Halal Certification Challenges in Pekalongan City's MSMEs
Innovation in Social Science
DOI: 10.21070/ijins.v25i.959

Halal Certification Challenges in Pekalongan City's MSMEs


Tantangan Sertifikasi Halal di UMKM Kota Pekalongan

Universitas Pekalongan
Indonesia
Universitas Pekalongan
Indonesia
Universitas Pekalongan
Indonesia
Universitas Pekalongan
Indonesia

(*) Corresponding Author

Halal Certification Pekalongan City MSMEs Consumer Protection Majelis Ulama Indonesia (MUI)

Abstract

This study investigates the implementation and impact of halal certification within Micro, Small, and Medium Enterprises (MSMEs) in Pekalongan City, primarily focusing on the role of the Majelis Ulama Indonesia (MUI) in facilitating and ensuring compliance with halal certification. Utilizing a mixed-method approach, encompassing juridical-normative and juridical-empirical research techniques, we scrutinized both the legislative framework and its real-world application within Pekalongan's food and beverage MSME sector. The data revealed that the halal certification process is hindered by several factors, including insufficient human resources and a pervasive lack of understanding and awareness regarding the necessity and implications of halal certification among MSME actors. Notably, the current level of law awareness pertaining to halal certification in Pekalongan City remains suboptimal. This shortfall suggests an urgent need for enhanced educational and socialization efforts to bolster legal consciousness and promote compliance. Additionally, the research underscores a pivotal role for the MUI, not just in terms of routine inspection and conflict resolution but also as a collaborative agent working with various institutions like BPOM, the Ministry of Religion, and law enforcement agencies to safeguard consumer rights and uphold religious and legal standards. These findings stress the need for concerted multi-agency efforts to foster a more inclusive and knowledgeable halal-certified product ecosystem in Pekalongan City.
Highlights:

  • Awareness Gap: Significant lack of understanding about halal certification necessities and procedures among MSMEs in Pekalongan City.
  • Resource Shortfall: Insufficient human resources hinder the optimal implementation of the halal certification process.
  • MUI's Central Role: MUI's pivotal role in enhancing the halal certification process, fostering compliance, and protecting consumer rights.

Keywords: Halal Certification, Pekalongan City, MSMEs, Consumer Protection, Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Pendahuluan

Makanan dan minuman merupakan aspek penting dalam kehidupan manusia. Dalam konteks ekonomi, makanan dan minuman menjadi aspek yang menjadi komoditas utama kegiatan perekonomian[1]. Dalam praktiknya, perekonomian berbasis makanan dan minuman merupakan salah satu perekonomian yang menjamur serta menjadi orientasi utama masyarakat[2]. Salah satu argumentasinya karena makanan dan minuman merupakan komoditas perekonomian yang dibutuhkan oleh masyarakat sehingga kebutuhan akan makanan dan minuman menjadi hal yang signifikan dalam kegiatan perekonomian[3]. Salah satu daerah yang memiliki orientasi untuk melaksanakan perekonomian berbasis makanan dan minuman adalah Kota Pekalongan.

Nama Pekalongan sendiri sudah menjadi penanda akan adanya dominasi khas masyarakat keagamaan yang tumbuh dan berkembang di Pekalongan[4]. Hal inilah yang membuat Pekalongan dijuluki sebagai kota santri karena memang di Kota Pekalongan terdapat berbagai macam pondok pesantren beserta tradisi khas keagamaannya. Secara demografis, berdasarkan data dari Disdukcapil Kota Pekalongan, Pada tahun 2020 jumlah penduduk Kota Pekalongan yang beragama Islam mencapai 304.989 orang yang mana secara persentase sekitar 96,48% umat Islam di Kota Pekalongan[5]. Hal tersebut mengalami peningkatan pada tahun 2021 yang mana jumlah penduduk Kota Pekalongan yang beragama Islam mencapai 305.329 atau secara persentase mencapai 95,56%[5]. Dari data tersebut, maka terdapat relevansi bahwa dalam mengembangkan basis perekonomian di sektor kuliner, khususnya makanan dan minuman maka harus pula mengedepankan aspek kehalalan produk. Hal ini sejatinya sejalan dengan fakta bahwa mayoritas (lebih dari 90%) masyarakat Kota Pekalongan beragama Islam[6].

