Negotiating the Identity of Punk Children, Descriptive Study of the Phenomenon of Punk Children
Innovation in Social Science
DOI: 10.21070/ijins.v21i.831

Negotiating the Identity of Punk Children, Descriptive Study of the Phenomenon of Punk Children


Negosiasi Identitas Anak Punk, Studi Deskriptif Fenomena Anak Punk

Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia
Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia

(*) Corresponding Author

Identity Negotiation Interpersonal Communication Punk

Abstract

Punk has been known to the public as a social group that has different characteristics from other communities, the lifestyle of punk children is the result of western culture which is accepted and applied in the social life of teenagers. At the beginning of the formation of the punk community, the principle was that without a leader in the community (no seniority), they prioritized solidarity, togetherness and kinship. The punk community is formed due to a factor or a problem from the family or other factors from each individual. In Singosari there are many punk children who live and settle there from outside the city or from Malang itself. This study aims to describe the identity negotiation of punk children in Singosari Malang. The method used in this research is qualitative. The population of this research is the Punk Community. Purposive Sampling technique for sampling while data collection using observation, interviews and documentation. The data analysis technique uses data reduction, data presentation and conclusion drawing. The results of this study are the identity of punk children in Singosari Malang is formed from interpersonal communication that has been carried out in their daily lives both with the punk community and with the community, the existence of openness, equality, empathy, support and positive attitudes carried out by punk children in mingling with the community so that its existence is well received.

Pendahuluan

Indonesia merupakan negara yang mempunyai berbagai macam suku dan budaya. Indonesia mempunyai beraneka ragam suku budaya yang menjadi kebanggaan sekaligus tantangan untuk generesi milenial saat ini. Kebudayaan lokal Indonesia mempunyai banyak sekali keunikan yang bervariasi dan mempunyai ciri khas tersendiri. Seiring berjalannya waktu, kehidupan modern saat ini menyebabkan perubahan sosial pada masyarakat lokal terhadap gaya hidup dan masuknya budaya luar negri yang mempunyai budaya yang sangat berbeda cenderung lebih modern dan penuh kebebasan daripada kebudayaan lokal Indonesia sendiri. Saat ini budaya Indonesia sudah mulai luntur seiring berjalannya waktu dan dianggap kurang menarik, tidak sesuai dengan gaya hidup masyarakat saat ini karena sudah terbiasa dengan gaya hidup modern, serta perkembangan teknologi yang sangat pesat dan ilmu pengetahuan yang telah mempengaruhi mindset masyarakat sehingga membuat sistem kehidupan sosial saat ini telah berubah. Dengan berkembangnya teknologi tersebut dapat menyebabkan seluruh masyarakat dapat mengakses informasi dengan mudah tanpa memfilter budaya yang masuk dari luar terlebih dahulu.

Kehidupan masyarakat saat ini sangat terlihat perubahannya dan efek dari budaya yang datang dari luar sangat terlihat dampaknya dalam kehidupan sosial dan budaya masyarakat, khususnya pada fenomena anak remaja dalam proses pendewasaan dan pembentukan jati diri yang lebih mempunyai sikap pemberontak dan kebebasan tidak mau diatur dalam hal apapun, hal ini yang menyebabkan mereka berkumpul menjadi satu untuk membentuk suatu komunitas atau kelompok agar dapat berekspresi dalam komunitas atau kelompok tersebut tanpa adanya aturan maupun larangan. Komunitas tersebut bermacam-macam dan salah satunya adalah komunitas Punk. Komunitas Punk telah dikenal masyarakat sebagai kelompok sosial yang mempunyai ciri khas berbeda dari komunitas lain. Gaya hidup anak Punk merupakan hasil dari kebudayaan barat yang ternyata diterima dan diterapkan dalam kehidupan sosial remaja. Awal mula pembentukan komunitas punk mempunyai prinsip tanpa adanya ketua didalam komunitas tersebut (no senioritas), mereka lebih mengutamakan solidaritas, kebersamaan dan kekeluargaan. Komunitas punk terbentuk akibat faktor atau suatu masalah dari keluarga maupun faktor lain dari masing-masing individu.

