Abstract
General Background: Marriage in the Christian religion fundamentally differs from other traditions, notably in the absence of a legal requirement for a marriage guardian. Specific Background: Instead, the presence of a priest to officiate the ceremony is deemed sufficient. This distinction is often misunderstood, leading to legal ambiguities and misapplications. Knowledge Gap: Despite clear doctrinal guidelines, there persists a lack of awareness regarding the role of state-appointed guardians in Christian marriages, as evidenced by legal cases requesting such appointments. Aims: This study aims to analyze the necessity and implications of appointing a state guardian in Christian marriages through the examination of relevant legal cases in the Jombang District Court. Results: The study highlights two pivotal cases: Request Number 20/Pdt.P/1994/PN Jmb, which was granted, and Request Number 119/Pdt.P/2023/PN Jbg, which was withdrawn. Novelty: By juxtaposing these cases, the research underscores the inconsistencies and the resultant need for greater legal and doctrinal clarity. Implications: The findings advocate for enhanced educational efforts within both the Christian community and the broader public to mitigate legal misunderstandings and to streamline the judicial approach to marriage guardianship in Christian contexts. This research contributes to the discourse by elucidating the legal boundaries and ecclesiastical stipulations of Christian marriages, promoting informed judicial decisions and societal understanding.
Highlights:
- Legal Ambiguity: Inconsistent court decisions on state guardians in Christian marriages.
- Educational Need: Urgent need for educating communities on marriage guardianship in Christianity.
- Judicial Clarity: Importance of clear legal guidelines to prevent misapplications.
Keywords: State Guardian, Decision on Request, Christian Marriage, Legal Analysis, Religious Doctrine
Pendahuluan
Salah satu mandat yang diberikan Allah kepada manusia adalah mandat culture yaitu untuk beranak cucu dan bertambah banyak untuk memenuhi bumi.[1] Manusia sebagai makhluk sosial merasa dorongan untuk berinteraksi, saling menghargai, dan mendambakan kebahagiaan melalui keterlibatan dalam hubungan antarindividu, sering kali melalui ikatan perkawinan atau pernikahan.[2] Pernikahan ialah sebuah keadaan yang mendatangkan kebahagiaan, karena dua individu yang saling mencintai memiliki kesempatan untuk hidup bersama dalam upaya membentuk sebuah keluarga yang harmonis. Suatu perkawinan menjadi peran penting dalam membentuk suatu keluarga. Perkawinan melahirkan ikatan lahir batin sebagai suatu perjanjian yang bersifat lebih daripada hubungan perdata semata.[3] Pernikahan pada dasarnya adalah tentang menyatukan pria dan wanita dalam komitmen suci untuk membentuk sebuah keluarga. Muammal Hamidi mendefinisikan perkawinan sebagai suatu ikatan yang dilaksanakan oleh seorang laki-laki dan perempuan untuk hidup bersama dan menghasilkan keturunan.[4] Bahkan tidak sedikit yang berjuang keras agar bisa menikah dengan orang yang dicintainya. tujuan utama perkawinan bukan hanya untuk memenuhi hawa nafsu, melainkan untuk membentuk keluarga yang harmonis dan stabil.[5] Disamping itu, perkawinan juga menjadi sarana untuk memperkuat hubungan sosial antara kedua individu tersebut. Dalam Bahasa Indonesia, “Perkawinan” berasal dari kata “Kawin”, yang menurut bahasa, artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh.[6] Perkawinan disebut juga “pernikahan”, berasal dari kata nikah yang menurut bahasa artinya mengumpulkan, saling memasukan, dan digunakan arti bersetubuh (wathi). Kata “nikah” sendiri sering dipergunakan untuk arti bersetubuh (coitus), juga untuk arti akad nikah.[7] Suatu pernikahan umumnya didirikan dengan maksud untuk mencapai tujuan memiliki keluarga yang sejahtera, langgeng, dan serasi. Dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 1 dijelaskan kalau :
“Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang wanita dan seorang pria sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang Maha Esa.”
