Teacher-Student Relations in Children with Speech Delays
Innovation in Social Science
DOI: 10.21070/ijins.v21i.785

Teacher-Student Relations in Children with Speech Delays


Relasi Guru Siswa Pada Anak Terlambat Bicara

Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia
Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia

(*) Corresponding Author

Teacher-Student Relationships Children With Speech Delays Teacher With Special Needs Students

Abstract

This study aims to describe the forms of teacher-student relationships in children with speech delays. The method used in this research is a qualitative case study method using two research subjects, namely people who work teacher with special needs students who are experienced in assisting and educating children with special needs. The characteristics of the accompanying teacher in this study are the teachers who accompanied children with speech delays, female, experienced in assisting children with speech delays, have a special educational background, have attended training on special education, have competence in dealing with children with specia needsl, have a high sense of empathy. The subject in this study using the purposive sampling technique. The data collection method used interviews. The results of the study indicate that teacher student relationship have unique characteristics. It happens on three aspects, which are conflict, closeness, and dependence. A good student-teacher relationship occurs when the teacher is caring, has more attention, patiently accompanies, and wants to give the best for late-talking children. The impact of the teacher's relationship with children who encounter speech delays is that the child feels comfortable with the accompanying teacher and becomes more diligent in studying.  So, as the teacher with special needs students have good relationships with children with speech delays, they feel more grateful, empathize and care for children with special needs. It also happens reciprocally.

Pendahuluan

Tidak semua siswa terlahir dalam kondisi normal, namun ada juga beberapa siswa yang terlahir dengan kondisi mengalami hambatan dan keterbatasan seperti anak berkebutuhan khusus. Siswa berkebutuhan khusus adalah siswa yang memiliki kelainan atau penyimpangan fisik atau mental yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan suatu aktifitas secara selayaknya [1]. Siswa berkebutuhan khusus selayaknya mendapatkan pendidikan seperti pada umumnya yang ada pada pendidikan inklusif. Istilah pendidikan inklusif atau pendidikan inklusi merupakan kata atau istilah yang dikumandangkan oleh UNESCO berasal dari kata Education for All yang artinya pendidikan yang ramah untuk semua, dengan pendekatan pendidikan yang berusaha menjangkau semua orang tanpa terkecuali [2].

Dengan demikian yang dimaksud pendidikan inklusif adalah sistem layanan pendidikan yang mensyaratkan anak berkebutuhan khusus belajar di sekolah-sekolah terdekat di kelas biasa bersama teman-teman seusianya [3]. Pendidikan inklusif dapat diperoleh bagi siswa berkebutuhan khusus dengan berbagai diagnosa seperti gangguan terlambat bicara. Gangguan terlambat bicara sulit untuk disembuhkan namun tidak menutup kemungkinan untuk bisa disembuhkan dengan terapi secara teratur.

Penanganan gangguan terlambat bicara harus dilakukan dengan cara yang tepat dan memerlukan bantuan para ahli bila ternyata anak mengalami gangguan. Penanganan yang dilakukan para ahli kemungkinan akan sangat beragam sesuai dengan kebutuhan anak karena penanganan yang diberikan oleh para ahli akan berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan atau diagnosis yang ditegakkan dan latar belakang teori yang dianut [4]. Selain orang tua, salah satu pihak yang dapat melakukan pendekatan dan mengenali kebutuhan serta potensi anak dalam pendidikan khususnya anak yang mengalami gangguan terlambat bicara adalah guru yang mendampingi anak selama belajar disekolah, dikarenakan interaksi guru dalam pembelajaran sehari-hari yang terus menerus dengan sang anak terlambat bicara, artinya banyak hal yang mempengaruhi potensi anak salah satunya yaitu guru pendamping di sekolah [5].

Berdasarkan paparan diatas dapat disimpulkan bahwa peran guru sangat dibutuhkan dalam keberhasilan belajar serta perkembangan siswa dengan gangguan terlambat bicara. Hal ini juga membuktikan dari paparan diatas yang menyatakan bahwa relasi antara guru dengan siswa menghasilkan kebehasilan belajar yang optimal apabila guru dengan siswa memiliki relasi yang baik. Relasi sangat baik didominasi oleh peran guru serta relasi yang terjadi antara guru dan siswa di sekolah dalam menciptakan situasi atau kondisi yang dapat mendukung proses-proses keberhasilan pendidikan selama berada di sekolah. Relasi guru dan siswa adalah hubungan edukatif yang terjadi antara pihak guru dan siswa dengan sejumlah norma sebagai medianya untuk mencapai tujuan belajar [6].

