Description of Subjective Welfare in Obese Student
Innovation in Health Science
DOI: 10.21070/ijins.v21i.791

Description of Subjective Welfare in Obese Student


Gambaran Kesejahteraan Subjektif pada Mahasiswi Obesitas

Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia
Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia

(*) Corresponding Author

Subjective Well-Being Obesity Female Students

Abstract

Obesity is a condition of the body that has excess fat in the body, which can affect the subjective well-being of both subjects. This research will be conducted with the aim of describing subjective well-being to UMSIDA psychology students. There are 3 aspects that must be considered in subjective well-being, namely: positive affect, negative affect, and life satisfaction. This research uses phenomenological qualitative research methods, with a sample of 2 subjects with obesity who are studying at UMSIDA with psychology study program, the data collection technique that will be used is purposive sampling. The data collection technique used by the researcher is interviews. The result of the interview is that obesity has a different effect on the two subjects where for subject 1 obesity is bad luck for him, while for subject 2 obesity for him is only a body shape that can be changed and does not have a significant impact on the subject's subjective well-being.

Pendahuluan

Obesitas menjadi salah satu permasalah di Indonesia ini terbukti dari data Riset Kesehatan Dasar (RIKESDAS) di sepuluh tahun terakhir ini dari 2007 sampai 2018 telah terjadi peningkatan jumlah kasus obesitas. data Riset kesehatan dasar ini bisa didapatkan di tahun 2007 diketahui bahwa jumlah kasus obesitas sebesar 8,6% setelah enam tahun tepatnya di tahun 2013 terjadi peningkatan kembali sejumlah 11,5% dan data yang terbaru pada tahun 2018 naik sebesar 13,6%. Menurut data di atas bisa dipresentasekan peningkatan nya diperhitungkan sebesar 30,1% dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir [1].

Subjective well-being (kesejahteraan subjektif) sendiri adalah salah satu prediktor kualitas hidup seseorang yang dimaksud adalah karena subjective well-being sendiri dapat mempengaruhi berhasilnya seseorang dalam berbagai rana kehidupan yang esensial bagi dirinya seperti kesehatan, pekerjaan, dan hubungan ini juga tidak terlepas dari faktor emosi layaknya keceriaan dan emosi negatif layaknya kemarahan, kesedihan, dan juga ketakutan [2]. Jika ini dikaitkan antara subjective well being dengan harga diri dalam tulisan [3] yang menyatakan demikian bahwasanya adanya pengaruh antara subjective well-being dan harga diri bahwa self esteem menjadi predikator well-being self-esteem adalah harga diri atau keseluruhan cara seseorang untuk digunakan dalam mengevaluasi dirinya sendiri. Harga diri adalah suatu evaluasi setiap individu yaitu sikap kepada dirinya dalam dimensi positif ataupun negatif dimana jika seseorang memiliki subjective well-being dan harga diri positif mampu menangani permasalahan hidupnya. Subjective well bieng mempunyai tiga komponen yaitu life satisfaction (kepuasan hidup), positif affect (kasih sayang positif), dan negative affect (kasih sayang negatif). Regulasi diri adalah kemampuan individu dalam mengontrol perilakunya sendiri hal tersebut merupakan penggerak utama pada kepribadian manusia. Memiliki Regulasi diri yang baik bagi peserta didik dapat menjadikan peserta didik terarah untuk mencapai tujuannya dalam pendidikan. Selain itu, regulasi diri juga membantu peserta didik untuk dapat beradaptasi baik dengan lingkungan yang dianggap tidak seimbang bagi dirinya [4]. Ada tiga unsur utama dalam Regulasi diri yaitu Metakognitif, Motivasi dan Perilaku [5].

