai Ketentuan Yang Terdapat Dalam Pasal 8 Hingga Pasal 11 Uu Perkawinan. Dalam Konteks Pembagian Harta Bersama, Penting Untuk Diingat Bahwa Mengajukan Tuntutan Tersebut Ke Pengadilan Dapat Menyebabkan Pembatalan Bagi Kedua Belah Pihak. Sementara Itu, Syarat Formil Berfokus Pada Prosedur Pernikahan Yang Harus Diikuti Sesuai Dengan Ajaran Agama Dan Undang-Undang, Seperti Yang Dijelaskan Dalam Pasal 12 Uu Perkawinan.

Di Berbagai Penjuru Dunia, Beragam Pandangan Menghubungkan Pernikahan Dengan Aspek Pribadi Karena Hubungannya Dengan Kebahagiaan Dan Arah Hidup Individu. Oleh Karena Itu, Regulasi Perkawinan Tidak Dapat Mempertimbangkan Perbedaan Keyakinan. [15] Beberapa Kasus Perkawinan Antar Agama Dilakukan Di Luar Negeri Untuk Menghindari Penerapan Hukum Negara Asal, Tindakan Ini Dapat Dianggap Sebagai "Penyelundupan Hukum," [16] Karena Perkawinan Tetap Terjadi Dengan Perbedaan Agama, Dilaksanakan Berdasarkan Hukum Negara Lain, Tetapi Tetap Mengharapkan Pengakuan Atas Keabsahan Perkawinan Tersebut Di Indonesia. Lembaga Perkawinan Di Indonesia Dianggap Sebagai Sesuatu Yang Sangat Suci Dan Memiliki Dimensi Yang Lebih Dari Sekadar Hubungan Perdata (Fisik) Antara Dua Individu. Ide Ini Dinyatakan Dalam Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan, Yang Mengindikasikan Bahwa Perkawinan Melibatkan Keterhubungan Fisik Dan Emosional Antara Individu Yang Berasal Dari Prinsip Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sebagai Hasilnya, Semua Aspek Dari Perkawinan Diharapkan Mencerminkan Nilai-Nilai Keagamaan. Di Samping Itu, Pernikahan Yang Terjadi Di Luar Negeri Mungkin Tidak Selalu Mengikuti Prosedur Serupa Dengan Yang Berlaku Di Indonesia. Pernikahan Di Indonesia Biasanya Diselenggarakan Sesuai Dengan Tata Cara Agama Tertentu, Seperti Prosesi Ijab Kabul Dalam Islam Yang Dilakukan Di Hadapan Seorang Penghulu Atau Petugas Yang Berwenang, Atau Pengucapan Sumpah Setia Dalam Agama Kristen Yang Dipimpin Oleh Seorang Pendeta Atau Pastor, Dan Lain Sebagainya. Setiap Agama Juga Memiliki Prosedur Unik Sesuai Dengan Keyakinan Mereka Sendiri. Namun, Pernikahan Yang Terjadi Di Luar Negeri Bisa Mendapatkan Pengakuan Dan Pencatatan Resmi Di Kantor Catatan Sipil Setempat. Indikasi Ini Menunjukkan Bahwa Bila Suatu Ikatan Pernikahan Telah Terdaftar Oleh Otoritas Resmi Suatu Negara, Maka Secara Hukum Pernikahan Tersebut Diakui Sah, Meskipun Mungkin Tidak Sesuai Dengan Norma-Norma Keagamaan Yang Berlaku. Dalam Kerangka Ini, Ada Dua Regulasi Yang Berselisih Terkait Validitas Pernikahan Lintas Agama Yang Terjadi Di Luar Batas Negara.

