Psychological Capital and Innovative Work Behavior with Engagement and Job Crafting
Innovation in Economics, Finance and Sustainable Development
DOI: 10.21070/ijins.v25i4.1219

Psychological Capital and Innovative Work Behavior with Engagement and Job Crafting


Modal Psikologis dan Perilaku Kerja Inovatif dengan Keterlibatan dan Penciptaan Pekerjaan

Program Studi Magister Manajemen, Universitas Khairun
Indonesia
Program Studi Magister Manajemen, Universitas Khairun
Indonesia
Program Studi Magister Manajemen, Universitas Khairun
Indonesia
Program Studi Magister Manajemen, Universitas Khairun
Indonesia

(*) Corresponding Author

Employee Engagement Job Crafting Innovative Work Behavior Millennial Staff Psychological Capital

Abstract

General background: Innovation is crucial for civil servants (ASN) to adapt and enhance organizational productivity. Specific background: Innovative work behavior (IWB) is essential for optimal performance, yet research often overlooks internal factors like psychological capital (PsyCap). Knowledge gap: The detailed role of PsyCap in influencing IWB, with mediators such as Employee Engagement (EE) and Job Crafting (JC), is underexplored. Aims: This study investigates the impact of PsyCap on IWB, with EE and JC as mediators, using SEM-PLS. Results: Data from 152 millennial ASNs in North Maluku show that 1) PsyCap significantly affects IWB, 2) PsyCap positively influences EE and JC, 3) EE significantly impacts IWB, while JC does not, and 4) EE partially mediates PsyCap and IWB. Novelty: Highlights the key role of EE in promoting IWB. Implications: Recommends enhancing PsyCap and EE through training and a positive organizational culture.

Highlights: 

  • PsyCap significantly influences innovative work behavior among ASNs.
  • Employee engagement acts as a partial mediator between PsyCap and IWB.
  • Job crafting does not directly impact IWB in this study's context.

Keywords: Employee Engagement, Job Crafting, Innovative Work Behavior, Millennial Staff, Psychological Capital

Pendahuluan

Inovasi merupakan salah satu implementasi core value Aparatur Sipil Negara (ASN) yaitu adaptif. ASN dituntut untuk terus berinovasi agar mampu menghadapi perubahan, meningkatkan produktivitas dan daya saing organisasi. Innovative work behavior penting dimiliki oleh ASN agar kinerja individu dan organisasi dapat tercapai dengan maksimal. ASN dapat memberikan pelayanan masyarakat yang layak, inovasi menjadi hal yang sangat penting. Sumber daya manusia (SDM) merupakan pendorong inovasi di tempat kerja yang sangat penting bagi organisasi untuk menjadi inovatif [1].

Badan Pusat Statistik (BPS) adalah Lembaga Pemerintah Non Departemen yang mempunyai fungsi utama menyediakan data dasar untuk pembangunan Indonesia. Data merupakan hal urgen yang sangat dibutuhkan untuk merencanakan pembangunan. Zaman yang sudah merubah menuntut BPS untuk menyediakan SDM yang mampu beradaptasi terhadap perubahan.

Adanya fenomena big data merupakan tantangan tersendiri bagi BPS. Untuk mengimbangi pertumbuhan data di Indonesia yang terus meningkat, BPS menghadapi tantangan dalam memenuhi permintaan statistik. Melalui inovasi dan modernisasi dalam operasi pengumpulan data, jajaran ASN BPS harus mampu secara efektif mencerminkan dinamika permintaan penyedia data yang semakin beragam. Konsumen data menjadi semakin skeptis terhadap kualitas dan penggunaan data, yang menambah lapisan kesulitan lainnya. Akibatnya, BPS sebagai penyedia data statistik berkualitas harus lebih fleksibel untuk menyediakan data yang lebih komprehensif dan lebih aplikatif.

Perilaku kerja inovatif dipandang merupakan salah satu upaya untuk bisa beradaptasi terhadap perubahan yang begitu cepat. Perilaku kerja inovatif diharapkan dapat memaksimalkan teknologi informasi, teknik pengumpulan data, dan sumber daya lainnya untuk menghasilkan data yang berkualitas. Perilaku inovatif menjadi salah satu bentuk perilaku adaptif dalam menjawab tantangan dari prubahan lingkungan yang sangat dinamis.

Hasil Sensus Penduduk tahun 2020 menunjukkan bahwa generasi milenial (lahir antara tahun 1981 dan 1996) dan generasi Z (lahir antara tahun 1997 dan 2012) merupakan mayoritas penduduk Indonesia. Generasi Z mencakup 27,94% dari populasi, sedangkan generasi milenial mencakup 25,87%. Dengan mayoritas anggota dari kedua generasi ini masuk dalam kelompok "usia produktif", ada peluang untuk mempercepat ekspansi ekonomi. Pada tahun 2020, 70,72 persen penduduk dianggap berada dalam usia kerja, yang didefinisikan sebagai usia 15–64 tahun. Proporsi penduduk yang tidak bekerja aktif (berusia 0–14 dan 65 tahun ke atas) adalah 29,28% pada tahun 2020. Tampaknya ada proporsi penduduk usia kerja yang sangat tinggi. Ini membuktikan bahwa periode bonus demografi masih jauh dari selesai di Indonesia. Angka-angka ini menunjukkan bahwa generasi milenial dan Gen Z berbondong-bondong memasuki dunia kerja.

