Potential of Aspergillus flavus Isolated from Marginal Saline Soil as a Biofertilizer Agent: A Comparative Study with Trichoderma esperellum
Innovation in Agricultural Science
DOI: 10.21070/ijins.v22i.906

Potential of Aspergillus flavus Isolated from Marginal Saline Soil as a Biofertilizer Agent: A Comparative Study with Trichoderma esperellum


Potensi Aspergillus flavus yang Diisolasi dari Tanah Salin Marginal sebagai Agen Biofertilizer: Sebuah Studi Perbandingan dengan Trichoderma esperellum

Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia
Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia

(*) Corresponding Author

Aspergillus Flavus Biofertilizer Agent Diversity in vitro Growth Observation Marginal Saline Soil

Abstract

This study aimed to assess the potential of Aspergillus flavus, isolated from marginal saline soil, as a biofertilizer agent by comparing its in vitro diversity with the biological agent Trichoderma esperellum (collected from the UMSIDA Microbiology and Biotechnology Laboratory). The research was conducted at the Microbiology and Biotechnology Laboratory, University of Muhammadiyah Sidoarjo. Macroscopic and microscopic morphological tests were performed on Aspergillus flavus isolated from rice root soil. The sensitivity test of the biological agents on saline soil showed no influence on their growth. Notably, the findings indicated that Aspergillus flavus exhibited faster growth on saline soil compared to its growth on PDA-c media. Moreover, the combination of PDA-c and saline soil in ratios of 1:1 and 2:1 significantly enhanced the growth response of A. flavus by 50% and 70%, respectively, two days after inoculation. These results suggest the promising potential of Aspergillus flavus as a biofertilizer agent to enhance soil fertility in saline environments. 

Highlights:

  • Potential of Aspergillus flavus: The study aimed to determine the potential of the fungus Aspergillus flavus, isolated from marginal saline soil, as a biofertilizer agent. The research activity included comparing its diversity in vitro with the biological agent Trichoderma esperellum.
  • Morphological Tests: The fungus Aspergillus flavus was subjected to macroscopic and microscopic morphological tests. Morphological observations of the growth of biological agents were carried out macroscopically and microscopically.
  • Sensitivity of Biological Agents: The test of the sensitivity of biological agents on saline soils showed no influence on the growth of biological agents on saline soil media.

Pendahuluan

Lahan kurang produktif dapat dimanfaatkan sebagai lahan budidaya tanaman seperti lahan pasang surut dan rawa, diperkirakan terdapat 6-7 juta ha lahan pasang surut dan rawa di Indonesia yang dapat dimanfaatkan sebagai lahan pertanian[1]. Lahan-lahan tersebut masih terpengaruh oleh salinitas. Ekstensifikasi areal pertanian dilakukan dengan perluasan lahan dengan pemanfaatan lahan marginal. Pada lahan salin mengandung garam yang larut dalam tanah menyebabkan menurunnya produktivitas pada tanaman yang dibudidayakan pada lahan salin[2]. Kurangnya pemanfaatan tanah salin sebagai media budidaya tanaman disebabkan adanya efek toksi dan peningkatan tekanan osmotik akar yang berdampak terhadap terganggunya penyerapan unsur hara oleh tanaman[3].

Tanaman secara umum menyerap unsur hara dari larutan tanah dan aplikasi pupuk pada daun untuk perkembangan dan pertumbuhan serta proses lainnya pada tanaman. ketersediaan unsur hara tanah dikendalikan oleh banyak faktor diantaranya karakterisasi tanah seperti pH tanah, salinitas, siklus biogeokimia dan biofisikimia tanah[4].

