Abstract
Background: Sexual violence in schools, including harassment and body shaming, undermines trust in education. Specific Background: Victims often remain silent due to threats and societal stigma, while prevention efforts in schools are underdeveloped. Knowledge Gap: Effective frameworks for addressing sexual violence in educational institutions are lacking despite existing policies. Aim: This study establishes an Anti-Sexual Violence Information Center (Anti KESEL) to educate and equip educators for prevention and response. Results: Training enhanced educators' knowledge and led to the creation of organizational structures and resources for addressing sexual violence. Novelty: A replicable model combining education, technology, and partnerships was introduced to transform schools into safer environments. Implications: The initiative fosters trust and safety in schools, with potential for broader application in combating sexual violence.
Highlights:
- Empowering Educators: Training Pancasila MGMP members equips them to recognize, prevent, and address sexual violence effectively.
- Holistic Approach: Integrating education, facilitation, and technology to establish Anti KESEL as a model framework for schools.
- Community Collaboration: Partnering with stakeholders ensures sustainable support and broader impact in combating sexual violence.
Keywords: Education, Prevention, Sexual Violence, Anti KESEL
Pendahuluan
Kejahatan kekerasan seksual merupakan kejahatan serius yang sudah meresahkan masyarakat [1]. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak (KemenPPPA) mencatat jumlah kasus kekerasan hingga tindak kriminal terhadap anak di Indonesia mencapai 9.645 kasus. Itu terjadi sepanjang Januari sampai Mei 2023. Dari adanya 9.645 kasus kekerasan hingga tindak kriminal pada anak tersebut korban anak perempuan mencapai 8.615 kasus. Sementara jumlah korban anak laki-laki sebanyak 1.832 kasus. Apabila diperinci berdasarkan jenisnya, kasus kekerasan seksual terhadap anak menduduki peringkat pertama dengan 4.280 kasus. Lalu diikuti kekerasan fisik 3.152 kasus dan kekerasan psikis 3.053 kasus [2]. Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAD) Kota Bekasi menyampaikan sepanjang tahun 2023 terdapat 110 kekerasan terhadap anak dan 27 kasus adalah kekerasan seksual, jumlahnya menurun dibanding tahun 2022 sebanyak 42 kasus kekerasan seksual [3]. Agar setiap orang mengetahui perihal ketentuan tentang kekerasan seksual maka Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan guna mencegah tindak kekerasan seksual dengan mengeluarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang diundangkan pada tanggal 9 Mei 2022 oleh Menteri Hukum dan HAM, Yasonna H. Laoly yang mana dengan hadirnya undang-undang ini adalah karena peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan kekerasan seksual belum optimal dalam memberikan pencegahan, perlindungan, akses keadilan, dan pemulihan. Selain itu, peraturan perundang-undangan yang ada saat ini juga belum memenuhi kebutuhan hak korban tindak pidana kekerasan seksual dan belum komprehensif dalam mengatur mengenai hukum acaranya.
Banyaknya usia muda yang melakukan kekerasan seksual adalah salah satunya dengan pengaruh negatif tempat dimana mereka bergaul. Maka perlu adanya solusi mencegah perilaku-perilaku negatif termasuk tindak pidana kekerasan seksual melalui kegiatan positif yang berkelanjutan [4]. Oleh sebab itu, pengabdi memiliki gagasan pembentukan perkumpulan Pusat Informasi Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lembaga Pendidikan sebagai satu wadah perkumpulan yang positif sehingga memiliki motivasi untuk bebas dari kekerasan seksual. Diharapkan mampu menekan terjadinya perilaku kekerasan seksual di kalangan peserta didik. Bersama dengan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Pendidikan Pancasila Kabupaten Bekasi.
Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) merupakan wadah kegiatan profesional bagi para guru mata pelajaran yang sama pada jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA) baik ditingkat sekolah maupun kabupaten/kota [5]. Pemilihan mitra kami berada di Kota Bekasi yang terletak di Provinsi Jawa Barat. Wilayah ini berbatasan dengan DKI Jakarta di sebelah barat, Kabupaten Bogor dan Kota Depok di sebelah selatan dan Kabupaten Bekasi di sebelah timur. Kota Bekasi ini merupakan bagian dari Kawasan metropolitan Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi) yang tercatat pada tahun 2024 memiliki jumlah penduduk mencapai 2.526.133 jiwa. Pemerintah Kota Bekasi memiliki komitmen untuk meningkatkan kolaborasi dalam menangani kekerasan terhadap anak dan Perempuan. Karena Kota Bekasi memiliki potensi sebagai daerah metropolitan, tantangan terkait kekerasan seksual, terutama anak-anak dan perempuan yang memerlukan perhatian dan tindakan serius dari semua pihak terkait untuk menciptakan lingkungan yang lebih aman dan mendukung bagi generasi yang akan datang.
Kekerasan Seksual yang terjadi di masyarakat khususnya di generasi muda menjadi tantangan baru bagi para pendidik di Sekolah Menengah Atas (SMA) untuk memberikan edukasi yang tepat kepada peserta didik mengenai pencegahan dan penanganan kekerasan seksual. Sudah seharusnya satuan lingkungan pendidikan menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi peserta didik untuk menunjang proses belajar mengajar.
1. Analisa
Seringkali kita temui bahwa kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan pendidikan termasuk sekolah masih bersifat tertutup. Hal ini ditelusuri karena banyak anggapan bahwa kekerasan seksual yang terjadi merupakan suatu aib yang harus disimpan oleh korban agar tidak menyebar dan tidak menimbulkan permasalahan yang berkepanjangan antara pelaku dan korban [6]. Namun yang tidak kita sadari bahwa perilaku atau kebiasaan seperti inilah yang menyebabkan kekerasan seksual kian marak terjadi bahkan menimbulkan permasalahan sosial baru di masyarakat khususnya lingkungan pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA). Kekerasan seksual juga sering terjadi pada ruang aman seperti sekolah. Studi kasus pada Mumu siswi SMA X Jakarta menjadi korban kekerasan seksual yang terjadi diruang aman yaitu sekolah, dalam bentuk verbal dan tindakan senonoh, dan dilakukan oleh pihak yang dipercaya yaitu guru. Akibatnya terjadi korban yang mengalami penderitaan secara langsung karena tidak kekerasan seksual yang dilakukan (victimisasi langsung) dan korban mengalami rasa ketidak percayaan pada tempat yang seharusnya sebagai ruang aman bagi korban (victimisasi skunder). Kasus kekerasan seksual lain pada terjadi di Gorontalo yang dilakukan oleh oknum guru terhadap murid disekolah menengah agama, perbuatan tersebut mencerminkan dunia pendidikan sedang mengalami darurat kekerasan seksual.