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 juga menetapkan persyaratan yang harus dipenuhi sebelum melangsungkan perkawinan, Pencatatan perkawinan itu penting karena suatu perkawinan dianggap sah oleh negara apabila sudah dicatatkan dalam negara.[8] Termasuk batasan usia minimal bagi calon pengantin pria dan wanita, persetujuan dari orang tua atau wali, dan ketiadaan hambatan hukum seperti perkawinan sedarah atau pelanggaran terhadap norma agama atau adat istiadat. Perkawinan bukan sekedar ikatan batin atau lahir saja namun keduanya. Ikatan lahiriah mengungkapkan terjadinya hal formilnya saja, sedangkan ikatan batin mengungkapkan adanya yang tidak formil atau tidak dapat dilihat. Kedua hal itu adalah pondasi utama untuk membentuk suatu keluarga.[9] Di samping itu, UU tersebut juga mengatur mengenai perkawinan campuran, yaitu perkawinan antara warga negara Indonesia dengan warga negara asing atau antara individu dengan keyakinan agama yang berbeda. Dalam hal perceraian, UU tersebut juga menetapkan peraturan terkait pembagian harta bersama dan hak asuh anak. Selain itu, UU Nomor 1 Tahun 1974 juga menentukan yurisdiksi pengadilan yang bertanggung jawab menangani perkara perkawinan, yakni Pengadilan Agama untuk masyarakat beragama Islam dan Pengadilan Umum untuk non-Muslim. Sebagai upaya untuk memelihara kesatuan keluarga, UU tersebut juga memberikan ketentuan mengenai perlindungan terhadap kekerasan dalam rumah tangga dan perlindungan terhadap anak. Selain itu, UU Nomor 1 Tahun 1974 juga mengatur tata cara pencatatan perkawinan dan penerbitan akta perkawinan.[10]
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, pernikahan merujuk pada proses pengikatan perkawinan yang dilaksanakan dengan mematuhi ketentuan hukum dan ajaran agama. Dalam kepercayaan Kristen, pernikahan dianggap sakral. Pernikahan dianggap sebagai ikatan yang melibatkan persekutuan yang utuh, menggabungkan dua individu dengan karakter dan kepribadian yang berbeda dalam kesatuan yang didasarkan pada hukum Allah dan kasih Kristus, serta dalam persekutuan Roh Kudus.[11] Menurut hukum kristen katolik, perkawinan adalah persekutuan hidup antara pria dan wanita atas dasar ikatan cinta kasih yang total dengan persetujuan bebas dari keduanya yang tidak dapat ditarik kembali.[12] Peneguhan yang mencakup secara menyeluruh, di mana dua individu menjadi satu dalam hati, pikiran, dan tujuan, yaitu untuk membentuk keluarga yang utuh, suci, yang diberkati oleh kasih Kristus di antara kedua pasangan, dan untuk melayani serta memuliakan Allah sepanjang hidup, tidak dapat dipisahkan oleh manusia kecuali oleh kematian. Dalam Perjanjian Lama tidak ada kata khusus dalam Bahasa Ibrani yang merujuk arti pernikahan. Pengertian dasar dari “pernikahan berasal dari kata kerja Laqakhyang memiliki arti take atau grasp” mengambil, merenggut atau memegang. Dalam bentuk kata lain kata ini berarti be carried away dan removed telah dibawa jauh, mengangkat atau melepaskan.[13]
pernikahan Kristen juga dianggap sebagai suatu bentuk pendidikan Kristen, di mana pasangan diharapkan untuk membangun keluarga yang menghargai dan mempraktikkan nilai-nilai Kristen. Dalam praktiknya, pernikahan Kristen juga diatur oleh gereja dan memiliki ritus dan peraturan yang berbeda-beda tergantung pada denominasi gereja. Namun, pada dasarnya, pernikahan Kristen dianggap sebagai suatu perbuatan keagamaan yang memiliki makna yang sangat penting dalam agama Kristen.[14]
Pernikahan dalam Agama Kristen memiliki latar belakang dan praktik khusus yang berbeda-beda tergantung pada denominasi atau aliran agama tertentu. dalam beberapa denominasi Kristen, seperti Gereja Katolik, ada persyaratan tertentu yang harus dipenuhi sebelum pasangan dapat menikah, seperti menjalani kelas pra-nikah dan mendapatkan persetujuan dari gereja.[15] Di banyak denominasi agama, khususnya dalam Agama Kristen, tidak ada persyaratan wali nikah. proses paling penting dalam menentukan sah atau tidaknya suatu perkawinan itu ditentukan oleh kepercayaan dan agamanya.[16] Pasangan yang ingin menikah biasanya dapat mengajukan permohonan langsung kepada gereja atau pendeta mereka tanpa perlu melibatkan wali nikah. Pendeta hadir untuk memberikan persetujuan laki-laki dan wanita terhadap pernikahan dan memberikan restu rohani. Wali nikah dalam denominasi-denominasi ini juga bertanggung jawab untuk memastikan bahwa pernikahan dijalankan sesuai dengan aturan gereja dan hukum sipil yang berlaku. Pada tahap kedewasaan umur, banyak pasangan pria dan wanita merencanakan pernikahan dengan harapan menjalani kehidupan berumah tangga yang sukses. Namun, realitas menunjukkan bahwa perjalanan pernikahan tidak selalu mulus, diwarnai oleh berbagai tantangan seperti konflik dan masalah.[17] Disamping unsur agama, perkawinan ini merupakan perbuatan hukum yang harus dipertanggung jawabkan kepada negara, dalam hal administrasi perkawinan itu sendiri menyangkut urusan pribadi atau privat bagi individu dalam masyarakat Indonesia. Maka dari itu, perkawinan yang telah dilangsungkan harus dilakukan pencatatan perkawinan di Kantor Urusan Agama bagi calon pasangan yang beragama Islam dan Kantor Catatan Sipil (KCS) bagi calon pasangan yang beragama non-Islam.[18] Penulis menemukan 2 (dua) kasus Permohonan di Pengadilan Negeri Jombang yaitu kasus permohonan Wali Negara bagi Agama Kristen dengan putusan Nomor 20/Pdt.P/1994/PN Jmb dan Nomor 119/Pdt.P/2023/PN Jbg. Singkatnya pemohon meminta permohonan Wali Negara tersebut ke Pengadilan Negeri Jombang, namun Permohonan Nomor 20/Pdt.P/1994/PN Jmb mengabulkan permintaan Wali Negara sementara Permohonan Nomor 119/Pdt.P/2023/PN Jbg dicabut oleh pemohon. Penulis akan membahas tentang analisis putusan tersebut apakah sesuai dengan aturan yang berlaku dan membahas tentang akibat hukum putusan bagi pemohon.