Kehalalan suatu produk menjadi aspek penting karena merupakan bagian dari syari’at Islam[7]. Hal ini dikarenakan setiap umat Islam wajib mengonsumsi makanan dan minuman yang halal[8]. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut dengan UUPK) pada Pasal 8 ayat (1) huruf h yang menegaskan bahwa pelaku usaha dilarang membuat suatu produk yang tidak sesuai dengan prinsip kehalalan suatu produk. Secara lebih lanjut, pengaturan mengenai kehalalan suatu produk jga dipertegas dalam Undang-Undang No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (selanjutnya disebut UUJPH) telah mengatur bahwa kewajiban bagi pelaku usaha untuk memberikan jaminan sertifikasi halal sehingga konsumen, khususnya konsumen yang beragama Islam dapat memiliki kenyamanan dan keamanan terkait status kehalalan suatu produk[9].

Dalam konteks bisnis, sertifikasi halal merupakan implementasi dari etika bisnis yang mana dalam bisnis tidak dapat hanya diorientasikan pada keuntungan saja, tetapi juga wajib memerhatikan kenyamanan dan keamanan dari konsumen[10][11]. Sertifikasi halal, dalam kaitannya dengan praktik bisnis sejatinya memiliki lima keunggulan, yaitu: pertama, sertifikasi halal bertujuan untuk memberikan kepercayaan kepada konsumen sekaligus menjamin keamanan bagi konsumen[12]. Kedua, sertifikasi halal berorientasi untuk memberikan USP (Unique Selling Point) yaitu memberikan penegasan bahwa sertifikasi halal merupakan aspek penting dalam suatu produk. Ketiga, sertifikasi halal diorientasikan sebagai upaya untuk memperkenalkan suatu produk supaya dapat bersaing di pasar halal global[13]. Hal ini menjadi penting karena pasar halal global dalam era saat ini menempati salah satu potensi perekonomian global yang menjadi alternatif perekonomian internasional[14]. Keempat, adanya sertifikasi halal semakin mempertegas suatu produk sehingga memiliki marketability atau keunggulan tertentu yang dapat memiliki daya saing, serta kelima, sertifikasi halal semakin mempertegas berbagai produk yang dapat meningkatkan investasi yang lebih murah dan berjiwa kerakyatan[15].

Dari kelima aspek di atas, dapat dilihat bahwa pentingnya sertifikasi halal bagi produk makanan dan minuman di Kota Pekalongan selain untuk memfasilitasi umat Islam yang merupakan mayoritas di Kota Pekalongan sekaligus untuk meningkatkan proses bisnis dan ekonomi kreatif di Kota Pekalongan. Secara prosedural, proses sertifikasi halal mengacu pada UU JPH yang mana proosedur sertifikasi halal dengan dibentuknya Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) yang secara resmi mulai menjalankan tugasnya pada tanggal 17 Oktober 2019[16]. Adanya BPJPH tersebut membuat kewenangan sertifikasi halal berpusat pada BPJPH sedangkan penetapan fatwanya tetap pada Majelis Ulama Indonesia (MUI)[17]. Berlakunya UU JPH dan adanya BPJPH membuat alur sertifikasi halal di Kota Pekalongan menjadi lebih efektif.

Meski dapat dikatakan sudah efektif secara prosedur, namun di Kota Pekalongan sendiri masyarakat masih memiliki kesadaran hukum yang kurang terkait dengan sertifikasi halal. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor seperti kurangnya sosialisasi serta kendala terkait pelaksanaan sertifikasi halal. Padahal, sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa sertifikasi halal merupakan aspek penting bagi pelaku usaha maupun konsumen. Oleh karena itu, fokus dan orientasi utama dari penelitian ini adalah pada perlindungan hukum dan peran MUI dalam kaitannya dengan upaya sertifikasi halal bagi UMKM makanan dan minuman di Kota Pekalongan. UMKM di Kota Pekalongan menjadi fokus utama dari analisis terkait sertifikasi halal dikarenakan UMKM merupakan basis perekonomian yang bersifat padat karya dan dapat diakses oleh setiap lapisan masyarakat. Selain itu, produk UMKM di Kota Pekalongan, khususnya makanan dan minuman juga secara kuantitas mendominasi produk unggulan di Kota Pekalongan.

Metode

Penelitian ini merupakan penelitian mix-methode atau penelitian campuran antara yuridis-empiris dan yuridis-normatif[18]. Penelitian yuridis-empiris difokuskan pada praktik sertifikasi halal bagi UMKM makanan dan minuman di Kota Pekalongan. Penelitian yuridis-normatif difokuskan pada analisis perundang-undangan terkait beserta asas dan konsep hukum yang relevan. Bahan hukum dalam penelitian ini diperoleh melalui observasi di lapangan khususnya berkaitan dengan praktik sertifikasi halal bagi UMKM makanan dan minuman di Kota Pekalongan. Selain itu, bahan hukum lain diperoleh melalui kompilasi peraturan perundang-undangan sebagai bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder didapatkan melalui artikel jurnal, buku, serta hasil penelitian yang membahas mengenai sertifikasi halal. Bahan non-hukum menggunakan kamus bahasa untuk menjamin ketepatan penulisan sesuai dengan kaidah kebahasaan. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan konsep dan perundang-undangan.

