Abstract
This study aims to find out Work-Family Conflict, Job Stress and Its Relationship with Performance Experienced by Female Honorer Teachers During the Covid-19 Pandemic. This research is a qualitative research with a phenomenological approach with data collection methods, namely interviews, observations and documentation. The informants in this study were ten honorer teachers who had multiple roles. The sampling technique used in this research is purposive sampling. The results showed that there was work-family conflict, work stress and had a relationship with performance in the lives of female honorer teachers. The factor of housewives to work outside the home is due to economic factors, educational factors, factors to fill spare time and also the dream factor. Individual conflicts, fatigue factors and the lack of time sharing between the dual roles they have. So that it triggers the emergence of work-family conflict, work stress and also the performance relationship in his life.
Pendahuluan
Pada masa pandemi covid-19 ini tidak di pungkiri adanya perubahan yang signifikan dari berbagai aspek yang ada, terutama dalam aspek ekonomi, aspek sosial bahkan pendidikan yang menjadikan manajemen sumber daya manusia semakin membiasakan diri untuk melakukan aktivitas yang sebelumnya tidak pernah dilakukan, sehingga kebiasaan aktivitas berubah dalam kehidupannya. “Di era globalisasi ini, baik laki-laki maupun perempuan memainkan kiprah ganda menjadi orang tua serta pekerja. Banyak pembahasan mengenai work-family conflict (selanjutnya dianggap sebagai WFC) pada pekerja formal profesional non-kependidikan serta masih jarang yang mengkaji work-family conflict(WFC) di orang-orang dalam profesi mengajar. Pada kenyataannya, WFC bisa terjadi di seluruh profesi, tidak mengecualikan pengajar atau pendidik” [1].
Berdasarkan Permendikbud Nomor Permendikbud Nomor 19 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Permendikbud Nomor 8 Tahun 2020 tentang Petunjuk Teknis BOS Reguler, disebutkan bahwa ketentuan pembayaran honor paling banyak 50% tidak berlaku selama masa penetapan status Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Covid-19 oleh Pemerintah Pusat. Kini pembayaran gaji guru honorer bisa menggunakan dana BOS lebih dari 50% sesuai dengan kebutuhan sekolahnya. Berdasarkan data Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, sampai 2020 jumlah guru non-PNS di Indonesia mencapai 937.228 orang. Dari jumlah tersebut, 728.461 orang di antaranya berstatus guru honorer sekolah [2].
Banyak hal yang berpengaruh pada sebuah tatanan organisasi baik dari segi karyawan serta dari segi organisasi, salah satu profesi yang terkena dampak adanya pandemi covid-19 ini adalah guru honorer. Guru honorer ialah pengajar yang memiliki hak untuk memperoleh honorium, baik perbulan maupun pertriwulan, mendapatkan perlindungan hukum serta cuti berdasarkan peraturan pemerintah yang tertuang dalam undang-undang ketenagakerjaan [3]. Sebagai istri, orang tua serta pengajar atau pendidik di saat yang sama dapat menyebabkan menjadi ketidakharmonisan dalam salah satu dari beberapa peran yang dimainkan. “Salah satu konflik yang muncul berkaitan menggunakan peran ganda karyawan perempuan adalah work-family conflict. Work-family conflict(WFC) artinya salah satu asal bentuk interrole conflict yaitu tekanan atau ketidakseimbangan peran antara peran pada pekerjaan serta peran di dalam keluarga”. Work-family conflict (WFC) berhubungan sangat erat dengan depresi dan kecemasan, dan berhubungan dengan peran mutlak sebagai wanita yang tidak bisa dihindari seperti : tanggung jawab dalam mengatur rumah tangga dan membina anak [4].
“Jam kerja yang tinggi dan beban kerja yang berat merupakan indikasi langsung akan terjadinya work-family conflict (WFC) dikarenakan ketika serta upaya yang berlebihan digunakan untuk bekerja. Hal tersebut menyebabkan kurangnya waktu dan tenaga yang mampu digunakan untuk melakukan aktivitas-aktivitas keluarga” [5]. Konflik peran ganda inilah yang memicu faktor terjadinya stres di tempat kerja. Stres kerja adalah kondisi ketegangan yang menciptakan adanya ketidak seimbangan fisik, yang memengaruhi emosi, proses berpikir dan kondisi karyawan. Pekerja yang mengalami stres kerja akan merasa cemas, tidak dapat fokus, tidak sabar, dan tingkat emosional tidak stabil. Untuk mengukur kinerja seseorang tidak bisa hanya dilihat dari sisi skill yang dimilikinya, melainkan dilihat juga dari tingkat kecerdasan emosionalnya. Kecerdasan emosional merupakan suatu skill yang digunakan untuk memantau dan pengendalian perasaan dari diri sendiri maupun orang lain.
Pekerjaan bagi seseorang perempuan bisa memberikan dampak positif juga negatif. Dampak positifnya adalah melalui pekerjaannya perempuan mampu membantu suami pada hal finansial, mencari penghasilan yang layak guna menghidupi diri serta keluarganya, menaikkan rasa percaya diri serta kesempatan buat mendapatkan kepuasan hidup. Aspek lain dari work-family conflict (WFC) dan stres kerja yang dihadapi guru adalah hubungannya dengan kinerja dalam kehidupannya. Hubungan dengan kinerja ini dapat dilihat dari segi pekerjaan dengan kehidupan guru tersebut, apakah saling berkaitan antara konflik peran ganda yang dijalankan dan dengan stres kerja yang dirasakan. Kinerja dijadikan sebagai tolak ukur dari keberhasilan atas suatu peran. Kesuksesan individu ataupun kelompok juga di indikasikan dari kinerjanya. Jadi dapat ditarik kesimpulan bahwa kinerja sebagai segala kemampuan yang dapat berdampak pada hasil kerja di suatu wewenang jabatan dan tanggung jawab kerja yang dapat dipertanggungjawabkan pada suatu organisasi. Dapat dijelaskan bahwa diketahui adanya konflik antara peran ganda dan juga stres kerja yang berhubungan dengan kinerja dalam kehidupan guru honorer wanita. Para guru honorer wanita yang mengalami hal tersebut merasa adanya hubungan dalam kehidupannya. Namun, kenyataannya bahwa tidak semua guru honorer wanita memiliki work-family conflict(WFC). Oleh sebab itu peneliti tertarik untuk meneliti work-family conflict, stres kerja dan hubungannya dengan kinerja dalam kehidupan guru honorer wanita selama pandemi covid-19 di YPP (Yayasan Pendidikan Pesantren) SABILUL MUTTAQIN.
