Abstract
General Background: The juvenile justice system aims to protect children in conflict with the law, emphasizing restorative justice. Specific Background: In Indonesia, legal inconsistencies and weak inter-agency coordination hinder effective child offender rehabilitation. Knowledge Gap: There is limited research on optimizing synergy between law enforcement and child protection agencies in handling juvenile cases. Aims: This study explores mechanisms for enhancing collaboration in implementing diversion and restorative justice for child offenders. Results: Effective coordination improves outcomes by ensuring legal protections throughout the judicial process, supported by community-based restorative practices. Novelty: The research offers a model for integrating legal and social institutions to bridge gaps in policy and practice. Implications: Findings suggest policy refinements, enhanced law enforcement training, and integrated systems for protecting children’s rights. This study highlights collaborative approaches as vital for achieving justice and rehabilitation.
Highlights:
- Restorative Justice Emphasis: Prioritizes rehabilitation and reconciliation over punitive measures for child offenders.
- Inter-agency Synergy: Highlights the importance of coordinated efforts between law enforcement and child protection agencies.
- Policy Implications: Advocates for enhanced legal frameworks, training, and integrated systems to uphold children's rights.
Keywords: Law Enforcement, Child Protection Institutions, Criminal Offenders
Pendahuluan
Anak merupakan subjek hukum sekaligus aset bangsa yang harus tumbuh dan berkembang menjadi generasi berpotensi, berperan aktif, serta mampu menikmati hasil pembangunan nasional demi tercapainya tujuan negara sebagaimana diamanatkan dalam alinea ke-IV Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Oleh karena itu, negara memiliki kewajiban memberikan perlindungan kepada anak, khususnya dalam masa pertumbuhan yang menjadi fase pencarian jati diri mereka, terlebih apabila mereka menghadapi konflik dengan hukum. Dalam rangka menjaga ketertiban sosial, diperlukan sistem peradilan pidana anak yang mampu memberikan perlindungan dan rasa keadilan terhadap anak, sehingga mereka tetap memiliki harapan untuk masa depan tanpa harus terhambat oleh trauma dari perlakuan hukum yang berlebihan. Secara filosofis, anak sebagai bagian dari generasi muda memiliki peran strategis dan karakteristik khusus yang membutuhkan pembinaan serta perlindungan yang sesuai dengan kebutuhannya.[1]
Sebagaimana dijelaskan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA), anak merupakan bagian integral dari keberlangsungan hidup manusia dan bangsa. Dalam konstitusi Indonesia, ditegaskan bahwa negara menjamin hak setiap anak untuk hidup, tumbuh, berkembang, serta terlindungi dari kekerasan dan diskriminasi. Oleh sebab itu, kepentingan terbaik bagi anak perlu dihayati sebagai kepentingan terbaik bagi umat manusia. Sebagai konsekuensi dari Pasal 28B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, kebijakan pemerintah harus bertujuan untuk melindungi anak melalui regulasi yang efektif dan implementatif.[2]
Dalam era modern, anak menghadapi berbagai tantangan akibat dampak negatif dari pesatnya pembangunan, arus globalisasi di bidang komunikasi dan informasi, serta perubahan gaya hidup yang dapat membawa pengaruh buruk terhadap nilai dan perilaku anak. Faktor-faktor eksternal tersebut sering menjadi penyebab penyimpangan perilaku dan tindakan melawan hukum pada anak. Data dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan menunjukkan bahwa tingkat kriminalitas dan penyalahgunaan narkotika pada anak terus meningkat. Dengan memperhatikan karakteristik khusus anak, perkara hukum yang melibatkan anak wajib disidangkan di pengadilan pidana anak dengan pendampingan oleh pejabat yang memahami isu anak. Selain itu, sebelum memasuki proses peradilan, pendekatan keadilan restoratif harus diupayakan oleh aparat penegak hukum, keluarga, dan masyarakat sebagai penyelesaian alternatif di luar pengadilan.[3][4]