Penelitian dengan pembahasan putusan permohonan wali nikah atau wali negara bagi Agama Kristen tidak ada peneliti atau penulis yang membahas sebelumnya terkait kasus seperti ini. Apabila kita lihat penelitian lain yang membahas tentang wali nikah pasti permohonannya kepada Pengadilan Agama karena rata-rata beragama Islam, namun pada penelitian ini tempat permohonan tersebut dimohonkan di Pengadilan Negeri karena pemohonnya beragama Kristen dan permohonan tersebut sangat jarang ditemui di Pengadilan Negeri. sehingga penelitian ini adalah penelitian yang penting untuk dilakukan dan mendapatkan ilmu baru. Urgensi Penulis meneliti tentang analisis ini adalah untuk memberitahu kepada masyarakat yang beragama Kristen khususnya dan masyarakat non Kristen pada umumnya, bahwa permintaan wali negara atau wali nikah terhadap Agama Kristen kepada Pengadilan Negeri masih perlu menjadi edukasi yang perlu diketahui, sehingga tidak perlu untuk membuat permohonan di Pengadilan Negeri karena tidak ada dasar hukum terkait itu dan membuang biaya persidangan.
Metode
Pemilihan pendekatan penelitian merupakan tahap yang signifikan dalam proses penelitian. Meskipun demikian, tujuan dari melakukan penelitian adalah untuk mengatasi permasalahan yang dikemukakan oleh peneliti. Bagaimana penyelesaian dari masalah tersebut direalisasikan akan sangat bergantung pada seleksi metode penelitian yang digunakan. Metode penelitian pada dasarnya berkaitan dengan strategi yang digunakan untuk mendapatkan data.[19]
Penelitian dalam bidang hukum mencakup dua pendekatan utama, yaitu pendekatan normatif atau doktrinal serta pendekatan empiris atau non-doktrinal. Menurut pandangan Soerjono Soekanto, kedua pendekatan tersebut dapat dijalankan secara terpisah atau digabungkan, walaupun ada juga yang menegaskan perbedaan yang tegas antara keduanya.[20] Dalam kasus ini, penulis menggunakan penelitian empiris karena yang penulis kaji adalah sebuah produk hukum. Oleh karena itu, agar penelitian ini semakin baik dan sempurna, maka penulis perlu mengambil data secara langsung di Pengadilan Negeri Jombang dan wawancara langsung dengan Ketua Pengadilan dan Hakim yang menangani kasus 119/Pdt.P/2023/PN Jbg. Menurut Ronny Hanitijo Soemitro, bahwa penelitian hukum empiris yaitu penelitian hukum yang memperoleh datanya dari data primer atau data yang diperoleh langsung dari Masyarakat.[21] Penelitian empiris berakar pada pengamatan langsung di lapangan atau melalui observasi langsung. Pendekatan empiris juga dimanfaatkan untuk meninjau dampak dari tindakan manusia yang tercermin dalam bukti fisik atau dokumen arsip.