Anak Punk atau yang biasa disebut dengan Punkers merupakan kelompok sosial dengan etika Do It Yourself. Punk secara etimologis berasal dari bahasa Inggris, yaitu “Public United Not Kingdom”, kemudian di Indonesia dikenal dengan sebutan PUNK atau dalam bahasa Indonesia berarti sebuah komunitas di luar pemerintahan/kerajaan, mereka menginginkan kebebasan dalam hidup tanpa ada aturan atau yang mengekang [1]. Awal mula keberadaan anak punk di Kota Malang kurang lebih pada tahun 1993/1994, dan mulai berkembang pada tahun 1995 diawali dari terbentuknya komunitas anak punk dan band-band yang bergenre punk. Komunitas punk di Malang lebih memilih berkarya melalui musik, dengan tujuan untuk mewarnai kehidupan di Kota Malang hingga sampai saat ini komunitas serta band-band yang bergenre punk tersebut masih ada.

Fenomena anak punk di Kota Malang tidak lagi menjadi hal yang asing bagi warga Malang sendiri, disudut Kota Malang banyak ditemui anak punk yang sedang mengamen dijalanan untuk mencari uang. Hal tersebut sering dijumpai disekitar Singosari, Karanglo, Terminal Gadang dan sebagainya. Mungkin sebagian orang merasa terganggu kenyamanannya, tetapi hal tersebut sudah menjadi hal yang biasa bagi warga Malang dengan adanya fenomena tersebut, karena itu adalah juga termasuk bagian dari kehidupan sosial. Banyak diantara para remaja di Kota Malang juga ikut bergaul dengan mereka, faktor inilah yang mungkin menjadi semakin bertambah banyak anak punk di Kota Malang saat ini. Anak punk tentunya sangat jauh berbeda dengan komunitas lain, mereka tidak terlalu peduli dengan sekitarnya, mereka sangat nyaman dengan gaya berpakaian, cara mereka berdandan dan tidak peduli dengan penilaian orang tentang mereka walaupun itu adalah penilaian negatif, karena hal tersebut bisa memunculkan kenyamanan dan kebebasan dalam berekspresi, berdandan dengan memakai anting, tindik, tatto dan gaya rambut mohawk yang bisa menambah rasa percaya diri dan bisa berkumpul dimanapun untuk berbagai cerita dengan teman yang menerima mereka apa adanya adalah hal yang sangat berarti. Dilain sisi,banyak aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh anak punk. Sebut saja acara konser musik meski tidak dapat dibilang sebagai konser yang besar pada umumnya, namun dibalik dari agenda tersebut mereka mendonasikan dari hasil penjualan tiketnya untuk diberikan kepada masyarakat yang lebuih membutuhkan. Acara tersebut bertujuan untuk mengapresiasi kepedulian anak punk terhadap lingkungan dan sosial.

Negosiasi identitas merupakan hal yang sangat berpengaruh dalam berhubungan dengan orang lain, terutama dalam berbagai budaya. Identitas seseorang selalu dihasilkan dari bagaimana cara berinteraksi dengan orang lain. Identitas atau gambaran refleksi diri, dibentuk melalui negosiasi ketika menyatakan, memodifikasi atau menantang identifikasi diri kita atau orang lain. Menurut Ting Toomey bahwa setiap individu membutuhkan identitas diri dalam interaksi interpersonal untuk menegosiasikan identitas secara berbeda dalam budaya yang berbeda. Setiap individu harus berupaya memahami setiap peristiwa atau situasi yang sedang dihadapi, interpretasi yang diberikan terhadap situasi yang sedang dihadapi merupakan definisi dari situasi tersebut. Anak punk harus bisa menempatkan diri dari berbagai macam situasi, dimana mereka akan menyajikan berbagai macam karakter berbeda yang dimilikinya [2]. Dari masing-masing individu yang terlibat dalam komunikasi maupun perilaku harus bisa membuat kesan tentang dirinya, sehingga dapat menimbulkan suatu definisi umum yang diterima semua masyarakat atas situasi pada saat itu. Hubungan anak punk dengan masyarakat tidak dapat dipisahkan, adanya anak punk ditengah-tengah masyarakat menimbulkan banyak persepsi, prasangka negatif terhadap keberadaan komunitas anak punk tersebut.

