Relationship Between Emotional Intelligence and Psychological Well-Being in the Elderly
Innovation in Social Science
DOI: 10.21070/ijins.v21i.788

Relationship Between Emotional Intelligence and Psychological Well-Being in the Elderly


Hubungan Antara Kecerdasan Emosional dengan Kesejahteraan Psikologis pada Lansia

Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia
Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia

(*) Corresponding Author

Emotional Intelligence Psychological Well-being Elderly

Abstract

This study aims to determine the relationship between religiosity and psychological well-being in the elderly at Griya Wreda Jambangan Surabaya. This research is a type of quantitative research, using a saturated sampling method on the existing population, namely 152 elderly subjects at Griya Wreda Jambangan Surabaya. The data obtained were then processed using normality test, linearity test, classical assumption test and hypothesis testing. Through the results of the product moment correlation test on the data obtained the results are 0.999** or close to 1. It can be found that there is a positive relationship between one's religiosity and psychological well-being. Referring to the significance value where 0.000 <0.05, it means that Ha is accepted, namely there is a relationship between religiosity and the psychological well-being of the elderly, where the higher the level of religiosity of the elderly, the higher the psychological well-being they have. Based on the value of Adjusted R Square in the tests conducted by researchers, the results obtained 66.8% where religiosity dominantly affects a person's psychological well-being, influenced by other variables being studied by researchers.

Pendahuluan

Manusia dalam sepanjang rentang hidupnya mengalami perkembangan dalam serangkaian periode yang berurutan, mulai dari masa sebelum lahir (prenatal) hingga masa lansia. Berdasarkan UU No.13 Tahun 1988 seseorang bisa dikatakan lanjut usia (lansia) ketika sudah berumur lebih dari 60 tahun. Menjadi tua merupakan suatu anugrah, dan semua orang yang mengalami proses menjadi tua merupakan sebuah proses perkembangan terakhir dalam hidupnya. Seiring bertambahnya usia maka banyak dari lansia yang mengalami masalah fisik maupun psikis. Penurunan kondisi fisik pada manula dapat disebabkan oleh terserang berbagai penyakit kronis. Sedangkan kondisi psikis seperti stress, depresi, kesepian bahkan sampai nekat melakukan upaya bunuh diri (Putri, Fitriana, & Ningrum, 2015). Pada tahap selain terjadi perubahan secara fisik dan psikis, seorang lansia akan kehilangan peran diri serta kedudukan sosial yang dimilikinya. [1]

Faktanya angka harapan hidup manusia semakin lama semakin bertambah seiring dengan perkembangan teknologi dalam bidang kesehatan dan farmasi. Angka harapan hidup di sidoarjo sendiri mengalami peningkatan setiap tahunnya, dimana pada 2018 mengalami peningkatan 73,82 tahun dibandingkan dengan tahun sebelumnya dimana angka harapan hidup berada 73,71 tahun. Hal ini mengindikasikan bahwa seiring bertambahnya angka harapan hidup manusia, juga akan sejalan dengan jumlah pertumbuhan lansia. Hal ini dibuktikan dengan data bahwa jumlah lansia di indonesia pada tahun 2020 mencapai 28.822.879 jiwa dimana jumlah ini mencapai 11,34% dari populasi penduduk di Indonesia, jumlah ini bahkan melebihi jumlah pertumbuhan balita.

Kemunduran masalah fisik dan psikis menyebabkan lansia semakin membutuhkan orang lain di sisa usianya. Keluarga sebagai lembaga primer mempunyai peran penting dalam menjaga dan merawat lansia guna memenuhi kebutuhan dalam hidupnya. Kualitas hidup lansia memiliki pengaruh terhadap aspek fisik, psikis, sosial, hingga lingkungan khususnya terhadap pemenuhan kebutuhannya. Penelitian yang telah dilakukan oleh [2] menunjukkan bahwa terdapat perbedaan secara mendasar dalam pemenuhan kebutuhan individu pada usia lanjut. Lansia yang memiliki kualitas hidup yang cukup dan secara mandiri mampu baik dalam aspek sosial ekonomi akan cenderung memilih untuk tinggal bersama keluarga, jika dibandingkan dengan lansia yang memilih untuk tinggal di panti werdha dimana memiliki kualitas hidup yang kurang dan merasa memiliki ketergantungan terhadap orang lain dalam menjalani aktivitas hidupnya.

