Abstract
This study aims to find answer to the problem of workers who are laid off because of illness for less than 12 mounth, Article 81 No 40 of the job Creation Law “Termination of employment carried out for reasons as reffered to in paragraph (1) is null and void by law and the employer obliged to re-employ the worker concerned”. If the company continues to lay off workers, the workers can make demands which in the lawsuit contain alternative demands, namely: demanding that they be re-employed or demanding workers’ rights in accordance with Law No.13 of 2003. This research uses qualitative research methods that study the legislation and the principles contained in the legislation. The conclusion of the study is that laypffs carried out on the grounds that workers are exposed to Covid-19 are considered ineligible in the provisions of the law, because sick workers should receive protection from the company when carrying out obligations to the company and thecompany should fulfil responsibilities by providing protection and rights to workers tied to the company.
Pendahuluan
Bulan desenber tahun 2019 pertama kali dikonfirmasi temuan variant virus baru dengan laporan berasal dari kota Wuhan, Provinsi Hubei, China. temuan ini dikaitkan dengan lima pasien yang dirawat dan dicurigai terjangkit Virus jenis Corona Virus Disease 2019 (SARS-Cov-2) atau (Covid-19) [1]. Sebab menjukkan gejala seperti yang terjadi pada penderita yang terpapar Corona Virus Disease 2019 (SARS-Cov-2). sejak saat pertama kali virus ditemukan pada 31 Desember 2019 hingga 3 Januari 2020 kasus ini meningkat pesat dengan laporan sebanyak 44 kasus. Dalam jangka waktu kurang dari satu bulan wabah ini telah menyebar di berbagai provinsi lain di China hingga ke negara terdekat seperti Thailand, Jepang, dan Korea Selatan. 06 juni 2021 pukul 08.33 WIB total kasus dari Covid-19 berjumlah 172,865,872 jiwa. Dari jumlah kasus tersebut jumlah yang meninggal dunia adalah 3,718,720 jiwa. Indonesia menempati urutan ke-18 dengan kasus berjumlah 1,850,206 jiwa. kasus tertinggi global dipegang negara USA dengan total kasus 33,503,141 jiwa. Lockdown atau mengunci wilayah yang dilakukan di berbagai negara seperi Cina, Australia, Malaysia dan banyak negara lainnya
Indonesia menjadi salah satu negara yang mengalami wabah pandemic covid-19, pemerintah juga menyatakan bahwa Virus Covid-19 sebagai bencana non-alam, berupa wabah yang harus dilakukan upaya penyelengaaraan karantina kesehatan sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-Undang No.6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan. Tujuannya adalah untuk memutus tali rantai penyebaran covid-19, agar tidak berlarut-larut. Dalam kebijakan tersebut pemerintah menggeluarkan kebijakan Pembatas Skala Besar Besaran (PSBB) yang dilakukan pada seluruh perbatasan daerah. Serta membatasi segala kegiatan yang dilakukan ditempat umum, kegiatan belajar di sekolah, bekerja di pabrik atau perusahaan, hingga beribadah yang biasa dilakukan ditempat ibadah harus di kurangi secara signifikan.[2]
Kebijakan ini berdampak pada sektor industri dimana banyak perusahaan yang terpaksa melakukan penutupan perusahaan atau pabrik karena tidak dapat berproduksi secara normal disebabkan ketelambatan pengiriman material produksi barang dan tidak dapat melakukan pengiriman produk keluar kota dan/ atau luar negri untuk produk yang sudah terproduksi. Kondisi tersebut menyebabkan banyak pekerja mengalami pembatalan perjanjian kerja yang dilakukan secara sepihak oleh perusahaan. meski perjanjian kerja sudah ditetapkan oleh perusahaan dan pekerja. Banyak perusahaan melakukan PHK dengan Alasan force majeur (keadaan memaksa), “merumahkan” para pekerja tanpa dibayar hingga melakukan PHK dengan alasan pekerja sakit akibat terpapar virus covid-19.[3]
PHK massal di masa pandemic banyak yang terjadi pada pekerja waktu tertentu (PKWT). Karena dianggap tidak memiliki kekuatan hukum yang cukup kuat. Permasalah perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), karna dianggap tidak terdapatnya perlindungan hukum yang kokoh untuk pekerja kontrak, membuat banyak pengusaha nakal melakukan PHK secara sepihak tanpa berdiskusi dengan pekerja yang bersangkutan. PHK bukanlah permasalahan baru dalam dunia kerja [4], PHK telah terjadi semenjak bertahun- tahun lamanya, hal yang dianggap sebagai permasalahan sensitif untuk pekerja karna muncul dengan berakhirnya suatu ikatan kerja bagi tenaga kerja dengan pengusaha yang berdampak hilangnya mata pecaharian, dan akan dimulainya masa pengangguran dengan seluruh dampaknya.