Menurut Pianta [7] bahwa terdapat 3 bentuk aspek kualitas relasi guru siswa, yaitu yang pertama adalah konflik, konflik merupakan situasi ketika siswa memiliki masalah dan tampak dalam perasaan yang tidak nyaman saat bersama dengan gurunya. Indikator dalam aspek konflik yaitu relasi yang kurang baik dan perselisihan. Aspek yang kedua adalah kedekatan, kedekatan merupakan kondisi ketika siswa merasa memiliki hubungan yang hangat dengan guru, adanya komunikasi yang terbuka. Indikator dalam kedekatan adalah Pengaruh positif, Kehangatan, Komunikasi terbuka serta kenyamanan. Aspek yang ketiga yakni ketergantungan yang merupakan situasi ketika siswa memiliki kecenderungan untuk selalu membutuhkan bantuan guru. Indikator dalam aspek ketergantungan adalah keterikatan dan kecenderungan mengandalkan guru [8].

Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan di atas, maka di sini peneliti tertarik untuk meneliti tentang relasi guru siswa pada anak terlambat bicara (speech delay). Tujuan dari penelitian yang akan dilakukan adalah untuk memberikan gambaran tentang bentuk relasi guru siswa pada anak terlambat bicara (speech delay)

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif studi kasus, yaitu Penelitian kualitatif ini menekankan pada pendekatan studi kasus untuk dapat mengeksplorasi kehidupan nyata tentang suatu kejadiab dalam permasalahan yang diangkat oleh peneliti. Istilah studi kasus Studi kasus adalah pendekatan kualitatif yang penelitinya mengeksplorasi kehidupan nyata, sistem terbatas kontemporer (kasus) atau beragam sistem terbatas (berbagai kasus), melalui pengumpulan data yang detail dan mendalam yang melibatkan beragam sumber informasi atau sumber informasi majemuk (misalnya: pengamatan, wawancara, bahan audiovisual, dan dokumen dan berbagai laporan), dan melaporkan deskripsi kasus dan tema kasus [9].

Salah satu pendekatan kualitatif yang dalam pendekatanya ini peneliti harus melakukan sebuah observasi kepada subjek untuk mempelajari fenomena yang terjadi dalam hidup subjek. Subjek dalam penelitian ini adalah Guru pendamping yang mendampingi anak terlambat bicara berjumlah 2 orang dan berjenis kelamin perempuan. Pengambilan subjek data disini menggunakan teknik nonprobability sampling dengan teknik

purposive sampling yaitu teknik pengambilan sampel data dengan pertimbangan tertentu [10]. Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan teknik wawancara terstruktur dan semi tersetruktur. Untuk Keabsahan data Penulis menggunakan proses triangulasi yaitu trianggulasi sumber. Dalam teknik analisis data penulis menggunakan pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, serta penarikan kesimpulan [11].

Hasil dan Pembahasan

Hasil Penelitian

Berdasarkan dari fokus penilitian yang ada, berikut adalah hasil analisis data yang didapatkan :

Figure 1.Hasil Analisis Data

Pembahasan

Relasi guru siswa merupakan sebuah ikatan edukatif yang terjalin antara pihak guru serta siswa dengan beberapa norma selaku medianya untuk menggapai tujuan belajar yang menimbulkan hubungan timbal balik antara guru dan siswa untuk terus belajar dalam mengasah kemampuannya [12]. Untuk membangun hubungan timbal balik antara guru dan siswa dalam aktifitas belajarnya, relasi guru siswa pasti tidak akan terlepas dari istilah konflik didalamnya.

Konflik dalam sebuah relasi adalah sebuah keadaan yang memiliki masalah serta adanya perasaan yang tidak nyaman antara guru dan siswa. Didalam istilah konflik itu sendiri terdapat suatu hal yang berkaitan dengan relasi yang kurang baik serta adanya perselisihan. Sumber dari konflik meliputi sebuah masalah yang dimiliki oleh siswa baik dari intern maupun ekstern. Sumber dari intern bisa berupa masalah dari keluarga siswa itu sendiri sedangkan dari sumber ekstern yaitu adanya hal yang kurang menyenangkan antara guru dan siswa sehingga menimbulkan pengaruh terhadap kondisi emosional siswa saat di kelas.