Panti jompo atau yang sering disebut dengan panti jompo merupakan tempat tinggal khusus bagi para lanjut usia, yang di dalamnya tersedia segala fasilitas lengkap yang dibutuhkan oleh individu lanjut usia. [3] Panti jompo mempunyai tugas memberikan pembinaan, pelayanan dan rehabilitasi sosial yang bersifat kuratif, rehabilitatif, promotif berupa pembinaan pengetahuan dasar pendidikan, fisik, mental, sosial, pelatihan keterampilan, resosialisasi bagi lanjut usia terlantar dan rentan. agar bisa hidup normal. dalam kehidupan diri sendiri, keluarga, dan masyarakat, serta penilaian dan penyusunan standar pelayanan dan rujukan [4]. Panti Werdha dapat menjadi salah satu solusi alternatif yang tepat bagi para lansia yang ingin mendapatkan kesejahteraan seumur hidup tanpa membebani anak atau anggota keluarganya.

Kebahagiaan dan kesuksesan di hari tua merupakan dambaan setiap individu, termasuk mereka yang memasuki usia tua. Kebahagiaan dan keberhasilan lansia dapat terpenuhi dengan tercapainya kebutuhan akan Kesejahteraan Psikologis (Psychological Weel-Being). Menurut Ryff [5] secara psikologis, manusia yang memiliki sikap positif terhadap diri sendiri dan orang lain adalah manusia yang mengenali dan menerima berbagai aspek yang ada pada dirinya, baik itu baik maupun buruk serta merasa positif tentang kehidupan masa lalunya, memiliki hubungan positif dengan orang lain. , mampu melakukan dan mengarahkan perilaku secara mandiri, penuh percaya diri (otonomi), dapat melakukan sesuatu untuk orang lain (memiliki tujuan hidup), dapat mengembangkan potensi diri sesuai dengan kapasitas yang dimiliki, mampu berperan aktif dalam memenuhi kebutuhannya melalui lingkungan.

Dalam perkembangannya menurut Ryff [6], Kesejahteraan Psikologis dapat dilihat dari beberapa aspek penentu sebagai berikut, (1) Otonomi, (2) Penguasaan Lingkungan, (3) Pertumbuhan Diri, (4) Hubungan Positif dengan Orang Lain, ( 5) Tujuan Hidup, (6) Penerimaan Diri. Salah satu aspek dominan yang diperlukan untuk mencapai kesejahteraan psikologis pada lansia adalah penerimaan diri. Penerimaan diri didefinisikan sebagai sikap positif terhadap diri sendiri dengan mengetahui dan menerima aspek-aspek diri, termasuk kualitas baik dan buruk, serta pandangan positif terhadap kehidupan di masa lalu.

Ketika lansia mampu menerima kelebihan dan kekurangan diri serta menghargai apa yang ada dalam dirinya termasuk menerima orang lain sebagai pribadi yang unik terutama dalam lingkungan sosialnya. Hal ini membuat para lansia masih merasa memiliki peran sosial dalam lingkungannya. Penelitian dilakukan oleh Sulandari, dkk [7] terkait dengan bentuk-bentuk produktivitas orang lanjut usia (lansia) yang menyimpulkan bahwa kualitas hidup yang baik pada seorang lansia akan mendorong mereka untuk tetap produktif pada usia lanjut. Hal ini berdampak secara langsung pada kualitas hidup para lansia, dimana mereka merasa lebih menikmati masa tua disaat masih tetap produktif.

Perbedaan tingkat kesejahteraan psikologis yang terjadi mengindikasikan bahwa terdapat aspek yang mempengaruhi dan berdampak pada perbedaan mendasar dalam proses penerimaan diri yang berdampak pada kualitas dan kesejahteraan para lansia secara psikologis. Merujuk pada prediktor yang dapat digunakan untuk melihat kualitas hidup dan kesejahteraan psikologis menurut Lazzari [8] adalah kecerdasan emosional (emotional intelegence). Kecerdasan emosional berpengaruh dalam peningkatan kualitas hidup baik secara fisik maupun psikis. Penelitian terkait dengan hubungan kecerdasan emosional dengan kondisi fisik pada lanjut usi dilakukan oleh Sartiwi, dkk [9] yang menyimpulkan bahwa dalam mencapai kesejahteraan psikologis, perlu adanya kondisi fisik yang baik yang didukung oleh aspek psikologis yang matang. Lansia yang sehat secara fisik dan memiliki kecerdasan emosional yang baik akan mampu melakukan hal yang positif dan mencapai kebahagiaan dan kepuasan hidup.