Dalam penelitian Bestiana (2012) beliau menyatakan bahwa dampak buruk dari perubahan fisik adanya anggapan dan streotip yang menyangkut dengan bentuk tubuh yang normal dan ideal sedangkan mereka yang memiliki kelebihan berat badan akan merasa dirinya khawatir terhadap penampilannya. Pernyataan tersebut diperkuat dengan penelitian oleh Croll [6] menyatakan bahwa setidaknya 50-80% perempuan mempunyai perasaan negatif dengan bentuk dan berat badan, bahkan dinyatakan bahwa 85% perempuan muda merasa sangat khawatir mengenai bentuk tubuh [7]. Dengan begitu ancaman dari obesitas bukan hanya dampak dari kesehatan tubuh saja tapi juga berkemungkinan untuk berdampak buruk terhadap psikologis seseorang terutama kepada perempuan karena bagi perempuan penampilan adalah hal yang krusial untuk perempuan agar dapat percaya diri [8]. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh [9] yang manyatakan bahwa seseorang yang menyatakan bahwa individu yang mengalami obesitas yang dapat memiliki penerimaan diri yang tinggi dan yakin dengan dirinya sendiri maka dia merasakan bahwa dirinya setara dengan perempuan yang lain. Sejalan dengan itu kenapa peneliti tertarik dengan perempuan di bandingkan laki-laki yang obesitas ini sesuai dengan penelitian dari [10] menyatakan bahwa adanya intensitas perasaan negatif dan positif yang lebih signifikan dari perempuan dibandingkan laki-laki. Jadi tidak selalu mereka yang obesitas selalu terpuruk dan memiliki well being yang buruk akan tetapi mereka yang mempunyai emosi positif di bandingkan dengan emosi negatifnya bisa dikatakan mempunyai gambaran subjective well being yang baik. Maka dari itu subjective well being yang tinggi bisa terjadi ketika seseorang lebih sering merasakan emosi posiitf di bandingkan dengan emosi negatifnya maka fokus dari penelitian ini adalah melihat bagaimana gambaran subjective well being kepada mahasiswi UMSIDA yang obesitas.

Metode Penelitian

Di dalam penelitian ini desain penelitian yang akan di pakai adalah kualitatif Fenomenologi. Penyataan dari Husserl mengenai penelitian kualitatif Metode kualitatif dan fenomonelogi menurutnya semua penelitian kualitaif mempunyai fenomenologinya sendiri tapi tidak semua di aplikasikan ke semua penelitian kualitatif [11]

Subjek dari penelitian ini adalah mahasiswi universitas muhammadiyah sidoarjo prodi psikologi dimana mahasiswi ini memliki scors IMT sebesar 25,5 sampai ≥ 30 dengan begitu dapat di identifikasikan bahwa dirinya termasuk golongan obesitas di dalam penelitian yang akan dilakukan peneliti akan menggunakan 2 subyek yang akan diteliti dengan kriteria-kriteria seorang wanita dan seorang mahasiswi dari universitas muhammadiyah sidoarjo dengan indeks masa tubuh 25,5 sampai dengan ≥ 30 untuk bisa dinyatakan obesitas.

Sehingga Pertimbangan yang ditentukan menyesuaikan dengan kebutuhan data peneliti yang akan dilakukan dengan sampel penelitin ini dari 2 mahasiswi Universitas Muhammadiyah Sidoarjo yang sesuai dengan kriteria-kriteria yang dibutuhkan.

Hasil dan Pembahasan

Penyajian Hasil Penelitian

Peneliti menemukan hasil analisis dari data Subjek yaitu aspek aspek pada setiap subyek jika dilihat dari hasil wawancara yang menunjukkan adanya perbedaan pada ketiga aspek di setiap subyek memiliki respon yang berbeda yaitu kepada aspek afeksi positif afeksi negatif dan kepuasan hidup.

Subyek kedua memiliki afeksi positif yang lebih dalam menggambarkan dirinya sedangkan pada afeksi negatif dari subyek 1 merasakan lebih banyak di tampilkan dari pada subyek 2 dan subyek 2 memiliki kepuasan hidup yang ditandai dengan perasaan yang puas akan dirinya sendiri, berbeda pada subyek 1 memiliki afeksi positif dimana subyek 1 merasa ikhlas untuk menerima tubuhya meskipun beriringan dengan rasa benci pada tubuhnya, sehingga afeksi positif subyek 1 digambarkan dengan rasa ikhlas dalam peneriman bentuk tubuhnya.

Pembahasan

DIENER et al., (2004) menjelaskan subjective well being adalah prediktor kualitas hidup karena subjective well being mempengaruhi keberhasilan hidup individu dalam berbagai domain. Subjective well being sendiri menampilkan kepuasan hidup dan juga evaluasi kepada domain-domain kehidupan yang krusial layaknya kesehatan, pekerjaan, hubungan sosial, dan emosi seperti marah, sedih, takut, dan keceriaan kebahagian [12]. Menurut Diener (2008) menjelaskan bahwa subjective well being penilaian secara menyeluruh dari semua aspek kehidupan individu. Dalam penelitiaan yang dilakukan oleh Diener dan sandvick pavot (2010) menjabarkan evaluasi subjective well being bisa dilaksanakan dengan dua metode kognitif dan afektif. Evaluasi pertama adalah evaluasi kognitif dari seseorang adalah kepuasan menyeluruh hidupnya, lalu evaluasi kedua adalah evaluasi afektif ialah lebih banyaknya subyek merasakan emosi positif dibandingkan dengan negatifnya [13]. Compton & William (2005) juga menjelasan subjective well being dibagi jadi dua kebahagian dan kepuasan hidup, kepuasan hidup adalah penelahaan menyeluruh mengenai kemampuan individu untuk menerima hidup, penelahaan ini merupakan informasi yang krusial untuk pembentukan kualitas hidup juga kepuasan individu secara menyeluruh, tetapi hal itu belum mampu menyebabkan kualitas hidup individu menjadi baik, bila bagian seperti kebebasan manusia serta martabat tidak ada. subjective well being bisa di artikan sebagai presepsi seseorang mengenai pengalaman hidup seseorang, terdiri dari evaluasi kognitif dan afeksi ini tersampaikan dalam well-being seseorang [14].

