Abstract
Social loafing is a tendency for individuals to reduce the effort put into achieving a common goal than when work is calculated individually. The purpose of this study was to see the description of social loafing on members of the Mapala organization in Sidoarjo. This research uses descriptive quantitative research and was conducted in Mapala Sidoarjo. The sample in this study were members of the Mapala organization in Sidoarjo as many as 123 respondents. The data collection technique in this study used a social loafing scale in the form of a Likert scale. The results of this study indicate that 64 out of 123 people have social loafing in the high category (52%). The highest social loafing aspect of Mapala organization members is the evaluation apprehension aspect with an average value of 23.46.
Pendahuluan
Mapala atau Mahasiswa Pecinta Alam adalah organisasi yang beranggotakan para mahasiswa yang mempunyai kesamaan minat, kepedulian dan kecintaan dengan alam sekitar dan lingkungan hidup. Hampir setiap perguruan tinggi di Indonesia memiliki mapala. Di kabupaten Sidoarjo, Jawa timur terdapat 4 perguruan tinggi, semua perguruan tinggi memiliki organisasi mapala, yaitu Universitas Muhammadiyah Sidoarjo, Universitas Maarif Hasyim Latif, STKIP PGRI dan Universitas Nahdlatul Ulama Sidoarjo. Mahasiswa Pecinta Alam (mapala) merupakan salah satu UKM (unit kegiatan mahasiswa) yang ada di perguruan tinggi. UKM sendiri adalah wadah aktivitas kemahasiswaan untuk mengembangkan minat, bakat dan keahlian tertentu. Minat yang dikembangkan di organisasi mapala adalah seperti kemampuan membaca peta dan navigasi darat gunung dan hutan, pengembangan kemampuan berorganisasi, pemahaman olahraga arus deras, pemahaman mengenai panjat tebing dan susur gua. Kegiatan sehari-hari dalam kehidupan organisasi seperti rapat anggota, seminar proposal kegiatan, pelaksanaan kegiatan, evaluasi setelah kegiatan, menyelesaikan kegiatan-kegiatan di alam bebas. Kegiatan ini membutuhkan kekompakan antar anggota dalam oganisasi untuk mengerjakan tugas atau jobdesk [1].
Anggota organisasi ketika menjalankan tugas atau jobdesk ada yang benar-benar memberikan kontribusi maksimal serta ada yang tidak sungguh-sungguh atau enggan memberikan kontribusi karena masih ada anggota lain yang juga mempunyai tanggung jawab mengerjakan [2]. Pada kenyataannya ditemukan anggota yang tidak berkontribusi secara penuh baik secara fisik maupun pemikiran, hanya menggantungkan pada kinerja anggota yang lainnya. Tugas-tugas yang seharusnya sudah dibagi rata namun harus dikerjakan sendiri oleh satu atau beberapa orang. Individu yang tidak mengeluarkan kemampuan secara utuh ketika melakukan pekerjaan tim, menghindari beban kerja yang seharusnya dilakukan bersama dapat disebut sebagai kemalasan sosial atau social loafing. Menurut [3] perilaku social loafing bentuknya bisa bermacam-macam, mulai dari sikap apatis, terhadap tugas kelompok perilaku merusak dan menghambat, hubungan interpersonal yang lemak, kualitas dan hasil kerja buruk, pendomplengan tugas secara kinerja tim yang buruk secara keseluruhan.
Social loafing (kemalasan sosial) adalah kecenderungan individu-individu yang berada dalam situasi kelompok untuk menggunakan sedikit kemampuan yang dimilikinya ketika individu-individu tersebut diminta untuk berpartisipasi guna mencapai tujuan bersama [4]. Social loafing memiliki aspek yaitu: Menurunnya motivasi individu untuk terlibat dalam kegiatan kelompok, sikap pasif, pelebaran tanggung jawab, free ride, penurunan kesadaran akan evaluasi dari orang lain (Evaluation apprehension).
Pada penelitian yang dilakukan oleh Rita, Mardhiyah dan Fikri [5] berjudul “Kohesivitas dan Social Loafing dalam pembelajaran kelompok pada siswa SMAN 1 Indralaya” penelitian ini menunjukkan hasil analisis data yang dilakukan, diketahui bahwa sebanyak 171 siswa (68.4 % ) di SMAN 1 Indralaya memiliki social loafing yang rendah. Kemudian 79 siswa (31.6 %) tergolong sedang dan 0 % yang tergolong tinggi.
Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Sunaitha, Mukhaira dan Rina [6] dengan judul “Social Loafing ditinjau dari kohesivitas pada mahasiswa fakultas kesehatan masyarakat Universitas Prima Indonesia di Sumatera Utara” menunjukkan bahwa terdapat terdapat subjek 54 subjek (36.24 persen) yang memiliki social loafing rendah, terdapat 95 subjek (63.75 persen) yang memiliki social loafing sedang, dan tidak terdapat subjek (0 persen) yang memiliki social loafing tinggi.
Berdasarkan wawancara pada survey awal, dapat disimpulkan bahwa terdapat permasalahan terkait social loafing pada anggota organisasi Mapala. Hal tersebut terlihat melalui kurangnya tanggung jawab dalam menyelesaikan tugas sesuai dengan aspek social loafing yaitu pelebaran tanggung jawab, dalam hal ini anggota lepas tanggung jawabnya kepada anggota yang lain. Sering mengandalkan anggota lain untuk mengerjakan jobdesk nya termasuk dalam aspek free ride atau mendompleng yaitu individu yang memahami bahwa masih ada orang lain yang mau melakukan usaha dalam kelompok. Penurunan kesadaran akan evaluasi orang lain termasuk aspek evaluation apprehension.
Social loafing memiliki dampak negatif bagi organisasi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Aminah [7] dengan judul “Fenomena social loafing dalam program pemberdayaan masyarakat di desa binaan PMI: studi fenomenologi dalam praktek pengembangan masyarakat” mengatakan bahwa social loafing sangat merugikan dalam situasi kelompok ketika masing-masing anggota berkonstribusi untuk menghasilkan output pada kelompok. Apabila perilaku social loafing dapat dikenali oleh anggota lain, makaakan menyebabkan anggota lain mengurangi usahanya. Beberapa dampak terjadinya social loafing yaitu a) interaksi sosial setiap anggota kelompok menurun seiring menurunnya tanggung jawab. b) merasa tugas kelompok bukan bagiannya. c) mengambil alih tugas untuk melindungi nama baik kelompok bahkan nama baik lembaga.
Berdasarkan latar belakang diatas, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran dan faktor dari social loafing pada anggota organisasi Mapala.
Metode Penelitian
Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu kuantitatif deskriptif dengan variabel Social loafing [8]. Pada penelitian ini peneliti menggunakan satu variabel yaitu social loafing.Populasi dalam penelitian ini adalah Anggota organisasi Mapala di Sidoarjo tahun 2021 sebanyak 123 anggota dengan jumlah sampel 123 anggota organisasi dengan menggunakan teknik sampel jenuh. Pengumpulan data memakai teknik skala, yaitu skala social loafingyang memakai skala likert 1 – 4.
Skala social loafing berjumlah 32 aitem terdiri atas 16 aitem favourable dan 16 aitem unfavourable, yang meliputi aspek Menurunnya motivasi individu untuk terlibat dalam kegiatan kelompok, sikap pasif, pelebaran tanggung jawab, free ride, penurunan kesadaran akan evaluasi dari orang lain (Evaluation apprehension). dengan nilai reliabilitas cronbach’s alpha 0,881. Maka dapat disimpulkan skala social loafing yang digunakan pada penelitian ini dinyatakan reliable [9]. Analisis data penelitian ini akan menggunakan teknik analisis Statistik deskriptif yang digunakan untuk menganalisis data dengan cara mendeskripsikan atau menggambarkan data yang telah terkumpul. Hasil analisis data akan disajikan dalam bentuk tabel, grafik, dan perhitungan presentase yang akan dijelaskan dengan menggunakan kalimat deskriptif.
Hasil dan Pembahasan
Hasil Penelitian
Frequency | Percent | ||
Valid | Rendah | 9 | 7.3 |
Sedang | 50 | 40.7 | |
Tinggi | 64 | 52.0 | |
Total | 123 | 100.0 |
Berdasarkan tabel 1, dapat diketahui bahwa anggota organisasi Mapala di Sidoarjo yang memiliki nilai social loafing rendah dengan skor < 119 ada sebanyak 9 orang (7,3%). Sedangkan anggota organisasi Mapala di Sidoarjo yang memiliki nilai social loafing sedang dengan skor 120 s/d 127 ada sebanyak 50 orang (40,7%) dan anggota organisasi Mapala di Sidoarjo yang memiliki nilai social loafing tinggi dengan skor ≥ 128 ada sebanyak 64 orang (52,2%). Dengan begitu dapat disimpulkan bahwa anggota organisasi Mapala di Sidoarjo memiliki tingkat social loafing yang tinggi.
