The Relationship Between Religiosity and Psychological Well-Being in the Elderly
Innovation in Social Science
DOI: 10.21070/ijins.v21i.787

The Relationship Between Religiosity and Psychological Well-Being in the Elderly


Hubungan Antara Religiusitas dengan Kesejahteraan Psikologis pada Lanjut Usia

Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia
Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia

(*) Corresponding Author

Religiosity Psychological Well-being Elderly

Abstract

This study aims to determine the relationship between religiosity and psychological well-being in the elderly at Griya Wreda Jambangan Surabaya. This research is a type of quantitative research, using a saturated sampling method on the existing population, namely 152 elderly subjects at Griya Wreda Jambangan Surabaya. The data obtained were then processed using normality test, linearity test, classical assumption test and hypothesis testing. Through the results of the product moment correlation test on the data obtained the results are 0.999** or close to 1. It can be found that there is a positive relationship between one's religiosity and psychological well-being. Referring to the significance value where 0.000 <0.05, it means that Ha is accepted, namely there is a relationship between religiosity and the psychological well-being of the elderly, where the higher the level of religiosity of the elderly, the higher the psychological well-being they have. Based on the value of Adjusted R Square in the tests conducted by researchers, the results obtained 66.8% where religiosity dominantly affects a person's psychological well-being, influenced by other variables being studied by researchers.

Pendahuluan

Memasuki usia tua merupakan tahap akhir dalam siklus hidup manusia yang merupakan salah satu bagian dari proses kehidupan yang tidak dapat dihindari dan akan dialami oleh setiap individu yang memiliki umur panjang. Pada masa ini terjadi proses penuaan yang terjadi seiring dengan bertambahnya usia seseorang yang ditandai dengan penurunan fungsi anatomi tubuh seperti otak, mata, jantung, ginjal, dan hati serta penurunan jaringan aktif. dalam tubuh berupa otot dan sel saraf di dalam tubuh. Menurunnya fungsi organ pada lansia disebabkan oleh berkurangnya jumlah dan kemampuan sel-sel dalam tubuh, sehingga kemampuan jaringan tubuh untuk mempertahankan fungsi normal secara perlahan akan menurun, sehingga tubuh rentan terhadap infeksi dan sangat sulit untuk diperbaiki. kerusakan pada tubuh [1].

Lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas dengan ditandai kemampuan fisik dan kemampuan kognitif yang mulai menurun. Menurut Prof. Dr. Koesoemato Setyonegoro pada usia > 65 tahun atau 70 tahun. Usia tua sendiri dibagi menjadi tiga batasan usia, muda tua (young old) 70-75 tahun, tua (old) 75-80 tahun, dan sangat tua (very old) lebih dari 80 tahun. Pada usia ini, banyak perubahan biologis dan psikologis yang terjadi pada individu ketika memasuki usia tua. Dari aspek biologis, lansia mengalami penurunan fungsi otot dan juga sel saraf, sehingga lansia cenderung lebih mudah sakit. Sedangkan dari faktor psikologis, ada perasaan tidak enak, perasaan tersisih, tidak optimis [3].

Data statistik menunjukkan pertumbuhan penduduk lanjut usia (60 tahun keatas) mengalami kenaikan yang sangat signifikan. Perkembangan teknologi dalam bidang kesehatan turut berperan dalam peningkatan angka harapan hidup penduduk indonesia. Data dari Badan Pusat Statistik Sidoarjo (2020) menunjukkan peningkatan angka harapan hidup (AHH) pada tahun 2018 pada angka 73.82 yang mengalami peningkatan pada tahun sebelumnya yakni 73.71. Peningkatan angka harapan hidup tentu saja menjadi indikasi bahwa akan terjadi lonjakan pada penduduk lansia yang diperkirakan pada tahun 2020 sebanyak 28.822.879 jiwa penduduk atau sekitar 11,34% total penduduk indonesia. Angka ini bahkan jauh lebih besar dibandingkan dengan jumlah balita saat ini.

Peningkatan jumlah lansia pada tiap tahunnya yang signifikan akan menimbulkan permasalahan lain yang menyertai perkembangan penduduk tersebut. Secara potensial peningkatan jumlah penduduk tersebut dapat menimbulkan permasalahan yang akan mempengaruhi kelompok penduduk lainnya. Secara umum negara yang memiliki jumlah penduduk pada usia lanjut yang melebih 10% dari populasi penduduknya akan mulai menimbulkan masalah sosial, ekonomi, dan psikologis [4].

Perubahan juga terjadi pada faktor lingkungan, ketika seseorang mencapai usia lanjut, akan ada perubahan khususnya dalam penerimaan lingkungan sosial terhadap dirinya [5]. Setiap lansia memiliki alasan yang berbeda untuk memilih dimana mereka hendak menghabiskan masa tuanya, baik di dalam lingkungan keluarga maupun memilih hidup di panti werdha. Penelitian yang dilakukan oleh [5] mengungkap alasan lansia memilih untuk tinggal di panti werdha antara lain karena tidak ingin merepotkan keluarga, keputusan keluarga untuk menyepakati dirawat di panti werdha, sakit, hingga karena tidak memiliki keluarga sehingga oleh lingkungan sekitarnya direkomendasikan untuk tinggal di panti werdha.