Dari informasi yang kami dapat dengan mitra, kekerasan seksual yang kerap kali di lingkungan sekolah biasanya timbul karena beberapa faktor yang kemudian apabila terjadi suatu pelecehan atau kekerasan korban memilih untuk diam karena takut atau tidak adanya fasilitas pengaduan sebagai layanan yang siap menerima aduan atau laporan adanya kekerasan seksual. Disamping itu, sanksi yang diberikan terlalu rendah sehingga tidak menimbulkan efek jera.
Bentuk-bentuk kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan pendidikan atau sekolah antara lain seperti catcalling, body shaming, atau bahkan pelecehan seksual secara langsung yang bisa siapa saja menjadi pelaku. Kekerasan seksual dalam jenis apapun sudah seharusnya tidak dapat dinormalisasikan oleh siapapun khususnya pendidik, karena hal tersebut tentunya akan menciptakan rasa ketidakpercayaan peserta didik terhadap lembaga pendidikan.
Umumnya, pelaku kekerasan seksual melakukan perbuatan pelecehan seksual pada korban dengan alasan kedekatan yang kemudian mengancam korban untuk tidak mengadukan perbuatan pelaku. Sehingga dari mendapatnya ancaman itulah banyak korban yang takut dan memilih untuk diam. Ditambah dengan stigma pada masyarakat bahwa tindakan kekerasan seksual terjadi karena adanya peran korban yang bisa saja “menggoda” pelaku.
Dalam hal ini sangat diperlukan upaya pencegahan dan penanganan anti kekerasan di lingkungan sekolah yang salah satunya kami lakukan dengan mengedukasi dan mempasilitasi pembentukan Pusat Informasi Pencegahan dan Penanganan Anti Kekerasan Seksual (ANTI KESEL) sebagai sarana atau pusat pengaduan bagi peserta didik yang mengalami kekerasan seksual oleh pendidik, Tenaga Kependidikan, atau Senior pada Lembaga pendidikan. Para peserta merupakan anggorta MGMP yang secara profesional telah teredukasi pendidikan Pancasial, dan dalam pengabdian ini mendapatan edukasi terkait penanganan dan pencegahan kekerasan seksual sehingga diharapkan dapat mengurangi angka tindak pidana kekerasan seksual yang terjadi pada lembaga pendidikan dan masyarakat khususnya wilayah mitra yaitu Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Pendidikan Pancasila Kabupaten Bekasi.
Adanya layanan Pusat Informasi Pencegahan dan Penanganan Anti KESEL (Kekerasan Seksual) ini juga akan menjadikan pengetahuan baru bagi peserta didik akan pentingnya edukasi pengetahuan seputar bahaya kekerasan seksual yang kemudian dapat diterapkan kepada sekolah-sekolah lain sebagai upaya pengarahan edukasi yang lebih luas lagi.
Sejalan dengan kemajuan teknologi masa kini, tentunya akan ada Tindak pidana kekerasan seksual dengan menggunakan teknologi, menjadi tantangan baru yang harus dihadapi [7]. Begitu juga dengan kasus-kasus kekerasan seksual yang telah terjadi di media sosial, harus diselesaikan dengan upaya preventif dan represif agar pelaku yang telah melakukan tindak kekerasaan seksual mendapat sanksi dan antisipasi agar tindak pidana kekerasan seksual tidak meluas dimasyarakat [8]. Kekerasan seksual yang dapat terjadi dimana saja dan dilakukan oleh siapa saja menimbulkan korban dampak psikologis berlapis, artinya selain trauma yang ditimbulkan dari kekerasan dan pelecehan seksual yang korban alami, korban juga mendapatkan intimidasi dari lingkungan sekolah, maupun masyarakat, adanya perasaan rendah diri atau tidak adanya kepercayaan pada diri sendiri, dan keengganan untuk beraktivitas kembali dalam lingkup sekolah, perasaan malu bertemu teman-teman, bayangan akan masa depan yang tidak pasti karena trauma yang dialami, dan sebagainya. Oleh karena itu, lingkungan pendidikan perlu membuat pusat informasi organisasi sekolah sebagai wadah yang dapat memberikan informasi dan pencegahan dan penanganan dan dapat menjadi support system dan pemberi rasa bagi korban kekerasan seksual, sehingga korban dapat menjalani kembali aktivitas di sekolah sampai penyelesaian studi. Salah satu yang bisa dilakukan dalam lingkungan sekolah adalah membentuk program “Dukungan Sebaya”. Dukungan sebaya merupakan suatu sistem pemberian dan penerimaan bantuan dengan rasa hormat, tanggung jawab bersama, dan kesepakatan bersama yaitu melalui dukungan, persahabatan, empati, saling berbagi, dan saling memberi bantuan [9] Progam dukungan sebaya dapat di lakukan dengan mengadakan kegiatan duta anti kekerasan seksual yang dilakukan oleh sekolah dan diikuti oleh peserta didik. Dengan demikian melalui duta anti kekerasan seksual tingkat pengetahuan siswa meningkat dan pencegahan dapat tercapai, dan penanggulangan dini terhadap korban kekerasan seksual dapat dilakukan secara keterbukaan oleh korban, karena korban mendapat tempat yang nyaman dalam mengungkapkan kejadian kekerasan seksual yang dialaminya.