Untuk mengetahui lebih dalam tentang tingkat social loafing pada anggota Mapala di kabupaten Sidoarjo, maka peneliti akan menjelaskan tingkatan masing masing aspek social loafing. Untuk aspek yang pertama adalah aspek menurunnya motivasi.
Aspek | Kategori | Jumlah | % | Mean |
Menurunnya motivasi | Rendah | 7 | 6% | |
Sedang | 31 | 25% | ||
Tinggi | 85 | 69% | ||
Total | 123 | 100% | 23,37 |
Berdasarkan tabel 2 dapat diketahui bahwa anggota organisasi Mapala di Sidoarjo memiliki aspek menurunnya motivasi dengan kategori tinggi sebanyak 85 orang (69%). Kategori sedang sebanyak 31 orang (25%). Kemudian dengan kategori rendah sebanyak 7 orang (6%). Berikutnya adalah kategorisasi berdasarkan aspek sikap pasif.
Aspek | Kategori | Jumlah | % | Mean |
Sikap pasif | Rendah | 3 | 2% | |
Sedang | 47 | 38% | ||
Tinggi | 73 | 60% | ||
Total | 123 | 100% | 19,38 |
Berdasarkan tabel 3 dapat diketahui bahwa anggota organisasi Mapala di Sidoarjo memiliki aspek sikap pasif dengan kategori tinggi sebanyak 73 orang (60%). Kategori sedang sebanyak 47 orang (38%). Kemudian dengan kategori rendah 3 orang (2%). Berikutnya adalah kategorisasi berdasarkan aspek pelebaran tanggung jawab.
Aspek | Kategori | Jumlah | % | Mean |
Pelebaran tanggung jawab | Rendah | 3 | 2% | |
Sedang | 27 | 22% | ||
Tinggi | 93 | 76% | ||
Total | 123 | 100% | 19,60 |
Berdasarkan tabel 4 dapat diketahui bahwa anggota organisasi Mapala di Sidoarjo memiliki aspek pelebaran tanggung jawab dengan kategori tinggi sebanyak 93 orang (76%). Kategori sedang sebanyak 27 orang (22%). Lalu kategori rendah sebanyak 3 orang (2%). Berikutnya adalah kategorisasi berdasarkan aspek free ride.
Aspek | Kategori | Jumlah | % | Mean |
Free ride | Rendah | 4 | 3% | |
Sedang | 14 | 12% | ||
Tinggi | 105 | 85% | ||
Total | 123 | 100% | 19,69 |
Berdasarkan tabel 5 dapat diketahui bahwa anggota organisasi Mapala di Sidoarjo memiliki aspek free ride dengan kategori tinggi sebanyak 105 orang (85%). Kategori sedang sebanyak 14 orang (11%). Kategori rendah sebanyak 4 orang (3%). Berikutnya adalah kategorisasi berdasarkan aspek evaluation apprehension.
Aspek | Kategori | Jumlah | % | Mean |
Evaluation apprehension | Rendah | 3 | 2% | |
Sedang | 48 | 40% | ||
Tinggi | 72 | 58% | ||
Total | 123 | 100% | 23,46 |
Berdasarkan tabel 6 dapat diketahui bahwa anggota organisasi Mapala di Sidoarjo memiliki aspek evaluation apprehension dengan kategori tinggi sebanyak 72 orang (58%). Kategori sedang sebanyak 48 orang (40%). Lalu kategori rendah sebanyak 3 orang (2%).
Selanjutnya peneliti akan mendeskripsikan faktor-faktor yang mendorong anggota organisasi Mapala di Sidoarjo sehingga melakukan social loafing.