Anak punk terkadang dipandang negatif oleh masyarakat, terutama dalam hal penampilan yang bisa dibilang pemberontak, brandal dan anarkis. Dengan gaya anak punk yang seperti itu dan selalu melakukan aktivitas seperti berkumpul disuatu tempat saat malam hari menimbulkan stigma negatif dari masyarakat bahwa anak punk menyukai minum-minuman keras, pemakai narkoba serta melakukan seks bebas. Penampilan anak punk mempunyai ciri khas tersendiri yaitu dengan gaya rambut mohawk, bertatto dan memakai piercing dikupingnya, yang tidak biasa membuat masyarakat ngeri melihat anak punk. Kebanyakan masyarakat menilai anak punk dengan pandangan yang negatif, pandangan masyarakat mengenai anak punk yang berandal, tidak berpendidikan dan tidak mempunyai masa depan. Dengan adanya pandangan negatif dari masyarakat, komunitas punk harus bisa menegosiasikan identitas mereka dari hambatan negatif persepsi dan prasangka dari masyarakat dengan tujuan agar keberadaan mereka bisa diterima oleh masyarakat.

Metode Penelitian

Penelitian ini akan menggunakan metode kualitatif yang merupakan metode penelitian yang didasarkan pada filsafat postpositivisme atau enterpretif, yang digunakan untuk meneliti kondisi suatu obyek yang alamiah, dimana peneliti sebagai instrumen inti, teknik pengumpulan data dilakukan secara gabungan yaitu observasi, wawancara dan dokumentasi. Data yang didapatkan cenderung data kualitatif, analisis data bersifat induktif dan hasil penelitian bersifat untuk memahami makna, memahami keunikan, mengkontruksi fenomena dan menemukan hipotesis [3]. Dengan menggunakan metode ini bertujuan untuk fokus pada proses Negosiasi Identitas Anak Punk (Studi Deskriptif Fenomena Anak Punk di Singosari Malang), sesuai dengan realitas sosial yang terjadi di lapangan. Sehingga penelitian ini diharapkan mampu menjelaskan bagaimana proses negosiasi identitas anak punk terhadap masyarakat di Singosari Malang. Subjek penelitian merupakan bagian yang nantinya akan dijadikan sampel dalam proses penelitian. Peran subjek penelitian adalah untuk menyampaikan informasi yang terkait dengan data yang akan diperlukan pada sebuah penelitian. Subjek penelitian dalam penelitian ini adalah anak punk di Kecamatan Singosari, Malang. Sedangkan objek dalam penelitian ini adalah Negosiasi Identitas Anak Punk dengan masyarakat di Kecamatan Singosari Malang [4]. Penentuan informan pada penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling. Informan yang paling mengetahui informasi yang dibutuhkan dalam penelitian ini, maka informan akan menjadi sumber informasi untuk memahami informasi yang akan diteliti [5]. Informan akan dipilih dengan menggunakan teknik purposive sampling atau pilihan yang disengaja dengan mempertimbangkan beberapa faktor. Informan yang disebutkan di sini adalah informan yang terlibat langsung yang dianggap mampu dan memahami masalah terkait Negosiasi Identitas Anak Punk di Singosari Malang. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kualitatif. Data kualitatif adalah data yang berbentuk verbal bukan digital [6]. Data kualitatif dalam penelitian ini adalah gambaran dalam obyek penelitian yang meliputi dari penampilan, gaya hidup, kehidupan sehari-hari, kondisi anak punk dan data-data yang terkait dengan proses negoisasi identitas. Sumber data dalam penelitian ini adalah subyek darimana informasi dan data tersebut diperoleh [7]. Penelitian ini menggunakan 2 sumber data yaitu Data Primer dan Data Sekunder. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik observasi, wawancara dan dokumentasi [8]. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu deskriptif kualitatif yang terbagi menjadi 3 bagian yaitu reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan.

Hasil dan Pembahasan

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, telah diperoleh bagaimana proses negosiasi identitas anak punk di Singosari Malang. Negosiasi identitas sendiri meliputi berbagai aspek dalam kehidupan sehari-hari anak punk, mereka hidup ditengah-tengah masyarakat dengan berbagai macam stigma negatif atau persepsi negatif dari masyarakat baik dari penampilan maupun perilaku mereka.

Punk secara etimologis berasal dari bahasa Inggris, yaitu “Public United not Kingdom”, kemudian disingkat menjadi P.U.N.K atau dalam bahasa indonesia yang berarti komunitas di luar kerajaan / pemerintahan, mereka ingin hidup bebas tanpa dibatasi, setiap individu ingin hidup dan memilih kebebasan, namun tetap menghargai perbedaan dan toleransi [9]. Informan yang bernama Mas Indro mempunyai latar belakang menjadi seorang anak punk berawal dari yaitu mengikuti trend yang telah muncul dan budaya dari luar yang telah masuk ke Indonesia sehingga dengan senang hati mengikuti perkembangan tersebut hingga sampai saat ini tetap menjadi identitas bahkan punk juga termasuk budaya. Mas Indro merupakan salah satu senior punk di Singosari Malang yang sampai saat ini masih aktif dalam aktivitas dan kegiatan-kegiatan komunitas maupun band.