Harapan pengabdi bertujuan agar tidak banyak lagi ditemukan kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan satuan pendidikan. Dan dalam pengabdian ini kami menggunakan metode studi literatur yang akan mengungkap bahwa pengadaan Pusat Informasi Pencegahan dan Penanganan Anti KESEL (Kekerasan Seksual) yang di dalamnya terdapat duta anti kekerasan seksual sangat penting dan diperlukan, khususnya di Lembaga Pendidikan dimana peserta didik merupakan generasi penerus bangsa dan memiliki masa depan yang lebih baik.
2. Solusi dan Target
Kekerasan seksual yang dapat dilakukan oleh siapa saja dan dimana saja sudah dikategorikan tindak kejahatan luar biasa (ekstraordinary crime). Melalui kegiatan edukasi dan fasilitasi anti kekerasan seksual ini, tentunya lingkungan lembaga pendidikan diharapkan dapat mengaplikasikan bentuk pelayanan anti kekerasan seksual dapat menciptakan rasa aman dan nyaman dalam keberlangsungan proses belajar mengajar. Kekerasan seksual dalam bentuk apapun tidak dapat dinormalisasikan dan harus segera mendapatkan penanganan dari satuan petugas yang telah dipercaya. Adapun target yang akan kami lakukan adalah setelah diberikannya edukasi dan fasilitasi untuk pembentukan Pusat Informasi Pencegahan dan Pelayanan Anti KESEL (Kekerasan Seksual), mitra dapat melanjutkan pelaksanaan pengabdian ini dengan pembentukan susunan organisasi kepengurusan Pusat Informasi Anti KESEL, mengadakan kegiatan Duta Anti Kekerasan seksual (anti kesel), membuka konsultasi hukum yang bekerjasama dengan kepolisian, lembaga bantuan hukum, puskesmas, dan melakukan sosialisasi kepada peserta didik maupun masyarakat disekitar sekolah dengan memberikan kegiatan penyuluhan dan melalui pemberian buku saku (handbook )dan pendampingan kegiatan-kegiatan lain yang berkaitan dengan ekstrakulikuler yang ada ditiap-tiap lembaga pendidikan.
Pencegahan dan penanganan kekerasan seksual, yang terjadi di lembaga pendidikan, tidak dapat diselesaikan pada lembaga pendidikan saja, karena dampak kekerasan seksual tidak saja fisik tetapi juga psikis, oleh karena itu penyelesainnya harus secara komperhensif. Dan hal ini menjadi tanggung jawab kita semua sebagai anggota masyarakat. Trauma korban akibat kekerasan seksual yang dialami harus diberikan kenyamanan dan kepercayaan diri untuk kehidupan dimasa yang akan datang. Pelaku juga diberi sanksi yang berat dan tegas agar tidak menimbulkan korban-koban dan pelaku-pelaku lainnya.
Indikator capaian atau target luaran dari kegiatan pengabdian masyarakat ini diharapkan dapat menambah pengetahuan pada pendidik yang merupakan anggota dari Musyawarah Guru Mata pelajaran khususnya mata pelajaran Pendidikan Pancasila tentang kekerasan seksual dan menjadi lebih waspada terhadap bahaya yang kemungkinan ada di lingkungan sekolah. Untuk mengukur ketercapaian kegiatan tersebut, maka dilakukan evaluasi dalam bentuk pre-test dan post-test secara tertulis, berupa pilihan ganda dengan jumlah 10 butir soal pada saat sebelum dan sesudah kegiatan berlangsung. Setiap peserta yang mengikuti kegiatan ini diwajibkan mengisi pre-test dan post-test yang diberikan telah diberikan diawal dan akhir sesi kegiatan.
Metode
Pengabdian kepada masyarakat Anti KESEL (Kekerasan Seksual) yang diselenggarakan oleh Lembaga Pengabdian Masyarakat Universitas Islam Jakarta atas hibah pengabdian LLDIKTI Kementerian Pendidikan, Budaya, Riset dan Teknologi berdasarkan Nomor 0667/E5/AL.04/2024 tentang pengumuman penerimaan pendanaan Program Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Tahun Anggaran 2024. Pengabdian ini berupa edukasi dan fasilitasi kepada masyarakat mitra khususnya Musyawarah Guru Mata Pelajaran Pendidikan Pancasila Kabupaten Bekasi. Yang secara umum metode yang akan digunakan antara lain; edukasi, pelatihan, penerapan teknologi, pendampingan dan evaluasi, keberlanjutan program yang akan berjalan dengan partisipasi mitra. Dari beberapa jenis metode tersebut berikut merupakan uraian kegiatan yang akan kami lakukan.
1. Edukasi
Memberikan edukasi melalui sosialisasi tentang bahaya kekerasan seksual. Adapun langkah-langkahnya:
a. Menyusun materi sosialisasi yang informatif dan mudah dipahami.
b. Mengadakan pertemuan dengan pengurus MGMP untuk menyampaikan informasi secara langsung.
c. Memberikan materi melalui pemaparan, studi kasus dan diskusi tanya jawab.
2. Pelatihan
Memberikan pelatihan kepada anggota MGMP yang merupakan pendidik pada lembaga pendidikan tentang bahaya kekerasan seksual dengan langkah-langkah sebagai berikut:
a. Menyusun model pelatihan yang komprehensif dan praktis
b. Mengadakan sesi pelatihan yang interaktif dan partisipatif
c. Melakukan demontrasi dan praktik langsung
d. Studi kasus dan diskusi
3. Penerapan Teknologi
a. Membangun dan membentuk organisasi sekolah anti kekerasan seksual serta lembaga pengaduan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual dengan langkah-langkah sebagai berikut :
1) Melakukan pelatihan kepada peserta pelatihan tentang cara membentuk lembaga anti kekerasan seksual sebagai media center pengaduan pencegahan dan penangana kekerasan seksual
2) Membentuk dan memelihara Duta Anti KESEL (Kekerasan Seksual) secara berkala untuk memastikan sosialisasi kekerasan seksual tetap berjalan dengan baik.