Pemupukan dengan biofertilizer berbahan aktif mikroba menguntungkan memberikan manfaat bagi tanah diantaranya dapat memfasilitasi ketersediaan hara makro menjadi solusi untuk meningkatkan kandungan hara tanah dan tidak berdampak buruk terhadap kesehatan tanah[5]. Lebih lanjut dengan pemanfaatan mikroba efektif dapat menjadi upaya mengatasi cekaman lingkungan, membantu pertumbuhan tanaman[6]

Agen hayati biofertilizer, di antaranya dari kelompok jamur, dalam aktivitasnya di dalam tanah di samping berperan dalam menyediakan lingkungan rhizosfer yang baik, juga akan berperan dalam mendekomposisi bahan organik yang proses mineralisasinya tersebut akan menghasilkan nutrisi bagi tanaman[7]. Jamur mempunyai kemampuan mudah beradaptasi dengan kendala lingkungan yang parah dan dapat dengan mudah untuk dimanipulasi dengan masalah yang berbeda[8] selain itu jamur juga mempunyai potensi dalam biodegradasi, jamur mempunyai kemampuan unggul untuk menghasilkan berbagai protein ekstraselular dan senyawa organik lainnya[9].

Dampak lebih lanjut atas berbagai peran penting agen hayati tersebut adalah membantu meningkatakan ketahanan tanaman dari gangguan dan cekaman pathogen penyebab penyakit tanaman serta meningkatkan ketahanan tanaman dari cekaman lingkungan fisik seperti kemasaman tanah, kekeringan, dan kekahatan unsur tertentu dalamtanah; dengan demikian penggunaan mikroba sebagai pupuk hayati merupakan praktek agronomi yang ramah lingkungan[10]. Namun demikian kinerja dan konsistensi peran agen hayati dalam biofertilizer sangat ditentukan oleh karakteristik bahan baku carrier agent, proses formulasi dan pengkemasan, serta karakteristik intrinsik mikroba agen hayati itu sendiri khususnya terkait kemampuan biofertilasi dan produksi metabolit sekunder yang bermanfaat bagi tanaman[11].

Trichoderma sp. merupakan fungi menguntungkan yang banyak dijumpai hampir pada semua jenis tanah dan berbagai habitat. Fungi Trichoderma sp. berasosiasi dengan akar tanaman dan menyelimuti akar sehingga menimbulkan hubungan simbiosis mutualisme yang saling menguntungkan[12]. Trichoderma memproduksi antibiotic, toksin dan enzim yang dapat menghambat pertumbuhan pathogen dan mendegradasi bahan organik[13] serta meningkatkan ketahanan tanaman pada cekaman abiotik lingkungan[14] melepaskan ion P sehingga meningkatkan ketersediaannya pada tanah[15]. Jamur Trichoderma berperan sebagai plant growth promoting fungi (PGPF) dalam menciptakan lingkungan yang menguntungkan dan memproduksi metabolit sekunder dengan jumlah besar[16].

Aspergillus sp. sebagaifungi cosmopolitan yang tersebar pada berbagai kondisi lahan dan lingkungan[17], memiliki kemampuan dalam mendekomposisi bahan organik, meremediasi polutan pada lahan, juga dapat dimanfaatkan sebagai agen biocontrol bagi pathogen penyebab penyakit tertentu mengingat kemampuannya menghasilkan berbagai metabolit sekunder termasusk asam organic dan berbagai enzim[18]. Aspergillus flavus mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman tomat dibawah tanah dengan kandungan logam berat cadmium (Cd) dan kromium (Cr) serta keracunan tanaman dengan menyesuaikan fisiologis tanaman[19]. Dalam penelitian[20] menunjukkan bahwa Aspergillus flavus mempunyai potensi yang tinggi sebagai biodegradasi air limbah tekstil.

Oleh karena itu perlu dilakukan pengujian terhadap jamur Aspergillus flavus dan T. Asperellum sebagai agen hayati biofertilizer pada tanaman budidaya di tanah dengan salinitas. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan jamur Aspergillus flavus yang memiliki kemampuan sebagai agen hayati serta kemamuan berkinerja seperti halnya T. asperellum (koleksi Laboratorium Mikrobiologi dan BioteknologiUniversitas Muhammadiyah Sidoarjo (LMB UMSIDA) yang sudah terujisebagai agen hayati biofertilizer yang dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman sekaligus mengujia kemampuannya untuk hidup dan berkeragaman dalam media tumbuh standard (PDA klorampenikol) yang mengandung tanah salin.

