Abstract
General Background: The delegation of Indonesia's Flight Information Region (FIR) over the Riau Islands and Natuna to Singapore has raised concerns about national sovereignty and international law. Specific Background: The Chicago Convention asserts that countries have complete sovereignty over their airspace, but Indonesia’s FIR management by Singapore challenges this principle. Knowledge Gap: The potential risks to sovereignty and security arising from this delegation have not been fully addressed. Aims: This study analyzes the implications of FIR delegation on Indonesia’s sovereignty and security, proposing steps for regaining control. Results: The study finds that Singapore's role is administrative, not a transfer of sovereignty, though it creates security risks. Novelty: The analysis offers new insights into the legal and strategic implications of FIR management. Implications: Recommendations focus on modernizing air navigation infrastructure and strengthening Indonesia's sovereignty.
Highlights:
- Delegation of FIR to Singapore raises concerns over Indonesia's airspace sovereignty.
- The Chicago Convention ensures full sovereignty over airspace, yet the delegation remains an administrative issue.
- Regaining FIR control is crucial for Indonesia's national security and strategic interests.
Keywords: FIR, Air Sovereignty, International Law, Security
Pendahuluan
Indonesia, sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, memiliki wilayah udara yang sangat luas dan strategis. Wilayah udara ini tidak hanya penting untuk kepentingan ekonomi dan komersial, tetapi juga untuk pertahanan dan keamanan nasional [1]. Pengelolaan ruang udara Indonesia, khususnya di atas Kepulauan Riau dan Natuna, telah menjadi isu yang kompleks dan sensitif, terutama karena sebagian dari wilayah udara tersebut telah lama didelegasikan kepada Singapura untuk pengelolaan Flight Information Region (FIR) [2]. Analisis hukum internasional mengenai penataan FIR dan ruang udara Indonesia menimbulkan permasalahan yang kompleks terkait dengan kedaulatan nasional Indonesia serta prinsip complete and exclusive sovereignty over the airspace above its territory. Dalam konteks ini, pertanyaan mendasar muncul tentang bagaimana kedaulatan nasional Indonesia dipertahankan dan dijunjung tinggi dalam kerangka hukum internasional terkait penataan FIR dan ruang udara. Kedaulatan nasional Indonesia atas ruang udara diatur oleh hukum internasional, khususnya Konvensi Chicago 1944, yang menyatakan bahwa setiap negara memiliki kedaulatan penuh dan eksklusif atas ruang udara di atas wilayah teritorialnya. Namun, dalam praktiknya, pengelolaan FIR di atas Kepulauan Riau dan Natuna telah didelegasikan kepada Singapura sejak tahun 1946. Delegasi ini menimbulkan berbagai implikasi, baik dari segi kedaulatan maupun keamanan nasional [3]. Meskipun Indonesia memiliki kedaulatan penuh atas ruang udara di atas wilayahnya, Namun ketika kontrol terhadap wilayah udara Indonesia didelegasikan kepada negara lain, seperti dalam kasus di mana kontrol atas ruang udara Indonesia diberikan kepada Singapura, hal ini menimbulkan pertanyaan serius terkait dengan kedaulatan nasional.
Isu kedaulatan nasional menjadi semakin relevan di tengah perkembangan geopolitik dan ekonomi global. Sebagai negara berdaulat, Indonesia memiliki hak penuh untuk mengatur dan mengelola ruang udaranya sesuai dengan prinsip complete and exclusive sovereignty. Namun, delegasi pengelolaan FIR kepada negara lain dapat memunculkan tantangan terhadap prinsip ini, terutama dalam menjaga kedaulatan dan keamanan nasional [4]. Selain itu, pengelolaan oleh Singapura membuka peluang bagi negara tersebut untuk mengendalikan sebagian besar lalu lintas penerbangan di atas wilayah strategis Indonesia, yang berpotensi menimbulkan risiko keamanan, seperti penggunaan ruang udara untuk kegiatan militer atau intelijen [5].
Dari sudut pandang hukum internasional, pengaturan FIR merupakan salah satu bentuk kerja sama antarnegara yang diatur oleh International Civil Aviation Organization (ICAO) [6]. Namun, kerja sama ini harus berjalan seimbang, dengan tetap menghormati kedaulatan negara yang terlibat. Dalam kasus Indonesia, pengelolaan FIR oleh Singapura telah menjadi subjek perdebatan selama beberapa dekade, terutama karena menyangkut isu strategis, seperti kontrol atas wilayah udara dan pengelolaan pendapatan dari layanan navigasi penerbangan [7]. Selain itu, perkembangan teknologi dan meningkatnya kebutuhan akan keamanan penerbangan membuat pengelolaan FIR menjadi isu yang semakin penting. Pemerintah Indonesia telah berupaya untuk mengambil alih pengelolaan FIR melalui negosiasi bilateral dan pendekatan diplomatic [2]. Namun, proses ini menghadapi tantangan yang signifikan, baik dari segi teknis, hukum, maupun politik. Dalam beberapa tahun terakhir, upaya untuk mengambil kembali pengelolaan FIR menunjukkan kemajuan, tetapi masih memerlukan strategi yang matang untuk mencapai hasil yang optimal.