4. Pendampingan dan Evaluasi
Mendampingi dan mengevaluasi peserta pelatihan anggota MGMP untuk mengukur keberhasilan program. Dengan langkah-langkah sebagai berikut:
a. Menyediakan bimbingan dan konsultasi
b. Melakukan evaluasi berkala terhadap kemajuan pelatihan yang telah diadakan
5. Keberlanjutan Program
Memastikan keberlangsungan program pengabdian kepada masyarakat setelah kegiatan utama selesai dilaksanakan. Adapun langkah-langkahnya sebagai berikut:
a. Pemanfaatan lembaga pengaduan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual
b. Mengembangkan jejaring kerja sama dengan pihak terkait untuk mendukung keberlanjutan program anti kekerasan seksual
c. Melakukan pemantauan secara periodik terhadap dampak jangka panjang dari program yang telah dilaksanakan
6. Partisipasi Mitra
Demi keberlangsungan dan keberhasilan kegiatan, maka mitra akan berpartisipasi aktif selama kegiatan dengan partisipasi sebagai berikut:
a. Penyedia ruangan sosialisasi, pelatihan dan pendampingan
b. Memfasilitasi peserta pelatihan baik anggota MGMP sebanyak 20 orang
c. Secara aktif memberikan data dan informasi yang diperlukan dalam pelaksanaan kegiatan
d. Mengikuti seluruh proses tahapan kegiatan yang diselenggarakan Tim Pengusul
e. Ikut melakukan promosi dan penyebaran informasi kegiatan
Sasaran kegiatan ini adalah tenaga pendidik, peserta didik serta masyarakat pada umumnya di wilayah Kabupaten Bekasi. Dengan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Pendidikan Pancasila ini menjadi jembatan bagi kami untuk melakukan edukasi dan fasilitasi pembentukan pusat informasi pencegahan dan penanganan Anti KESEL (Kekerasan Seksual).
Hasil dan Pembahasan
A. Edukasi terkait Kekerasan Seksual
Pengabdian ini diawali kegiatan kerjasama Pusat Bantuan Hukum Universitas Islam Jakarta dengan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Pendidikan pancasila se kabupaten Bekasi untuk melakukan kegiatan penyuluhan kepada anggota MGMP dan perwakilan siswa SMA dan sederajat tentang bahaya kekerasan seksual yang diadakan di SMK Bina Prestasi Kabupaten Bekasi. Apresiasi dari kegiatan tersebut, peserta merekomendasikan untuk diberikan edukasi kepada para pendidik tentang tindak Pidana kekerasan seksual.
Edukasi kekerasan seksual diberikan dengan metode psikoedukasi bertujuan untuk memberikan Informasi sebagai pengetahuan dasar kepada peserta, sehingga peserta memiliki pemahaman kognitif terhadap materi yang diberikan, dan memberikan pelatihan sehingga melalui materi tersebut peserta mampu mencegah atau menurunkan risiko terkait tindak pidana kekerasan dan pelecehan seksual. Metode psikoedukasi menyatakan bahwa psikoedukasi seks dapat meningkatkan pengetahuan pelecehan seksual pada anak karena dalam psikoedukasi merupakan proses untuk mengembangkan pengetahuan, mengajarkan, mendidik, dan memberikan informasi penting terkait pelecehan seksual, bentuk, dan cara pencegahan pada anak sekolah.[10]
Kegiatan pengabdian anti kekerasan seksual pelaksanaannya diantaranya dengan memberikan materi tentang :
1. Urgensi Pembentukan Pusat Informasi Anti Kekerasan Seksual.
Dalam materi tersebut disampaikan bagaimana setiap warga negara memiliki hak bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat mausiaseperti yang tertuang didalam pasal 28G ayat (2) amandemen ke 2 UUD 1945. Adapun pasal 6 ayat (1) Permen Dikbud Ristek Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual Di Lingkungan Satuan Pendidikan diantaranya adalah:
a. Kekerasan fisik.
b. Kekerasan psikis.
c. Perundungan.
d. Kekerasan seksual.
e. Diskriminasi dan intoleransi.
f. Kebijakan yang mengandung kekerasan.
g. Bentuk kekerasan lainnya.
Sedangkan pasal 10 ayat (2) terdapat 26 kekerasan seksual diantaranya berupa:
a. Penyampaian ujaran yang mendiskriditkan atau melecehkan tampilan fisik, kondisi tubuh dan/atau identitas gender korban.
b. Perbuatan memperlihatan alat kelamin dengan sengaja.
c. Penyampaian ucapan yang memuta rayuan atau lelucon, dan/atau siulan yang bernuansa seksual.
Pemateri juga menyampaikan bagaimana upaya pencegahan dan penanggulangannya. Upaya pencegahan dari kekerasan seksual dapat berupa:
1. Upaya penyadaran dan menghilangkan kekerasan.
2. Sosialisasi tentang perlindungan anak dan sekolah ramah anak kepada guru, anak, orang tua.
3. Menumbuhkan kesadaran kepada orang tua agar lebih memperhatikan perkembangan anak dan pendidikannya.
4. Pembentukan organisasi siswa yang menampung aspirasi anak.
Sedangkan penanganan bila terjadi kekerasan seksual dapat diatasi melalui:
a) Memberikan bimbingan, arahan, pendampingan.
b) Menemukan win-win solution apabila terjadi konflik.
c) Pembuatan sistem pelaporan terhadap kasus di luar kemampuan sekolah.
Dan Rehabilitasi korban dapat dilakukan:
1. Amankan korban dan pelaku.
2. Pendampingan kepada korban untuk perbaikan psikis dan fisik.
3. Pembuatan sistem pelaporan kepada pihak yang berkompeten.
4. Apabila terjadi trauma maka harus dilakukan rujukan kepada psikolog.
2. Tatacara Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual.
Dalam rangka implementasi Permendikbudristek, Sekretaris Jenderal mengeluarkan peraturan Nomor 17 tahun 2022 tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan pendidikan dengan prinsip-prinsip sebagai berikut: [11]
a. Kepentingan Terbaik bagi Korban
Prinsip kepentingan terbaik bagi korban wajib diterapkan dalam pelaksanaan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lembaga pendidikan. Dalam aspek pencegahan, kepentingan terbaik korban merupakan langka pencegahan berorientasi pada korban yang bertujuan untuk menciptakan ruang aman bagikorban untuk tidak takut melaporkan kasusnya. Pada aspek pencegahan kewajiban lembaga pendidikan adalah:
1. Menyediakan mekanisme pengaduan atau pelapran yang aman bagi orang yang mengalami dan/atau mengetahui adanya kekerasan seksual saat pelaksanaan pendidikan di dalam atau diluar llembbaga pendidikan.