Di Indonesia, Sebagai Suatu Negara Yang Berprinsip Pada Hukum, Tata Cara Penerapan Nasionalitas Bagi Warga Negara Yang Menikah Di Luar Negeri Telah Diatur Secara Menyeluruh Oleh Pasal 56 Ayat (1) Uu Kewarganegaraan. Aturan Ini Dengan Tegas Menegaskan Bahwa Warga Negara Indonesia Diwajibkan Mematuhi Ketentuan Hukum Yang Berlaku, Terutama Terkait Pernikahan Yang Terjadi Di Luar Batas Wilayah Negara. Oleh Karena Itu, Semua Pernikahan Yang Melibatkan Warga Negara Indonesia Di Luar Negeri Harus Mematuhi Regulasi Yang Dijelaskan Dalam Uu Perkawinan. Proses Pernikahan Bagi Warga Negara Indonesia Yang Menikah Di Luar Negeri Harus Mematuhi Persyaratan Yang Dijelaskan Dalam Pasal 6-11 Uu Perkawinan Dan Juga Mengikuti Prosedur Pernikahan Sebagaimana Yang Diamanatkan Dalam Pasal 2 Ayat (1) Uu Perkawinan. Dalam Kata Lain, Apabila Seseorang Yang Menganut Agama Islam Menikah Dengan Individu Yang Juga Beragama Islam Di Dalam Negara Dengan Mayoritas Penduduknya Beragama Islam, Dan Pernikahan Tersebut Diselenggarakan Sesuai Dengan Ketentuan Agama Islam Serta Tidak Melanggar Uu Perkawinan, Maka Pernikahan Tersebut Dianggap Sah. Hal Yang Serupa Berlaku Ketika Seseorang Yang Menganut Agama Kristen Melangsungkan Perkawinan Dengan Individu Yang Juga Memeluk Agama Kristen Di Sebuah Negara Di Mana Mayoritas Penduduknya Beragama Kristen, Selama Pernikahan Tersebut Dijalankan Sesuai Dengan Prinsip-Prinsip Agama Dan Tidak Melanggar Uu Perkawinan. Begitu Pula Jika Seseorang Yang Beragama Hindu Menikah Dengan Individu Yang Juga Beragama Hindu Di India, Selama Pernikahan Tersebut Diikuti Oleh Upacara Adat Yang Sesuai, Seperti Yang Umumnya Dilakukan Di Bali. Tetapi, Perkawinan Bisa Dianggap Tidak Resmi Jika Hanya Diselenggarakan Di Depan Hakim Atau Melalui Pencatatan Sipil Tanpa Melibatkan Unsur Upacara Keagamaan, Seperti Berlangsungnya Berkat Di Gereja, Masjid, Atau Institusi Agama Lainnya. Dalam Situasi Seperti Ini, Walaupun Perkawinan Tersebut Sah Secara Hukum, Pemerintah Tidak Mengakui Pernikahan Itu Sebagai Sah Di Mata Negara. Selanjutnya, Sebagaimana Yang Disampaikan Oleh Sudargo Gautama, Hukum Tentang Pernikahan Dapat Dikategorikan Sebagai Hukum Status Pribadi Yang Berlaku Untuk Seluruh Individu, Baik Mereka Adalah Warga Negara Indonesia Atau Warga Negara Asing Yang Hendak Menikah. Dalam Perkawinan Antarwarga Negara, Ketentuan Pernikahan Mengikuti Hukum Nasional Masing-Masing Individu (Prinsip Kebangsaan), Termasuk Ketentuan Yang Dijelaskan Dalam Pasal 6 Hingga Pasal 11 Uu Perkawinan. Penting Juga Untuk Mencatat Bahwa Proses Formal Dan Pelaksanaan Perkawinan Campuran Harus Sesuai Dengan Regulasi Yang Berlaku Di Wilayah Tempat Perkawinan Tersebut Diadakan, Sesuai Dengan Prinsip Lex Loci Celebrationis. Meskipun Demikian, Perlu Diingat Bahwa Ketentuan Ini Harus Dikaitkan Dengan Pasal 2 Ayat (1) Uup Yang Mengamanatkan Bahwa Kedua Persyaratan Dalam Pasal Tersebut Harus Terpenuhi Secara Bersamaan Untuk Menetapkan Keabsahan Perkawinan Yang Akan Dilangsungkan. Artinya, Kedua Persyaratan Tersebut Harus Dipenuhi Secara Simultan.

Namun, Pada Kenyataannya, Kedua Kriteria Ini Dapat Menciptakan Situasi Di Mana Hukum Di Negara Di Mana Pernikahan Terjadi Dan Hukum Di Indonesia Dapat Saling Bertentangan. Terutama, Dalam Konteks Persyaratan Formal Perkawinan, Hukum Indonesia Menegaskan Bahwa Pernikahan Hanya Dianggap Sah Jika Dilakukan Oleh Dua Individu Yang Memeluk Agama Yang Sama, Yaitu Satu Agama. Jika Prinsip Lex Loci Celebrationis Diterapkan Sepenuhnya, Bahkan Pada Pernikahan Warga Negara Indonesia (Wni) Yang Dilangsungkan Di Luar Negeri, Maka Itu Akan Konflik Dengan Prinsip Ketertiban Masyarakat Di Indonesia.