Studi komparatif terkait dengan kualitas hidup lansia yang tinggal bersama keluarga dengan panti werdha dilakukan oleh [6] memberikan gambaran bahwa teradapat perbedaan mendasar dalam kualitas sosial dari lansia yang hidup bersama keluarga dibandingkan dengan tinggal di panti werdha. Bagi lansia, perubahan peran dalam lingkungan sosial, keluarga dan masyarakat menyebabkan kemunduran dalam proses adaptasi dengan lingkungan baru yang mengakibatkan perubahan peran dan bentuk interaksinya. Pada lansia yang tinggal di panti werdha akan mengalami paparan terhadap lingkungan baru dan teman baru pada komunitasnya yang kemudian memaksa lansia untuk mampu beradaptasi baik secara positif maupun negatif [7]. Hal tersebut tentu saja berbeda jika dibandingkan dengan lansia yang tinggal bersama keluarga yang semakin memperkuat hubungan emosional secara intim dalam bentuk interaksi sosial yang terbatas.

Panti jompo adalah tempat untuk merawat dan merawat lansia menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia [8]. Sementara itu, menurut Kepala PSTW Unit Yogyakarta Budhi Luhur, Sutikna pada seminar peningkatan kualitas sumber daya manusia perkembangan otak di Jakarta, Selasa (6/12), lembaga sosial Tresna Werdha didefinisikan sebagai lembaga sosial yang memiliki tugas memberikan pembinaan & pelayanan bagi lansia terlantar agar dapat hidup dengan baik, layak dan terpelihara dengan baik dalam kehidupan bermasyarakat, baik di dalam maupun di luar panti asuhan Sutiknar (Ananda, 2018). Dengan demikian, panti jompo adalah tempat tinggal bagi para lansia, baik yang tinggal di dalam maupun di luar panti asuhan, dimana para lansia akan diberikan bimbingan dan perawatan agar kebutuhannya dapat terpenuhi dan dapat menikmati sisa hidupnya dengan penuh kenyamanan. , sehingga nantinya akan tercipta kesejahteraan psikologis. untuk orang tua.

Menurut Ryff [9] kesejahteraan psikologis adalah suatu kondisi di mana seseorang tidak hanya bebas dari tekanan atau masalah mental, tetapi lebih dari itu, yaitu kondisi seseorang yang memiliki kemampuan untuk menerima dirinya sendiri dan dalam kehidupan masa lalunya. (penerimaan diri). penerimaan), pertumbuhan diri (personal growth), memiliki tujuan hidup (purpose in life), hubungan positif dengan orang lain (positive relation Ship with others), dapat mengelola hidup dan lingkungan secara efektif (environ mental mastery), dan kemampuan untuk menentukan tindakan sendiri (otonomi).

Kesejahteraan psikologis mengacu pada perasaan individu tentang aktivitas dalam kehidupan sehari-hari. Semua aktivitas yang dilakukan oleh individu yang berlangsung setiap hari dimana dalam prosesnya dimungkinkan untuk mengalami apa yang disebut dengan pikiran dan perasaan yang fluktuatif yang dimulai dari keadaan mental yang negatif dan mencapai keadaan mental yang positif, misalnya dari trauma hingga penerimaan hidup. disebut kesejahteraan psikologis. , [9]. Kesejahteraan psikologis sangat penting karena ada nilai positif dari kesehatan mental di dalamnya yang dapat membuat seseorang mengidentifikasi apa yang hilang dalam hidupnya.

Kesejahteraan psikologis merupakan kondisi tertinggi yang dapat dicapai oleh setiap individu. Kesejahteraan psikologis adalah konsep fungsi optimal atau positif seseorang, Singh et al [11]. Kesejahteraan psikologis dapat dicapai individu melalui enam aspek yaitu, mampu menerima segala kekurangan dan kelebihan yang dimiliki, mampu berhubungan positif dengan orang lain, mandiri, mampu mengontrol lingkungan, memiliki tujuan hidup, dan mengembangkan potensi yang ada pada diri Ryff [12].

Hasil penelitian Misero & Hawadi [11] Menemukan bahwa remaja yang memililiki kesejahteraan psikologis yang baik mampu merasakan kesenangan, mampu terhindar dari stress, efektif dalam memecahkan masalah, dan berkomitmen terhadap pencapaian di bidang akademis. Penelitian lain dari [12] menemukan bahwa remaja yang memiliki kesejahteraan psikologis yang baik keberfungsian yang optimal pada seluruh aspek perkembangan psikologis, yaitu perasaan dan emosi yang positif mengenai diri sendiri, mampu menyelesaikan masalah, dan juga adanya keterhubungan secara sosial.

Kesejahteraan psikologis tinggi Individu akan memberikan manfaat dalam bentuk sikap positif terhadap diri sendiri dan orang lain, memiliki tujuan yang berarti dalam hidupnya, memiliki kemampuan mengatur lingkungan, menjalin hubungan yang positif dengan orang lain dan berusaha untuk menggali dan mengembangkan diri semaksimal mungkin, Ryff [13]. Ketika lansia mampu mencapai kesejahteraan secara psikologis, akan ada upaya untuk tetap memiliki peran dalam linngkungan sosialnya. Penelitian dilakukan oleh Sulandari, dkk [14] terkait bentuk produktivitas pada orang lanjut usia yang menyimpulkan bahwa lansia dapat tetap produktif dalam menjalani kehidupannya ketika ia mampu mengenali diri dan menerima setiap perubahan yang terjadi pada dirinya. Penerimaan itu akan membuat lansia mampu melihat setiap potensi dirinya diusia muda untuk tetap dapat memiliki manfaat pada lingkungan sekitarnya.