Hasil dan Pembahasan
A. Analisis Yuridis Terhadap Permohonan Wali Negara Bagi Agama Kristen
Basuki Rekso Wibowo, Guru Besar Hukum Acara Perdata sekaligus Dekan Fakultas Hukum Universitas Nasional, mengakui Putusan itu formatnya sudah baku. Ruhnya putusan itu ada di bagian pertimbangan hakim yang disebut ratio decidendi. Berdasarkan itu hakim menjatuhkan amar putusan. Basuki Rekso Wibowo mengatakan bahwasannya ada tiga (3) cara untuk memahami putusan pengadilan, yaitu dengan cara baca amar putusan, periksa pendapat hakim atau pertimbangan hukum dan periksa argumentasi para pihak.[22]
Putusan Pengadilan Negeri Jombang, ada 2 (dua) putusan yakni putusan mengabulkan permohon pemberian wali negara dan putusan permohonan wali negara yang dicabut. Dalam menyampaikan keputusan-keputusan tersebut, penulis menjelaskan berdasarkan peninjauan kasus yang telah diputuskan oleh Pengadilan Negeri Jombang dalam beberapa kasus seperti dibawah ini :
a) Putusan Mengabulkan (20/Pdt.P/1994/PN Jmb):
Analisis putusan mengabulkan permohonan pemohon, mengenai permohonan wali negara oleh hakim Pengadilan Negeri Jombang dengan pertimbangan dan fakta-fakta hukum sebagai berikut:
1. Pertimbangan Hukum
a. Pemohon dan calon suami pemohon telah tukar cincin atas restu orang tua kedua belah pihak dan pertukaran cincin itu telah di ketahui oleh 2 saksi dan ayah kandung dari calon suami pemohon
b. Orang tua dari pemohon sudah dipanggil di persidangan secara patut dan resmi, namun tidak datang ke Pengadilan Negeri Jombang
c. Ketidak hadiran orang tua pemohon bukan alasan untuk tidak melanjutkan persidangan
d. Pemohon dan calon suami pemohon saling mencintai walaupun ada pencegahan dari orang tua pemohon
e. Alasan tidak direstuinya pemohon dan calon suami pemohon bukan merupakan alasan hukum karena alasan pemohon “masih kuliah”
f. Pemohon dan calon suami pemohon sudah mempersiapkan surat-surat untuk persiapan pernikahan
g. Klimaks dari cinta dan kasih sayang pemohon dan calon suami pemohon terjalin sekian lama membuat keduanya telah saling mengerti perasaan masing-masing secara mendalam
h. Pemohon dan calon suami pemohon telah dianggap dewasa
i. Pasal 13 ayat 2 Huwerlijke Ordonantie Christine Indonesia (HOCI) dapat digunakan untuk menentukan kedewasaan
j. Demi kepentingan pemohon dan calon suami pemohon dikemudian hari dan menghindari hal hal yang tidak diinginkan Masyarakat sekitar, maka Pengadilan Negeri Jombang menyatakan menerima permohonan pemohon dengan memberikan izin kawin sekaligus menadi wali dalam perkawinanya
2. Dapat disimpulkan pertimbangan pertimbangan diatas merupakan beralasan hukum oleh karena itu dinyatakan dapat dikabulkan. Fakta-fakta di persidangan
a. Pada tanggal 7 April 1992, sebuah upacara pertukaran cincin diadakan antara pemohon dan calon suaminya di kediaman orang tua pemohon.
b. Kedua orang tua pemohon hadir dalam pertukaran cincin tersebut dan dihadiri oleh anggota Gereja Jawi Wetan
c. Pernikahan pemohon dan calon suami pemohon sudah diumumkan di Gereja namun sampai saat itu belum terlaksana karena adanya pencegahan dari orang tua pemohon.
Mengacu pada hal-hal yang telah disebutkan sebelumnya, Hakim memeriksa kasus tersebut dan kemudian memberikan keputusan:
a. Mengabulkan permohonan pemohon
b. Dinyatakan bahwa pemohon telah mencapai usia dewasa dan diberi izin untuk menikah dengan calon suaminya
c. Menyatakan pengadilan akan menjadi wali dalam pernikahan tersebut
d. Menetapkan biaya permohonan ini dibebankan kepada pemohon
Berdasarkan hasil penelitian dan analisis penulis, maka bisa dipahami seperti dibawah ini :
a. Alasan pencegahan orang tua pemohon “masih kuliah” memang bukan sebuah alasan hukum dan tidak ada dalam peraturang perundang- undangan perkawinan
b. Hubungan kasih sayang antara pemohon dan calon suaminya sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974.
c. Pada saat itu, HOCI telah kehilangan keberlakuan, dan penetapan usia kedewasaan dapat merujuk pada Pasal 6 ayat 2 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. Hal ini sejalan dengan prinsip Lex Posteriori Derogat Legi Priori yang menegaskan bahwa peraturan yang lebih baru menggantikan yang lama. Dalam hal ini, Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 menggantikan HOCI Tahun 1883. Meskipun demikian, HOCI masih berlaku jika ketentuan yang terdapat di dalamnya tidak diatur dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, namun dalam konteks usia pernikahan, Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 sudah mengatur hal tersebut, sehingga ketentuan usia dalam HOCI tidak berlaku lagi.
d. Pemberian izin kawin sekaligus menjadi wali nikah dalam Agama Kristen tidak ada peraturan yang mengatur terkait itu. Oleh karena itu seharusnya Pengadilan Negeri Jombang tidak berhak memberikan izin kawin dan menjadi wali nikah kepada pemohon tersebut. Di dalam pertimbangan hukum, hakim juga tidak memberikan landasan hukum atau peraturan yang mengapa Pengadilan Negeri Jombang bisa mengabulkan permohonan pemohon. Pertimbangan hukum adalah jantung pada setiap putusan hakim. Pertimbangan hukum merupakan landasan atau dasar bagi hakim dalam memutus setiap perkara yang diadilinya. Pertimbangan hukum, selain memuat dasar alasan atau pertimbangan yang logis rasional, juga memuat pertimbangan lain berupa penafsiran maupun konstruksi hukum majelis hakim terhadap sengketa yang sedang diadilinya. Pertimbangan hakim merupakan salah satu aspek terpenting dalam menentukan terwujudnya nilai dari suatu putusan hakim yang mengandung keadilan (ex aequo et bono) dan mengandung kepastian hukum, disamping itu juga mengandung manfaat bagi para pihak yang bersangkutan sehingga pertimbangan hakim ini harus disikapi dengan teliti, baik, dan cermat. penulis berpendapat bahwa seharusnya putusan ini tidak dapat dikabulkan karena tidak adanya peraturan yang mengatur Pengadilan Negeri memberi izin kawin sekaligus menjadi wali dalam pernikahan Agama Kristen. Dalam hal ini hakim dinilai tidak cermat dalam memberikan putusan pemberian wali nikah kepada pemohon.