Complete and exclusive sovereignty over the airspace above its territory merupakan prinsip yang menegaskan bahwa sebuah negara memiliki hak penuh dan eksklusif atas ruang udara di atas wilayahnya [4]. Dalam konteks pendelegasian kontrol terhadap wilayah udara Indonesia kepada Singapura, hal ini dapat menimbulkan kontradiksi dengan prinsip kedaulatan nasional Indonesia dan hak penuh atas ruang udara di atas wilayahnya [8]. Ketika kontrol terhadap wilayah udara Indonesia didelegasikan kepada negara lain, terdapat potensi untuk terjadinya pelanggaran terhadap kedaulatan nasional Indonesia serta prinsip complete and exclusive sovereignty over the airspace above its territory[9]. Oleh karena itu, diperlukan analisis yang cermat mengenai dampak hukum internasional dari pendelegasian kontrol tersebut serta langkah-langkah yang perlu diambil untuk memastikan bahwa kedaulatan nasional Indonesia tetap terjaga dan prinsip kedaulatan udara di atas wilayahnya tidak terganggu.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dua permasalahan utama terkait kedaulatan nasional Indonesia dalam konteks hukum internasional dan penataan FIR. Permasalahan pertama adalah menganalisis kedaulatan nasional Indonesia ditinjau dari hukum internasional tentang penataan FIR. Permasalahan kedua adalah menganalisis "complete and exclusive sovereignty" atau kedaulatan penuh dan eksklusif atas wilayah udara di atas teritorial Indonesia yang didelegasikan kepada negara Singapura. Penelitian ini akan membahas aspek-aspek penting dari permasalahan yang diangkat. yaitu konsep kedaulatan udara dalam hukum internasional dan peraturan perundangan nasional kemudian akan mengkaji pada analisis "complete and exclusive sovereignty" dan implikasi pendelegasian pengelolaan FIR kepada Singapura selanjutnya akan menyimpulkan temuan penelitian dan memberikan rekomendasi untuk kebijakan di masa depan.
Berdasarkan pada pemaparan latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian berjudul “Analisis Hukum Inetrnasional tentang Penataan Flight Information Region dan Ruang Udara Indonesia”. Adapun perumusan masalah dalam penelitian ini yakni:
1. Bagaimana kedaulatan nasional Indonesia, ditinjau dari Hukum Internasional tentang Penataan Flight Information Region (FIR)?
2. Bagaimana "complete and exclusive sovereignty" over the airspace above its territory terhadap wilayah udara Indonesia didelegasikan kepada negara Singapura?
Metode
Metode penelitian yang digunakan dalam tesis ini mengadopsi pendekatan kualitatif dengan analisis hukum normatif. Penelitian ini bertumpu pada studi kepustakaan dan kajian hukum internasional yang berkaitan dengan pengelolaan Flight Information Region (FIR) serta kedaulatan udara Indonesia. Pendekatan hukum normatif digunakan untuk menganalisis peraturan perundang-undangan internasional, seperti Konvensi Chicago 1944, serta peraturan dari International Civil Aviation Organization (ICAO). Kajian ini bertujuan untuk memahami bagaimana prinsip complete and exclusive sovereignty diterapkan dalam konteks penataan FIR, khususnya dalam hubungan antara Indonesia dan Singapura. Selain itu, analisis dilakukan terhadap berbagai perjanjian bilateral dan multilateral yang relevan dengan pengelolaan ruang udara Indonesia.
Metode penelitian ini juga mencakup pendekatan komparatif dengan membandingkan kebijakan pengelolaan FIR di negara lain yang memiliki wilayah udara luas dan menghadapi tantangan serupa. Studi perbandingan ini bertujuan untuk mengidentifikasi praktik terbaik dalam pengelolaan FIR yang dapat diterapkan di Indonesia. Selain itu, penelitian ini menerapkan pendekatan historis untuk menelusuri perkembangan kebijakan FIR Indonesia dari masa ke masa, termasuk upaya diplomasi dan negosiasi yang dilakukan oleh pemerintah dalam memperoleh kembali pengelolaan FIR dari Singapura. Kajian ini bertujuan untuk memahami bagaimana dinamika hukum dan politik memengaruhi keputusan strategis dalam pengelolaan wilayah udara Indonesia. Untuk memperkuat hasil analisis, penelitian ini menggunakan data sekunder dari dokumen resmi, jurnal akademik, dan laporan lembaga internasional yang relevan. Dengan demikian, penelitian ini tidak hanya memberikan landasan hukum yang kuat, tetapi juga wawasan strategis bagi pengambil kebijakan dalam mengoptimalkan pengelolaan FIR Indonesia.
