Abstract
Background: Women's representation in Indonesia's Village Consultative Bodies (BPD) is essential for gender equality and inclusive governance. However, unclear regulations, socio-cultural barriers, and weak enforcement hinder progress. Gap: Legal ambiguities and inconsistent practices limit effective participation and gender-responsive decision-making. Aim: This study explores the legal uncertainties affecting women's representation in BPDs and their broader impacts. Results: Findings highlight unclear legislation, gaps between national and regional regulations, and insufficient enforcement, compounded by cultural biases, reducing women’s motivation and participation. Novelty: The study provides a unique analysis of legal and socio-cultural challenges, offering actionable reform strategies. Implications: Clearer regulations and empowerment programs can improve representation, fostering equitable governance and sustainable development.
Highlights:
- Legal ambiguities in regulations hinder women’s effective participation in BPDs.
- Socio-cultural biases significantly reduce opportunities for gender-responsive governance.
- Clearer policies and empowerment programs are vital for equitable local development.
Keywords: Women's Representation, Village Consultative Bodies, Gender Equality, Legal Uncertainty, Governance
Pendahuluan
Demokrasi sebagai sistem pemerintahan yang dianut oleh Indonesia mengamanatkan adanya partisipasi seluruh elemen masyarakat dalam proses bernegara, termasuk di dalamnya partisipasi perempuan. Keterlibatan perempuan dalam ranah politik dan pengambilan keputusan merupakan aspek penting dalam mewujudkan kesetaraan gender dan pembangunan yang inklusif. Namun demikian, realitas menunjukkan bahwa partisipasi perempuan dalam politik, khususnya di tingkat desa, masih menghadapi berbagai tantangan dan hambatan.[1] Desa sebagai entitas terkecil dalam struktur pemerintahan Indonesia memiliki peran strategis dalam pembangunan nasional. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa telah memberikan otonomi yang lebih luas kepada desa untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya. Salah satu lembaga penting di tingkat desa adalah Badan Permusyawaratan Desa (BPD) yang berfungsi sebagai mitra pemerintah desa dalam menyelenggarakan pemerintahan desa.[2]
BPD memiliki peran krusial dalam menyalurkan aspirasi masyarakat, mengawasi kinerja pemerintah desa, serta terlibat dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan di tingkat desa. Mengingat pentingnya peran BPD, maka komposisi keanggotaannya idealnya harus mencerminkan representasi dari berbagai elemen masyarakat desa, termasuk keterwakilan perempuan. Keterwakilan perempuan dalam BPD tidak hanya penting untuk memastikan suara dan kepentingan perempuan terakomodasi, tetapi juga sebagai upaya mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender dalam pembangunan desa.[3] Meskipun telah ada regulasi yang mengatur tentang keterwakilan perempuan dalam politik, implementasinya di tingkat desa masih menghadapi berbagai kendala. Peraturan perundang-undangan yang ada belum secara tegas dan jelas mengatur mengenai kuota minimal keterwakilan perempuan dalam BPD. Hal ini menimbulkan ketidakpastian hukum dan membuka celah bagi praktik-praktik yang tidak memperhatikan aspek kesetaraan gender dalam pengisian jabatan BPD.[4]
Ketidakpastian hukum ini tercermin dari adanya perbedaan interpretasi dan implementasi ketentuan mengenai keterwakilan perempuan dalam BPD di berbagai daerah di Indonesia. Beberapa daerah telah menerapkan kebijakan afirmatif dengan menetapkan kuota minimal keterwakilan perempuan dalam BPD, sementara daerah lain belum memiliki kebijakan serupa. Perbedaan ini tidak hanya menimbulkan kesenjangan dalam hal partisipasi politik perempuan antar daerah, tetapi juga berpotensi melanggar prinsip keadilan dan non-diskriminasi yang dijamin oleh konstitusi.[5]