Masing-masing responden memiliki pendapat yang sama. Kedua reponden PK dan ZA memiliki hubungan relasi yang sangat baik dengan anak terlambat bicara. Responden pertama PK mengungkapkan ketika terdapat masalah maka masalah tersebut cepat terselesaikan sehingga tidak menimbulkan relasi yang kurang baik, sedangkan responden kedua ZA mengungkapkan cara menjaga relasi yang baik dengan cara selalu menghargai kerja keras anak terlambat bicara, menyayangi dan tulus mendampingi anak terlambat bicara. Berdasarkan data yang diperoleh ketika guru pendamping dengan anak terlambat bicara menghadapi suatu masalah, guru pendamping segera menyelesaikan masalah tersebut dan berusaha menjaga hubungan agar relasi guru pendamping dengan anak terlambat bicara tetap terjaga dengan baik.

Kedua responden pernah mengalami perselisihan dengan anak terlambat bicara, namun untuk mengatasi perselisihan masing-masing responden memiliki cara yang berbeda. Responden pertama PK mengalami perselisihan karena anak terlambat bicara merasa badmood atau sedang kesulitan memahami pelajaran disekolah. Reponden pertama PK mengatasi perselisihan dengan cara memberi hukuman yang tidak disukai anak terlambat bicara, sehingga anak terlambat bicara mau belajar kembali. Responden kedua ZA pernah mengalami perselisihan karena ZA tidak bisa memahami komunikasi anak terlambat bicara, hal ini membuat anak terlambat bicara merasa badmood. ZA mengatasi perselisihan dengan cara konsultasi ke koordinator guru pendamping dan guru pendamping yang pernah mendampingi anak terlambat bicara, sehingga saat ini ZA sudah dapat memahami komunikasi anak terlambat bicara. Namun, jika terkadang ZA tidak paham dengan apa yang dikatakan anak terlambat bicara, maka ZA meminta anak terlambat bicara menulis apa yang diinginkannya.

Kedua responden pernah dipukul anak terlambat bicara, reponden pertama PK dipukul matanya, sedangkan reponden kedua ZA dipukul punggungnya. Untuk mengatasi peselisihan masing-masing responden memiliki cara yang berbeda. Untuk mengatasi perselisihan tersebut, responden pertama PK memberi hukuman anak terlambat bicara dengan membaca istighfar sebanyak 100 kali, selanjutnya diberi nasihat dan arahan agar tidak mengulangi perbuatannya kembali. Berbeda dengan responden kedua ZA mengatasi perselisihan dengan tenang dan santai, respon ZA hanya diam sambil menunggu kondisi anak terlambat bicara sudah tenang. Jika sudah tenang, ZA mulai merespon kembali, lalu anak terlambat bicara diajak duduk, dirayu, dan diberi nasehat. ZA tidak ingin memberi hukuman anak terlambat bicara karena dikhawatirkan semakin marah dan tidak akan selesai perselisihannya.

Kedekatan adalah kondisi yang memiliki hubungan yang hangat, adanya komunikasi terbuka dan perasaan kasih sayang antara guru dan siswa. Kedekatan dapat ditinjau dari keterlibatan antara peran guru dengan siswa ketika siswa memiliki masalah di sekolah. Guru yang memiliki kedekatan dengan siswa akan membentuk keamanan emosi dan kedekatan psikologis terhadap anak. Aspek kedekatan meliputi pengaruh positif, kehangatan, komunikasi terbuka serta kenyamanan.

Semenjak dekat dengan anak terlambat bicara kedua reponden merasakan ada pengaruh positif yang didapatkan. Responden pertama PK merasa dirinya lebih empati dan peduli pada anak berkebutuhan khusus lainnya, jadi lebih menyayangi dan selalu ingin memberikan yang terbaik untuk anak terlambat bicara, ZA menjadi pribadi yang lebih bersyukur dan lebih sabar dalam mendampingi anak terlambat bicara. Sedangkan reponden kedua ZA menyatakan jika dekat dengan anak terlambat bicara mood anak terlambat bicara menjadi baik dan lebih semangat belajarnya. Selain itu, ZA semakin memahami dan mengerti bagaimana caranya mendampingi anak terlambat bicara dengan baik dan tepat, dan ZA juga mendapatkan banyak ilmu baru semenjak menjadi guru pendamping.