Prinsip perlindungan hukum terhadap anak harus sesuai dengan Konvensi Hak-Hak Anak (Convention on the Rights of the Child) yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990. Konvensi ini menyebutkan bahwa anak adalah individu berusia di bawah 18 tahun, kecuali undang-undang yang berlaku menetapkan usia dewasa lebih awal. Komitmen internasional terhadap perlindungan anak juga tercermin dalam protokol tambahan seperti Optional Protocol to the Convention on the Rights of the Child on the Sale of Children, Child Prostitution and Child Pornography dan Optional Protocol to the Convention on the Rights of the Child on the Involvement of Children in Armed Conflict. Dalam konteks nasional, perlindungan hak anak secara hukum dan sosial harus diwujudkan melalui pendekatan yang manusiawi dan adil.[2][4]
Moch Faisal Salam mendefinisikan perlindungan anak sebagai upaya menciptakan kondisi yang memungkinkan pelaksanaan hak dan kewajiban anak secara manusiawi, yang merupakan wujud keadilan dalam masyarakat. Perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh anak harus dipahami dalam konteks karakteristik spesifik mereka, baik sebagai pelaku kejahatan mandiri maupun korban manipulasi pihak lain. Hakim dan aparat penegak hukum memiliki kewajiban mempertimbangkan faktor-faktor tersebut dalam proses peradilan. Penerapan diversi dalam sistem peradilan pidana anak bertujuan untuk memprioritaskan keadilan restoratif dengan penyelesaian yang tidak hanya berorientasi pada hukuman, tetapi juga pada pemulihan kondisi anak secara sosial dan psikologis. Pendekatan ini sejalan dengan filosofi lahirnya UU SPPA, yang menekankan pentingnya pemenuhan hak anak dan upaya pencegahan melalui sistem yang terintegrasi.[4] Tipe penelitian adalah penelitian normative yang merupakan proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi.Penelitian menggunakan pendekatan perundang-undangan (Statute Approach) [6].
Pembahasan
Lembaga Hukum Dalam Penanganan Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana
Kenakalan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah perbuatan nakal atau tingkah laku yang secara ringan melanggar norma dalam masyarakat, sementara anak diartikan sebagai manusia yang masih kecil. Kartini Kartono mendefinisikan Juvenile Delinquency sebagai perilaku jahat atau kenakalan anak muda yang merupakan gejala sosial akibat pengabaian sehingga mereka mengembangkan perilaku menyimpang. Romli Atmasasmita menyebut Juvenile Delinquency sebagai setiap perbuatan anak di bawah 18 tahun yang belum menikah dan melanggar norma hukum serta dapat merusak perkembangan pribadinya. Berdasarkan definisi ini, Juvenile Delinquency merupakan kenakalan yang dilakukan oleh anak yang belum dewasa, di mana perbuatannya dianggap melanggar hukum. Anak yang berhadapan dengan hukum memiliki perlakuan khusus dalam penerapan hukum pidana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA).[2]