Pembahasan

Kehalalan suatu produk baik itu makanan dan minuman merupakan aspek fundamental dalam Agama Islam. Hal ini dikarenakan mengonsumsi makanan dan minuman halal merupakan bagian dari syari’at Islam[19]. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Al Qur’an dalam Surat Al-Baqarah ayat 168. Secara redaksional, ketentuan Surat Al-Baqarah ayat 168 tidak hanya sekadar mewajibkan bagi setiap umat Islam untuk mengonsumsi makanan dan minuman halal saja, tetapi termasuk makanan dan minuman yang thayyib (baik)[20]. Hal ini berarti dalam ajaran Islam, kehalalan suatu produk tidaklah berarti bahwa suatu makanan atau minuman layak untuk dikonsumi, tetapi juga harus mengedepankan aspek thayyib (baik), seperti nilai gizi dan aspek kemanfaatan lain kepada individu[21]. Meski begitu, tetap saja aspek kehalalan suatu makanan dan minuman merupakan aspek penting dalam ajaran Islam sebagaimana ditegaskan dalam Surat Al-Baqarah ayat 168.

Pentingnya aspek kehalalan suatu produk bagi setiap umat Islam menghendaki bahwa negara (dalam hal ini pemerintah) untuk memfasilitasi sekaligus memenuhi kebutuhan setiap umat Islam untuk dapat mengonsumsi makanan dan minuman halal. Jaminan terhadap produk halal merupakan bagian dari upaya pemenuhan atas hak asasi manusia, khususnya hak beragama dan ekspresi keagamaannya[22]. Dalam perspektif Indonesia, jaminan produk halal merupakan hak konstitusional yang mana negara wajib memenuhi dan memfasilitasinya melalui produk hukum dan kebijakan yang ada[23]. Hal inilah yang menegaskan mengapa jaminan terhadap produk halal merupakan orientasi penting dalam UU PK dan UU JPH. Bahkan, melalui UU JPH secara khusus negara telah menegaskan bahwa upaya untuk memberikan jaminan dan pelayanan optimal kepada umat Islam supaya dapat mengonsumi makanan dan minuman halal dengan adanya regulasi khusus bernama UU JPH[24].

Dalam perspektif regulasi, UU JPH memiliki tiga orientasi dalam upaya untuk menjamin umat Islam supaya dapat mengonsumi makanan dan minuman halal, yaitu: pertama, UU JPH secara filosofis merupakan implementasi dari amanat tujuan negara yaitu “melindungi segenap bangsa Indonesia”. Konteks tujuan negara ini dalam kaitannya dengan konsumsi makanan dan minuman halal adalah bahwa negara memiliki komitmen untuk melindungi setiap umat Islam dalam menjalankan ajaran agamanya termasuk dalam upaya untuk mengimplementasikan konsumsi terhadap makanan dan minuman halal[25]. Kedua, UU JPH secara progresif memberikan mekanisme serta prosedur yang menjamin kepastian dan kemanfaatan hukum dengan hadirnya BPJH. BPJH dimaksudkan sebagai badan yang secara administratif mengorganisasikan program sertifikasi halal sehingga dapat terlaksana secara cepat, tepat, serta berbiaya murah[7].

Ketiga, UU JPH dalam kaitannya dengan upaya menjamin sertifikasi halal bagi setiap produk di Indonesia juga melibatkan peran MUI dan berbagai ormas Islam di Indonesia. Peran MUI dalam sertifikasi halal memiliki kedudukan yang signifikan mengingat fatwa MUI memiliki “nilai otoritatif” bagi setiap umat Islam di Indonesia. Dengan melibatkan peran MUI dalam sertifikasi halal, UU JPH menekankan kepastian hukum baik dari subtansi maupun prosedur kehalalan suatu produk[26]. Pada aspek susbtansi, kehalalan suatu produk terjamin dengan adanya peran MUI sebagai lembaga pemberi fatwa. Terkait dengan kepastian hukum pada aspek prosedur, dapat dilihat dari adanya BPJH yang memiliki orientasi untuk mengefektifkan sekaligus mengefisienkan program sertifikasi halal.