Kedua responden menganggap memiliki kehangatan hubungan dengan anak terlambat bicara. Untuk menciptakan kehangatan hubungan kedua responden memiliki cara yang hampir sama. Responden pertama PK membuat kehangatan hubungan dengan cara melakukan pendekatan yang dilakukan dengan cara mengajak anak terlambat bicara komunikasi secara intens, sedangkan responden kedua ZA menumbuhkan kehangatan dengan cara memberikan perhatian, memberikan pendampingan yang terbaik, mengajak bicara tau komunikasi, mengajak bermain dan mengajak bercanda.

Setiap hari kedua responden selalu mengajak komunikasi dan mengajarkan komunikasi pada anak terlambat bicara. Selain membuat hubungan menjadi dekat, namun juga dapat melatih komunikasi anak terlambat bicara agar bisa berkomunikasi dengan baik dan benar. Kedua responden PK dan ZA memiliki cara yang sama untuk dapat melatih komunikasi anak terlambat bicara, yaitu dengan cara mengajak komunikasi tanya jawab terkait dengan kegiatan sehari-hari anak terlambat bicara, selanjutnya mengajarkan anak terlambat bicara berkomunikasi dengan teman-teman dan guru lainnya, agar anak terlambat bicara tidak hanya bisa berkomunikasi dengan guru pendampingnya saja, namun juga bisa berkomunikasi dengan teman-teman sebaya dan guru lainnya.

Kedua responden PK dan ZA mengatakan bahwa anak terlambat bicara merasa nyaman jika berada di dekat subjek. Responden pertama PK membuktikan selama 3 tahun ia mendampingi anak terlambat bicara, PK tidak pernah mendapatkan komplain dari orang tua anak terlambat bicara. PK menciptakan kenyamanan dengan cara selalu memberi perhatian kepada anak terlambat bicara, selain itu mengajak anak terlambat bercanda, bernyanyi, dan bermain. Sedangkan responden kedua ZA juga memiliki cara yang hampir sama dengan responden pertama PK, untuk menciptakan kenyamanan yaitu dengan cara selalu mengajak ngobrol bersama, selalu mengajak bercanda, selalu memberi perhatian, dan selalu mendampingi anak terlambat bicara dengan penuh kesabaran.

Ketergantungan merupakan situasi dimana siswa cenderung membutuhkan bantuan guru. Bantuan yang dibutuhkan oleh siswa terkadang disengaja oleh siswa tersebut guna memperoleh perhatian dari gurunya. Siswa yang cenderung memiliki masalah juga memiliki ketergantungan terhadap gurunya. Masalah tersebut dapat berupa masalah dalam pembelajaran dan perilaku kurang mandiri ketika siswa berada di sekolah. Dalam ketergantungan terdapat dua aspek, yaitu yang pertama adalah aspek keterikatan antara guru dan siswa serta yang kedua adalah kecenderungan siswa mengandalkan guru dalam mengerjakan tugas-tugasnya di sekolah.

Anak terlambat bicara memiliki hubungan keterikatan dengan kedua responden PK dan ZA. Anak terlambat bicara hanya ingin belajar dengan kedua responden saja dan tidak ingin belajar dengan guru pendamping lain. Hal ini bisa dibuktikan dengan cerita kedua responden yang pernah tidak masuk mengajar, anak terlambat bicara mencari-cari kedua responden. Agar anak terlambat bicara mau belajar dengan guru pendamping lain, biasanya guru pendamping lain melakukan video call kepada kedua responden, agar kedua responden bisa memberi motivasi pada anak terlambat bicara, sehingga anak terlambat bicara mau belajar dengan guru pendamping lain. Responden pertama PK juga menceritakan, dulu saat pandemi, semua siswa hanya diperbolehkan belajar dirumah. PK mendapatkan informasi dari orang tua anak terlambat bicara, bahwa anaknya menangis karena sedang rindu dengan PK dan ingin masuk sekolah bertemu dengan PK. Kedua responden mengganggap anak terlambat bicara memiliki hubungan keterikatan karena anak terlambat bicara merasa nyaman, setiap hari sudah terbiasa bersama dan didampingi oleh masing-masing responden.