Peneliti menjelaskan aspek-aspek subjective well being kedua subyek sebagai berikut : afeksi positif merupakan emosi-emosi positif seperti penuh perhatian, tertarik, waspada, bersemangat, antusias, terinspirasi, bangga, ditentukan, kuat dan aktif. Kedua subyek memliki afeksi positif yang berbeda dimana afeksi positif subyek 1 lebih kepada afeksi positif yang muncul karena faktor eksternal dimana subyek 1 lebih sering merasakan afeksi positif dengan teman dekatnya sedang dari subyek 2 afeksi positifnya muncul dari internal subyek itu sendiri dimana subyek 2 merasa bahwa dirinya puas dengan bentuk tubuhnya sekarang.

Afeksi negatif adalah emosi-emosi negatif seperti sedih, bermusuhan, mudah marah-marah, takut, malu, bersalah, dan gelisah. Kedua subyek memiliki kesamaan cemas dan stres terhadap obesitas yang dialami oleh kedua subyek yang membuat mereka berbeda berada pada alasan kecemasan dan stres yang dialami oleh kedua subyek, subyek 1 merasakan kecemasan dan stres dari well being subyek karena obesitasnya membuat dirinya merasa dirinya cemas akan berat badannya serta subyek 1 merasa bahwa dia membenci tubuhnya karena dia merasa kesusahan hanya untuk membawa tubuhnya. Sedangkan subyek 2 merasakan afeksi negatif terkait dengan kecemasan dari konsekuensi kesehatan dari obesitas yang dialami subyek dan keduanya menangani kecemasan dan stres dengan cara yang berbeda subyek 1 menangani kecamasan dan stres dengan menyalahkan diri sendiri meski subyek suda berusaha untuk memperbaikinya akan tetapi subyek selalu menyerah dipertengahan jalan dan membuat kecemeasan subyek 1 menjadi semakin memburuk sedang subyek 2 mampu untuk self healing (menyembuhkan dirinya sendiri) dengan caranya sendiri dimana subyek melakukan kegiatan yang subyek senangi seperti shopping jalan-jalan dengan teman yang membuat subyek 2 merasa meredakan kecemasan subyek 2. Dilain sisi subyek 2 yang memiliki kecemasan pada resiko obesitas juga melakukan upaya untuk memperbaiki yaitu dengan melakukan diet dimana diet ini membantu mengurangi afeksi negatif subyek.

Kepuasan hidup adalah kondisi subjektif dari keadaan pribadi individu sehubungan dengan rasa senang atau tidak senang sebagai akibat dari adanya dorongan atau kebutuhan yang ada dari dalam dirinya dan dihubungkan dengan kenyataan yang dirasakan [15]. Kepuasan hidup kedua subyek berbeda, subyek 1 merasa tidak puas dengan dirinya, subyek 1 juga merasa tertekan dengan terbebani dengan tubuhnya sendiri, subyek 1 yang menjadikan tubuh wanita yang proposional sebagai acuan hidup menjadi semakin terpuruk dengan tubuhnya sendiri yang tidak proposional dan subyek merasa terganggu oleh obesitas yang subyek alami. Sedangkan subyek 2 puas dengan dirinya sendiri dan tidak terganggu dengan obesitas yang dialami subyek.