Sudargo Gautama Mengungkapkan Bahwa Konsep Ketertiban Umum Dalam Konteks Hukum Perdata Internasional Bertujuan Untuk Menolak Penggunaan Hukum Asing Yang Secara Nyata Bertentangan Dengan Hukum Nasional Yang Ditegakkan Oleh Hakim. [17] Secara Umum, Terdapat Beberapa Ide Tentang Ketertiban Umum, Seperti Yang Diterapkan Dalam Konsep Ketertiban Umum Di Italia, Perancis, Jerman, Dan Dunia Anglo-Saxon, Pendekatan Ketertiban Umum Italia-Perancis Menganggap Bahwa Ketertiban Umum Berlaku Ketika Hukum Asing Bertentangan Dengan Hukum Nasional. Di Sisi Lain, Dalam Konsep Jerman, Terdapat Istilah "Vorbehaltklausel" Yang Digunakan Ketika Hukum Asing Bertentangan Dengan Hukum Nasional, Dan Ketertiban Umum Dianggap Hanya Sebagai Bentuk Perlindungan. Sementara Gagasan Anglo-Saxon Mewajibkan Pertimbangan Politik Dan Dikenal Dengan Istilah Doktrin Tindakan Negara, Pernikahan Antara Individu Indonesia Yang Menganut Agama Berbeda Tidak Dianggap Sebagai Pernikahan Campuran Sebagaimana Yang Dijelaskan Dalam Uu Perkawinan. Hal Yang Perlu Diperhatikan Adalah Bahwa Dengan Diberlakukannya Uu Perkawinan Dan Ketentuan Pasal 66 Bersama Dengan Semua Yang Berkaitan Dengan Pernikahan Berdasarkan Uu Perkawinan, Maka Peraturan-Peraturan Yang Sebelumnya Berlaku, Termasuk Peraturan Perkawinan Campuran Yang Diatur Dalam Ghr Stb 1878 No. 158, Menjadi Tidak Berlaku Lagi. Selain Ketentuan Yang Tercantum Dalam Pasal 1 Dan Pasal 2 Ayat (1) Uu Perkawinan, Undang-Undang Ini Juga Menetapkan Perkawinan Berdasarkan Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa. Oleh Karena Itu, Dilarang Melakukan Perkawinan Tanpa Afiliasi Agama Atau Tanpa Melibatkan Unsur Keagamaan. Oleh Karena Itu, Tidak Ada Perkawinan Yang Dianggap Sah Jika Tidak Mempertimbangkan Agama Dan Kepercayaan Dari Kedua Calon Pengantin. Selanjutnya, Pada Penjelasan Umum Pasal 3 Uu Perkawinan Diungkapkan Bahwa Hukum Tersebut Perlu Mencerminkan Prinsip-Prinsip Pancasila Dan Undang-Undang Dasar 1945. Selain Itu, Perlu Mengakomodasi Unsur-Unsur Dan Ketentuan-Ketentuan Hukum Agama Serta Kepercayaan Pribadi Dari Calon Pasangan Sesuai Dengan Filosofi Pancasila Dan Nilai-Nilai Yang Berlaku Dalam Masyarakat Pada Masa Sekarang.

Di Sisi Lain, Potensi Terjadinya Konflik Hukum Sementara Dalam Konteks Hukum Agama, Ketika Salah Satu Pasangan Mengikuti Hukum Agama Lain Dan Kemudian Kembali Kepada Keyakinannya Sendiri. Secara Sejalan Dengan Pandangan Ini, Perkawinan Antar Agama Bisa Dianggap Sebagai Contoh Dari Sosiological Jurisprudence, Di Mana Masyarakat Memiliki Kecenderungan Untuk Menghindari Hukum Yang Berlaku. [18] Hukum Yang Selama Ini Terbentuk Berdasarkan Moral Dan Nilai Yang Dianut Oleh Masyarakat Ternyata Bisa Dilanggar Oleh Masyarakat Sendiri. Hal Ini Menggambarkan Adanya Gradasi Moral Dalam Kerangka Hukum Indonesia Yang Berpotensi Menimbulkan Dampak Negatif, Baik Pada Individu, Kelompok, Maupun Tingkat Nasional.

Pasal 1 Dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Bertujuan Untuk Membentuk Hubungan Keluarga Yang Damai Dan Langgeng, Didasarkan Pada Keyakinan Kepada Tuhan Yang Maha Esa. Ketentuan Dalam Pasal 8 Uu No 1/74 Mengatur Larangan Terhadap Pernikahan Antara Dua Orang, Yang: [19]

1. Menyandang Ikatan Keluarga Yang Berlanjut Secara Turun-Temurun Dalam Garis Keturunan Ke Atas Atau Ke Bawah.

2. Mempunyai Ikatan Keluarga Melalui Koneksi Sejajar Dalam Garis Keturunan, Seperti Hubungan Antar Saudara, Antara Individu Dengan Saudara Dari Orang Tua Mereka, Dan Antara Individu Dengan Saudara Dari Nenek Mereka.

3. Memiliki Keterkaitan Keluarga Yang Melibatkan Hubungan Kekerabatan, Seperti Ikatan Antara Orang Tua Dan Anak Tiri, Mertua, Atau Orang Tua Tiri.

4. Memiliki Ikatan Keluarga, Termasuk Tetapi Tidak Terbatas Pada Relasi Antara Orang Tua, Pasangan Baru, Anggota Keluarga Yang Berasal Dari Pernikahan Sebelumnya, Dan Orang Tua Yang Telah Menikah Lagi.

5. Dalam Situasi Di Mana Seorang Suami Memiliki Lebih Dari Satu Istri, Memiliki Ikatan Keluarga Dengan Salah Satu Istri Sebagai Saudara, Bibi, Atau Keponakan Istri.