Faktor-faktor | Jumlah | % |
Tugas yang saling berhubungan dengan tugas kelompok lain | 10 | 8 |
Anggota kelompok yang banyak sehingga merasa sudah banyak yang akan mengerjakan | 21 | 18 |
Kurang kompak dalam kelompok untuk menyelesaikan tugas | 15 | 12 |
Keterampilan diri yang kurang cocok dalam tugas yang di amanahkan | 13 | 10 |
Tidak ada penilaian individu dalam tugas kelompok | 20 | 17 |
Satu kelompok dengan orang pandai sehingga merasa kontribusi tidak terlihat dalam mengerjakan tugas kelompok | 19 | 15 |
Tidak ada kejelasan mengenai pembagian tugas dalam kelompok | 14 | 11 |
Kurangnya evaluasi oleh kelompok dalam mengerjakan tugas sehingga kurang termotivasi | 11 | 9 |
Berdasarkan tabel 7, dapat diketahui bahwa secara teoritis faktor-faktor yang mendorong mereka untuk melakukan social loafingadalah karena faktor “Tugas yang saling berhubungan dengan tugas kelompok lain” sebanyak 10 orang mahasiswa (8%). Kemudian karena faktor “anggota kelompok yang banyak sehingga merasa sudah banyak yang akan mengerjakan” sebanyak 20 orang mahasiswa (16%). Faktor “kurang kompak dalam kelompok untuk menyelesaikan tugas” sebanyak 15 orang mahasiswa (13%). Faktor “keterampilan diri yang kurang cocok dalam tugas yang diamanahkan” sebanyak 13 orang mahasiswa (10%). Kemudian faktor “tidak ada penilaian individu dalam tugas kelompok” sebanyak 21 orang mahasiswa (16%). Faktor “satu kelompok dengan orang pandai sehingga merasa kontribusi tidak terlihat dalam mengerjakan tugas kelompok” sebanyak 19 orang mahasiswa (16%). Faktor “tidak ada kejelasan mengenai pembagian tugas dalam kelompok” sebanyak 14 orang mahasiswa (11%). Hingga karena faktor “kurangnya evaluasi oleh kelompok dalam mengerjakan tugas sehingga kurang termotivasi” sebanyak 11 orang mahasiswa (10%).
Setelah menjelaskan faktor dari social loafing, Peneliti akan menjelaskan tentang gambaran social loafing pada anggota organisasi Mapala di Sidoarjo berdasarkan jenis kelamin.
Jenis Kelamin | Kategori | Jumlah | % |
Laki-laki | Rendah | 5 | 8% |
Sedang | 19 | 33% | |
Tinggi | 34 | 59% | |
Total | 58 | 100% | |
Perempuan | Rendah | 4 | 6% |
Sedang | 30 | 46% | |
Tinggi | 31 | 48% | |
Total | 65 | 100% |
Berdasarkan tabel 7 terlihat bahwa kategori rendah laki-laki sebanyak 5 orang (8%). Kategori sedang laki-laki sebanyak 19 orang (33%). Kemudian kategori tinggi laki-laki sebanyak 34 orang (59%). Sedangkan untuk perempuan dengan kategori rendah sebanyak 4 orang (6%). Kategori sedang perempuan sebanyak 30 orang (46%). Kemudian kategori tinggi perempuan sebanyak 31 orang (48%). Kategorisasi berikutnya adalah social loafing berdasarkan asal organisasi.
Asal organisasi | Kategori | Jumlah | % | ||
HIMMPAS | Rendah | 3 | 6% | ||
Sedang | 15 | 35% | |||
Tinggi | 25 | 59% | |||
Total | 43 | 100% | |||
DASPA | Rendah | 2 | 6% | ||
Sedang | 9 | 29% | |||
Tinggi | 20 | 65% | |||
Total | 31 | 100% | |||
UMAHA | Rendah | 1 | 3% | ||
Sedang | 19 | 65% | |||
Tinggi | 9 | 32% | |||
Total | 29 | 100% | |||
MAHAPALA | Rendah | 3 | 15% | ||
Sedang | 6 | 30% | |||
Tinggi | 11 | 55% | |||
Total | 20 | 100% |
Pada tabel diatas terlihat bahwa yang mendapat persentase tertinggi berdasarkan asal organisasi adalah kategori tinggi. Dimana HIMMPAS (59%), DASPA (65%), UMAHA (32%) dan MAHAPALA (55%). Hal ini menunjukkan bahwa anggota organisasi mahasiswa pecinta alam (mapala) di kabupaten Sidoarjo mempunyai social loafing yang tinggi. Namun ada juga anggota organisasi yang mendapat social loafing rendah seperti pada organisasi HIMMPAS terdapat 3 anggota, DASPA terdapat 2 anggota, UMAHA terdapat 1 anggota dan MAHAPALA terdapat 3 anggota.