Orang yang lahir pada tahun 1981–1996 dianggap sebagai generasi milenial, sedangkan mereka yang lahir pada tahun 1997–2012 dianggap sebagai generasi Z. Generasi Z mencakup 27,94% dari keseluruhan populasi, sedangkan generasi milenial mencapai 25,87% [2]. Informasi ini diperoleh dari Sensus Penduduk 2020. Anggota generasi milenial, yang sering dikenal sebagai generasi Y, tumbuh dewasa antara tahun 1981 dan 1996, masa kemajuan teknologi yang pesat. Mereka lahir dalam masyarakat di mana setiap orang menggunakan ponsel dan media sosial secara konstan, sehingga mereka secara alami memiliki banyak keterampilan digital. Beberapa orang menganggap generasi milenial lamban karena mereka menghabiskan begitu banyak waktu di ponsel mereka. Tetapi generasi milenial adalah generasi yang paling kutu buku, dan mereka juga merupakan yang paling ingin tahu dan percaya diri. Tetapi masalah kesehatan mental seperti kecemasan dan kesedihan lebih umum terjadi pada generasi milenial.

Perilaku inovatif ASN dapat menginspirasi individu untuk memunculkan ide-ide segar, proses, metode kerja, atau solusi yang dapat mendongkrak efisiensi dan elektabilitas organisasi. Pada akhirnya akan bermuara pada peningkatan Indeks Daya Saing Nasional Indonesia [3]. Variabel internal dan eksternal memiliki peran dalam membentuk kecenderungan seseorang untuk berinovasi. Rasa percaya diri seseorang, penerimaan terhadap pengalaman baru, kreativitas, dan modal psikologis merupakan unsur internal yang memengaruhi perilaku kerja kreatifnya. Persyaratan pekerjaan, sumber daya yang tersedia, budaya perusahaan, kepemimpinan, dan pengelolaan pengetahuan merupakan contoh pengaruh eksternal.

Selanjutnya temuan faktor-faktor yang mempengaruhi inovasi dan kreatifitas di tingkat individu, tingkat pekerjaan, tingkat kelompok kerja, dan tingkat organisasi [4]. Pada tingkat individu faktor-faktor tersebut meliputi karakteristik kepribadian proaktif, kepercayaan diri dan orisinalitas, motivasi dan kemampuan kognitif. Pada tingkat pekerjaan faktor-faktor yang mempengaruhi diantaranya karakteristik pekerjaan, sedangkan pada tingat kelompok kerja faktor-faktor tersebut berupa iklim tim, karakteristik anggota tim. Terakhir pada tingkat organisasi faktor yang mempengaruhi adalah budaya, strategi dan struktur organisasi.

Modal psikologis dapat memprediksi perilaku inovatif [5]. Kaitan antara psychological capital dan innovative work behavior di tempat kerja [6]. Baik Psychological capital maupun innovative work behavior di tempat kerja tidak terbukti memiliki hubungan yang signifikan. Mereka mengklaim bahwa fakta bahwa partisipan penelitian adalah pegawai pemerintah merupakan salah satu kelemahannya. Mereka berpendapat bahwa organisasi pemerintah cenderung tidak menunjukkan perilaku inovatif. Ada birokrasi di lembaga pemerintah yang kuat, tidak fleksibel, dan tidak responsif terhadap tren modern.

Adanya riset gap di atas penulis, berusaha mencari variabel yang dapat menjembatani psychological capital dan innovative work behavior. Penulis mencari variabel mediasi dengan cara mencoba mencari faktor-faktor lain yang menjembatani munculnya perilaku kerja inovatif seperti employee engagement danjob crafting.

Bila karyawan yakin bahwa mereka membuat perbedaan dalam keberhasilan perusahaan, mereka cenderung lebih terlibat dalam pekerjaan mereka. Dengan berinvestasi dalam pekerjaan mereka, karyawan mengembangkan rasa memiliki terhadap perusahaan yang lebih dari sekadar gaji; hal itu juga menginspirasi mereka untuk berbuat lebih baik bagi perusahaan secara keseluruhan. Elemen emosional di tempat kerja, seperti ikatan dengan rekan kerja dan pengalaman kerja yang positif, dapat membentuk komitmen karyawan terhadap organisasi [7].

Pegawai yang memiliki loyalitas pegawai terhadap organisasi akan bekerja secara konsisten dan tidak mudah terganggu ketika dihadapkan pada permasalahan pekerjaan. Dedikasi dalam diri karyawan menjadi kinerja kerja yang terus meningkat, timbul rasa tanggung jawab untuk terus bekerja dan ikut, hanya dalam kesuksesan perusahaan mencapai tujuan. Karyawan yang memiliki idealisme keterikatan akan antusias dan berdedikasi pada pekerjaan mereka. Menurut sudut pandang ini, keterikatan karyawan akan meningkatkan kontribusi dan loyalitas, yang pada gilirannya akan mengurangi kemungkinan pekerja akan rela berhenti dari pekerjaan mereka.

Psychological capital yang mumpuni ditambah dengan tingkat engagement pegawai yang tinggi membuat seorang pegawai berpotensi untuk menginvestasikan energi fisik, emosional dan kogrnitif mereka ke dalam peran kerja mereka [8]. Dengan kondisi seperti ini perilaku kerja inovatif akan lebih mudah tercipta.

Job crafting berhubungan dengan perilaku kerja inovatif karyawan [9]. Hasil penelitian ini secara parsial menguatkan temuan sebelumnya yang menggambarkan hubungan antara job crafting dan perilaku kerja inovatif [10]. Dalam penelitian ini perilaku job crafting berupa peningkatan sumber daya pekerjaan struktural dan peningkatan tuntutan pekerjaan yang menantang berhubungan positif dengan perilaku kerja inovatif.