Perbandingan paling menonjol dari kedua subyek ini dapat disimpulkan dari aspek-aspek kedua subyek berada pada aspek kepuasan hidup dari kedua subyek dimana evaluasi hidup mereka berbeda. Evaluasi hidup dari subyek 1 menggambarkan bahwa subyek 1 gagal dalam menggambarkan dirinya sendiri dan merasa terganggu dengan obesitasnya sehingga itu berdampak ke aspek aspek lainya seperti afeksi negatif mengenai obesitasnya, aspek kepuasan hidup subyek yang tidak puas dengan dirinnya bahkan mempengaruhi bagaimana subyek memandang afeksi positifnya yang terpengaruhi oleh eksternal atau kondisi luar terhadap dirinya. Sedang evaluasi hidup dari subyek 2 menunjukan perbedaan dari subyek 1, dimana subyek 2 yang mampu untuk menggambarkan dirinya dengan positif sehingga turut memacu aspek aspek lainya seperti afeksi positif yang lebih banyak muncul dari diri sendiri dan tidak tergantung dengan eksternalnya, akan tetapi memliki hubungan sosial yang baik dikarenakan evaluasi hidup dari subyek 2 baik dan mampu menggambrakan dirinya dengan positif membuat aspek kepuasan hidup dari subyek 2 jadi lebih baik dibanding dengan subyek 1.

Keterangan di atas menyimpulkan bahwa perbedaan subjective well being yang paling menonjol di antara kedua subyek ini adalah subjective well being antara kedua subyek dimana subyek 1 memiliki subjective well being yang buruk dimana ini sesuai dengan teori dimana mereka yang memiliki subjective well being yang buruk adalah mereka yang lebih banyak merasakan emosi positif sebaliknya mereka yang memiliki sujective well being yang buruk adalah mereka yang lebih banyak merasakan emosi negatif ini sesuai dengan hasil dari subyek 1 dimana subyek 1 lebih banyak merasakan afeksi negatif dari obeistas yang dialaminya dan berlawanan dengan subyek 2 dimana subyek lebih sering menampilkan afeksi positif terhadap obesitas yang dialami dari kedua subyek berdasarkan dari hasil wawancara dan pengamatan subyek 1 menggambarkan evaluasi hidupnya yang tidak puas degan dirinya sendiri seperti pada waktu subyek di wawancarai apakah subyek puas denan dirinya sendiri subyek menjawab “saya tidak puas sekali” dan subyek menggambarkan penerimaan diri yang buruk karena subyek menggambarkan dirinya gagal subyek 1 menyatakan sendiri bahwa subyek 1 merasa dirinya gagal dalam wawancara subyek menyatakan alasan dirinya stres karena “saya merasa gagal dalam jati diri” .Subyek 2 memiliki memliki kepuasan domain yang tinggi dimana evalusi hidupnya tinggi dimana subyek 2 menyatakana bahwa “Saya rasa sih tidak ada hambatan yang terjadi hanya karena saya punya lemak berlebih di tubuh saya mas” lalu faktor penerimaan diri yang tinggi pula dimana subyek 2 merasa dirinya cukup dengan apa yang subyek 2 miliki sekarang seperti apa yang subyek 2 katakan pada wawancaranya “Ya saya cukup puas dengan diri saya sediri saya merasa cukup setidaknya dengan keadaan yang saya punya sekarang” dan subyek mampu menggambarkan dirinya dengan positif seperti demikian “wahh aku cantik Cantik deh perutku buncit ya itu sih mas”.

Penelitian yang dilakukan tentunya bertemu dengan keterbatasan-keterbatasan yang ada dalam penelitian kali ini pun tidak luput dari keterbatasan seperti kendala pada observasi dimana keadaan dunia masih dalam keadaan pandemic skala global dengan varian virus Delta dimana dilanris dari WHO (world health organization) virus covid-19 variant delta ini lebih mudah menular [16]. Sehingga membatasi kegiatan diluar rumah dan interaksi dengan orang lain demi untuk melancarkan program pemerintah untuk memberantas covid-19. Keterbatasan lain yang penelitian yang ditemui oleh peneliti adalah ketabuan dari tema yang di ambil oleh peneliti membuat lebih tidak mudah dalam menemukan subyek penelitian yang mau untuk ditanya-tanyai tentang obesutas mereka berat badan mereka karena adanya faktor ketidak nyamanan untuk membahas berat badan seorang wanita kepada orang awam.

Simpulan

Dari hasil penelitiaan diatas bisa ditarik kesimpulan bahwa kedua subyek memiliki subjective well being berbeda. Perbedaan dari kedua subjek terlihat dari tinggi rendahnya aspek pada kedua subjek. Kedua Subjek memiliki perbedaan yang menonjol pada aspek afeksi positif dan afeksi negatifnya.