Metode Penilitian

Isolasi dan Identifikasi Morfologi Agen Hayati

Isolasi jamur Aspergillus flavus dilakukan di laboratorium Mikrobiologi Universitas Muhammadiyah Sidoarjo. Jamur Aspergillus flavus diambil dari tanah rizosfer tanaman padi tanah lahan basah suboptimal di Sidoarjo. Jamur Aspergillus flavus diisolasi dan subkultur pada media PDA-c (Potato Dextrose Agar-chloramphenicol). Dari sampel tanah yang diambil pada kedalaman 0-15 cm disekitar akar tanaman padi, dicuplik sebanyak 2 gram dan diencerkan secara seri (serial dilution method) hingga pegenceran 10-4 dengan menggunakan beaker glass 100 ml yang pada tiap pengenceran dilakukan homogenisasi campuran tanah dan air destilat tersebut dengan menggunakan magnetic stirrer secukupnya hingga campuran merata dan homogen. Dari suspensi tersebut diambil sebanyak 1 ml dengan menggunakan syringe dan disemprotkan secara merata ke media PDA-c di permukaan cawan petri. Berikutnya cawan petri di-seal hingga rapat dan diinkubasi selama tiga hari. Koloni kecil yang diduga sebagai fungi Aspergillus flavus dicuplik dengan ujung jarum ose dan diinokulasikan ke permukaan media PDA-c baru,kemudian diinkubasi selama 7 hari. Isolate Aspergillus flavus diidentifikasi dengan karakteristik morfologi warna koloni kuning kehijauan, dikenal dengan cetakan beludru, koloni berbentuk butiran, seringkali dengan alur radial, berwarna kuning pada awalnya namun cepat menjadi kuning kehijauan seiring bertambanya usia jamur. Semua kegiatan isolasi dan inokulasi tersebut dilakukan secara aseptik. Perkembangan koloni dapat diamati selama masa inkubasi tersebut, dan dari koloni yang tumbuh tersebut dapat dicuplik dengan menggunakan jarum ose untuk dioleskan ke obyek gklas untuk pengamatan mikroskopis. Hasil pengamatan bentuk dan percabangan hifa, diameter hifa, dan diameter konidiospora diperbandingkan dengan berbagi jurnal bereputasi untuk menentukan dan memastikan bahwa isolatyang diperoleh adalah Aspergillus spp.

Pengamatan Pertumbuhan Uji In Vitro Agen Hayati

Dalam percobaan ini, isolate Aspergillus flavus yang ditemukan dari isolasi sampel tanah perakaran tanaman padi diamati pertumbuhan koloninya secara in vitro dan memperbandingkan dengan pertumbuhan koloni Trichoderma asperellum. Trichoderma asperellum merupakan isolate agen hayati koleksi Laboratorium Mikrobiologi dan Bioteknologi Universitas Muhammadiyah Sidoarjo, yang sudah teruji kemampuannya sebagai agen biofertilizer sekaligus agen biocontrol. Kegiatan percobaan dilaksanakan di Laboratorium Mikrobiologi dan Bioteknologi Universitas Muhammadiyah Sidoarjo Oktober 2022. Kedua isolate jamur Aspergillus flavus dan T.asperellum ditumbuhkan pada media PDA-c dengan masa inkubasi hingga empat hari. Tiap hari dilakukan pengamatan pertumbuhan koloni dengan mengukur diameter pertambahan jangkauan koloni, panjang koloni kemudian diperbandingkan pertumbuhan koloninnya.

Uji Keragaan Agen Hayati pada Tanah Salin

Jamur Aspergillus flavus hasil identifikasi selanjutnya diuji kemampuan untuk dapat hidup dan berkeragaan pada tanah salin dan diperbandingkan kemampuannya dengan isoat T.asperellum yang dianggaop sudah lolos pengujian daya biofertilasinya di Laboratoium LMB-UMSUDA. Masing-masing isolate ditumbuhan pada media PDA-c yang dicampur dengan tanah salin degan perbandingan 1:1 dan 2:1 dengan model dual culture seperti yang diaplikasikan pada pengujian daya hambat. Sementara itu masing-masing isolate juga ditumbuhkan pada media PDA-c saja sebagai mono culture. Dari masing-masing biakan isolate dicuplik dengan menggunakan cork borer ukuran 5 mm; kemudian hasil cuplikannya diletakkan dalam cawan berisi media PDA-c dengan jarak 3 cm dari masing-masing tepi cawan petri, kemudian diinkubasi dalam inkubator pada suhu 25˚C selama 4x24 jam. Persentase daya hambat dihitung hingga hari ke 4 dengan menggunakan rumus (1) ‘