UU SPPA mendefinisikan sistem peradilan pidana anak sebagai keseluruhan proses penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum, mulai dari tahap penyelidikan hingga pembimbingan setelah menjalani pidana. Dalam undang-undang tersebut, diversi dirumuskan sebagai pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Istilah ini berasal dari kata diversion dalam bahasa Inggris yang diserap menjadi diversi. Konsep ini pertama kali diperkenalkan dalam seminar nasional di Universitas Padjadjaran pada tahun 1996, yang merumuskan diversi sebagai kemungkinan hakim untuk menghentikan atau mengalihkan pemeriksaan perkara anak selama proses persidangan. Penerapan diversi bertujuan untuk memberikan penyelesaian yang lebih manusiawi dan melibatkan berbagai pihak terkait, seperti korban, pelaku, dan mediator.[2]
Kasus konkret yang menunjukkan keberhasilan diversi adalah kasus kekerasan terhadap anak korban AH (17 tahun) oleh anak pelaku JA (15 tahun) dan MD (16 tahun) di Ambon pada tahun 2020. Diversi dilakukan di tingkat penyidik dengan melibatkan mediator dan berbagai pihak seperti pembimbing kemasyarakatan, petugas sosial, dan tokoh masyarakat. Hasil kesepakatan meliputi pembayaran biaya pengobatan sebesar Rp2.000.000 oleh orang tua pelaku, pembuatan surat pernyataan untuk tidak mengulangi perbuatan, dan pembinaan selama dua bulan di Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS). Diversi ini menunjukkan implementasi keadilan restoratif dengan fokus pada pemulihan keadaan semula, bukan pembalasan.[7]
Konsep keadilan restoratif dalam UU SPPA didefinisikan sebagai penyelesaian perkara pidana dengan melibatkan pelaku, korban, dan pihak lain untuk mencari solusi yang adil dan menekankan pemulihan. Diversi, sebagai bagian dari keadilan restoratif, memiliki tujuan utama yaitu mencapai perdamaian antara korban dan pelaku serta menyelesaikan perkara di luar pengadilan. Diversi juga dapat dipandang sebagai bentuk "mediasi penal" yang dilakukan oleh mediator formal maupun independen, dan dapat diterapkan pada setiap tahap proses peradilan. Penerapan diversi ini menjadi model efektif dalam kasus pidana anak, mengingat pendekatan ini berfokus pada rehabilitasi dan pemulihan hak anak, baik sebagai pelaku maupun korban.[2][7]
Penyidikan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dilakukan oleh penyidik khusus yang telah ditetapkan berdasarkan Keputusan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia atau pejabat lain yang berwenang. Penyidik khusus anak harus memenuhi persyaratan tertentu, seperti pengalaman sebagai penyidik, minat, dedikasi terhadap isu anak, serta pelatihan teknis terkait peradilan anak. Pasal 29 UU SPPA mengamanatkan bahwa penyidik wajib mengupayakan diversi dalam waktu paling lama tujuh hari setelah penyidikan dimulai. Diversi ini bertujuan untuk menyelesaikan perkara di luar jalur peradilan pidana, melalui pendekatan yang mengedepankan dialog dan pemulihan. Proses ini juga mencerminkan karakteristik unik Sistem Hukum Pancasila yang memungkinkan penyelesaian perkara secara non-litigasi.[8]
Dalam melaksanakan penyidikan, penyidik diwajibkan membuat laporan yang mencakup latar belakang anak, alasan melakukan kenakalan, serta hasil wawancara dengan anak yang dilakukan secara halus dan sabar. Berdasarkan Pasal 12 Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2015, penyidik harus menyampaikan pemberitahuan dimulainya penyidikan kepada Penuntut Umum dalam waktu 24 jam setelah surat perintah penyidikan diterbitkan. Selain itu, penyidik harus berkoordinasi dengan Penuntut Umum dalam proses diversi. Dalam waktu yang sama, penyidik juga wajib mengundang pembimbing kemasyarakatan untuk mendampingi anak serta melakukan penelitian kemasyarakatan, dan pekerja sosial profesional untuk menyusun laporan sosial terhadap anak korban dan/atau saksi.[9]