Dari analisis dan hasil penelitian yang penulis tulis diatas, dapat disimpulkan memang permohonan pemohon dikabulkan oleh hakim pada saat itu, namun secara yuridis dan peraturan yang berlaku, tidak ada yang mengatur pemberian wali nikah dan izin kawin dari Pengadilan Negeri Jombang. Oleh karena itu menurut penulis ini merupakan putusan yang seharusnya tidak dapat diterima atau tidak dapat di kabulkan.
b) Putusan Dicabut (119/Pdt.P/2023/PN Jbg)
Analisis putusan mengenai pencabutan permohonan pemohon, yang dilakukan oleh hakim Pengadilan Negeri Jombang, didasarkan pada pertimbangan dan fakta-fakta hukum yang terdapat dalam perkara tersebut :
1. Pertimbangan Hukum:
a. Pada hari yang telah dijadwalkan untuk sidang, pemohon menghadiri sidang tersebut secara pribadi
b. Di persidangan telah dibacakan surat permohonan pemohon
c. Keterkaitan antara Pemohon dengan calon suami Pemohon telah berlangsung selama periode satu tahun, telah melewati proses bimbingan pra-nikah, dan akan segera mengikuti upacara pernikahan. Ikatan ini sangat kuat dan sulit untuk dipisahkan
d. Keluarga Pemohon dan keluarga calon suami Pemohon telah menyadari ikatan kasih antara Pemohon dan calon suaminya. Bahkan, calon suami Pemohon sudah bertukar cincin dengan Pemohon pada tanggal 13 April 2023
e. alasan utama orang tua pemohon tidak merestui adalah umur kurang dewasa dan perbedaan Ras serta Strata Kekayaan
f. Pemohon telah bersedia untuk mengemban peran sebagai istri atau pengurus rumah tangga, sementara calon suaminya juga telah menegaskan kesiapannya untuk menjadi suami dengan penghasilan yang stabil dan pasti setiap bulannya
g. Pemohon dan calon suaminya telah memenuhi persyaratan yang ditetapkan dan tidak terhalang oleh larangan yang diatur dalam perundang-undangan yang berlaku untuk melangsungkan upacara pernikahan
h. Pemohon maupun calon suami pemohon telah memberitahukan kehendak Pemberkatan nikah di Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdi) kecamatan Mojowarno Jombang namun Pendeta beralasan meminta perlindungan agar tidak ada hal-hal yang tidak diingikan dikemudian hari karena wali Pemohon tidak menyetujui perberkatan pernikahan antara Pemohon dengan calon suami Pemohon
i. Menurut pasal 13 ayat 2 HOCI pemohon dan calon suami pemohon telah dianggap dewasa
j. Pemohon dan calon pasangannya telah memenuhi syarat yang diperlukan dan tidak ada hambatan hukum yang menghalangi mereka untuk mengadakan pernikahan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Bukti-bukti berupa salinan dokumen yang ditandai sebagai P-1 hingga P-7 telah diperiksa dan dibandingkan dengan dokumen aslinya, dan ternyata sesuai dengan dokumen aslinya
k. Setelah pemeriksaan bukti surat Pemohon menyatakan mencabut surat permohonan yang telah terdaftar dengan Nomo 119/Pdt.P/2023/PN Jbg tertanggal 08 Agustus 2023 didepan persidangan secara lisan dengan alasan masih perlu evaluasi dan melakukan tindak lanjut pengumpulan bukti kedepannya
l. Meskipun Reglemen of de rechtvordering (RV) telah dinyatakan tidak efektif lagi, namun dalam konteks situasi-situasi yang tidak tercakup oleh RBG/HIR, untuk keperluan prosedural, RV masih relevan sebagai pedoman hukum, khususnya dalam hal-hal seperti pencabutan surat gugatan atau permohonan
m. Hak pemohon untuk mencabut suatu permohonan adalah prerogatif yang dapat dilaksanakan pada setiap tahap persidangan sebelum putusan atau penetapan akhir diberikan
n. Keputusan untuk mengabulkan permohonan pencabutan oleh pemohon mengakibatkan perintah kepada panitera untuk menghapus perkara tersebut dari daftar perkara perdata Pengadilan Negeri Jombang
2. Fakta-Fakta di persidangan
a. Pemohon menghadirkan saksi yaitu calon suami pemohon dan pendeta Gereja Pantekosta di Indonesia cabang Jombang
b. Pendeta mengemukakan pandangannya bahwasannya meskipun pemohon dan calon suami pemohon seharusnya bisa menikah, namun dia khawatir akan ancaman dari pihak orang tua pemohon
c. Pemohon dan calon suami pemohon tetap ingin menikah sesuai dengan kesepakatannya