Hasil dan Pembahasan
A. Kedaulatan Nasional Indonesia Ditinjau dari Hukum Internasional tentang Penataan Flight Information Region (FIR)
Indonesia, sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, memiliki ruang udara yang strategis dan kompleks, terutama di kawasan seperti Kepulauan Riau dan Natuna. Ruang udara ini tidak hanya penting untuk navigasi penerbangan internasional tetapi juga memiliki signifikansi ekonomi, keamanan, dan kedaulatan nasional [10]. Salah satu isu yang krusial adalah pengelolaan Flight Information Region (FIR), wilayah udara yang ditentukan untuk pengelolaan lalu lintas penerbangan. FIR Indonesia sebagian masih dikelola oleh Singapura, sebuah situasi yang telah berlangsung sejak era colonial [2]. Masalah ini memunculkan tantangan besar terkait prinsip hukum internasional, khususnya yang tercantum dalam Konvensi Chicago 1944. Konvensi ini menyatakan bahwa setiap negara memiliki kedaulatan penuh dan eksklusif atas ruang udara di atas wilayah teritorialnya [11]. Dalam konteks ini, pertanyaan utama adalah bagaimana Indonesia mempertahankan kedaulatan nasionalnya sambil tetap mematuhi kewajiban internasional dan menjalin kerja sama yang harmonis dengan negara lain.
Hukum internasional mengatur bahwa kedaulatan sebuah negara meliputi darat, laut, dan ruang udara di atas wilayahnya. Konvensi Chicago 1944, sebagai pijakan utama hukum udara internasional, menegaskan bahwa negara memiliki hak penuh dan eksklusif untuk mengatur ruang udara di atas teritorialnya. Pasal 1 Konvensi ini menyatakan: "Every state has complete and exclusive sovereignty over the airspace above its territory." Prinsip ini mendasari pengakuan atas hak suatu negara untuk mengelola ruang udaranya tanpa campur tangan pihak lain.[12] Namun, dalam praktik internasional, pengelolaan FIR dapat didelegasikan kepada negara lain berdasarkan perjanjian bilateral atau multilateral. Delegasi ini biasanya dilakukan untuk meningkatkan efisiensi pengelolaan lalu lintas udara, terutama jika negara pengelola memiliki kapasitas teknologi dan sumber daya yang lebih baik. Dalam kasus Indonesia, FIR yang mencakup wilayah Kepulauan Riau dan Natuna telah lama dikelola oleh Singapura berdasarkan perjanjian yang disepakati sejak masa kolonial.[13]
Pendelegasian FIR Indonesia kepada Singapura menimbulkan berbagai implikasi hukum dan politik. Dari segi hukum, meskipun pengelolaan FIR tidak berarti pengalihan kedaulatan, hal ini sering kali dipersepsikan sebagai pengurangan otoritas negara atas wilayah udaranya.[14] Dalam konteks keamanan, pengelolaan oleh negara lain dapat membuka celah bagi kegiatan yang berpotensi merugikan, seperti intelijen udara, latihan militer, atau pemotretan udara tanpa izin. Secara ekonomi, Indonesia kehilangan potensi pendapatan dari biaya jasa navigasi penerbangan (Route Air Navigation Services/Charges) yang dikumpulkan oleh Singapura atas wilayah FIR yang dikelolanya. Pendapatan ini sebenarnya dapat digunakan untuk meningkatkan infrastruktur dan teknologi navigasi udara di Indonesia.[15] Selain itu, pengelolaan FIR oleh Singapura dapat memengaruhi persepsi publik terhadap kemampuan Indonesia dalam mengelola wilayah udaranya sendiri.[16]
Untuk mengatasi tantangan ini, Indonesia telah mengambil langkah-langkah strategis untuk memperkuat kedaulatan udaranya. Salah satu upaya penting adalah perjanjian penyesuaian batas FIR dengan Singapura yang ditandatangani pada tahun 2022. Perjanjian ini memungkinkan Indonesia untuk mengambil alih pengelolaan FIR secara bertahap dengan tetap memperhatikan aspek keselamatan dan efisiensi penerbangan.[17] Upaya lain meliputi peningkatan kapasitas domestik melalui modernisasi teknologi navigasi udara dan pelatihan tenaga ahli. Lembaga seperti AirNav Indonesia memainkan peran penting dalam menyediakan layanan navigasi udara yang aman dan efisien. Selain itu, Indonesia juga memperkuat kerja sama dengan International Civil Aviation Organization (ICAO) untuk memastikan bahwa pengelolaan FIR dilakukan sesuai dengan standar internasional.[18]