Sebaliknya menurut Schumutte dan Ryff [15] kesejahteraan psikologis rendah akan mempengaruhi aspek kepribadian individu yang mengarah pada sifat-sifat negatif seperti mudah marah, mudah stress, mudah terpengaruh dan cenderung labil, dari aspek kesehatan dan fungsi fisik, individu yang mengalami gangguan kesehatan dan fungsi fisik yang tidak optimal atau terganggu dan fungsi fisik tidak optimal atau terganggu dapat menyebabkan rendahnya kesejahteraan psikologis. Penelitian terkait gambaran tingkat depresi lansia dilakukan oleh Livana dkk [16] yang menggambarkan bahwa hampir setengah dari lansia di Kelurahan Bandengan yakni sebesar (41,6%) memiliki depresi pada tingkat ringan, dan 11,5% lansia mengalami depresi berat. Pada tingkatan depresi berat dapat terjadi pada lansia dikarenakan berbagai faktor yakni ketidakmampuan lansia dalam menerima perubahan yang terjadi pada tubuhnya sebagai dampak proses menua yang alamiah, yang tentu saja menimbulkan konsekuensi berupa penurunan seluruh anatomi dan fungsi tubuh secara optimal, hal tersebut juga diperburuk oleh kondisi psikososial lansia seperti gangguan self esteem pada lansia.

Sikap penerimaan yang berbeda ditunjukkan oleh subjek B yang merasa tidak nyaman tinggal di panti werdha. Subjek B merasa bahwa banyak ketidakcocokan yang muncul dalam lingkungan komunitasnya, hal ini juga berdampak pada aspek religiusitas yang cenderung terabaikan karena merasa tidak berada dalam lingkungan yang diinginkan. Hal ini menunjukkan tingkat kesejahteraan psikologis yang tidak tercapai yang terlihat dari ketidakmampuan subjek dalam menerima dirinya dalam situasi aktual.

Lansia memperoleh kesejahteraan psikologis melalui dukungan sosial (social support) yang berkaitan dengan dengan aktifitas sosial yang diikuti oleh setiap individu seperti aktif dalam organisasi, kualitas dan kuantitas yang dilakukan, dan dengan siapa individu tersebut kontak sosial, hal ini merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kesejahteraan psikologis (Psychological Well-Being) pada lansia yang tinggal di panti werdha. Selain itu hubungan positif dengan orang lain merupakan salah satu aspek kesejahteraan psikologis (Psychological Well-Being) yang berkaitan dengan kemampuan dalam menjalin hubungan antar pribadi individu yang hangat, positif dan saling mempercayai pada teman dan pengurus di panti werdha tersebut.

Hubungan antara kejiwaan dan agama berkaitan dengan hubungan religiusitas seseorang dan kesehatan jiwa yang teletak pada sikap penerimaan atas dirinya yang didasari pada keyakinan yang diambilnya sehingga menimbulkan perasaan positif seperti bahagia, senang, merasa dicintai [17]. Inteligensi tingkat pengetahuan seseorang tentang agama yang di pahami merupakan salah satu aspek dari religiusitas (Religiousity). Inteligensi dapat diartikan sebagai Sejauh mana pengetahuan yang dipahami oleh setiap Muslim berkaitan dengan dasar-dasar keyakinan, ritual, kitab suci (sejarah dan hukum Islam) dan tradisi-tradisi yang dilakukan, Glock & Stark [18]. dari hasil penelitian [19] menunjukkan bahwa lansia yang melakukan ritual keagamaan lebih merasa sejahtera secara psikologis yang ditadai dengan minimnya simptom depresi dan stres yang dirasakan oleh lansia. Dan diperkuat dari hasil penelitian [20] pada lansia yang tinggal di panti jompo menemukan bahwa aspek koping religius menjadi prediktor utama yang berpengaruh pada kesejahteraan psikologis pada lanjut usia yang tinggal di panti jompo.

Kesejahteraan psikologis dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah salah satu faktor dalam kehidupan dan penghidupan. Religiusitas tinggi yang ditandai dengan keyakinan akan adanya Tuhan yang diwujudkan dalam proses pengetahuan seseorang dalam mempelajari suatu ajaran yang diyakininya dan yang sesuai dengan ajaran agama menurut Glock & Stark [21]. Perilaku dengan apa yang diatur dan apa yang dilarang sebagaimana diatur dalam ajaran agama akan memberikan rasa kedekatan dengan Tuhan, bahwa doa yang dipanjatkan selalu dikabulkan, rasa tenang, sejuk dan sebagainya. Sehingga perilaku sehari-hari individu dapat benar-benar mencerminkan sesuai dengan ajarannya. Religiusitas dapat diartikan sebagai rasa kesadaran individu dan juga hubungan dalam diri individu dengan Tuhannya, Hardjana [22].

Religiusitas secara tidak langsung dapat mendekatkan kehidupan individu dengan nilai-nilai ajarannya dalam setiap aspek kehidupannya. Hal ini dapat dilakukan dengan ungkapan Ghufron Risnawati bahwa religiositas mengacu pada minat dalam diri seseorang yang kemudian menghayati dan menginternalisasi setiap ajarannya dapat mempengaruhi suatu tindakan dalam pandangan hidupnya. Religiusitas dapat melibatkan seluruh jiwa dan raga manusia, oleh karena itu kita dapat menyebutnya sebagai integrasi keagamaan antara keyakinan terhadap agama sebagai unsur kognitif, dan perilaku terhadap agama sebagai unsur motorik dan konatif. Fungsi konatif dan afektif seseorang dapat dilihat dari pengalaman akan Tuhan, kerinduan akan Tuhan dan perasaan religius. Aspek kognitif dapat dilihat pada keyakinan dan keyakinan, sedangkan fungsi motorik itu sendiri dapat dilihat dari tindakan dan perilaku seseorang dalam kehidupan sehari-hari.

