Abstract
The present research scrutinizes the arbitration case between the Philippines and the People's Republic of China concerning the contested maritime zones in the South China Sea, a global hotspot for territorial disputes, rich natural resources, and strategic naval passages. Utilizing a normative legal research methodology coupled with a descriptive-analytical approach, this study carefully examines international legal frameworks, including UNCLOS, and draws upon a diverse range of data sources like legal documents, official statements, and scholarly literature to dissect the nuances of the South China Sea dispute. The findings reveal that the arbitration process, initiated by the Philippines in 2013 and culminating in a 2016 verdict favoring several of its claims, not only holds the promise to fortify international maritime law and foster regional stability but also underscores the critical role of diplomatic efforts in actualizing comprehensive solutions. Nonetheless, the endeavor is not without its pitfalls, notably the absence of stringent sanctions and implementation challenges. Furthermore, the arbitration verdict significantly influences the Philippines-PRC bilateral relations, affecting territorial claims and regional economies, while reaffirming UNCLOS's authority in governing international maritime conflicts. Therefore, the research advocates for sustained diplomatic initiatives and collaboration as a complementary pathway to arbitration, envisioning a harmonious resolution to the complex and multifaceted South China Sea dispute.
Highlights:
-
The arbitration case between the Philippines and the PRC reaffirmed the crucial role of UNCLOS in guiding international maritime disputes and fostering regional stability.
-
Despite the potential to enhance international maritime law and prevent conflicts, the arbitration process faces challenges in terms of enforcing sanctions and ensuring comprehensive implementation.
-
The arbitration verdict has deep-seated implications on Philippines-PRC bilateral relations, impacting territorial claims, economic prospects, and necessitating sustained diplomatic efforts for a more cohesive resolution to the South China Sea dispute.
Keywords: South China Sea, International Arbitration, UNCLOS, Philippines-PRC Relations, Maritime Law.
Pendahuluan
Laut China Selatan adalah salah satu jalur laut tersibuk di dunia dan dikenal karena sumber daya alam yang melimpah, termasuk ikan, minyak, dan gas. Sejumlah negara, termasuk Filipina dan RRT, mengklaim sebagian wilayah ini sebagai bagian dari zona ekonomi eksklusif mereka.[1] Namun, klaim-klaim ini sering tumpang tindih dan saling bersaing, sehingga memunculkan sengketa yang kompleks. Laut China Selatan, sebagai salah satu perairan paling strategis di dunia, telah menjadi pusat perdebatan internasional yang panjang dan kompleks dalam beberapa dekade terakhir. Perairan ini, yang menghubungkan beberapa negara Asia Tenggara dengan jalur laut dunia yang penting, telah menjadi sumber ketegangan dan konflik antara berbagai negara pesisir, termasuk Filipina dan Republik Rakyat Tiongkok (RRT). [2]
Laut China Selatan telah menjadi sumber konflik dan ketegangan di kawasan Asia Pasifik selama beberapa dekade terakhir.[3] Konflik atas Laut China Selatan melibatkan isu-isu wilayah, sumber daya alam, hak navigasi, dan keamanan regional, serta memunculkan pertanyaan mendasar tentang aplikasi dan efektivitas hukum internasional dalam menyelesaikan sengketa antarnegara. Konflik ini melibatkan sejumlah negara, termasuk Filipina dan Republik Rakyat Tiongkok (RRT), yang bersaing untuk mengklaim dan mengendalikan wilayah serta sumber daya yang melimpah di laut ini. Salah satu alat yang sering digunakan dalam menyelesaikan sengketa wilayah dan perbatasan internasional adalah arbitrase, yang merupakan mekanisme hukum internasional yang digunakan untuk menyelesaikan perselisihan antara negara-negara.[4]
Pada tanggal 22 Januari 2013, Filipina secara resmi memulai proses arbitrase terhadap RRT di bawah Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) di hadapan Pengadilan Arbitrase Permanen di Den Haag, Belanda. Filipina menyatakan bahwa RRT melanggar hak-hak kedaulatan mereka atas sumber daya alam di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Filipina dengan melakukan tindakan yang merusak lingkungan di Laut China Selatan.[5] Salah satu aspek yang paling penting dalam kasus arbitrase ini adalah penegasan Filipina bahwa batas ZEE Filipina yang diperdebatkan dengan RRT harus ditentukan berdasarkan prinsip-prinsip hukum laut internasional, khususnya UNCLOS. Filipina juga menyatakan bahwa RRT melakukan pembangunan ilegal di beberapa pulau buatan mereka di Laut China Selatan, yang berpotensi merusak ekosistem laut dan keberlanjutan sumber daya alam di kawasan tersebut.[6]
Kasus arbitrase Filipina vs. RRT menjadi sorotan internasional dan memunculkan sejumlah isu hukum yang penting dalam konteks hukum laut internasional. Hukum internasional memiliki peran yang sangat penting dalam menjaga stabilitas dan perdamaian di tingkat global. Itu mencakup berbagai prinsip dan peraturan yang mengatur perilaku negara-negara dalam hubungan internasional. Salah satu aspek utama dari hukum internasional adalah penyelesaian sengketa antarnegara, yang dapat menghindari konflik bersenjata dan mempromosikan kerjasama internasional.[7]