d. Dikarenakan tidak ada dasar hukum yang mengatur terkait pemberian izin kawin dan menjadi wali nikah, maka permohonan ini dicabut secara lisan dalam sidang pertama
Berdasarkan penelitian dan evaluasi yang telah dilakukan, pemahaman berikut dapat disimpulkan :
a. Alasan pencegahan orang tua pemohon umur kurang dewasa dan perbedaan Ras serta Strata Kekayaan memang bukan sebuah alasan hukum dan tidak ada dalam peraturang perundang-undangan perkawinan
b. Cinta kasih sayang antara pemohon dan calon suami pemohon sudah menerapkan pasal 1 Undang-undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974
c. Di saat ini, HOCI telah kehilangan kekuatannya, dan pada saat ini, penetapan kedewasaan usia dapat mengacu pada Pasal 6 ayat 2 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. Hal ini sejalan dengan prinsip Lex Posteriori Derogat Legi Priori, yang menyatakan bahwa peraturan baru menggantikan peraturan yang lama. Dalam konteks ini, peraturan baru yang dimaksud adalah Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 yang menggantikan HOCI Tahun 1883. Hal ini juga juga diatur pada Pasal 66 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 yang pada intinya ialah HOCI masih berlaku apabila ketentuan yang ada dalam HOCI tidak diatur dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, faktanya ketentuan umur pernikahan seseorang sudah diatur di Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 oleh karena itu ketentuan umur dalam HOCI sudah tidak berlaku lagi
d. Hakim berpendapat bahwa tidak ada dasar hukum yang mengatur terkait Pengadilan Negeri bisa memberikan izin kawin sekaligus menjadi wali nikah dalam agama Kristen, dan hakim berpendapat bahwa apabila kasus ini masih ingin diteruskan maka hasilnya sama saja nihil alias tidak dapat mengabulkan permohonan pemohon. Oleh karena itu pemohon akhirnya mencabut permohonanya
e. Dari keterangan pendeta pada saat persidangan adalah, bahwa pemohon dan calon suami pemohon memang seharusnya bisa menikah. Namun ketakukan dari pendeta untuk menikahkan karena adanya ancaman dari orang tua pemohon yang membuat pemohon dan calon suami pemohon belum menikah hingga saat itu. Dalam praktik perkawinan Agama Kristen Wali dalam pernikahan tersebut adalah Pendeta itu sendiri, sehingga tidak perlu untuk mendatangkan wali dari orang tua, asal pemohon dan calon suami pemohon merupakan anggota gereja itu dan sudah dibaptis serta dewasa secara iman, maka pernikahan tersebut bisa dilangsungkan.
Berdasarkan evaluasi dan analisis penelitian yang telah diuraikan, dapat disimpulkan bahwa pencabutan permohonan tersebut merupakan langkah yang tepat. Hal ini disebabkan oleh ketiadaan dasar hukum yang mengatur serta keterangan dari pendeta yang dapat melakukan pernikahan antara pemohon dan calon suami pemohon. Oleh karena itu, tidak diperlukan izin kawin dan wali dalam proses pernikahan bagi pemohon dan calon suaminya.
B. Akibat Hukum Bagi Pemohon Terhadap Permohonan Wali Negara Bagi Agama Kristen
Akibat hukum ialah akibat suatu tindakan yang dilakukan untuk memperoleh suatu akibat yang dikehendaki oleh pelaku dan yang diatur oleh hukum. Tindakan ini dinamakan tindakan hukum. Jadi dengan lain perkataan, akibat hukum adalah akibat dari suatu tindakan hukum.[23]
Dalam kepustakaan hukum, akibat hukum ini dikenal dalam 3 jenis, antara lain yaitu:[24]
1. Akibat hukum berupa lahirnya, berubahnya atau lenyapnya suatu keadaan hukum tertentu. Misalnya sejak seseorang menginjak usia ke 21 tahun, yang melahirkan akibat hukum baru yaitu dari subjek hukum yang tidak cakap hukum menjadi subjek hukum yang cakap hukum menurut undang-undang. Maka dia menjadi subjek hukum yang berhak memiliki hak dan kewajiban dimata hukum.
2. Akibat hukum lahirnya, berubahnya atau lenyapnya suatu hubungan hukum tertentu antara dua atau lebih subjek hukum, dimana hak dan kewajiban pihak yang satu berhadapan dengan hak dan kewajiban pihak lain. Misalnya.dalam perbuatan jual beli barang, apabila pembayaran telah lunas maka hubungan hukum tersebut menjadi hilang.