Kerja sama internasional adalah elemen penting dalam penataan FIR. Dalam konteks ini, Konvensi Chicago 1944 mendorong negara-negara untuk bekerja sama dalam menyediakan layanan navigasi penerbangan yang aman dan efisien. Kerja sama ini sering kali melibatkan negara-negara tetangga untuk memastikan koordinasi yang optimal dalam pengelolaan lalu lintas udara.[19]
Indonesia telah menunjukkan komitmennya terhadap kerja sama internasional dengan terus menjalin dialog konstruktif dengan Singapura dan negara-negara lain di kawasan. Pendekatan ini tidak hanya membantu menjaga stabilitas regional tetapi juga meningkatkan posisi tawar Indonesia dalam negosiasi terkait pengelolaan FIR. Selain itu, kerja sama ini mencerminkan semangat kolektif untuk mencapai keselamatan dan efisiensi dalam industri penerbangan global.[20] Meskipun telah ada kemajuan, Indonesia menghadapi sejumlah tantangan dalam pengelolaan FIR. Salah satu tantangan utama adalah keterbatasan infrastruktur dan teknologi navigasi udara domestik. Untuk dapat sepenuhnya mengambil alih pengelolaan FIR, Indonesia perlu memastikan bahwa infrastrukturnya mampu memenuhi standar internasional yang ditetapkan oleh ICAO.[21]
Tantangan lain adalah kebutuhan untuk meningkatkan kapasitas sumber daya manusia. Pengelolaan FIR memerlukan tenaga ahli yang terlatih dan kompeten dalam mengoperasikan sistem navigasi udara.[22] Oleh karena itu, investasi dalam pendidikan dan pelatihan menjadi prioritas utama untuk memastikan bahwa Indonesia dapat mengelola FIR secara mandiri. Untuk memperkuat kedaulatan udara Indonesia, sejumlah langkah strategis perlu diambil, antara lain:
1. Modernisasi Infrastruktur Navigasi Udara
Pemerintah harus meningkatkan investasi dalam teknologi dan infrastruktur navigasi udara untuk memastikan bahwa pengelolaan FIR dilakukan secara efisien dan sesuai dengan standar internasional.
2. Penguatan Kapasitas Sumber Daya Manusia
Pelatihan dan pendidikan bagi tenaga kerja di sektor navigasi udara perlu ditingkatkan untuk menciptakan tenaga ahli yang kompeten dalam mengelola FIR.
3. Negosiasi Ulang Perjanjian FIR
Indonesia perlu terus merundingkan ulang perjanjian FIR dengan Singapura untuk memastikan bahwa kepentingan strategis dan ekonomi nasional terlindungi.
4. Kerja Sama Regional dan Internasional
Penguatan kerja sama dengan negara-negara tetangga dan organisasi internasional seperti ICAO penting untuk memastikan keselamatan dan efisiensi dalam pengelolaan FIR.
5. Peningkatan Kesadaran Publik
Pemerintah perlu meningkatkan kesadaran publik tentang pentingnya kedaulatan udara dan manfaat dari pengelolaan FIR oleh Indonesia.
Kedaulatan nasional Indonesia dalam penataan FIR adalah isu yang kompleks dan multidimensi, melibatkan aspek hukum, ekonomi, keamanan, dan diplomasi. Meskipun pengelolaan FIR oleh Singapura tidak secara langsung mengurangi kedaulatan Indonesia, hal ini tetap menjadi tantangan yang perlu ditangani dengan strategi yang tepat. Dengan memanfaatkan kerangka hukum internasional dan memperkuat kapasitas domestik, Indonesia dapat meningkatkan kontrol atas wilayah udaranya sambil tetap menjalin kerja sama internasional yang konstruktif. Melalui pendekatan yang terintegrasi dan berkelanjutan, Indonesia dapat memastikan bahwa kedaulatannya tetap terjaga, sekaligus berkontribusi pada keselamatan dan efisiensi dalam industri penerbangan global. Rekomendasi kebijakan yang diusulkan diharapkan dapat menjadi panduan bagi pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya dalam mengelola FIR secara lebih mandiri dan efektif di masa depan.