Undang- Undang No 13 Tahun 2003 diciptakan dengan tujuan membagikan proteksi terhadap tenaga kerja agar pekerja dapat diperlakukan dengan baik serta layak, dan mendapatkan kepastian serta ketentraman hidup pekerja beserta keluargannya. Sebisa mungkin PHK di hindarkan,tetapi apabila seluruh upaya sudah dilakukan agar tidak terjadinya PHK tersebut tetapi masih tidak menemukan titik terang untuk keduanya, maka perusahaan dapat melakukan pemutusan hubungan tetapi dengan syarat pengusaha wajib melaksanakan negosiasi terlebih dulu dengan pekerja yang bersangkutan supaya tidak ada salah paham mendatang.[5]
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif yang mempelajari peraturan perudang- undangan atau norma dan asas- asas yang tercantum dalam peraturan perundang- undangan. Penelitian ini dibuat untuk mencari jawaban atas rumusan masalah yang dibahas dalam penelitian berlandaskan ketentuan hukum yang berlaku, dengan teori pendukung yang lain. Pendekatan masalah penelitian yang digunakan oleh penulis adalah yuridis normative yaitu Pendekatan Undang-Undang (Statute Approach) dan Pendekatan konsep (Conceptual Approach). Bahan hukum diperlukan sebagai pendukung penyusunan penelitian yaitu bahan hukum primer yang didapatkan dari Undang-undang dan peraturan-peraturan resmi dari pemerintah, seperti Undang-Undang No 13 Tahun 2003, PP 35 Tahun 2021, Undang-Undang No 39 Tahun 1999. bahan hukum sekunder berbentuk buku-buku, jurnal, serta article yang mendukung penelitian penulis. Serta bahan hukum tersier yaitu bahan non-hukum yang tidak berkaitan dengan bahan hukum premier dan sekunder, untuk melengkapi penyusunan penelitian ini.
Hasil dan Pembahasan
A. Perjanjian Kerja Menurut Undang-Undang Ketenagakerjaan
Perjanjian kerja adalah ikatan perjanjian dibuat antara pengusaha dan pekerja atau buruh. Undang-Undang No 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan menuliskan bahwa ada beberapa jenis perjanjian kerja yaitu perjanjian kerja waktu tertentu, perjanjian kerja waktu tidak tertentu, dan perjanjian kerja Bersama. Pasal 56 Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yaitu:
(1) Perjanjian kerja yang dibuat untuk waktu tidak tertentu dan perjanjian waktu tertentu.
(2) Sebagaimana yang disebutkan pada ayat (1) untuk perjanjian waktu tertentu dapat dilakukan dengan syarat:
a. Jangka waktu tertentu.
b. Selesainya suatu pekerjaaan tertentu.
Perjanjian kerja waktu tertentu dengan jangka waktu tertentu status pekerjaannya adalah pekerja kontrak. Sedangkan perjanjiaan waktu tidak tertentu dengan perjanjian kerja tetap status pekerjanya adalah pekerja tetap. Pasal 1 angka 10 PP Nomor 35 Tahun 2021 tentang perjanjian kerja waktu tertentu,alih daya, waktu kerja dan waktu istirahat, dan pemutusan hubungan kerja mendefinisikan bahwa PKWT sebagai “perjanjian kerja waktu tertentu yang selanjutnya disingkat PKWT adalah perjanjian kerja antara pekerja atau buruh dengan pengusaha untuk melakukan hubungan kerja dalam waktu tertentu dan melaksanakan pekerjaan tertentu”[6]. Perjanjian yang telah dibuat perusahan dan pekerja PKWT atau PKWTT harus memenuhi syarat dan hak pekerja seperti dalam Undang-Undang yang berlaku. Beberapa macam hak pekerja sesuai dengan peraturan yaitu:
1. Hak Dasar Pekerja
- Kebebasan berserikat untuk berunding bersama
- Penghapusan Segala Bentuk Kerja Paksa
- Penghapusan Diskriminasi Dalam Pekerjaan dan Jabatan
2. Hak Tenaga Kerja
3. Hak Untuk Bekerja
4. Hak Pekerja
Apabila perusahaan atau pekerja yang melakukan PHK sebelum masa kontrak berakhir maka yang melakukan PHK lebih dulu wajib menganti rugi terhadap pihak lainnya sejumblah gaji batas waktu perjanjian kerja yang telah disepakati saat melakukan perjanjian kerja[7]. maka PHK yang dilakukan harus sesuai prosedur seperti yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan mengenai hak dan kewajiban. Hak pekerja yang harus dibayarkan oleh perusahaan saat melakukan PHK pada pekerja antara lain “uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak”.