Arbitrase adalah salah satu mekanisme yang penting dalam penyelesaian sengketa internasional dan menjadi topik utama dalam penelitian ini. Salah satunya adalah kewajiban negara-negara untuk tunduk pada ketentuan UNCLOS dan menghormati hak kedaulatan negara lain dalam ZEE mereka.[8] UNCLOS adalah salah satu instrumen hukum internasional yang paling signifikan yang mengatur masalah hukum laut dan selama beberapa dekade telah menjadi kerangka kerja utama dalam penyelesaian sengketa di Laut China Selatan. UNCLOS menentukan batas-batas yurisdiksi negara-negara pesisir atas wilayah laut, hak-hak dan kewajiban mereka dalam pengelolaan sumber daya alam, serta hak bebas navigasi bagi semua negara. Keanggotaan Filipina dan RRT dalam UNCLOS menjadikan instrumen ini sebagai dasar hukum internasional yang relevan dalam sengketa ini.[9]
Prinsip-prinsip hukum laut internasional, termasuk hak lintas damai dan perlindungan lingkungan laut, juga menjadi pusat perhatian dalam kasus ini. Selain itu, keputusan arbitrase yang dikeluarkan oleh Pengadilan Arbitrase Permanen pada 12 Juli 2016, yang menguntungkan Filipina dalam beberapa aspek penting, memiliki implikasi yang lebih luas terhadap hukum internasional. Keputusan ini memperkuat posisi hukum UNCLOS sebagai kerangka kerja yang mengatur sengketa teritorial dan sumber daya di laut. Ini juga menunjukkan pentingnya penggunaan arbitrase internasional sebagai alat penyelesaian sengketa antarnegara dalam konteks global yang semakin kompleks.[10]
Penelitian ini bertujuan untuk melakukan kajian mendalam terhadap kasus arbitrase yang melibatkan Filipina dan RRT dalam konteks Laut China Selatan. Kasus arbitrase ini telah menjadi salah satu kasus yang paling menonjol dan berdampak signifikan dalam hukum internasional. Arbitrase ini memberikan banyak pelajaran dan pengaruh terhadap pemahaman dan perkembangan hukum laut internasional. Oleh karena itu, penelitian ini akan mengkaji secara rinci kasus arbitrase ini, mengidentifikasi isu-isu hukum yang terlibat, dan menganalisis dampaknya terhadap hukum internasional, serta implikasinya terhadap hubungan antara Filipina dan RRT.
Oleh karena itu, penelitian ini akan menjawab beberapa pertanyaan perumusan masalah, yakni sebagai berikut:
- Bagaimana penggunaan arbitrase internasional dalam penyelesaian Kasus Laut China Selatan antara Filiphina dan Republik Rakyat Tiongkok dapat menguatkan atau melemahkan hukum laut internasional?
- Apa implikasi keputusan arbitrase terhadap hubungan antara Filipina dan RRT, serta stabilitas di kawasan Laut China Selatan?
Dengan melakukan kajian ini, diharapkan penelitian ini akan memberikan kontribusi yang berharga bagi pemahaman tentang penyelesaian sengketa internasional, khususnya dalam konteks sengketa Laut China Selatan, serta memperkuat substansi hukum internasional dalam menjaga perdamaian dan stabilitas di kawasan Asia Pasifik.
Metode
Pada penelitian ini, penulis akan menerapkan metode penelitian hukum normatif. Metode ini digunakan untuk menganalisis peraturan hukum yang berlaku dalam sengketa tersebut. Pendekatan penelitian yang akan digunakan adalah deskriptif-analitis, yang akan memungkinkan kami untuk mendiskusikan dan menganalisis secara rinci peraturan hukum internasional yang relevan, termasuk UNCLOS dan hukum internasional lainnya yang terkait.
Sumber bahan penelitian penulis terdiri dari berbagai jenis dokumen hukum, termasuk teks UNCLOS, dokumen-dokumen arbitrase, pernyataan resmi dari pemerintah Filipina dan Tiongkok, laporan-laporan komisi internasional terkait sengketa ini, artikel hukum internasional, dan literatur ilmiah relevan. Penulis juga memanfaatkan sumber-sumber primer dan sekunder yang dapat memberikan pandangan yang komprehensif tentang isu ini. Sedangkan teknik pengambilan data mencakup analisis dokumen hukum, pencarian literatur di perpustakaan digital dan sumber-sumber hukum internasional. Pengumpulan data akan dilakukan dengan teliti dan sistematis, mengikuti metode penelitian hukum yang kredibel.
Teknik analisis data melibatkan pemahaman mendalam terhadap teks-teks hukum, putusan arbitrase, dan argumen-argumen hukum yang terdapat dalam kasus ini. Penulis akan menggunakan metode analisis kualitatif untuk mengidentifikasi pola-pola, perbedaan, dan implikasi hukum dari kasus arbitrase ini. Selain itu, penulis melakukan pembandingan antara klaim Filipina dan Tiongkok serta mempertimbangkan pendapat berbagai ahli hukum internasional. Analisis data ini akan membantu kami mencapai pemahaman yang lebih baik tentang substansi hukum yang mendasari sengketa Laut China Selatan dan implikasinya dalam konteks hukum internasional dan geopolitik.
Pembahasan
Penggunaan Arbitrase Internasional dalam Penyelesaian Kasus Laut China Selatan
Laut China Selatan menjadi sumber ketegangan dan sengketa antara berbagai negara di wilayah Asia-Pasifik, termasuk Filipina dan Republik Rakyat Tiongkok (RRT). Sengketa ini melibatkan klaim wilayah, kedaulatan, hak eksplorasi, dan hak pengeboran di wilayah perairan ini, serta menimbulkan pertanyaan serius tentang bagaimana hukum laut internasional dapat diterapkan untuk mengatasi konflik tersebut.[11] Hukum laut internasional, yang terutama diatur oleh Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) tahun 1982, adalah kerangka kerja yang penting untuk mengatasi sengketa di perairan internasional.[12] UNCLOS mengatur prinsip-prinsip dasar hukum laut internasional, termasuk batas-batas wilayah laut, hak-hak negara di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), dan hak lepas layar. UNCLOS juga menyediakan mekanisme penyelesaian sengketa antarnegara melalui arbitrase internasional.[9]
Filipina dan RRT memiliki klaim yang tumpang tindih di Laut China Selatan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip UNCLOS. Filipina mengklaim hak atas sumber daya alam di sejumlah perairan di wilayah tersebut, sedangkan RRT mengklaim kedaulatan atas sebagian besar wilayah tersebut berdasarkan argumen sejarah.[13] Penyelesaian sengketa ini melalui proses hukum sangat penting dalam menjaga stabilitas dan perdamaian di kawasan ini serta memastikan penghormatan terhadap hukum laut internasional.