Problematika ketidakpastian hukum ini semakin diperparah oleh adanya faktor-faktor sosial budaya yang masih kuat mengakar di masyarakat desa. Pandangan stereotip tentang peran gender, di mana perempuan seringkali dianggap kurang mampu atau tidak pantas untuk terlibat dalam urusan politik dan pengambilan keputusan publik, masih menjadi hambatan signifikan. Hal ini tidak hanya membatasi akses dan kesempatan perempuan untuk berpartisipasi dalam BPD, tetapi juga mempengaruhi persepsi masyarakat terhadap kapabilitas perempuan dalam menjalankan fungsi-fungsi BPD.[6] Selain itu, kurangnya pemahaman dan kesadaran masyarakat desa, termasuk para pemangku kepentingan, mengenai pentingnya keterwakilan perempuan dalam BPD juga menjadi tantangan tersendiri. Banyak pihak masih menganggap keterwakilan perempuan sebagai isu sekunder yang tidak terlalu penting dibandingkan dengan permasalahan desa lainnya. Padahal, keterwakilan perempuan dalam BPD memiliki potensi besar untuk membawa perspektif dan solusi yang lebih komprehensif dalam mengatasi berbagai persoalan di tingkat desa.[7]
Ketidakpastian hukum dalam pengaturan keterwakilan perempuan dalam BPD juga berdampak pada proses rekrutmen dan pemilihan anggota BPD. Tanpa adanya ketentuan yang jelas dan mengikat, proses seleksi anggota BPD seringkali tidak mempertimbangkan aspek kesetaraan gender. Akibatnya, jumlah perempuan yang terpilih sebagai anggota BPD cenderung rendah dan tidak proporsional dengan jumlah penduduk perempuan di desa. Kondisi ini tidak hanya merugikan kaum perempuan secara langsung, tetapi juga berdampak negatif terhadap kualitas demokrasi dan pembangunan di tingkat desa. Ketiadaan atau minimnya suara perempuan dalam BPD berpotensi menghasilkan kebijakan dan program pembangunan desa yang bias gender dan tidak sensitif terhadap kebutuhan spesifik perempuan dan kelompok rentan lainnya. Padahal, keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan terbukti dapat meningkatkan efektivitas dan keberlanjutan program pembangunan, terutama dalam aspek-aspek yang berkaitan langsung dengan kehidupan sehari-hari masyarakat desa seperti kesehatan, pendidikan, dan ekonomi keluarga.[8]
Lebih jauh lagi, ketidakpastian hukum ini juga menciptakan kerentanan terhadap praktik-praktik manipulatif dalam pemenuhan keterwakilan perempuan di BPD. Tanpa adanya standar dan mekanisme yang jelas, ada risiko bahwa keterwakilan perempuan hanya dijadikan sebagai formalitas belaka, di mana perempuan yang terpilih sebagai anggota BPD tidak memiliki kapasitas atau kewenangan yang setara dengan anggota laki-laki. Hal ini tidak hanya merugikan perempuan yang bersangkutan, tetapi juga melemahkan esensi dari keterwakilan itu sendiri.[7]
Permasalahan ketidakpastian hukum ini juga berkaitan erat dengan isu kapasitas dan pemberdayaan perempuan di tingkat desa. Minimnya program-program peningkatan kapasitas yang ditujukan khusus bagi perempuan calon anggota BPD menjadi salah satu faktor yang mempersulit upaya meningkatkan keterwakilan perempuan. Tanpa adanya dukungan dan pemberdayaan yang memadai, banyak perempuan merasa tidak percaya diri atau tidak siap untuk mencalonkan diri sebagai anggota BPD, meskipun mereka memiliki potensi dan kualifikasi yang dibutuhkan.[9] Selain itu, ketidakpastian hukum ini juga menciptakan tantangan dalam hal monitoring dan evaluasi terhadap implementasi keterwakilan perempuan dalam BPD. Tanpa adanya standar yang jelas dan terukur, sulit untuk menilai sejauh mana keterwakilan perempuan telah tercapai dan apa dampaknya terhadap kualitas tata kelola desa. Hal ini pada gilirannya menyulitkan upaya untuk merumuskan kebijakan dan strategi yang efektif untuk meningkatkan partisipasi politik perempuan di tingkat desa.[7]