6. Memiliki Ikatan Pernikahan Yang Bertentangan Dengan Ajaran Agamanya Atau Peraturan Yang Berlaku.

E. Penutup Celah Hukum Pencatatan Perkawinan Beda Agama : Analisis Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2023

Pada Tanggal 17 Juli 2023, Mahkamah Agung (Ma) Merilis Surat Edaran Nomor 2 Tahun 2023 Yang Memberikan Arahan Kepada Para Hakim Mengenai Cara Menghadapi Permintaan Pencatatan Perkawinan Antara Individu Yang Memiliki Agama Dan Keyakinan Yang Berbeda. Tujuan Dari Penerbitan Surat Edaran Nomor 2 Tahun 2023 Ini Adalah Untuk Merespons Dan Mengakhiri Perdebatan Yang Telah Berlangsung Lama Dalam Masyarakat Mengenai Pencatatan Perkawinan Antar Individu Dengan Berbeda Agama Dan Keyakinan.

Polemik Seputar Keabsahan Dan Pencatatan Perkawinan Antar Individu Dengan Berbeda Agama Dan Keyakinan Telah Ada Sejak Lama. Ini Disebabkan, Selain Karena Tidak Ada Larangan Yang Jelas Terhadap Perkawinan Semacam Itu, Peraturan Hukum Yang Berlaku Selama Ini Juga Memberikan Celah Bagi Pasangan Dengan Agama Dan Keyakinan Yang Berbeda Untuk Mendapatkan Pengakuan Atas Keabsahan Pencatatan Perkawinan [20] Mereka Melalui Keputusan Pengadilan. Pasangan Dengan Agama Dan Keyakinan Yang Berbeda Telah Menggunakan Dasar Hukum Yang Ada Untuk Mendapatkan Pengakuan Atas Keabsahan Perkawinan Mereka Dan Mencatatkan Perkawinan Tersebut Melalui Pengadilan. Dasar Hukum Ini Dapat Ditemukan Dalam Pasal 21 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Pasal Tersebut Menegaskan Bahwa Individu Yang Melangsungkan Pernikahan Tanpa Persetujuan Memiliki Hak Untuk Mengajukan Permohonan Ke Pengadilan Yang Berwenang Di Wilayah Tempat Petugas Pencatatan Perkawinan Menolak Pernikahan Mereka. Permohonan Harus Dilengkapi Dengan Surat Keterangan Penolakan Tersebut.

Namun, Setelah Diberlakukan Uu No. 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan, Peluang Hukum Untuk Pasangan Dengan Perbedaan Agama Dan Keyakinan Mendapatkan Pengakuan Pencatatan Perkawinan Beda Agama Dan Keyakinan Menjadi Lebih Terbuka. Hal Ini Disebabkan Oleh Ketentuan Pasal 35 Huruf A Dalam Uu No. 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan Yang Menyatakan Bahwa Pencatatan Perkawinan, Sebagaimana Diuraikan Dalam Pasal 34, Berlaku Juga Untuk Perkawinan Yang Sah Secara Hukum Melalui Proses Pengadilan. Interpretasi Pasal 35 Huruf A Uu No. 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan Dengan Jelas Menunjukkan Bahwa Perkawinan Yang Disahkan Oleh Pengadilan Mencakup Perkawinan Antara Individu Dari Latar Belakang Agama Yang Berbeda.

Meskipun Begitu, Interpretasi Yang Terdapat Dalam Pasal 35 Huruf A Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Mengenai Administrasi Kependudukan Menciptakan Inkonsistensi Dengan Regulasi Lainnya, Seperti Yang Tercantum Dalam Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Pasal Tersebut Menunjukkan Bahwa Keabsahan Suatu Perkawinan Ditentukan Oleh Kesesuaian Dengan Hukum Agama Dan Keyakinan Masing-Masing Individu. Disini, Perlu Dicatat Bahwa Dalam Konteks Perkawinan, Terdapat Keterkaitan Erat Antara Aspek Agama Dan Tata Negara. Meskipun Agama Menegaskan Legalitas Perkawinan, Negara Bertanggung Jawab Menentukan Validitas Administratif Sesuai Dengan Kerangka Hukum Yang Berlaku. Namun, Pentingnya Memiliki Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik, Sebagaimana Dijelaskan Dalam Pasal 6 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Menunjukkan Bahwa Aturan Tersebut Harus Mencerminkan Prinsip-Prinsip Ketertiban Dan Kepastian Hukum. Selain Itu, Penjelasan Dalam Peraturan Hukum, Sebagaimana Diuraikan Dalam Lampiran Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Mengenai Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Pasal 178, Seharusnya Menghindari Penggunaan Bahasa Yang Dapat Mengakibatkan Perubahan Tidak Terlihat Pada Ketentuan Yang Ada Dalam Peraturan Hukum Yang Berlaku. Langkah-Langkah Untuk Menanggulangi Masalah Hukum Yang Timbul Dalam Pernikahan Antara Individu Yang Memiliki Perbedaan Agama Dan Keyakinan Telah Ditempuh Oleh Mahkamah Konstitusi Sebelumnya Melalui Putusan-Putusan Seperti Nomor 68/Puu-Xii/2014 Dan 24/Puu Xx/2022, [21] Dengan Tegas, Mahkamah Konstitusi Telah Menyatakan Bahwa Pernikahan Antara Individu Dengan Perbedaan Agama Dan Keyakinan Tidak Memiliki Dasar Konstitusional. Meskipun Kedua Putusan Tersebut Hanya Menguji Ketentuan Hukum Dalam Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan Tidak Mencakup Pasal 21 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Atau Pasal 35 Huruf A Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan, Tetapi Karena Pencatatan Pernikahan Adalah Hasil Dari Pengakuan Legalitasnya, Maka Kedua Putusan Tersebut Telah Menutup Peluang Dan Upaya Hukum Bagi Pasangan Yang Memiliki Perbedaan Agama Dan Keyakinan Untuk Memperoleh Pengakuan Tentang Keabsahan Pencatatan Pernikahan Mereka, Termasuk Melalui Proses Hukum.