Suatu perusahaan yang bersikeras melakukan PHK pada pekerja sebelum masa kontrak berakhir berkonsekuensi Pasal 62 UU Ketenagakerjaan sebagai berikut: “apabila salah satu pihak mengakiri hubungan kerja sebelum berakirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam perjanjian kerja waktu tertentu, atau berakhirnya hubungan kerja bukan karena ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 61 ayat (1), pihak yang mengakhiri hubungan kerja diwajibkan membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah pekerja atau buruh sampai batas waktu berakirnya jangka waktu perjanjian kerja”. Selain ganti rugi pekerja kontrak berhak menerima uang kompensasi dari perusahaan seperti telah diatur dalam Pasal 17 PP 35 Tahun 2021: “dalam hal salah satu pihak mengakiri hubungan kerja sebelum berakirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam PKWT, Pengusaha wajib memberikan uang kompensasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 15 ayat (1) yang besarannya dihitung berdasarkan jangka waktu PKWT yang telah dilaksanakan oleh pekerja atau buruh”.[8]
B. Pemutusan Hubungan Kerja Dengan Alasan Terpapar Virus Covid-19 Menurut Undang-Undang Ketenagakerjaan
Undang-Undang No.13 Tahun 2003 Pasal 1 angka 25 mengatakan bahwa pengakhiran hubungan kerja terjadi disebabkan dimana berakirnya kewajiban antara pekerja dan pengusaha. PHK adalah permasalahan lama yang berlangsung pada perseroan yang sedang tengah mengalami kerugian ataupun penyusutan omset keuangan, sehingga perseroan tidak dapat membiayai kelangsungan produksi serta tidak mampu untuk membayar upah karyawan mereka, sehingga PHK menjadi salah satu metode alternatif yang dilakukan untuk mengurangi jumblah pengeluaran yang di gunakan untuk membayar upah pekerja[9].
Pada permasalahan yang dibahas dalam artikel ini adalah PHK yang terjadi bukan karna perusahaan mengalami penyusutan omset atau pailit, melainkan suatu keadaan yang berhubungan dengan terjadinya pandemi Virus Covid-19 sebagai penyakit menular yang dapat menimbulkan peristiwa dan tidak dapat diprediksi, seperti penyakit menular yang menyebabkan kematian dibatas wajar. Jika terdapat kejadian seperti dimaksudkan sebelumnya, maka diperlukannya upaya penanggulangan karantina kesehatan pada seluruh masyarakat yang berada pada lingkungan yang mengalami wabah penyakit tersebut supaya tidak semakin menyebar luas.
Pencegahan yang dilakukan pemerintah dengan melakukan penutupan pintu masuk wilayah kota atau negara, melakukan pembatasan sosial skala besar untuk mencapai keberhasilan dari tujuan kekarantiaan kesehatan tersebut. Berdampak pada aktivitas ekonomi terutama pada bidang industry, banyak perusahaan yang terpaksa tutup dan tetap menggeluarkan biaya untuk aktivitas rutin karna tetap memperkerjakan pekerja dalam masa pandemi meskipun resiko terpapar virus tersebut sangat tinggi, meski semua protokol kesehatan telah dijalankan perusahaan dengan ketat dan penggurangan jam kerja atau libur sehari kerja sehari dilakukan dinilai belum memberikan solusi, karna masih banyak pekerja yang terpapar virus covid-19 , hal membuat pihak perusahaan harus mem-WFH (work from home) pekerjanya untuk melakukan karantina mandiri sampai benar-benar dinyatakan terbebas dari virus covid-19 dengan menunjukkan hasil PCR kepada perusahaan.[10]
Keadaan tersebut membuat pengusaha semakin terbebani, karena untuk perusahaan yang memilih tetap menjalankan produksinya atau meliburkan pekerjanya diwajibkan untuk membayarkan upah pekerja baik itu yang masuk kerja atau sedang WFH sesuai dengan peraturan Undang-Undang yang berlaku. Hal ini menyebabkan penggeluaran perusahaan membengkak dari pemasukan yang di terima, menyebabkan banyak perusahaan yang mengalami pailit atau penutupan. kondisi pandemi menjadi semakin berat karena peredaran uang juga menjadi tidak normal. Perusahaan yang menyatakan akan melakukan pemutusan hubungan ikatan kerja karna pekerja dinyatakan terpapar virus covid-19 kurang dari 12 (dua belas) bulan dianggap tidak sah dan batal demi hukum[11].
