Wet Extraction Process and Its Physicochemical Changes in Virgin Coconut Oil
Innovation in Food Engineering
DOI: 10.21070/ijins.v25i4.1276

Wet Extraction Process and Its Physicochemical Changes in Virgin Coconut Oil


Proses Ekstraksi Basah dan Perubahan Fisikokimia Minyak Kelapa Murni

Program Studi Magister Teknologi Pangan, Sekolah Pascasarjana, IPB University, Bogor
Indonesia
Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB University, Bogor
Indonesia
Southeast Asian Food and Agricultural Science and Technology (SEAFAST) Center, IPB University, Bogor
Indonesia

(*) Corresponding Author

Correlation Enzymatic Fermentation Temperature Time

Abstract

Background: Indonesia is a major exporter of virgin coconut oil (VCO), but global demand surpasses production. Optimizing extraction processes is crucial. Knowledge gap: While various extraction methods exist, the effect of specific parameters on VCO quality and yield needs systematic analysis. Aim: This review evaluates extraction methods to optimize VCO production, focusing on enzymatic and microbial fermentation. Results: From eight articles, enzymatic fermentation using alcalase at 60°C for 1.5 hours produced high-quality VCO (free fatty acids 0.19%, water content 0.04%, peroxide value 8.28 meq/kg) with the highest yield (98.25%). Microbial fermentation, though longer, also yielded good quality. Novelty: Alcalase enzymatic fermentation is more efficient than microbial methods. Implications: These findings can guide industrial optimization of VCO production to meet SNI 7381:2022 standards.

Highlights:

 

  • Enzymatic fermentation with alcalase at 60°C for 1.5 hours yields the highest VCO quality and yield.
  • Microbial fermentation, while effective, requires longer extraction times for similar results.
  • Optimal temperature and time significantly influence the quality and yield of VCO, meeting SNI 7381:2022 standards.

Keywords: Correlation, Enzymatic, Fermentation, Temperature, Time

 

Pendahuluan

Komoditas minyak nabati dari tanaman elapa di Indonesia hingga saat ini terus menjadi perhatian, baik dalam bidang perdagangan maupun penelitian. Indonesia memiliki potensi dalam pengembangan komoditas kelapa menjadi produk minyak kelapa murni atau minyak kelapa virgin (virgin coconut oil, VCO). Menurut Badan Pusat Statistik [1]. Indonesia memiliki luas lahan kelapa mencapai 3.401.900 hektar dengan produksi kelapa mencapai 2.858.000 ton. Dengan luas lahan dan produksi kelapa tersebut, Indonesia mampu mengekspor VCO sebesar 331.433ton dengan nilai ekspor mencapai 255.131 ribu USD [2]. Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian (Ditjenbun, 2020) menetapkan kelapa sebagai komoditas prioritas untuk dikembangkan melalui gerakan peningkatan produktivitas nilai tambah dan daya saing untuk mendukung gerakan tiga lipat ekspor pada tahun 2024. Untuk itu, perlu ada upaya untuk meningkatkan produksi minyak kelapa guna memenuhi kebutuhan pasar serta meningkatkan daya saingnya. Kebutuhan VCO di dunia terus meningkat tiap tahunnya, dimana sekitar 27 negara kelompok Uni Eropa memanfaatkan sekitar 743.000 metrik ton VCO per tahun. Andhika (2022) melaporkan bahwa posisi pasar VCO Indonesia cenderung mengalami lost opportunity dan retreat yang artinya mengalami penurunan akibat tidak mampu mencukupi permintaan produk VCO dari negara tujuan ekspor yang terus meningkat [3]. Peningkatan daya saing ekspor VCO Indonesia dapat dilakukan antara lain dengan standardisasi mutu dan peningkatan produktivitas VCO.

Optimalisasi dalam produksi VCO di Indonesia perlu dilakukan terkait dengan peningkatan mutu maupun rendemen VCO yang dihasilkan. Salah satu caranya yaitu mengoptimalkan metode ekstraksi basah yang merupakan metode yang paling banyak digunakan di industri VCO. Metode ekstraksi basah juga dianggap memiliki potensi dalam peningkatan nilai rendemen yang dihasilkan, serta mampu menghasilkan mutu terkait kandungan asam lemak dan antioksidan yang lebih baik [4]. Penelitian mengenai proses ekstraksi VCO untuk menghasilkan mutu dan rendemen yang lebih tinggi sudah banyak dilakukan. Penelitian sebelumnya telah menerapkan berbagai teknik ekstraksi basah dan penerapan parameter proses dalam produksi VCO, akan tetapi hasil penelitian menunjukkan dampak yang berbeda-beda terhadap mutu maupun rendemen VCO yang dihasilkan. Parameter proses tertentu ada yang bersifat meningkatkan mutu dan rendemen VCO, namun pada penelitian lain menunjukkan hasil sebaliknya.

Dengan adanya perbedaan dari berbagai hasil penelitian sebelumnya, perlu dilakukan tinjauan pustaka secara sistematis dengan tujuan untuk mengidentifikasi dan mengevaluasi pengaruh teknik ekstraksi basah dan kondisi optimum parameter prosesnya terhadap mutu dan rendemen VCO secara lebih menyeluruh. Informasi yang diperoleh dapat menjadi landasan dalam merumuskan rekomendasi untuk pengembangan dan optimalisasi proses ekstraksi VCO. Analisis aspek parameter proses yang dikaji dalam tinjauan pustaka sistematis ini di antaranya metode ekstraksi, penggunaan mikroorganisme untuk metode fermentasi dan enzimatis, serta pengaruh variabel waktu dan suhu proses.

Metode

Penelitian diawali dengan perumusan pertanyaan penelitian, dilanjutkan dengan pembuatan kriteria inklusi dan eksklusi untuk pustaka yang dikumpulkan. Setelah itu dilakukan pencarian dan pengumpulan pustaka sesuai dengan kata kunci yang telah dibuat, untuk kemudian dilakukan ekstraksi data dan analisis data.

1. Perumusan Pertanyaan Penelitian

Perumusan pertanyaan penelitian dilakukan dengan metode Population, Intervention, Comparison, dan Outcome (PICO). Perumusan pertanyaan pada penelitian ini mencakup unsur sebagai berikut:

P (Population): Virgin Coconut Oil (VCO)

I (Intervention): Parameter proses dari masing-masing metode ekstraksi basah

C (Control): Ekstraksi VCO tanpa perlakuan dari parameter proses

O (Outcome): Karakteristik fisikokimia dan rendemen VCO

Dengan demikian perumusan pertanyaan penelitian dalam tinjauan sistematis ini adalah sebagai berikut: “Bagaimana pengaruh setiap parameter proses yang digunakan dalam metode ekstraksi basah terhadap mutu dan rendemen VCO yang dihasilkan?”