Emosi adalah salah satu aspek terpenting dari perkembangan manusia, dan dalam masyarakat secara keseluruhan, terutama orang tua, sering diabaikan (Gross & John, 2003). Lansia sering dipertanyakan dan harus dipelajari sebagai aspek dan perilaku dalam kerangka kognitif. Misalnya, penurunan tingkat kecerdasan, daya ingat, bahasa, dll. Namun, aspek intrinsik orang tua maupun orang dewasa, yang biasanya tidak diuji, adalah yang dikenal sebagai Kecerdasan Emosional [10].

Penelitian terkait yang dilakukan oleh Gross dan John [11] menunjukkan bahwa ada perbedaan individu dalam pengalaman dan ekspresi emosi dan selanjutnya memiliki dampak yang berbeda pada kebahagiaan. Pengalaman emosional memiliki dampak yang signifikan pada kesejahteraan psikologis. Ketika emosi negatif berkurang dan emosi positif meningkat, dampak terhadap kepuasan hidup lebih besar. Dapat dikatakan bahwa perbedaan regulasi emosi berdampak pada kebahagiaan dalam hidup.

Menurut Khodijah [12] Kecerdasan Emosional adalah kemampuan seseorang untuk mengelola emosinya secara sehat, terutama dalam berhubungan dengan orang lain. Tidak penting dalam Kecerdasan Emosional ini adalah empati dan pengendalian diri. Empati artinya mampu merasakan apa yang orang lain rasakan terutama saat orang lain dalam keadaan yang kurang baik, sedangkan pengendalian diri adalah kemampuan untuk mengendalikan emosi diri sendiri agar tidak diganggu oleh orang lain. Definisi lain yang terkait juga dikemukakan oleh Goleman [13] yang mendefinisikan Kecerdasan Emosional dengan mengenali perasaan kita sendiri dan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri, dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungannya dengan orang lain.

Kecerdasan emosional (Emotional Intelligence) dapat ditandai dengan kesadaran untuk mengambil keputusan yang berdampak positif pada hasil yang ingin dicapai. Menurut Daniel Goleman (Daud, 2012) Kecerdasan Emosional dapat dilihat dari aspek-aspek penentu sebagai berikut, (1) Kesadaran Diri, (2) Pengaturan Diri, (3) Motivasi, (4) Empati, (5) Keterampilan Sosial. Salah satu aspek dominan yang dibutuhkan untuk mencapai kecerdasan emosional pada lansia adalah kesadaran diri. Kesadaran diri didefinisikan sebagai mengetahui apa yang kita rasakan ketika dan menggunakannya untuk membuat keputusan kita sendiri, memiliki tolok ukur yang realistis dari efikasi diri dan kepercayaan diri yang kuat. Pengaturan diri menangani emosi kita sehingga berdampak positif pada kinerja tugas, peka terhadap hati nurani dan menunda kesenangan sebelum mencapai suatu tujuan, mampu pulih dari stres emosional.

Penelitian terkait kecerdasan emosional terhadap kesejahteraan psikologis (psychological well-being) dilakukan oleh Sari dan Desiningrum pada tingkat usia yang berbeda yakni pada usia dewasa awal. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa kecerdasan emosional seseorang berkaitan erat terhadap dimensi kesejahteraan psikologis, dimana kecerdasan emosional dapat memberikan pengaruh terhadap perkembangan prestasi seseorang. Hal tersebut masuk dalam domain kesejahteraan psikologis terkait dengan hubungan sosial.

Penelitian tentang kecerdasan emosional terhadap kesejahteran pada rentang usia sejenis dilakukan oleh Hutapea [14] dengan subjek penelitian manusia lanjut usia anggota organisasi berbasis keagamaain di jakarta. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa terdapat hubungan signifikan antara emotional intelligence dengan psychological well-being pada lansia pada komunitas keagamaan. Perlu adanya kecerdasan emosional yang tinggi pada lansia agar mampu mencapai taraf kesejahteraan psikologis secara baik.

Metode Penelitian

Penelitian dengan pendekatan kuantitatif yaitu pendekatan yang digunakan untuk meneliti atau sampel tertentu, dalam pengumpulan datanya menggunakan instrumen penelitian, analisa data menggunakan statistika, dengan tujuan untuk menguji hipotesis yang telah ditetapkan Sugiyono [15] . Jenis penelitian yang digunakan ialah korelasional (correlateonal research), yaitu penelitian yang menghubungkan antara dua variabel atau lebih yang bertujuan untuk mengetahui hubungan antar variabel [16].