Job crafting sebagai upaya individu untuk mengubah lingkup fisik dan kognitif pekerjaan mereka serta interaksi mereka dengan rekan kerja di tempat kerja [11]. Orang-orang terlibat dalam penciptaan pekerjaan ketika mereka perlu menyesuaikan diri dengan lingkungan kerja mereka; ini adalah aktivitas yang spontan dan kreatif. Orang-orang menggunakan ini untuk membangun dan mempertahankan posisi dan kegembiraan terhadap profesi mereka. Ketika tempat kerja mengalami transformasi, job crafting menjadi penting. Sebagai sarana untuk menyesuaikan diri dengan perubahan organisasi, job crafting adalah salah satu strategi.

Dalam lingkup kerja BPS se- Maluku Utara, berbagai tantangan dalam menghasilkan data berkualitas menjadi hal yang harus dihadapi. Tantangan wilayah kerja yang berbasis kepulauan, aksesbilitas teknologi informasi , sumber daya manusia menjadi bagian yang harus ditaklukan. Terlebih lagi nilai Sistem Akuntabilitas dan Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP) tahun 2023, nilai rata-rata selueuh satuan kerja BPS se- Maluku Utara masih menjadi terendah di seluruh BPS se- Indonesia sebesar 63,47 poin dibanding dengan rata-rata nilai SAKIP BPS se- Indonesia pada 69,69 poin [12].

Nilai SAKIP yang belum sesuai dengan harapan mengisyaratkan bahwa perlunya peningkatan performa kerja dengan melaksanakan berbagai inovasi dalam tataran organisasi. Pada tataran SDM, diperlukan perilaku kerja inovatif agar dapat menghasilkan inovasi yang akan membantu organisasi mencapai tujuannya.

Penelitian pengaruh psychological capital terhadap innovative work behavior telah banyak dilakukan pada sektor privat, namun penelitian pada sektor publik terutama ASN masih terbatas. Pada penelitian ini penulis menggunakan variable mediasi employee engagement karena pada berbagai penelitian employee engagement mampu menjadi penghubung antara psychological capital dan innovative work behavior pada konteks perusahaan swasta [13]. Penelitian ini akan mencoba menguji peran mediasi pada konteks sektor publik.

Variabel mediasi selanjutnya yang dipakai sebagai penghubung antara psychological capital dan innovative work behavior adalah job crafting. Penelitian sebelumnya mengisyaratkan bahwa job cafting adalah bagian yang penting dari lahirnya inovasi. Job crafting memiliki dampak signifikan dan positif terhadap prilaku kerja inovatif [14]. Hal ini menjukan bahwa job crafting merupakan strategi untuk meningkatkan inovasi di tempat kerja. Penelitian tersebut dilakukan pada konteks perusahaan privat. Temuan ini diharapkan dapat berlaku juga pada sektor publik.

Berdasarkan diskusi konseptual, empiris dan kontekstual, maka penelitian ini menguji pengaruh psychological capital terhadap innovative work behavior dimediasi oleh employee engagement dan job crafting. Variabel- variabel yang ada di dalam penelitian ini dipandang sesuai dengan konteks yang ada pada organisasi Badan Pusat Statistik, khususnya BPS Provinsi Maluku Utara.

Hipotesis penelitian ini dapat diformulaiskan sebagai berikut: H1 Psychological capital berpengaruh terhadap innovative work behavior. H2.Psychological capital berpengaruh terhadap employee engagement . H3. Psychological capital berpengaruh terhadap job crafting. H4.Employee engagement berpengaruh terhadap innovative work behavior. H5. Job crafting berpengaruh terhadap innovative work behavior . H6. Employee engagement memediasi pengaruh psychological capital terhadap innovative work behavior. H7.Job crafting memediasi pengaruh psychological capital terhadap innovative work behavior.

Figure 1. Model Penelitian

Metode

Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif . Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah survey dengan menggunakan kuesioner melalui media google form,pilihan respon menggunakan skala Liket. Lokasi penelitian ini bertempat di BPS Provinsi Maluku Utara. Penelitian ini dilakukan dalam kurun waktu kurang lebih 5 bulan, Maret – Juli 2024. Populasi penelitian ini adalah ASN generasi milenial BPS Provinsi Maluku Utara, yang berjumlah 158 orang. Teknik penarikan sampel menggunakan purposive sampling, dengan kriteria ASN milenial yang mempunyai masa kerja lebih dari 1 tahun. Jumlah sampel yang memenuhi syarat yaitu sebanyak 156 orang. Analisis model SEM, menggunakan software SmartPLS versi 4.0.

Pengukuran variabel menggunakan kuesioner dengan 5 pilihan jawaban skala Liket (sangat tidak sesuai=1 sampai sangat setuju=5). Variabel penelitian ini, yaitu psychological capital sebagai variabel bebas, innovative work behavior sebagai variabel terikat, serta employee engagement dan job crafting sebagai variabel mediasi.

Hasil dan Pembahasan

A. Hasil

Penelitian ini melibatkan 152 responden dari 156 responden yang memenuhi syarat dan 4 orang yang tidak mengisi kuesioner. Hasil penelitian menunjukan karakteristik responden, sebanyak 42,76% perempuan dan 57,24% adalah laki-laki. Selain itu tingkat pendidikan yang mendominasi adalah DIV/S1, dan masa kerja sampel penelitian ini sebanyak 36, 84% pada rentang 11-15 tahun.