Penerbitan Surat Edaran Mahkamah Agung (Sema) Nomor 2 Tahun 2023 Mengenai Pedoman Untuk Hakim Dalam Menangani Kasus Permohonan Pencatatan Perkawinan Antar-Umat Berbeda Agama Dan Kepercayaan Telah Menimbulkan Reaksi Negatif. Organisasi Hak Perempuan, Yaitu Komisi Nasional Perempuan (Komnas Perempuan), [22] Telah Menyatakan Keprihatinannya Terhadap Sema Tersebut. Mereka Secara Tegas Meminta Mahkamah Agung Untuk Segera Mencabut Sema Tersebut, Menganggapnya Sebagai Tindakan Yang Diskriminatif. Kejadian Ini Mencuat Karena Indonesia, Sebagai Negara Yang Kaya Akan Keragaman Etnis, Budaya, Adat Istiadat, Serta Keyakinan Agama, Mencerminkan Semangat "Bhinneka Tunggal Ika" Yang Tercermin Dalam Lambang Garuda Pancasila.

Dalam Kehidupan Sosial, Budaya, Dan Politik Yang Beragam Ini, Pertukaran Dan Evolusi Antara Individu-Individu Dalam Masyarakat, Bangsa, Dan Negara Merupakan Fenomena Yang Umum, Terutama Dalam Situasi Pernikahan Yang Sering Melibatkan Individu Dengan Latar Belakang Yang Berbeda. Mahkamah Agung, Sebagai Lembaga Konstitusional Yang Didirikan Berdasarkan Konstitusi Negara Republik Indonesia, Memiliki Tanggung Jawab Untuk Mengedepankan, Melindungi, Menegakkan, Dan Memenuhi Hak-Hak Asasi Manusia Sesuai Dengan Ketentuan Yang Terdapat Dalam Pasal 28i Ayat (4) Undang-Undang Dasar Nri 1945. Rationale Berdirinya Pengadilan Tinggi, Sebagaimana Dijelaskan Dalam Uu No.3 Tahun 2009 Bersamaan Dengan Uu No.5 Tahun 2004 Dan Uu No. 13 Tahun 1985 Tentang Pengadilan Tinggi, Adalah Untuk Memastikan Penerapan Hukum Yang Setara Bagi Seluruh Warga Negara, Yang Melibatkan Upaya Dalam Memelihara Keteraturan, Keadilan, Kebenaran, Serta Memberikan Kepastian Hukum Kepada Masyarakat. Pandangan Ini Juga Ditegaskan Oleh Imam Nahei, Yang Menjabat Sebagai Ketua Kelompok Kerja Perempuan Dan Kebhinnekaan Di Komnas Perempuan.

Berdasarkan Informasi Yang Disajikan Oleh Komnas Perempuan, Pasal 35 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan Telah Mengakui Adanya Perkawinan Di Antara Warga Negara Yang Memiliki Perbedaan Agama. Interpretasi Ini Diperkuat Oleh Keterangan Tambahan Pada Pasal Tersebut Yang Menyatakan Bahwa Pengadilan Berwenang Mengatur Perkawinan Antara Individu Dengan Keyakinan Agama Yang Berbeda. Namun, Surat Edaran Mahkamah Agung (Sema) Nomor 2 Tahun 2023 Dianggap Sebagai Tindakan Penolakan Dan Ketidakpatuhan Oleh Sebagian Kalangan Terhadap Tanggung Jawab Konstitusional Lembaga Pemerintah Serta Hak-Hak Hukum Warga Negara. Selain Itu, Pandangan Ini Juga Memandang Tindakan Tersebut Sebagai Bentuk Diskriminasi Yang Dilakukan Oleh Lembaga Negara Dalam Konteks Perkawinan.