Pasal 13 Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2015 menyatakan bahwa pembimbing kemasyarakatan dan pekerja sosial profesional wajib menyampaikan hasil penelitian dan laporan sosial dalam waktu tiga hari sejak permintaan diajukan. Pasal 14 lebih lanjut mengatur bahwa dalam waktu tujuh hari, penyidik harus menawarkan penyelesaian melalui diversi kepada anak, orang tua, dan korban. Jika para pihak sepakat, musyawarah diversi dijadwalkan oleh penyidik. Hasil musyawarah ini dituangkan dalam surat kesepakatan diversi yang ditandatangani oleh semua pihak terkait. Proses ini dicatat secara resmi dalam berita acara diversi, sebagaimana diatur dalam Pasal 28 Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2015.[9]
Jika diversi gagal dilaksanakan dalam batas waktu yang ditentukan, pembimbing kemasyarakatan harus melaporkannya kepada atasan penyidik untuk diteruskan ke proses peradilan pidana. Penyidik wajib mengirimkan berkas perkara kepada Penuntut Umum dalam waktu tujuh hari setelah menerima laporan tersebut. Dalam hal ini, proses penanganan perkara dilanjutkan dengan tindakan paksa seperti penangkapan atau penahanan. Penangkapan terhadap anak tidak boleh melebihi 24 jam dan anak harus ditempatkan di ruang pelayanan khusus anak. Jika fasilitas tersebut tidak tersedia, anak dapat dititipkan di Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS). Penahanan anak dilakukan hanya jika diperlukan untuk pemeriksaan, dengan mempertimbangkan kepentingan terbaik bagi anak. Tempat penahanan anak juga harus dipisahkan dari tahanan dewasa untuk mencegah dampak negatif dari interaksi dengan narapidana lain.[9]
Proses berikutnya adalah tahap penuntutan, yang dilakukan oleh Penuntut Umum anak yang ditetapkan melalui Keputusan Jaksa Agung atau pejabat lain yang ditunjuk. Pasal 42 UU SPPA menyatakan bahwa Penuntut Umum wajib mengupayakan diversi dalam waktu tujuh hari setelah menerima berkas perkara dari penyidik. Diversi pada tahap ini mengikuti prosedur serupa dengan yang dilakukan pada tahap penyidikan, dengan melibatkan para pihak terkait untuk mencapai kesepakatan. Jika diversi berhasil, proses pidana dihentikan, dan hasilnya disampaikan ke pengadilan untuk mendapatkan penetapan resmi.[10]
Pada tahap persidangan, kasus anak diperiksa oleh hakim tunggal yang telah ditetapkan oleh ketua pengadilan negeri. Hakim memiliki kewajiban untuk mengupayakan diversi dalam waktu tujuh hari setelah ditunjuk. Jika diversi tercapai, pengadilan menetapkan kesepakatan sebagai keputusan yang sah. Namun, apabila diversi gagal, hakim melanjutkan proses persidangan dengan tetap memperhatikan prinsip keadilan restoratif dan perlindungan anak.[10]
Anak yang dijatuhi hukuman pidana penjara ditempatkan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA). Sesuai Pasal 85 UU SPPA, LPKA bertanggung jawab memberikan pembinaan, pendidikan, pelatihan, dan pemenuhan hak lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Pembimbing kemasyarakatan melakukan penelitian masyarakat untuk menentukan program pendidikan dan pembinaan yang sesuai bagi anak. Balai Pemasyarakatan (Bapas) bertugas mengawasi pelaksanaan program ini, memastikan anak mendapatkan perlindungan, bimbingan, dan dukungan yang diperlukan untuk rehabilitasi dan reintegrasi sosial.[10]
Hubungan Koordinasi dan Fungsional Antara Lembaga untuk Perlindungan Anak
Hubungan Koordinasi dan Fungsional dengan Penyidik Polri
Penyidikan merupakan tahapan penting dalam sistem peradilan pidana anak, yang bertujuan untuk mencari dan mengumpulkan bukti terkait tindak pidana serta mengidentifikasi tersangka. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), penyidikan dilakukan oleh penyidik yang memiliki kewenangan untuk menjalankan tugas tersebut. Dalam konteks anak, penyidik harus memiliki keahlian tambahan di bidang psikologi, psikiatri, sosiologi, pedagogi, dan antropologi, yang membantu mereka memahami kondisi emosional dan kebutuhan anak. Penanganan oleh polisi wanita sering kali menjadi prioritas, kecuali jika dibutuhkan bantuan dari polisi pria.[11]