Mengacu pada tiga aspek di atas, dapat disimpulkan bahwa hadirnya UU JPH beserta peraturan turunannya merupakan upaya progresif dari pemerintah supaya sertifikasi halal dapat diterapkan secara cepat, tepat, dan merata bagi semua produk di Indonesia. Aspek lain yang tidak kalah penting terkait dengan sertifikasi halal adalah pada aspek pengawasannya. Pengawasan terhadap proses sertifikasi halal merupakan aspek penting untuk melihat bagaimana law in action atau peraturan perundang-undangan terkait sertifikasi halal diterapkan atau tidak secara normatif[27]. Mengacu pada Pasal 50 UU JPH pengawasan produk halal secara umum meliputi beberapa aspek seperti: (i) kelembagaan penjamin sertifikasi halal, (ii) masa berlakunya suatu sertifikat halal, (iii) aspek kehalalan produk (berkait dengan pemberian fatwa), (iv) berkaitan dengan pencantuman label halal sesuai ketentuan yang tepat, (v) pemberian keterangan pada produk yang jelas-jelas statusnya tidak halal, (vi) lokasi penyembelihan, pengolahan, penyajian, serta aspek teknis lainnya, (vii) keberadaan dan peran penyelia halal, serta (viii) berbagai kegiatan lainnya yang mendukung serta berperan serta dalam upaya menyukseskan sertifikasi halal.

Terkait dengan pengawasan terhadap sertifikasi halal, mengacu selain mengedepankan pada pengawasan internal, pengawasan terhadap sertifikasi halal juga dilakukan oleh masyarakat. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 30 UU PK yang menegaskan bahwa pengawasan oleh masyarakat bersifat faktual yang artinya masyarakat menilai, melihat, sekaligus memerhatikan barang atau benda yang secara langsung beredar di pasaran. Jika ditemukan permasalahan yang didapatkan dari pengawasan oleh masyarakat terkait sertifikasi halal, maka badan atau aparat yang terkait wajib untuk menindaklanjutinya.

Dalam praktiknya, pengawasan oleh masyarakat juga lazim dilakukan oleh Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) serta masyarakat secara indovidu[28]. Dari proses pengawasan dan praktik yang ada terdapat problematika khususnya terkait kewenangan Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koperasi (Disperindagkop) yang sering diidentikkan dengan ikut turut serta dalam pemberian sertifikasi halal. Padahal, tugas utama dari Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koperasi (Disperindagkop) adalah terkait pengawasan pada barang dengan label Standar Nasional Indonesia (SNI)[29]. Oleh karena itu, yang dilakukan oleh Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koperasi (Disperindagkop) sebenarnya hanya pengawasan pada barang dengan label Standar Nasional Indonesia (SNI) dan tidak mencakup pada produk yang berkaitan dengan sertifikasi halal[30].

Pada praktik yang terjadi di Kota Pekalongan, aspek sertifikasi halal suatu produk, khususnya pada keabsahan kehalalan suatu produk terlebih dahulu dinilai dan diuji oleh lembaga yang sesuai dengan kewenangannya. Selain itu, peran penting BPJH juga menempati kedudukan yang signifikan khususnya dalam berbagai aspek dan pengaturan mengenai status kehalalan suatu produk. Mengacu pada praktik di Kota Pekalongan, BPJH juga berperan penting dalam kaitannya dengan berbagai kebijakan yang mendukung sertifikasi halal termasuk pelibatan relawan untuk ikut menyosialisasikan sertifikasi halal.

Terkait dengan praktik yang ada di Kota Pekalongan, khususnya pada UMKM di Kota Pekalongan, masih banyak UMKM di Kota Pekalongan yang belum mendaftarkan terkait sertifikasi kehalalannya. Hal ini dikarenakan beberapa UMKM di Kota Pekalongan merasa yakin bahwa produknya sudah halal tanpa melalui sertifikasi halal. Padahal, status kehalalan suatu produk harus melalui fatwa MUI dan tidak dapat serta merta ditentukan secara sepihak oleh pelaku usaha. Problematika lain yang terjadi di lapangan adalah minimnya pemahaman pelaku UMKM atas proses sertifikasi halal. Pelaku UMKM tidak memahami prosedur bahkan tidak memahami manfaat dari adanya suatu produk yang mendapatkan sertifikasi halal. Bahkan, kendala yang terjadi di lapangan yaitu UMKM di Kota Pekalongan adanya label halal yang dibuat dan dicetak secara pribadi tanpa melalui lembaga yang berwenang. Tentunya hal ini merupakan bentuk pelanggaran hukum karena sertifikasi halal sudah ditentukan menjadi kewenangan lembaga tertentu.