Profil Jumlah Persentase (%)
Jenis Kelamin
Laki-laki 87 57,24
Perempuan 65 42,76
Pendidikan
SMA 23 15,13
DIII 14 9,21
DIV/S1 100 65,79
S2 15 9,87
Masa Kerja
1-5 tahun 30 19,74
6-10 tahun 37 24,34
11-15 tahun 56 36,84
16-20 tahun 28 18,42
>20 tahun 1 0,66
Jabatan
Jabatan struktural 11 7,23
Jabatan fungsional 104 68,43
Pelaksana 37 24,34
Table 1.Karakteristik responden

Convergent validity dari model pengukuran dengan refleksi indikator dinilai berdasarkan korelasi antara item score/component yang diestimasi dengan software SmartPLS. Ukuran refleksi individual dikatakan tinggi jika berkorelasi lebih dari 0,7 dengan konstruk yang diukur. Dalam penelitian ini akan digunakan batas loading factor sebesar 0,7.

Figure 2.Model Pengukuran (outer model)

Variabel Indikator Loading Factor AVE Validitas
Innovative Work Behaviour (Y) Y.1 0.871 0.706 Valid
Y.2 0.863 Valid
Y.3 0.864 Valid
Y.4 0.781 Valid
Y.5 0.833 Valid
Y.6 0.826 Valid
Psychological capital (X) X.1 0.759 0.635 Valid
X.2 0.812 Valid
X.3 0.793 Valid
X.4 0.82 Valid
X.5 0.85 Valid
X.7 0.736 Valid
X.8 0.804 Valid
Employee engagement (Z1) Z1.1 0.733 0.630 Valid
Z1.2 0.84 Valid
Z1.3 0.889 Valid
Z1.4 0.836 Valid
Z1.5 0.833 Valid
Job crafting (Z2) Z2.5 0.703 0.685 Valid
Z2.6 0.754 Valid
Z2.7 0.875 Valid
Z2.8 0.832 Valid
Z2.9 0.820 Valid
Z2.10 0.814 Valid
Z2.11 0.745 Valid
Table 2.Nilai Loading Factor dan Nilai AVE

Uji validitas ini adalah dengan menilai validitas dari item pertanyaan dengan melihat nilai average variance extracted (AVE). AVE merupakan persentase rata-rata nilai variance extracted (AVE) antar item pertanyaan atau indikator suatu variabel yang merupakan ringkasan convergent indicator. Untuk persyaratan yang baik, jika AVE masing-masing item pertanyaan nilainya lebih besar dari 0.5 Ghozali (2012).

1. Discriminant Validity

Item Innovative Work Behaviour (Y) Psychological capital (X) Employee engagement (Z1) Job crafting (Z2)
X.1 0.454 0.759 0.539 0.597
X.2 0.432 0.812 0.599 0.632
X.3 0.501 0.793 0.627 0.663
X.4 0.487 0.82 0.643 0.59
X.5 0.541 0.85 0.7 0.606
X.7 0.483 0.736 0.644 0.497
X.8 0.576 0.804 0.726 0.617
Y.1 0.871 0.53 0.547 0.466
Y.2 0.863 0.515 0.488 0.499
Y.3 0.864 0.535 0.521 0.493
Y.4 0.781 0.447 0.525 0.484
Y.5 0.833 0.467 0.472 0.445
Y.6 0.826 0.628 0.626 0.576
Z1.1 0.437 0.499 0.733 0.475
Z1.2 0.528 0.655 0.84 0.615
Z1.3 0.556 0.762 0.889 0.665
Z1.4 0.504 0.645 0.836 0.692
Z1.5 0.589 0.734 0.833 0.633
Z2.5 0.556 0.51 0.449 0.703
Z2.6 0.466 0.563 0.602 0.754
Z2.7 0.504 0.635 0.688 0.875
Z2.8 0.467 0.568 0.669 0.832
Z2.9 0.397 0.633 0.596 0.82
Z2.10 0.424 0.626 0.525 0.814
Z2.11 0.468 0.641 0.619 0.745
Table 3. Discriminant Validity (Cross Loading)

2. Uji Reliabilitas

Item Cronbach's Alpha Composite Reliability
Innovative Work Behaviour (Y) 0.917 0.935
Psychological capital (X) 0.904 0.924
Employee engagement (Z1) 0.885 0.916
Job crafting (Z2) 0.901 0.922
Table 4.Composite Realibility dan Cronbach’s Alpha

Berdasarkan Tabel 4. dapat disimpulkan bahwa semua konstruk memenuhi kriteria realiabel. Hal ini ditunjukkan dengan nilai composite reliability dan Cronbach’s Alpha yang memiliki nilai di atas 0.7 sehingga dapat disimpulkan bahwa keseluruhan variabel memiliki tingkat realibilitas yang tinggi.

3. Pengujian Hipotesis

Variabel Original Sample (O) T Statistics (|O/STDEV|) P Values
XY 0,246 1,991 0,047
XZ1 0,806 21,397 0,000
XZ2 0,754 11,677 0,000
Z1Y 0,303 2,173 0,030
Z2Y 0,180 1,423 0,155
X Z1Y 0,244 2,180 0,030
X Z2Y 0,136 1,330 0,184
Table 5. Total Effect

Hipotesis pertama yaitu pengaruh psychological capital terhadap innovative work behavior menunjukkan hasil koefisien jalur sebesar 0,246 dengan nilai t-hitung sebesar 1,991 lebih besar dari 1,96 dan P-values sebesar 0,047 lebih kecil dari 0,05 (5%). Berdasarkan hasil tersebut dapat diartikan bahwa psychological capitalberpengaruh signifikan terhadap innovative work behavior. Hal ini berarti bahwa H1 diterima.