Sengketa teritorial di Laut China Selatan telah memunculkan pertanyaan yang kompleks mengenai kedaulatan, hak-hak ekonomi, dan hak navigasi. Penyelesaian sengketa ini melibatkan berbagai aspek hukum laut internasional, termasuk Konvensi Hukum Laut PBB 1982 (UNCLOS).[14] Penggunaan arbitrase internasional sebagai alat penyelesaian sengketa di Laut China Selatan antara Filipina dan RRT memunculkan pertanyaan krusial tentang sejauh mana mekanisme ini dapat menguatkan atau melemahkan hukum laut internasional.[15]
Konvensi Hukum Laut PBB 1982 (UNCLOS) adalah instrumen hukum utama yang mengatur masalah hukum laut internasional. UNCLOS menetapkan prinsip-prinsip dasar seperti kedaulatan negara atas perairan teritorial, zona ekonomi eksklusif (ZEE), dan landas kontinen. UNCLOS juga membahas masalah kebebasan berlayar, hak navigasi, pelestarian lingkungan laut, dan konservasi sumber daya hayati laut. Ini menciptakan kerangka kerja hukum internasional yang mengatur aktivitas di laut dan samudra.[12]
Arbitrase internasional adalah salah satu metode alternatif penyelesaian sengketa internasional yang melibatkan pihak-pihak yang bersengketa meminta pihak ketiga independen, yaitu panel arbitrase, untuk mengambil keputusan yang mengikat.[16] Keputusan arbitrase memiliki kekuatan hukum yang setara dengan keputusan pengadilan nasional. Arbitrase internasional sering digunakan dalam penyelesaian sengketa yang melibatkan negara-negara dan sering kali menjadi alat yang efektif dalam menyelesaikan sengketa internasional tanpa perlu melibatkan proses litigasi yang mahal dan rumit.[17]
Filipina memutuskan untuk menggunakan mekanisme arbitrase internasional untuk menyelesaikan sengketanya dengan RRT. Arbitrase internasional adalah proses penyelesaian sengketa di mana pihak-pihak yang bersengketa setuju untuk mengajukan kasus mereka kepada panel arbitrase independen yang akan memberikan putusan yang mengikat. Dalam kasus ini, Filipina mengajukan kasusnya kepada Pengadilan Arbitrase Permanen (Permanent Court of Arbitration/PCA) berdasarkan UNCLOS.[16]
Pada tahun 2016, Tribunal Arbitrase Permanen mengeluarkan keputusan yang mendukung Filipina dalam sebagian besar klaimnya. Keputusan ini menyatakan bahwa RRT tidak memiliki dasar hukum yang kuat untuk klaim wilayah yang telah dinyatakan oleh Filipina sebagai ZEE dan perairan teritorialnya. Tribunal juga menegaskan hak-hak navigasi dan kebebasan berlayar yang dijamin oleh UNCLOS di Laut China Selatan.[18] Keputusan ini sangat penting dalam konteks penyelesaian sengketa Laut China Selatan dan merupakan salah satu contoh sukses dari penggunaan arbitrase internasional dalam mengatasi sengketa antar-negara.
Penggunaan arbitrase internasional dalam penyelesaian sengketa Laut China Selatan antara Filipina dan RRT dapat dianggap sebagai penguatan hukum laut internasional dari beberapa perspektif.
Salah satu dampak positif dari penggunaan arbitrase internasional dalam kasus Laut China Selatan adalah bahwa hal itu membantu mengklarifikasi dan memperkuat prinsip-prinsip yang terkandung dalam UNCLOS.[19] Keputusan arbitrase tersebut mengkonfirmasi pentingnya prinsip-prinsip seperti kedaulatan negara atas perairan teritorial dan ZEE, serta hak-hak navigasi yang dijamin oleh UNCLOS. Hal ini membuat UNCLOS menjadi instrumen hukum yang lebih kuat dan lebih dapat diandalkan dalam menangani sengketa laut internasional di masa depan.
Putusan PCA yang memihak Filipina adalah bukti konkret bahwa sistem hukum laut internasional berfungsi.[20] Ini menunjukkan bahwa negara-negara dapat menggunakan mekanisme hukum internasional untuk melindungi hak-hak mereka sesuai dengan ketentuan UNCLOS. Dengan demikian, penggunaan arbitrase internasional dalam kasus ini memperkuat keyakinan dalam sistem hukum laut internasional dan mendorong negara-negara untuk mematuhi ketentuan-ketentuan UNCLOS.
Hukum laut internasional, termasuk UNCLOS, memiliki ketentuan-ketentuan yang penting untuk perlindungan lingkungan laut. Penyelesaian sengketa melalui arbitrase internasional dapat membantu menjaga lingkungan laut yang penting bagi ekosistem global.[21] Putusan PCA juga memperjelas hak dan kewajiban negara-negara dalam menjaga keberlanjutan ekosistem laut di wilayah sengketa. Hal ini mengukuhkan peran UNCLOS dalam perlindungan lingkungan laut dan memperkuat keterlibatan internasional dalam pelestarian sumber daya alam laut.
