Global Impact of Breach of Good Faith in Insurance Contracts
Innovation in Social Science
DOI: 10.21070/ijins.v25i2.1074

Global Impact of Breach of Good Faith in Insurance Contracts


Dampak Global Pelanggaran Itikad Baik dalam Kontrak Asuransi

Fakultas Hukum, Universitas Jember
Indonesia
Fakultas Hukum, Universitas Jember
Indonesia
Fakultas Hukum, Universitas Jember
Indonesia

(*) Corresponding Author

Utmost Good Faith Insurance Contracts Legal Implications Regulatory Enhancements Notarial Involvement

Abstract

This study explores the principle of utmost good faith (itikad baik) in insurance contracts, which mandates full and honest disclosure by all parties to prevent agreement nullification. Despite its critical importance, the enforcement and consequences of breaches are poorly documented, particularly regarding legal outcomes and claims processes. Through normative legal research utilizing primary and secondary sources, this research examines the implications of such breaches and suggests regulatory enhancements. Key findings indicate breaches can lead to contract cancellation, claim denial, or legal actions. The study highlights the necessity of regulatory improvements and increased notarial involvement to ensure equitable and transparent insurance practices.

Highlights:

  • Critical Role of Disclosure: Utmost good faith requires complete honesty from all parties in insurance contracts.
  • Consequences of Breach: Violations can lead to severe outcomes like contract termination and denied claims.
  • Need for Regulation: Suggests stronger legal frameworks and notarial oversight to ensure fairness and transparency.

Keywords: Utmost Good Faith, Insurance Contracts, Legal Implications, Regulatory Enhancements, Notarial Involvement

Pendahuluan

Salah satu tujuan Negara Republik Indonesia berdasarkan Pasal 33 Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah untuk menciptakan kondisi masyarakat yang sejahtera, adil, dan makmur. Dalam konteks ini, setiap individu akan menghadapi ketidakpastian dalam hidupnya, yang dapat signifikan memengaruhi kesejahteraan pribadi dan keluarganya, seperti ketidakpastian ekonomi yang berdampak pada kemampuan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Begitu juga dengan ketidakpastian terhadap kejadian tak terduga, seperti kebakaran rumah, pencurian, kecelakaan, dan berbagai peristiwa yang tidak terduga yang dapat berdampak pada kehidupan seseorang.[1]

Dalam perjalanan hidupnya, manusia pasti akan menghadapi ancaman bahaya yang tak terduga. Tak ada yang mengharapkan ketidakpastian yang membawa ancaman tersebut. Oleh karena itu, untuk mengurangi ketidakpastian dalam hidup, mereka harus berusaha mencegahnya sebaik mungkin. Namun, terkadang upaya pencegahan memerlukan biaya yang tidak semua orang mampu tanggung. Dalam situasi seperti itu, seseorang mungkin harus menerima risiko tersebut dengan pasrah.[2] Resiko di sini mengacu pada potensi kejadian yang dapat menyebabkan kerugian finansial atau membahayakan keselamatan seseorang di masa depan. Individu yang memahami dan peduli terhadap risiko tersebut cenderung berupaya untuk mengurangi atau menghindari risiko tersebut sebisa mungkin.

Salah satu cara untuk mengatasi risiko ini adalah dengan mentransfer atau mengalihkan risiko tersebut kepada pihak lain atau entitas bisnis. Pihak atau entitas bisnis ini biasanya adalah lembaga asuransi, yang bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan finansial dalam hal terjadinya kejadian yang tidak diinginkan. Asuransi sendiri memiliki akar kata dari "verzekering" dalam bahasa Belanda, yang berarti perlindungan.[3] Dalam konteks hukum di Indonesia dan dalam kurikulum perguruan tinggi hukum, istilah pertanggungan sering kali dipakai.