Perkawinan Adalah Salah Satu Bentuk Ekspresi Beragama Dan Merupakan Bagian Dari Praktik Ibadah. Oleh Karena Itu, Perkawinan Dapat Dianggap Sebagai Aspek Eksternum Dimana Negara Dapat Turut Campur Tangan, Sebagaimana Dalam Pengelolaan Zakat Dan Haji. Namun, Peran Negara Seharusnya Bukan Untuk Membatasi Keyakinan Individu, Tetapi Lebih Sebagai Upaya Untuk Memastikan Bahwa Ekspresi Beragama Tidak Melenceng Dari Ajaran Agama Yang Dianutnya. [23] Meskipun Perkawinan Dianggap Sebagai Hak Fundamental Manusia (Ham) Yang Diakui Dalam Konstitusi Indonesia, Penerapan Hak Asasi Manusia Di Indonesia Perlu Mengikuti Prinsip-Prinsip Yang Terkandung Dalam Pancasila Sebagai Dasar Negara. Meskipun Prinsip-Prinsip Perlindungan Ham Secara Global Telah Dinyatakan Dalam Universal Declaration Of Human Rights Sebagai Kesepakatan Bersama Seluruh Negara Di Dunia, Tetapi Implementasinya Di Setiap Negara Harus Disesuaikan Dengan Nilai-Nilai Ideologi, Agama, Budaya, Dan Kondisi Sosial Masyarakatnya.

Pernikahan Merupakan Salah Satu Bagian Yang Diatur Dalam Perundang-Undangan Indonesia Melalui Uu No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Yang Telah Mengalami Perubahan Menjadi Uu No. 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Uu No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Oleh Karena Itu, Segala Tindakan Yang Melibatkan Pernikahan Warga Negara Harus Mematuhi Dan Mengikuti Peraturan Hukum Yang Berlaku. Peraturan Tentang Pernikahan Dirancang Dengan Maksud Mengatur Dan Melindungi Hak Serta Kewajiban Individu Dalam Konteks Pernikahan.. Keabsahan Pernikahan Adalah Ranah Agama Yang Memiliki Kewenangan Untuk Menentukan Legalitas Pernikahan. Negara Bertindak Sesuai Dengan Interpretasi Agama Tersebut. Pendaftaran Pernikahan Oleh Pemerintah Dilaksanakan Guna Menjamin Kepastian Dan Keteraturan Administratif Di Tengah Populasi, Seiring Dengan Semangat Pasal 28d Ayat (1) Konstitusi Tahun 1945 Yang Menegaskan Bahwa Setiap Warga Memiliki Hak Untuk Diakui, Dijamin, Dilindungi, Serta Memperoleh Kepastian Hukum Yang Adil Dan Perlakuan Yang Sama Di Mata Hukum.

Oleh Karena Itu, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 68/Puu-Xii/2014 Dan 24/Puu Xx/2022, Didukung Oleh Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2023 Mengenai Panduan Untuk Hakim Dalam Menangani Permohonan Pencatatan Perkawinan Antar Umat Berbeda Agama Dan Kepercayaan, Telah Memberikan Penjelasan Hukum Terkait Pencatatan Perkawinan. Perubahan Pada Pasal-Pasal Dalam Peraturan Perundang-Undangan Sebelumnya Yang Memberikan Peluang Bagi Pasangan Dengan Perbedaan Agama Dan Keyakinan Untuk Mendapatkan Pengakuan Mengenai Keabsahan Pencatatan Pernikahan Melalui Proses Hukum Yang Diajukan Oleh Dewan Perwakilan Rakyat (Dpr). Revisi Peraturan Ini Memiliki Dampak Yang Signifikan Dalam Membentuk Kerangka Hukum Yang Lebih Terstruktur Dan Mengakhiri Kontroversi Yang Telah Berkepanjangan Terkait Pencatatan Pernikahan Antaragama Di Masyarakat.

SIMPULAN

Perkawinan Antara Individu Dengan Agama Yang Berbeda Menjadi Perbincangan Hangat Dalam Ranah Hukum Di Indonesia. Kontroversi Muncul Karena Indonesia Dikenal Dengan Keberagaman Agama, Bahasa, Dan Budayanya. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Mengatur Ketentuan-Ketentuan Perkawinan, Yang Menegaskan Bahwa Perkawinan Harus Dilangsungkan Antara Dua Orang Yang Memiliki Keyakinan Agama Yang Sama, Sesuai Dengan Ajaran Agama Yang Mereka Anut Masing-Masing. Ketidakpastian Dalam Regulasi Hukum Mengenai Pernikahan Antar Agama Menjadi Sumber Permasalahan, Yang Menghasilkan Berbagai Dampak Seperti Kesulitan Dalam Mencatat Pernikahan Dan Ketegangan Antar Agama. Masalah Ini Semakin Kompleks Dengan Adanya Peningkatan Jumlah Pernikahan Antar Agama Yang Diakui Oleh Lembaga Peradilan. Untuk Menanggapi Isu Ini, Mahkamah Agung Telah Mengedarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (Sema) Nomor 2 Tahun 2023, Yang Menghimbau Agar Pengadilan Tidak Mengizinkan Permohonan Pencatatan Perkawinan Antara Individu Dari Berbagai Agama Dan Keyakinan.