Pembahasan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa social loafing pada anggota organisasi Mapala di Sidoarjo berada dalam kategori tinggi. Hal ini dibuktikan dengan jumlah persentase dari 123 orang anggota organisasi yang melakukan social loafing dalam kategori tinggi (52%). Anggota Mapala yang memiliki social loafing tinggi merupakan gambaran mahasiswa yang tidak memiliki keinginan yang kuat untuk mengerjakan bagian tugasnya dalam kelompok. Kemudian anggota organisasi yang melakukan social loafing dalam kategori sedang (40%). Anggota Mapala yang memiliki social loafing sedang merupakan gambaran mahasiswa yang memiliki keinginan menyelesaikan tugas kelompok dengan baik ketika mendapatkan evaluasi. Selanjutnya anggota organisasi yang melakukan social loafing dalam kategori rendah (7%). Anggota Mapala yang memiliki social loafing rendah merupakan gambaran mahasiswa yang memiliki keinginan dalam menyelesaikan tugas kelompok dalam waktu yang tepat. Hal ini didukung dengan salah satu faktor yang dikemukakan oleh Clark & Baker [10] yaitu individu tidak memiliki ekspektasi tinggi terhadap tugas kelompok sehingga tidak maksimal dalam pengerjaan. Selain itu juga terjadi karena individu membandingkan dirinya dengan anggota kelompok lain.
Apabila ditinjau berdasarkan jenis kelamin, responden berjenis kelamin laki-laki dan perempuan menunjukan tingkatan yang sama dalam melakukan social loafing. Hal ini ditunjukan dengan data 58 responden laki-laki (59%) sedangkan 65 responden berjenis kelamin perempuan (48%), kedua menunjukan tingkatan tinggi (seimbang). Social loafing dapat terjadi pada laki-laki dan perempuan, terdapat faktor seperti motivasi individu, ukuran dari kelompok, kinerja dalam kelompok. Hal ini dibuktikan dengan pernyataan Raditio menunjukan bahwa jenis kelamin pada penelitian tersebut tidak berpengaruh signifikan terhadap social loafing. Hal tersebut berarti bahwa baik individu berjenis kelamin laki-laki maupun perempuan tidaklah berpengaruh untuk mengurangi ataupun melakukan social loafing. Jenis kelamin tidak mempengaruhi terjadinya social loafing. Laki-laki maupun perempuan kemungkinan melakukan social loafing sama besarnya.
Jika ditinjau dari beberapa aspek social loafing, yang memperoleh nilai rata-rata paling tinggi dengan nilai 23,46 adalah aspek evaluation apprehension. Diketahui bahwa 72 responden memiliki evaluation apprehension dalam kategori tinggi (58%), kemudian 48 responden dalam kategori sedang (40%), dan 3 responden dalam kategori rendah (2%). Hal ini berarti aspek merupakan kontributor terbesar terjadinya social loafing didalam organisasi tersebut. Menurut Myers [4] dimensi ini menggambarkan ketika individu berada pada kelompok yang kurang memiliki evaluasi terhadap anggotanya, maka kemungkinan anggota akan melakukan social loafing lebih besar. Hal ini disebabkan karena individu merasa tidak diawasi dan tidak akan mendapat konsekuensi negatif apabila tidak ikut terlibat dalam tugas kelompok, sehingga mereka terkesan terlalu santai terhadap tanggung jawab yang diberikan kepada kelompok. Dalam hal ini anggota organisasi Mapala di Sidoarjo memiliki social loafing yang tinggi menunjukan bahwa anggota organisasi Mapala di Sidoarjo tidak memiliki keinginan yang kuat untuk mengerjakan bagian tugasnya dalam kelompok.
Myers [4] menyatakan bahwa menurunnya motivasi adalah kurang termotivasi untuk terlibat atau melakukan suatu kegiatan tertentu pada saat individu tersebut berada dalam keadaan bersama-sama dengan orang lain. Pada aspek menurunnya motivasi, 85 responden memiliki menurunnya motivasi dalam kategori tinggi (69%), kemudian 31 responden memiliki menurunnya motivasi dalam kategori sedang (25%), dan 7 responden memiliki menurunnya motivasi dalam kategori rendah (6%). Hal ini menunjukan bahwa anggota organisasi Mapala di Sidoarjo memiliki motivasi yang menurun ketika berada dalam suatu kelompok. Mereka kurang termotivasi untuk terlibat dalam diskusi karena berada dalam lingkungan di mana ada orang lain melakukan respons yang kurang lebih sama terhadap stimulus yang sama.