B. “Complete and Exclusive Sovereignty” Over the Airspace Above its Territory Jika Kontrol terhadap Wilayah Udara Indonesia Didelegasikan kepada Negara Singapura
Indonesia, sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, memiliki wilayah udara yang sangat strategis baik untuk kepentingan ekonomi maupun keamanan nasional. Namun, dalam pengelolaan wilayah udaranya, Indonesia menghadapi tantangan yang unik, salah satunya terkait dengan pengelolaan Flight Information Region (FIR).[1] Sejak 1946, sebagian ruang udara Indonesia di sekitar Kepulauan Riau dan Natuna didelegasikan kepada Singapura untuk pengelolaan FIR. Meskipun pengelolaan ini telah berlangsung selama puluhan tahun, isu ini tetap menjadi perhatian, khususnya terkait dengan prinsip kedaulatan penuh atau complete and exclusive sovereignty sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Konvensi Chicago 1944.[5]
Konvensi Chicago menegaskan bahwa setiap negara memiliki kedaulatan penuh atas ruang udara di atas wilayah teritorialnya. Namun, dalam praktik internasional, pengelolaan FIR sering kali dilakukan oleh negara lain dengan alasan efisiensi, teknologi, dan kebutuhan keselamatan penerbangan.[1] Delegasi FIR Indonesia kepada Singapura menjadi salah satu contoh dari dinamika ini. Hal ini tidak hanya melibatkan aspek teknis, tetapi juga berimplikasi pada kedaulatan, keamanan, dan kepentingan ekonomi Indonesia.[21] Delegasi pengelolaan FIR kepada Singapura dimulai pada 1946, ketika Indonesia baru merdeka dan belum memiliki infrastruktur serta kapasitas teknis untuk mengelola ruang udaranya secara penuh. Pada masa itu, Singapura memiliki kemampuan teknis yang lebih baik untuk menyediakan layanan navigasi udara di kawasan tersebut.[23] Delegasi ini mencakup sebagian ruang udara Indonesia di wilayah sekitar Kepulauan Riau dan Natuna. Selama lebih dari tujuh dekade, pengelolaan ini terus berlanjut hingga akhirnya pada tahun 2022 Indonesia berhasil menegosiasikan pengembalian sebagian besar wilayah FIR yang dikelola Singapura. Meski demikian, kerja sama tetap diperlukan untuk memastikan kelancaran dan keselamatan penerbangan di kawasan tersebut.
Prinsip complete and exclusive sovereignty memberikan hak penuh kepada negara untuk mengelola ruang udara di atas wilayah teritorialnya tanpa campur tangan pihak lain. Namun, pendelegasian pengelolaan FIR kepada negara lain bukanlah pelanggaran terhadap prinsip ini.[24] Pendelegasian tersebut bersifat teknis dan tidak mengurangi kedaulatan negara, asalkan tetap sesuai dengan ketentuan Konvensi Chicago. Dalam kasus Indonesia, Singapura bertindak sebagai pengelola layanan navigasi udara untuk kawasan FIR yang didelegasikan, sementara kedaulatan strategis atas ruang udara tersebut tetap berada di tangan Indonesia.[5] Namun, penting untuk dipahami bahwa pendelegasian ini bukan tanpa risiko. Beberapa tantangan yang muncul meliputi aspek kedaulatan, keamanan, dan manfaat ekonomi. Pengelolaan ruang udara oleh negara lain dapat menimbulkan kekhawatiran terkait potensi pelanggaran keamanan nasional, seperti pengumpulan intelijen atau penggunaan ruang udara untuk kegiatan militer oleh pihak asing.[25]
Implikasi keamanan menjadi salah satu perhatian utama dalam pendelegasian FIR. Pengelolaan oleh negara lain, seperti Singapura, dapat membuka peluang bagi tindakan yang tidak diinginkan, seperti aktivitas pengintaian udara atau pelanggaran privasi. Selain itu, pengelolaan ini juga menyulitkan Indonesia untuk mengawasi secara penuh aktivitas di wilayah udaranya, khususnya yang berkaitan dengan pertahanan dan keamanan.[14] Dari perspektif ekonomi, pendelegasian FIR kepada Singapura berarti bahwa pendapatan dari biaya jasa navigasi udara (RANS fee) dikumpulkan oleh Singapura. Sebagian dari pendapatan ini kemudian disalurkan kembali ke Indonesia, tetapi jumlahnya jauh lebih kecil dibandingkan potensi pendapatan penuh jika Indonesia mampu mengelola FIR tersebut secara mandiri.[16]
Menyadari tantangan yang ada, Indonesia telah mengambil berbagai langkah untuk memperkuat kedaulatan udara dan memastikan bahwa pengelolaan FIR tetap menguntungkan bagi kepentingan nasional. Salah satu langkah terpenting adalah perjanjian bilateral antara Indonesia dan Singapura pada 2022, yang mengembalikan sebagian besar wilayah FIR kepada Indonesia. Perjanjian ini menjadi tonggak penting dalam upaya Indonesia untuk memperkuat kendali atas ruang udaranya.[26] Selain itu, Indonesia terus meningkatkan kapasitas domestik dalam pengelolaan ruang udara. Ini termasuk pembangunan infrastruktur navigasi udara yang modern, pelatihan tenaga ahli, dan peningkatan teknologi untuk mendukung pengelolaan FIR.[27] Langkah-langkah ini bertujuan untuk memastikan bahwa Indonesia mampu mengelola ruang udara secara mandiri tanpa harus bergantung pada negara lain.