Figure 1.Rumus Persentasi Daya HambatKetentuan: R1 merupakan jari-jari koloni jamur pada media PDA-c, sedangkan R2 adalah jari-jari koloni jamur pada media PDA-c dan tanah salin dengan perbandingan 1:1 atau 2:1.

Hasil dan Pembahasan

Hasil Isolasi dan Identifikasi Morfologi Agen Hayati

Hasil pengamatan morfologi terhadap isolate Aspergillus flavus yang diperoleh dari tanah rizosfer tanaman padi ditunjukkan pada Gambar 1a. Koloni berwarna coklat kekuningan, bertekstur seperti kapas dan bertepung. Hasil pengamatan secara mikroskopis A. flavus hasil inkubasi 72 jam dengan perbesara 400x (Gambar 1b) didapatkan penampilan konidial yang bulat dengan ukuran diameter rata-rata 2,39 µm , konidia panjang dan hifa bersekat dengan diameter rata-rata 3,25 µm

Figure 2.Karakteristik makroskopis (a) dan mikroskopis (b) jamur Aspergillus flavus

Berdasarkan gambar 2b jamur Aspergillus flavus mempunyai konidia yang berbentuk bulat. Konidia sangat penting bagi kelangsungan jenis fungi, karena merupakan salah satu organ reproduksi aseksual yang dapat menjamin eksistensi Aspergillus sp. Penyebaran konidio spora Aspergillus sp. yang halus diawali dengan perpindahan spora secara massif yang difasilitasi oleh pergerakan angin atau terbawa melalui tubuh binatang dan dapat tersebar ke mana-mana dengan tingkat penyebaran yang tinggi, sehingga fungi ini bersifat kosmopolitan[21].

Pengamatan In Vitro Agen Hayati

Pertumbuhan koloni masing-masing isolate Aspergillus flavus dan T. asperellum ditunjukkan pada gambar berikut

Figure 3.Perbandingan penampilan pertumbuhan antara Aspergillus flavus (atas) dan T. asperellum (bawah) pada 1 HSI dan 4 HSI

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa pertumbuhan diameter koloni isolate Aspergillus flavus pada media PDA-c lebih cepat daripada isolate T. asperellum. Pertumbuhan jamur Aspergillus flavus sangat cepat, sehingga dalam 4x24 jam setelah inokulasi (HSI) sudah berkembang memenuhi cawan petri berdiameter 9 cm, sedangkan isolate T. asperellum belum tumbuh memenuhi cawan petri.[22] menyatakan Jamur Aspergillus sp. mempunyai proses pertumbuhan yang sedang hingga cepat.

Pada isolate Aspergillus flavus pada hari ke 2 inkubasi pada pengamatan makroskopis jamur sudah menyebar ke seluruh cawan petri berukuran 9 cm ditemukan Aspergillus flavus warna koloni sudah terlihat kuning kehijauan dan permukaan seperti kapas, hal tersebut sesuai dengan pernyataan[23] yang mengemukakan bahwa jamur Aspergillus flavus mempunyai karakteristik warna hijau kekuningan dan permukaan seperti kapas.

Kecepatan pertumbuhan jamur Aspergillus flavus dibandingkan dengan T.asperellum dipengaruhi oleh konidia yang merupakan salah satu organ reproduksi aseksual jamur Aspergillus sp. konidia atau spora berisfat kosmopolitan, dimana konidia atau sporanya sangat ringan dan berukuran kecil sehingga mudah terbawa angin[21].