3. Akibat hukum berupa lahirnya sanksi, yang jika dikehendaki oleh subjek hukum/apabila dilakukan tindakan yang melawan hukum. misalnya Seorang pencuri diberi sanksi hukuman adalah suatu akibat hukum dari perbuatan si pencuri tersebut ialah mengambil barang orang lain tanpa hak secara melawan hukum.
Dalam kasus putusan ini, memiliki akibat hukum yang sangat berbeda antara putusan Nomor 20/Pdt.P/1994/PN Jmb yang dikabulkan dan putusan Nomor 119/Pdt.P/2023/PN Jbg yang di cabut. Oleh karena itu penulis akan menguraikan akibat hukum apa yang di terima oleh para pihak.
a) Putusan Mengabulkan (20/Pdt.P/1994/PN jmb)
Dalam putusan ini permohonan pemohon atau petitum pada intinya dikabulkan seluruhnya, yang mana akibat hukum dari putusan ini adalah Pengadilan Negeri Jombang akan memberikan izin kawin sekaligus menjadi wali nikah bagi Pemohon. Jadi dalam putusan ini wali nikah yang hadir dalam pernikahan pemohon bukanlah wali dari orang tua pemohon, melainkan hakim dari Pengadilan Negeri Jombang. Selain itu, keputusan ini mengikat secara hukum, yang berarti bahwa keputusan ini akan tetap berlaku tanpa batas waktu jika tidak digugat atau dibatalkan dalam waktu 14 hari setelah pemberitahuan pemohon atau pengumuman keputusan.
b) Putusan Dicabut (119/Pdt.P/2023/PN Jbg)
M. Yahya Harahap dalam bukunya Hukum Acara Perdata mengatakan bahwa salah satu permasalahan hukum yang mungkin timbul dalam proses berperkara di pengadilan adalah pencabutan gugatan ataupun permohonan. Pihak penggugat mencabut gugatan sewaktu atau selama proses pemeriksaan berlangsung. Alasannya bervariasi, mungkin disebabkan gugatan yang diajukan tidak sempurna atau dasar dalil gugatan tidak kuat atau dalil gugatan bertentangan dengan hukum, dan lainnya.[25]
Dalam kasus putusan ini bisa kita lihat dalam pertimbangan hukum bahwa pemohon mencabut permohonanya dikarenakan dengan alasan masih perlu evaluasi dan melakukan tindak lanjut pengumpulan bukti kedepannya Akibat hukum dari putusan ini ada 2 yaitu, Pihak yang mencabut gugatan atau permohonan diwajibkan membayar biaya perkara, yang harus dilakukan sesuai dengan perintah Ketua yang tertulis sesuai dengan penaksiran biaya perkara. Semua pihak yang terlibat dalam gugatan atau permohonan dikembalikan pada posisi yang sama seperti sebelum gugatan atau permohonan diajukan.
Simpulan
Dalam praktik perkawinan Agama Kristen pada kasus ini tidak diperlukan perwalian sebagai suatu syarat melaksanakan perkawinan pada Agama Kristen. Perkawinan dalam Agama Kristen semua tergantung dari pada aturan gereja dan persetujuan dari pendeta. Syarat perkawinan dalam agama kristen minimal ada 2 yaitu, sudah terdaftar dalam anggota gereja dan sudah dibaptis dari kecil. Dalam kasus kedua permohonan tersebut, para pihak sudah melaksanakan kewajiban tersebut sehingga sudah bisa menikah tanpa ada permintaan perwalian. Tidak ada aturan satupun yang menyebutkan bahwa Pengadilan Negeri bisa memberikan izin kawin sekaligus menjadi wali dalam pernikahan dalam Agama Kristen, oleh karena itu putusan Nomor 20/Pdt.P/1994/PN Jmb menurut penulis adalah putusan yang tidak sesuai dengan semestinya, karena putusan yang bertentangan dengan hukum yang berlaku. Sehingga menurut penulis putusan yang sudah sesuai dengan aturan yang berlaku adalah putusan Nomor 119/Pdt.P/2023/PN Jbg dan putusan yang tidak sesuai dengan aturan yang berlaku adalah putusan Nomor 20/Pdt.P/1994/PN Jmb.
Akibat hukum pada putusan 20/Pdt.P/1994/PN Jmb adalah Pengadilan Negeri Jombang memberikan izin kawin sekaligus menjadi wali dalam pernikahan pemohon dan putusan tersebut berkekuatan hukum tetap hingga sekarang serta membayar biaya perkara permohonan. Sebaliknya, pemohon dalam putusan 119/Pdt.P/2023/PN Jbg ditempatkan kembali pada keadaan yang sama seperti sebelum permohonan diajukan, dan pihak yang mencabut permohonan dihukum untuk membayar biaya perkara. Biaya tersebut harus dibayarkan sesuai dengan penetapan Ketua Pengadilan Negeri Jombang yang dibuat berdasarkan panjar biaya perkara.
References
- A. Seri, "Pernikahan Kristen Dalam Perspektif Firman Tuhan," Jurnal Pionir, vol. 1, no. 1, pp. 10-20, 2020.