Populasi dalam penelitian ini yaitu 152 orang lansia baik laki-laki maupun perempuan yang tinggal di Griya Wredha Jambangan Surabaya. Metode sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampel jenuh dimana 152 orang lansia menjadi sampel penelitian. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan dua skala psikologi dengan model modifikasi skala likert. Menurut Sugiyono, skala likert digunakan untuk mengukur sikap, pendapat, ataupun persepsi individu terhadap suatu fenomena yang ada. Modifikasi skala likert dilakukan untuk menghilangkan jawaban ragu-ragu agar tidak terdapat jawaban yang bias. Skala emotional intelligence dan kesejahteraan psikologis disusun dengan 4 alternatif jawaban yakni “sangat tidak setuju (STS)”, “tidak setuju (TS)”, “setuju (S)”, “sangat setuju (SS)”. Pernyataan dalam instrumen yang disusun bersifat favorable dan unfavorable, yakni pernyataan farovablemerujuk pada pernyataan yang menunjukkan sikap setuju sedangkan unfavorable adalah pernyataan yang menunjukkan sikap tidak setuju. Skala yang telah disusun kemudian diuji secara statistik melalui uji validitas dan reliabilitas. Melalui uji validitas skala, didapatkan hasil validitas aitem pada skala emotional intelligence yang bergerak dari 0,522 hingga 0,770 dari 20 aitem butir soal serta pada uji reliabilitas didapatkan skor 0,948 sehingga keseluruhan aitem dikatakan valid, sedangkan pada skala kesejahteraan psikologis skor validitas aitem bergerak dari 0,466 hingga 0,758 dari 28 aitem serta pada uji reliabilitas didapatkan skor 0,913 sehingga keseluruhan aitem pada skala kesejahteraan psikologis dapat dikatakan valid dan reliabel

Selanjutnya peneliti melakukan uji normalitas dan linieritas sebelum bergerak pada uji hipotesa dengan hasil: 1) hasil uji normalitas didapatkan didapatkan nilai Asymp.Sig(2-tailed) sebesar 0,076 > 0,05 pada variabel emotional intelligence dan 0,075 > 0,05 pada variabel kesejahteraan psikologis, artinya data tersebut berdistribusi normal; 2) hasil uji linieritas didapatkan nilai F sebesar 0,891>0,05 yang artinya dua variabel tersebut linier; 3) uji hipotesis didapatkan hasil koefisien korelasi 0,981** atau mendekati 1, yang artinya terdapat hubungan positif antara emotional intelligence dengan kesejahteraan psikologis pada lansia secara signifikan.

Hasil dan Pembahasan

Hasil Penelitian

Uji normalitas dilakukan peneliti guna mengetahui normal atau tidaknya sebaran data yang didapatkan dalam proses penelitian. Uji normalitas dilakukan menggunakan Kolmogrov-Smirnov pada program SPSS. Sebaran data dapat dikatakan normal apabila nilai signifikansi diatas 0,05. Sebaliknya sebaran data dikatakan tidak normal apabila nilai signifikansi dibawah 0,05.

Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
Emotional intelligence ,069 152 ,076 ,984 152 ,079
Kesejahteraan Psikologis
Table 1.Hasil Uji Normalitas

Berdasarkan tabel diatas, melalui uji normalitas didapatkan nilai Asymp.Sig(2-tailed) sebesar 0,079 > 0,05 pada variabel emotional intelligence dan 0,075 > 0,05 pada variabel kesejahteraan psikologis, hal ini dapat disimpulkan bahwa sebaran data pada kedua variabel dapat dikatakan normal serta memenuhi asumsi normalitas data.

Uji linearitasxdilakukan untukxmelihat hubungan antar variabel apakah memiliki garisxlurusxatau tidak. Uji linearitasxdilakukanxmenggunakan test of linearity dengan program SPSS. Uji linearitas dilakukan guna mengetahui signifikansi hubungan antar variabel yang diteliti yakni variabel bebas terhadap variabel terikat. Uji regresi linier kemudian dilakukan pada data yang telah diperoleh menggunakan variabel emotional intelligence dan kesejahteraan psikologis.

ANOVA Table
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Kesejahteraan Psikologis * Emotional intelligence Between Groups (Combined) 7667,862 30 255,595 125,706 ,000
Linearity 7628,166 1 7628,166 3751,668 ,000
Deviation from Linearity 39,696 29 1,369 ,673 ,891
Within Groups 887,087 246,026 121 2,033
Total 8081,553 7913,888 151
Table 2.Hasil Uji Linieritas

Merujuk pada tabel 4.2 didapatkan nilai signifikansi deviasi melalui uji linearitas dengan hasil 0,586 > 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa nilai korelasi yang didapatkan adalah linear. Berdasarkan Fhitung yang didapatkan pada tabel ANOVA adalah 0,891 < 1,55 (Ftabel), sehingga terdapat hubungan linear yang signifikan antara variabel dukungan sosial emotional intelligence dengan kesejahteraan psikologis.