Metode Penelitian
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif fenomenologi dengan menggunakan jenis penelitian deskriptif yang merupakan hasil dari pengamatan dari suatu fenomena yang berasal dari perilaku subjek yang dimunculkan. Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan hasil analisis yang cermat terhadap perilaku yang mendasari fenomena tertentu secara kualitatif [6]. Penelitian kualitatif adalah pengumpulan data pada suatu latar alamiah dengan menggunakan metode alamiah dan dilakukan oleh orang atau peneliti yang tertarik secara alamiah [6] . Fenomenologi merupakan metode penelitian di mana peneliti dapat mengidentifikasi pengalaman manusia melalui fenomena tertentu yang sedang terjadi di dalam kehidupannya. Pengalaman subjek merupakan pengalaman yang menjadi acuan bagi peneliti untuk memahami apa yang terjadi pada subjek yang akan diteliti [7] .
B. Subjek Penelitian
Dalam penelitian ini, subjek penelitiannya adalah ibu rumah tangga yang bekerja sebagai guru honorer di YPP (Yayasan Pendidikan Pesantren) Sabilul Muttaqin, tapi tidak seluruh guru honorer yang menjadi sumber informasi tetapi guru honorer yang memenuhi persyaratan data penelitian.
C. Lokasi Penelitian
Lokasi dilakukannya penelitian ini adalah di YPP (Yayasan Pendidikan Pesantren) SABILUL MUTTAQIN Jl. Raya Trawas – Mojosari, RT : 01 RW : 01 Dsn. Madyopuro Ds. Kalipuro Kec. Pungging Kab. Mojokerto Kode Pos : 61384 Provinsi Jawa Timur.
D. Teknik Penentuan Informan
Teknik penentuan informan dalam penelitian ini, menggunakan teknik purposive sampling. Teknik purposive sampling merupakan teknik pengambilan sampel sumber data dengan pertimbangan tertentu. Pertimbangan tertentu ini, misalnya guru tersebut yang dianggap mengetahui tentang apa yang peneliti harapkan, sehingga akan memudahkan penulisan sehingga dapat menjelajahi objek atau situasi sosial yang diteliti.
Penelitian kualitatif tidak mengenal adanya jumlah sampel minimum. Umumnya penelitian kualitatif menggunakan jumlah sampel kecil. Bahkan pada kasus tertentu menggunakan hanya 1 informan saja. Setidaknya ada dua syarat yang harus dipenuhi dalam menentukan jumlah informan yaitu kecukupan dan kesesuaian [8]. Dalam teknik purposive sampling peneliti memilih subjek penelitian dengan tujuan untuk menentukan informan yang sesuai dengan fokus penelitian yang dilakukan secara sengaja tanpa dibuat-buat untuk mendapatkan akurasi yang kuat [6]. Pemilihan informan dalam penelitian ini didasarkan pada subjek yang dianggap mampu untuk memberikan informasi secara lengkap dan berkaitan dengan penelitian, sehingga data yang diperoleh dapat diakui kebenarannya. Dalam penelitian ini, informan yang akan diteliti adalah guru honorer wanita di Sabilul Muttaqin yang memiliki kriteria penelitian.
E. Jenis dan Sumber Data
a. Jenis Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu menggunakan data kualitatif. Data kualitatif merupakan data yang didapatkan dari berbagai sumber untuk menemukan, menjelaskan dan menggambarkan yang tidak dapat dijelaskan menggunakan pendekatan kuantitatif. Data yang diperoleh dari penelitian ini berupa informasi yang menerangkan dalam bentuk uraian, di mana data tersebut berupa penjelasan yang menggambarkan keadaan, pendapat, dan juga persepsi informan.
b. Sumber Data
Sumber data adalah subjek dari mana data yang dapat diperoleh. Dalam penelitian ini menggunakan sumber data utama adalah guru honorer wanita yang menjadi informan atau subjek penelitian. Data yang dikumpulkan berupa ungkapan, pendapat atau persepsi mereka tentang segala hal yang berkaitan dengan objek yang akan diteliti. Oleh karena itu, jenis data penelitian ini adalah data primer.
Data primer adalah data dari orang-orang yang sedang menyelidiki atau yang bersangkutan dan membutuhkan data langsung dari sumbernya atau dari lapangan. Data primer penelitian adalah data yang didapat peneliti langsung dari informan, seperti data wawancara dan data observasi langsung dari guru honorer wanita yang bersangkutan. Subjek penelitian ini adalah seluruh guru honorer wanita yang sudah menikah dan memiliki anak. Data primer pada penelitian ini berasal dari objek penelitian mengenai work-family conflict, stres kerja, dan hubungannya dengan kinerja dalam kehidupan guru honorer wanita selama pandemi covid-19 pada YPP (Yayasan Pendidikan Pesantren) SABILUL MUTTAQIN Kabupaten Mojokerto.
F. Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data primer dengan menggunakan metode wawancara, dokumentasi dan juga observasi. Wawancara dapat dilakukan secara terstruktur maupun tidak terstruktur dan dapat dilakukan melalui tatap muka (face to face) maupun dengan menggunakan telepon [9]. Peneliti juga akan melakukan pencatatan lapangan terkait kondisi guru honorer wanita untuk memperoleh data tentang work-family conflict, stres kerja dan hubungannya dengan kinerja dalam kehidupannya. Alat bantu dalam pengumpulan data adalah alat perekam suara yang dimanfaatkan untuk merekam pada saat proses wawancara. Alat perekam suara digunakan untuk membantu peneliti mencapai keakuratan data dan menghilangkan simpangan karena keterbatasan yang dimiliki peneliti.
G. Teknik Analisis Data
Analisa data merupakan proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, dokumentasi dan catatan lapangan (observasi) dengan cara mengorganisasikan data ke dalam kategori, menjabarkannya, melakukan sintesa, menyusun ke dalam pola, memilih mana yang paling penting dan yang akan dipelajari, kemudian membuat kesimpulan yang dapat diceritakan pada orang lain.
Dalam tahap ini dijelaskan bahwa analisis data dilakukan pada saat mengumpulkan data dan setelah pengumpulan data [9]. Analisis dilakukan agar peneliti segera menyusun untuk melengkapinya, selanjutnya diharapkan dari analisis awal diperoleh kesimpulan sementara [10]. Analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan kegiatan sebagai berikut :
a. Data Reduction (Reduksi Data)
“Data yang diperoleh di lapangan jumlahnya cukup banyak, untuk itu perlu dicatat secara teliti dan rinci. Mereduksi data berarti : merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya dan membuang yang tidak perlu. Data yang telah direduksi akan memberikan gambaran yang jelas dan mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya, dan mencarinya bila diperlukan. Reduksi data bisa dibantu dengan alat elektronik seperti laptop dengan memberikan kode pada aspek – aspek tertentu. Dengan reduksi, maka peneliti merangkum, mengambil data yang penting, membuat kategorisasi, berdasarkan huruf besar, huruf kecil dan angka. Data yang tidak penting dibuang”.
b. Data Display (Penyajian Data)
Setelah data direduksi, maka langkah berikutnya adalah menyajikan data. Display data dalam penelitian kualitatif bisa dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori, dan sebagainya [9].
c. Conclusion Drawing or verification
Langkah ketiga adalah penarikan kesimpulan dan verifikasi. Kesimpulan awal yang dikemukakan masih bersifat sementara, dan akan berubah bila tidak ditemukan bukti – bukti yang kuat yang mendukung pada tahap pengumpulan data berikutnya [9]. Namun bila kesimpulan memang telah didukung oleh bukti – bukti yang valid dan konsisten saat peneliti kembali ke lapangan mengumpulkan data, maka kesimpulan yang dikemukakan merupakan kesimpulan yang kredibel (dapat dipercaya). Sehingga hasil yang ditemukan benar adanya.