Asuransi merupakan sebuah layanan dimana pihak tertanggung atau pemegang polis dapat menikmatinya setelah mereka menandatangani polis sebagai persetujuan untuk berpartisipasi, dengan kewajiban membayar premi bulanan atau tahunan. Prinsip utama dari asuransi adalah untuk mengalihkan risiko yang mungkin timbul dari peristiwa yang tidak diinginkan kepada pihak penanggung. Tujuan utama asuransi adalah untuk mengatasi ketidakpastian terhadap kerugian, terutama kerugian murni, bukan yang bersifat spekulatif [4]. Melalui asuransi, upaya dilakukan untuk memberikan rasa aman dan perlindungan, sehingga pihak tertanggung merasa terlindungi dari risiko yang mungkin timbul. Dalam kesepakatan asuransi, jika risiko terjadi, pihak tertanggung memiliki hak atas nilai kerugian sesuai dengan nilai polis yang telah disepakati antara kedua belah pihak.[5]

Perjanjian asuransi terjadi saat para pihak mencapai kesepakatan, meskipun polis asuransi belum diterbitkan atau dibuat [6]. Ini menunjukkan bahwa asuransi merupakan perjanjian konsensual di mana kewajiban dan hak timbal balik antara Penanggung dan Tertanggung timbul segera setelah kesepakatan dicapai, tanpa perlu menunggu pembuatan atau penandatanganan polis. Polis asuransi, dalam konteks ini, berfungsi sebagai bukti dari perjanjian tersebut, bukan sebagai syarat esensial untuk terjadinya perjanjian asuransi.[7]

Pasal 258 ayat (1) KUHD menjelaskan bahwa untuk membuktikan penutupan perjanjian asuransi, biasanya menggunakan polis sebagai bukti tertulis. Namun, pembuktian bisa dilakukan juga dengan alat lainnya, terutama jika sudah ada bukti awal dalam bentuk tertulis. Meskipun "tulisan" dalam konteks pertama Pasal 258 ayat (1) mengacu pada polis, dalam konteks terakhir, itu dapat merujuk pada bukti awal yang tertulis seperti surat atau nota penutupan.

Hal ini menegaskan bahwa polis tidak menjadi syarat utama sebuah perjanjian asuransi, tetapi berguna sebagai bukti bagi penanggung. Meskipun demikian, pentingnya polis tidak bisa diabaikan karena di dalamnya terdapat rincian lengkap tentang perjanjian, termasuk prosedur klaim dan kewajiban serta hak kedua belah pihak. Klaim asuransi didasarkan pada polis yang dibuat berdasarkan kesepakatan dan prinsip itikad baik antara kedua belah pihak [8]. Klaim asuransi merupakan formalitas permintaan kepada pihak asuransi untuk mendapatkan kompensasi atas kerugian yang diatur dalam polis atau perjanjian asuransi. Setelah diajukan, klaim akan ditinjau oleh perusahaan asuransi untuk memvalidasi, kemudian membayarkan kompensasi kepada tertanggung. Prinsip itikad baik dan kesepakatan dalam perjanjian asuransi mengharuskan kedua belah pihak untuk mematuhi isi perjanjian. Hoge Raad menegaskan bahwa pelaksanaan perjanjian harus adil dan sesuai dengan nilai-nilai masyarakat, dengan menafsirkan perjanjian berdasarkan kewajaran dan keadilan. Prinsip itikad baik menekankan keseimbangan antara kerugian dan keuntungan bagi kedua belah pihak dalam perjanjian, merupakan dasar kepercayaan dalam perjanjian asuransi.

Namun, banyak pelanggaran terhadap prinsip-prinsip asuransi yang diatur dalam hukum, seperti KUHD dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. Contohnya, tertanggung yang tidak memberikan informasi lengkap dan jelas mengenai objek asuransi, merugikan perusahaan asuransi sebagai penanggung.[9] Banyak perusahaan asuransi tidak bertindak dengan itikad baik saat menjalankan kegiatan perasuransian, terlibat dalam kecurangan seperti mencari-cari kesalahan tertanggung untuk alasan tertentu. Contohnya, Alm. H. Sisman mengasuransikan jiwanya ke P.T. Asuransi Jiwa Mega Life Internasional (P.T. AJMLI) pada 24 September 2021, namun klaim yang diajukan oleh ahli warisnya ditolak dengan alasan tertanggung meninggal karena kanker, yang merupakan penyakit yang tidak dicakup oleh polis. Prinsip utama dalam asuransi adalah kejujuran mutlak, di mana tertanggung diharapkan memberikan informasi yang jujur tentang hal-hal yang dipertanggungkan kepada penanggung.