Terkait dengan berbagai fenomena di atas, kendala yang dialami dalam kaitannya dengan sertifikasi halal kepada UMKM di Kota Pekalongan diantaranya: kendala sumber daya manusia. Minimnya sumber daya manusia untuk menyosialisasikan pentingnya sertifikasi halal menjadi salah satu kendala mengapa UMKM di Kota Pekalongan masih belum banyak yang tersertifikasi halal. Problematika lain adalah belum terdapatnya pemahaman dan kesadaran hukum dari pelaku usaha mengenai pentingnya sertifikasi halal. Beberapa UMKM di Kota Pekalongan bahkan membuat label halal sendiri dan tidak sesuai ketentuan karena menganggap yang terpenting adalah label halalnya bukan prosedur mendapatkan label halal sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa label halal penting sebagai upaya untuk melindungi konsumen, khususnya umat Islam yang merupakan mayoritas di Kota Pekalongan. Meski begitu, pada faktanya UMKM di Kota Pekalongan belum semuanya memiliki pemahaman dan kesadaran untuk melakukan sertifikasi halal pada produk yang dijual. Hal ini dipengaruhi berbagai faktor seperti minimnya sumber daya manusia sehingga sosialisasi terhadap label halal belum optimal dilakukan serta masih kurangnya pemahaman dan kesadaran dari pelaku UMKM di Kota Pekalongan mengenai pentingnya sertifikasi halal bagi produknya.

MUI merupakan salah satu lembaga atau pihak yang memiliki kaitan secara langsung dengan sertifikasi halal. Dalam konteks ini, MUI memiliki tanggung jawab dan tugas yang meliputi[24]:

  1. Pada aspek penetapan standar halal: Dalam menjalankan tugas ini, penetapan halal dilakukan oleh MUI melalui mekanisme dan tata cara tertentu yang berdasarkan pada prinsip syariah dan sains.
  2. Pemberian sertifikasi halal: MUI memiliki tugas memberikan sertifikasi halal pada badan usaha yang produknya sudah melewati tes dan pengujian kehalalan produk. Dengan sudah dipastikannya badan usaha yang produknya sudah melewati tes dan pengujian kehalalan produk, maka sertifikasi halal wajib diberikan.
  3. Pengawasan produksi dan produk halal: MUI juga bertugas berkaitan dengan upaya mengawasi produksi dan produk halal. Pada aspek produksi, MUI juga melakukan pengawasan dengan melihat secara langsung proses produksinya. Hal yang sama juga dilakukan oleh MUI pada produk halal yang sudah jadi.
  4. Tindak lanjut terhadap pelanggaran: tugas ini dilakukan oleh MUI apabila terdapat beberapa pelanggaran atas sertifikasi halal yang luput dari pengawasan masyarakat. MUI menindaklanjuti dan melanjutkan proses pelanggaran tersebut sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Mengacu pada empat fungsi utama MUI di atas, dapat disimpulkan bahwa peran MUI sangat penting dan signifikan dalam kaitannya dengan sertifikasi halal. Salah satu peran penting MUI khususnya dalam kaitannya dengan sertifikasi halal adalah terkait dengan peran MUI untuk mengawasi praktik pemalsuan label halal. Pemalsuan label halal merupakan bentuk upaya dari pelaku usaha untuk menampilkan atau menampakkan suatu label halal yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku[31]. Pemalsuan label halal dalam praktiknya dijalankan dalam dua motif yang berbeda, yaitu: pertama, pemalsuan label halal dengan tujuan untuk memalsukan label halal yang ada dan bersifat imitasi atau tiruan dari label halal yang ada. Pemalsuan label halal pada aspek yang pertama ini memang ditujukan untuk melanggar hukum dan upaya untuk menghindari proses sertifikasi halal secara resmi[32]. Tentu pada pemalsuan label halal dengan tujuan untuk memalsukan label halal yang ada dan bersifat imitasi atau tiruan dari label halal yang ada ini dapat merugikan konsumen terkait status kehalalan suatu produk.

Kedua, adalah pemalsuan label halal yang tidak ditujukan untuk menipu tetapi kurangnya pemahaman pelaku usaha terkait label halal. Hal ini lazim terjadi ketika pelaku usaha membuat label dan tulisan halal secara sendiri dan mandiri. Pelaku usaha berdalih bahwa telah memastikan bahwa bahan dan proses pembuatannya sudah dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip syariah. Meski begitu, pada pemalsuan label halal tetap tidak dapat dibenarkan karena proses sertifikasi halal memiliki mekanisme dan tata cara tersendiri yang mana tidak dapat dilaksanakan secara sepihak[33]. Oleh karena itu, pemalsuan label halal yang tidak ditujukan untuk menipu tetapi kurangnya pemahaman pelaku usaha terkait label halal ini sosialisasi harus lebih gencar dilaksanakan supaya dapat memberikan pemahaman secara optimal pada pelaku usaha[34].