Uji Keragaan Hayati Pada Tanah Salin

Hasil pengujian keragaan kedua isolate fungi agen hayati menunjukkan penampilan pertumbuhan koloni hingga pengamatan 72 jam. Gambar 3 menunjukkan pertumbuhan koloni Aspergillus flavus pada media PDA-c salin 1:1 dan Gambar 4 menunjukkan pertumbuhan koloni Aspergillus flavus pada media PDA-c salin 2:1.

Figure 4.Pertumbuhan koloni Aspergillus flavus pada media salin 1:1

Figure 5.Pertumbuhan koloni Aspergillus flavus pada media salin 2:1

Figure 6.Pertumbuhan koloni Aspegillus flavus pada PDA-c sebagai control

Figure 7.Pertumbuhan T.asperellum pada media salin 1:1 250 g

Figure 8.Pertumbuhan T.asperellum pada media salin 2:1 250 g

Figure 9.Pertumbuhan T.asperellum pada media PDA-c sebagai control

Secara kuantitatif respons isolate fungi terhadap media yang diberi tanah salin diperlihatkan pada tabel 1.

Perlakuan Waktu pengamatan ke-
1 2 3 4
Aspergillus flavus media salin 1:1 1,5 -50 0 0
Aspergillus flavus media salin 2:1 -13,3% -75 0 0
T.asperellum media salin 1:1 -33.3 6,25 0 0
T. asperellum media salin 2:1 -13,3% 25 0 0
Table 1.Respon isolate fungi terhadap tanah salin

Seperti diperlihatkan pada Tabel 1 tampak kedua jenis fungi merespons secara cepat media tumbuh yang mengandung tanah salin. Namun demikian resposn pertumbuhan fungi A.flavus lebih baik dibandingkan dengan T.asperellum hingga hari kedua setelah inokulasi. Ini menunjukkan karakteristik yang menonjol kedua fungi sebagai agen hayati. Fakta ini sekaligus menjukkan bahwa kedua isolate sebagai fungi cosmopolitan yang mampu hidup dalam berbagai kondisi subtrat. Namun demikian A. flavus memiliki lebih baik dalam hal kemampuan menyesuaikan dengan lingkungan salin.

Secara alami mikroba dapat beradaptasi pada lingkungan yang paling sesuai untuk kebutuhan fungi tersebut tumbuh, untuk mendukung reproduksi dan pertumbuhan fungi membutuhkan nutrisi sebagai sumber energi dan kondisi lingkungan yang optimum yang harus dipenuhi untuk membangun komponen-komponen seluler dan menghasilkan energi untuk proses kehidupan sel[24]. Respon pertumbuhan fungi dipengaruhi oleh faktor lingkungan yaitu substrat, pH (derajat keasaman) dan senyawa kimia yang terkandung[23]. Perbedaan pertumbuhan fungi pada setiap media dapat disebabkan karena kontaminasi udara pada saat penuangan media pada cawan petri, kelembaban dan suhu media.

Kesimpulan

Berdasarkan penelitian ini, jamur Aspergillus flavus yang diisolasi dari tanah rizosfer tanaman padi pada lahan basah suboptimal di Sidoarjo menunjukkan potensi sebagai agen pupuk hayati (biofertilizer) dengan morfologi makroskopis berupa warna koloni kuning kehijauan, permukaan seperti kapas, dan hadirnya powder. Pengujian terhadap daya hambat agen hayati Aspergillus flavus dan Trichoderma asperellum pada tanah salin secara makroskopis menunjukkan bahwa pertumbuhan pada tanah salin lebih cepat dibandingkan dengan pertumbuhan pada media PDA-c. Penggunaan tanah salin dengan komposisi PDA-c:tanah salin 1:1 dan 2:1 meningkatkan respons pertumbuhan A. flavus sebesar 50% dan 70% pada dua hari setelah inokulasi. Implikasi dari penemuan ini adalah bahwa jamur Aspergillus flavus dapat menjadi alternatif potensial dalam meningkatkan produktivitas pertanian pada lahan yang mengalami salinitas tinggi. Namun, penelitian lebih lanjut diperlukan untuk memahami mekanisme interaksi antara A. flavus dan T. asperellum pada lingkungan tanah salin serta dampak jangka panjang penggunaan agen hayati ini terhadap kesuburan tanah dan lingkungan.