Kerja sama internasional tetap menjadi elemen penting dalam pengelolaan FIR. Sebagai anggota Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO), Indonesia terikat untuk bekerja sama dengan negara lain dalam memastikan keselamatan dan efisiensi penerbangan internasional.[6] Dalam konteks ini, kerja sama dengan Singapura diperlukan untuk menjamin kelancaran operasional di kawasan FIR. Namun, kerja sama ini harus dilakukan dengan prinsip saling menguntungkan dan menghormati kedaulatan masing-masing negara. Indonesia perlu memastikan bahwa perjanjian kerja sama tidak hanya menguntungkan secara teknis tetapi juga memperkuat posisi strategisnya dalam pengelolaan ruang udara.
Meskipun sudah ada kemajuan signifikan dalam pengelolaan FIR, tantangan tetap ada. Salah satunya adalah memastikan bahwa pengembalian FIR sepenuhnya dikelola oleh Indonesia dengan standar keselamatan dan efisiensi yang tinggi. Indonesia juga perlu meningkatkan kapasitas untuk menangani potensi ancaman keamanan yang mungkin timbul dari aktivitas asing di wilayah udara yang sebelumnya dikelola oleh Singapura.
Untuk mengatasi tantangan ini, ada beberapa rekomendasi yang dapat dipertimbangkan:
- Penguatan Kapasitas Domestik: Pemerintah harus terus meningkatkan infrastruktur dan kemampuan teknis dalam pengelolaan FIR. Ini termasuk investasi dalam teknologi modern dan pelatihan tenaga ahli.
- Monitoring dan Evaluasi: Pengelolaan FIR harus diawasi secara ketat melalui sistem monitoring yang terintegrasi untuk memastikan tidak ada pelanggaran keamanan.
- Kerja Sama Regional: Indonesia perlu memperkuat kerja sama dengan negara-negara ASEAN untuk membangun mekanisme pengelolaan ruang udara yang lebih terintegrasi dan saling menguntungkan.
- Diplomasi Proaktif: Indonesia harus terus berperan aktif dalam forum internasional seperti ICAO untuk memperjuangkan kepentingan nasionalnya dalam pengelolaan FIR.
Delegasi pengelolaan FIR kepada Singapura merupakan hasil dari dinamika sejarah, kebutuhan teknis, dan kerja sama internasional. Meskipun pengelolaan ini tidak melanggar prinsip kedaulatan udara sebagaimana diatur dalam Konvensi Chicago, Indonesia perlu terus memastikan bahwa pengelolaan tersebut sesuai dengan kepentingan nasional. Upaya untuk meningkatkan kapasitas domestik, memperkuat kerja sama internasional, dan memperjuangkan kepentingan strategis di forum global menjadi langkah penting dalam menjaga kedaulatan udara Indonesia. Dengan langkah-langkah tersebut, Indonesia tidak hanya dapat mengelola ruang udaranya dengan lebih baik, tetapi juga memperkuat posisinya sebagai negara yang berdaulat dan berdaya saing di tingkat internasional.
Simpulan
Berdasarkan Hukum Internasional, khususnya Chicago Convention 1944 dan peraturan Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO), setiap negara memiliki kedaulatan penuh dan eksklusif atas wilayah udaranya, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 Konvensi Chicago. Penataan FIR, meskipun merupakan bagian dari manajemen lalu lintas udara (air navigation services), bukan pengalihan kedaulatan udara suatu negara. Pengelolaan FIR bertujuan untuk keselamatan, efisiensi, dan koordinasi navigasi udara, dan tidak memengaruhi hak kedaulatan negara atas wilayah udaranya. Namun, fakta bahwa sebagian FIR di atas wilayah 105 Indonesia, khususnya di wilayah Kepulauan Riau dan Natuna, dikelola oleh Singapura menciptakan potensi kerentanan terhadap kedaulatan nasional, terutama jika pemantauan dan pengendalian lalu lintas udara tidak terintegrasi sepenuhnya dengan kepentingan strategis Indonesia.