Punk di Malang berkembang sejak tahun 1998 yang diawali dengan budaya dari luar yang masuk ke Kota Malang sehingga munculnya band-band punk di Malang sehingga mulai banyaknya pengikut/komunitas punk yang berdiri. Kemudian media menyebarluaskan di berbagai sudut kota Malang khususnya di Singosari, sehingga berkembang sangat pesat saat itu juga. Beberapa pendapat dari informan yang telah diwawancarai oleh peneliti menyatakan bahwa awal mula perkembangan punk di Kota Malang berawal dari budaya dari luar yang masuk ke Kota Malang yang dibawa oleh mahasiswa yang kuliah di Malang. Kemudian band-band bergenre punk mulai bermunculan beriringan dengan acara konser musik juga. Media berperan sangat penting karena menyebarkan berita mengenai punk diseluruh Kota Malang sehingga terbentuk banyaknya komunitas punk di Malang saat itu juga.

Persepsi masyarakat terhadap anak punk bisa dibilang mengarah ke stigma negatif, karena masyarakat hanya menilai anak punk dari penampilan, perilaku tidak dengan sifat dan sikapnya. Tapi anak punk mengabaikan itu semua karena mereka mempunya pedoman hidup DIY yaitu (Do It Yourself) yang artinya mereka melakukan apa saja asal tidak merugikan orang lain. Mereka lebih memikirkan diri mereka sendiri daripada omongan/pendapat negatif dari masyarakat sekitar. Mas Indro menyatakan bahwa masyarakat memandang anak punk hanya sebelah mata, mereka tidak pernah tau bagaimana isi hatinya sikap dan sifatnya. Kita sebagai anak punk melakukan sesuatu tidak untuk merugikan orang lain, meskipun dengan penampilan yang bisa dibilang urakan tapi kami melakukan apa yang harus kami lakukan untuk diri sendiri dan kebahagiaan diri sendiri.

Menjadi anak punk adalah sebuah pilihan dan ketertarikan terhadap suatu budaya yang dikenal masyarakat sebagai suatu budaya yang negatif untuk para remaja dan memberikan dampak untuk masa depan. Hal tersebut sudah menjadi hal yang biasa bagi anak punk, permasalahan dalam kehidupan sehari-hari adalah hal yang tidak bisa dihindari meskipun itu adalah masalah kecil dan sepele. Seluruh informan mempunyai masalah dengan komunitas punk maupun masyarakat, namun semua itu kembali kepada ego dari masing-masing individu agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Mas Indro menyatakan bahwa menjadi punk itu tidak mudah, menjalani kehidupan dijalanan juga tidak mudah apalagi banyak masyarakat yang menganggap anak punk tidak mempunyai masa depan. Sebenarnya kalau untuk permasalahan tidak ada, mungkin ada beberapa dari masyarakat yang terganggu oleh aktivitas anak punk dijalan atau ngamen mungkin juga pas lagi minum-minuman keras.

Penampilan anak punk memang bisa dibilang sangat identik dengan gaya rambut mohawk, bertatto, memakai tindik dan sepatu boot. Namun demikian “apakah dengan berpenampilan seperti itu dapat menunjukkan itu adalah sebuah identitas anak punk?. Mas Indro memberikan pendapat bahwa penampilan bukan segalanya, memang itu sudah umum bagi masyarakat yang melihatnya. Namun sisi dari punk tidak hanya dari penampilan, tapi dari hati. Penampilan hanya melihatkan itu adalah sebuah budaya punk. Ya memang benar, penampilan bisa menunjukkan sebuah identitas, tapi juga belum tentu penampilan seperti itu adalah anak punk, bisa jadi hanya meniru saja namun tidak dari keinginan menjadi anak punk. Mas Indro menyatakan bahwa memang benar identitas anak punk itu bisa dilihat dari penampilan. Namun tidak semua yang berpenampilan seperti anak punk itu benar-benar anak punk, bisa jadi hanya ikut-ikutan saja biar dibilang anak punk. Karena sejatinya punk bukanlah mainan, punk adalah budaya, jatidiri, identitas dan kebebasan dalam melakukan segala hal untuk kebaikan dan keinginan diri sendiri.