References

  1. B. S. A. Syahputra, "Potensi Tanah Salin Sebagai Pengembangan Lahan Tanaman Padi (Oryza sativa L.)," J. Ilmu Pertan. Agril., vol. 9, no. 3, pp. 129–134, 2021.
  2. M. F. Seleiman and A. M. S. Kheir, "Chemosphere Saline Soil Properties , Quality and Productivity of Wheat Grown with Bagasse Ash and Thiourea in Different Climatic Zones," Chemosphere, vol. 193, pp. 538–546, 2018, doi: 10.1016/j.chemosphere.2017.11.053.
  3. R. Atika, E. S. Bayu, and E. H. Kardhinata, "Respons Pertumbuhan dan Produksi Beberapa Varietas Kacang Hijau (Vigna radiata L.) Dengan Pemberian Giberelin di Lahan Salin," J. Pertan. Trop., vol. 5, no. 3, pp. 384–390, 2018, [Online]. Available: https://jurnal.usu.ac.id/index.php/Tropik
  4. H. El-Ramady et al., "Plant Nutrients and Their Roles Under Saline Soil Conditions," Plant Nutr. Abiotic Stress Toler., pp. 297–324, 2018, doi: 10.1007/978-981-10-9044-8.
  5. D. Y. and R. N. Betty Natalie Fitriatin, Tien Turmuktini, Muhamad Iqbal Kusma Sudana2, "Efisiensi Pupuk dan Peningkatan Hasil Padi Gogo dengan Aplikasi Pupuk Hayati dan Arang Tempurung Kelapa," vol. 18, no. 1, 2020.
  6. A. Miftakhurrohmat, "The Vegetative Growth Response of Detam Soybean Varieties towards Bacillus subtilis and Trichoderma sp. Applications as Bio-fertilizer," vol. 03024, 2021, doi: https://doi.org/10.1051/e3sconf/202123203024.
  7. H. Jamil, Z. Zainal, M. Yunus, B. Baharuddin, and M. Tuwo, "Aplikasi Pupuk Hayati Mikrobat Untuk Meningkatkan Produktivitas Pertanaman Padi Desa Bulu Allaporenge Kabupaten Bone," J. Ilmu Alam dan Lingkung., vol. 11, no. 1, pp. 10–15, 2020.
  8. S. S. Salem, A. A. Mohamed, M. S. El-Gamal, M. Talat, and A. Fouda, "Biological Decolorization and Degradation of Azo Dyes from Textile Wastewater Effluent by Aspergillus niger," Egypt. J. Chem., vol. 62, no. 10, pp. 1799–1813, 2019, doi: 10.21608/EJCHEM.2019.11720.1747.
  9. S. S. Salem and A. Fouda, "Green Synthesis of Metallic Nanoparticles and Their Prospective Biotechnological Applications: An Overview," Biol. Trace Elem. Res., vol. 199, no. 1, pp. 344–370, 2021, doi: 10.1007/s12011-020-02138-3.
  10. M. Rahmansyah, A. Sugiharto, and T. Juhaeti, "Pengaruh Inokulan Aspergillus niger terhadap Pertumbuhan Kecambah Sorgum Tercekam Kekeringan dan Pertumbuhannya di Lapangan," Pros. Semin. Nas. Masy. Biodiversitas Indones., vol. 3, no. 3, pp. 426–432, 2017, doi: 10.13057/psnmbi/m030322.
  11. Y. Astutui and A. Rahim, "Pengamatan Pertumbuhan Tanaman Bayam (Amaranthus tricolor L.) Pasca Aplikasi Biofertilizer (Bahan Aktif Aspergillus sp.) Sediaan Cair," Biocelebes, vol. 14, no. 2, pp. 199–209, 2020, doi: 10.22487/bioceb.v14i2.15272.
  12. N. Elita et al., "Pengaruh Aplikasi Trichoderma spp. Indigenous terhadap Hasil Padi Varietas Junjuang Menggunakan System of Rice Intensification Effects of Indigenous Trichoderma spp. Application on the Yield of Junjuang Variety Rice under the System of Rice Intensificat," vol. 45, no. 1, pp. 79–89, 2021.