Uji hipotesis dilakukan untuk mengetahui hubungan yang timbul antar variabel. Uji hipotesis dilakukan menggunakan analisis korelasi yakni product moment dari pearson melalui SPSS untuk mengetahui hubungan antara emotional intelligence dengan Kesejahteraan Psikologis

Correlations
Emotional intelligence Kesejahteraan Psikologis
Emotional intelligence Pearson Correlation 1 ,982**
Sig. (2-tailed) ,000
N 152 152
Kesejahteraan Psikologis Pearson Correlation ,982** 1
Sig. (2-tailed) ,000
N 152 152
Table 3.Hasil Uji Korelasi

Merujuk pada tabel 4.3 didapatkan hasil nilai korelasi pearson sebesar 0,981** atau mendekati 1. Hal ini dapatxdiartikanxbahwa korelasi yang muncul antara kedua variabel adalah positif, artinyaxsemakin tinggi tingkat emotional intelligence yang dimiliki oleh lansia akan sejalan dengan tingkat kesejahteraan psikologis yang dimilikinya

Model Summary
Model R R Square Adjusted R Square Std. Error of the Estimate
1 ,882a ,864 ,864 1,380
a. Predictors: (Constant), Emotional intelligenceb. Dependent Variable : Kesejahteraan Psikologis
Table 4.Sumbangan Efektif

Merujuk pada tabel diatas didapatkan bahwa sumbangan efektif korelasi antara variabel emotional intelligence dengan kesejahteraan psikologis adalah 86,4% dimana 13,6% lainnya dipengaruhi oleh variabel lain diluar variabel penelitian.

Pembahasan

Penelitianxini berujuan untuk mengetahuixpengaruh antara dukunganxsosial teman sebayaxdengan kesejahteraan psikologis lansia di Griya Wreda Jambangan Surabaya. Melalui pengolahan data hasil penelitian, dengan merujuk pada tabel ANOVA didapatkan nilai Fhitung 0,673 < 1,55 (Ftabel), sehingga dapat ditarik kesimpulan terdapa hubungan linear yang sifgnifikan antara variabel emotional intelligence dengan psychological well-being pada lansia. Sedangkan hubungan positif yang muncul antara emotional intelligence dengan psychological well-being adalah hubungan positif, hal ini dibuktikan oleh hasil nilai korelasi pearson sebesar 0,982 atau mendekati 1. Hal ini dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi tingkat emotional intelligence seseorang akan sejalan dengan semakin tinggi pula psychological well-being dalam dirinya. Sebaliknya apabila semakin rendah tingkat emotional intelligence seseorang maka akan sejalan dengan semakin rendah psychological well-being dalam dirinya.

Hasil penelitian sejalan dengan penetian sebelumnya Carmelli [17] yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang kuat antara emotional intelligence seseorang terhadap psychological well-being yang dimilikinya. Sumbangan efektif melalui uji dan olah data yang didapatkan pada emotional intelligence terhadap psychological well-being adalah sebesar 86,4%, angka ini cukup tinggi dipengaruhi oleh berbagai faktor baik itu usia, jenis kelamin hingga latar pendidikan terakhir individu. Merujuk pada penelitian yang dilakukan oleh Landa dkk [18] faktor usia memiliki pengaruh terhadap perkembangan kecerdasan emosional seseorang, dimana ketika seseorang telah mencapai tahap dewasa baik secara fisik atau berusia dewasa, kecerdasan emosional akan mengambil peran tentang bagaimana ia akan merespon setiap permasalahan yang ditemuinya. Hal ini berdampak terhadap penerimaan diri yang berdampak pada tingkat kebahagiaan yang dirasakan. Pada rentang usia yang berbeda misalnya pada penelitian yang dilakukan oleh Hutapea [19] yang menyebutkan bahwa pada rentang usia lansia, kecerdasan emosional memiliki fungsi sebagai prediktor kesejahteraan psikologis lansia, dimana seseorang yang memiliki kecerdasan emosional yang tinggi akan cenderung mampu menyikapi situasi secara baik dan positif, sebaliknya tingkat kecerdasan emosional yang rendah pada lansia dapat terlihat dari bentuk-bentuk perilaku negatif yang muncul dan patologi kejiwaan sebagai akibat dari kebosanan.