Suatu perusahaan dapat melakukan pemutusan hubungan ikatan kerja terhadap pekerja jika didasari dengan alasan yang sesuai pada peraturan Undang-Undang yang berlaku. Beberapa peyebab pemutusan hubungan kerja yang dapat dilakukan yaitu antara lain:
a). PHK yang terjadi atau dilakukan demi hukum tanpa adanya tindakan, hal ini terjadi karena adanya sebuah peristiwa diluar batas kemampuan manusia seperti berakhirnya usia atau meninggal dunia.
b). PHK yang terjadi disebabkan karena keinginan pekerja itu sendiri, yang melakukan pemutusan kontrak hubungan kerja dengan perusahaan karena beberapa alasan tertentu.
c). PHK yang terjadi disebabkan oleh sebuah perusahaan karena beberapa alasan perusahaan atau pengusaha yang mengharuskan melakukan PHK terhadap karyawannya.
d). PHK yang terjadi karena putusan pengadilan, adalah sebuah peristiwa yang terjadi diseebabkan beberapa hal tertentu yang sangat penting dan mendesak, seperti terjadinya peralihan pemilik perusahaan atau perusahaan yang di pailitkan [12].
Pandemi Covid-19 yang dianggap sebagai penyebab utama penutupan atau pailit yang dialami perusahaan yang disertai dengan kasus pemutusan hubungan kerja yang meningkat. PHK yang dilakukan dengan alasan kerugian yang di alami perusahaan secara terus menerus pada masa pandemi bisa dijadikan alasan untuk melakukan pemutusan hubungan kerja karena alasan tersebut sah menurut hukum. Dan tetap memberikan hak pekerja sesuai dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan yaitu:
a.) Hak atas Uang pesangon
b.) Hak atas Uang Penghargaan Masa Kerja
c.) Hak atas Uang Penggantian Hak
Setiap yang terkena PHK berhak atas uang pesangon, tunjangan penghargaan masa kerja, dan tunjangan penggatian hak yang besarannya sesuai dengan masa kerja dan penyebab terjadinnya pemutusan hubungan kerja. Pemutusan hubungan kerja (PHK) boleh saja dilakukan oleh pengusaha terhadap pekerja tetapi harus memenuhi syarat dan prosedur serta memberikan hak terhadap pekerja seperti yang telah ditetapkan dalam peraturan yang berlaku[13].
Perusahaan yang melakukan pemutusan kerja terhadap pekerja sakit karna covid kurang dari 12 bulan, menurut UU Ciptaker Pasal 153 ayat (1) huruf a, Tindakan perusahaan tersebut adalah dilarang. Hal ini sejalan dengan konsep perlindungan HAM. Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia nomor 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia Pasal 1 angka 1 mengatakan bahwa hak asasi manusia sebagai makhluk Tuhan yang Maha Esa merupakan suatu anugrahnya yang wajib di horkmati, dijunjung tinggi dan dilindungi Negara hukum, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Dengan dibuatnya Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 untuk dijadikan dasar hukum melindungi dan menegakkan hak asasi manusia bagi semua warga negara Indonesia[14].
PHK karena sakit tidak di benarkan, konsekuensi PHK karna sakit di uraikan dalam Pasal 81 no 40 UU Cipta kerja yang mengubah Pasal 153 ayat (2) UU Ketenagakerjaan yang menyebutkan: “pemutusan hubungan kerja yang dilakukan dengan alasan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) batal demi hukum dan pengusaha wajib memperkerjakan Kembali pekerja atau buruh yang bersangkutan” Dengan adanya ketentuan larangan PHK karena sakit dan konsekuensi seperti yang telah dituliskan diatas, pengusaha dilarang melakukan PHK kepada pekerja yang sedang sakit dan jika PHK tetap dilakukan maka perusahaan harus memperkerjakan kembali pekerja yang bersangkutan[15]. Jika pengusaha bersikeras tidak memperkerjakan pekerja setelah batal demi hukum-nya alasan PHK tersebut, pengusaha tetap wajib membayar upah pekerja. Sebab UU Ketenagakerjaan mengatur bahwa jika pekerja bersedia melakukan pekerjaan yang telah dijanjikan tetapi pengusaha tidak memperkerjakannya, baik karena kesalahan sendiri maupun halangan yang seharusnya dapat dihindari pengusahan pengusaha wajib membayar upah pekerja, bahkan pekerja yang sakit singga tidak bisa melakukan pekerjaan tetap berhak menerima upah dari pengusaha.