2. Melakukan sosialisasi layanan atau kanal pelaporan kekerasan seksual kepada seluruh peserta didik, pendidik, tenaga kependidikan, dan waga kampus secara rutin.
3. Memasang tanda peringatan dan lokasi tempat pelaporan area bebas dari kekerasan seksual di sekolah sebagai upaya untuk menginternalisasi nilai-nilai anti kekerasan seksual terhadap kekerasan seksual dan meningkatkan kesadaran siswa, guru, dan warga sekolah.
Dalam hal upaya penanganan kepentngan terbaik bagi korban, berorientasi pada pemulihan koran, dalam hal ini persetujuan korban dalam setiap tahapan, melindungi dan memberdayakan serta menjaga kerahasiaan identitas dan keselamatan korba harus diterapkan.
b. Keadilan dan Kesetaraan
Pelaksanaan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lembaga pendidikan, menerapkan nilai keadilan dan kesetaraan.
c. Kesetaraan Hak dan Aksebilitas bagi Disabilitas
d. Akuntabilitas
Dalam melaksanakan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual, lembaga pendidikan harus akuntabel melalui:
1. Penyediaan sumber daya yang memadai untuk penyelenggaraan kegiatan-kegiatan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual.
2. Komunikasi dan koordinasi langkah-langkah atau proses penanganan yangakan diambil kepada koran.
3. Penyampaian laporan tentang kegiatan pencegahan kekerasan seksual dan data serta status penangannan kekerasan seksual yang sudah dijalankan oleh lembaga pendidikan kepada kementrian secara rutin dengan tetap menjaga kerahasiaan identitas koran dan saksi.
4. Penyampaian laporan hasil pemantauan dan evaluasi pimpinan sekolah terhadap pencegahan dan penananan kekerasan seksual kepada kementrian.
e. Independen
Lembaga pendidikan bertanggung jawab melakukan upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual secara independen, bebas dari pengaruh ataupun tekanan dari pihak manapun dengan:
1. Membangun sistem penanganan yang bebas dari pengaruh atau tekanan apapun.
2. Bertindak profesional, atau tidak terpengaruh oleh konflik kepentingan.
3. Mendorong sistem pelayanan terpadu yang berorientasi pada kepentingan terbaik korban.
4. Memberi perlindungan bagi korban, saksi, dan pendamping koban dari berbagai bentuk intimidasi.
f. Kehati-hatian
Lembaga pendidikan harus menerapkan prinsip kehati-hatian dalam merancang kegiatan kampanye dan sosialisasi sebagai bagian dar upaya pencegahan. Tujuannya adalah supaya narasi yang terbangun bukanlah pembatasan pada ruag gerak dan ekspresi siswa, melainkan pada peningkatan kolaborasi pencegahan kekerasan seksual di lembaga pendidikan.
g. Konsisten
Pelaksanaan pencegahan dann penanganan kekerasan seksual yang konsisten secara sistematis dan rutin.
h. Jaminan Ketidakberulangan
Dalam penangan setiap laporan kekerasan seksual lembaga pendidikan wajib:
1. Memberikan sanksi yang adil dan proporsional kepada setiap pelaku kekerasan seksual dan dapat memberikan efek jera.
2. Memberikan sanksi tegas tanpa memandang status dan kedudukan pelaku.
3. Melakukan langkah-langka peingkatan keamanan sekolah dari kekerasan seksual untuk mencegah keberulangan.
4. Memantau, mengevaluasi, serta turut meningkatkan pelaksanaan pencegahan dan penanggulangan kekerasan seksual.
3. Pencegahan Kekerasan Seksual
Dalam rangka pencegahan kekerasan seksual, lembaga pendidikan wajib melakukan:
1. Pembelajaran
Pencegahan melalui pembelajaran dengan mewajibkan kepada siswa dan pendidik dan tenaga kependidikan untuk mempelajari panduan pencegahan kekerasan seksual.
2. Penguatan Tata Kelola
Pencegahan dengan penguatan tata kelola dengan merumuskan hal-hal:
a. Merumuskan Kebijakan yang mendukung pencegaha dan penanganan kekerasan seksual di sekolah.
b. Membentuk satuan tugas penanganan dan pencegahan kekerasan seksual.
c. Membagun komunikasi informasi dalam bentuk diskusi terkait upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual.
d. Komunikasi dan kordinasi seluruh pihak dan menjunjung tinggi kode etik yang berlaku di lembaga pendidikan.
e. Panduan interaksi dalam pelaksanaan kegiatan di lembaga pendidikan.
f. Interaksi secara daring.
4. Penanganan Kekerasan Seksual
Dalam Penanganan kekerasan seksual, Lembaga pendidikan melakukan :
1. Pendampingan
Kegiatan pendampingan dilakukan setelah adanya laporan dugaan terjadinyakekerasan seksual dari koran, saksi, maupun pendamping dengan beberapa bentuk akses:
a. Konseling atau Psikolog.
b. Layanan kesehatan
c. Bantuan hukum.
d. Advokasi
e. Bimbingan sosial dan rohani oleh pemuka agama.