Hipotesis 2 yaitu pengaruh psychiological capital terhadap employee engagement menunjukkan nilai koofisien jalur sebesar 0,806 dengan nilai t-hitung sebesar 21,397 lebih besar dari 1,96 dan P-values sebesar 0,000 lebih kecil dari 0,05 (5%). Berdasarkan hasil tersebut dapat diartikan bahwa psychological capital berpengaruhterhadap employee engagement . Hal ini berarti bahwa H2 diditerima.

Hipotesis 3 yaitu pengaruh psychological capitalterhadap job crafting menunjukkan nilai koofisien jalur sebesar 0,754 dengan nilai t-hitung sebesar 11,677 lebih besar dari 1,96 dan P-values sebesar 0.000 lebih kecil dari 0,05 (5%). Berdasarkan hasil tersebut dapat diartikan bahwa psychological capitalberpengaruh terhadap job crafting. Hal ini berarti bahwa H3 diditerima.

Hipotesis 4 yaitu pengaruh employee engagement terhadap innovative work behavior yang menunjukkan nilai koofisien jalur sebesar 0,303 dengan nilai t-hitung sebesar 2,173 lebih besar dari 1,96 dan P-values sebesar 0,030 lebih kecil dari 0,05 (5%). Berdasarkan hasil tersebut dapat diartikan bahwa employee engagement mempengaruhi innovative work behavior. Hal ini berarti bahwa H4 diterima

Hipotesis 5 yaitu pengaruh job craftingterhadap innovative work behavior yang menunjukkan nilai koofisien jalur sebesar 0,180 dengan nilai t-hitung sebesar 1,423 lebih kecil dari 1,96 dan P-values sebesar 0,155 lebih besar dari 0,05 (5%). Berdasarkan hasil tersebut dapat diartikan bahwa job crafting tidak mempengaruhi innovative work behavior. Hal ini berarti bahwa H5 ditolak

Hipotesis 6 yaitu pengaruh Psychological capitalterhadap innovative work behavior dimediasi oleh employee engagement yang menunjukkan nilai koefisien jalur sebesar 0,244, nilai t-hitung sebesar 2,180 lebih besar dari 1,96 dan P-values sebesar 0,030 lebih kecil dari 0,05 (5%). Berdasarkan hasil tersebut dapat diartikan bahwa employee engagement mampu memediasi pengaruh psychological capitalterhadap innovative work behavior. Hal ini berarti bahwa H6 diterima

Hipotesis 7 yaitu pengaruh Psychological capitalterhadap innovative work behavior dimediasi oleh job crafting yang menunjukkan nilai koefisien jalur 0,136 nilai t-hitung sebesar 1,330 lebih kecil dari 1,96 dan P-values sebesar 0,184 lebih besar dari 0,05 (5%). Berdasarkan hasil tersebut dapat diartikan bahwa job craftingtidak mampu memediasi pengaruh psychological capital mempengaruhi innovative work behavior. Hal ini berarti bahwa H7 ditolak

4. Uji Variabel Mediasi

Variabel mediasi merupakan suatu variabel berperan sebagai penghubung atau jempatan suatu proses korelasi dari variabel endogen dan variabel eksogen (Hair et al.,2014). Pada penelitian ini penulis menentukan variabel employee engagement dan Job crafting sebagai variabel mediasi. Namun menurut hasil indirect effect ditemukan bahwa hanya variabel employee engagement yang mampu memediasi hubungan antara psychological capital dan innovative work behavior. Menurut Hair, terdapat 3 jenis pengaruh mediasi dilihat dari Variance Accounted For (VAF) yaitu sebagai berikut

a. Full mediation jika nilai VAF lebih dari 80%

b. Partial mediation : jika nilai VAF berkisar 20%-80%

c. No mediation:jika nilai VAF dibawah 20%

Dalam menghitung nilai VAF digunakan rumus sebagai berikut:

VAF = Pengaruh langsung / Pengaruh langsung + Pengaruh Tidak Langsung

Dengan menggunakan rumus di atas, maka didapatkan nilai VAF untuk variabel employee engagement sebesar 0,5=50% artinya peran mediasi bersifat parsial

B. Pembahasan

1. Pengaruh Psycclogical capital terhadap Innovative work behavior

Temuan Psycgological capital berpengaruh pada Innovatif work behavior bersesuaian dengan penelitian yang dilakukan [15]. Perilaku inovatif dapat diprediksi melalui psychological capital. Psychological capital sendiri terdiri dari empat indikator yaitu optimisme, resiliensi, harapan dan efikasi diri. Munculnya indikator-indikator psychological capital akan mengembangkan innovative work bahavior, sehingga dalam diri pegawai terdapat modal untuk memberikan inovasi di lingkungan kerjanya.

Hubungan antara psychological capital dan innovative work behavior dapat diuraikan dari manifestasi innovatif work behavior yang berkaitan dengan pemecahan masalah, inisiasi kegiatan dan pelaksanaan ide-ide terhubung dengan psychological capital semua dimensi psychological capital. Sifat-sifat spesifik dari kegiatan inovatif berkaitan dengan upaya kognitif yang besar, kinerja yang berkesinambungan. Kebutuhan memperoleh sumber daya yang diperlukan untuk melaksanakan ide dan membangun modal hubungan implementasi ide, menjelaksan pentingnya semua faktor psikologis dalam menciptakan perilaku inovatif.