Faktor jenis kelamin juga memiliki pengaruh terhadap bobot permasalahan yang dirasakan oleh lansia. Dimana pada penelitian yang dilakukan oleh Hutapea [20] menyebutkan bahwa perempuan cenderung memiliki masalah serius dalam beradaptasi di masa pensiunnya. Hal ini dapat terjadi karena pekerjaan rumah tangga yang telah dilalui dalam waktu yang lama membuat kenyataan menjadi pensiunan tidak menarik sama sekali bari wanita [21]. Faktor lain yang memiliki pengaruh kuat dalam menentukan kecerdasan emosional seseorang adalah pendidikan terakhir. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Landa dkk [22] menyebutkan pendidikan mengambil peran sentral dalam perkembangan emosional seseorang. Individu yang memiliki pendidikan tinggi akan mampu merespon permasalahan lebih rasional dan runtut dibandingkan dengan individu yang memiliki tingkat pendidikan rendah dimana lebih sering mengedepankan emosional daripada pemikiran logis dan solutif.

Berdasarkan kategori skor pada data yang diperoleh terdapat 17 subjek pada kategori memiliki emotional intelligence pada tingkat sangat rendah. Pada kategori rendah terdapat 45 subjek atau 30% dari jumlah responden. Pada tingkat emotional intelligence sedang menjadi kategori paling banyak dengan 48 subjek atau 31% dari keseluruhan total responden, sedangkan pada kategori tinggi dan sangat tinggi masing-masing terdapat 32 dan 10 subjek lansia.

Pada kategorisasi skor untuk psychological well-being terdapat 14 subjek lansia dalam kategori sangat rendah. Pada kategori rendah terdapat 42 lansia, dan terdapat 50 subjek dengan skor kategori sedang atau 33% dari jumlah keseluruhan responden. Sedangkan pada kategori tinggi dan sangat tinggi masing-masing terdapat 36 dan 10 subjek lansia. Hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa secara umum kondisi emotional intelligence para lansia mayoritas pada tingkatan rendah-sedang, hal ini sejalan dengan hasil psychological well-being dari masing-masing lansia yang berada pada tingkatan yang sama.

Emotional intelligence merupakan salah satu aspek dalam diri manusia (internal) yang mengelola respon atau sikap terhadap kondisi eksternal terhadap dirinya. Eddington dan Shuman (dalam Putri, 2016) menjelaskan bahwa kesejahteraan psikologis manusia selain dipengaruhi faktor eksternal (status ekonomi, dukungan sosial, pendidikan, dan budaya), juga banyak dipengaruhi oleh faktor internal (kepribadian, tempramen, kecerdasan emosional, optimisme dan harga diri). Faktor internal membentuk seseorang secara baik mengelola dirinya sendiri, hal ini berdampak pada kemampuan seseorang dalam merespon secara baik dan positif segala sesuatu yang terjadi pada dirinya.

Emotional intelligence para lansia dibentuk secara oleh pengalaman pribadi panjang atas dirinya. Kecerdasan emosional memiliki peran penting dalam perkembangan seseorang guna menjadi manusia yang bahagia [23]. Goleman [24] mengungkapkan bahwa seseorang yan mampu mengelola emosi secara tepat, membatasi respon terhadap kepuasan serta dapat mengelola suasana hati secara baik merupakan bukti bahwa seseorang tersebut memiliki emotional intelligence yang baik. Lansia yang mampu berkembang secara baik pada tahap akhir perkembangannya akan mampu merespon kondisi melalui pengelolaan emosi yang baik dan matang.

Extremera [25] menyatakan bahwa emotional intelligence merupakan faktor penting yang mempengaruhi psychological well-being seseorang. Hal tersebut didukung oleh hasil penelitian oleh Shulman & Hemenover bahwa emotional intelligence secara positif dan signifikan berpengaruh terhadap psychological well-being seseorang. Jika seseorang memiliki kecerdasan emosional yang tinggi maka ia akan mampu mengontrol lingkungan sosialnya, mengendalikan aktivitas eksternal pada lingkungannya termasuk mengatur serta mengendalikan situasi dan kehidupanya secara mandiri tanpa mengalami kesulitan dalam berdikari. Seseorang yang memiliki emotional intelligence yang tinggi akan mampu mengontrol emosi negatif dalam dirinya serta menstransformasi energi negatif tersebut kepada hal yang positif terhadap penguasaan lingkungan hidup mereka sehingga dapat mencapai psychological well-being. Landa mengatakan bahwa seseorang yang memiliki emotional intelligence yang tinggi akan sejalan dengandimensi psychological well-being yang dimilikinya.