Hasil dan Pembahasan
A. Gambaran Umum Objek dan Subjek Penelitian
a. YPP (Yayasan Pendidikan Pesantren) Sabilul Muttaqin
Sabilul Muttaqin merupakan Yayasan Pendidikan berbasis Pesantren. Yayasan Pendidikan Pesantren (YPP) Sabilul Muttaqin didirikan oleh KH. Abdul Rokhim pada tahun 1997. Yayasan Pendidikan Pesantren (YPP) Sabilul Muttaqin sebagai salah satu wadah organisasi yang bergerak dalam bidang pendidikan dan kesejahteraan sosial, juga kiprahnya di masyarakat telah memberikan andil yang besar bagi perkembangan dan kemajuan masyarakat dengan adanya peranan-peranan baik dalam bidang pendidikan keagamaan, sosial dan menyediakan sarana serta prasarana bagi kebutuhan SDM yang mampu bersaing dengan sekolah-sekolah atau pesantren lainnya.
Sabilul Mutaqin terdapat pendidikan formal (Play Group, RA/TK, MI, MTs, MA, SMPI Brawijaya, SMK Favorit, STIT, dan juga perguruan tinggi STAISAM) selain itu juga terdapat pendidikan informal (Madrasah Diniyah dan TPQ). Dalam pendidikan nonformal Sabilul Muttaqin menyediakan kursus bahasa Inggris, kursus bahasa Arab, kursus komputer, kursus menjahit, kursus simpoa, pelajaran Kitab Kuning dan Tahfidzul Qur’an.
b. Work-Family Conflict
Peran ganda menggambarkan suatu pernikahan di mana suami dan istri yang keduanya bekerja memperjuangkan menuju keseimbangan kerja dan keluarga. Dengan begitu akan memicu berbagai konflik atau masalah yang harus dihadapi dan dicari solusinya jika ingin mempunyai kedua peran tersebut. Lebih lanjut mengatakan bahwa konflik peran ganda muncul akibat beberapa faktor yaitu adanya tuntutan dari pekerjaan dan keluarga, kesulitan membagi waktu antara pekerjaan dan keluarga, dan adanya tekanan dari pekerjaan membuat seseorang sulit untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan kewajiban pekerjaan yang seringkali merubah rencana bersama keluarga. Bahwa perempuan secara rata-rata mendapatkan stres yang lebih dalam peran keluarga dibandingkan laki-laki.
Work-family conflict (WFC) sebagai konflik peran yang terjadi pada pekerja, di mana di satu sisi pekerjaan harus melakukan pekerjaan di kantor dan di sisi lain harus memperhatikan keluarga secara utuh, sehingga sulit membedakan antara pekerjaan mengganggu keluarga dan keluarga mengganggu pekerjaan. Pekerjaan mengganggu keluarga adalah karena kesibukan dengan pekerjaan membuat tidak ada waktu bersama keluarga dan keluarga tidak terurus, sebaliknya karena keluarga mengganggu pekerjaan berarti karena kesibukan mengurusi keluarga mengakibatkan pekerjaan terbengkalai.
c. Stres Kerja
Masalah stres dalam perusahaan menjadi gejala yang penting sejak mulai timbulnya tuntutan efisiensi dalam menyelesaikan suatu pekerjaan. Stres merupakan konsekuensi setiap tindakan dan situasi lingkungan yang menimbulkan tuntutan psikologis dan fisik yang berlebihan pada seseorang. Menurut Phil Kitche stres kerja merupakan respons fisik dan emosional pada kondisi kerja yang berbahaya, termasuk lingkungan di mana pekerjaan memerlukan kapabilitas, sumber daya, atau kebutuhan pekerja lebih banyak. Pengertian tersebut menjelaskan bahwa stres kerja adalah suatu sumber – sumber terjadinya stres yang datang dari dalam diri individu dikarenakan adanya tekanan dari pekerjaan yang dilakukan.
Jika stres tidak bisa diatasi dengan baik biasanya akan berakibat pada ketidakmampuan orang berinteraksi secara positif dengan lingkungan pekerjaan maupun lingkungan luarnya. Artinya, karyawan yang bersangkutan akan menghadapi berbagai gejala negatif yang pada gilirannya berpengaruh pada prestasi kerja.
d. Hubungan Dengan Kinerja
Kinerja merupakan hasil kerja yang mampu diperoleh pekerja, sebuah proses manajemen atau suatu organisasi secara keseluruhan, di mana hasil kerja tersebut dapat ditunjukkan buktinya secara nyata baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Berdasarkan uraian di atas dikatakan bahwa kinerja adalah hasil kerja yang dicapai karyawan dalam melaksanakan tugas berdasarkan ukuran yang berlaku dalam satuan satuan waktu [4].
Jadi hubungannya dengan kinerja dapat dilihat dari segi pekerjaan dengan karyawan yang bersangkutan, apakah saling berkaitan antara konflik peran ganda yang dijalankan dan dengan stres kerja yang dirasakan. Kinerja dijadikan sebagai tolak ukur dari keberhasilan atas suatu jabatan. Kesuksesan individu ataupun kelompok juga diindikasikan dari kinerjanya. Maka kinerja adalah kunci untuk mencapai kesuksesan dalam suatu organisasi.
e. Guru Honorer
Guru honorer merupakan guru yang memiliki hak untuk memperoleh honorium, baik perbulan maupun pertriwulan, mendapatkan perlindungan hukum dan cuti berdasarkan peraturan pemerintah yang tertuang dalam undang-undang ketenagakerjaan [3]. Guru honorer memiliki status kepegawaian yang kurang jelas, disebabkan jangka kontrak yang ditentukan, jika kontraknya selesai, seorang guru honorer akan diberhentikan dari status kepegawaiannya.