Meskipun prinsip kedaulatan udara memberikan hak eksklusif penuh kepada Indonesia untuk mengatur wilayah udaranya, penyerahan pengelolaan FIR kepada Singapura sejak keputusan ICAO tahun 1946 merupakan langkah teknis administratif yang dalam implementasinya menciptakan persepsi delegasi sebagian kontrol atas ruang udara Indonesia kepada negara lain. Kondisi ini memunculkan implikasi strategis dan potensi pelanggaran, seperti terbatasnya akses Indonesia dalam pemantauan penerbangan sipil maupun militer di wilayah tersebut, potensi ketidaktransparanan dalam pengawasan dan otoritas pengelolaan ruang udara, serta kerentanan terhadap pelanggaran kedaulatan wilayah dalam aspek pertahanan dan keamanan udara. Penataan FIR yang saat ini sebagian dikelola oleh Singapura perlu dipahami sebagai pengaturan administratif demi keselamatan penerbangan, bukan sebagai pengalihan kedaulatan wilayah udara. Namun demikian, untuk menjaga kedaulatan nasional serta kepentingan pertahanan dan keamanan, Indonesia perlu mempercepat reintegrasi dan pengambilalihan FIR dari Singapura dengan memastikan kesiapan teknis, infrastruktur, dan sumber daya manusia yang memadai sesuai standar ICAO. Langkah ini menjadi sangat penting untuk memastikan bahwa kedaulatan Indonesia tetap terjaga dan potensi pelanggaran dapat dihindari di masa mendatang.
References
- J. R. Saputri, "Penegakan Hukum Atas Pelanggaran Kedaulatan di Wilayah Udara Negara Indonesia oleh Pesawat Udara Asing," Lex Adm., vol. 11, no. 1, 2023.
- D. Yealta and R. Lestari, "Diplomasi Indonesia dalam Menyelesaikan Sengketa FIR (Flight Information Region) di Atas Kepulauan Natuna dengan Singapura," J. Online Mhs. Fak. Ilmu Sos. dan Ilmu Polit. Univ. Riau, vol. 3, no. 1, 2016.
- S. Sefriani, "Pelanggaran Ruang Udara Oleh Pesawat Asing Menurut Hukum Internasional dan Hukum Nasional Indonesia," J. Huk. Ius Quia Iustum, vol. 22, no. 4, pp. 538–565, Oct. 2015, doi: 10.20885/iustum.vol22.iss4.art2.
- A. Periani, A. Djatmiko, and H. Kusumawardana, "Strategi Peningkatan Keamanan Ruang Udara Indonesia di Era Digital dalam Perspektif Hukum," UNES Law Rev., vol. 6, no. 1, pp. 2848–2858, 2023.
- N. Indrawati, "Peluang Dan Tantangan Penandatanganan Perjanjian Penyesuaian Flight Information Region (FIR) Antara Indonesia dengan Singapura," J. Paradig. Huk. Pembang., vol. 7, no. 2, pp. 18–36, Aug. 2022, doi: 10.25170/paradigma.v7i2.3541.
- K. Pauline, Kepentingan Singapura Terhadap Flight Information Region (FIR) Kepulauan Riau dan Natuna. Palembang: Universitas Sriwijaya, 2022.
- D. E. Jasmine, Kesepakatan Indonesia dan Singapura dalam Penyesuaian Batas Flight Information Region (FIR) terhadap Kedaulatan Navigasi Udara di Kepulauan Riau, Natuna, dan Batam Tahun 2022. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2024.
- S. M. Sechan, "Review Terhadap Kebijakan Pertahanan Wilayah Udara Indonesia Government of Republic Indonesia dan Wilayah Informasi Penerbangan Jakarta dan Peraturan Internal. Isu Internal Terkait untuk Mengambil Alih Pengelolaan Wilayah," Dialekt. Publik, vol. 7, no. 2, 2020.
- A. Dirwan, "Pengaturan Ruang Udara di atas Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI)," J. Ketahanan Nas., vol. 16, no. 3, 2011, doi: https://doi.org/10.22146/jkn.12646.
- "Meningkatkan Ketahanan Ruang Udara Indonesia melalui Analisis Intelijen," J. Kaji. Strat. Ketahanan Nas., vol. 7, no. 1, Jun. 2024, doi: 10.7454/jkskn.v7i1.10087.
- J. S. Koloay, "Kekosongan Hukum dalam Pengelolaan Ruang Udara di Indonesia," J. Keamanan Nas., vol. 7, no. 1, 2021.
- H. Siraji, "The Sovereignty of the Air Space and Its Protection in the Perspective of International Law: Some Aliens Intervention in Southeast Asian Countries," Int. Law Discourse Southeast Asia, vol. 1, no. 2, pp. 159–184, Jul. 2022, doi: 10.15294/ildisea.v1i2.58397.