Ketidakjujuran dalam bisnis asuransi bisa mengakibatkan pembatalan perjanjian asuransi karena melibatkan cacat kehendak. Sesuai dengan Pasal 251 KUHD, setiap kesalahan informasi atau penyalahgunaan yang diketahui oleh tertanggung, bahkan jika dilakukan dengan itikad baik, dapat menyebabkan pembatalan perjanjian asuransi karena menyebabkan ketidaksetaraan syarat-syarat perjanjian.[10] Mengenai hal tersebut, muncul suatu isu hukum terkait implementasi prinsip itikad baik (utmost good faith) dalam kontrak asuransi yang seringkali menjadi perhatian dalam kehidupan masyarakat. Hal ini juga menjadi fokus dalam proposal tesis yang berjudul "Prinsip Utmost Good Faith dalam Kontrak Asuransi". Dari paparan latar belakang dan isu yang disebutkan di atas, penulis berusaha mengidentifikasi beberapa masalah yang meliputi:

1. Apa makna itikad baik (utmost good faith) dalam perjanjian asuransi?

2. Apa akibat hukum jika terjadi pelanggaran atas prinsip itikad baik (utmost good faith) dalam mekanisme klaim pada perjanjian asuransi?

3. Bagaimanakah konsep pengaturan ke depan atas prinsip Utmost Good Faith dalam perjanjian asuransi untuk menciptakan keadilan bagi para pihak?

Metode

Dalam melakukan studi hukum normatif, penting untuk memiliki metode penelitian yang sesuai sebagai panduan dalam menganalisis data. Metode ini membantu dalam memahami, menganalisis, dan menafsirkan konteks yang terlibat dalam penelitian. Penelitian ini mengadopsi pendekatan hukum normatif yang fokus pada analisis peraturan-peraturan yang berlaku. Pendekatan yang digunakan mencakup pendekatan hukum, konseptual, perbandingan hukum, dan historis. Sumber hukum yang digunakan mencakup sumber primer seperti peraturan undang-undang dan putusan pengadilan, serta sumber sekunder seperti literatur hukum, jurnal, dan tesis. Pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka, identifikasi badan hukum, dan analisis relevansi. Analisis data menggunakan pendekatan kualitatif yang menekankan pada norma hukum yang berlaku. Penarikan kesimpulan dilakukan secara deduktif, dimulai dari prinsip umum menuju kasus-kasus khusus. Proses penelitian meliputi identifikasi fakta hukum, pengumpulan data, telaah isu hukum, penarikan kesimpulan, dan pemberian rekomendasi berdasarkan argumen yang terstruktur.

Hasil dan Pembahasan

A. Makna Itikad Baik (Utmost Good Faith) dalam Perjanjian Asuransi

Itikad baik (utmost good faith) adalah salah satu prinsip kunci dalam kontrak asuransi. Prinsip ini menyiratkan bahwa semua pihak yang terlibat, yaitu tertanggung dan penanggung, harus bertindak dengan kejujuran, transparansi, dan mengungkapkan semua informasi penting yang berkaitan dengan objek asuransi. Prinsip ini memiliki peran yang sangat penting dalam hubungan kontraktual antara tertanggung dan penanggung.[11] Berikut adalah penjelasan lebih lanjut tentang makna itikad baik (utmost good faith) dalam perjanjian asuransi.