Hasil Penelitian
Identitas Informan | ||||
Subjek | Nama | Inisial | Usia | Domisili |
S I | Maulina Anggraini, S.Si. | MA | 39 th | Pasuruan |
S II | Erie Alqomadona, S.IP. | EA | 26 th | Mojokerto |
S III | Yeni Nur Afifah, S.Pd. | YN | 23 th | Mojokerto |
S IV | Dra. Innama | I | 55 th | Mojokerto |
S V | Sella Lutvidianah, S.Pd. | SL | 29 th | Mojokerto |
S VI | Aprilia Piragustin | AP | 27 th | Mojokerto |
S VII | Ita Rahmawati, S.Pd. | IR | 39 th | Mojokerto |
S VIII | Dini Faniekma, S.Pd. | DF | 28 th | Mojokerto |
S IX | Sulikatiningsih, S.Pd. | S | 41 th | Mojokerto |
S X | Hakimah, S.Pd. | H | 42 th | Mojokerto |
Peneliti menggunakan sepuluh subjek berjenis kelamin perempuan yang sudah menikah. Subjek dengan kriteria yang sudah ditentukan oleh peneliti dalam bab sebelumnya, yaitu guru honorer wanita, berusia 23-55 tahun, memiliki anak dan telah menjadi guru honorer selama 2-15 tahun. Subjek I berusia 39 tahun yang berdomisili di Pasuruan. Subjek II berusia 26 tahun yang berdomisili di Mojokerto. Subjek III berusia 23 tahun. Subjek IV berusia 55 tahun. Subjek V berusia 29 tahun. Subjek VI berusia 27 tahun. Subjek VII berusia 39 tahun. Subjek VIII berusia 28 tahun. Subjek IX berusia 41 tahun. Subjek X berusia 42 tahun, selain itu kesembilan subjek juga berdomisili di wilayah Mojokerto.
Dalam tahap awal proses penelitian terdapat 11 guru honorer wanita di MTs Sabilul Muttaqin. Tetapi terdapat satu informan yang tidak bisa di wawancara karena suaminya meninggal dunia dan untuk melakukan wawancara harus menunggu masa iddah. Pada akhirnya peneliti memutuskan untuk tidak melanjutkan wawancara dengan E karena kondisi tersebut.
Jumlah informan pada penelitian kualitatif bersifat fleksibel berdasarkan syarat kecukupan dan kesesuaian. Pada beberapa kasus dibutuhkan hanya 1 informan saja. Peneliti dapat menambah, mengurangi, bahkan mengganti informan saat penelitian berlangsung tergantung pada kecukupan dan kesesuaian informasi [8]. Berikut hasil wawancara yang diperoleh penemuan pada subjek I, antara lain : Deskripsi Penemuan Pada Subjek I dan Subjek II.
A. Faktor yang menyebabkan work-family conflict pada subjek I
Faktor yang menyebabkan work-family conflict muncul karena adanya kondisi dari beberapa faktor, yaitu adanya tuntutan dari pekerjaan dan keluarga serta adanya tekanan dari pekerjaan yang membuat subjek sulit untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan kewajiban pekerjaan sebagai guru honorer yang seringkali merubah rencana awal dengan keluarga atau bahkan sebaliknya.
Subjek I merasa bahwa faktor yang menyebabkan work-family conflict yaitu kurangnya tanggung jawab sebagai ibu rumah tangga dan harus mengurus urusan rumah serta pekerjaan di sekolah serta adanya konflik batin yang timbul dalam perannya sebagai guru honorer, sesuai dengan hasil wawancara sebagai berikut :
“...Iya sih memang... karena kan saya selain mengajar di sini juga membantu administrasi sekolah. Jadi membantu administrasinya ibu kepala sekolah itu tadi (Ibu Umi). Hmmm, kalau misalkan pekerjaan di sini belum selesai dan saya setiap hari itu harus pulang jam 13:00, saya tidak mau kalau lama-lama di sekolah...”, “...saya sadar sebab teman-teman kan sudah punya peran sendiri di lembaga lain tapi dalam satu yayasan. Nah aslinya tugas-tugas di berikan saya semua begitu, dalam hati saya “kok saya semua” Kalau misalkan tidak saya lakukan atau kerjakan ya nanti yang rugi lembaga sendiri. Akhirnya ya sudah tidak apa-apa, biarkan deh saya yang mengerjakan”
Hasil wawancara subjek I diperkuat dengan penjelasan yang mengatakan bahwa subjek mengalami work-family conflict karena kendala waktu atau pembagian waktu yang kurang dengan keluarga tercinta.
“...Justru saya malah datang duluan di sini hehehe, meskipun rumahnya jauh. Sebab kan suami saya di rumah, jadi ya taulah maksudnya bagi tugas.” ...Jadi kalau saya masih ada pekerjaan, saya bawa ke rumah. Jadi dahulu waktu anak saya belum mondok memang agak kuwalahan (Ya mengerjakan tugas juga belajar sama anak) apalagi kan daring...”
B. Faktor yang menyebabkan stres kerja pada subjek I
Stres muncul karena adanya tuntutan dari peran yang dimiliki. Tuntutan yang dimaksud merupakan tanggung jawab, tekanan, kewajiban atau ketidakpastian yang dihadapi. Stres merupakan kondisi yang terjadi saat menghadapi tekanan, kewajiban atau tanggung jawab yang banyak dan tidak mampu menanganinya.
Subjek I merasa bahwa faktor yang menyebabkan subjek mengalami stres yaitu memiliki tubuh yang mudah capek dan kurang dalam pembagian waktu dengan keluarga tercinta, yang sesuai dengan hasil wawancara sebagai berikut :
“...Soalnya sekarang rapotnya kan pakai digital ya, memang online tapi kan memang bagaimana ya ? harus menggunakan internet terus harus selesai tepat waktu”, “...Jadi kalau saya merasa capek, tapi kalau namanya stres juga ada. Pasti ada stresnya, cuman kita harus pintar-pintar bagi waktu saja...”
Hasil wawancara diperkuat dengan penjelasan subjek yang mengatakan bahwa mengalami stres karena memiliki aktivitas yang berat oleh peran ganda yang dijalankan.
“Jadi kalau saya merasa capek, tapi kalau namanya stres juga ada. Pasti ada stresnya dalam menjalankan ini, cuman kita harus pintar-pintar bagi waktu. Saya juga tidak memaksa tenaga saya karena kan memang setiap hari harus berangkat dengan jarak yang jauh, waktunya segitu dalam perjalanan. Jadi kalau saya capek ya saya buat tidur tidak saya paksa begitu...”
C. Hubungannya dengan kinerja pada subjek I
Hubungannya dengan kinerja subjek ini dilihat dari segi pekerjaan dengan kehidupan keluarga subjek I, apakah saling berkaitan antara konflik peran ganda yang dijalankan dan stres kerja yang dirasakan. Hal tersebut apakah berkesinambungan dengan kinerja atau perbuatan yang dilakukan oleh subjek atau tidak dalam kehidupannya. Hubungan dengan kinerja ini dapat dirasakan ketika subjek memiliki work-family conflict dan stres kerja yang dihadapinya, sehingga berhubungan dengan kehidupan subjek.