Penggunaan arbitrase internasional dalam kasus ini juga membantu menghindari eskalasi konflik militer yang dapat terjadi jika sengketa tersebut tidak diselesaikan secara damai. Dengan memungkinkan pihak-pihak yang bersengketa untuk meminta putusan independen dari panel arbitrase, mekanisme ini memberikan alternatif yang lebih aman daripada kekerasan dan konflik bersenjata.[22] Dalam konteks Laut China Selatan yang rawan konflik, ini adalah langkah yang sangat penting untuk mempertahankan perdamaian dan stabilitas di wilayah tersebut.
Penggunaan arbitrase internasional dalam kasus ini juga mendukung prinsip hukum internasional yang mendasar, yaitu penyelesaian sengketa melalui proses hukum dan dialog.[16] Ini menunjukkan bahwa negara-negara yang bersangkutan bersedia mematuhi aturan dan mekanisme yang telah disepakati bersama dalam UNCLOS, yang merupakan salah satu tonggak dalam perkembangan hukum internasional pasca-Perang Dunia II.
Arbitrase internasional juga dapat menjadi pendorong bagi diplomasi dan negosiasi antara negara-negara yang bersengketa.[23] Meskipun putusan arbitrase mengikat, biasanya ada ruang untuk negosiasi pasca-putusan untuk mencapai kesepakatan yang lebih luas atau mengimplementasikan putusan dengan cara yang lebih kooperatif. Ini dapat membantu membangun kerja sama antara negara-negara yang bersengketa dan mengurangi ketegangan jangka panjang.
Meskipun arbitrase internasional dalam kasus Laut China Selatan memiliki banyak keuntungan dalam memperkuat hukum laut internasional, ada juga beberapa kelemahan yang perlu dipertimbangkan.
Salah satu dampak negatif dari kasus ini adalah penolakan RRT terhadap keputusan arbitrase. RRT menolak untuk mengakui atau menerima keputusan tersebut dan menyatakan bahwa mereka tidak akan mematuhi keputusan tersebut.[24] Tindakan ini menciptakan ketidakpastian hukum internasional karena mengancam integritas mekanisme arbitrase internasional dan hukum yang telah disepakati bersama dalam UNCLOS. Ini menunjukkan bahwa penggunaan arbitrase internasional dalam penyelesaian sengketa tidak selalu menghasilkan hasil yang diakui dan dihormati oleh semua pihak.
Kedaulatan adalah salah satu isu yang paling sensitif dalam sengketa Laut China Selatan. Negara-negara yang bersengketa, termasuk RRT, sering kali menganggap klaim atas wilayah ini sebagai bagian integral dari identitas nasional mereka.[25] Oleh karena itu, penyelesaian sengketa melalui arbitrase internasional dapat sulit jika salah satu pihak merasa bahwa hal ini akan mengorbankan kedaulatan atau kepentingan nasional mereka. RRT menolak untuk mengikuti putusan PCA karena menganggapnya sebagai campur tangan dalam urusan dalam negeri mereka.
Meskipun keputusan arbitrase adalah hukum yang mengikat, mekanisme penegakan UNCLOS terbatas. UNCLOS tidak memiliki otoritas untuk mengimplementasikan secara langsung keputusan arbitrase atau memberikan sanksi kepada negara yang tidak mematuhinya. Ini berarti bahwa jika salah satu pihak menolak untuk mematuhi putusan tersebut, pilihan terbatas yang tersedia adalah mengandalkan diplomasi dan negosiasi lebih lanjut atau mencari dukungan internasional. Dalam kasus Laut China Selatan, RRT menolak untuk mengakui dan melaksanakan putusan PCA, dan hal ini menjadi tantangan bagi pelaksanaan putusan tersebut. Oleh karena itu, jika negara-negara seperti RRT memilih untuk mengabaikan keputusan arbitrase, sulit untuk menerapkan konsekuensi nyata yang dapat memaksa mereka untuk mematuhi hukum internasional. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan arbitrase internasional, meskipun efektif dalam memberikan keputusan hukum, memiliki keterbatasan dalam hal penegakan dan pelaksanaan keputusan tersebut.[21]
Keputusan arbitrase dalam kasus Laut China Selatan dapat menjadi preseden yang meragukan dalam beberapa kasus lain yang melibatkan negara-negara besar atau yang memiliki kepentingan geopolitik yang signifikan. Negara-negara yang kuat politik dan ekonominya mungkin merasa bahwa mereka dapat mengabaikan keputusan arbitrase yang tidak menguntungkan mereka, dan ini dapat melemahkan sistem arbitrase internasional. Ini juga dapat membahayakan integritas hukum laut internasional jika negara-negara besar merasa bahwa mereka dapat menghindari kewajiban mereka sesuai dengan UNCLOS.[26]
Kasus Laut China Selatan menunjukkan bahwa penggunaan arbitrase internasional dapat menjadi alat yang efektif dalam penyelesaian sengketa laut internasional. Namun, juga penting untuk mencatat bahwa ada metode penyelesaian sengketa lain yang dapat digunakan, termasuk negosiasi langsung antara negara-negara yang bersengketa dan mediasi internasional. Keberhasilan atau kegagalan penggunaan arbitrase harus dilihat dalam konteks metode penyelesaian sengketa yang lebih luas.[15]
Dalam konteks penyelesaian sengketa internasional, peran pihak ketiga, seperti panel arbitrase, sangat penting. Mereka harus independen, objektif, dan ahli dalam masalah hukum yang terkait. Mereka juga harus diterima oleh semua pihak yang bersengketa. Oleh karena itu, pemilihan panel arbitrase yang sesuai dan mekanisme yang adil adalah langkah penting dalam memastikan keberhasilan penggunaan arbitrase internasional dalam penyelesaian sengketa.[16]
Kasus Laut China Selatan juga menunjukkan perlunya meningkatkan mekanisme penegakan hukum laut internasional. Jika keputusan arbitrase tidak dapat diterapkan secara efektif, maka sistem hukum laut internasional dapat menjadi lemah dan tidak efektif dalam menjaga perdamaian dan stabilitas di wilayah laut internasional.[11] Oleh karena itu, penting untuk mempertimbangkan cara-cara untuk memperkuat penegakan hukum laut internasional, termasuk kemungkinan peran lebih besar bagi organisasi internasional seperti PBB.