Tahap penyidikan adalah tahap yang menentukan karena di sinilah proses awal keadilan ditegakkan. Pada tahap ini, tersangka ditetapkan, dan bukti-bukti awal dikumpulkan untuk mendukung proses hukum selanjutnya. Tanpa adanya proses penyidikan yang efektif, tahapan berikut seperti penuntutan, persidangan, dan pelaksanaan putusan tidak dapat berjalan. Oleh karena itu, dalam sistem peradilan pidana anak, penting bagi penyidik untuk memastikan bahwa setiap tindakan yang dilakukan tidak hanya sesuai dengan hukum, tetapi juga memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak sebagai subjek hukum yang dilindungi.[11]
Hubungan Koordinasi dan Fungsional dengan Penuntut Umum
Dalam sistem peradilan pidana anak, penuntut umum memainkan peran penting sebagai fasilitator tahap kedua, terutama ketika diversi pada tahap penyidikan tidak mencapai kesepakatan. Penuntut umum memiliki tanggung jawab untuk melanjutkan proses diversi dengan mengumpulkan para pihak yang terkait. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, penuntut umum bertugas mencari solusi melalui musyawarah diversi yang melibatkan pelaku, korban, dan pihak-pihak terkait lainnya.[12]
Namun, keberhasilan diversi pada tahap ini sering kali menghadapi kendala, terutama karena ketidaksepakatan dari pihak korban terhadap kesepakatan yang diajukan oleh pelaku. Dalam kondisi ini, jika kesepakatan tidak tercapai, penuntut umum wajib melanjutkan perkara ke pengadilan. Dalam melaksanakan tugasnya, penuntut umum juga harus memastikan bahwa prinsip-prinsip keadilan restoratif tetap diutamakan, dengan mengedepankan perlindungan dan kesejahteraan anak sebagai inti dari proses hukum.[12]
Hubungan Koordinasi dan Fungsional dengan Hakim
Hakim memiliki tanggung jawab besar dalam menyelesaikan perkara anak, mengingat hakim adalah pihak terakhir dalam rantai peradilan yang menjatuhkan putusan. Dalam hal ini, hakim harus mempertimbangkan bukti-bukti yang ada, kepastian hukum, manfaat hukum, dan keadilan untuk menjamin bahwa keputusan yang diambil sesuai dengan kepentingan terbaik bagi anak. Proses pengambilan keputusan ini juga melibatkan pertimbangan dari laporan petugas kemasyarakatan yang memberikan gambaran tentang latar belakang sosial, keluarga, dan lingkungan anak.[12]
Di samping itu, hakim harus memastikan bahwa setiap putusan yang dijatuhkan tidak hanya bersifat hukuman, tetapi juga bersifat rehabilitatif. Oleh karena itu, pelibatan petugas kemasyarakatan, pekerja sosial, dan organisasi sosial masyarakat sangat penting dalam membantu hakim memahami kondisi anak secara lebih menyeluruh. Pendekatan ini bertujuan untuk mendorong reintegrasi anak ke dalam masyarakat setelah menyelesaikan proses hukumnya.[12]
Hubungan Koordinasi dan Fungsional dengan Balai Pemasyarakatan
Balai Pemasyarakatan (Bapas) memainkan peran kunci dalam sistem peradilan pidana anak sebagai lembaga yang bertugas mendampingi anak di setiap tahapan proses hukum. Bapas memiliki tiga peran utama, yaitu pendampingan pra-adjudikasi, adjudikasi, dan pasca-adjudikasi. Dalam tahap pra-adjudikasi, Bapas melakukan penelitian masyarakat (litmas) untuk memberikan rekomendasi terkait penanganan anak yang berkonflik dengan hukum, termasuk rekomendasi diversi. Selama tahap adjudikasi, Bapas mendampingi anak di persidangan dan memberikan masukan berdasarkan hasil litmas kepada hakim.[13]