References

  1. G. IRAWANTI, “PENGARUH SUBJECTIVE WELL BEING TERHADAP BODY IMAGE PADA WANITA DEWASA AWAL YANG MENGALAMI OBESITAS,” 2021.
  2. F. N. Azra, “Forgiveness Dan Subjective Well-Being Dewasa Awal Atas Perceraian Orang Tua Pada Masa Remaja,” Psikoborneo, vol. 5, no. 3, pp. 529–540, 2017.
  3. E. Febe, Y. Suwandi, and M. E. Setianingrum, “Subjective Well Being Ditinjau Dari Harga Diri Pada Remaja Yang Memiliki Orang Tua Tunggal Ibu Di Kota Magelang Subjective Well Being Observed From Self Esteem in Adolescents Who Have Single Mothers in Magelang,” vol. 3, no. 2, pp. 58–65, 2020.
  4. Z. A. Dami and P. Parikaes, “Regulasi Diri dalam Belajar Sebagai Konsekuen,” J. Penelit. dan Pengemb. Pendidik., vol. 1(1), no. 1, pp. 82–95, 2018.
  5. A. . Hidayat, “Hubungan Regulasi Diri Dengan Prestasi Belajar Kalkulus Ii Ditinjau Dari Aspek Metakognisi, Motivasi Dan Perilaku,” J. Chem. Inf. Model., vol. 53, no. 9, pp. 1689–1699, 2019.
  6. H. Husni, K.H., Indrijati, “Pengaruh Komparasi Sosial pada Model dalam Iklan Kecantikan di Televisi terhadap Body Image Remaja Putri yang Obesitas,” J. Psikol. Pendidik. dan Perkemb., vol. 3, no. 3, pp. 207–212, 2014, [Online]. Available: https://eur-lex.europa.eu/legal-content/PT/TXT/PDF/?uri=CELEX:32016R0679&from=PT%0Ahttp://eur-lex.europa.eu/LexUriServ/LexUriServ.do?uri=CELEX:52012PC0011:pt:NOT.
  7. Hasdianah, S. Siyoto, and Y. Peristyowati, GIZI, Pemanfaatan Gizi, Diet, dan Obesitas. tasik malaya: Nuha Medika, 2014.
  8. A. R. SOFYAN, “HU BU NGAN KEPERCA YAAN DIRI DENGAN MOTIVASI MENURUNKAN BERAT BADAN WANITA DEWASA AWAL YANG MENGALAMI OBESITA,” 2008.
  9. S. Y. Pandu, “Konsep Diri Remaja Putri yang Mengalami Obesitas Sri Yohana Pandu RS Panti Nirmala Malang,” Psikovidya, vol. 18, no. 2, pp. 107–131, 2014.
  10. E. Diener, The Science of Well-Being: The Collected Works of Ed Diener, Kindle 37. United State of America: Guilford Publications, 2008.
  11. M. Padilla-Díaz, “Phenomenology in Educational Qualitative Research: Philosophy as Science or Philosophical Science?,” Int. J. Educ. Excell., vol. 1, no. 2, pp. 101–110, 2015, doi: 10.18562/ijee.2015.0009.
  12. R. Oktakarinda, “SUBJECTIVE WELL BEING DITINJAU DARI FAKTOR DEMOGRAFI (STATUS PERNIKAHAN, JENIS KELAMIN, TINGKAT PENDIDIKAN, STATUS PEKERJAAN DAN JUMLAH TANGGUNGAN ) PADA PETANI SAWIT,” 2015.
  13. S. Purwiro, H. Nurtjahjanti, and J. Ariati, “Hubungan Antara Sujective Well-Being dan Organizational Citizenship Behavior Pada Petugas Customer Service Di Plaza Telkom Regional Division IV,” J. Psikol. Univ. Diponegoro, 2017.
  14. M. Mujamiasih, R. Prihastuty, and S. Hariyadi, “Subjective well-being (SWB): Studi indigenous karyawan bersuku Jawa,” J. Soc. Ind. Psychol., vol. 2, no. 2, pp. 36–42, 2013.
  15. J. . Chaplin, Dictionary Of Psychology, Ed. 1 Cet. jakarta: Jakarta : RajaGrafindo Persada , 2011, 2011.
  16. WHO, “SCIENCE IN 5COVID-19: Delta variant,” 2021. https://www.who.int/emergencies/diseases/novel-coronavirus-2019/media-resources/science-in-5/episode-45---delta-variant?gclid=Cj0KCQjwl_SHBhCQARIsAFIFRVVr9A21cjK2ucLaVbbzmIENxw91NCl2Gf9RKj0doCcETZ7CsItVic8aApTzEALw_wcB (accessed Jul. 25, 2021).