Adaptasi dengan lingkungan dan masyarakat tentunya bukan suatu hal yang mudah dan sulit bagi anak punk. Karena anak punk hidup berdampingan dengan masyarakat dalam kehidupan sehari-harinya. Street punk contohnya, mereka selalu hidup dijalanan, mencari uang dilampu merah untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari (ngamen). Tentunya itu termasuk dalam adaptasi dengan lingkungan dan masyarakat. Bentuk lain dalam hal adaptasi bisa dilakukan dengan cara lain yaitu menempatkan diri dalam suatu lingkungan untuk berhubungan baik dengan masyarakat dengan tujuan agar bisa diterima dengan baik oleh masyarakat. Mas Indro memberikan pernyataan terkait adaptasi dengan lingkungan dan masyarakat dengan cara mengikuti kegiatan yang diadakan oleh masyarakat begitu juga dengan sebaliknya anak punk membuat acara mengundang masyarakat untuk meramaikan acara tersebeut seperti contoh mengadakan galang dana atau konser musik, tidak hanya berbaur dengan masyarakat, juga mempunyai tujuan agar anak punk bisa diterima dengan baik oleh masyarakat. Jadi adaptasi adalah hal yang sangat penting dalam kehidupan sehari-harinya.

Dari berbagai latarbelakang anak punk, terdapat juga motivasi yang muncul sehingga bisa menjadi anak punk dan mencintai budaya punk. Dari beberapa narasumber yang telah diwawancarai oleh peneliti masing-masing mempunyai motivasi tersendiri selama menjadi anak punk. Menjadi anak punk tidak hanya dilihat dari penampilan, perilaku dalam kehidupan sehari-hari, namun mereka juga mempunyai tujuan, motivasi dan keinginan dalam menjalani kehidupan mereka. Mas Indro mengatakan bahwa motivasi selama menjadi anak punk yaitu ingin mempunyai band yang bergenre punk dan membawakan lagunya sendiri agar bisa didengarkan oleh pecinta musik punk. Berawal dari musik kemudian membangun sebuah komunitas dan band-band punk di Kota Malang, semuanya bisa terwujud seiring berjalannya waktu. Kemudian timbul rasa sangat mencintai dan mempunyai tanggungjawab kepada diri sendiri agar tetap mencintai budaya punk dan memperpanjang umur sistem punk di Kota Malang khususnya di Singosari.

Di Kota Malang telah banyak tercipta komunitas punk maupun street punk dan band-band punk yang lahir disana, maka tidak heran jika masyarakat menganggap hal itu adalah hal yang wajar dan dianggap sudah biasa bahkan ada yang menganggap bahwa punk adalah suatu budaya yang tidak bisa redup atau mati. Karena seiring berjalannya waktu semakin banyak pertumbuhan komunitas, band dan anak punk yang bisa dijumpai di Kota Malang khususnya di Singosari. Mas Indro menyatakan bahwa memang benar punk adalah sebuah budaya yang tidak akan pernah pudar atau mati, bahkan seiring berjalannya waktu dan jaman, perkembangannya tidak akan berhenti justru semakin merebah luas. Banyak cabang dari punk yang semakin bertambah, baik dari band maupun komunitasnya. Masyarakat Singosari pun juga sudah terbiasa dengan keberadaan anak punk disana, karena keberadaannya sudah terbilang cukup lama sudah berpuluh-puluh tahun hingga sampai saat ini.

Negosiasi identitas menurut Ting Toomey menekankan pada identitas atau konsep diri yang dianggap sebagai penjelas untuk proses komunikasi antar budaya. Identitas dianggap sebagai gambaran diri, yang digambarkan, dialami, dan dikomunikasikan oleh individu pada suatu budaya dalam keadaan tertentu. Negosiasi identitas adalah kegiatan komunikasi. Beberapa orang tidak dapat berpikir ketika berhadapan dengan negosiasi identitas, sementara yang lain memikirkan dinamika prosesnya. Kesadaran adalah proses "fokus kognitif" cerminan diri dan perilaku dalam kehidupan yang kemudian menjadi kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam kehidupan sehari-hari proses negosiasi identitas tidak bisa dihindari oleh anak punk karena negosiasi identitas mencakup proses komunikasi, gambaran diri dan identitas sebagai anak punk. Anak punk hidup berdampingan ditengah-tengah masyarakat, maka mereka harus bisa berbaur dengan masyarakat agar bisa dikenal dan diterima baik oleh masyarakat dengan kehadiran mereka yang dipandang sebagai suatu hal yang negatif. proses negosiasi identitas anak punk di Singosari Malang sangat mudah untuk dilakukan dengan cara melakukan hal-hal yang baik dan tidak merugikan orang lain, menghargai dan menghormati satu sama lain khususnya kepada masyarakat dengan tujuan agar bisa diterima dengan baik oleh masyarakat. Mereka (anak punk) sudah bisa membedakan dan menempatkan diri mereka pada lingkungan dimana mereka membawa identitasnya sebagai anak punk dan masyarakat biasa pada umumnya.