Pada tahap pasca-adjudikasi, Bapas melanjutkan perannya dalam mengawasi dan membimbing anak yang telah menyelesaikan proses peradilan. Bimbingan yang diberikan meliputi pelatihan keterampilan, bimbingan kelompok, dan pengawasan individu untuk memastikan bahwa anak dapat kembali ke masyarakat tanpa mengulangi pelanggaran hukum. Optimalisasi peran Bapas sangat penting untuk menjamin perlindungan dan pemenuhan hak anak selama dan setelah menjalani proses hukum.[13]
Prinsip Koordinasi Antara Lembaga Dalam Mewujudkan Sistim Peradilan Pidana Yang Berkualitas
Guna menciptakan penegakan hukum yang berkualitas dan berkeadilan, sistem peradilan pidana anak menjadi salah satu upaya strategis yang menekankan prinsip keadilan restoratif (restorative justice). Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA), sistem ini dirancang sebagai bentuk jaminan dan perlindungan hak anak yang berhadapan dengan hukum. Permasalahan yang muncul di lapangan menunjukkan bahwa proses penanganan anak dalam sistem ini berlangsung pada tiga tahap utama: pra-adjudikasi, adjudikasi, dan pasca-adjudikasi. Untuk mendukung keberhasilan sistem ini, diperlukan peningkatan koordinasi antara kementerian/lembaga terkait, penguatan kapasitas aparat penegak hukum, serta keterlibatan para pemangku kepentingan. Selain itu, penyusunan peraturan pelaksanaan yang mendukung, pengadaan sarana dan prasarana, serta mekanisme pengawasan dan evaluasi juga harus menjadi prioritas dalam implementasi sistem peradilan pidana anak.[13]
Meskipun sistem ini telah diterapkan, keterpaduan dan pemahaman antar-aparatur penegak hukum masih belum optimal. Kurangnya sinkronisasi tersebut sering kali menyebabkan ketidakpastian dalam proses hukum, bahkan menimbulkan potensi konflik antar lembaga penegak hukum yang berpengaruh pada kualitas penegakan hukum secara keseluruhan. Untuk mengatasi hal ini, salah satu langkah strategis yang dapat dilakukan adalah membentuk dan menyempurnakan peraturan pelaksana dari UU SPPA serta mengevaluasi regulasi yang berkaitan dengan sistem peradilan pidana anak. Pendekatan ini tidak hanya bertujuan untuk memastikan konsistensi dalam penerapan hukum tetapi juga untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas sistem hukum yang melibatkan anak sebagai subjek hukum.[14]
Keberadaan UU SPPA telah melahirkan sistem hukum pidana baru yang berbeda dari sistem hukum pidana umum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Sistem ganda hukum pidana ini mencakup aturan pidana yang bersifat materiil maupun formil, yang dalam beberapa aspek mengesampingkan ketentuan dalam KUHP dan KUHAP. Dalam konteks ini, diperlukan regulasi tambahan untuk mendukung implementasi sistem hukum pidana anak, yang hingga saat ini baru memiliki satu Peraturan Pemerintah (PP Nomor 65 Tahun 2015) dan satu Peraturan Presiden. Penyusunan regulasi pelengkap menjadi hal mendesak guna memastikan bahwa sistem hukum pidana anak dapat berjalan sesuai dengan prinsip keadilan yang adaptif dan responsif terhadap kebutuhan anak dalam menghadapi persoalan hukum.[15]
Simpulan
Penelitian ini menegaskan pentingnya sinegritas antara lembaga penegak hukum dan lembaga perlindungan anak dalam menangani tindak pidana anak dengan mengedepankan prinsip keadilan restoratif dan penerapan diversi. Temuan ini menyoroti perlunya kebijakan yang komprehensif dan koordinasi antar lembaga untuk memastikan hak-hak anak terpenuhi serta memberikan hasil yang bersifat rehabilitatif. Penelitian lanjutan perlu dilakukan untuk mengkaji mekanisme pemantauan dan evaluasi jangka panjang atas efektivitas kolaborasi ini guna menjamin perbaikan berkelanjutan dalam sistem peradilan pidana anak.