Urgensi untuk mengatasi permasalahan ketidakpastian hukum ini semakin meningkat seiring dengan dinamika sosial politik yang terus berkembang. Tuntutan masyarakat akan pemerintahan yang lebih inklusif dan partisipatif, serta komitmen global terhadap pembangunan berkelanjutan yang menekankan aspek kesetaraan gender, menuntut adanya langkah-langkah konkret untuk memperkuat keterwakilan perempuan di semua tingkatan pemerintahan, termasuk di tingkat desa.[10] Di sisi lain, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi membuka peluang baru bagi perempuan untuk terlibat dalam proses politik dan pengambilan keputusan di tingkat desa. Namun, tanpa adanya kerangka hukum yang jelas dan mendukung, peluang-peluang ini mungkin tidak dapat dimanfaatkan secara optimal untuk meningkatkan keterwakilan perempuan dalam BPD.[7]
Oleh karena itu, diperlukan suatu kajian komprehensif untuk menganalisis akar permasalahan ketidakpastian hukum dalam pengaturan keterwakilan perempuan dalam BPD, serta merumuskan solusi-solusi yang dapat diterapkan untuk mengatasi permasalahan tersebut. Kajian ini tidak hanya penting dari perspektif hukum dan tata kelola pemerintahan, tetapi juga dari sudut pandang sosial, budaya, dan pembangunan. Berdasarkan pada pemaparan latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian berjudul “Ketidakpastian Hukum Pengaturan Keterwakilan Perempuan Dalam Menduduki Jabatan Badan Permusyawaratan Desa”.
Rumusan Masalah
Berdasar pada pemaparan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini yakni sebagai berikut:
- Bagaimana bentuk ketidakpastian hukum dalam pengaturan keterwakilan perempuan untuk menduduki jabatan Badan Permusyawaratan Desa?
- Apa dampak dari ketidakpastian hukum tersebut terhadap partisipasi perempuan dalam Badan Permusyawaratan Desa?
Tujuan Penelitian
Sedangkan untuk tujuan dari diadakannya penelitian ini yakni sebagai berikut:
- Untuk mengkaji dan menganalisis bentuk ketidakpastian hukum dalam pengaturan keterwakilan perempuan untuk menduduki jabatan Badan Permusyawaratan Desa.
- Untuk mengkaji dan menganalisis dampak dari ketidakpastian hukum tersebut terhadap partisipasi perempuan dalam Badan Permusyawaratan Desa.
Metode
Dalam penelitian ini, metode penelitian hukum yang digunakan adalah metode penelitian hukum normatif. Metode ini berfokus pada studi tentang norma-norma hukum yang berlaku, seperti peraturan perundang-undangan dan teori-teori hukum yang relevan dengan topik penelitian. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari dua pendekatan utama: pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Pendekatan perundang-undangan dilakukan dengan menganalisis berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan keterwakilan perempuan dalam jabatan Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Ini termasuk Undang-Undang Desa dan peraturan pelaksanaannya, serta peraturan daerah yang relevan. Pendekatan konseptual digunakan untuk memahami dan membahas konsep-konsep hukum dan teori yang mendasari pengaturan keterwakilan perempuan, serta ketidakpastian hukum yang muncul dari regulasi tersebut.
Sumber bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini meliputi berbagai dokumen hukum seperti undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan daerah, serta dokumen-dokumen lain yang relevan dengan topik penelitian. Selain itu, penelitian ini juga memanfaatkan sumber sekunder seperti buku, jurnal, artikel ilmiah, dan hasil penelitian sebelumnya yang dapat memberikan wawasan tambahan mengenai topik keterwakilan perempuan dalam jabatan BPD. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini mencakup studi dokumen dan telaah pustaka. Studi dokumen dilakukan dengan mengumpulkan dan menganalisis peraturan perundang-undangan serta dokumen hukum lainnya yang relevan. Telaah pustaka dilakukan dengan membaca dan mengevaluasi literatur hukum yang ada untuk mendapatkan pemahaman yang lebih dalam mengenai masalah ketidakpastian hukum dan pengaturan keterwakilan perempuan. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif. Data yang dikumpulkan dari studi dokumen dan telaah pustaka dianalisis dengan cara menilai kejelasan, konsistensi, dan implementasi peraturan-peraturan yang ada. Analisis ini bertujuan untuk mengidentifikasi ketidakpastian hukum dan kesenjangan dalam pengaturan keterwakilan perempuan, serta memberikan rekomendasi untuk perbaikan dan penyesuaian regulasi yang diperlukan.