2. Penentuan Kriteria Inklusi dan Eksklusi

Penentuan kriteria inklusi digunakan untuk memilih artikel/pustaka yang akan digunakan, sedangkan kriteria eksklusi digunakan untuk menentukan artikel yang tidak sesuai dengan rumusan pertanyaan penelitian [4]. Di bawah ini adalah kriteria inklusi dan eksklusi yang digunakan:

A. Kriteria inklusi

a)Artikel berupa artikel penelitian

b)Artikel membahas tentang proses ekstraksi VCO dengan parameter proses yang telah ditentukan

c)Artikel memiliki data karakteristik fisikokimia dan rendemen VCO

d)Artikel memiliki data kontrol

e)Artikel berbahasa Inggris atau Indonesia

f)Artikel dipublikasi 10 tahun terakhir

B. Kriteria eksklusi

a)Artikel berupa data laporan pemerintah, skripsi, tesis, dan disertasi yang tidak dipublikasikan

b)Sumber artikel berupa buku atau bulletin

Pencarian dan Pengumpulan Sumber Pustaka

Pengumpulan sumber pustaka dilakukan dengan memilih kata kunci yang sesuai, kemudian dilakukan penelusuran menggunakan bantuan perangkat lunak Publish and Perish. Selain itu dilakukan pencarian langsung pada database menggunakan boolean operators dari kata kunci yang telah dipilih (Tabel 1).

Basis Data Kata Kunci
PubMed (VCO OR “virgin coconut oil”) AND (Process OR processes OR fermentation OR fermented OR enzymatic OR enzym OR wet extraction OR mechanical OR dry extraction) AND (physicochemcial)
Google Scholar Allintitle: (VCO OR “virgin coconut oil”) AND (extraction)
Science direct (VCO OR “virgin coconut oil”) AND (Process OR extraction) AND (physicochemcial)
Taylor Francis Online (VCO OR “virgin coconut oil”) AND (Process* OR extraction) AND (physicochemcial)
Wiley Online Library
Table 1.Kata kunci yang digunakan dalam pencarian sumber studi

3. Ekstraksi dan Analisis Data

Data yang digunakan diperoleh dari hasil seleksi sumber pustaka menggunakan perangkat lunak Zotero. Ekstraksi data ditabulasikan pada perangkat lunak Microsoft Excel berupa identitas artikel dan data penelitian yaitu metode ekstraksi basah dan parameter proses dari masing-masing ekstraksi seperti penggunaan mikroorganisme, enzim, serta penerapan variabel proses waktu dan suhu.

Pendekatan dalam metode ekstraksi basah VCO terdapat 2 metode, yaitu secara fermentasi enzimatis dan fermentasi mikroba, maka pembahasan untuk kedua pendekatan tersebut dilakukan secara terpisah. Penentuan pengaruh variabel proses suhu dan waktu dilakukan untuk mengetahui pengaruh suhu dan waktu terhadap karakteristik fisikokimia dan rendemen VCO yang dihasilkan berdasarkan dengan penentuan masing-masing aktivitas enzim.

Kemudian dilakukan perhitungan energi aktivasi enzim sesuai dengan data yang tersedia, yaitu enzim crude protease extract (CPE) nanas, crude protease extract (CPE) udang putih pasifik, dan protease from seabass pyloric caeca (PPSP). Penentuan energi aktivasi enzim dihitung menggunakan persamaan Arrhenius sebagai berikut:

k=k0 exp⁡((-Ea)/RT) (1)

Ea=-slope x R (2)

dimana,

k : nilai aktivitas enzim

k0: faktor praeksponensial

R: konstanta gas = 8,314J/molK

T: suhu (K)

Ea: energi aktivasi (kj/kmol)

Berdasarkan data yang didapatkan, dari persamaan Arrhenius tersebut dapat dihitung nilai energi aktivasi dengan regresi linier dari grafik antara ln k dan nilai 1/T, kemudian digunakan persamaan 2.

Hasil dan Pembahasan

Ekstraksi data dilakukan dengan pencarian sesuai dengan kata kunci yang telah ditentukan pada beberapa database. Artikel yang diperoleh dari database kemudian diseleksi sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi dengan diagram PRISMA (Preferred Reporting Items for Systematic Reviews and Meta-Analyses), sehingga didapatkan sejumlah 8 artikel terseleksi (Gambar 1). Ekstraksi data dimulai dari pengambilan identitas artikel sesuai dengan kriteria inklusi yang telah ditetapkan. Karakteristik utama dari artikel yang diperoleh untuk dimasukkan ke dalam tinjauan pustaka sistematis selanjutnya dirangkum dalam bentuk tabel yang berisi metode penelitian dan data yang relevan.

Berdasarkan hasil ekstraksi data, didapatkan 2 metode dalam ekstraksi basah VCO, yaitu secara fermentasi enzimatis dan fermentasi mikroba. Pada fermentasi enzimatis, aktivitas enzim protease berperan dalam memecah protein, sedangkan pada fermentasi mikroba, mikroorganisme yang berperan dalam memecah komponen kompleks kelapa selama ekstraksi VCO. Agarwal dan Bosco (2017) mengatakan bahwa ekstraksi VCO secara enzimatis memiliki keunggulan dalam hasil rendemen VCO dan waktu ekstraksi, sedangkan ekstraksi VCO secara fermentasi mikroba mampu menghasilkan mutu yang lebih baik, tetapi dengan waktu ekstraksi lebih lama [5].

Figure 1.Diagram PRISMA

A. Tinjauan terhadap Metode Ekstraksi VCO secara Fermentasi Enzimatis

Diperoleh 8 artikel yang menerapkan proses fermentasi enzimatis (Tabel 2). Berdasarkan data yang terkumpul, ekstraksi fermentasi enzimatis dilakukan menggunakan beberapa jenis enzim di antaranya, crude protease extract (CPE), alkalase, protease from seabass pyloric caeca (PPSP), campuran dari amilase, pektinase serta protease, dan enzim papain. Ekstraksi fermentasi enzimatis umumnya menggunakan buah kelapa berumur 12–14 bulan, dan hanya satu artikel yang menggunakan buah kelapa berumur 11–12 bulan.