Subjek I merasa bahwa hubungan kinerjanya dengan peran ganda yang dijalani berhubungan dengan kinerja serta terkadang membuat subjek merasakan stres atas pekerjaannya. Hal tersebut sesuai dengan hasil wawancara sebagai berikut :
“...Tapi kayanya juga ada hubungannya. Kan mungkin dari faktor kecapekan. Kemarin waktu anak saya masih di rumah mungkin pekerjaan di sini belum selesai terus lagi pulangnya agak sorean, nah sampai di rumah ya seperti banyak tugas yang belum kelar dan akhirnya pelampiasannya ke anak”
Hasil wawancara diperkuat dengan penjelasan subjek yang menjelaskan bahwa segala aspek tersebut memiliki hubungan dengan kinerjanya, yang mengakibatkan dalam satu dari peran ganda yang dimiliki sesuai kemampuannya atau tidak sepenuhnya dilakukan.
“...Itu tadi, kadang stres kadang sadar lagi “oh ini capek karena ini”. “...ada masalah apa gitu, terus di sekolahan ketemu anak-anak, kan macam-macam tingkah lakunya. Itu kan bisa jadi obat akhirnya kan hilang seketika penat-penat yang ada, meskipun terkadang ingat lagi...”
A. Faktor yang menyebabkan work-family conflict pada subjek II
Faktor yang menyebabkan work-family conflict muncul pada subjek merupakan kondisi karena adanya beberapa faktor, yaitu adanya tuntutan dari pekerjaan dan keluarga serta adanya tekanan dari pekerjaan membuat subjek sulit untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan kewajiban pekerjaan.
Subjek II merasakan bahwa faktor yang menyebabkan work-family conflict yaitu adanya rasa tekanan yang berat dengan anaknya karena masih bergantung dengan subjek dan sedikit sulit dalam pembagian waktu pada jam kerja. Sesuai dengan hasil wawancara yang diperkuat dengan penjelasan subjek, sebagai berikut :
“...Sebenarnya yang paling berat itu pas mau berangkat sekolah. Kan anak masih PAUD jadi kaya tidak mau sekolah kalau tidak diantar mamanya, begitu sih yang agak berat...”, “...ya seringnya terlambat mbak. Ya karena itu tadi dari awal pertama harus bangun pagi-pagi antar sekolah dahulu, kalau tidak diantar tidak mau sekolah begitu”
B. Faktor yang menyebabkan stres kerja pada subjek II
Stres muncul karena adanya tuntutan dari peran yang dilakukan. Stres merupakan kondisi yang terjadi saat menghadapi tekanan, kewajiban atau tanggung jawab yang banyak dan tidak mampu menanganinya serta kewajiban tersebut besar atau secara terus-menerus dalam jangka yang lama.
Subjek II tidak merasakan faktor yang menyebabkan subjek mengalami stres, karena subjek tidak begitu menjelaskan secara detail apa yang dirasakan. Subjek juga terlihat menyembunyikan informasi terkait wawancara, hasil wawancara diperkuat dengan penjelasan subjek yang mengatakan bahwa tidak mengalami stres tetapi memiliki tekanan dalam tugasnya pada waktu tertentu, sebagai berikut :
“Tidak ada tekanan yang membuat stres, cuman kalau adanya pekerjaan itu waktu mau ada ujian sekolah, selesai ujian dan mau rapotan kayak begitu”. “...Tidak ada mbak”
C. Hubungannya dengan kinerja pada subjek II
Hubungannya dengan kinerja subjek dilihat dari segi pekerjaan dengan kehidupan keluarga subjek II, apakah saling berkaitan antara konflik peran ganda yang dijalankan dan dengan stres kerja yang dirasakan. Hal tersebut apakah berkesinambungan dengan kinerja yang dilakukan oleh subjek atau tidak dalam kehidupannya. Hubungan dengan kinerja ini dapat dirasakan ketika subjek memiliki work-family conflict dan stres kerja yang dihadapinya, sehingga berhubungan dengan kehidupan subjek.
Subjek II merasa bahwa hubungan kinerjanya tidak terdapat masalah dan tidak ada hubungannya dengan konflik peran ganda yang dimiliki serta stres dalam bekerja. Hasil wawancara diperkuat dengan jawaban subjek bahwa :
“Kalau stres sih enggak, tapi terkadang ya merasa capek mbak hehehe”. “...Kalau aku sih orangnya simpel ya, tidak terlalu membesar-besarkan masalah yang ada. Kalau sudah ya sudah, tidak terpengaruh ke pekerjaan aslinya”
Subjek I | Subjek merasa bahwa konflik yang membuat subjek mengalami work-family conflict dikarenakan kurangnya tanggung jawab sebagai ibu rumah tangga dan mengurus urusan rumah dengan bantuan suami serta pekerjaan di sekolah, kemudian adanya konflik batin yang timbul dalam perannya sebagai guru honorer |
Subjek II | Subjek mengatakan bahwa work-family conflict yang dialami subjek yaitu adanya rasa tekanan yang berat dengan anaknya karena masih bergantung dengan subjek dan sedikit sulit dalam pembagian waktu pada jam kerja |
Subjek III | Subjek merasa bahwa konflik yang membuat subjek mengalami work-family conflict dikarenakan adanya tekanan, tanggung jawab atas peran ganda yang harus dilakukan dan pembagian waktu yang dirasa kurang serta memiliki konflik pribadi akibat peran yang dijalani ini. Subjek terkadang terlambat ke yayasan akibat pekerjaan di rumah |
Subjek IV | Subjek mengatakan bahwa tidak adanya aspek yang menyebabkan konflik dalam peran ganda yang dimiliki. Karena semua yang dijalani tidak menimbulkan suatu permasalahan yang sering sehingga mengakibatkan adanya work-family conflict. Subjek juga tidak menjelaskan secara rinci pada saat wawancara berlangsung dan terdapat pertanyaan yang tidak dijawab oleh subjek. |
Subjek V | Subjek merasa bahwa konflik yang membuat subjek mengalami work-family conflict dikarenakan pembagian waktu pada kedua peran yang kurang dan adanya faktor kecapekan sehingga membuat subjek merasakan adanya konflik atas peran ganda yang dimiliki. Subjek sering terlambat untuk mengajar karena harus menyelesaikan tanggung jawab kepada keluarga |
Subjek VI | Subjek merasakan bahwa tidak adanya aspek yang menyebabkan work-family conflict karena subjek merasa bahwa tanggung jawab atas tuntutan peran ganda yang dijalani berjalan dengan seimbang. Pembagian waktu antara pekerjaan dengan keluarga pun cukup sehingga tidak berlebihan atas waktu dalam satu perannya |
Subjek VII | Subjek mengatakan bahwa terdapat faktor yang menyebabkan work-family conflict yaitu merasa kurang dalam pembagian waktu bersama keluarga tercinta karena jam kerja sebagai guru honorer serta pernah adanya konflik yang terjadi di tempat kerja. Subjek didukung penuh atas peran ganda yang dimiliki sehingga tidak menyebabkan adanya tekanan maupun beban |
Subjek VIII | Subjek merasa bahwa aspek yang menyebabkan work-family conflict yaitu dari segi perannya sebagai guru honorer. Subjek mengatakan bahwa konflik yang terjadi di pekerjaan dikarenakan pembagian waktu antara pekerjaan satu dengan yang lainnya, sehingga waktu dengan anak berkurang. Subjek mengatakan mengenai tanggung jawabnya sebagai ibu rumah tangga yang harus diselesaikan dengan berbagai kesibukan lainnya |