Hasil dan Pembahasan
A. Bentuk Ketidakpastian Hukum Dalam Pengaturan Keterwakilan Perempuan untuk Menduduki Jabatan Badan Permusyawaratan Desa
Ketidakpastian hukum dalam pengaturan keterwakilan perempuan dalam jabatan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) di Indonesia adalah fenomena kompleks yang muncul dari sejumlah faktor terkait regulasi dan implementasi hukum. Secara umum, ketidakpastian ini dapat dibagi menjadi beberapa aspek utama: ketidakjelasan dalam peraturan perundang-undangan, kesenjangan antara norma hukum dan praktik di lapangan, serta ketidakselarasan antara peraturan nasional dan peraturan daerah.
1. Ketidakjelasan dalam Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa adalah regulasi utama yang mengatur tentang BPD, termasuk ketentuan tentang keterwakilan perempuan dalam jabatan tersebut. Namun, meskipun undang-undang ini menyebutkan pentingnya peran perempuan dalam pembangunan desa, ketentuan spesifik mengenai keterwakilan perempuan dalam struktur BPD belum diatur secara rinci. Pasal 55 ayat (2) Undang-Undang Desa menyebutkan bahwa anggota BPD terdiri dari unsur laki-laki dan perempuan yang dipilih secara demokratis, tetapi tidak memberikan panduan yang jelas tentang kuota atau persentase minimal keterwakilan perempuan.[11] Dalam praktiknya, ketidakjelasan ini menyebabkan berbagai interpretasi dan pelaksanaan yang bervariasi di berbagai daerah. Beberapa peraturan daerah mungkin mengadopsi kebijakan kuota untuk perempuan, sementara yang lain mungkin tidak. Ketidakjelasan ini menciptakan ketidakpastian hukum mengenai seberapa besar keterwakilan perempuan yang harus ada dalam BPD, dan bagaimana hal tersebut harus diimplementasikan.[12]
2. Kesenjangan antara Norma Hukum dan Praktik di Lapangan
Kesenjangan antara norma hukum dan praktik di lapangan merupakan masalah signifikan dalam pengaturan keterwakilan perempuan. Meskipun Undang-Undang Desa dan peraturan terkait mengatur prinsip-prinsip dasar mengenai keterwakilan perempuan, implementasi di lapangan sering kali tidak sesuai dengan harapan. Misalnya, dalam beberapa kasus, meskipun ada peraturan daerah yang menetapkan kuota minimal untuk perempuan dalam BPD, pelaksanaan di desa-desa masih seringkali kurang memadai.[13] Di beberapa daerah, jumlah perempuan yang menduduki posisi di BPD masih jauh dari target yang ditetapkan. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk bias gender, kurangnya pemahaman tentang pentingnya keterwakilan perempuan, dan praktik-praktik seleksi yang tidak adil. Kesenjangan ini menunjukkan bahwa meskipun ada norma hukum yang baik, tanpa adanya pengawasan dan penegakan hukum yang efektif, implementasi tidak akan mencapai tujuan yang diinginkan.[8]
3. Ketidakselarasan antara Peraturan Nasional dan Peraturan Daerah
Ketidakselarasan antara peraturan nasional dan peraturan daerah juga menjadi penyebab utama ketidakpastian hukum. Undang-Undang Desa memberikan kerangka dasar untuk pengaturan BPD, tetapi peraturan daerah memiliki kewenangan untuk mengatur lebih lanjut sesuai dengan kebutuhan lokal. Hal ini dapat menyebabkan perbedaan signifikan dalam implementasi ketentuan tentang keterwakilan perempuan antara satu daerah dengan daerah lainnya.[14] Sebagai contoh, beberapa provinsi atau kabupaten mungkin memiliki peraturan daerah yang mengatur kuota keterwakilan perempuan dalam BPD, sedangkan yang lain mungkin tidak. Ketidakselarasan ini dapat menyebabkan ketidakpastian bagi calon anggota BPD dan masyarakat desa mengenai hak dan kewajiban mereka dalam hal keterwakilan perempuan. Perbedaan ini juga dapat menciptakan kesulitan dalam menciptakan kebijakan yang konsisten dan adil di seluruh Indonesia.