Dapat dipahami yakni Penggunaan arbitrase internasional dalam penyelesaian sengketa Laut China Selatan antara Filipina dan RRT memiliki potensi besar untuk memperkuat hukum laut internasional. Ini menegaskan bahwa negara-negara dapat menggunakan mekanisme hukum internasional untuk melindungi hak-hak mereka sesuai dengan ketentuan UNCLOS, mempromosikan keadilan, melindungi lingkungan laut, mencegah konflik bersenjata, dan mendorong diplomasi. Namun, ada juga kelemahan, seperti kurangnya sanksi yang kuat, isu kedaulatan yang sensitif, dampak geopolitik, dan tantangan implementasi. Oleh karena itu, penyelesaian sengketa melalui arbitrase internasional adalah langkah awal yang penting, tetapi perlu diikuti oleh upaya diplomatik yang berkelanjutan dan kerja sama antara negara-negara yang bersengketa untuk mencapai solusi yang lebih komprehensif dan berkelanjutan terhadap sengketa Laut China Selatan.
Implikasi Keputusan Arbitrase terhadap Stabilitas di Kawasan Laut China Selatan
Perselisihan Kawasan Laut China Selatan berkaitan dengan sengketa wilayah, hak atas sumber daya alam, dan interpretasi terhadap Hukum Laut Internasional, khususnya Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut 1982 (UNCLOS).[27] Dalam upaya untuk menyelesaikan sengketa ini, Filipina memutuskan untuk mengambil langkah hukum dengan mengajukan kasus arbitrase terhadap RRT ke Pengadilan Arbitrase Permanen di bawah UNCLOS. Keputusan arbitrase yang dihasilkan memiliki implikasi yang mendalam terhadap hubungan antara kedua negara tersebut serta stabilitas di Kawasan Laut China Selatan secara keseluruhan.
RRT telah menjadi aktor dominan dalam sengketa di Laut China Selatan. Mereka telah membangun pulau buatan dan fasilitas militer di sejumlah pulau yang mereka klaim, yang mengundang kecaman internasional. Filipina, salah satu negara yang berbagi klaim terhadap sejumlah fitur di kawasan ini, merasa terpinggirkan dan memutuskan untuk mencari penyelesaian melalui arbitrase internasional.[28]
Filipina memutuskan untuk memicu proses arbitrase di bawah UNCLOS pada tahun 2013 terkait dengan klaim wilayah maritim di KLCS. Filipina mengklaim bahwa tindakan RRT yang memperluas klaimnya di wilayah tersebut melanggar UNCLOS dan mengancam kedaulatan Filipina. Kasus ini adalah salah satu yang paling menonjol di antara serangkaian klaim wilayah yang melibatkan beberapa negara di KLCS.[29] Pada tahun 2016, Pengadilan Arbitrase Internasional yang dibentuk di bawah UNCLOS mengeluarkan keputusan yang mendukung klaim Filipina. Keputusan arbitrase ini memiliki implikasi yang signifikan terhadap hubungan antara Filipina dan RRT serta stabilitas di KLCS. Beberapa poin utama dari keputusan ini adalah:
- Tidak Ada Dasar Hukum untuk Klaim Territorial Luas RRT: Pengadilan menolak klaim RRT atas sebagian besar wilayah Laut China Selatan berdasarkan "Nine-Dash Line." Pengadilan menyatakan bahwa klaim ini tidak memiliki dasar hukum yang sah menurut UNCLOS.
- Pulau Buatan RRT Tidak Berhak pada ZEE: Pengadilan juga menyatakan bahwa pulau buatan yang dibangun oleh RRT tidak dapat memberikan hak ZEE yang sama seperti pulau alami. Ini merupakan langkah signifikan dalam mendukung klaim Filipina.
- Hak Tradisional Filipina Tetap Terjaga: Pengadilan menegaskan hak tradisional Filipina untuk mengakses sumber daya alam di perairan yang tercakup oleh ZEE mereka.
UNCLOS adalah instrumen hukum internasional yang fundamental dalam mengatur penggunaan dan pengelolaan sumber daya laut serta menyelesaikan perselisihan antarnegara terkait masalah maritim.[30] Pasal 121 UNCLOS mengatur mengenai batas-batas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan landas kontinen. Menurut pasal ini, pulau-pulau yang secara alami dapat menghasilkan ekonomi teritorial hanya memiliki landas kontinen dan ZEE yang sama seperti daratan utama, tanpa memperhitungkan apakah pulau tersebut dihuni atau tidak. Ini adalah salah satu poin sentral dalam kasus Filipina versus RRT di arbitrase. Selain itu, UNCLOS juga mengatur mengenai hak lintas damai, penggunaan sumber daya alam bersama, dan hak-hak suverenitas pesisir. Kerangka kerja ini bertujuan untuk mempromosikan perdamaian, keadilan, dan kerjasama di antara negara-negara anggota UNCLOS dalam pengelolaan sumber daya laut dan menyelesaikan perselisihan secara damai.