Subjek IX | Subjek merasa bahwa tidak adanya aspek yang menyebabkan work-family conflict muncul dalam peran ganda yang dijalani. Subjek mengatakan bahwa membutuhkan tenaga ekstra untuk menjalani peran ganda ini, subjek selalu didukung penuh oleh keluarga atas perannya. Tetapi terkadang anaknya membutuhkan perhatian lebih dari subjek |
Subjek X | Subjek mengatakan bahwa tidak terdapat faktor yang menyebabkan work-family conflict timbul dalam peran yang dijalani. Subjek tidak menjelaskan lebih lanjut dan tidak terperinci terkait wawancara dan berusaha menutupi kenyataan yang ada |
Subjek I | Subjek merasa bahwa stres yang membuat subjek mengalami stres dalam pekerjaan dikarenakan memiliki kondisi tubuh yang mudah capek dan kurang dalam pembagian waktu dengan keluarga tercinta |
Subjek II | Subjek mengatakan bahwa tidak adanya aspek yang menyebabkan subjek mengalami stres, karena subjek tidak begitu menjelaskan secara detail apa yang dirasakan, tetapi memiliki tekanan dalam tugasnya pada waktu tertentu. Subjek juga terlihat menyembunyikan informasi terkait wawancara |
Subjek III | Subjek merasa bahwa stres yang membuat subjek mengalami stres dalam pekerjaan dikarenakan beban pekerjaan yang mendadak dan tertekan atas tugas yang dimiliki |
Subjek IV | Subjek mengatakan bahwa tidak terdapat aspek yang menyebabkan subjek mengalami stres atas peran gandanya. Subjek cenderung tidak menjelaskan terkait permasalahannya, sehingga terkesan menutupi apa yang sebenarnya terjadi dalam peran ganda yang dimiliki |
Subjek V | Subjek merasa bahwa stres yang membuat subjek mengalami stres dalam pekerjaan dikarenakan adanya tekanan dari keluarga yang menyebabkan subjek harus membagi waktu istirahat yang digunakan untuk mengerjakan tugas dari salah satu peran serta sulit mengatur waktu karena faktor kecapekan |
Subjek VI | Subjek mengatakan bahwa aspek yang menyebabkan subjek terkadang mengalami stres yaitu adanya tekanan pekerjaan yang membuat berat untuk melakukannya, subjek juga bercerita bahwa terbebani pada beberapa tugas yang diberikan |
Subjek VII | Subjek merasa bahwa adanya aspek yang menyebabkan subjek mengalami stres yaitu tertekan atas tugas yang diberikan di pekerjaan dalam kurun waktu yang cepat, kurang dalam pembagian waktu antara peran gandanya dan adanya faktor kecapekan |
Subjek VIII | Subjek mengatakan bahwa faktor yang menyebabkan subjek mengalami stres yaitu terbebani atas tugas yang diberikan secara mendadak dan pembagian waktu antara peran ganda yang dijalani serta adanya konflik individu yang terkadang membuat stres dalam pekerjaan |
Subjek IX | Subjek merasa bahwa terkadang terdapat aspek yang menyebabkan subjek mengalami stres kerja yaitu mendapatkan tugas secara mendadak sehingga merasa berlebihan karena tugas dari peran yang lainnya juga belum terselesaikan |
Subjek X | Subjek mengatakan bahwa tidak ada aspek yang menyebabkan subjek mengalami stres kerja selama ini |
Subjek I | Subjek merasa bahwa hubungan kinerja dengan peran ganda yang dijalani memiliki keterkaitan dengan kinerjanya dan terkadang membuat subjek merasakan stres atas pekerjaannya yang mengakibatkan salah satu dari peran ganda yang dimiliki berjalan sesuai kemampuannya atau tidak sepenuhnya dilakukan |
Subjek II | Subjek mengatakan bahwa kinerjanya tidak terdapat masalah dan tidak ada hubungannya dengan konflik peran ganda yang dimiliki serta stres dalam bekerja. Sehingga kinerjanya berjalan dengan semestinya |
Subjek III | Subjek merasa bahwa kinerjanya dengan peran ganda yang dijalani memiliki hubungan karena terdapat faktor kecapekan yang membuat kinerjanya sedikit menurun sebab tergantung mood |
Subjek IV | Subjek mengatakan dalam aspek sebelumnya bahwa tidak merasakan adanya konflik peran ganda dan juga stres dalam perannya sehingga tidak berhubungan atau tidak memiliki masalah dengan kinerjanya. Subjek juga mengatakan hubungan kinerjanya tidak ada kendala dikarenakan oleh konflik peran ganda begitu juga dengan stres dalam pekerjaan maupun di rumah |
Subjek V | Subjek merasa bahwa kinerjanya dengan work-family conflict dan juga stres kerja tidak memiliki keterkaitan, sehingga hubungan kinerja dengan lainnya berjalan dengan semestinya dan tidak berhubungan dengan totalitas kinerja dengan salah satu peran |
Subjek VI | Subjek merasa bahwa kinerjanya memiliki keterkaitan dengan stres kerja. Subjek mengatakan bahwa bukan tipe orang yang sabar dalam suatu masalah yang pada akhirnya terlimpahkan semuanya keluh kesahnya di rumah. Capek juga menjadi faktor subjek mengalami stres kerja yang menjadikan kinerjanya terganggu atau sedikit menurun |
Subjek VII | Subjek mengatakan bahwa adanya keterkaitan pada kinerjanya dengan aspek work-family conflict dan juga stres kerja. Subjek merasa bahwa kebanyakan konflik terjadi di pekerjaannya yang membuat timbulnya stres dalam pekerjaan serta seringnya mendapatkan tugas secara mendadak mengakibatkan kinerjanya semakin banyak dan merasa kuwalahan |
Subjek VIII | Subjek merasa bahwa terdapat hubungan antara konflik peran ganda dan stres dengan kinerjanya. Subjek mengatakan adanya faktor kecapekan yang membuat kinerjanya tidak maksimal sehingga stres muncul dan terlampiaskan kepada anaknya |
Subjek IX | Subjek merasa bahwa hubungan kinerja dengan kedua aspek lainnya tidak berkaitan karena subjek didukung penuh oleh keluarga dan juga tidak memiliki konflik peran ganda maupun dengan diri sendiri |
Subjek X | Subjek merasa bahwa faktor work-family conflict dan juga stres kerja tidak memiliki hubungan dengan kinerjanya karena subjek tidak begitu mempedulikan atau baik-baik saja dalam menjalani peran yang dimiliki sehingga tidak mengakibatkan stres dalam pekerjaan dan juga kinerjanya tidak terganggu akan hal itu |
Berdasarkan hasil analisis faktor work-family conflict, stres kerja dan hubungannya dengan kinerja pada guru honorer wanita dapat diuraikan dengan mendeskripsikannya. Bahwa faktor yang menyebabkan adanya work-family conflict pada subjek I, subjek II, subjek III, subjek V, subjek VII dan subjek VIII meliputi : kurangnya tanggung jawab sebagai IRT (Ibu Rumah Tangga), adanya konflik batin yang timbul dalam perannya sebagai guru honorer, adanya rasa tekanan atas beban yang dimiliki, kurangnya waktu dengan anak, sulit atau kurang dalam pembagian waktu serta memiliki konflik pribadi.