Religiusitas dalam diri seseorang berkembang mengikuti perkembangan sesuai dengan usianya. Beberapa ahli telah menyarankan bahwa perhatian terhadap agama meningkat dengan bertambahnya usia seseorang. Jalaludin [25] menambahkan bahwa salah satu ciri religiusitas pada lansia adalah tercapainya stabilitas agama. Hal ini dapat meningkatkan bahwa religiusitas seorang lansia meningkat.

Argyle [20] menyatakan bahwa religiusitas dapat membantu individu dalam menjaga kesehatan psikologis individu di masa-masa sulit. Meichayati [21] Kehidupan beragama yang baik ketika usia tua dapat mencapai puncaknya, dan melahirkan kemakmuran yang dapat memberikan kekuatan luar biasa bagi usia dalam menghadapi tantangan, cobaan, dan bantuan moral dalam menghadapi krisis dan menciptakan sikap yang dapat menerima kenyataan. yang sudah ditakdirkan dan juga memberikan rasa nyaman dan aman. Kegiatan keagamaan menjadi penguatan sebagai perilaku untuk mengurangi permainan pada individu, sehingga ketika individu mengikuti suatu aturan dalam agama, individu tersebut akan merasakan dampak yang berdampak pada kesejahteraan psikologis.

Penelitian terkait hubungan religiusitas dengan kesejahteraan psikologis dilakukan oleh Linawati & Desiningrum [22] pada rentang usia yang berbeda yakni siswa SMP yang memberikan kesimpulan bahwa terdapat hubungan positif dan signifikan antara religiusitas seseorang terhadap kesejahteraan psikologis dirinya. Tingkat religiusitas yang tinggi akan membentuk pribadi menjadi lebih matang dan motivasi diri yang baik sehingga mampu menerima dirinya dan memanfaatkan potensi diri dengan sebaik-baiknya

Hasil lain yang berbeda terkait dengan hubungan religiusitas dengan kesejahteraan psikologis dilakukan oleh Harpan A. [23] pada subjek penelitian SMUN 1 Sleman yang menemukan bahwa tidak adanya pengaruh yang signifikan dan peran religiusitas terhadap kesejahteraan psikologis seseorang. Kesejahteraan psikologis pada siswa lebih dipengaruhi oleh penerimaan sosial terhadap dirinya.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif. Pendekatan kuantitatif adalah pendekatan untuk meneliti populasi atau sampel tertentu [26]. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kuantitatif Non- Eksperimen yang bersifat korelasional yang bertujuan untuk mengetahui Hubungan antara Religiusitas dengan Kesejahteraan Psikologis pada Lansia di Griya Wredha Jambangan Surabaya.

Populasi dalam penelitian ini yaitu 152 orang lansia baik laki-laki maupun perempuan yang tinggal di Griya Wredha Jambangan Surabaya. Metode sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampel jenuh dimana 152 orang lansia menjadi sampel penelitian. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan dua skala psikologi dengan model modifikasi skala likert. Menurut Sugiyono, skala likert digunakan untuk mengukur sikap, pendapat, ataupun persepsi individu terhadap suatu fenomena yang ada. Modifikasi skala likert dilakukan untuk menghilangkan jawaban ragu-ragu agar tidak terdapat jawaban yang bias. Skala dukungan religiusitas dan kesejahteraan psikologis disusun dengan 4 alternatif jawaban yakni “sangat tidak setuju (STS)”, “tidak setuju (TS)”, “setuju (S)”, “sangat setuju (SS)”. Pernyataan dalam instrumen yang disusun bersifat favorable dan unfavorable, yakni pernyataan farovablemerujuk pada pernyataan yang menunjukkan sikap setuju sedangkan unfavorable adalah pernyataan yang menunjukkan sikap tidak setuju. Skala yang telah disusun kemudian diuji secara statistik melalui uji validitas dan reliabilitas. Melalui uji validitas skala, didapatkan hasil validitas aitem pada skala religiusitas yang bergerak dari 0,545 hingga 0,770 dari 20 aitem butir soal serta pada uji reliabilitas didapatkan skor 0,948 sehingga keseluruhan aitem dikatakan valid, sedangkan pada skala kesejahteraan psikologis skor validitas aitem bergerak dari 0,466 hingga 0,758 dari 28 aitem serta pada uji reliabilitas didapatkan skor 0,913 sehingga keseluruhan aitem pada skala kesejahteraan psikologis dapat dikatakan valid dan reliabel

Selanjutnya peneliti melakukan uji normalitas dan linieritas sebelum bergerak pada uji hipotesa dengan hasil: 1) hasil uji normalitas didapatkan didapatkan nilai Asymp.Sig(2-tailed) sebesar 0,940 > 0,05 pada variabel religiusitas dan 0,075 > 0,05 pada variabel kesejahteraan psikologis, artinya data tersebut berdistribusi normal; 2) hasil uji linieritas didapatkan nilai F sebesar 0,940>0,05 yang artinya dua variabel tersebut linier; 3) uji hipotesis didapatkan hasil koefisien korelasi 0,981** atau mendekati 1, yang artinya terdapat hubungan positif antara religiusitas dengan kesejahteraan psikologis pada lansia secara signifikan.

Hasil dan Pembahasan

Hasil Penelitian

Uji normalitas dilakukan peneliti guna mengetahui normal atau tidaknya sebaran data yang didapatkan dalam proses penelitian. Uji normalitas dilakukan menggunakan Kolmogrov-Smirnov pada program SPSS. Sebaran data dapat dikatakan normal apabila nilai signifikansi diatas 0,05. Sebaliknya sebaran data dikatakan tidak normal apabila nilai signifikansi dibawah 0,05.

Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
Religiusitas ,062 152 ,200* ,985 152 ,094
Kesejahteraan Psikologis ,067 152 ,092 ,985 152 ,096
Table 1.Hasil Uji Normalitas

Berdasarkan tabel diatas, melalui uji normalitas didapatkan nilai Asymp.Sig(2-tailed) sebesar 0,20 > 0,05 pada variabel Religiusitas dan 0,092 > 0,05 pada variabel kesejahteraan psikologis , hal ini dapat disimpulkan bahwa distribusi data pada variabel tersebut dapat dikatakan normal dan dapat digunakan dalam penelitian serta memenuhi asumsi normalitas.

Uji linearitasxdilakukan untukxmelihat hubungan antar variabel apakah memiliki garisxlurusxatau tidak. Uji linearitasxdilakukanxmenggunakan test of linearity dengan program SPSS. Uji linearitas dilakukan guna mengetahui signifikansi hubungan antar variabel yang diteliti yakni variabel bebas terhadap variabel terikat. Uji regresi linier kemudian dilakukan pada data yang telah diperoleh menggunakan variabel religiusitas dan kesejahteraan psikologis.

ANOVA Table
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
PWB * RLG Between Groups (Combined) 7902,409 30 263,414 2776,642 ,000
Linearity 7901,060 1 7901,060 83285,036 ,000
Deviation from Linearity 1,349 29 ,047 ,490 ,986
Within Groups 11,479 121 ,095
Total 7913,888 151
Table 2.Hasil Uji Linieritas

Merujuk pada tabel 2 didapatkan nilai signifikansi deviasi menunjukkan hasil 0,986 > 0,05. Hasil ini dapat diartikan bahwa nilai korelasi yang didapat adalah linear. Merujuk pada nilai Fhitung yang didapatkan yakni 0,490 < 1,55 yakni Ftabel maka terdapat hubungan linear signifikan antara variabel religiusitas dengan variabel kesejahteraan psikologis.

Uji hipotesis dilakukan untuk mengetahui hubungan yang timbul antar variabel. Uji hipotesis dilakukan menggunakan analisis korelasi yakni product moment dari pearson melalui SPSS untuk mengetahui hubungan antara religiusitas dengan Kesejahteraan Psikologis

Correlations
Religiusitas Kesejahteraan Psikologis
RLG Pearson Correlation 1 ,999**
Sig. (2-tailed) ,000
N 152 152
PWB Pearson Correlation ,999** 1
Sig. (2-tailed) ,000
N 152 152
Table 3.Hasil Uji Korelasi

Merujuk pada tabel 4.3 didapatkan hasil korelasi pearson yang didapatkan sebesar 0,999** atau mendekati 1. Hal ini dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan positif yang kuat antara religiusitas seseorang terhadap kesejahteraan psikologisnya. Merujuk pada nilai signifikansi dimana 0,000 < 0,05 artinya terdapat hubungan antara religiusitas dengan kesejahteraan psikologis lansia, dimana semakin tinggi tingkat religiusitas lansia maka semakin tinggi pula kesejahteraan psikologis yang dimilikinya.

Model Summary
Model R R Square Adjusted R Square Std. Error of the Estimate
1 ,899a ,698 ,668 ,292
a. Predictors: (Constant), Religiusitasb. Dependent Variable : Kesejahteraan Psikologis
Table 4.Sumbangan Efektif

Merujuk pada tabel diatas didapatkan bahwa sumbangan efektif korelasi antara variabel religiusitas dengan kesejahteraan psikologis adalah 69,8% dimana 30,2% lainnya dipengaruhi oleh variabel lain diluar variabel penelitian.

Pembahasan

Berdasarkan hasil uji hipotesa, diperoleh hasil koefisien korelasi sebesar 0,999 yang mendekati angka 1 dengan taraf signifikansi p = 0,000 < 0,05. Hasil ini menunjukkan bahwa terdapat korelasi positif yang signifikan antara tingkat religiusitas lansia dengan tingkat kesejahteraan yang dimilikinya. Korelasi positif yang signifikan dapat diartikan bahwa semakin tinggi tingkat religiusitas lansia di Griya Wreda Jambangan Surabaya maka akan sejalan dengan semakin tingginya tingkat kesejahteraan psikologis yang dimilikinya, hal sebaliknya juga berlaku apabila tingkat religiusitas lansia rendah maka akan sejalan dengan tingkat kesejahteraan psikologis yang dimilikinya. Hasil tersebut memenuhi kriteria pada Hipotesis yang diajukan bahwa terdapat hubungan positif dan signifikan antara religiusitas terhadap kesejahteraan psikologis lansia di Griya Wreda Jambangan Surabaya.

Hasil penelitian ini diperkuat oleh penelitian sebelumnya yang mengatakan bahwa religiusitas memiliki hubungan dengan dengan kesejahteraan psikologis [16]. Melalui perhitungan dan uji yang dilakukan dapat dilihat bahwa sumbangan efektif religiusitas terhadap kesejahteraan psikologis adalah sebesar 69,8%. Hal ini menunjukkan bahwa sumbangan efektif cukup tinggi, hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti usia, pendidikan terakhir dan jenis kelamin. Individu yang menjalani kehidupan yang lebih lama akan memberikan perhatian lebih pada aspek religiusitas dalam dirinya. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Villani, dkk [18] yang menyebutkan bahwa seiring dengan pertambahan umur manusia, keperluan pemenuhan akan religiusitas dan spiritualitas akan semakin tinggi, hal ini dapat terjadi dikarenakan mereka perlu mengelola dirinya sebagai bahan evaluasi guna memberikan pemaknaan diri yang jauh lebih positif baik dalam maupun secara sosial. Faktor jenis kelamin juga berpengaruh terhadap pilihan religiusitas seseorang, dimana pada penelitian yang dilakukan Leondari & Gialamas [16] bahwa jenis kelamin sangat berpengaruh terhadap tingkat religiusitas seseorang dimana wanita pada usia yang sama akan cenderung lebih tinggi terbukti dari hasil data bahwa 77% wanita memiliki tingkat religiusitas yang lebih dari kamu, pada faktor lain juga disebutkan bahwa tingkat pendidikan juga memberikan pengaruh yang sangat besar pada keputusan dan tingkat religiusitas seseorang. Seseorang yang teredukasi dan memiliki latar belakang pendidikan yang lebih tinggi akan semakin sadar akan kebutuhan religiusitas terhadap dirinya, hal ini dibuktikan oleh data bahwa 95% subjek pada tingkat pendidikan sarjana memiliki kepercayaan pada agama tertentu, dan semakin menurun pada tingkatan pendidikan lebih rendah dibawahnya.