Dalam kontrak asuransi, prinsip kesetiaan tertinggi (utmost good faith) menegaskan bahwa tertanggung harus mengungkapkan semua informasi penting yang dia ketahui atau seharusnya dia ketahui tentang subjek yang diasuransikan. Informasi-informasi ini memiliki potensi untuk memengaruhi keputusan perusahaan asuransi dalam menerima atau menolak risiko tersebut. Tertanggung diharapkan memberikan informasi yang lengkap, tepat, dan jujur, tanpa menyembunyikan atau memberikan informasi yang salah. Jika tertanggung melanggar prinsip kesetiaan tertinggi, perusahaan asuransi berhak untuk membatalkan polis asuransi atau menolak klaim yang diajukan.[12]

Di samping itu, prinsip itikad baik (utmost good faith) juga menuntut penanggung untuk memberikan informasi yang jelas dan transparan kepada tertanggung mengenai ketentuan-ketentuan perjanjian asuransi, risiko yang dicakup, pengecualian, dan aspek lain yang relevan. Penanggung harus secara jelas menjelaskan cakupan perlindungan, batasan-batasan, serta kewajiban-kewajiban yang harus dipatuhi oleh tertanggung. Penanggung tidak diperbolehkan untuk menyembunyikan atau memberikan informasi yang menyesatkan kepada tertanggung, yang mungkin menyebabkan mereka membuat keputusan yang tidak tepat.[13]

Prinsip kejujuran yang paling tinggi juga berlaku saat tertanggung mengajukan klaim. Tertanggung harus memberikan informasi yang akurat dan tepat mengenai kejadian yang mengakibatkan kerugian, serta mengikuti prosedur dan ketentuan yang diatur dalam polis asuransi. Penanggung memiliki hak untuk melakukan penyelidikan terhadap kebenaran informasi yang diberikan oleh tertanggung dan menolak klaim jika terbukti adanya ketidakjujuran atau penahanan informasi yang penting.[14]

Keberadaan prinsip itikad baik dalam perjanjian asuransi sangat penting karena kontrak asuransi melibatkan penanggung yang mengambil risiko berdasarkan informasi yang diberikan oleh tertanggung. Jika informasi tersebut tidak akurat atau tidak lengkap, penilaian risiko dapat menjadi tidak tepat, yang berpotensi menyebabkan kesalahan dalam menerima atau menolak risiko tersebut. Oleh karena itu, kejujuran dan transparansi dalam pertukaran informasi menjadi kunci dalam hubungan kontraktual antara tertanggung dan penanggung.[15]

Pelanggaran terhadap prinsip itikad baik dalam perjanjian asuransi bisa memiliki konsekuensi serius. Jika tertanggung terbukti tidak jujur atau menyembunyikan informasi penting, penanggung berhak untuk membatalkan polis atau menolak klaim. Sebaliknya, jika penanggung tidak memberikan informasi yang jelas kepada tertanggung, tertanggung bisa mengambil langkah hukum atas pelanggaran tersebut.[9] Karena itu, baik pihak yang diasuransikan maupun pihak yang mengasuransikan harus mengikuti prinsip itikad baik (utmost good faith) dalam setiap fase perjanjian asuransi, mulai dari negosiasi, pembuatan polis, hingga pengajuan klaim. Prinsip ini diwujudkan dalam praktek dengan cara tertanggung mengisi formulir aplikasi asuransi secara jujur dan lengkap, sementara penanggung memberikan penjelasan yang memadai mengenai ketentuan-ketentuan dalam polis asuransi. Kedua belah pihak harus berkomunikasi dengan terbuka dan jujur untuk memastikan tidak ada informasi yang disembunyikan atau disalahartikan. Prinsip ini menjadi dasar kepercayaan dalam hubungan kontrak antara tertanggung dan penanggung, serta menjamin keadilan dan keseimbangan hak dan kewajiban mereka.[16]

Dalam lingkup hukum di Indonesia, prinsip itikad baik dalam kontrak asuransi dijelaskan secara khusus dalam Pasal 251 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD). Pasal tersebut menyatakan bahwa jika tertanggung memberikan informasi yang salah atau menyembunyikan fakta yang seharusnya diketahui, dan hal tersebut cukup signifikan sehingga jika penanggung mengetahuinya, maka kontrak asuransi tersebut tidak akan disetujui atau akan disetujui dengan ketentuan yang berbeda, yang akhirnya mengakibatkan pembatalan perlindungan.