Adapun stres kerja pada guru honorer yaitu subjek I, subjek III, subjek V, subjek VI, subjek VII, subjek VIII dan subjek IX meliputi : memiliki kondisi tubuh yang mudah letih, beban kerja yang didapat, tertekan atas tugas, faktor capek, kurang dalam pembagian waktu antara peran gandanya serta adanya konflik individu.
Mengenai hubungan kinerja pada guru honorer yakni subjek I, subjek III, subjek VI, subjek VII dan subjek VIII meliputi : mengalami stres atas pekerjaannya, adanya faktor kecapekan yang membuat kinerjanya menurun dan tidak maksimal, bukan tipe orang yang sabar dalam suatu masalah yang pada akhirnya melampiaskan semuanya di rumah dan kepada anaknya, kebanyakan konflik terjadi di pekerjaannya sehingga timbul stres kerja serta seringnya mendapatkan tugas secara mendadak dan merasa kuwalahan.
Pembahasan
Hasil penelitian ini mengungkap “fenomena tentang keluarga dan karir dalam kehidupan seorang guru honorer. Ada asosiasi penting di dalamnya, yakni pengajaran telah dianggap sebagai pekerjaan yang menarik bagi wanita yang ingin bekerja tetapi berusaha untuk mengalokasikan waktu dan energi maksimum untuk peran keluarga mereka. Dengan demikian, menjadi guru honorer dianggap sebagai pekerjaan yang tepat bagi perempuan karena mereka bisa menggabungkan peran kejuruan atau keahlian dan keluarga dengan minimal konflik. Dasar ibu rumah tangga untuk bekerja di luar rumah adalah menjadi suatu alasan utama mengapa harus memilih bekerja dibandingkan dengan menjadi ibu rumah tangga seutuhnya”.
Di dalam penelitian ini ada beberapa faktor yang memungkinkan seorang ibu rumah tangga memilih peran ganda. Dari penelitian yang telah dilakukan, pada kesepuluh informan terdapat enam yang mengalami work-family conflict, tujuh yang mengalami stres kerja dan lima informan yang memiliki hubungan kinerja atas kedua aspek tersebut. Pada dasarnya semua aspek bisa dialami oleh seorang guru honorer yang umumnya merasakan peran ganda yang dimiliki, ketiga aspek tersebut muncul karena adanya konflik batin (individu) yang timbul dalam perannya sebagai guru honorer, adanya rasa tekanan atas beban atau tugas yang dimiliki, kurangnya waktu dengan anak, memiliki kondisi tubuh yang mudah lelah, kurang dalam pembagian waktu antara pekerjaan dan juga keluarga, mengalami stres atas pekerjaannya, adanya faktor kecapekan yang membuat kinerjanya menurun sehingga tidak maksimal serta sering merasa kuwalahan dalam mengurus pekerjaannya yang telah dijelaskan dalam bab sebelumnya.
Hasil penelitian menunjukkan “wanita cenderung merasa frustrasi dengan kemampuan mereka untuk menyeimbangkan pekerjaan, prospek kerja dan kehidupan pribadi mereka. Sedangkan hasil dari penelitian yang dilakukan ini menggunakan guru honorer sebagai informan menunjukkan bahwa hampir serupa dengan penelitian yang dilakukan oleh Tomlinson & Durbin yaitu guru honorer wanita cenderung tidak bisa menyeimbangkan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi mereka. Adanya faktor utama mengapa informan pada penelitian kali ini tetap bertahan untuk bekerja meskipun ada rasa ingin menjadi ibu rumah tangga seutuhnya saja”.
WFC (Work-family conflict) yang dialami selama menjadi guru honorer wanita dapat terjadi pada semua jenis profesi, terutama dalam profesi yang berkaitan dengan memberikan layanan, seperti guru. “Guru adalah jenis profesi yang memiliki kemungkinan tinggi mengalami stres kerja. Selanjutnya, beberapa peneliti menyatakan bahwa profesi guru telah diakui secara internasional sebagai salah satu profesi yang memiliki tertinggi tingkat stres”.
Konflik antara peran ganda “sangat mungkin terjadi pada guru honorer wanita yang bekerja juga sudah berkeluarga. Keluarga memang menjadi prioritas bagi guru honorer wanita sebagai informan penelitian ini, akan tetapi kondisi menuntut mereka untuk dapat membagi prioritas antara pekerjaan dan keluarga. Untuk itu manajemen waktu yang baik diperlukan agar tidak ada satu sisi yang menjadi kurang dikelola dengan baik dari peran ganda seorang ibu rumah tangga yang juga bekerja”.
Jam kerja yang tinggi dan beban kerja yang berat merupakan indikasi langsung akan terjadinya work-family conflict (WFC) dikarenakan ketika serta upaya yang berlebihan digunakan untuk bekerja. Hal tersebut menyebabkan kurangnya waktu dan tenaga yang mampu digunakan untuk melakukan aktivitas-aktivitas keluarga” [5]. Peran ganda menggambarkan suatu pernikahan di mana suami dan istri yang keduanya bekerja memperjuangkan menuju keseimbangan kerja dan keluarga. Dengan begitu akan memicu berbagai konflik atau masalah yang harus dihadapi dan dicari solusinya jika ingin mempunyai kedua peran tersebut.
Work-family conflict adalah salah satu dari bentuk interrole conflict yaitu tekanan atau ketidak seimbangan peran antara peran di pekerjaan dengan peran di dalam keluarga. Jam kerja yang tinggi dan beban kerja merupakan pertanda langsung akan terjadinya work-family conflict dikarenakan waktu dan upaya yang berlebihan dipakai untuk bekerja. Hal tersebut mengakibatkan kurangnya waktu dan energi yang bisa digunakan untuk melakukan aktivitas-aktivitas keluarga [5].