Berdasarkan 8 artikel terpilih tersebut, diketahui bahwa semua tipe enzim yang digunakan adalah pemecah protein. Variasi suhu yang digunakan dalam proses ekstraksi fermentasi enzimatis berkisar antara 20 ºC hingga 60 ºC, sementara untuk waktu ekstraksi bervariasi dari 1 hingga 6 jam. Rendemen yang dihasilkan dari ekstraksi dengan metode enzimatis berkisar antara 62% hingga 98,25%. Sementara itu kadar asam lemak bebas (ALB) berkisar 0,11–3,28%, kadar air berkisar antara 0,1 0,39%, dan bilangan peroksida berkisar antara 0,43–8,28 meq/kg minyak. Hasil penelitian Senphan dan Benjakul (2017) menggunakan enzim alkalase pada suhu 60 ºC dan waktu 1,5 jam mampu menghasilkan rendemen tertinggi sebesar 98,25% [6]. Dihasilkan mutu VCO yang baik dengan kadar asam lemak bebas (ALB) dan kadar air yang memenuhi standar mutu SNI 7381:2022 untuk VCO berturut-turut sebesar 0,19% dan 0,04%. Bilangan peroksida yang dihasilkan masih tinggi sebesar 8,28 meq/kg yang mengindikasikan bahwa VCO tersebut mengalami reaksi oksidasi yang lebih cepat membentuk senyawa peroksida. Pembentukan senyawa peroksida ini akan menurunkan mutu VCO dan juga berdampak terhadap umur simpannya yang menjadi lebih pendek. Hal ini terutama diakibatkan oleh penggunaan suhu yang tinggi selama ekstraksi.

Penulis Jenis Enzim Suhu (ºC) Waktu (jam) Rende-men (%) Asam lemak lebas (%) Kadar air (%) Bilangan peroksida (meq/kg)
Oseni et al., (2017) Amilase, pektinase, protease 40 3 65.74 3.28 0.39 0.43
Mohammed et al. (2021) Papain 55 3 62 0.2 0.15 2.34
Patil &Benjakul (2019) PPSP-CT 60 1 70 0.18 0.1 2.09
Patil &Benjakul (2019) PPSP-FT 60 1 74 0.16 0.1 1.96
Senphan & Benjakul (2016) CPE Udang Putih Pasifik 28-30 6 92.39 0.39 0.26 7.51
Senphan & Benjakul (2017) CPE Udang Putih Pasifik 60 1.5 93.83 0.26 0.04 7.77
Senphan & Benjakul (2017) Alkalase 60 1.5 98.25 0.19 0.04 8.28
Soo et al. (2020) CPE Nanas 50 2 77.7 0.11 0.3 0.5
Table 2.Data pengaruh suhu dan waktu ekstraksi terhadap rendemen dan mutu VCO (metode fermentasi enzimatis)

Penelitian lain dari Senphan dan Benjakul (2016) dan Senphan dan Benjakul (2017) menggunakan enzim CPE dari udang putih pasifik dilakukan pada suhu ruang (28-30 ºC) dan 60 ºC dengan waktu 6 jam dan 1,5jam juga menghasilkan rendemen yang tinggi sebesar 92,39%, serta kadar ALB dan kadar air yang cukup rendah sebesar 0,39% dan 0,26%, walaupun bilangan peroksida yang dihasilkan masih cukup tinggi sebesar 7,51 meq/kg [7].

Sementara itu, penelitian Soo et al., menunjukkan hasil yang berbeda, dimana ekstraksi menggunakan CPE dari nanas pada suhu 50 °C selama 2 jam mampu menghasilkan rendemen yang lebih rendah sebesar 77,7%, dengan karakteristik kimia yang baik, berupa kadar ALB sebesar 0,11%, kadar air 0,3%, dan bilangan peroksida yang dihasilkan lebih rendah yaitu 0,5 meq/kg.

Secara umum, proses ekstraksi secara enzimatis mampu menghasilkan VCO dengan mutu yang baik dan rendemen yang tinggi. Akan tetapi, masih tingginya bilangan peroksida dapat menyebabkan perubahan mutu VCO, yang terutama berpengaruh terhadap umur simpannya. Pengendalian suhu dan waktu selama proses ekstraksi perlu dilakukan untuk meminimalisir pengaruhnya terhadap mutu dan rendemen VCO yang dihasilkan.

Kondisi proses ekstraksi VCO menggunakan enzim alkalase dengan suhu 60 ºC selama 1,5 jam mampu menghasilkan rendemen paling tinggi sebesar 98,25% yang menunjukkan efisiensi ekstraksi yang baik. Kadar ALB diperoleh sebesar 0,19% dan memenuhi SNI 7381:2022. Semakin rendah kadar ALB, maka mutu VCO semakin baik. Kadar air yang dihasilkan juga sangat rendah sebesar 0,04%, dimana kadar air ini dapat memengaruhi umur simpan VCO. Akan tetapi, proses tersebut menghasilkan VCO dengan bilangan peroksida yang cukup tinggi sebesar 8,28 meq/kg. Bilangan peroksida perlu diperhatikan karena terkait mutu VCO, dimana nilai tersebut mengindikasikan tingkat oksidasi yang dapat memengaruhi mutu dan umur simpan VCO.

B. Pengaruh Variabel Proses terhadap Rendemen dan Karakteristik Fisikokimia VCO Hasil Ekstraksi Fermentasi Enzimatis

1. Pengaruh Suhu dan Waktu terhadap Rendemen VCO

Soo et al., (2020) melakukan hidrolisis dengan enzim CPE nanas pada berbagai suhu (40, 50, dan 60 ºC) dan waktu (1, 2, dan 3 jam) [8]. Suhu 50 ºC dan waktu 2 jam merupakan kondisi optimal untuk aktivitas enzim bromealin CPE nanas untuk menghasilkan rendemen VCO tertinggi. Waktu memiliki pengaruh dalam hidrolisis protein oleh enzim, dimana jika dilakukan pada waktu yang lebih pendek, maka aktivitas enzim tidak bekerja pada kondisi optimal. Begitu juga jika dilakukan pada waktu yang lebih panjang, maka enzim akan mengalami denaturasi, sehingga tidak dapat menghidrolisis protein secara optimal (Gambar 2).

Figure 2.Grafik Recovery Yield antara Suhu dan Waktu terhadap Rendemen

Aktivitas proteolitik yang dihasilkan pada suhu 40, 50, dan 60 ºC masing-masing bernilai sebesar 5,67, 7,78, dan 6,45 U/mL. Nilai aktivitas enzim tersebut menyatakan seberapa efisien enzim dalam melakukan reaksi katalitiknya. Berdasarkan data tersebut, menunjukkan bahwa terjadi peningkatan aktivitas enzim pada suhu 40 dan 50 ºC, tetapi mengalami penurunan aktivitas enzim pada suhu 60 ºC. Penurunan aktivitas enzim pada suhu 60 ºC dapat menandakan bahwa kemungkinan telah melebihi ambang batas optimal yaitu pada suhu 50 ºC, sehingga terjadi denaturasi enzim yang menyebabkan hasil ekstraksi menurun. Dengan demikian, suhu dapat terindikasi memiliki pengaruh terhadap aktivitas enzim CPE nanas, yang nantinya akan berpengaruh terhadap rendemen yang dihasilkan.