4. Hambatan Sosial dan Budaya
Ketidakpastian hukum juga dipengaruhi oleh hambatan sosial dan budaya yang ada di masyarakat desa. Di beberapa daerah, norma-norma sosial yang patriarkal masih dominan, dan hal ini dapat mempengaruhi bagaimana perempuan dipandang dalam konteks kepemimpinan dan keterwakilan. Hambatan ini sering kali menyebabkan resistensi terhadap implementasi kebijakan yang mendukung keterwakilan perempuan, meskipun secara hukum sudah diatur.[15] Sebagai contoh, di beberapa desa, ada anggapan bahwa peran perempuan dalam BPD tidak sesuai dengan norma tradisional atau bahwa perempuan tidak memiliki kapasitas untuk memegang posisi kepemimpinan. Hal ini menciptakan ketidakpastian hukum di tingkat praktis, di mana meskipun ada regulasi yang mendukung keterwakilan perempuan, pelaksanaannya di lapangan dapat terkendala oleh faktor-faktor sosial dan budaya.
5. Kurangnya Pengawasan dan Penegakan Hukum
Satu lagi faktor yang berkontribusi terhadap ketidakpastian hukum adalah kurangnya pengawasan dan penegakan hukum. Meskipun ada regulasi yang mengatur keterwakilan perempuan dalam BPD, pengawasan terhadap implementasi dan kepatuhan terhadap peraturan sering kali tidak memadai. Hal ini dapat terjadi karena keterbatasan sumber daya, kurangnya mekanisme pelaporan yang efektif, atau kurangnya kesadaran tentang pentingnya penegakan hukum dalam konteks keterwakilan perempuan.[7] Kurangnya pengawasan dapat mengakibatkan pelanggaran terhadap peraturan yang ada dan dapat menghambat pencapaian tujuan keterwakilan perempuan yang seimbang. Selain itu, tanpa adanya sanksi yang tegas untuk pelanggaran, tidak ada dorongan yang cukup bagi pihak-pihak yang terlibat untuk mematuhi ketentuan yang ada.[16]
Ketidakpastian hukum dalam pengaturan keterwakilan perempuan dalam jabatan BPD di Indonesia adalah hasil dari sejumlah faktor, termasuk ketidakjelasan dalam peraturan perundang-undangan, kesenjangan antara norma hukum dan praktik di lapangan, ketidakselarasan antara peraturan nasional dan daerah, hambatan sosial dan budaya, serta kurangnya pengawasan dan penegakan hukum. Untuk mengatasi ketidakpastian ini, perlu ada langkah-langkah yang sistematis dan terkoordinasi, termasuk penjelasan yang lebih rinci dalam peraturan perundang-undangan, peningkatan pengawasan dan penegakan hukum, serta upaya untuk mengatasi hambatan sosial dan budaya yang ada. Dengan demikian, diharapkan keterwakilan perempuan dalam BPD dapat terlaksana dengan lebih efektif dan adil.
B. Dampak dari Ketidakpastian Hukum Tersebut Terhadap Partisipasi Perempuan dalam Badan Permusyawaratan Desa
Ketidakpastian hukum dalam pengaturan keterwakilan perempuan dalam Badan Permusyawaratan Desa (BPD) memiliki berbagai dampak signifikan terhadap partisipasi perempuan dalam lembaga tersebut. BPD, sebagai salah satu institusi vital dalam struktur pemerintahan desa, memainkan peran penting dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan di tingkat desa. Oleh karena itu, ketidakpastian hukum dalam pengaturan keterwakilan perempuan dapat mempengaruhi secara langsung partisipasi perempuan dan hasil kebijakan yang diterapkan di tingkat desa.