Mengacu pada dua jenis pemalsuan label halal di atas, terkait pemalsuan label halal yang pertama sejatinya dapat ditempuh upaya hukum berupa laporan pada pihak-pihak yang terkait dan berkepentingan. Sedangkan pada pemalsuan label halal yang kedua, sosialisasi dan pemahaman terhadap pelaku usaha hendaknya menjadi orientasi utama karena pada pemalsuan label halal yang kedua lebih dikarenakan kurangnya pemahaman pada pelaku usaha.

Dari fenomena di atas, sejatinya MUI memiliki tugas secara spesifik dalam kaitannya dengan sertifikasi halal sehingga setiap pemalsuan pada label halal juga merupakan bagian dari tugas MUI untuk menindaklanjutinya. Secara umum, terdapat beberapa peran MUI terkait dengan sertifikasi halal yang meliputi:

  1. Tugas sertifikasi halal oleh MUI yang tidak hanya berhenti pada pemberian fatwa halal, tetapi juga melakukan audit dan pemeriksaan produk secara menyeluruh, termasuk bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan produk.
  2. Tugas penyuluhan dan edukasi oleh MUI menjadi tugas terpenting. Hal ini karena proses sertifikasi halal sangat berkaitan dengan kesadaran hukum masyarakat. Kesadaran hukum masyarakat akan tinggi jika dibarengi dengan pemahaman masyarakat mengenai sertifikasi halal
  3. Penyidikan dan Penindakan oleh MUI. Hal ini dilakukan oleh MUI apabila terjadi kasus pemalsuan label halal atau produk makanan yang tidak sesuai dengan standar. Pada proses ini, MUI memerlukan kerja sama dan meneruskan kasus tersebut pada pihak terkait seperti ke Dinas Perdagangan, Kementerian Agama, hingga ke Kepolisian.
  4. Penyebaran oleh informasi oleh MUI merupakan tugas MUI untuk selalu memberikan informasi dan mengupdate berbagai hal yang berkaitan dengan sertifikasi halal. Tugas ini juga penting karena berupaya menginformasikan pada masyarakat terkait berbagai program sertifikasi halal yang mempermudah masyarakat

Dengan peran-peran yang dilakukan oleh MUI dalam penindakan kasus pemalsuan label halal dan produk makanan yang tidak sesuai dengan standar, diharapkan dapat membantu meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya makanan halal dan menjaga keamanan produk makanan di Indonesia. Majelis Ulama Indonesia (MUI) memiliki peran penting dalam penindakan kasus pemalsuan label halal dan produk makanan yang tidak sesuai dengan standar. Dalam hal penindakan kasus pemalsuan label halal dan produk makanan yang tidak sesuai dengan standar, MUI memiliki peran penting sebagai lembaga yang bertanggung jawab atas sertifikasi halal di Indonesia. Oleh karena itu, peran MUI dalam hal ini sangatlah penting untuk menjaga keamanan dan kehalalan produk makanan yang dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Dalam kasus pemalsuan label halal dan produk makanan yang tidak sesuai dengan standar, Majelis Ulama Indonesia (MUI) memiliki peran yang sangat penting dalam melakukan penindakan dan pengawasan. Berikut adalah beberapa peran yang dilakukan oleh MUI:

  1. Sertifikasi Halal: MUI memiliki program sertifikasi halal yang bertujuan untuk memastikan bahwa produk makanan yang dikonsumsi oleh umat Islam halal dan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. MUI memberikan label halal kepada produk yang telah lulus uji kelayakan dan memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan.
  2. Pemeriksaan Rutin: MUI melakukan pemeriksaan rutin terhadap produsen dan distributor produk halal untuk memastikan bahwa produk yang dijual sesuai dengan label halal yang diberikan. Jika ada pelanggaran yang ditemukan, MUI dapat memberikan sanksi atau bahkan mencabut label halal yang telah diberikan.
  3. Penyelesaian Konflik: MUI juga memiliki peran dalam menyelesaikan konflik yang terjadi antara produsen dan konsumen terkait pemalsuan label halal atau produk makanan yang tidak sesuai dengan standar. MUI dapat memberikan pendapat atau rekomendasi dalam menyelesaikan kasus tersebut.
  4. Kerjasama dengan Pihak Terkait: MUI bekerja sama dengan pihak terkait seperti Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan Kementerian Agama untuk memperkuat pengawasan dan penindakan terhadap pemalsuan label halal dan produk makanan yang tidak sesuai dengan standar.