Aspek free ride merupakan upaya mendompleng pada usaha orang lain [4]. Pada aspek free ride, terdapat 105 responden memiliki free ride dalam kategori tinggi (85%), kemudian 14 responden memiliki free ride dalam kategori sedang (12%), dan 4 responden memiliki free ride dalam kategori rendah (3%). Hal ini menunjukan bahwa sebagian besar anggota organisasi Mapala di Sidoarjo melakukan pendomplengan nama ketika mengerjakan suatu tugas kelompok. Individu tersebut dapat mengambil keuntungan tanpa perlu bersusah payah melakukan usaha.
Myers [4] menyatakan bahwa aspek pelebaran tanggung jawab adalah Usaha untuk mencapai tujuan kelompok merupakan usaha bersama yang dilakukan oleh para anggotanya. Pada aspek pelebaran tanggung jawab, terdapat 93 responden memiliki pelebaran tanggung jawab dalam kategori tinggi (76%), kemudian 27 responden memiliki pelebaran tanggung jawab dalam kategori sedang (22%), dan 3 responden memiliki pelebaran dalam kategori rendah (2%). Dalam hal ini menunjukkan bahwa anggota organisasi Mapala di Sidoarjo melakukan pelebaran tanggung jawab dimana mereka merasa sudah menyelesaikan tugas kelompoknya dan membantu kelompok lain yang dirasa tidak mengerjakan tugas.
Pada aspek sikap pasif menurut Myers [4] sikap pasif adalah Anggota kelompok lebih memilih untuk diam dan ‘memberikan kesempatan’ kepada orang lain untuk melakukan usaha kelompok. Pada aspek sikap pasif ini terdapat 73 responden memiliki sikap pasif dalam kategori tinggi (60%), kemudian 47 responden memiliki sikap pasif dalam kategori sedang (38%), dan 3 responden memiliki sikap pasif dalam kategori rendah (2%). Hal ini menunjukan bahwa anggota organisasi Mapala di Sidoarjo melakukan sikap pasif ketika berada dalam suatu diskusi atau forum, lebih membiarkan anggota lain untuk menyampaikan dalam diskusi. Sikap pasif ini didorong oleh adanya anggapan bahwa tujuan kelompok telah dapat di selesaikan oleh partisipasi orang lain dalam kelompok tersebut.
Berdasarkan hasil analisis, peneliti menemukan fakta bahwa sebagian mahasiswa pecinta alam yaitu tugas yang saling berhubungan dengan tugas kelompok lain sebanyak 10 orang mahasiswa (8%); anggota kelompok yang banyak sehingga merasa sudah banyak yang akan mengerjakan sebanyak 21 orang mahasiswa (16%); kurang kompak dalam kelompok untuk menyelesaikan tugas sebanyak 15 orang mahasiswa (13%); keterampilan diri yang kurang cocok dalam tugas yang diamanahkan sebanyak 13 orang mahasiswa (10%); tidak ada penilaian individu dalam tugas kelompok sebanyak 20 orang mahasiswa (16%); satu kelompok dengan orang pandai sehingga merasa kontribusi tidak terlihat dalam mengerjakan tugas kelompok sebanyak 19 orang mahasiswa (16%); tidak ada kejelasan mengenai pembagian tugas dalam kelompok sebanyak 14 orang mahasiswa (11%); kurangnya evaluasi oleh kelompok dalam mengerjakan tugas sehingga kurang termotivasi sebanyak 11 orang mahasiswa (10%).