1. Hambatan dalam Keterwakilan Perempuan
Ketidakpastian hukum dapat menyebabkan hambatan dalam upaya peningkatan keterwakilan perempuan dalam BPD. Peraturan perundang-undangan yang ada saat ini, seperti Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, mengatur bahwa BPD harus terdiri dari wakil-wakil masyarakat, tetapi tidak secara eksplisit menyebutkan kuota atau persentase khusus untuk keterwakilan perempuan. Undang-Undang Desa memberikan keleluasaan bagi desa untuk mengatur ketentuan tersebut dalam peraturan desa, namun tidak semua desa mengambil langkah proaktif untuk memastikan keterwakilan perempuan.[8] Misalnya, dalam Pasal 58 Undang-Undang Desa, disebutkan bahwa BPD terdiri dari unsur-unsur masyarakat dan tidak memberikan petunjuk yang jelas mengenai proporsi gender. Hal ini dapat menyebabkan perbedaan dalam interpretasi dan implementasi di tingkat desa, yang pada gilirannya mengakibatkan ketidakmerataan keterwakilan perempuan. Tanpa adanya standar yang jelas dan konsisten, banyak desa mungkin tidak menerapkan kebijakan yang mendukung keterwakilan perempuan secara memadai.[17]
2. Pengaruh pada Partisipasi Politik Perempuan
Ketidakpastian hukum juga mempengaruhi partisipasi politik perempuan di tingkat desa. Ketika peraturan tidak jelas atau tidak konsisten, perempuan mungkin merasa kurang didorong untuk terlibat dalam BPD. Ketidakpastian mengenai hak dan kewajiban mereka, serta kekurangan dukungan dari kebijakan publik, dapat mengurangi motivasi perempuan untuk mencalonkan diri atau berpartisipasi dalam pemilihan BPD.[18] Ketidakjelasan regulasi mengenai keterwakilan perempuan sering kali menyebabkan perempuan menghadapi kesulitan dalam memperoleh posisi dalam lembaga-lembaga desa. Kurangnya regulasi yang mendukung dapat memperkuat stereotip gender dan menghambat partisipasi aktif perempuan dalam proses pengambilan keputusan, yang seharusnya menjadi peluang untuk menyuarakan kepentingan dan kebutuhan perempuan di tingkat desa.[16]
3. Dampak terhadap Kualitas Pengambilan Keputusan
Ketidakpastian hukum juga berdampak pada kualitas pengambilan keputusan di BPD. Ketika perwakilan perempuan tidak memadai, keputusan yang diambil cenderung tidak mencerminkan kebutuhan dan perspektif perempuan. Ini dapat mengakibatkan kebijakan dan program yang diterapkan tidak sepenuhnya responsif terhadap isu-isu yang mempengaruhi perempuan dan keluarga di desa.[19] Sebagai contoh, ketidakseimbangan gender dalam BPD dapat mempengaruhi prioritas pembangunan desa, seperti akses ke layanan kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan keluarga. Tanpa keterwakilan perempuan yang memadai, kebijakan yang diambil mungkin tidak mempertimbangkan sepenuhnya kebutuhan khusus perempuan dan anak-anak, sehingga menghambat kemajuan dalam mencapai kesetaraan gender dan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.
4. Upaya Penanggulangan Ketidakpastian Hukum
Untuk mengatasi dampak ketidakpastian hukum, perlu dilakukan reformasi dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur keterwakilan perempuan di BPD. Salah satu langkah yang dapat diambil adalah penetapan kuota gender yang jelas dalam Undang-Undang Desa atau peraturan pemerintah yang relevan. Misalnya, pengaturan kuota minimum untuk keterwakilan perempuan dalam BPD dapat meningkatkan partisipasi perempuan dan memastikan bahwa suara perempuan terdengar dalam pengambilan keputusan.[13] Selain itu, desa-desa perlu didorong untuk mengadopsi kebijakan yang mendukung keterwakilan perempuan, seperti penyusunan peraturan desa yang mengatur kuota gender dan pelaksanaan program pelatihan untuk calon anggota BPD perempuan. Implementasi kebijakan afirmatif dan program pemberdayaan perempuan juga penting untuk mengatasi hambatan struktural dan kultural yang menghambat partisipasi perempuan.[7]
Dalam kesimpulan, ketidakpastian hukum dalam pengaturan keterwakilan perempuan dalam BPD berdampak signifikan terhadap partisipasi perempuan, kualitas pengambilan keputusan, dan efektivitas kebijakan desa. Melalui reformasi hukum dan kebijakan yang mendukung, diharapkan dapat mengatasi hambatan-hambatan tersebut dan meningkatkan keterwakilan perempuan dalam lembaga-lembaga pemerintahan desa.