Adapun 4 aspek dari psychological capital adalah optimisme, harapan, resiliensi, dan efikasi diri. Optimisme digambarkan sebagai ciri kepribadian strategis. Optimisme merupakan suatu penilaian atau keyakinan positif dan realistis bahwa seseorang pasti akan mengalami pengalaman yang positif dalam pekerjaanya dan menunjukkan hasil yang baik. Ketika seorang pegawai dihadapkan pada suatu masalah pegawai akan melihat kejadian itu bersifat sementara dan spesifik. Pegawai yang memiliki optimisme yang tinggi bila menglami kegagalan atau permasalah dalam sudut pandang postif. Pegawai dengan optimisme yang tinggi akan berusaha terus mengkatkan kinerjanya meskipun tengah berada dalam masalah. Ketika berada dalam masalah karyawan akan tidak ragu untuk membuat terobosan-terobosan baru untuk menanggulangi permasalahan tersebut. Optimisme merupakan kekuatan mental yang membuat seseorang untuk berpikir positif untuk mencari jalan keluar dari permsalahnnya. Perilaku inovatif membutuhkan optimisme untuk melahirkan ide-ide baru yang akan menjadi kekuatan untuk memecahkan masalah.

Dimensi selanjutnya dari Psychological capital adalah harapan. Harapan secara sederhana didefinisikan sebagai perpaduan antara kemauan dan jalan. Harapan yang tinggi membuat seorang karyawan mempunyai job satisfaction yang tinggi, rendahnya retensi, dan komitmen karyawan yang tinggi. Harapan membukakan jalan yang konkrit untuk mewujudkan kemauan menjadi kenyataan. Innovatif work behavior membutuhkan harapan yang tinggi sehingga ide-ide yang akan dipromosikan dapat diimplementasikan dengan baik tanpa adanya hambatan yang berarti.

Resiliensi dipandang sebagai kapasitas untuk “memikul” kesukaran, konflik, kegagalan. Memikul yang dimaksud adalah fleksibilitas, penyesuaian, kemampuan adaptasi dan respon terhadap perubahan yang tidak pasti. Karyawan yang mempunyai resistensi yang tinggi mempunyai keuletan untuk terus bertahan dalam situasi yang beresiko dan penuh ketidak pastian. Perilaku kerja innovatif muncul dari ada masalah ataupun tantangan dalam organisasi. Inovasi membutuhkan daya juang yang tinggi dan keuletan dalam proses generation idea, promoting idea dan implementation idea. Tidak sedikit dalam mengenalkan suatu inovasi akan mendapatkan penolakan namun pegawai yang mempunyai resistensi yang tinggi akan mampu mewujudkan inovasinya dengan kemampuan beradaptasi yang baik.

Efikasi diri mengacu pada keyakinan individu mengenai kemampuan untuk memobilisasi motivasi, sumberdaya kognitif, dan tindakan yang diperkukan agar berhasil melaksanakan tugasnya dalam konteks tertentu. Karyawan dengan efikasi diri yang tinggi yakin dan akan berusaha untuk menuntaskan semua pekerjaannya dengan baik, dan akan mengerahkan segala sumberdaya yang dimiki untuk pekerjaan tersebut. Efikasi diri yang tinggi sangat berhubungan dengan prestasi dan kinerja pegawai. Efikasi diri dibutuhkan dalam perilaku kerja inovatif sebagai kekuatan internal untuk menghasilkan ide baru, sampai dengan meimplementasikan ide tersebut pada pekerjaan.

Dari uraian di atas masing-masing dimensi psychological capital mempunyai kontribusi yang signifikan dalam innovatif work behavior, sebagai modal yang dapat memberikan energi untuk mengimplementasikan ide-ide baru dalam mengatasi tantangan maupun permasalahan yang sifatnya berkesinambungan.

2. Pengaruh Psychological capital terhadap Employee Engagement

Hasil penelitian ini bersesuaian dengan penelitian yang dilakukan [16]. Psychological capital memprediksi peningkatan employee engagement. Psychological capital yang tinggi akan membuat pegawai merasa berharga dan mampu menimbulkan perasaan antusias untuk ikut andil membantu organisasi mencapai tujuan.

Psychological capital dengan dimensinya optimisme, harapan, resiliensi dan efikasi diri, berpengaruh pada aspek vigor, dedication dan absorption. Pegawai yang memiliki psychological capital yang tinggi akan cenderung memiliki resiliensi mental dalam bekerja, kesungguhan, dedikasi dan kesungguhan dalam menjalankan pekerjaannya.

Psychological capital yang dimiliki oleh karyawan sangat penting untuk meningkatkan employee engagement serta menunjukkan dampak yang lebih kuat bagi keterlibatan karyawan disebuah perusahaan [17]. Karyawan yang mewujudkan psychological capital akan merasa percaya diri dalam berkontribusi pada strategi dan tujuan perusahaan yang sudah ditetapkan. Para karyawan selalu melihat sesuatu dari perspektif positif dan memiliki kemampuan untuk memecahkan masalah yang terjadi di perusahaannya.

Employee engagement dapat dipengaruhi oleh 2 hal yaitu Job Demands- Resources model dan psychological capital. Job Demends resources model termasuk didalamnya beberapa aspek diantaranya lingkungan fisik, sosial, organisasi, penggajian, kesempatan karir, dukungan dari atasan dan teman kerja, kebebasan untuk mengembangkan diri, dan umpan balik performa. Sedangkan psychological capital terdiri dari efikasi diri, optimisme, harapan dan resiliensi. Ketika psychological capital pegawai memadai maka lebih mudah tercapai bagi pegawai untuk merasa terikat dengan pekerjaanya [18].

3. Pengaruh Psychological capital terhadap Job crafting

Hasil penelitian ini bersesuaian dengan penelitian yang dilakukan [19], bahwa psychological capital berpengaruh signifikan terhadap job crafting, hal ini terjadi karena yang memiliki psychological capital yang tinggi akan senantiasa menyusun kembali pekerjaanya menjadi bagian yang menyenangkan untuk dirinya.