2. Pelindungan
Pelindungan diberikan sejak menerima laporan dari korban, saksi dari sebuah laporan dugaan adanya kekerasan seksual. Perlindungan diberikan dalam hal ; [12]
a. jaminan keberlangsungan penyelesaian pendidikan jika korban siswa.
b. Jaminan keberkanjutan sebagai pendidik atau tenaga kependidikan dalam hal pemberhentian atau mutasi, jika korban pendidik atau tenaga kependidikan.
c. Jaminan ancamman fisik atau non fisk atas laporan kepada penegak hukum.
d. Perindungan kerahasissan terhadap identitas.
e. Informasi terhadap hak dan fasilitas perlindungan.
f. Akses informasi penyelenggaraan perlindungan.
g. Perlindungan dari sikap aparat penegak hukum.
h. Perlindungan dari tuntutan pidana.
i. Perlindungan dari gugatan perdata.
j. Penyediaan rumah aman.
k. Perlindungan darikesaksian yang diberikan.
3. Pengenaan Sanksi Administratif
Sanksi Administratif dapat dijatuhkan kepada terlapor berupa:
a. Pemberian sanksi kepada pelaku/terlapor.
b. Pemberian sanksi kepada pimpinan lembaga pendidikan.
c. Pemberian sanksi kepada Lembaga pendidikan.
4. Pemulihan Korban
Pemulihankorban diberikan atas persetujuan korban, dalam bentuk:
a. Tindakan medis.
b. Terapi fisik.
c. Terapi psikologis.
d. Bimbingan sosial dan rohani.
Dalam Pengabdian ini, dibekali pula Pelatihan kepada peserta yang merupakan anggota MGMP Pendidikan Pancasila tentang bahaya kekerasan seksual dengan langkah-langkah:
1. Menyusun model pelatihan yang komprehensif dan praktis.
Dalam hal ini, peserta diberikan bahan-bahan membuat model pencegahan dan penanganan kekerasan seksual dan bagaimana penyelesaiannya secara komprehensif untuk membuat kerjasama pihak terkait.
2. Mengadakan sesi pelatihan yang interaktif dan partisipatif
Pada sesi ini, diadakan simulasi bagaimana pencegahan dan penanganan jika terjadi tindak pidana kekerasan seksual, perlu ada kerjasama pihak sekolah dengan aparat keamanan setempat, Rumah sakit/atau puskesmas, sehingga korban dapat segera teratasi.
3. Melakukan demontrasi dan praktik langsung
Peserta melakukan Role play secara efektif untuk meningkatkan interaksi sosial siswa.
4. Studi kasus dan diskusi.
Dalam studi kasus, pemateri menyampaikan fenomena-fenomena yang telah terjadi dimasyarakat dan diceritakan oleh peserta, selanjutnya menjadi bahan diskusi antar peserta dan tim pengabdian dalam upaya pemecahan masalah.
Penerapan teknologi dalam pengabdian ini, berupa membentuk organisasi sekolah anti kekerasan seksual serta lembaga Informasi dan pengaduan pencegahan dan penanganan Anti kekerasan seksual yang menggunakan fasilitas yang memadai dengan pemahaman dan informasi merujuk pada Handbook yang telah dibuat sebagai pedoman mitra dalam proses pelaksanaan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di wilayah mitra.
Setelah penyampaian materi, kegiatan dilanjutkan dengan FGD, forum ini diadakan untuk berdiskusi tim pengabdian terkait kasus kekerasan dan pelecehan seksual. Berdasarkan hasil FGD, tim pengabdian mendapatkan berbagai informasi terkait fenomena-fenomena pelecehan seksual yang terjadi baik dilingkungan lembaga pendidikan, maupun diluar lembaga pendidikan. Kasus-kasus yang terjadi diluar lembaga pendidikan terhadap kekerasan seksual, lebih memprihatinkan karena umumnya dilakukan oleh orang terdekat korban, dengan tingkat ekonomi yang rendah, dan usia yang sangat muda. Dan penanganan yang dilakukan, sering merugikan korban, apalagi jika sampai terjadi kehamilan pada korban, pelaku dipaksa untuk menikahi korban dan setelah pernikahan dilakukan pelaku meninggalkan korban dan pada akhirnya menimbulkan permasalahan baru bagi korban karena lagi-lagi korban harus memelihara anak dari kehamilan yang tidak diinginkan tersebut. Dalam Forum FGD pengabdi mendapatkan data yang lebih mendalam, informatif, dan bernilai, untuk menindaklanjuti kegiatan pengabdian yang lebih baik lagi dan mendiskusikan cara yang lebih baik dan efektif untuk mencegah terjadinya kekerasan seksual yag terjadi dimasyarakat. Selain itu, metode FGD dapat mengumpulkan data yang lebih banyak dengan waktu yang singkat dan memperoleh informasi tentang fenomena-fenomena yang diperoleh dari peserta diantaranya, bahwa korban pelecehan seksual yang terjadi di masyarakat, tidak selalu dialami oleh perempuan, tetapi bisa saja terjadi pada laki-laki. Selain itu, media elektronik dalam memberitakan sebuah kasus kekerasan seksual cenderung memberitakan alur dan bentuk kekerasan seksual yang dialami korban dibanding memberitakan sejauh mana proses penanganan hukum dan psikologis bagi korban, dan masih banyak fenomena lainnya. Fenomenafenomena yang telah diceritakan oleh peserta selanjutnya menjadi bahan diskusi antar peserta dan tim pengabdian dalam upaya pemecahan masalah. Dalam FGD juga membahas tentang bagaimana upaya pencegahan kekerasan seksual secara efektif, dan dihasilkan kesepakatan untuk membentuk buku panduan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan pendidikan yang materi dalam buku panduan tersebut didiskusikan dalam forum FGD. Adapun buku panduan tersebut berisi tentang, Pengertian tentang kekerasan seksual, jenis-jeis kekerasan seksual, prinsip pencegahan dan penangan kekerasan seksual, bagaimana pencegahan dan penanganan kekerasan seksual, pembentukan satuan tugas pencegahan dan penangan kekerasan seksual.