Anak terlambat bicara pernah mengandalkan kedua responden dalam mengerjakan tugas-tugasnya. Masing-masing responden memiliki cara yang berbeda untuk mengatasi anak terlambat bicara yang mengandalkan responden untuk mengerjakan tugas-tugasnya. Untuk mengatasi hal ini, responden pertama PK tidak langsung mau membantu mengerjakan tugasnya, PK mengecek terlebih dahulu kenapa anak terlambat bicara tidak mau mengerjakan tugasnya. Jika karena sakit, maka anak terlambat bicara diminta istirahat atau PK langung menghubungi orang tua agar segera menjemput anaknya. Namun jika karena malas atau badmood, maka PK memberikan motivasi pada anak terlambat bicara agar semangat mengerjakan tugasnya. Jika PK sudah berusaha memotivasi namun anak terlambat bicara tetap tidak mau mengerjakan tugasnya, PK akan memberi peringatan ke anak terlambat bicara agar mau mengerjakan tugasnya. Tapi, jika sudah diberi peringatan anak terlambat bicara tetap tidak mau mengerjakan tugasnya, maka anak terlambat bicara diberi hukuman squat jump. Responden kedua ZA mengatasi hal ini dengan cara memberikan motivasi, agar anak terlambat bicara mau mengerjakan tugasnya kembali. Jika anak terlambat bicara sudah diberi motivasi dan tetap tidak mau mengerjakan tugasnya sambil menangis atau teriak-teriak, maka ZA membiarkan anak terlambat bicara hingga tenang, jika sudah berhenti menangis atau sudah tenang, baru ZA melakukan penanganan dengan cara memeluk, diajak bicara dengan lembut, dinasehati, dan dimotivasi kembali agar anak terlambat bicara mau mengerjakan tugasnya kembali.

Sejalan dengan analisis yang dikemukakan oleh Adrika dan Lestari [13], menyatakan bahwa relasi guru dan siswa memiliki hubungan resiprokal atau timbal balik dimana relasi guru siswa dalam keadaan baik disebabkan adanya kelekatan hubungan antar guru dan siswa yang terdiri dari berbagai dimensi, yakni dimensi relasi, guru dan siswa. Dimensi relasi terdiri atas kehangatan, kedekatan, dan ketergantungan yang menyatakan bahwa ketiga aspek tersebut dalam kategori baik. Dimensi guru yang relevan dengan penelitian ini terdiri dari membimbing, mendukung dan mengajar tergolong dalam kategori baik. Sedangkan dimensi siswa yang terdiri dari perilaku siswa yang baik, respek terhadap guru, keberhasilan belajar siswa serta pencapaian siswa yang optimal juga tergolong dalam kategori baik.

Sama halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh Philosophia Natalia Agnes Wisung [14], menyatakan bahwa rendahnya konflik membuat anak mengalami penerimaan, sehingga menimbulkan rasa percaya diri saat terlibat dalam aktivitas di sekolah. Siswa yang merasa memiliki kedekatan dengan guru akan merasa aman dan nyaman ketika belajar di sekolah, siswa merasa dirinya diperhatikan dan disayang oleh guru, selain itu siswa berani untuk mengksplorasi lingkukan sosialnya. Ketergantungan yang rendah dalam relasi guru siswa cenderung mempengaruhi kemampuan sosialnya dan juga membuat siswa menjadi lebih mandiri.

Faktor relasi guru siswa berkaitan dengan hubungan sesama individu antara guru dengan anak terlambat bicara yang dapat mempengaruhi perkembangan, hubungan sosial serta perilaku anak terlambat dimulai, memberikan tugas sesuai materi yang disampaikan, dan guru memberikan kesimpulan diakhir KBM. Faktor yang mempengaruhi relasi guru siswa adalah guru pendamping itu sendiri, yakni guru pendamping mendidik anak terlambat bicara seperti sedang bersama teman, guru pendamping memberikan penjelasan materi dan motivasi kepada anak terlambat bicara, guru pendamping memberikan intruksi pembelajaran kepada anak terlambat bicara.