  13. S. Sutarman, A. K. Jalaluddin, A. S. Li’aini, and A. E. Prihatiningrum, "Characterizations of Trichoderma sp. and Its Effect On Ralstonia solanacearum of Tobacco Seedlings," J. Hama Dan Penyakit Tumbuh. Trop., vol. 21, no. 1, pp. 8–19, 2021, doi: 10.23960/jhptt.1218-19.
  14. J. Shang, B. Liu, and Z. Xu, "Efficacy of Trichoderma asperellum TC01 against Anthracnose and Growth Promotion of Camellia sinensis Seedlings," Biol. Control, vol. 143, no. September 2019, 2020, doi: 10.1016/j.biocontrol.2020.104205.
  15. N. Elita, H. Harmailis, R. Erlinda, and E. Susila, "Pengaruh Aplikasi Trichoderma spp. Indigenous terhadap Hasil Padi Varietas Junjuang Menggunakan System of Rice Intensification," J. Tanah dan Iklim, vol. 45, no. 1, p. 79, 2021, doi: 10.21082/jti.v45n1.2021.79-89.
  16. N. A. Zin and N. A. Badaluddin, "Biological Functions of Trichoderma spp. for Agriculture Applications," Ann. Agric. Sci., vol. 65, no. 2, pp. 168–178, 2020, doi: 10.1016/j.aoas.2020.09.003.
  17. G. W. K. Putra, Y. Ramona, and M. W. Proborini, "Eksplorasi Dan Identifikasi Mikroba Yang Diisolasi Dari Rhizosfer Tanaman Stroberi (Fragaria x ananassa Dutch.) Di Kawasan Pancasari Bedugul," J. Biol. Sci., vol. 7, no. September, pp. 205–213, 2020, doi: 10.24843/metamorfosa.2020.v07.i02.p09.
  18. V. Kagot, S. Okoth, and M. De Boevre, "Biocontrol of Aspergillus and Fusarium Mycotoxins in Africa: Benefits and Limitations," pp. 1–9, 2019, doi: 10.3390/toxins11020109.
  19. L. Aziz et al., "Aspergillus Flavus Reprogrammed Morphological and Chemical Attributes of Solanum lycopersicum through SlGSH1 and SlPCS1 Genes Modulation under Heavy Metal Stress," J. Plant Interact., vol. 16, pp. 104–115, 2021, doi: 10.1080/17429145.2021.1903105.
  20. M. T. Selim, S. S. Salem, A. A. Mohamed, M. S. El-Gamal, and M. F. Awad, "Biological Treatment of Real Textile Effluent Using Aspergillus flavus and Fusarium oxysporium and Their Consortium along with the Evaluation of Their Phytotoxicity," J. Fungi, p. 20, 2021, doi: https://doi.org/10.3390/jof7030193.
  21. N. I. I. Mawarni, I. Erdiansyah, and R. Wardana, "Isolasi Cendawan Aspergillus sp. pada Tanaman Padi Organik," Agriprima J. Appl. Agric. Sci., vol. 5, no. 1, pp. 68–74, 2021, doi: 10.25047/agriprima.v5i1.363.
  22. N. Noerfitryani and H. Hamzah, "Inventarisasi Jenis-Jenis Cendawan Pada Rhizosfer Pertanaman Padi," J. Galung Trop., vol. 7, no. April, pp. 11–21, 2018.
  23. K. Saputri, "Perbedaan Pertumbuhan Jamus Aspergillus flavus Dengan Menggunakan Media Ubi Jalar Sebagai Pengganti PDA (Potato Dextrose Agar)," J. Sekol. TInggi Ilmu Kesehat. Insa. Cendikia Med. Jombang, vol. 1, no. 1, pp. 1–6, 2018, [Online]. Available: http://repo.stikesicme-jbg.ac.id/1004/
  24. G. Fallo, "Pertumbuhan Fusarium Verticillioides, Aspergillus flavus, dan Eurotium chevalieri pada Berbagai Media," J. Penelit. Konserv. Lahan Kering, vol. 2, no. 2477, pp. 39–41, 2017.