Goleman menyatakan bahwa individu yang tidak mampu mengelola emosinya secara baik akan cenderung merasa tertekan dalam diri serta kesulitan untuk keluar dalam proses kegagalan dirinya yang kemudian akan berakibat pada sikap desktruktif baik ke dalam dirinya sendiri maupun orang lain. Lansia yang tidak memiliki kecerdasan emosi yang baik akan cenderung memiliki perilaku yang agresif khususnya ketika dihadapkan pada situasi yang membuat dirinya tidak nyaman. Hal yang berbeda ditunjukkan oleh lansia yang memiliki kemampuan pengelolaan emosi yang baik, dimana akan mampu bangkit secara cepat dari keterpurukan, mengenali emosi sendiri secara baik serta merespon lingkungan secara lebih baik dan positif.

Korelasi positif yang signifikan antara emotional intelligence dengan psychological well-being terdapat pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Mitasari yang menyimpulkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara emotional intelligence seseorang dengan psychological well-being pada remaja tuna rungu. Hasil ini juga didukung oleh hasil penelitian Atsari yang menyatakan bahwa emotional intelligence yang baik pada seseorang khususnya dalam kemampuan memahami diri sendiri maupun orang lain, mengelola emosi serta beradaptasi dengan lingkungan sekitar akan membawa mereka pada situasi kesejahteraan psikologis diri secara baik.

Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan antara lain terbatasnya jumlah subjek yang ada di Griya Wreda Jambangan Surabaya. Keterbatasan selanjutnya adalah penelitian ini hanya mengukur pada variabel emotional intelligence terhadap psychological well-being lansia. Selain itu, keterbatasan lain dalam penelitian ini hanya menggunakan pendekatan penelitian kuantitatif yakni melalui analisa data yang kemudian di interpretasikan, sehingga tidak mampu melihat lebih mendalam dinamika psikologis para lansia utamanya terhadap apa yang ia rasakan berkaitan dengan kesejahteraan psikologis dirinya

Simpulan

Dari hasil analisa dan pembahasan data terkait dengan pengaruh antara emotional intelligence terhadap psychological well-being lansia di Griya Wreda Jambangan Surabaya, Melalui hasil uji korelasi product moment didapatkan hasil 0,984** atau mendekati 1. Hal ini dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan positif yang kuat antara emotional intelligence seseorang terhadap psychological well-being. Merujuk pada nilai signifikansi dimana 0,000 < 0,05 artinya Ha diterima yakni terdapat hubungan antara emotional intelligence dengan psychological well-being lansia, dimana semakin tinggi tingkat emotional intelligence yang diterima oleh lansia maka semakin tinggi pula psychological well-being yang dimilikinya

Berdasarkan nilai Adjusted R Square pada pengujian yang dilakukan oleh peneliti didapatkan hasil 56,6% dimana emotional intelligence secara dominan berpengaruh terhadap psychological well-being seseorang, sisanya dipengaruhi oleh variabel lain diluar variabel yang sedang diteliti oleh peneliti.