Berdasarkan hasil analisa dan kategorisasi pada kedua variabel dapat terlihat bahwa mayoritas tingkat religiusitas lansia di Griya Wreda Jambangan Surabaya adalah pada tingkat sedang dengan jumlah 50 lansia, hasil ini juga sejalan dengan tingkat kesejahteraan psikologis lansia yang mayoritas juga pada kategori tingkat sedang dengan jumlah 50 lansia. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat religiusitas seseorang akan sejalan dengan tingkat kesejahteraan psikologis yang dirasakannya. Pada tingkat lain yakni religiusitas pada kategori sangat rendah terdapat 13 lansia, jumlah ini juga sejalan dengan total lansia yang memiliki kesejahteraan psikologis pada tingkat sangat rendah. Kemudian terdapat 39 lansia yang masuk dalam kategori tingkat religiusitas rendah, sedangkan pada tingkat yang sama kategori kesejahteraan psikologis terdapat 37 lansia. Pada tingkatan religiusitas paling tinggi terdapat 11 lansia yang sejalan dengan tingkat kesejahteraan psikologis lansia yakni sebanyak 10 orang.

Kategorisasi pada penelitian lain terkait variabel religiusitas dan kesejahteraan sosial terdapat pada penelitian Nasution, dkk [5] bahwa pada pecandu narkoba yang sedang menjalani proses rehabilitasi di BNN dengan rasio perbedaan jenis kelamin hingga 4:1 antara laki-laki dengan perempuan, artinya dalam proses bergaul dengan lingkungan sosial terlepas dari jenis kelamin apa yang dimilikinya religiusitas seseorang menjadi benteng pertama dalam membatasi diri dalam penyalahgunaan obat-obatan yang berbahaya. Pendidikan yang rendah juga berdampak pada pengetahuan atas keagamaan, kesehatan maupun hukum atas peyalahgunaan obat terlarang. Hal ini dibuktikan bahwa mayoritas pemakai narkoba pada lingkungan rehabilitasi BNN berada pada pendidikan terakhir tingkat sekolah dasar hingga menengah pertama.

Religiusitas berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap kesejahteraan psikologis lansia, hasil penelitian ini konsisten dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Linawati & Desiningrum (2017) yang menunjukkan bahwa religiusitas berdampak secara signifikan terhadap tingkat kesejahteraan psikologis seseorang. Hasil serupa juga ditunjukkan oleh penelitian yang dilakukan oleh Karmila (2019) yang menunjukkan bahwa religiusitas memiliki pengaruh terhadap tingkat kesejahteraan psikologis santri, dimana santri yang memiliki tingkat religiusitas tinggi akan mampu bersikap secara baik dan positif dikarenakan selalu teringat pada kaidah dan norma keagamaan yang selalu melekat pada dirinya. Penelitian lain juga dilakukan Miskiyah [8] dengan subjek berbeda yang menyimpulkan bahwa religiusitas akan mendorong narapidana Kelas II A Jember untuk mampu bersikap lebih baik dan kooperatif khususnya sebagai upaya self-constructive dalam menyikapi kesalahan dirinya dimasa lalu.

Nilai religiusitas menyangkut nilai keimanan dari seseorang dimana masuk pada dimensi kepribadian, kepercayaan dan perilaku positif yang melekat pada seseorang yang terlihat pada perilaku keseharian. Kesejahteraan psikologis merupakan kondisi dimana seseorang telah mampu untuk menerima dirinya sendiri secara sempurna dan mampu berdikari atas dirinya sendiri. Nilai religiusitas lansia ini masuk pada dimensi perilaku dan pengamalan nilai keagamaan dalam kegiatan sehari-hari. Hal ini tercermin pada proses pengamalan nilai-nilai dan ajaran keagamaan yang dipercayai oleh lansia pada kegiatan sehari-hari seperi proses ibadah, pengamalan nilai kebaikan yang terlihat dari sikap saling membantu dan sikap positif serta melalui kemampuan diri lansia dalam menyikapi perubahan yang sedang terjadi diluar dirinya.

Papalia [12] menyimpulkan bahwa religiusitas seseorang memiliki hubungan yang kuat terhadap tingkat kesejahteraan psikologis orang tersebut. Individu yang memiliki tingkat religiusitas yang tinggi akan memiliki sikap yang lebih baik dalam merespon dan memaknai kehidupan. Lebih lanjut Utami [13] menjelaskan bahwa hubungan kuat antara religiusitas dengan kesejahteraan psikologis terjadi karena agama merupakan sumber dan pedoman yang digunakan oleh seseorang guna menjadi rujukan dalam menyelesaikan situasi permasalahan yang sedang dialami. Selain itu, kepercayaan dan nilai yang dipegangoleh agam akan meningkatkan perasaan berdaya dan mampu dalam diri seseorang, agama juga menjadi landasan bagi seseorang dalam memaknai kehidupan sehingga seseorang akan mampu menemukan arah tujuan dan identitas personal melalui sesuatu yang dipercaya kebenarannya sehingga dapat mencapai suatu kondisi kesejahteraan psikologis pada individu.