Dengan demikian, prinsip ini didasarkan pada fondasi hukum yang solid di dalam sistem hukum Indonesia. Meskipun prinsip itikad baik (utmost good faith) adalah tanggung jawab yang harus dipatuhi oleh kedua belah pihak, namun ada beberapa batasan dalam pelaksanaannya. Salah satu contohnya adalah keterbatasan informasi yang dapat diberikan oleh tertanggung melalui formulir aplikasi asuransi yang bersifat standar. Dalam situasi semacam ini, peran agen asuransi menjadi krusial untuk memastikan bahwa tertanggung benar-benar memahami syarat-syarat dan ketentuan yang terkandung dalam polis asuransi. Di samping itu, dalam praktiknya, ada risiko penyalahgunaan situasi oleh pihak penanggung, terutama dalam perjanjian asuransi yang bersifat standar.[17] Oleh karena itu, pengawasan dan penegakan hukum yang efektif diperlukan untuk memastikan bahwa prinsip itikad baik diterapkan secara adil oleh kedua belah pihak. Dengan demikian, itikad baik merupakan prinsip mendasar dalam kontrak asuransi yang mengharuskan tertanggung dan penanggung untuk bertindak dengan jujur dan mengungkapkan semua informasi yang relevan. Prinsip ini menjadi dasar kepercayaan dalam kontrak antara kedua belah pihak dan memberikan perlindungan hukum bagi kepentingan mereka..

B. Akibat Hukum Jika Terjadi Pelanggaran Atas Prinsip Itikad Baik (Utmost Good Faith) dalam Mekanisme Klaim pada Perjanjian Asuransi

Akibat hukum jika terjadi pelanggaran atas prinsip itikad baik (utmost good faith) dalam mekanisme klaim pada perjanjian asuransi adalah sebagai berikut:

Pelanggaran prinsip itikad baik dalam kontrak asuransi bisa mengakibatkan pembatalan kontrak tersebut karena prinsip tersebut adalah salah satu persyaratan utama dalam kontrak asuransi. Pasal 251 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) menyatakan bahwa jika terdapat informasi yang salah atau tidak akurat, atau jika tertanggung mengetahui suatu informasi tetapi memilih untuk menyembunyikannya dengan cara yang membuat penanggung tidak akan menyetujui pertanggungan jika mengetahui keadaan sebenarnya, maka kontrak tersebut bisa dinyatakan batal.

Dalam istilah lain, jika pihak yang diasuransikan memberikan informasi yang tidak akurat atau menyembunyikan informasi penting yang seharusnya disampaikan kepada perusahaan asuransi saat mengajukan klaim, maka kontrak asuransi yang telah disepakati dapat dinyatakan tidak berlaku atau dibatalkan oleh perusahaan asuransi. Ini disebabkan oleh penanggung yang telah diperdaya atau tertipu oleh tertanggung, sehingga keputusan penanggung untuk mengambil risiko tersebut didasarkan pada informasi yang tidak lengkap atau tidak akurat. Selain dari membatalkan polis asuransi, pelanggaran terhadap prinsip itikad baik juga bisa mengakibatkan penanggung menolak untuk membayar klaim yang diajukan oleh tertanggung atau ahli warisnya. Ini terjadi karena klaim yang diajukan dianggap tidak sah karena polis asuransi yang mendasarinya telah dinyatakan batal atau dapat dibatalkan akibat pelanggaran terhadap prinsip itikad baik. Penanggung memiliki hak untuk menolak membayar klaim tersebut karena tertanggung telah melanggar kewajibannya untuk memberikan informasi yang benar dan lengkap pada saat mengajukan permohonan asuransi.[18]