Simpulan

Label halal penting sebagai upaya untuk melindungi konsumen, khususnya umat Islam yang merupakan mayoritas di Kota Pekalongan. Meski begitu, pada faktanya UMKM di Kota Pekalongan belum semuanya memiliki pemahaman dan kesadaran untuk melakukan sertifikasi halal pada produk yang dijual. Hal ini dipengaruhi berbagai faktor seperti minimnya sumber daya manusia sehingga sosialisasi terhadap label halal belum optimal dilakukan serta masih kurangnya pemahaman dan kesadaran dari pelaku UMKM di Kota Pekalongan mengenai pentingnya sertifikasi halal bagi produknya. Terkait dengan peran MUI dalam terkait pemalsuan label halal dapat dilakukan dengan beberapa peran seperti pemeriksaan rutin yang ditujukan untuk melihat apakah suatu produk usaha telah melakukan sertifikasi sesuai prosedur yang berlaku atau tidak. Peran selanjutnya adalah peran melakukan penyelesaian konflik yaitu MUI memberikan rekomendasi serta pendapat apabila terdapat konflik antara konsumen dan pelaku usaha yang berkaitan dengan sertifikasi halal suatu produk tertentu. Peran penting yang perlu MUI lakukan juga adalah dengan melakukan kerjasama dengan berbagai instansi atau pihak terkait seperti BPOM, Dinas terkait, Kementerian Agama, hingga aparat Kepolisian.