References

  1. Aisyah, S., & Hidir, A. (2014). Kehidupan Lansia yang Dititipkan Keluarga di Panti Sosial Tresna Werdha Khusnul Khotimah Pekanbaru. Jurnal Online Mahasiswa, 1, 1–14.
  2. Amelia, M., Saputri, W., Indrawati, E. S., Rakyat, K., Bidang, K. I., & Nomor, U. R. I. (2011). Hubungan Antara Dukungan Sosial Dengan Depresi Pada Lanjut Usia Yang Tinggal Di Panti Wreda Wening Wardoyo Jawa Tengah. Jurnal Psikologi, 9(1). https://doi.org/10.14710/jpu.9.1
  3. Ardiana, A. (2010). Hubungan Kecerdasan Emosional Perawat dengan Perilaku Caring Perawat Pelaksanaan Menurut Persepsi Pasien di Rawat Inap RSU Dr. H. Koesnadi Bondowoso. Universitas Indonesia.
  4. Azizah, A. N. (2016). Panti Sosial Tresna Werdha Di Kabupaten Magelang Dengan Pendekatan Konsep Home. Universitas Negeri Semarang.
  5. Azizan, H. (2016). Pengaruh Kepercayaan Diri Terhadap Ketergantungan Media Sosial Pada Siswa di SMK Negeri 1 Bantul. 2 E-Journal Bimbingan Dan Konseling
  6. Bastaman, H. D. (2000). Logoterapi dan Islam: Sejalankah? In Rendra (Ed.), Metodologi Psikologi Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
  7. Daud, F. (2012). Pengaruh Kecerdasan Emosional (EQ) Dan Motivasi Belajar Terhadap Hasil Belajar Biologi Siswa SMA 3 Negeri Kota Palopo. Jurnal Pendidikan Dan Pembelajaran Universitas Negeri Malang, 19(2), 243–255.
  8. Desiningrum, D. R. (2015). Kesejahteraan Psikologis Lansia Janda/Duda Ditinjau dari Persepsi Terhadap Dukungan Sosial dan Gender. Jurnal Psikologi Undip, 13(2), 102–106. https://doi.org/10.14710/jpu.13.2.102-201
  9. Gross, J. J., & John, O. P. (2003). Individual Differences in Two Emotion Regulation Processes: Implications for Affect, Relationships, and Well-Being. Journal of Personality and Social Psychology. https://doi.org/10.1037/0022-3514.85.2.348
  10. Hutapea, B. (2011). Emotional Intelegence dan Psychological Well-Being pada Manusia Lanjut Usia Anggota Organisasi berbasis Keagamaan di Jakarta. Jurnal Insan Media Psikologi, 13(2), 64–73. Retrieved from http://download.portalgaruda.org/article.php?article=18063&val=1129&title=Emotional Intelegence dan Psychological Well-Being pada Manusia Lanjut Usia Anggota Organisasi berbasis Keagamaan di Jakarta
  11. Khoirussani, Z. (2017). Hubungan Kontrol Diri Dengan Kecerdasan Emosional Pada Santriwati Yang Berpuasa Senin Kamis Di Pondok Pesantren Al-Itqon Semarang Periode 2014. Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang.
  12. Lazzari, S. A. De. (2000). Emotional Intelligence , Meaning , and Psychological Well-Being: A Comparison Between early and Late Adolescence. 1–107.
  13. Liwarti, L. (2013). Hubungan pengalaman spiritual dengan psychological well being pada penghuni lembaga pemasyarakatan. Jurnal Sains Dan Praktik Psikologi, I(1), 77–88. Retrieved from http://ejournal.umm.ac.id/index.php/jspp/article/view/1350
  14. Muallifah. (2009). Psycho Islamic Smart Parenting. Jogjakarta: Diva Press.
  15. Nurmalitasari, F. (2015). Perkembangan Sosial Emosi pada Anak Usia Prasekolah. Buletin Psikologi, 23(2), 103. https://doi.org/10.22146/bpsi.10567
  16. Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta. 2017
  17. Ickes, W. Empathic accuracy: Judging thoughts and feelings. In J. A. Hall, M. S. Mast, & T. V. West (Eds.), The social psychology of perceiving others accurately (pp. 52–70). Cambridge University Press. 2016
  18. Moatamedy, Abdullah: Prediction of Psychological Well-Being of the Elderly Based on the Power of Stress Management and Social Support. Iran. AGEING. 2018
  19. Millatina Azka, & Yanuvianti, Milda: Hubungan antara Dukungan Sosial dengan Psychological Well-being pada Wanita Menopause (di RS Harapan Bunda Bandung). Bandung. 2015
  20. Astriana, M., Budiman, A., & Dwarawati, D. Studi deskriptif mengenai psychological well-being pada penyalahgunaan NAPZA di Inabah 20 putra pondok pesantren Suralaya Kabupaten Tasikmalaya. Prosiding Psikologi. 3(2). 694-698. 2017
  21. Papalia, D. E., Sterns, H. L., Feldman, R. D., & Camp, C. J. (2008). Adult development and aging (3rd ed.). Educational Gerontology. https://doi.org/10.1080/03601270802346839
  22. Purwanto;, H. (1998). Pengantar Perilaku Manusia : untuk Keperawatan. Jakarta: Kedokteran EGC.
  23. Putri, S. T., Fitriana, L. A., & Ningrum, A. (2015). Studi Komparatif Kualitas Hidup Lansia Yang Tinggal Bersama Keluarga dan Panti. Journal of Chemical Information and Modeling, 1(9), 1689–1699. https://doi.org/https://doi.org/10.17509/jpki.v1i1.1178
  24. Ramadhani, T., Djunaedi, D., & Sismiati S., A. (2016). Kesejahteraan Psikologis (Psychological Well-Being) Siswa Yang Orangtuanya Bercerai (Studi Deskriptif Yang Dilakukan Pada Siswa Di Smk Negeri 26 Pembangunan Jakarta). Jurnal Bimbingan Konseling, 5(1), 108. https://doi.org/10.21009/insight.051.16
  25. Rinanda, F. Z., & Haryanta. (2017). Hubungan Antara Kecerdasan Emosi dengan Agresivitas pada Atlet Futsal. Gadjah Mada Journal of Psychology, 3(1), 37. https://doi.org/10.22146/gamajop.42398