Implikasi terhadap Klaim Wilayah RRT
Implikasi terhadap klaim wilayah RRT adalah salah satu aspek yang sangat penting dalam keputusan arbitrase Filipina vs. RRT terkait dengan Kawasan Laut China Selatan (KLCS). Keputusan tersebut mengarah pada pengurangan klaim wilayah yang dimiliki oleh RRT di KLCS, dengan beberapa implikasi kunci sebagai berikut:
- Ketegangan dengan Negara Tetangga: Pengurangan klaim wilayah RRT dapat memicu ketegangan lebih lanjut dalam hubungannya dengan negara-negara tetangga di KLCS. Negara-negara seperti Vietnam, Malaysia, dan Brunei juga memiliki klaim wilayah yang tumpang tindih di kawasan ini. Keputusan arbitrase ini dapat memperkuat klaim mereka dan memicu reaksi dari RRT, yang mungkin merasa kehilangan sebagian besar klaim historis mereka. Ini dapat menghasilkan sengketa lebih lanjut dan meningkatkan ketegangan regional.
- Kedaulatan dan Identitas Nasional: Di dalam negeri, kehilangan klaim wilayah dapat menjadi isu sensitif dalam konteks kedaulatan dan identitas nasional RRT. RRT telah lama mendukung klaim historis mereka atas wilayah KLCS sebagai bagian dari identitas nasional mereka. Kehilangan klaim ini dapat memicu reaksi publik di dalam negeri dan mendorong RRT untuk lebih keras mempertahankan klaim tersebut.
- Perubahan Dinamika Kekuatan: Pengurangan klaim wilayah RRT dapat mengubah dinamika kekuatan di KLCS dan kawasan Asia Tenggara secara keseluruhan. Hal ini dapat mempengaruhi cara negara-negara regional berinteraksi satu sama lain dan dengan aktor-aktor internasional yang berkepentingan di kawasan tersebut.
- Kerjasama atau Konfrontasi: Reaksi RRT terhadap keputusan arbitrase ini akan sangat penting. RRT memiliki opsi untuk menerima dan berusaha untuk berunding lebih lanjut dengan negara-negara tetangga untuk menyelesaikan sengketa ini secara damai. Di sisi lain, jika RRT menolak keputusan arbitrase ini, ini dapat memicu lebih banyak konfrontasi dan ketegangan di KLCS.
- Dampak Ekonomi: KLCS memiliki nilai ekonomi yang besar karena merupakan jalur perdagangan laut yang penting dan memiliki cadangan sumber daya alam yang signifikan. Pengurangan klaim wilayah RRT dapat memengaruhi aksesnya terhadap sumber daya alam dan dampak ekonomi negara tersebut.
- Hukum Internasional dan Kepatuhan: Keputusan arbitrase ini memperkuat prinsip-prinsip hukum internasional, khususnya UNCLOS. Ini menegaskan pentingnya kepatuhan terhadap hukum internasional dalam menyelesaikan sengketa wilayah laut. Implikasi ini dapat membantu mengarahkan negara-negara lain di seluruh dunia untuk lebih mematuhi hukum internasional dalam konteks sengketa wilayah mereka.
Implikasi Terhadap Hubungan Filipina-RRT
Keputusan arbitrase ini memiliki dampak yang signifikan terhadap hubungan bilateral antara Filipina dan RRT. Sementara Filipina merayakan keputusan ini sebagai kemenangan hukum, RRT menolak dan menolak untuk mengakui keputusan tersebut. Beberapa implikasi terhadap hubungan kedua negara adalah:
- Peningkatan Ketegangan Diplomatik: Keputusan arbitrase ini meningkatkan ketegangan diplomatik antara Filipina dan RRT. RRT mengecam Filipina atas mengambil kasus ini ke pengadilan internasional dan memandangnya sebagai campur tangan eksternal dalam urusan dalam negeri mereka.
- Tidak Ada Penyelesaian Permanen: Keputusan arbitrase ini belum menghasilkan penyelesaian permanen terhadap sengketa wilayah di Laut China Selatan. RRT tetap mengklaim kedaulatan atas pulau-pulau tersebut, dan Filipina terus mempertahankan klaim mereka.
- Dampak Ekonomi: Sengketa ini juga memiliki dampak ekonomi. Filipina terhambat dalam mengakses sumber daya alam yang berlimpah di Laut China Selatan, yang bisa menjadi sumber pertumbuhan ekonomi. RRT, di sisi lain, dapat memperluas kontrol mereka atas sumber daya tersebut.
- Ketidakpastian Keamanan: Sengketa di Laut China Selatan juga berdampak pada ketidakpastian keamanan di kawasan tersebut. Ketegangan militer telah meningkat, dan kekhawatiran tentang konflik bersenjata yang lebih besar menjadi lebih mungkin.
Implikasi Terhadap Stabilitas di Kawasan Laut China Selatan
Keputusan arbitrase ini juga memiliki implikasi yang signifikan terhadap stabilitas di Kawasan Laut China Selatan secara keseluruhan. Kawasan ini telah menjadi fokus perhatian internasional, dan ketegangan yang berkepanjangan dapat membahayakan stabilitas kawasan dan perdamaian global. Beberapa implikasi terhadap stabilitas kawasan adalah:
- Kepatuhan Terhadap Hukum Laut Internasional: Keputusan arbitrase ini menggarisbawahi pentingnya kepatuhan terhadap hukum laut internasional, khususnya UNCLOS. Ini dapat menjadi preseden bagi negara-negara lain untuk mencari penyelesaian mirip terhadap sengketa mereka.
- Peningkatan Keterlibatan Pihak Ketiga: Sengketa di Laut China Selatan telah memicu minat banyak negara lain, termasuk Amerika Serikat dan negara-negara Eropa, untuk terlibat lebih aktif dalam kawasan tersebut. Ini dapat memperkuat stabilitas kawasan, tetapi juga meningkatkan ketegangan.
- Pengaruh Terhadap Aliansi dan Kemitraan: Keputusan arbitrase ini juga dapat memengaruhi dinamika aliansi dan kemitraan di kawasan tersebut. Filipina, sebagai sekutu Amerika Serikat, dapat mencari dukungan lebih lanjut dalam konteks ini.