- N. Sutrisno and R. N. M. Romdoni, "Ratifikasi Perjanjian Penyesuaian Wilayah Informasi Penerbangan antara Indonesia dan Singapura: Pilihan Rasional atau Status Quo?," Undang J. Huk., vol. 5, no. 2, pp. 393–417, Dec. 2022, doi: 10.22437/ujh.5.2.393-417.
- L. Husna and A. Riyanto, "Implikasi Perjanjian Internasional Flight Information Region (FIR) Singapura atas Ruang Udara Indonesia terhadap Kepulauan Riau," Pros. Semin. Nas. Ilmu Sos. dan Teknol., vol. 2.
- N. A. Puteh, A. P. Prabandari, and L. T. Setyawanta, "Implikasi Perjanjian Penyesuaian FIR Antara Indonesia dengan Singapura Tahun 2022 terhadap Wilayah Udara Indonesia," J. Pembang. Huk. Indones., vol. 6, no. 1, pp. 35–48, Mar. 2024, doi: 10.14710/jphi.v6i1.35-48.
- E. Silalahi, M. Bachtiar, and W. Edorita, "Implikasi Hukum Internasional Pada Flight Information Region (FIR) Singapura Atas Wilayah Udara Indonesia Terhadap Kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia," J. Online Mhs. Fak. Huk. Univ. Riau, vol. 2, no. 1, 2015.
- H. Sari, "Pengambilalihan Flight Information Region (FIR) Singapura Atas Kepulauan Riau dan Natuna dalam Perspektif Teori Kedaulatan," Innov. J. Soc. Sci. Res., vol. 4, no. 1, 2024, doi: https://doi.org/10.31004/innovative.v4i1.8973.
- F. Wirsamulia, "Commercialization of Airnav Indonesia as Air Navigation Provider: Is It Beneficial?," J. Media Huk., vol. 27, no. 1, 2020, doi: 10.18196/jmh.20200147.
- A. Mawardika, M. Rosyidin, D. Muhammad, and F. Alfian, "Peran Rezim Internasional International Civil Aviation Organization (ICAO) dalam Penanganan Kasus Penembakan Pesawat Sipil Ukraina oleh Militer Iran Januari 2020," J. Int. Relations Diponegoro, vol. 8, no. 3, pp. 289–299, 2022, [Online]. Available: http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jihi. [Accessed: Jan. 2025].
- R. Prayuda and S. Harto, ASEAN dan Kejahatan Transnasional Narkotika (Problematika, Dinamika dan Tantangan). Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2020.
- M. C. Ardan, "Diplomasi Penyelesaian Sengketa Flight Information Region Indonesia-Singapura di atas Wilayah Kepulauan Riau dan Natuna," J. SAINS, Sos. Dan Hum., vol. 2, no. 2, pp. 1–6, Nov. 2022, doi: 10.52046/jssh.v2i2.1320.
- J. M. Nwaogu, Y. Yang, A. P. C. Chan, and X. Wang, "Enhancing Drone Operator Competency within the Construction Industry: Assessing Training Needs and Roadmap for Skill Development," Buildings, vol. 14, no. 4, p. 1153, Apr. 2024, doi: 10.3390/buildings14041153.
- A. Tri Novianto, "Strategi Pengambilalihan Flight Information Region Kepulauan Natuna," J. Soc. Res., vol. 1, no. 9, pp. 939–948, Aug. 2022, doi: 10.55324/josr.v1i9.212.
- S. Utomo and A. A. R. Azzqy, "Penguasaan FIR (Flight Information Region) di Kepulauan Riau Terkait dengan DCA (Defense Cooperation Agreement) Indonesia-Singapura," Balcony, vol. 1, no. 1, 2017.
- B. Setiani, "Konsep Kedaulatan Negara di Ruang Udara dan Upaya Penegakan Pelanggaran Kedaulatan oleh Pesawat Udara Asing," J. Konstitusi, vol. 14, no. 3, 2017.
- N. Muhammad, A. Latipulhayat, and G. Pratama, "Realignment of Flight Information Region Agreement Between Indonesia and Singapore 2022: Unraveling Sovereignty and Ratification Issues for Indonesia," Padjadjaran J. Ilmu Huk. (Journal Law), vol. 11, no. 1, pp. 1–25, 2024, doi: 10.22304/pjih.v11n1.a1.
- E. P. Lestari, "The Delegation of State Sovereignty over Air Space in the Implementation of Air Navigation: The Analysis of the Agreement Between Indonesia and Singapore on Management of the Batam and Natuna Flight Information Region," Fiat Justisia Jurnal Ilmu Huk., vol. 11, no. 2, p. 173, Jan. 2018, doi: 10.25041/fiatjustisia.v11no2.813.