Simpulan
Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan perusahaan kepada pekerja sebelum masa perjanjian kontrak berakhir. Tidak sesuai dengan peraturan Undang-Undang yang berlaku. pihak yang terlebih dahulu melakukan pemutusan hubungan kerja diwajibkan membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar gaji pekerja sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja. Pemutusan hubungan kerja dengan alasan bahwa pekerja terpapar Covid-19 dianggap tidak memenuhi syarat yang ada dalam ketentuan Undang-Undang. perusahaan tidak dapat melakukan PHK karenakan pekerja sakit kurang dari 12 (dua belas bulan) suatu perusahaan yang tetap melakukan PHK dengan alasan yang disebutkan diatas maka dianggap tidak sah dan bertentangan dengan Undang-Undang Pasal 81 no 40 UU Cipta Kerja yang mengubah pasal 153 ayat (1) huruf a UU Ketenagakerjaan. Serta tidak sejalan peraturan Undang-Undang Republik Indonesia nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 1 angka 1 yang mengatakan bahwa hak asasi manusia sebagai makhluk Tuhan yang Maha Esa merupakan suatu anugrahnya yang wajib di hormati, dijunjung tinggi dan dilindungi negara, hukum, serta mendapatkan perlindungan harkat dan martabat sebagai manusia.
References
- Fauziyah, “Pemutusan Hubungan Kerja Pada Masa Pandemi Covid-19 Perspektif Fiqih Muamalah,” 2021.
- Undang Undang Nomor 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Wilayah, “Undang Undang Nomor 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Wilayah,” Natl. Stand. Agency Indones., pp. 31–34, 2018, [Online]. Available: https://jdih.bsn.go.id/produk/detail/?id=730&jns=2
- Daryl John Rasuh, “Kajian Hukum Keadaan Memaksa (Force Majeure) Menurut Pasal 1244 dan Pasal 1245 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,” vol. IV, no. 2, pp. 173–180, 2016.
- Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia. Cet.12 Jakarta: Rajawali Pers, 2014.
- Undang - Undang RI No 13, “Undang - Undang RI No 13 tahun 2003,” Ketenagakerjaan, no. 1, 2003.
- Pemerintah, “Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 Tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja [Government Regulation Number 35 of 2021 concerning Work Agreements for Certain Time, Outsourcing, W,” no. 086142, p. 42, 2021, [Online]. Available: https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/161904/pp-no-35-tahun-2021
- M. Muslim, “Moh . Muslim : ‘ PHK pada Masa Pandemi Covid-19 ’ 358,” ESENSI J. Manaj. Bisnis, vol. 23, no. 3, pp. 357–370, 2020.
- Muhammad Satria Aldista, “Perjanjian Kerja Waktu Tertentu Akibat Pandemi Covid-19,” UNIVERSITAS SUMATERA UTARA, 2020.
- R. A. A. P. Permatasari, “PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEKERJA KONTRAK YANG DI PHK SAAT MASA KONTRAK SEDANG BERLANGSUNG 1 R A Aisyah Putri Permatasari Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya Jalan Airlangga Nomor 4-6 , Gubeng Surabaya 60115 , Indonesia A . Pendahuluan 1 . Latar B,” pp. 110–126, 2018, doi: 10.5281/zenodo.1161854.110.
- AULIANA RISMITA, DAMPAK COVID-19 TERHADAP PHK MASSAL DI INDONESIA. Jakarta: Ghalia Indonesia, 2009.
- A. Wijayanti, P. Studi, I. Hukum, and F. Hukum, “HAK PEKERJA YANG TERKENA PHK SEBELUM MASA KONTRAK BERAKHIR THE RIGHTS OF LAID-OFF WORKERS BEFORE THE EXPIRATION OF THE CONTRACT PERIOD PENDAHULUAN Bertambahnya penduduk yang bekerja , akan diikuti meningkatnya kasus ketenagakerjaan yang kian bermacam- mac,” pp. 142–157, 2021.
- M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata. Jakarta: Sinar Grafika, 2015.
- A. Wijayanti, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, no. 5. 2009.
- Presiden Republik Indonesia, “Undang-Undang No . 39 Tahun 1999,” Undang. Republik Indones. Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Mns., no. 39, pp. 1–45, 1999.
- R. Indonesia, “Undang Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja,” Peraturan.Bpk.Go.Id, no. 052692, pp. 1–1187, 2020, [Online]. Available: https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/149750/uu-no-11-tahun-2020