References

  1. R. Yuningsih, “Pelindungan Kesehatan Masyarakat Terhadap Peredaran Obat dan Makanan Daring,” Aspir. J. Masal. Sos., vol. 12, no. 1, pp. 47–62, 2021, doi: 10.46807/aspirasi.v12i1.2020.
  2. R. Rosita, “Pengaruh Pandemi Covid-19 Terhadap Umkm Di Indonesia,” J. Lentera Bisnis, vol. 9, no. 2, p. 109, 2020, doi: 10.34127/jrlab.v9i2.380.
  3. R. Irawati and I. B. Prasetyo, “Pemanfaatan Platform E-Commerce Melalui Marketplace Sebagai Upaya Peningkatan Penjualan dan Mempertahankan Bisnis di Masa Pandemi (Studi pada UMKM Makanan dan Minuman di Malang),” Penelit. Manaj. Terap., vol. 6, pp. 114–133, 2021.
  4. A. Priyanto, “Values Of Religious Moderation In Ansor Youth Movementin Pekalongan District,” in International Conference On Islam And Education, 2021, p. 24.
  5. Disdukcapil Kota Pekalongan, “Data Penduduk Berdasarkan Agama Kota Pekalongan 2020-2021.” 2021.
  6. T. K. S. W. Atqia, “Pengaruh Kegiatan Santri Kalong terhadap Pedidikan Karakter Anak Desa Winong Kabupaten Pekalongan,” Permata, vol. 2, no. 2, p. 190, 2021.
  7. S. N. Zhafirah, “Penegakan Hukum Terhadap Kewajiban Sertifikasi Halal Pada Produk Kuliner Pempek Sebagai Makanan Khas Palembang.” Program Studi Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Sriwijaya, p. 14, 2023.
  8. F. Nur, “Jaminan Produk Halal Di Indonesia Terhadap Konsumen Muslim,” Likuid, vol. 1, no. 1, p. 46, 2021.
  9. G. D. Istianah, “Analisis Maṣlahah pada Konsep Halal Self-Declare Sebelum dan Pasca enactment Undang-Undang Cipta Kerja,” Al ’Adl, vol. 14, no. 1, p. 88, 2021.
  10. S. T. Louis Pahlow, “Introduction: Business and the Law,” Manag. Organ. Hist., vol. 14, no. 4, p. 312, 2019.
  11. L. Hakim, “Formulasi Dan Tantangan Penyelesaian Sengketa Bisnis Persaingan Usaha Tidak Sehat Di Masa Pandemi Covid-19,” J. Lex Renaiss., vol. 6, no. 4, pp. 719–731, 2021, doi: 10.20885/jlr.vol6.iss4.art6.
  12. D. Apriani and S. Syafrinaldi, “Konflik Norma Antara Perlindungan Usaha Kecil Menurut Hukum Persaingan Usaha Indonesia Dengan Perlindungan Konsumen,” J. Pembang. Huk. Indones., vol. 4, no. 1, pp. 14–33, 2022, doi: 10.14710/jphi.v4i1.14-33.
  13. M. Azizah, “Peran Negara dalam Perlindungan Konsumen Muslim di Indonesia,” Volksgeist J. Ilmu Huk. dan Konstitusi, vol. 4, no. 2, pp. 153–165, 2021, doi: 10.24090/volksgeist.v4i2.5738.
  14. K. P. T. M. Febtian Syah Putra, “The concept of halal tourism and the fulfillment of muslim tourist needs in halal tourism,” Halal Res., vol. 1, no. 2, p. 58, 2021.
  15. Aliyudin, “Peran Mui Dalam Pelaksanaan Sertfikasi Halal Pasca Undang -Undang No 33 Tahun 2014 (Studi Pada Mui Provinsi Lampung).” Program Studi Hukum Islam, Pascasarjana, Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung, p. 11, 2022.
  16. F. Aufi, “Halal cosmetics and behavior of Muslim women in Indonesia: the study of antecedents and consequences,” Asian J. Islam. Manag., vol. 3, no. 1, p. 15, 2021.
  17. Rudiyanto, “Proses Sertifikasi Halal Lppom Mui Pada Usaha Kecil Dan Menengah (UKM) Di Kota Palangka Raya.” Prodi Magister Ekonomi Syari’ah, Pascasarjana, Institut Agama Islam Negeri Palangkaraya, p. 18, 2021.
  18. G. T. Suteki, Metodologi Penelitian Hukum (Filsafat, Teori, dan Praktik), 1st ed. Depok: Rajawali Pers, 2018.
  19. N. H. Gelar Ali Ahmad, Hukum Islam, 1st ed. Surabaya: Unesa University Press, 2018.
  20. S. H, N. Indriyani, and R. Riyanto, “Evaluasi Label Halal Pada Produk Obat Tradisional / Jamu Madura,” Arch. Pharm., vol. 3, no. 2, pp. 88–89, 2021.
  21. Harman, “Perlindungan Konsumen Melalui Kewajiban Bersertifikat Halal Pada Produk Makanan Dan Minuman (Studi Di Kota Makassar).” Program Studi Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin, Makassar, p. 11, 2022.
  22. M. A. Safa’at, Dinamika Negara dan Islam dalam Perkembangan Hukum dan Politik di Indonesia, 1st ed. Jakarta: Konstitusi Press, 2018.
  23. M. H. Siregar, “Scheme of Maslahat Within Sharia and Transcendental Fiqh,” Ijtihad, vol. 15, no. 1, pp. 35–62, 2021.
  24. B. S, Pemikiran Hukum Perlindungan Konsumen dan Sertifikasi Halal. Malang: Uin Maliki Press, 2011.
  25. B. Aswandi and K. Roisah, “Negara Hukum Dan Demokrasi Pancasila Dalam Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia (Ham),” J. Pembang. Huk. Indones., vol. 1, no. 1, p. 128, 2019, doi: 10.14710/jphi.v1i1.128-145.
  26. A. Y. Mario Julyano, Sulistyawan, “Pemahaman Terhadap Asas Kepastian Hukum Melalui Konstruksi Penalaran Positivisme Hukum,” J. Crepido, vol. 01, no. 01, p. pp.13-22, 2019.
  27. P. F. P. Pratiwi, S. Suprayitno, and T. Triyani, “Existence of Customary Law through Comparative Education between Dayak Ngaju Customary Law and National Law,” Budapest Int. Res. Critics Inst. Humanit. Soc. Sci., vol. 3, no. 2, pp. 712–717, 2020, doi: 10.33258/birci.v3i2.882.
  28. Y. D. Novita and B. Santoso, “Urgensi Pembaharuan Regulasi Perlindungan Konsumen di Era Bisnis Digital,” J. Pembang. Huk. Indones., vol. 3, no. 1, pp. 46–58, 2021.
  29. H. Sofyan, Sertifikasi Halal Dalam Hukum Positif. Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2014.
  30. N. K. A. P. A. Sudewi, I. N. P. Budiartha, and N. M. P. Ujianti, “Perlindungan Hukum Badan Pengawas Obat Dan Makanan (BPOM) Terhadap Peredaran Produk Jamu Yang Mengandung Bahan Kimia Obat Berbahaya,” J. Analog. Huk., vol. 2, no. 2, pp. 246–251, 2020, doi: 10.22225/ah.2.2.1928.246-251.
  31. Kementerian Agama, “Ditetapkan, Label Halal Indonesia Berlaku Nasional.” www.kemenag.go.id, Jakarta, p. 40, 2022.
  32. Kemenag Sumbar, “Wajib Dicantumkan, Ini Bentuk dan Filosofi Label Halal Indonesia.” sumbar.kemenag.go.id, 2022.
  33. H. D. Farida, “Sertifikasi Halal Di Indonesia: Sejarah, Perkembangan, Dan Implementasi,” J. Halal Prod. Res., vol. 2, no. 2, p. 69, 2019.
  34. S. I. R. Aji Jumiono, “Kriteria Sertifikasi Halal Barang Gunaan Di Indonesia,” Pangan Halal, vol. 2, no. 1, p. 11, 2020.