- Peran Organisasi Regional: Organisasi regional seperti ASEAN (Association of Southeast Asian Nations) memiliki peran penting dalam mencoba menjaga stabilitas di Kawasan Laut China Selatan. Keputusan arbitrase ini dapat memengaruhi peran dan efektivitas organisasi-organisasi ini dalam menyelesaikan konflik.
Implikasi Hukum Internasional
Keputusan arbitrase Filipina vs. RRT menciptakan beberapa implikasi penting dalam konteks hukum internasional.
- Hukum Laut Internasional: Keputusan ini mengukuhkan pentingnya UNCLOS sebagai kerangka kerja hukum yang mengatur penggunaan dan pemanfaatan laut. Keputusan tersebut memperkuat otoritas UNCLOS dalam penyelesaian sengketa wilayah laut.
- Pengakuan dan Pelaksanaan Keputusan Arbitrase: Keputusan ini juga menunjukkan pentingnya Konvensi New York tentang Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing 1958 dalam menjalankan sistem penyelesaian sengketa internasional. Keputusan arbitrase ini menunjukkan bahwa kepatuhan terhadap putusan arbitrase adalah suatu kewajiban hukum internasional.
- Hukum Kepulauan dan Pulau Buatan: Keputusan tersebut juga memiliki implikasi yang lebih luas dalam hal hukum kepulauan dan pulau buatan. Ini dapat menjadi preseden penting untuk penyelesaian sengketa serupa di berbagai wilayah laut di seluruh dunia.
- Pengaruh Hukum Internasional: Keputusan arbitrase ini mencerminkan pengaruh hukum internasional dalam menyelesaikan konflik internasional. Ini menegaskan pentingnya hukum internasional dalam mengatur perilaku negara-negara di dunia.
Keputusan arbitrase Filipina vs. RRT memiliki implikasi yang signifikan terhadap hubungan antara kedua negara tersebut, serta stabilitas di Kawasan Laut China Selatan. Keputusan tersebut memperkuat posisi Filipina dalam sengketa wilayah ini, namun juga meningkatkan ketegangan dalam hubungan bilateral antara Filipina dan RRT. Implikasi hukum internasionalnya menciptakan preseden penting dalam penyelesaian sengketa internasional dan menegaskan pentingnya UNCLOS dan Konvensi New York dalam menjalankan sistem penyelesaian sengketa internasional. Oleh karena itu, penyelesaian sengketa melalui arbitrase internasional dapat memiliki dampak yang kompleks dan luas dalam konteks hubungan internasional dan stabilitas regional.
Simpulan
Penggunaan arbitrase internasional dalam menyelesaikan sengketa di Laut China Selatan telah memanifestasikan dirinya sebagai alat penting untuk memperkuat hukum laut internasional, sebagaimana tercermin dalam kasus antara Filipina dan Republik Rakyat Tiongkok. Meskipun menawarkan rute yang efektif untuk menjaga hak-hak suatu negara berdasarkan UNCLOS, pendekatan ini menunjukkan kelemahan utama, termasuk kekurangan sanksi yang kuat dan tantangan implementasi. Lebih jauh, keputusan ini menggugah implikasi yang mendalam, tidak hanya dalam mengubah dinamika hubungan bilateral tetapi juga dalam mempengaruhi stabilitas regional secara signifikan. Di sisi lain, keputusan ini telah mempertegas otoritas UNCLOS, sambil mempengaruhi norma dan kerangka hukum internasional terkait pulau buatan dan kepulauan. Untuk membangun pemahaman yang lebih kuat dan komprehensif tentang dampak jangka panjang dari keputusan ini, penelitian lebih lanjut yang mendalam diperlukan dalam konteks hukum, geopolitik, dan ekonomi regional.
References
- T. Rahma, "Strategi Hedging Filipina di Laut China Selatan Tahun 2017-2019," Yogyakarta, Indonesia: Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, 2021.
- E. R. Itasari and D. G. S. Mangku, “Elaborasi Urgensi dan Konsekuensi atas Kebijakan ASEAN Dalam Memelihara Stabilitas Kawasan di Laut Cina Selatan Secara Kolektif,” J. Harmon., vol. 5, no. 2, pp. 143–154, 2020.
- A. Ambarwati et al., “Pesona Kekayaan Alam: Sumber Konflik di Kawasan Laut China Selatan,” JULIA J. Litigasi Amsir, vol. 10, no. 2, pp. 340–347, 2023.
- A. M. Sendow, “Dampak Hukum Konflik Laut Cina Selatan Terhadap Perdagangan Lintas Batas Menurut Hukum Laut Internasional,” Lex Priv., no. 3, 2023. [Online]. Available: https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexprivatum/article/view/46868
- https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexprivatum/article/view/46868/41828
- Z. A. Sikumbang, "Kebijakan ASEAN Dalam Penyelesaian Sengketa Laut China Selatan Menurut UNCLOS 1982," Medan, Indonesia: Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, 2022.
- A. Fatmawati and E. Aprina, “Keabsahan Alasan Penolakan Republik Rakyat Tiongkok Terhadap Putusan Permanent Court Arbitration Atas Sengketa Klaim Wilayah Laut Cina Selatan Antara Philipina dan Republik Rakyat Tiongkok Berdasarkan Hukum Internasional,” Verit. Justitia, vol. 5, no. 1, pp. 105–129, Jun. 2019. doi: 10.25123/vej.3289.