Negosiasi Identitas Anak Punk di Singosari Malang yang telah dipilih oleh peneliti sebagai objek penelitian. Negosiasi identitas merupakan identitas atau konsep diri yang dianggap sebagai penjelas untuk proses komunikasi antar budaya. Identitas dianggap sebagai gambaran diri, yang digambarkan, dialami, dan dikomunikasikan oleh individu pada suatu budaya dalam keadaan tertentu. Negosiasi identitas anak punk di Singosari Malang merupakan hal yang tidak dapat dihindari karena disana terdapat berbagai macam komunitas dari berbagai macam budaya, tidak hanya masyarakat saja. Anak Punk di Singosari Malang bisa berbaur dengan siapa saja melakukan hal yang tidak merugikan orang lain dengan tujuan agar bisa diterima dengan baik oleh komunitas lain dan masyarakat. proses negosiasi identitas anak punk di Singosari Malang mencakup seluruh aspek seperti apa yang telah dijelaskan oleh informan yang menjawab pertanyaan dari peneliti. Proses negosiasi identitas anak punk di Singosari Malang sangat mudah untuk dilakukan dengan cara melakukan hal-hal yang baik dan tidak merugikan orang lain, menghargai dan menghormati satu sama lain khususnya kepada masyarakat dengan tujuan agar bisa diterima dengan baik oleh masyarakat. Terdapat komunikasi interpersonal dalam negosiasi identitas anak punk di Singosari Malang, adanya keterbukaan, kesetaraan, empati, dukungan dan sikap positif [10] yang dilakukan oleh anak punk dalam kesehariannya dengan komunitas anak punk maupun masyarakat. Bentuk dari perilaku anak punk yang selalu berbuat positif seperti mengikuti kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat, menghargai satu sama lain, mengadakan acara galang dana untuk korban bencana alam, mengadakan konser amal untuk masyarakat yang membutuhkan adalah bentuk dari komunikasi interpersonal anak punk dengan masyarakat.

Simpulan

Terdapat komunikasi interpersonal dalam negosiasi identitas anak punk di Singosari Malang, adanya keterbukaan, kesetaraan, empati, dukungan dan sikap positif yang dilakukan oleh anak punk dalam kesehariannya dengan komunitas anak punk maupun masyarakat. Bentuk dari perilaku anak punk yang selalu berbuat positif seperti mengikuti kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat, menghargai satu sama lain, mengadakan acara galang dana untuk korban bencana alam, mengadakan konser amal untuk masyarakat yang membutuhkan adalah bentuk dari komunikasi interpersonal anak punk dengan masyarakat.

References

  1. . Ting-Toomey, S. (1999). Communicating Accross Cultures . New York: The Guilford Press.
  2. . Sugiyono. (2017). Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.
  3. . Sugiyono. (2012). Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.
  4. . Muhadjir, N. (1996). Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Rakesarasin.
  5. . Arikunto, S. (2002). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: PT Rineka Cipta.
  6. . Kriyantono, R. (2006). Teknik Praktis Riset Komunikasi Kuantitatif dan Kualitatif. Jakarta: Prenada Media Group.
  7. . Setyanto, D. W. (2015). Makna dan Ideologi Punk. Andharupa Jurnal desain komunikasi visual dan multimedia vol 01 no 02, 51.
  8. . Ridwan, H. (2011). Sedikit Cerita Punk dari Bandar Lampung. Jogjakarta: Indie Book Corner.
  9. . Aw, S. (2011). Komunikasi Interpersonal. Yogyakarta: Graha Ilmu.
  10. . Sugiyono. (2012). Memahami Penelitian Kualitatif. In Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif (p. 54). Bandung: Alfabeta.