Meskipun Telah Ada Tanggapan Dari Mahkamah Agung, Ketegangan Dan Konflik Dalam Perkawinan Beda Agama Masih Tetap Ada. Dalam Sejarah Perkawinan Di Indonesia, Tercatat Adanya Perdebatan Yang Panjang Mengenai Apakah Harus Ada Undang-Undang Perkawinan Yang Berlaku Secara Universal Untuk Semua Agama Ataukah Undang-Undang Yang Berbeda-Beda Untuk Setiap Agama. Terbaru, Mahkamah Agung Mengeluarkan Sema Nomor 2 Tahun 2023, Yang Beberapa Pihak Anggap Sebagai Diskriminatif Karena Bertentangan Dengan Prinsip Dasar Hak Asasi Manusia Yang Mengakui Hak Individu Untuk Memilih Agamanya Sendiri, Sementara Agama Dianggap Sebagai Hal Yang Sangat Penting Bagi Jiwa Setiap Individu. Karena Itu, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, Sebagai Hukum Tertinggi, Telah Menjamin Ini. Melalui Pasal 28 E Ayat (1) Dan Pasal 29 Ayat (2) Yang Terkait Dengan Kebebasan Beragama, Kebebasan Dalam Konteks Ini Dianggap Sebagai Hak Yang Sangat Fundamental, Sehingga Negara Tidak Diizinkan Untuk Campur Tangan. Mereka Yang Memiliki Pandangan Yang Berlawanan Berpendapat Bahwa Secara Filosofis, Regulasi Mengenai Hak Dasar Dalam Perkawinan Tidak Sejalan Dengan Prinsip-Prinsip Penegakan Hak Asasi Manusia (Ham) Karena Tidak Sesuai Dengan Aspirasi Ham. Dalam Substansi, Pasal 10 Ayat (2) Undang-Undang Ham Mengungkapkan Bahwa Perkawinan Yang Sah Harus Berasal Dari Kesepakatan Bebas Kedua Individu, Yang Menggambarkan Ide Bahwa Perkawinan Adalah Hasil Dari Kesepakatan Sukarela Pasangan Yang Akan Menikah. Kesepakatan Bebas Dalam Konteks Ini Mengacu Pada Kemauan Yang Timbul Dari Niat Yang Tulus Dan Murni, Tanpa Adanya Tekanan, Paksaan, Atau Penipuan. Undang-Undang Ham Hanya Memandang Perkawinan Dari Perspektif Hukum Perdata, Tanpa Memberikan Keutamaan Pada Unsur Agama Dalam Menentukan Keabsahan Perkawinan. Hingga Saat Ini, Undang-Undang Perkawinan Tetap Mempertahankan Konsep Bahwa Sahnya Perkawinan Harus Berdasarkan Pada Agama. Polemik Ini Mencerminkan Perdebatan Mengenai Sejauh Mana Pemerintah Dapat Ikut Campur Dalam Perkawinan Dan Batasan Di Mana Kebebasan Beragama Harus Tetap Dihormati. Walaupun Melindungi Hak Asasi Manusia Adalah Penting, Hal Ini Juga Harus Selaras Dengan Ideologi Dan Budaya Negara, Seperti Pancasila Di Indonesia. Meskipun Banyak Kritik Terhadap Publikasi Sema Ini, Diharapkan Bahwa Keputusan Mahkamah Konstitusi Yang Membatasi Perkawinan Beda Agama Dan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2023 Akan Membawa Kejelasan Hukum Yang Dapat Mengakhiri Perdebatan Tentang Perkawinan Beda Agama Di Indonesia.