- M. H. Ashshiddiqi, et al., "Dinamika Keabsahan Perkawinan Beda Agama Dalam Perspektif Hukum Perdata di Indonesia," presented at the International Conference on Law and Society, Madiun, Indonesia, 2023.
- A. I. Farihah, et al., "Tinjauan Legalitas Pengizinan Permohonan Pencatatan Perkawinan Beda Agama di Pengadilan Negeri," Jurnal Penelitian dan Pengabdian Masyarakat, vol. 3, no. 2, pp. 15-25, 2024.
- F. Justisia, "Jurnal Ilmu Hukum," vol. 8, no. 1, pp. 1-10, 2014.
- Hardianti, et al., "Faktor Penyebab Terjadinya Pernikahan Dini pada Perempuan," Fokus: Jurnal Pekerjaan Sosial, vol. 3, no. 2, pp. 55-65, 2021.
- S. Halilah, et al., "Asas Kepastian Hukum Menurut Para Ahli," Siyasah: Jurnal Hukum Tata Negara, vol. 4, no. 2, pp. 10-18, 2021.
- W. Indo, "Status Hukum Perkawinan Setelah Salah Satu Pihak Berpindah Agama Ditinjau Dari Undang–Undang No 1 Tahun 1974 Dan Hukum Islam," M.A. thesis, Univ. 1945 Surabaya, Surabaya, Indonesia, 2019.
- M. F. Salim, Penolong Yang Sepadan Dan Pernikahan Yang Berhasil Di Hadapan Tuhan, 1st ed. Tuban, Indonesia: Spasi Media, 2020.
- M. Fajar and Y. Ahmad, Dualisme Penelitian Hukum Empiris & Normatif, Yogyakarta, Indonesia: Pustaka Pelajar, 2010
- A. Munawar, "Sahnya Perkawinan Menurut Hukum Positif Yang Berlaku Di Indonesia," Al-Adl: Jurnal Hukum, vol. 7, no. 2, pp. 45-55, 2015.
- N. E. Elnizar, "Begini 3 Langkah Efisien Dalam Memahami Putusan Pengadilan," Hukum Online. [Online]. Available: https://www.hukumonline.com/berita/a/begini-3-langkah-efisien-memahamiputusan-pengadilan-lt62cf22fa0f6f5/?page=all.
- T. A. Pandiangan, "Peran PAK Dalam Pelayanan Pastoral Pra Nikah di HKBP Resort Ciputat," M.A. thesis, Univ. Kristen Indonesia, Jakarta, Indonesia, 2020.
- P. M. Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Rev. ed. Jakarta, Indonesia: Prenadamedia Group, 2020.
- Y. E. Patandean and B. W. Hermanto, "Tema-Tema Theologis Khotbah Yesus Di Bukit Dalam Injil Matius 5: 1-7: 29," Evangelikal: Jurnal Teologi Injili Dan Pembinaan Warga Jemaat, vol. 3, no. 1, pp. 30-40, 2019.
- E. A. Putri, "Keabsahan Perkawinan Berdasarkan Perspektif Hukum Positif di Indonesia," Jurnal Krtha Bhayangkara, vol. 1, no. 1, pp. 10-20, 2021.
- A. M. W. Saputri, N. Sutarni, and D. I. Sholikah, "Legalitas Perkawinan Beda Agama dalam Sudut Pandang Undang-Undang Perkawinan dan Undang-Undang Administrasi Kependudukan Dikaitkan dengan Hak Asasi Manusia," Jurnal Bedah Hukum, vol. 4, no. 1, pp. 15-25, 2023.
- A. P. A. Santoso, et al., Pengantar Hukum Perkawinan, Yogyakarta, Indonesia: Pustakabarupress, 2021.
- R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, Indonesia: Sinar Grafika, 2019.
- N. Solikin, Pengantar Metodologi Penelitian Hukum, 1st ed. Pasuruan, Indonesia: Qiara Media, 2021.
- T. Sitanggang, "Peran Bimbingan Pranikah Dalam Mewujudkan Keharmonisan Keluarga Di Gereja Bethel Indonesia Tabgha Batam," Jurnal Impartha, vol. 1, no. 2, pp. 45-55, 2023.
- T. D. Cahyani, Hukum Perkawinan, Malang, Indonesia: UMM Press, 2020.
- R. Usman, "Makna Pencatatan Perkawinan Dalam Peraturan Perundang-Undangan Perkawinan di Indonesia," Jurnal Legislasi Indonesia, vol. 14, no. 2, pp. 55-65, 2017.
- B. Waluyo, "Sahnya Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan," Jurnal Legislasi Indonesia, vol. 15, no. 1, pp. 20-30, 2020.
- M. Y. Harahap, Hukum Acara Perdata, Jakarta, Indonesia: Sinar Grafika, 2015.
- Y. Nurhayati, Buku Ajar Pengantar Ilmu Hukum, Bandung, Indonesia: Penerbit Nusa Media, 2020.