Job crafting adalah kemampuan karyawan untuk membuat preferensi kerja guna meraih sebuah nilai dan terlibat dalam perubahan hubungan antar karyawan di tempat kerja, serta persepsi mengenai pekerjaan dengan tujuan untuk menciptakan lingkungan kerja yang kondusif sebagai sarana memperkaya dukungan pekerjaan.

Psychological capital merupakan keadaan positif akan psikologis individu yang dapat diukur, dibangun, dan dibentuk dengan efektif untuk meningkatkan kinerja karyawan. Ada empat dimensi psychological capital, yaitu efficacy, hope, optimism, resilience. Keempat dimensi tersebut harus diperhatikan oleh sebuah organisasi karena sifat dari efficacy, hope, optimism, dan resilience karyawan mudah hilang dan memerlukan waktu yang lama untuk mengembalikan psychological capital seperti mulanya. Mengembangkan modal psikologis karyawan sangat penting dilakukan oleh oragnisasi. Dengan kualitas psychological capital yang baik, maka karyawan diharapkan mampu memenuhi kualifikasi yang diharapkan perusahaan, sehingga dengan pemenuhan kualifikasi yang diharapkan, peningkatan proses, maka akan meningkatkan proses crafting yang mampu dilakukan.

4. Pengaruh Employee Engagement terhadap Innovative Work Behavior

Hasil penelitian ini bersesuaian dengan penelitian yang dilakukan, bahwa employee engagement berpengaruh positif dan signifikan terhadap innovative work behavior. Hal ini dapat dijelaskan karena pegawai yang mempunyai antusiame dalam pekerjaan akan canderung merasa termotivasi untuk membuat terobosan baru, menciptakan ide-ide baru pada pekerjaannya.

5. Pengaruh Job crafting terhadap Innovative Work Behavior

Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan bahwa job crafting berpengaruh negatif dan signifikan terhadap innovative work behavior. Job crafting merupakan perilaku karyawan yang mendorong mereka untuk berprestasi dan memiliki perilaku kerja yang inovatif. Penelitian ini membantah kedua penelitian di atas.

Pegawai cenderung jarang melakukan job crafting, dan mempelajari hal baru namun tidak menerapkannya melalui sikap proaktif maka tidak akan muncul perilaku kerja inovatif. Hasil penelitian ini benar-benar menunjukkan perbedaan hasil dengan penelitian-penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa job crafting berpengaruh positif terhadap perilaku kerja inovatif [20].

Fenomena ini terjadi di BPS Provinsi Maluku Utara karena hampir sebahagian besar kegiatan BPS merupakan kegiatan nasional yang seluruh tahapan penyelenggaraan dilakukan sesuai instruksi pusat.

6. Pengaruh Psychological capital terhadap Innovative Work Behavior Dimediasi oleh Employee Engagement

Hasil penelitian ini bersesuaian dengan penelitian yang dilakukan, bahwa employee engagement dapat memediasi hubungan antara psychological capital dan Innovative work behavior.

Penelitian yang dilakukan oleh Gupta et al. yang menyatakan bahwa terdapat hubungan positif antara psychological capitaldan employee engagement dapat mendorong organisasi untuk merancang cara melibatkan karyawan dengan menetapkan tujuan yang cukup menantang bagi mereka. Demikian pula, psychological capital seorang karyawan dianggap sebagai sumber daya pribadi yang penting dalam membantu karyawan untuk mencapai target pekerjaan.

7. Pengaruh Psychological capital terhadap Innovative Work Behavior Dimediasi oleh Job crafting

Hasil analisis dalam penelitian menunjukkan pengaruh psychological capital terhadap innovative work behavior dimediasi oleh job crafting tidak berpengaruh. Hal ini menunjukkan bahwa job craftingtidak mampu menghubungkan psychological capitalterhadap innovative work behavior.

Simpulan

Berdasarkan pada hasil pengujian hipotesis dan pembahasan yang telah dijelaskan sebelumnya, maka dapat dibuat kesimpulan bahwa psychological capital berpengaruh positif dan signifikan terhadap innovative work behavior. Semakin tinggi psychological capital maka semakin tinggi kecenderungan perilaku kerja inovatif tampak terlihat di lingkungan kerja. Psychological capital juga berpengaruh positif dan signifikan terhadap employee engagement. Psychological capital yang tinggi membuat keterikatan pegawai semakin tinggi terhadap pekerjaanya Selain itu psychological capital berpengaruh positif dan signifikan terhadap job crafting. Semakin tinggipsychological capitalseorang pegawai maka semakin pula intensitas pegawai untuk melakukanjob crafting

Employee engagement berpengaruh positif dan signifikan terhadap innovative work behavior. Semakin tinggi rasa keterikatan pegawai terhadap pekerjaajnya maka semakin tinggi pula perilaku kerja inovatif karyawan. Job crafting tidak bepengaruh terhadap innovative work behavior. Tinggi rendahnyajob craftingtidak mempengaruhi innovative work behavior. Perilaku kerja inovatif tidak dipengaruhi oleh job crafting. Psychological capital berpengaruh positif terhadap innovative work behavior dimediasi oleh employee engagement. Hubungan mediasinya adalah partial mediation yang berartipsychological capitaldapat mempengaruhi innovative work behavior tanpa adanya employee engagement. Psychological capital tidak berpengaruh terhadap innovative work behavior dimediasi olehjob crafting. Hal ini berarti bahwajob craftingtidak dapat memediasi hubungan antarapsychological capitaldan innovative work behavior.