- P. A. Aneira et al., “Peranan Hukum Internasional Dalam Menyelesaikan Sengketa,” J. Pendidik. Kewarganegaraan Undiksha, vol. 10, no. 3, pp. 197–205, 2022. [Online]. Available: https://ejournal.undiksha.ac.id/index.php/JJPP/article/view/52026
- G. H. Tampongangoy, “Arbitrase Merupakan Upaya Hukum Dalam Penyelesaian Sengketa Dagang Internasioanal,” Lex Soc., vol. III, no. 1, pp. 140–150, 2015.
- Z. A. A. Hadju, “Analisis UNCLOS 1982 Terkait Permasalahan Yurisdiksi Negara dan Penegakan Hukum Atas Kapal Berbendera Negara Asing,” SASI, vol. 27, no. 1, p. 12, Mar. 2021. doi: 10.47268/sasi.v27i1.254.
- G. Oduntan, “Access to Justice in International Courts for Indigent States, Persons and Peoples,” Indian J. Int. Law, vol. 58, no. 3–4, pp. 265–325, Dec. 2018. doi: 10.1007/s40901-019-00098-5.
- A. Yamazaki and S. Osawa, "Asymmetry Theory and China–Philippines Relations with the South China Sea as a Case," East Asia, vol. 38, no. 4, pp. 333–352, Dec. 2021. doi: 10.1007/s12140-021-09370-1.
- M. Simanjuntak, Konvensi PBB 1982 Tentang Hukum Laut: Makna dan Manfaatnya bagi Bangsa Indonesia, Jakarta, Indonesia: Mitra Wacana Media, 2018.
- B. R. Kaunang, M. G. Nainggolan, and C. D. Massie, “Penegakan Hukum di Wilayah Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (Perairan Natuna Utara) sebagai Kawasan Klaim Laut China Selatan,” Lex Adm., vol. X, no. 1, pp. 129–139, 2022. Available: [Online] https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/administratum/article/view/38307/34976
- Y. A. Sulistyani, A. C. Pertiwi, and M. I. Sari, “Indonesia's Responses Amidst the Dynamic of the South China Sea Dispute under Jokowi’s Administration,” J. Polit. Din. Masal. Polit. Dalam Negeri dan Hub. Int., vol. 12, no. 1, pp. 85–103, May 2021. doi: 10.22212/jp.v12i1.2149.
- D. W. S. Adi, “Analysis of Settlement of South China Sea Disputes by the International Arbitration Agency,” J. Huk. Lex Gen., vol. 2, no. 1, pp. 1–13, 2021.
- N. G. N. G. N. S. Pramesti, “Alternatif Penyelesaian Sengketa Arbitrase Internasional bagi Perusahaan Multinasional,” J. Ilmu Huk., vol. 01, no. 05, pp. 1–5, 2013. Available: [Online] https://ojs.unud.ac.id/index.php/Kerthanegara/article/view/6097
- M. Situmorang, "Pelaksanaan Putusan Arbitrase Nasional di Indonesia," J. Penelit. Huk. Jure, vol. 17, no. 4, p. 309, Dec. 2017. doi: 10.30641/dejure.2017.V17.309-320.
- A. R. Adhimarif, Analysis of the Rejection by the People's Republic of China of the Permanent Court of Arbitration's Decision on the Philippines' Claim in the South China Sea in 2016, Jakarta, Indonesia: UIN Syarif Hidayatullah, 2019.
- T. Anggraini, Legal Efforts of the Philippines Regarding China's Unwillingness to Accept the Decision of the International Arbitration Court Related to the South China Sea Dispute between China and the Philippines, Yogyakarta, Indonesia: Universitas Atma Jaya, 2018.
- M. A. Baderin, International Human Rights Law & Islamic Law, Jakarta, Indonesia: Mitragrafindo Mandiri, 2010.
- L. L. Imon, "Resolution of Maritime Disputes According to the 1982 Law of the Sea Convention," Sci. Lex, vol. 6, no. 3, pp. 35–38, 2018.
- A. M. Chalid, D. Heryadi, N. Suparman, and A. Sudirman, "ASEAN's Role in Responding to the United States and the Philippines Military Cooperation on the South China Sea Conflict," Intermestic J. Int. Stud., vol. 1, no. 1, pp. 5–22, 2016. doi: 10.24198/intermestic.v1n1.2.
- D. Gede et al., "Journal Pacta Sunt Servanda," vol. 4, no. September, pp. 110–119, 2023.
- Miranda and V. Maljak, "The Role of United Nations Convention on the Laws of the Sea in the South China Sea Disputes," E-International Relations, pp. 1–12, 2022.
- L. G. C. S. Laksmi, D. G. S. Mangku, and N. P. R. Yuliartini, "Indonesia's Role in the Resolution of International Disputes in the South China Sea," J. Komunitas Yust., vol. 5, no. 2, pp. 225–242, Oct. 2022. doi: 10.23887/jatayu.v5i2.51616.
- J. deLisle, "Foreign Policy Through Other Means: Hard Power, Soft Power, and China's Turn to Political Warfare to Influence the United States," Orbis, vol. 64, no. 2, pp. 174–206, 2020. doi: 10.1016/j.orbis.2020.02.004.
- T. S. I. Putra, F. X. A. Samekto, and S. Hardiwinoto, "Reclamation of the People's Republic of China's Islands in the South China Sea: An Analysis of Territory Expansion and Its Impact on International Shipping Routes," Diponegoro Law Rev., vol. 5, no. 41, pp. 1–13, 2016. Available: [Online] https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/dlr/article/view/10960/10629
- F. S. Al-Attar, "Indonesia's Stance on the South China Sea Dispute Following the Permanent Court of Arbitration Decision on July 12, 2017," Gema Keadilan, vol. 4, no. 1, pp. 143–156, Oct. 2017. doi: 10.14710/gk.2017.3777.
- J. Zaucha and K. Gee, Jacek Zaucha Kira Gee, Publisher Unknown, 2019.