Simpulan
Ketidakpastian hukum dalam pengaturan keterwakilan perempuan untuk menduduki jabatan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) di Indonesia muncul dalam beberapa bentuk. Pertama, terdapat ketidakjelasan dalam peraturan perundang-undangan, di mana Undang-Undang Desa tidak memberikan panduan spesifik tentang kuota atau persentase minimal keterwakilan perempuan dalam BPD. Kedua, terjadi kesenjangan antara norma hukum dan praktik di lapangan, di mana implementasi keterwakilan perempuan sering kali tidak sesuai dengan harapan meskipun ada peraturan yang mengaturnya. Ketiga, ada ketidakselarasan antara peraturan nasional dan peraturan daerah, yang menyebabkan perbedaan signifikan dalam implementasi ketentuan tentang keterwakilan perempuan antara satu daerah dengan daerah lainnya. Keempat, hambatan sosial dan budaya di masyarakat desa masih mempengaruhi pandangan terhadap kepemimpinan perempuan. Terakhir, kurangnya pengawasan dan penegakan hukum juga berkontribusi pada ketidakpastian hukum ini, di mana pelanggaran terhadap peraturan yang ada sering terjadi tanpa konsekuensi yang berarti.
Ketidakpastian hukum dalam pengaturan keterwakilan perempuan di Badan Permusyawaratan Desa (BPD) memiliki dampak signifikan terhadap partisipasi perempuan. Pertama, hal ini menciptakan hambatan dalam upaya peningkatan keterwakilan perempuan karena tidak adanya standar yang jelas dan konsisten mengenai kuota atau proporsi gender. Kedua, ketidakpastian ini mengurangi motivasi perempuan untuk terlibat dalam politik desa, karena mereka merasa kurang didukung oleh kebijakan publik dan menghadapi kesulitan dalam memperoleh posisi di lembaga desa. Ketiga, kurangnya perwakilan perempuan yang memadai berdampak pada kualitas pengambilan keputusan di BPD, di mana kebijakan dan program yang dihasilkan cenderung kurang responsif terhadap kebutuhan dan perspektif perempuan. Akibatnya, prioritas pembangunan desa mungkin tidak sepenuhnya mempertimbangkan isu-isu yang mempengaruhi perempuan dan keluarga, sehingga menghambat kemajuan dalam mencapai kesetaraan gender dan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.
References
- S. Rahmah, "Pendidikan Politik bagi Perempuan," Saree Research Gender Studies, vol. 3, no. 1, pp. 79–100, Jun. 2021, doi: 10.47766/saree.v3i1.633.
- Sugiman, "Pemerintahan Desa," Binamulia Hukum, vol. 7, no. 1, 2018, doi: https://doi.org/10.37893/jbh.v7i1.316.
- S. A. Mardiyah and N. Nurlinah, "Analisis Peran Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan di Desa Pao Kecamatan Tombolopao Kabupaten Gowa," Governance: Jurnal Ilmu Pemerintahan, vol. 12, no. 2, 2019, doi: https://doi.org/10.31947/jgov.v12i2.8049.
- I. Irfandi, L. O. Husen, and M. Z. Muhdar, "Tinjauan Hukum Terhadap Batas Minimal 30% Calon Anggota Legislatif Perempuan yang Diajukan oleh Partai Politik pada Pemilu Legislatif," Qawanin: Jurnal Ilmu Hukum, vol. 3, no. 1, Feb. 2022, doi: 10.56087/qawaninjih.v3i1.382.