Hasil penelitian ini menemukan bahwa kesulitan seorang guru honorer wanita yang berkeluarga dan sudah memilikii anak adalah pembagian waktu. Terlebih lagi empat dari kesepuluh informan, sebutlah yaitu Yenny, Ika, Ita dan juga April bekerja sebagai guru honorer hampir full time. Kesulitan dalam membagi waktu tentu saja berdampak pada pola asuh anak. Di mana, dalam keadaan ekonomi yang bisa dikatakan terbatas, tentu saja mereka tidak bisa menitipkan anak pada tempat penitipan anak yang tentunya membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Pada kondisi seperti demikian, anggota keluarga terdekat seperti ibu atau adik/kakak dari guru honorer wanita tersebut menjadi terlibat. Keempat informan Sella, Erie, Yenny dan Dini menitipkan anak mereka kepada ibu mereka untuk ditinggal bekerja setiap harinya.
Fenomena seperti ini tentu saja merupakan salah satu aspek kultural di mana hal-hal seperti ini sudah menjadi suatu kebiasaan yang khas atau bisa dikatakan sudah menjadi budaya di negara Indonesia [11]. Mengingat, belum banyak sekolah dan tempat bekerja di Indonesia yang menyediakan fasilitas penitipan anak di tempat kerja. Dalam lingkup tersebut stres kerja merupakan respons fisik dan emosional pada kondisi kerja yang berbahaya, termasuk lingkungan di mana pekerjaan memerlukan kapabilitas, sumber daya, atau kebutuhan pekerja lebih banyak [4].
Kemudian hasil selanjutnya adalah “wanita dengan peran ganda yaitu di satu sisi menjadi ibu rumah tangga dan di sisi lain menjadi seorang guru honorer tentu membutuhkan kemampuan tersendiri untuk dapat memenuhi kedua peran tersebut”. Pada kenyataannya tidak mudah untuk memenuhi kedua peran tersebut. Pada penelitian kali ini munculnya konflik justru di picu oleh pekerjaan itu sendiri. Di mana, dengan bekerja, seorang ibu rumah tangga mempunyai penghasilan meskipun dengan jumlah yang tidak besar. Perannya sebagai pekerja inilah yang kemudian berdampak pada keharmonisan keluarga baik secara langsung atau tidak langsung [11].
Seorang istri menjalani peran gandanya memiliki beban dan tanggung jawab hampir sama dengan orang tua tunggal, yang dihadapkan dengan urusan rumah tangga yang cukup kompleks seorang diri. Ketujuh subjek merasa terbebani atas pekerjaan sebagai guru honorer wanita dan juga kurang pembagian waktu dalam mengurus anak serta mengalami kesulitan dalam pekerjaan rumah tangga dan lain-lain yang dilakukannya sendiri. Beban yang banyak dan semakin berat membuat ketujuh subjek stres. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa ketujuh subjek memiliki kesulitan karena pembagian waktu atas peran gandanya, pengasuhan anak sehari-hari dan merawat anggota keluarga serta bekerja di luar rumah merupakan faktor utama yang menyebabkan stres di kalangan perempuan.
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa dalam penelitian ini kesepuluh informan memiliki tipe yang berbeda dalam konteks dan pengalaman yang berbeda pula, informan mengalami konflik dengan diri sendiri dan konflik pekerjaan ibu rumah tangga. Terdapat enam dari sepuluh guru honorer yang mengalami WFC (Work-family conflict), tujuh dari sepuluh guru honorer yang mengalami stres kerja dan lima dari sepuluh informan yang memiliki hubungan kinerja atas kedua aspek tersebut.
Di era modernisasi yang serba cepat ini sertaa makin meningkatnya tuntutan terus menerus dari pekerjaan, tentu memberikan konsekuensi fisik dan psikologis pada individu. Pada dasarnya semua aspek bisa dialami oleh seorang guru honorer yang umumnya merasakan peran ganda yang dimiliki. Alasan dari seorang wanita yang sudah berkeluarga untuk bekerja terdiri dari beberapa faktor yaitu faktor pendidikan, faktor untuk mengisi waktu luang dan juga faktor impian.
Kesulitan seorang guru honorer wanita yang berkeluarga dan sudah memiliki anak adalah kurangnya pembagian waktu, dari situlah timbul work-family conflict dan stres dalam pekerjaanya yang menjadikan hubungan dengan kinerjanya menjadi tidak maksimal. Penelitian ini menemukan fakta bahwa semakin guru honorer berpengalaman dalam mengarungi peran gandanya sebagai istri dan orang tua di rumah sekaligus sebagai guru honorer di yayasan, maka kemampuan menangani masalahnya akan menjadi lebih baik. Ternyata banyak masalah yang lebih cepat diselesaikan karena bekal pengalaman pribadi sebagai guru honorer wanita. Hasil penelitian ini juga menunjukkan terdapat faktor yang sama atas timbulnya WFC (Work-familyy conflict) dan juga stres kerja dalam kehidupan guru honorer wanita.
References
- Gu, Y., You, X., & Wang, R. (2020). Job demands and emotional labor as antecedents of female preschool teachers’ work-to-family conflict: The moderating role of job resources. International Journal of Stress Management, 27(1), 23.
- Ridhoi, Muhammad A. 2020. Guru Honorer Bisa Dapat Gaji dari Dana BOS, Ini Syaratnya. (diakses pada 24 November 2021 pukul 07.55)
- Randy, R., & Hasmawaty, H. (2019). Implementasi Penggajian Guru Honorer Di Sekolah Dasar (Doctoral dissertation, Universitas Bina Darma).
- Roboth, J. Y. (2015). Analisis Work Family Conflict, Stres Kerja dan Kinerja Wanita Berperan Ganda Pada Yayasan Compassion East Indonesia. Riset Bisnis Dan Manajemen, 3, 33–46.
- Greenhaus, J. H., & Beutell, N. J. (1985). Sources of conflict between work and family roles. Academy of management review, 10(1), 76-88.
- Moleong, L. J. (2021). Metodologi penelitian kualitatif. PT Remaja Rosdakarya.
- Sugiono. (2011). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Jakarta: Rineka Cipta.
- Evi, M., & Sudarti, K. (2016). Metodologi Penelitian Kualitatif Untuk Bidang Kesehatan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
- P. D. Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta, 2017.
- Wijaya, Hengki. 2018. Analisis Data Kualitatif Ilmu Pendidikan Teologi. ISBN: 978-602-52060-4-7. (diakses pada 06 Desember 2021 pukul 07.36)
- Asbari, M., Pramono, R., Kotamena, F., Liem, J., Alamsyah, V. U., Imelda, D., ... & Purwanto, A. (2020). Studi Fenomenologi Work-Family Conflict dalam Kehidupan Guru Honorer Wanita. Edumaspul: Jurnal Pendidikan, 4(1), 180-201.