Seligman [17] menyatakan bahwa religiusitas memiliki peran yang penting dalam setiap kehidupan manusia karena nilai yang terkandung dalam religiusitas akan mendorong seseorang kearah yang lebih baik melalui ajaran dan norma didalamnya yang dapat dijadikan rujukan dalam menilai sesuatu permasalahan yang dirasa diluar kuasanya. Green dan Elliot [11] mengeksplorasi peran religiusitas terhadap kesejahteraan psikologis yang menyatakan bahwa hubungan religiusitas pada mental seseorang berdampak pada 2 hal yakni kesehatan dan kesejahteraan. Seseorang yang mampu mengidentifikasi dirinya sendiri sebagai seseorang yang religius cenderung memiliki kesehatan dan tingkat kebahagiaan yang lebih baik terlepas dari afiliasi agama apa yang dianut.

Religiusitas dapat membawa perasaan bahagia terhadap individu, hal ini yang dirasakan oleh para lansia di Griya Wreda Jambangan Surabaya. Beberapa aspek religiusitas terkait secara langsung dengan kesejahteraan psikologis seseorang. Lansia yang melakukan peribadatan keagamaan secara rutin dan baik akan merasakan kesehatan mental yang baik, lansia yang memiliki pengetahuan keagamaan yang tinggi juga akan lebih positif dalam memaknai setiap musibah dan perubahan yang dialami baik secara langsung maupun tidak langsung. Religiusitas merupakan faktor yang berkaitan dengan transendensi yakni segala persoalan kehidupan yang berkaitan dengan tuhan. Eid & Larsen [12] menyatakan bahwa individu yang berpartisipasi secara aktif dalam kegiatan keagamaan akan memiliki tingkat kesejahteraan psikologis yang lebih baik.

Penelitian yang dilakukan oleh Eva & Bisri [6] menyimpulkan bahwa berkaitan dengan kesejahteraan psikologis mahasiswa cerdas istimewa, dimensi religiusitas mengambil peran lebih besar dibandingkan oleh dukungan sosial. Proses belajar interpersonal diri membutuhkan kemampuan dalam diri dan prinsip yang kuat.hal ini mencakup kemampuan seseorang dalam menjalin relasi dengan lingkungan sekitarnya, norma agama akan menjadi pembatas diantara mana yang dianggap baik dan buruk serta mana yang dirasa mampu memberikan kebaikan terhadap sesama maupun yang menciderai orang lain. Ellison [6] mengungkapkan bahwa agama seseorang akan membawa individu kedalam suatu kondisi kebahagiaan personal yang lebih tinggi serta mampu menyikapi peristiwa traumatis dengan lebih rendah dibandingkan dengan individu yang tidak memiliki dasar kepercayaan agama yang kuat.

Penelitian ini hanya terbatas pada variabel religiusitas terhadap kesejahteraan psikologis lansia di Griya Wreda Jambangan Surabaya, Keterbatasan selanjutnya adalah penelitian ini hanya mengukur pada variabel religiusitas terhadap kesejahteraan psikologis lansia. Selain itu, keterbatasan lain dalam penelitian ini hanya menggunakan pendekatan penelitian kuantitatif yakni melalui analisa data yang kemudian di interpretasikan, sehingga tidak mampu melihat lebih mendalam dinamika psikologis para lansia utamanya terhadap apa yang ia rasakan berkaitan dengan kesejahteraan psikologis dirinya.

Simpulan

Penelitian ini bertujuan untuk menguji hubungan antara religiusitas terhadap kesejahteraan psikologis lansia di Griya Wreda Jambangan Surabaya. Berdasarkan hasil pengujian dan melalui olah data dengan bantuan SPSS 24 for windows, dapat diperoleh kesimpulan Melalui hasil uji korelasi product moment didapatkan hasil 0,999** atau mendekati 1. Hal ini dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan positif yang kuat antara religiusitas seseorang terhadap kesejahteraan psikologisnya. Merujuk pada nilai signifikansi dimana 0,000 < 0,05 artinya Ha diterima yakni terdapat hubungan antara religiusitas dengan kesejahteraan psikologis lansia, dimana semakin tinggi tingkat religiusitas lansia maka semakin tinggi pula kesejahteraan psikologis yang dimilikinya

Berdasarkan nilai Adjusted R Square pada pengujian yang dilakukan oleh peneliti didapatkan hasil 66,8% dimana religiusitas secara dominan berpengaruh terhadap kesejahteraan psikologis seseorang, sisanya dipengaruhi oleh variabel lain diluar variabel yang sedang diteliti oleh peneliti.