Senphan dan Benjakul juga menyatakan bahwa enzim CPE dari udang putih pasifik dengan proses autolisis dapat meningkatkan aktivitas enzim [9]. Aktivitas autolisis diukur dengan melihat kandungan peptida yang larut dalam asam trikloroasetat (TCA). Peptida larut TCA tersebut menjadi indikator degradasi protein, dimana semakin banyak peptida yang larut maka semakin tinggi aktivitas proteolitik (autolisis). Aktivitas autolisis enzim CPE dari udang putih pasifik dilakukan pada rentang suhu 30-80 ºC dan didapatkan suhu optimum sebesar 60 ºC. Hasil penelitian menunjukkan pada suhu optimal menghasilkan nilai tertinggi (Gambar 3), sehingga menandakan protease bekerja untuk hidrolisis protein secara maksimal, sehingga dapat menghasilkan rendemen secara maksimal. Saat suhu dinaikkan lebih dari suhu optimal, aktivitas autolisis menurun. Hal ini menandakan terjadi denaturasi enzim protease yang mengakibatkan penurunan aktivitas enzim.

Figure 3.Grafik Pengaruh Suhu pada Autolisis Enzim CPE Udang Putih Pasifik [10]

Pada penggunaan enzim CPE udang putih pasifik, peningkatan waktu autolisis dapat meningkatkan hasil ekstraksi. Hal ini menandakan hidrolisis protein oleh enzim protease endogen dalam hepatopankreas udang putih pasifik secara aktif menghidrolisis protein seiring dengan peningkatan waktu (Gambar 4). Akan tetapi dengan peningkatan tersebut, perlu menentukan waktu optimal autolisis untuk memaksimalkan aktivitas enzim terutama terkait dengan mutu VCO yang dihasilkan.

Figure 4.Grafik Pengaruh Waktu pada Autolisis Enzim CPE Udang Putih Pasifik [11]

Jika dibandingkan dengan CPE nanas yang menghasilkan bromealin, menunjukkan waktu memiliki pengaruh siginifkan dalam hidrolisis protein menghasilkan VCO. Waktu autolisis tidak mempengaruhi aktivitas enzim dalam CPE udang putih pasifik karena aktivitas protease, lipase, dan fosfolipase yang meningkat seiring waktu. Perbedaan substrat pada masing-masing enzim juga berpengaruh terhadap waktu yang digunakan, dimana bromealin pada CPE nanas hanya butuh waktu kontak yang lebih pendek dibanding lipase pada CPE udang putih pasifik pada hasil rendemen VCO.

Pada penelitian lain, Patil dan Benjakul menyatakan bahwa proses homogenisasi memiliki pengaruh pada hasil rendemen. Perlakuan homogenisasi sebelum hidrolisis dengan enzim PPSP secara signifikan mengurangi hasil VCO yang diakibatkan terbentuknya jaringan yang meningkatkan stabilitas emulsi [12]. Selain itu, terdapat proses lanjutan yaitu dengan kondisi suhu rendah yaitu chilling-thawing dan freeze-thawing. Pada proses chilling-thawing dapat meningkatkan nilai rendemen VCO yang diakibatkan perubahan konformasi protein yang lebih besar, sehingga dapat mengurangi kemampuan protein untuk menjaga stabilitas emulsi.

Secara mekanisme proses chilling akan menyebabkan minyak kelapa mengalami solidifikasi dan protein mengalami konformasi. Proses ini dapat menyebabkan beberapa enzim menjadi kurang aktif karena suhu rendah yang cenderung memperlambat reaksi enzimatik. Kemudian dilakukan proses thawing, dimana ketika suhu meningkat kembali selama proses thawing, aktivitas enzim mulai kembali meningkat, tetapi menyebabkan emulsi menjadi lebih tidak stabil. Begitu juga pada proses freeze-thawing mekanisme yang berjalan hampir sama seperti pada proses chilling-thawing. Proses freeze-thawing menyebabkan pembentukan dan pencairan kristal es minyak yang dapat menyebabkan pemisahan minyak lebih efektif. Kedua proses ini bekerja dengan memanfaatkan perubahan suhu untuk mendestabilisasi emulsi yang memungkinkan koalensi tetesan minyak dan pemisahan fase minyak yang lebih efektif, sehingga dapat menghasilkan rendemen VCO yang lebih baik.

Pada proses ekstraksi fermentasi enzimatis, suhu dan waktu menjadi variabel yang menentukan rendemen VCO. Aktivitas enzim dipengaruhi oleh suhu dan waktu, dimana pada titik optimal, aktivitas enzim akan berpengaruh terhadap laju reaksi hidrolisis yang terjadi sehingga akan memengaruhi nilai rendemen VCO yang dihasilkan. Jika suhu terlalu tinggi, maka aktivitas enzim akan terganggu dimana enzim akan mengalami denaturasi, sehingga menyebabkan pemecahan protein tidak maksimal [13].

2. Pengaruh Suhu dan Waktu terhadap Asam Lemak Bebas VCO

Asam lemak bebas merupakan salah satu indikator mutu hasil ekstraksi VCO, yang menandakan VCO diproduksi dengan baik. Pengaruh penggunaan suhu pada titik optimal akan memengaruhi nilai ALByang dihasilkan. Aktivitas enzim pada suhu optimum akan bekerja secara efisien dalam pemecahan matriks kelapa sehingga tidak menyebabkan hidrolisis berlebih. Jika penggunaan suhu dibawah suhu optimal, aktivitas enzim akan tetap berlangsung dan tidak menyebabkan peningkatan kadar ALB, tetapi tidak cukup efektif dalam ekstraksinya. Jika dilakukan pada suhu yang cukup tinggi, akan menyebabkan denaturasi enzim yang menyebabkan aktivitas enzim menurun, sehingga akan menurunkan hasil ekstraksi dan dapat mengubah konformasi enzim yang menyebabkan pengaruh pada karakteristik fisikokimia VCO.

Soo et al., mengatakan aktivitas enzim pada suhu optimal memiliki nilai paling tinggi, sehingga dapat memecah protein dengan cepat dan efisien dalam hidrolisis. Dengan cepatnya proses ekstraksi, waktu kontak antara enzim dan minyak harus seminim mungkin untuk menghindari kemungkinan hidrolisis yang berlebih. Begitu juga jika dilakukan dibawah suhu dan waktu yang optimal. Rendahnya aktivitas enzim menyebabkan ekstraksi yang kurang efisien sehingga memperpanjang waktu kontak. Waktu kontak yang lebih lama akan meningkatkan hidrolisis berlebih yang menyebabkan nilai asam lemak bebas meningkat.

Senphan dan Benjakul, mengatakan bahwa peningkatan waktu pada autolisis akan meningkatkan nilai ALB yang dihasilkan (Gambar 5) [14]. Pada suhu optimal 60 ºC dengan nilai aktivitas enzim tertinggi, maka proses autolisis akan bereaksi lebih cepat, sehingga dengan waktu ekstraksi yang lebih lama, akan meningkatkan hidrolisis lipid yang berlebih sehingga terjadi peningkatan nilai ALB.