Karakteristik individu yang memiliki social loafing yang tinggi, yaitu tingkat performansi yang buruk saat pengerjaan tugas. Dalam suatu kelompok yang banyak mereka tidak memiliki keinginan yang kuat untuk mengerjakan bagian tugas dalam kelompok, menganggap tugas kelompok hanya sebagai sarana untuk menghabiskan waktu luang sehingga tidak perlu bekerja maksimal, mempunyai persepsi bahwa nilai yang akan diberikan pada setiap anggota kelompok adalah sama. Mahasiswa yang memiliki kemampuan tidak akan melakukan social loafing. Namun apabila mahasiswa menganggap bahwa dirinya tidak memiliki kemampuan yang baik dalam mengerjakan tugas kemungkinan lebih besar melakukan social loafing. Sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Latane et al.,(dalam Sumantri & Pratiwi) menyatakan faktor social loafing antara lain attribution and equity (individu menganggap anggota lain tidak berkompeten sehingga tidak perlu untuk mengeluarkan usaha yang keras), submaximal goal setting (tujuan dari kelompoktidak ditekankan dengan maksimal), lessend contingency between input and output outcome (individu menganggap usaha yang dikeluarkan tidak akan setara dengan apa yang akan didapatkan). Kesimpulan yang ditemukan peneliti menunjukan bahwa mahasiswa pecinta alam dengan tingkat social loafing yang tinggi dalam faktor social loafing yaitu anggota kelompok yang banyak sehingga merasa sudah banyak yang akan mengerjakan.
Penelitian ini mempunyai keterbatasan yaitu dari teknik pengambilan data yang digunakan, karena adanya pandemic Covid-19 sehingga peneliti yang seharusnya melakukan penyebaran angket secara langsung kemudian digantikan dengan penyebaran angket secara daring yang mengakibatkan lama dalam pengisian angket oleh subjek. Keterbatasan lainnya dalam penelitian ini hanya menggunakan satu variabel yaitu social loafing saja.
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian maka dapat disimpulkan bahwa social loafing pada anggota organisasi Mapala di Sidoarjo yaitu 64 anggota dari 123 anggota organisasi dalam kategori tinggi, dalam kategori sedang terdapat 50 anggota organisasi dan 9 anggota organisasi dalam kategori social loafing rendah. Pada anggota organisasi berjenis kelamin laki-laki maupun anggota organisasi berjenis kelamin perempuan tidak ada perbedaan. Salah satu aspek yang kuat mendorong munculnya social loafing yaitu evaluation apprehension, individu berada pada kelompok yangkurang memiliki evaluasi terhadap anggotanya.Faktor social loafing yang mendapat persentase paling tinggi adalah faktor anggota kelompok yang banyak (group size). Hal ini menunjukan bahwa anggota organisasi Mapala di Sidoarjo tidak memiliki keinginan yang kuat untuk mengerjakan bagian tugas dalam kelompok ketika berada dalam kelompok besar.
References
- Lintang, Jalu. 2016. Pecinta Alam Sebagai Bentuk Peran Pemuda di Tengah Tantangan Kehidupan Kota. Jurnal Studi Pemuda. Vol 5, No. 2.
- Atikah&Hariyadi, Sugeng. 2019. Social Loafing dalam mengerjakan tugas kelompok ditinjau dari The Big Five Personality Traits pada mahasiswa. Jurnal Psikologi Ilmiah. 2541-2965.
- Atikah&Hariyadi, Sugeng. 2019. Social Loafing dalam mengerjakan tugas kelompok ditinjau dari The Big Five Personality Traits pada mahasiswa. Jurnal Psikologi Ilmiah. 2541-2965.
- Myers, David G. 2012. Psikologi Sosial Jilid 2. Jakarta. Salemba Humanika.
- Rita,R., Ajeng, M. & Fikri, M. 2019. Kohesivitas dan Social Loafing dalam Pembelajaran Kelompok pada Siswa SMAN 1 Indralaya. Jurnal Insight Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Jember. Vol 15, No.2
- Sunitha, S., Mukhaira, E., & Rina, M. 2019. Social Loafing ditinjau dari Kohesivitas pada Mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Prima Indonesia di Sumatera Utara. Jurnal Diversita.
- Aminah, Siti. 2017. Fenomena Social Loafing dalam Program Pemberdayaan Masyarakat d Desa Binaan PMI. Jurnal Pemberdayaan Masyarakat: Media Pemikiran dan Dakwah Pembangunan. Vol 01, No.1, 123-138.
- Sugiyono. (2012). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung. Alfabeta.
- Azwar, S. 2015. Penyusunan Skala Psikologi Edisi 2. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.
- Clark, J., & Baker, T. (2011). “ It s Not Fair!” Cultural Attitudes to Social Loafing in Ethnically Diverse Groups.Intercultural Communication Studies Journal. Vol. 20, 124–140.