References

  1. Akbar, Sukma Noor. 2016. “Hubungan Psychological Well-Being Dengan Kecemasan Dalam Menghadapi Kematian Pada Lansia Di Panti Werdha Relations Psychological Well-Being With Death Anxiety The Elderly In Panti Sukma Noor Akbar.” Jurnal Ecopsy 1(4).
  2. Alam, Raefa Refaat, and Aziza Mahmoud Boughdady. 2017. “Psychological Well-Being of Elderly Women Who Early Survive Breast Cancer and Its Associated Factors.” International Journal of Nursing Didactics 7(2).
  3. Amawidyati, and Utami. 2015. “Religiusitas Dan Psychological Well-Being Pada Korban Gempa.” Journal Psikologi 51(2):134–38.
  4. Ananda, Dkk. 2018. “Upaya Pemenuhan Kebutuhan Lansia Di Panti Warga Tama Kabupaten Ogan Ilir.” Jurnal Pendidikan Dan Pemberdayaan Masyarakat 5 (1):109–22.
  5. Andesty, Dina, and Fariani Syahrul. 2018. “Hubungan Interaksi Sosial Dengan Kualitas Hidup Lansia Di Unit Pelayanan Terpadu (Uptd) Griya Werdha Kota Surabaya Tahun 2017.” The Indonesian Journal of Public Health, 13(December):169–80.
  6. Aranda, Maria P. 2008. “Relationship between Religious Involvement and Psychological Weil-Being: A Social Justice Perspective.” Health and Social Work 33(1):9–21.
  7. Azwar, S. 2011. Tes Prestasi: Fungsi Dan Pengembangan Pengukuran Prestasi Belajar. 2nd ed. Yogyakarta: Pustaka Belajar..
  8. Desiningrum, D. R. (2015). Kesejahteraan Psikologis Lansia Janda/Duda Ditinjau dari Persepsi Terhadap Dukungan Sosial dan Gender. Jurnal Psikologi Undip, 13(2), 102–106. https://doi.org/10.14710/jpu.13.2.102-201
  9. Cyntia Savitri, Wenita, and Ratih Arruum Listiyandini. 2017. “Mindfulness Dan Kesejahteraan Psikologis Pada Remaja.” Psikohumaniora: Jurnal Penelitian Psikologi 2(1):43–59.
  10. Hutapea, B. (2011). Emotional Intelegence dan Psychological Well-Being pada Manusia Lanjut Usia Anggota Organisasi berbasis Keagamaan di Jakarta. Jurnal Insan Media Psikologi, 13(2), 64–73. Retrieved from http://download.portalgaruda.org/article.php?article=18063&val=1129&title=Emotional Intelegence dan Psychological Well-Being pada Manusia Lanjut Usia Anggota Organisasi berbasis Keagamaan di Jakarta
  11. Khoirussani, Z. (2017). Hubungan Kontrol Diri Dengan Kecerdasan Emosional Pada Santriwati Yang Berpuasa Senin Kamis Di Pondok Pesantren Al-Itqon Semarang Periode 2014. Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang.
  12. Dewi, Triana Kesuma. 2017. “The Ideological Dimension of Religiosity : Is It Primarily Expression of Religiosity ?” Fakultas Psikologi Universitas Airlangga (November 2012):2–11.
  13. Glock, and Stark. 1966. Religion and Society In Tension. Chicago: University of California.
  14. Muallifah. (2009). Psycho Islamic Smart Parenting. Jogjakarta: Diva Press.
  15. Nurmalitasari, F. (2015). Perkembangan Sosial Emosi pada Anak Usia Prasekolah. Buletin Psikologi, 23(2), 103. https://doi.org/10.22146/bpsi.10567
  16. Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta. 2017
  17. Ickes, W. Empathic accuracy: Judging thoughts and feelings. In J. A. Hall, M. S. Mast, & T. V. West (Eds.), The social psychology of perceiving others accurately (pp. 52–70). Cambridge University Press. 2016
  18. Moatamedy, Abdullah: Prediction of Psychological Well-Being of the Elderly Based on the Power of Stress Management and Social Support. Iran. AGEING. 2018
  19. Millatina Azka, & Yanuvianti, Milda: Hubungan antara Dukungan Sosial dengan Psychological Well-being pada Wanita Menopause (di RS Harapan Bunda Bandung). Bandung. 2015
  20. Astriana, M., Budiman, A., & Dwarawati, D. Studi deskriptif mengenai psychological well-being pada penyalahgunaan NAPZA di Inabah 20 putra pondok pesantren Suralaya Kabupaten Tasikmalaya. Prosiding Psikologi. 3(2). 694-698. 2017
  21. Papalia, D. E., Sterns, H. L., Feldman, R. D., & Camp, C. J. (2008). Adult development and aging (3rd ed.). Educational Gerontology. https://doi.org/10.1080/03601270802346839
  22. Purwanto;, H. (1998). Pengantar Perilaku Manusia : untuk Keperawatan. Jakarta: Kedokteran EGC.
  23. Putri, S. T., Fitriana, L. A., & Ningrum, A. (2015). Studi Komparatif Kualitas Hidup Lansia Yang Tinggal Bersama Keluarga dan Panti. Journal of Chemical Information and Modeling, 1(9), 1689–1699. https://doi.org/https://doi.org/10.17509/jpki.v1i1.1178
  24. Ramadhani, T., Djunaedi, D., & Sismiati S., A. (2016). Kesejahteraan Psikologis (Psychological Well-Being) Siswa Yang Orangtuanya Bercerai (Studi Deskriptif Yang Dilakukan Pada Siswa Di Smk Negeri 26 Pembangunan Jakarta). Jurnal Bimbingan Konseling, 5(1), 108. https://doi.org/10.21009/insight.051.16
  25. Rinanda, F. Z., & Haryanta. (2017). Hubungan Antara Kecerdasan Emosi dengan Agresivitas pada Atlet Futsal. Gadjah Mada Journal of Psychology, 3(1), 37. https://doi.org/10.22146/gamajop.42398
  26. Maulina, Septy Indah. 2019. “Hubungan Antara Religiusitas Dengan Psychological Well Being Pada Lansia.” Journal of Chemical Information and Modeling 53(9).
  27. Munthe, Maslihah, and Chotidjah. 2017. “Hubungan Spiritualitas Dan Psychological Well-Being Pada Anak Didik Pemasyarakatan Di Lembaga Pemasyarakatan Anak Pria Kelas II A Tangerang.” Jurnal Psikologi Klinis Indonesia 1(1):53–65.