References

  1. A. Syamsulbahri and M. H. Adama, “Akibat Hukum Perkawinan Beda Agama Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan,” Al-Syakhshiyyah Jurnal Hukum Keluarga Islam Dan Kemanusiaan, vol. 2, no. 1, pp. 75–85, 2020.
  2. D. A. Setiyanto, “Larangan Perkawinan Beda Agama Dalam Kompilasi Hukum Islam Perspektif Hak Asasi Manusia,” Al-Daulah: Jurnal Hukum Dan Perundangan Islam, vol. 7, no. 1, pp. 87–106, 2017.
  3. G. Hanifah, F. F. Aulia, D. Juliani, and T. C. Savitri, “Inkonsistensi Peraturan Perundang-Undangan Dalam Memandang Keabsahan Perkawinan Beda Agama,” Cross-Border, vol. 5, no. 2, pp. 1133–1147, 2022.
  4. J. Ramli and I. A. Ibrahim, “Perkahwinan Dengan Wanita Ahli Kitab Menurut Ijitihad’umar Bin Al-Khattab [Marriage With A Woman Of Ahli Kitab According To Ijitihad’umar Bin Al-Khattab],” Bitara International Journal Of Civilizational Studies And Human Sciences (E-Issn: 2600-9080), vol. 5, no. 2, pp. 11–22, 2022.
  5. R. Effendi, “Pengajaran Qawa’id Lijar (Arab Lima Jari) Bagi Disabilitas Netra Di Pondok Pesantren Sam’an Netra Mulia Bandung,” Al-Afkar, Journal For Islamic Studies, pp. 252–267, 2022.
  6. M. Y. Fauzi, A. Hermanto, H. Ismail, and M. Arsyad, “Metode Ijtihad Dan Dinamika Persoalan Di Kalangan Imam Madzhab,” At-Tahdzib: Jurnal Studi Islam Dan Muamalah, vol. 10, no. 1, pp. 67–79, 2022.
  7. S. H. Suparnyo, “Maqashid Syariah Imam Al-Jurjawi,” Panorama Maqashid Syariah, p. 134, 2021.
  8. F. Rachmadhani, “Tinjauan Konsep Maalāt Al-Af’āl Terhadap Fatwa Majelis Tarjih Muhammadiyah Tentang Pernikahan Beda Agama,” In Proceeding Of International Conference On Sharia And Law, 2022, pp. 38–45.
  9. A. H. Abbas and M. Abdul Djalal, “Kawin Beda Agama Dan Nasab Anak Perspektif Kompilasi Hukum Islam,” Al-Wardah: Jurnal Kajian Perempuan, Gender Dan Agama, vol. 16, no. 2, pp. 281–295, 2022.
  10. N. E. Muhammad, “Realitas Perkawinan Beda Agama Perspektif Keluarga Sakinah,” Al-Mizan, vol. 16, no. 2, pp. 273–298, Dec. 2020, doi: 10.30603/Am.V16i2.1830.
  11. A. Salahudin, Filsafat Ilmu: Menelusuri Jejak Integrasi Filsafat, Sains, Dan Sufisme-Rajawali Pers. Pt. Rajagrafindo Persada, 2021.
  12. Khiyaroh, “Alasan Dan Tujuan Lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan,” Al-Qadha, vol. 7, no. 1, pp. 1–15, Jul. 2020, doi: 10.32505/Qadha.V7i1.1817.
  13. Ludfi, “Keharusan Ikrar Talak Di Depan Majelis Hakim Pengadilan Agama Perspektif Maqāṣid Syarī’ah Ibnu ‘Āsyūr,” Al-Ahwal Al-Syakhsiyah, Iai Al-Qolam Maqashid, vol. 6, no. 1, pp. 67–83, 2023, doi: https://doi.org/10.35897/Maqashid.V6i1.1086.
  14. T. Erwinsyahbana, “Aspek Hukum Perkawinan Antar Agama Dan Problematika Yuridisnya,” Refleksi Hukum: Jurnal Ilmu Hukum, vol. 3, no. 1, pp. 97–114, 2018.
  15. R. Isihlayungdianti and A. Halim, “Non-Muslim Inheritance In Interfaith Marriages Kewarisan Non-Muslim Dalam Perkawinan Beda Agama,” 2021.
  16. P. A. Witoko and A. Budhisulistyawati, “Penyelundupan Hukum Perkawinan Beda Agama Di Indonesia,” Jurnal Hukum Dan Pembangunan Ekonomi, vol. 7, no. 2, pp. 251–257, 2019.
  17. F. Fatahullah, I. Israfil, and S. Hariati, “Problematika Keabsahan Perkawinan Beda Agama Yang Dilakukan Di Luar Wilayah Hukum Indonesia,” Journal Kompilasi Hukum, vol. 5, no. 1, pp. 41–55, Jun. 2020, doi: 10.29303/Jkh.V5i1.36.
  18. R. Efendi, “Perkawinan Beda Agama Dalam Paradigma Sosiological Jurisprudence,” Al Hurriyah: Jurnal Hukum Islam, vol. 5, no. 1, pp. 49–56, 2020.
  19. B. Waluyo, “Sahnya Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan,” Jurnal Media Komunikasi Pendidikan Pancasila Dan Kewarganegaraan, vol. 2, no. 1, pp. 193–199, 2020.
  20. R. Zahara and Makhfud, “Problematika Pernikahan Beda Agama: Antara Konsep Dan Praktek Di Masyarakat,” Indonesian Journal Of Humanities And Social Sciences, vol. 3, no. 1, pp. 59–72, Mar. 2022, doi: 10.33367/Ijhass.V3i1.2839.
  21. N. Polwanti, “Analisis Yuridis Terhadap Hak Eigendom Sebagai Dasar Gugatan Perbuatan Melawan Hukum Untuk Membatalkan Sertifikat Hak Guna Bangunan Diatasnya (Putusan Nomor 3042/K/Pdt/2021),” Journal Law Of Deli Sumatera, vol. 2, no. 1, 2022.
  22. N. Lestari, “Problematika Hukum Perkawinan Di Indonesia,” Jurnal Ilmiah Mizani: Wacana Hukum, Ekonomi, Dan Keagamaan, vol. 4, no. 1, pp. 43–52, 2018.
  23. K. Sirin, Perkawinan Mazhab Indonesia: Pergulatan Antara Negara, Agama, Dan Perempuan. Deepublish, 2018.