References
- I. De La Rasilla, "A Very Short History of International Law Journals (1869–2018)," European Journal of International Law, vol. 29, no. 1, pp. 137–168, 2018.
- N. Y. Indriati, K. K. Wahyuningsih, S. Susanti, and S. Subiyanto, “Perlindungan dan Pemenuhan Hak Anak (Studi Tentang Orangtua Sebagai Buruh Migran di Kabupaten Banyumas),” Mimbar Hukum - Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, vol. 29, no. 3, p. 474, 2018, doi: 10.22146/jmh.24315.
- D. P. Melati, “Implementasi Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap Anak oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia,” Fiat Justicia: Jurnal Ilmu Hukum, vol. 9, no. 1, pp. 33–48, 2016, doi: 10.25041/fiatjustisia.v9no1.586.
- M. F. Said, “Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Perspektif Hak Asasi Manusia,” Jurnal Cendekia Hukum, vol. 4, no. 1, pp. 141–152, 2018. [Online]. Available: http://e-jurnal.stih-pm.ac.id/index.php/cendekeahukum/article/view/97/110.
- T. S. Wahyudi and T. Kushartono, “Perlindungan Hukum Terhadap Hak Anak Yang Menjadi Korban Perlakuan Tindak Kekerasan dalam Rumah Tangga Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak,” Jurnal Dialektika Hukum, vol. 2, no. 1, pp. 57–82, 2020, doi: 10.36859/jdh.v2i1.510.
- A. Tang, “Hak-Hak Anak dalam Pasal 54 UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak,” Jurnal Al-Qayyimah, vol. 2, no. 2, pp. 98–111, 2020, doi: 10.30863/aqym.v2i2.654.
- G. V. Oleskeviciene and J. Sliogeriene, “Research Methodology,” in Numanities - Arts and Humanities in Progress, 1st ed. Berlin, Germany: Springer, 2020, doi: 10.1007/978-3-030-37727-4_2.
- A. M. B. Utama, “Pembentukan Karakter Anak Melalui Aktivitas Bermain dalam Pendidikan Jasmani,” Pendidikan Jasmani Indonesia, vol. 11, 2011.
- L. H. Walters and G. Corey, Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy. Monterey, CA: Brooks/Cole Publishing, 1980.
- A. Dewi, R. Hidayat, M. F. Widhagdha, and W. Purwanto, “Dinamika Komunikasi dalam Resolusi Konflik Sosial,” Jurnal Kebijakan Publik, vol. 11, no. 1, pp. 33–38, 2020, doi: 10.31258/jkp.11.1.p.33-38.
- F. Kalshoven, International Law and the Use of Force by National Liberation Movements. Oxford, UK: Clarendon Press, 1988, doi: 10.1017/s0922156500001369.
- Supardi, “Arah Pendidikan di Indonesia,” in Arah Pendidikan di Indonesia dalam Tataran Kebijakan dan Implementasi, Jakarta, Indonesia: Pustaka Edukasi, 2012.
- M. S. Bewa Ragawino, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat Indonesia. Jakarta, Indonesia: Ghalia Indonesia, 2008.
- I. W. C. Sujana, “Fungsi dan Tujuan Pendidikan Indonesia,” Adi Widya: Jurnal Pendidikan Dasar, vol. 4, no. 1, pp. 33–41, 2019, doi: 10.25078/aw.v4i1.927.
- L. Kehoe, T. Reis, M. Virah-Sawmy, A. Balmford, and T. Kuemmerle, “Make EU Trade with Brazil Sustainable,” Science, vol. 363, no. 6434, pp. 441–443, 2019, doi: 10.1126/science.aaw8276.