Figure 5.Pengaruh Waktu terhadap Nilai ALB dengan Enzim CPE Udang Putih Pasifik [15].

Perbedaan jenis enzim juga akan berpengaruh pada nilai asam lemak bebas yang dihasilkan. Karakteristik enzim bromealin CPE nanas yang terfokus pada hidrolisis protein tanpa mempengaruhi lipid sehingga dapat menjaga kandungan FFA tetap rendah. Pada enzim CPE udang putih pasifik dapat menghidrolisis protein lebih aktif dalam memecah protein yang terikat dengan lipid menjadi trigliserida menghasilkan nilai ALB yang terus meningkat seiring dengan meningkatnya waktu ekstraksi.

Enzim protease dari PPSP juga memiliki karakteristik yang sama dengan bromealin, merupakan enzim protease yang fokusnya dalam memecah protein, sehingga secara tidak langsung tidak mempengaruhi nilai ALB yang dihasilkan. Patil dan Benjakul, mengatakan bahwa dilakukannya proses hidrolisis kemudian diikuti dengan proses chilling-thawing dan freeze-thawing tidak berpengaruh pada nilai ALB yang dihasilkan [16].

Campuran dari beberapa jenis enzim yaitu amilase, pektinase, dan protease seperti yang dilakukan pada penelitian Oseni et al., menghasilkan nilai ALB yang sangat berbeda dari penelitian lainnya. Nilai ALB yang dihasilkan cukup tinggi ini dapat terjadi karena salah satu enzim memiliki aktivitas enzim yang rendah atau sudah terdenaturasi karena sudah melewati suhu optimum sehingga tidak efisien dalam memecah matriks kelapa [17]. Hal ini dikarenakan masing-masing enzim memiliki karakteristik tersendiri dan memiliki suhu optimum yang mungkin juga berbeda, sehingga porsi aktivitas enzim dalam memecah matriks kelapa juga berbeda.

Suhu dan waktu dapat memengaruhi kadar ALB VCO yang dihasilkan. Selain itu, kadar ALB tidak terlepas dari kadar air yang nantinya akan memengaruhi reaksi hidrolisis pada saat ekstraksi VCO berlangsung. Waktu menjadi salah satu variabel penting untuk menghasilkan kadar ALB VCO yang baik. Semakin lama waktu yang digunakan, maka ALB yang dihasilkan juga semakin tinggi karena dengan tingginya kadar air, sehingga ekstraksi perlu dilakukan pada waktu yang optimal. Suhu juga memiliki pengaruh yang kuat terhadap kadar ALB yang dihasilkan, dimana suhu akan memengaruhi aktivitas enzim dalam memecah protein dan hidrolisis triasilgliserol menjadi asam lemak bebas [18].

3. Pengaruh Suhu dan Waktu terhadap Kadar Air VCO

Pengaruh suhu dan waktu terhadap kadar air dapat menentukan seberapa besar nilai kadar air VCO yang dihasilkan. Semakin tinggi kadar air, maka hidrolisis juga berlangsung semakin cepat, yang ada akhirnya menyebabkan kadar ALB yang semakin meningkat. Sabbila dan Broto (2022) mengatakan bahwa waktu ekstraksi juga memiliki pengaruh terhadap kadar air yang dihasilkan. Selain itu, aktivitas dari konsentrasi enzim yang digunakan akan memengaruhi kadar air yang dihasilkan [19]. Hal ini berkaitan dengan suhu yang digunakan, dimana pada suhu yang optimal, maka aktivitas enzim pemecah protein akan berlangsung secara efisien, sehingga akan menghasilkan kadar air yang lebih rendah.

Kadar air yang dihasilkan merupakan salah satu aspek mutu yang penting pada ekstraksi VCO. Kadar air ini memiliki hubungan pada nilai ALB dan bilangan peroksida yang dihasilkan. Pada proses ekstraksi, air erat hubungannya pada hidrolisis yang terjadi. Pada suhu dan waktu yang optimum, aktivitas enzim akan bekerja secara optimum dalam memecah protein. Berdasarkan Tabel 2, penggunaan suhu ekstraksi semakin tinggi, maka kadar air yang dihasilkan semakin rendah. Hal ini menunjukkan suhu memiliki pengaruh terhadap nilai kadar air yang dihasilkan. Akan tetapi pengaruh penggunaan enzim dengan titik optimum suhu dan waktu yang digunakan akan berpengaruh, terutama pada hidrolisis lipid, sehingga tetap perlu diperhatikan dalam penggunaan suhu dan waktu selama ekstraksi.

4. Pengaruh Suhu dan Waktu terhadap Bilangan Peroksida VCO

Bilangan peroksida merupakan salah satu indikator mutu dalam VCO untuk mengetahui oksidasi yang terjadi selama ekstraksi VCO berlangsung. Selain itu, bilangan peroksida juga dapat menjadikan indikator mutu dalam umur simpan VCO.

Pengaruh paling besar pada penentuan bilangan peroksida terdapat pada penggunaan enzim. Sama halnya seperti pada nilai ALB, karakteristik enzim yang digunakan akan mempengaruhi seberapa besar bilangan peroksida yang dihasilkan, selain suhu dan waktu yang digunakan selama ekstraksi. Enzim bromealin dari CPE nanas lebih fokus pada hidrolisis protein, tidak mempengaruhi secara langsung pada bilangan peroksida yang dihasilkan. Pada enzim tersebut lebih minim terjadi peningkatan bilangan peroksida karena tidak ada hidrolisis lipid secara langsung yang nantinya akan mempengaruhi nilai ALB, seperti pada CPE udang putih pasifik. Peningkatan nilai ALB dari hidrolisis lipid dapat menyebabkan peningkatan bilangan peroksida karena rentannya terhadap oksidasi.

Autolisis yang terjadi pada enzim CPE udang putih pasifik dengan kondisi suhu optimum (60 °C) menghasilkan bilangan peroksida yang tinggi, serta menunjukkan tingkat oksidasi lipid yang masih berlangsung selama lebih dari 90 menit (Gambar 6).

Figure 6.Grafik Pengaruh Waktu terhadap BIlangan Peroksida Proses Autolisis Enzim CPE Udang Putih Pasifik [20].

Peningkatan bilangan peroksida ini dapat disebabkan beberapa faktor, salah satunya diakibatkan suhu tinggi. Dengan suhu yang digunakan cukup tinggi pada proses autolisis, asam lemak hasil hidrolisis lipid mengalami oksidasi lebih cepat. Proses autolisis juga menyebabkan terjadinya sebagian kecil hidrolisis lipid dan oksidasi lipid. Hal ini dipengaruhi oleh asam lemak bebas yang terbentuk selama autolisis cenderung rentan terhadap oksidasi. Peningkatan oksidasi lipid ditunjukkan dengan bilangan peroksida yang dihasilkan. Oksidasi autokatalitik dari minyak dipengaruhi salah satunya oleh kadar asam lemak bebas [21].