Ada dampak yang mempengaruhi siswa terlambat bicara dan guru pendamping. Dampak relasi guru siswa yang didapat oleh guru pendamping dan anak terlambat bicara, yaitu guru pendamping memiliki relasi yang baik dengan anak terlambat bicara, anak terlambat bicara merasa nyaman dengan guru pendamping, kedekatan guru pendamping dengan anak terlambat bicara membuat suasana hati anak terlambat bicara menjadi baik sehingga membuat anak terlambat bicara rajin belajar, guru pendamping dapat memahami cara mendampingi anak terlambat bicara dengan baik, guru pendamping merasa lebih empati dan peduli dengan anak berkebutuhan khusus termasuk kepada anak terlambat bicara serta guru pendamping menjadi lebih sabar dan lebih banyak bersyukur ketika mendampingi anak terlambat bicara.

Simpulan

Berdasarkan data di atas dapat disimpulkan bahwa faktor yang mempengaruhi relasi guru siswa adalah guru pendamping itu sendiri, yakni guru pendamping mendidik anak terlambat bicara seperti sedang bersama teman, guru pendamping memberikan penjelasan materi dan motivasi kepada anak terlambat bicara, guru pendamping memberikan intruksi pembelajaran kepada anak terlambat bicara. Dampak relasi guru siswa yang didapat guru pendamping dan anak terlambat bicara, yaitu guru pendamping memiliki relasi yang baik dengan anak terlambat bicara, anak terlambat bicara merasa nyaman dengan guru pendamping, kedekatan guru pendamping dengan anak terlambat bicara membuat suasana hati anak terlambat bicara menjadi baik sehingga anak terlambat bicara rajin belajar, guru pendamping dapat memahami cara mendampingi anak terlambat bicara dengan baik, guru pendamping merasa lebih empati dan peduli dengan anak berkebutuhan khusus termasuk kepada anak terlambat bicara serta menjadi lebih sabar dan banyak bersyukur ketika mendampingi anak terlambat bicara.

References

  1. Indonesia, P. R. (2003). Undang-undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional. Jakarta.
  2. UNESCO. (1994).The Salamanca Statement and Framework For Action on Special Needs Education. Paris : Auth.
  3. S O’Neil,J. (1994/1995).Can inclusion work.A Conversation With James Kauffman and Mara Sapon-Shevin. Educational Leadership. 52(4) 7-11.
  4. Almi Kurnia Sari, 1423311003. (2018). Penanganan Anak Usia Dini dengan Gangguan Perkembangan Bahasa Ekspresif Di Kelompok Bermain (Kb) Al-Azkia Lab. Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan Iain Purwokerto.
  5. Laimeheriwa, E. Y. (2017). Hubungan Relasi Guru Siswa Dan Dukungan Sosial Teman Dengan Ketrelibatan Belajar Siswa Di Sekolah. Seminar Nasional Teknologi Pembelajaran Dan Pendidikan Dasar 2017, 0(0), 541–552. Retrieved from http://pasca.um.ac.id/conferences/index.php/sntepnpdas/article/view/912
  6. Rifma. (2016). Optimalisasi Pembinaan Kompetensi Pedagogik Guru, 34.
  7. Philosophia Natalia Agnes Wisung. (2018). Hubungan antara Kualitas Relasi Guru-Siswa dan Kompetensi Sosial pada Anak Usia 9-11 Tahun di Sekolah. Journal Psychology.
  8. Adrika, A. F. N., & Lestari, S. (2018). Kualitas Relasi Guru-Siswa SMA. Universitas Muhammadiyah Surakarta.
  9. John W. Creswell. (2015). Penelitian Kualitatif dan Desain Riset Memilih Diantara Lima Pnedekatan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
  10. Sugiyono. (2017). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D (ke-26). Bandung: Alfabeta.
  11. Sugiyono. (2017). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D (ke-26). Bandung: Alfabeta.
  12. Rifma. (2016). Optimalisasi Pembinaan Kompetensi Pedagogik Guru, 34.
  13. Adrika, A. F. N., & Lestari, S. (2018). Kualitas Relasi Guru-Siswa SMA. Universitas Muhammadiyah Surakarta.
  14. Philosophia Natalia Agnes Wisung. (2018). Hubungan antara Kualitas Relasi Guru-Siswa dan Kompetensi Sosial pada Anak Usia 9-11 Tahun di Sekolah. Journal Psychology.