Penelitian ini memiliki implikasi teoritis yaitu bahwa masih ada beberapa hal yang menghambat terciptanya prilaku inovatif pada karyawan yang bekerja pada sektor publik khususnya ASN, diantaranya masih adanya pemikiran business as usual yang membuat pegawai kurang terdorong untuk melakukan inovasi. Selanjutnya bahwa perilaku inovatif juga dipengaruhi oleh psychological capital dan employee engagement

Pimpinan BPS Provinsi Maluku Utara dapat mengembangkan innovative work behavior dengan menguatkan psychological capital, employee engagement melalui pelatihan dan pengembangan, serta penugasan. Selain itu pemimpin juga dapat memperkuat munculnya perilaku inovasi dengan menumbuh kembangkan faktor-faktor eksternal lainnya seperti membangun budaya kerja yang positif, penerapan reward and punishment yang jelas, kepemimpinan yang memberdayakan.

Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan diantaranya hanya meneliti perilaku inovatif dilihat dari faktor internal, sementara faktor eksternal belum digali lebih lanjut. Peneliti sebelumnya diharapkan dapat melakukan penelitian yang meneliti variabel lain yang berpengaruh terhadap innovative work behavior diantaranya dukungan organisasi, kepemimpinan, komitmen organisasi, reward dan pusnishment.

References

  1. W. Abdillah and Jogiyanto, Partial Least Square (PLS) Alternatif SEM dalam Penelitian Bisnis. Yogyakarta: Andi, 2009.
  2. W. Adikara and B. W. Soetjipto, "The Impacts of Leader–Member Exchange, Psychological Capital, and Job Crafting on Innovative Behavior: Evidence from the Public Sector," Intellectual Economics, vol. 15, no. 1, pp. 1-15, 2021.
  3. G. Alessandri, C. Consiglio, F. Luthans, and L. Borgogni, "Testing a Dynamic Model of the Impact of Psychological Capital on Work Engagement and Job Performance," Career Development International, vol. 23, no. 1, pp. 33-47, 2018.
  4. N. Anderson, C. K. De Dreu, and B. A. Nijstad, "The Routinization of Innovation Research: A Constructively Critical Review of the State‐of‐the‐Science," Journal of Organizational Behavior, vol. 25, no. 2, pp. 147-173, 2004.
  5. N. Anderson, K. Potočnik, and J. Zhou, "Innovation and Creativity in Organizations: A State-of-the-Science Review, Prospective Commentary, and Guiding Framework," Journal of Management, vol. 40, no. 5, pp. 1297-1333, 2014.
  6. A. Ardana and D. Ekowati, "Psychological Capital dan Innovative Work Behavior pada Perusahaan Tenun Ikat," PERWIRA-Jurnal Pendidikan Kewirausahaan Indonesia, vol. 5, no. 2, pp. 109-131, 2022.
  7. Badan Kepegawaian Negara, Buku Saku Panduan Perilaku Core Values. 2022.
  8. M. A. Badran and C. M. Youssef-Morgan, "Psychological Capital and Job Satisfaction in Egypt," Journal of Managerial Psychology, vol. 30, no. 3, pp. 354-370, 2015.
  9. H. Bak, M. H. Jin, and B. D. McDonald III, "Unpacking the Transformational Leadership-Innovative Work Behavior Relationship: The Mediating Role of Psychological Capital," Public Performance & Management Review, vol. 45, no. 1, pp. 80-105, 2022.
  10. A. B. Bakker, M. Tims, and D. Derks, "Proactive Personality and Job Performance: The Role of Job Crafting and Work Engagement," Human Relations, vol. 65, no. 10, pp. 1359-1378, 2012.
  11. R. Chongvisal, "Factors Affecting Innovative Work Behavior of Managers," Polish Journal of Management Studies, vol. 22, no. 2, pp. 50–64, 2020.
  12. J. De Jong and D. Den Hartog, "Measuring Innovative Work Behaviour," Creativity and Innovation Management, vol. 19, no. 1, pp. 23-36, 2010.
  13. E. Demerouti and A. B. Bakker, "The Oldenburg Burnout Inventory: A Good Alternative to Measure Burnout and Engagement," in Handbook of Stress and Burnout in Health Care, 2008, pp. 65-77.
  14. M. Farrukh and N. Y. Ansari, "Effect of Psychological Capital on Customer Value Cocreation Behavior: The Mediating Role of Employees' Innovative Behavior," Benchmarking: An International Journal, vol. 28, no. 8, pp. 2561-2579, 2021.
  15. A. Ferdinan, Metode Penelitian Manajemen, 5th ed. Diponegoro: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2014.
  16. I. Ghozali, Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS, 5th ed. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2012.
  17. Y. Guo, J. Jin, and S. H. Yim, "Impact of Inclusive Leadership on Innovative Work Behavior: The Mediating Role of Job Crafting," Administrative Sciences, vol. 13, no. 1, pp. 1-15, 2022.
  18. M. Gupta and M. Shaheen, "Impact of Work Engagement on Turnover Intention: Moderation by Psychological Capital in India," Business: Theory and Practice, vol. 18, pp. 136-143, 2017.
  19. J. F. Hair et al., "An Introduction to Structural Equation Modeling," in Partial Least Squares Structural Equation Modeling (PLS-SEM) Using R. Springer, Cham, 2021.
  20. S. F. Hasanah, P. T. Y. Suyasa, and F. I. Dewi, "Perilaku Kerja Inovatif Ditinjau dari Modal Psikologis, Tuntutan Kerja, dan Sumber Daya Pekerjaan," Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni, vol. 3, no. 2, pp. 475-489, 2019.