5. Energi Aktivasi Enzim

Energi aktivasi enzim merupakan jumlah energi minimum yang diperlukan enzim agar dapat mengkatalis reaksi dan mengubah substrat menjadi produk. Nilai energi aktivasi yang didapatkan ini juga dapat diindikasikan seberapa efisien enzim bekerja. Semakin rendah energi aktivasi, maka enzim lebih efektif dalam mengkatalis reaksi pada suhu yang lebih rendah atau pada suhu optimum. Begitu juga sebaliknya, jika energi aktivasi tinggi, maka semakin sulit reaksi terjadi, atau perlu adanya perlakuan tambahan seperti peningkatan suhu yang digunakan. Energi aktivasi ini juga erat hubungannya dengan aktivitas enzim yang berlangsung. Dengan energi aktivasi yang rendah, maka aktivitas enzim akan lebih tinggi. Begitu juga sebaliknya, energi aktivasi tinggi, maka aktivitas enzim bernilai rendah [22].

Berdasarkan data tinjauan pustaka yang didapat, terdapat beberapa enzim yang digunakan dalam ekstraksi VCO, seperti, CPE nanas, CPE udang putih pasifik, dan PPSP. Berdasarkan perhitungan energi aktivasi, enzim CPE udang putih pasifik dan enzim CPE nanas memiliki energi aktivasi yang rendah dibandingkan dengan PPSP (Gambar 7) yaitu masing-masing sebesar 3,65, 5,81, dan 25,43kJ/mol. Dengan nilai energi aktivasi yang rendah pada enzim CPE udang putih pasifik dan CPE nanas menyebabkan aktivitas enzim dari kedua enzim tersebut bekerja secara efisien dengan menghasilkan nilai rendemen yang tinggi dan mutu yang baik. Pada enzim PPSP, memiliki energi aktivasi yang cukup tinggi, menandakan bahwa kurangnya efisiensi enzim dalam mengekstrak kelapa. Hasil rendemen yang dihasilkan juga masih dibawah dari enzim CPE udang putih pasifik dan CPE nanas.

Figure 7.Grafik Energi Aktvasi Enzim CPE Udang Putih Pasifik, CPE Nanas, dan PPSP.

Berdasarkan analisis pengaruh variabel proses yang didapatkan pada atribut mutu utama (kadar ALB, kadar air, dan bilangan peroksida) dan rendemen VCO hasil ekstraksi basah, diketahui bahwa suhu dan waktu memiliki pengaruh terhadap mutu dan rendemen VCO yang dihasilkan. Pada ekstraksi basah secara enzimatis, suhu dan waktu akan memengaruhi aktivitas enzim dalam memecah protein selama ekstraksi berlangsung. Akan tetapi variabel proses tersebut tidak sepenuhnya memengaruhi mutu dan rendemen VCO yang dihasilkan. Karena pada penelitian ini hanya fokus pada suhu dan waktu, terdapat kemungkinan adanya pengaruh variabel proses ekstraksi yang lain di luar suhu dan waktu, seperti umur kelapa, bentuk kelapa, dan jenis kelapa. Towaha et al., (2008) melaporkan bahwa varietas kelapa tipe genjah memiliki komposisi kimia yang bervariasi. Hal ini akan memengaruhi mutu dan rendemen VCO yang dihasilkan [23].

Pengaruh penggunaan jenis enzim akan menghasilkan mutu dan rendemen VCO yang berbeda-beda. Masing-masing enzim memiliki stabilitas kondisi yang berbeda. Seperti pengaruh pH, konsentrasi enzim, dsb. Akan mengakibatkan perbedaan kondisi optimal yang mempengaruhi hasil ekstraksi. Selain itu karakteristik enzim juga memiliki pengaruh pada ekstraksi VCO. Bromealin dari CPE nanas memiliki karakteristik yang terfokus pada hidrolisis protein untuk melepaskan minyak dari matriks protein tetapi tidak memecah lipid secara langsung. Berbeda dengan CPE udang putih pasifik yang dapat menghasilkan lipase dan protein sehingga mampu memecah lipid dan protein secara baik. Sehingga hasil rendemen VCO yang dihasilkan bisa lebih tinggi dibandingkan bromealin CPE nanas.

C. Tinjauan terhadap Metode Ekstraksi VCO secara Fermentasi Mikroba

Diperoleh 5 artikel penelitian ekstraksi VCO dengan proses fermentasi mengunakan mikroba. Ekstraksi VCO secara fermentasi dilakukan dalam dua metode yaitu fermentasi mikroba alami dan fermentasi dengan bantuan mikroba spesifik yaitu Saccharomyces cerevisiae dan Lactobacillus plantarum. Proses ektraksi dilakukan pada rentang suhu 20–40 ºC selama waktu fermentasi 6–72 jam. Rendemen VCO yang diperoleh berkisar antara 9,43–93,26%, dengan mutu kadar air 0,11–0,45%, kadar ALB 0,2–0,69%, dan bilangan peroksida 0,66–7,75 meq/kg (Tabel 3).

Penelitian Senphan dan Benjakul (2016) menggunakan mikroba Saccharomyces cerevisiae pada suhu 20 ºC dalam waktu 6 jam, mendapatkan rendemen VCO tertinggi sebesar 93,26% dengan kadar air 0,45%, kadar ALB 0,69%, dan bilangan peroksida 7,75 meq/kg. Mohammed et al., juga menggunakan jenis mikroba dan suhu yang sama, namun dengan waktu lebih lama yaitu 36 jam, menghasilkan rendemen lebih rendah sebesar 72%. Akan tetapi, mutu VCO yang dihasilkan lebih baik, dengan kadar air 0,15%, kadar ALB 0,2%, dan bilangan peroksida 2,59 meq/kg [24].