B. Partisipasi Mitra
Keberlangsungan dan keberhasilan kegiatan pengabdian, salah satunya adalah peran aktif mitra dalam memfasilitasi dengan: [13]
1. Penyediaan Tempat Pelatihan
Tempat Pelatihan mengguakan lokasi di SMAN 6 Tambun Selatan. Sekolah ini di jadikan sebagai lokasipelatihan dan sosialisasi anti kekerasan seksual karena SMAN 6 merupakan sekolah unggul yang berakreditasi A yang terletak di Jl. Jatimulya Raya Rt. 01 Rw.13 Kel. Jatimulya Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, merupakan sekolah negeri yang telah diakui kualitasnya dengan predikat akreditasi A. Dengan luas tanah mencapai 5.269 meter persegi, SMAN 6 Tambun Selatan menyediakan lingkungan belajar yang nyaman dan memadai bagi para siswanya. Sekolah ini didirikan pada tanggal 8 Januari 2014 berdasarkan SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 421/Kep.68-Disdik/2014. SMAN 6 Tambun Selatan menyelenggarakan pendidikan tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) dengan sistem sehari penuh selama lima hari dalam seminggu. SMAN 6 Tambun Selatan memiliki komitmen untuk mencetak generasi muda yang berakhlak mulia, cerdas, dan berdaya saing. Hal ini dibuktikan dengan program-program unggulan yang ditawarkan, seperti kegiatan ekstrakurikuler yang beragam, pembelajaran berbasis teknologi, serta program pengembangan karakter siswa.
2. Peserta Pelatihan
Peserta pelatihan adalah anggota MGMP Pendidikan Pancasila Kabupaten Bekasi.
MGMP atau Musyawarah Guru Mata pelajaran merupakan sebuah lembaga atau wadah yang bersifat profesional. MGMP beranggotakan guru mata pelajaran pada jenjang pendidikan SMP/MTs, SMPLB/MTsLB, SMA/MA, SMALB/MALB yang berada dalam satu wilayah. MGMP juga dijadikan sebagai sarana bagi guru dalam berkomunikasi, belajar, da bertukar pikiran, serta pengalaman untuk meningkatkan kinerja guru selakuk praktisi pelaku perubahan reorientasi proses pembelajaran di dalam kelas. Organisasi MGMP berada dibawah Dinas Pendidikan tingkat kota/kabupaten di seluruh Indonesia.
3. Memberikan Data dan Informasi
Dalam proses pelatihan, mitra berperan aktif memberikan data dan informasi tentang kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi pada masing-masing sekolah tempat peserta berkegiatan melakukan pengajaran di masing-masing sekolah. Dapat diperoleh informasi bahwa masih banyak sekolah dan luar sekolah, terdapat kasus kekerasan seksual dan penanganannya hanya sebatas pada penyelesaian secara kekeluargaan. Dan korbban tidak dapat melanjutkan pendidikan karena menjadi bahan perkunjingan di linkungan sekolah dan merasa tidak percaya diri.
4. Keikutsertaan sebagai Peserta Pelatihan.
MGMP sebagai organisasi profesi, memiliki beberapa kegiatan diantaranya adalah:
a. Kegiatan rutin.
b. Kegiatan penngembangan.
c. Kegiatan Penunjang.
Dalam hal kegiatan pengabdian ini, peserta sebagai anggota MGMP mampu meningkatkan kemampuan pengetahuan dan keterampilan yang berkaitan dengan materi tambahan seperti kegiatan upaya pencegahan dan penanggulangan kekerasan seksual.
5. Berperan dalam Melakukan Promosi dan Penyebaran Informasi.
Di pelopori MGMP Pendidikan Pancasila, setelah pelatihan selesai, pengurus MGMP Pendidikan Pancasila melakukan pembentukan susunan kepengurusan pusat informasi anti kekerasan seksual sebagai wujud apresiasi MGMP dalam mendukung kegiatan anti kekerasan seksual khususnya di ligkungan lembaga pendidikan.
C. Pendampingan dan Evaluasi
Untuk mengetahui tingkat keberhasilan dan kemanfaatan dari pengabdian masyarakat yang dilakukan pada organisasi MGMP di lingungan pendidikan, maka pengabdi melakukan pendampingan untuk kemanfaatan dari pengabdian tentang evaluasi dan fasilitasi pembentukan Pusat Informasi anti kekerasan seksual (Anti Kesel) dengan terus berkomunikasi kepada pengurus MGMP dan penyusunan kepengurusan PusatInpormasi Anti Kekerasan seksual [14].
Selain pendampingan, evaluasi dilakukan untuk melihat kemanfaatan dari materi yang telah disampaikan. Evaluasi melalui pengisian post-test oleh peserta. Hasil pengisian pre-test dan post-test peserta, selanjutnya dianalisis. Hasil analisis menunjukan adanya perbedaan yang signifikan terhadap pengetahuan peserta terkait kekerasan seksual, peningkatan sebesar 89 % terhadap pengetahuan peserta terkait upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual.
Pengetahuan menjadi point penting untuk dapat melakukan pencegahan dan penanganan terhadap kekerasan seksual. Edukasi menjadi salah satu bentuk intervensi dalam meningkatkan pengetahuan individu, sehingga mampu mencegah hal-hal yang berdampak terhadap kesehatan mental, seperti kasus kekerasan seksual yang dapat berdampak pada keadaan depresi, trauma atau bahkan bunuh diri,.
D. Keberlanjutan Program
Memastikan keberlangsungan program pengabdian kepada masyarakat setelah kegiatan utama selesai dilaksanakan dengan melakukan langkah-langkahnya sebagai berikut: [15]
1. Pemanfaatan Pusat Informasi Anti Kekerasan seksual (Anti Kesel) yang telah dibentuk.
2. Mengembangkan jejaring kerja sama dengan pihak terkait untuk mendukung keberlanjutan program anti kekerasan seksual, diantaranya kerjasama dengan kepolisian sesuai tingkatannya, Rumah Sakit/Puskesmas, lembaga-lembaga sosial seperti Lembaga Bantuan Hukum dan lain sebagainya.