- A. Latif and I. Cahyani, "Inkonsistensi Pengaturan Keterwakilan Perempuan Dalam Pengisian Anggota Badan Permusyawaratan Desa," Inicio Legis, vol. 2, no. 2, pp. 108–121, Nov. 2021, doi: 10.21107/il.v2i2.12675.
- E. L. Hastuti, "Hambatan Sosial Budaya dalam Pengarusutamaan Gender di Indonesia," SOCA: Jurnal Sosial Ekonomi Pertanian, vol. 5, no. 2, 2005.
- A. Z. Abdurrahman, N. R. Herawati, and N. Marlina, "Representasi Unsur Keterwakilan Perempuan dalam Keanggotaan Badan Permusyawaratan Desa di Desa Karangsari," Journal of Political and Government Studies, vol. 12, no. 3, 2023.
- D. L. Hakim and Kushandajani, "Peran Perempuan di Badan Permusyawaratan Desa dalam Pembangunan Desa di Desa Gunung Tumpeng Kec. Suruh dan Desa Bantal Kec. Bancak Kabupaten Semarang," Journal of Political and Government Studies, vol. 9, no. 3, 2020.
- W. Rosdiana, "Analisis Pemberdayaan Perempuan Desa (Studi di Desa Bulutengger Kecamatan Sekaran Kabupaten Lamongan)," JKMP: Jurnal Kebijakan dan Manajemen Publik, vol. 3, no. 2, pp. 117–132, Sep. 2015, doi: 10.21070/jkmp.v3i2.187.
- S. Purwadinata and R. W. Batilmurik, Perekonomian Indonesia: Persoalan Kebijakan, Isu Kontemporer dan Globalisasi Pembangunan. Malang: PT. Literasi Nusantara Abadi Grup, 2024.
- K. N. Priambudi, "Penguatan Keterwakilan Perempuan Dalam Badan Permusyawaratan Desa," Jurist-Diction, vol. 5, no. 4, pp. 1365–1380, Jul. 2022, doi: 10.20473/jd.v5i4.37315.
- A. J. Rapha, A. Subowo, and T. Afrizal, "The Analysis of Women’s Representation in the House of Representatives of Central Java," Journal of Public Policy and Management Review, vol. 10, no. 3, 2021, doi: https://doi.org/10.14710/jppmr.v10i3.31189.
- N. Muhliza, M. C. Risal, and K. Umar, "Keterwakilan Perempuan dalam Keanggotaan Badan Permusyawaratan Desa: Studi Desa Tabbinjai Kecamatan Tombolo Pao Kabupaten Gowa," Siyasatuna: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Siyasah Syari’iyyah, vol. 4, no. 3, 2023.
- A. Sofyanoor, "Pengaturan Desa Dalam Perspektif Law as an Allocative System," Fiat Justisia: Jurnal Ilmu Hukum, vol. 8, no. 2, Aug. 2015, doi: 10.25041/fiatjustisia.v8no2.293.
- A. Maghfiroh, Ambivalensi Remaja Perempuan dan Konstruksi Sosial Budaya Patriarki dalam Film “Yuni”. Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia, 2023.
- L. Hardjaloka, "Potret Keterwakilan Perempuan dalam Wajah Politik Indonesia Perspektif Regulasi dan Implementasi," Jurnal Konstitusi, vol. 9, no. 2, p. 403, May 2016, doi: 10.31078/jk928.
- I. G. M. B. Nugraha, I. G. B. Suryawan, and I. W. Arthanaya, "Kedudukan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Sebagai Lembaga Pengawas Terhadap Kinerja Kepala Desa di Dalam Pemerintahan Desa," Jurnal Interpretasi Hukum, vol. 2, no. 3, pp. 584–589, Nov. 2021, doi: 10.22225/juinhum.2.3.4141.584-589.
- S. Budoyo and M. Hardiyanti, "Politik Hukum Penguatan Partisipasi Perempuan dalam Pembangunan Desa Berbasis Keadilan Gender," Administrative Law and Governance Journal, vol. 4, no. 2, 2021, doi: https://doi.org/10.14710/alj.v4i2.239-251.
- I. F. Meutia, Analisis Kebijakan Publik. Bandar Lampung: CV. Anugrah Utama Raharja, 2017.