Penulis Jenis Mikroorganisme Suhu (ºC) Waktu (jam) Rende-men (%) Asam lemak lebas (%) Kadar air (%) Bilangan peroksida (meq/kg)
Oseni et al. (2017) Fermentasi alami 40 16 68.13 0.36 0.11 0.68
Oseni et al. (2017) Lactobacillus plantarum 40 10 77.67 0.3 0.12 0.66
Mohammed et al. (2021) Saccharomyces cerevisiae 20 36 72 0.15 0.20 2.59
Senphan & Benjakul (2016) Saccharomyces cerevisiae 20 6 93.26 0.45 0.69 7.75
Ghani et al. (2018) Fermentasi alami 30 72 9.43 0.13 0.53 2.8
Table 3.Data pengaruh suhu dan waktu ekstraksi terhadap rendemen dan mutu VCO (metode fermentasi mikroba)

Enzim yang dihasilkan selama ekstraksi dari 2 jenis mikroba tersebut hampir sama, dimana terdapat protease dan lipase. Kedua jenis enzim ini akan memengaruhi selama proses ekstraksi untuk menghasilkan VCO dari pemecahan protein dan lipid. Enzim protease sendiri akan fokus pada pemecahan protein yang dapat memecah dinding sel kelapa menjadi matriks protein kelapa sehingga memengaruhi dari nilai rendemen VCO yang dihasilkan. Enzim lipase yang dihasilkan juga dapat mempengaruhi rendemen VCO pada proses hidrolisis lipid. Selain itu juga hidrolisis lipid ini juga akan memengaruhi dari asam lemak bebas yang dihasilkan, dimana lipase memecah trigliserida menjadi asam lemak bebas

Proses enzimatis oleh mikroba tersebut memengaruhi substrat dan konsentrasi enzim, suhu, pH, dan waktu inkubasi untuk terjadinya reaksi enzimatik. Di sisi lain, beberapa penelitian menggunakan proses ekstraksi fermentasi secara alami tanpa adanya penambahan mikroba. Hasil rendemen proses fermentasi menggunakan mikroba Lactobacillus plantarum menghasilkan rendemen lebih tinggi yaitu sebesar 77,67% dibandingkan dengan proses fermentasi alami yaitu sebesar 68,13%. Akan tetapi mutu VCO yang dihasilkan tidak jauh berbeda antara hasil ekstraksi fermentasi alami dengan fermentasi yang menggunakan mikroba tertentu. Perbedaan karakteristik enzim dari mikroba yang dihasilkan dari kedua metode fermentasi ini memengaruhi hasil rendemennya.

Pada mikroba Lactobacillus plantarum mampu menghasilkan enzim untuk fermentasi yang memiliki karakteristik dalam ekstraksi VCO, seperti adanya enzim protease dan lipase yang dapat memengaruhi nilai rendemen dan asam lemak bebas yang dihasilkan. Berbeda dengan fermentasi alami, dimana pengembangan mikroflora yang terjadi tergantung pada kondisi lingkungan selama fermentasi. Meskipun secara umum, enzim yang dihasilkan dari mikroba yang berkembang hampir sama, seperti salah satunya protease. Akan tetapi efisiensi enzimatiknya akan berbeda, akan lebih baik dari enzim yang dihasilkan pada proses fermentasi induksi oleh mikroba karena konsentrasi dan aktivitas enzim bisa diatur sesuai dengan kondisi optimumnya.

Secara keseluruhan, mutu dan rendemen VCO yang dihasilkan dari proses ekstraksi dengan metode fermentasi mikroba cukup baik. Ekstraksi secara fermentasi mikroba dilakukan dengan waktu yang lebih lama dibandingkan dengan metode enzimatis. Hasil ekstraksi fermentasi dengan bantuan mikroba Saccharomyces cerevisiae menghasilkan rendemen mencapai 93,26%. Selain itu mutu yang dihasilkan juga cukup baik dengan kadar air 0,45%, kadar ALB 0,69%, walaupun bilangan peroksida yang dihasilkan cukup tinggi mencapai 7,75 meq/kg.

Simpulan

Metode ekstraksi basah VCO dilakukan dengan 2 cara, yaitu secara fermentasi enzimatis dan secara fermentasi mikroba. Ekstraksi fermentasi secara enzimatis terdapat perbedaan karakteristik enzim yang dihasilkan yang dapat mempengaruhi rendemen dan mutu VCO. Enzim protease dari nanas cenderung menghasilkan rendemen yang lebih rendah dibandingkan alcalase dan protease udang putih pasifik yang juga menghasilkan lipase. Mutu yang dihasilkan dari beberapa jenis enzim tersebut tidak jauh berbeda pada nilai asam lemak bebas dan kadar air. Hanya pada bilangan peroksida terdapat perbedaan dari nilai yang dihasilkan. Selain itu, aktivitas enzim pada suhu dan waktu yang optimum akan menghasilkan mutu dan rendemen VCO yang baik.

Ekstraksi VCO dengan proses fermentasi mikroba memiliki potensi yang cukup baik dalam menghasilkan mutu dan rendemen VCO. Faktor-faktor seperti suhu, waktu, dan jenis mikroba yang digunakan juga perlu diperhatikan dalam ekstraksi fermentasi mikroba. Proses fermentasi alami menghasilkan mutu dan rendemen yang kurang baik jika dibandingkan dengan fermentasi yang diinduksi dengan mikroba. Pengaruh enzim yang dihasilkan dari mikroba mempengaruhi mutu dan rendemen akibat aktivitas dan karakteristik enzimnya, sehingga pengaruh penggunaan suhu dan waktu yang optimum juga memiliki pengaruh pada hasil ekstraksi VCO.

Berdasarkan hasil telaah dan analisis data terhadap jurnal terpilih, diketahui bahwa proses ekstraksi secara fermentasi enzimatis menggunakan enzim alcalase pada suhu 60 ºC dan waktu 1,5 jam mampu menghasilkan rendemen paling tinggi (98,25%) dan mutu VCO yang baik (kadar ALB 0,19%, kadar air 0,04%, dan bilangan peroksida 8,28 meq/kg). Hasil proses fermentasi enzimatis tersebut lebih baik dibandingkan dengan proses fermentasi mikroba. Waktu ekstraksi yang dilakukan dengan fermentasi mikroba lebih lama dibandingkan dengan ekstraksi enzimatis, meskipun mutu VCO yang dihasilkan relatif baik dan memenuhi SNI 7381:2022 tentang minyak kelapa virgin.