3. Melakukan pemantauan secara periodik terhadap dampak jangka panjang dari program yang telah dilaksanakan.
4. Optimalisasi dari kegiatan yang telah dilakukan berupa efektifitas pusat informasi anti kerasan seksual (Anti Kesel)
Simpulan
Kegiatan Pengabdian dilaksanakan di Aula SMAN 6 Bekasi Tambun Selatan, mendapat apresiasi dan dukungan dari anggota MGMP SMA Pendidikan Pancasila Kabupaten Bekasi. Hader sebanyak 27 anggota MGMP, meski batasan kegiatan peserta pelatihan sebanyak 20 orang. Pelatihan berjalan lancar dan dilanjutkandengan diskusi dan tanya jawab. Sebelum dibuat materi tentang pedoman anti kekerasan seksual, diadakan forum FGD untuk mendapatkan masukan dan informasi serta mencari kesimpulan guna terbentknya matei pencegahan dan penanggulangan kekerasan seksual pada masyarakat berupa buku saku. MGPM sebagai Organisasi profesi guru mata pelajaran dalam hal pengabdian ini bekerjasaa dengan MGMP Pendidikan Pancasila, secara nyatamendukung terbentuknya Pusat Informasi apencegahan dan Penanggulangan Kekerasan seksual (Anti Kesel) dengan harapan Pusat Informasi anti kesel ini akan diikuti pembentukannya dimasuk-masing sekolah ditempat para anggota MGMP bertugas. Sebagai bentuk fasilitas real, MGMP SMA Pendidikan Pancasila, mendapatkan bantuan berupa satu unit laptop untuk kelancaran administrasi dan pelaporan kegiatan Pusat Informasi Anti Kekersan Seksual dan dua buah handphone sebagai alat komunikasi guna kelancaran kegiatan pusat informasi dimaksud. Dan alat sosialisasi lainnya berupa handbook, untuk mempermudah masyarakat mengetahui bagaimana proses penyelesaian pencegahan dan penanganan terhadap kekerasan seksual, yang keseluruhan kegiatan Pelatihan dan Fasilitasi dibiayai oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Direktorat Riset, Teknologi dan Pengabdian Masyarakat tahun anggaran 2024.
References
- N. Nurhayati, A. Fauzia, F. Hamdani, and N. binti A. Ghani, "Seeking Substantive Justice: The Progressive Spirit of Law on Sexual Violence Crimes," Jurnal Dinamika Hukum, vol. 23, no. 3, pp. 556–572, 2023, doi: 10.20884/1.jdh.2023.23.3.3749.
- S. F. Alpitasari, "4,280 Kasus Kekerasan Seksual Terjadi di Indonesia di Sepanjang 2023," Media Indonesia, 2023. [Online]. Available: https://mediaindonesia.com/politik-dan-hukum/586540/4280-kasus-kekerasan-seksual-terjadi-di-indonesia-di-sepanjang-2023
- R. P. Jati, "Kekerasan Seksual terhadap Anak di Bekasi Masih Mendominasi," Kompas, 2023. [Online]. Available: https://www.kompas.id/baca/metro/2023/11/03/kekerasan-seksual-pada-anak-di-bekasi-masih-mendominasi
- A. Amri et al., "Kekerasan Seksual pada Perempuan di Daerah Tangerang," Pendidikan Karakter Unggul, vol. 1, no. 4, 2023.
- Y. Marlina, "Pengaruh Media Sosial dalam Pemahaman Pendidikan Seksual Peserta Didik Sekolah Menengah Atas di Pare, Kediri; Perspektif Guru dan Peserta Didik," Jurnal Inovasi Pendidikan MH Thamrin, vol. 6, no. 1, pp. 66–73, 2022.
- Kementerian PPPA, "KemenPPPA Dukung Implementasi Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi," Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia, 2022. [Online]. Available: www.kemenpppa.go.id
- T. Nabila, "Transformasi Hukum bagi Perlindungan Perempuan di Indonesia Pasca Sahnya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS)," Lembaga Bantuan Hukum Pengayoman, 2022. [Online]. Available: https://lbhpengayoman.unpar.ac.id/transformasi-hukum-bagi-perlindungan-perempuan-di-indonesia-pasca-sahnya-undang-undang-nomor-12-tahun-2022-tentang-tindak-pidana-kekerasan-seksual-uu-tpks/
- A. Rahmi, "Urgensi Perlindungan Bagi Korban Kekerasan Seksual dalam Sistem Peradilan Pidana Terpadu Berkeadilan Gender," Jurnal Mercatoria, vol. 11, no. 1, pp. 37–60, 2018.
- S. Mead, D. Hilton, and L. Curtis, "Peer Support: A Theoretical Perspective," Psychiatric Rehabilitation Journal, vol. 25, no. 2, pp. 134–141, 2001, doi: 10.1037/h0095032.
- A. Sulistyowati, A. Matulessy, and H. Pratikto, "Psikoedukasi Seks: Meningkatkan Pengetahuan untuk Mencegah Pelecehan Seksual pada Anak Prasekolah," Jurnal Ilmiah Psikologi Terapan, vol. 6, no. 1, pp. 17–27, 2018, doi: 10.22219/jipt.v6i1.5171.
- K. U. Noer et al., Membongkar Kekerasan Seksual di Pendidikan Tinggi: Pemikiran Awal. Jakarta, Indonesia: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2022.
- P. N. Utami, "Pencegahan Kekerasan terhadap Anak dalam Perspektif Hak atas Rasa Aman di Nusa Tenggara Barat," Jurnal HAM, vol. 9, no. 1, pp. 1–17, 2018.
- S. Nurbayani and S. Wahyuni, Victim Blaming in Rape Culture: Narasi Pemakluman Kekerasan Seksual di Lingkungan Kampus. Malang, Indonesia: Unisma Press, 2023.
- M. Akbar et al., "Upaya Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak dalam Mengatasi Kekerasan Seksual pada Anak di Kota Banda Aceh," Ph.D. dissertation, UIN Ar-Raniry, Banda Aceh, Indonesia, 2020.
- A. Azzahra et al., "Peran Guru BK dan PAI dalam Menyikapi Kasus Bullying di SMPN 08 Palembang," Jurnal Nakula: Pusat Ilmu Pendidikan, Bahasa dan Ilmu Sosial, vol. 2, no. 1, pp. 41–53, 2024.