References

  1. R. K. Agarwal and S. J. D. Bosco, "Extraction Processes of Virgin Coconut Oil," MOJ Food Processing & Technology, vol. 4, no. 2, pp. 87-89, 2017. [Online]. Available: https://doi.org/10.15406/mojfpt.2017.04.00087.
  2. Andhika, "Daya Saing Ekspor Produk Kelapa Indonesia dan Determinan yang Memengaruhinya di Negara Tujuan," M.S. thesis, Institut Pertanian Bogor, Bogor, Indonesia, 2022.
  3. BPS (Badan Pusat Statistik), "Luas Areal Tanaman Perkebunan Menurut Jenis Tanaman Menurut Provinsi (Ribu Ha)," 2020. [Online]. Available: https://www.bps.go.id/indikator/indikator/view_data_pub/0000/api_pub/OHpDcnRSSHlqM29XRmROaUtQUHdoQT09/da_05/1. [Accessed: Oct. 2023].
  4. BPS (Badan Pusat Statistik), "Produksi Perkebunan Menurut Jenis Tanaman Menurut Provinsi (Ribu Ton) 2020," 2020. [Online]. Available: https://www.bps.go.id/indikator/indikator/view_data_pub/0000/api_pub/elJzMTFDZWI0bS9OcGptMVFWNEdhdz09/da_05/1. [Accessed: Nov. 2023].
  5. BSN (Badan Standardisasi Nasional), "SNI Nomor 7381:2022 tentang Minyak Kelapa Virgin (Virgin Coconut Oil)," 2022.
  6. Cahyani, A. I. N. Tari, and N. W. Asmoro, "Pengaruh Waktu Fermentasi terhadap Rendemen dan Sifat Fisikokimia VCO (Virgin Coconut Oil)," Pro Food (Jurnal Ilmu dan Teknologi Pangan), vol. 7, no. 1, pp. 852-858, 2021. [Online]. Available: https://doi.org/10.29303/profood.v7i1.188.
  7. E. Choe and B. M. David, "Mechanism and Factors for Edible Oil Oxidation," Food Science and Food Safety, vol. 5, no. 4, pp. 169-186, 2006. [Online]. Available: https://doi.org/10.1111/j.1541-4337.2006.00009.x.
  8. J. A. V. Famurewa, K. F. Jaiyeoba, C. A. Ogunlade, and O. B. Ayeni, "Effect of Extraction Methods on Yield and Some Quality Characteristics of Coconut (Cocos Nucifera L) Oil," Agricultural Engineering International: CIGR Journal, vol. 23, no. 3, pp. 251-260, 2021.
  9. N. A. A. Ghani, A. A. Channip, P. C. H. Hwa, F. Ja’afar, H. M. Yasin, and A. Usman, "Physicochemical Properties, Antioxidant Capacities, and Metal Contents of Virgin Coconut Oil Produced by Wet and Dry Processes," Food Science & Nutrition, vol. 6, no. 5, pp. 1298-1306, 2018. [Online]. Available: https://doi.org/10.1002/fsn3.671.
  10. Y. C. C. Kusuma, I. D. G. M. Permana, and P. T. Ina, "Pengaruh Jenis Ragi dan Lama Fermentasi terhadap Karakteristik Virgin Coconut Oil (VCO)," Jurnal Ilmu dan Teknologi Pangan, vol. 11, no. 1, pp. 74-82, 2022. [Online]. Available: https://doi.org/10.24843/itepa.2022.v11.i01.p08.
  11. N. K. Mohammed, Z. T. Samir, M. A. Jassim, and S. K. Saeed, "Effect of Different Extraction Methods on Physicochemical Properties, Antioxidant Activity, of Virgin Coconut Oil," Materials Today: Proceedings, vol. 42, no. 5, pp. 2000-2005, 2021. [Online]. Available: https://doi.org/10.1016/j.matpr.2020.12.248.
  12. M. Nurminah, L. M. Lubis, and R. M. Munthe, "Comparison of Virgin Coconut Oil (VCO) Quality with Fermentation and Centrifugation Methods from Genjah and Hybrid Variety of Coconut Based on Indonesian Local Environment Resources," IOP Conference Series: Earth and Environmental Science, vol. 1241, 2023. [Online]. Available: https://doi.org/10.1088/1755-1315/1241/1/012090.
  13. N. T. Oseni, W. M. A. D. B. Fernando, R. Coorey, I. Gold, and V. Jayasena, "Effect of Extraction Techniques on the Quality of Coconut Oil," African Journal of Food Science, vol. 11, no. 3, pp. 58-66, 2017. [Online]. Available: https://doi.org/10.5897/AJFS2016.1493.
  14. U. Patil and S. Benjakul, "Uses of Protease from Seabass Pyloric Caeca in Combination with Repeated Freeze-thawing Cycles Increases the Production Efficiency of Virgin Coconut Oil," European Journal of Lipid Science & Technology, vol. 121, pp. 1-9, 2019. [Online]. Available: https://doi.org/10.1002/ejlt.201800460.
  15. M. Pautasso, "Ten Simple Rules for Writing a Literature Review," PLoS Computational Biology, vol. 9, no. 7, pp. 7-10, 2013. [Online]. Available: https://doi.org/10.1371/journal.pcbi.1003149.
  16. S. R. Sabbila and R. T. D. W. Broto, "Utilization of Papain Enzymes on the Production of Virgin Coconut Oil," Journal of Vocational Studies on Applied Research, vol. 4, no. 2, pp. 47-52, 2022. [Online]. Available: https://dx.doi.org/10.14710/jvsar.v4i2.16036.
  17. T. Senphan and S. Benjakul, "Compositions and Yields of Lipids Extracted from Hepatopancreas of Pacific White Shrimp (Litopenaeus Vannamel) as Affected by Prior Autolysis," Food Chemistry, vol. 134, no. 2, pp. 829-835, 2012. [Online]. Available: https://doi.org/10.1016/j.foodchem.2012.02.188.
  18. T. Senphan and S. Benjakul, "Chemical Compositions and Properties of Virgin Coconut Oil Extracted Using Protease from Hepatopancreas of Pacific White Shrimp," European Journal of Lipid Science & Technology, vol. 118, no. 5, pp. 761-769, 2016. [Online]. Available: https://doi.org/10.1002/ejlt.201400655.
  19. T. Senphan and S. Benjakul, "Comparative Study on Virgin Coconut Oil Extraction Using Protease from Hepatopancreas of Pacific White Shrimp and Alcalase," Journal of Food Processing and Preservation, vol. 41, no. 1, pp. 1-12, 2017. [Online]. Available: https://doi.org/10.1111/jfpp.12771.
  20. P. P. Soo, Y. Ali, O. M. Lai, C. H. Kuan, T. K. Tang, Y. Y. Lee, and E. T. Phuah, "Enzymatic and Mechanical Extraction of Virgin Coconut Oil," European Journal of Lipid Science and Technology, vol. 122, no. 5, pp. 1-13, 2020. [Online]. Available: https://doi.org/10.1002/ejlt.201900220.
  21. J. Towaha, G. Indriati, and R. Rusli, "Komponen Buah dan Fitokimia Daging Buah Kelapa Genjah," Agrin, vol. 12, no. 1, pp. 23-34, 2008. [Online]. Available: http://dx.doi.org/10.20884/1.agrin.2008.12.1.76.
  22. Trademap, "List of Exported Products for the Selected Products," 2020. [Online]. Available: https://trademap.org. [Accessed: Mar. 2023].
  23. UN Comtrade, "UN Comtrade Database," 2022. [Online]. Available: https://comtradeplus.un.org. [Accessed: Oct. 2023].
  24. M. Wojcik and J. Milek, "A New Method to Determine Optimum Temperature and Activation Energies for Enzymatic Reactions," Bioprocess and Biosystem Engineering, vol. 39, no. 8, pp. 1319-1323, 2016. [Online]. Available: https://doi.org/10.1007/s00449-016-1596-7.