Dalam prakteknya, pelanggaran prinsip kesetiaan dalam perjanjian asuransi bisa muncul dalam berbagai bentuk, seperti saat tertanggung memberikan informasi yang tidak akurat atau tidak benar (misrepresentation), menyembunyikan informasi penting yang seharusnya diungkapkan (concealment), atau tidak mengungkapkan informasi penting yang dianggap remeh (non-disclosure). Pelanggaran semacam ini bisa terjadi secara sengaja maupun tidak sengaja, namun konsekuensi hukumnya sama, yaitu perjanjian asuransi bisa dibatalkan atau dinyatakan tidak berlaku oleh pihak penanggung. Namun, ketika menjatuhkan konsekuensi hukum atas pelanggaran prinsip itikad baik, hakim perlu memperhitungkan faktor-faktor seperti tingkat kesalahan yang dilakukan, apakah pelanggaran tersebut disengaja atau tidak, serta dampaknya pada pihak yang dijamin. Dalam situasi tertentu, hakim bisa memutuskan untuk tidak sepenuhnya membatalkan perjanjian asuransi, tetapi hanya sebagian atau mengarahkan penanggung untuk menyesuaikan premi atau cakupan perlindungan sesuai dengan risiko aktual. Pendekatan ini bertujuan untuk memastikan keadilan bagi semua pihak yang terlibat.

Dalam perkembangan peraturan asuransi, prinsip kejujuran dalam menjalin perjanjian asuransi telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. Pasal 31 ayat (1) menegaskan kewajiban calon tertanggung untuk memberikan informasi yang akurat dan lengkap kepada penanggung sebelum perjanjian asuransi dibuat. Ayat (2) kemudian menjelaskan bahwa penanggung berhak menolak klaim atau membatalkan perjanjian jika informasi yang diberikan tidak benar atau lengkap. Aturan ini memperkuat konsekuensi hukum atas pelanggaran prinsip kejujuran dalam perjanjian asuransi. Oleh karena itu, untuk memastikan keadilan bagi semua pihak yang terlibat, penting bagi tertanggung untuk selalu berlaku jujur dengan memberikan informasi yang tepat, lengkap, dan tidak menyembunyikan fakta-fakta penting yang harus diketahui oleh penanggung. Di sisi lain, penanggung juga diharapkan bertindak dengan kejujuran, seperti memberikan informasi yang transparan mengenai produk asuransi yang mereka tawarkan dan tidak menyembunyikan informasi penting yang dapat memengaruhi keputusan tertanggung dalam memilih asuransi. Kepatuhan terhadap prinsip kejujuran dalam perjanjian asuransi bukan hanya penting untuk menjaga kepastian hukum dan keadilan, tetapi juga untuk memelihara kepercayaan masyarakat terhadap industri asuransi. Pelanggaran terhadap prinsip ini, baik oleh tertanggung maupun penanggung, dapat merusak kepercayaan masyarakat terhadap industri asuransi dan berpotensi merugikan semua pihak yang terlibat.[19] Oleh karena itu, diperlukan kolaborasi dari semua pihak yang terlibat, termasuk pemerintah, regulator, perusahaan asuransi, dan masyarakat, untuk memastikan konsistensi dan keberlanjutan dalam menerapkan prinsip itikad baik dalam kontrak asuransi. Selain itu, untuk meningkatkan perlindungan hukum bagi semua pihak yang terlibat dalam kontrak asuransi, perlu dilakukan evaluasi dan perbaikan terhadap peraturan yang ada, terutama yang berkaitan dengan prinsip itikad baik. Ini bisa dilakukan melalui revisi atau pembuatan peraturan baru yang lebih rinci dan komprehensif dalam mengatur prinsip itikad baik dalam kontrak asuransi.[20] Selain hal tersebut, diperlukan usaha untuk meningkatkan pemahaman masyarakat tentang pentingnya prinsip itikad baik dalam kontrak asuransi. Ini dimaksudkan agar masyarakat lebih menyadari hak dan tanggung jawab mereka dalam kontrak asuransi, serta konsekuensi yang mungkin terjadi jika prinsip itikad baik tidak dipatuhi.[21]

C. Konsep Pengaturan ke Depan Atas Prinsip Utmost Good Faith dalam Perjanjian Asuransi untuk Menciptakan Keadilan Bagi Para Pihak

Prinsip utmost good faith dalam perjanjian asuransi mengamanatkan bahwa kedua belah pihak, yaitu perusahaan asuransi dan pemegang polis, harus bertindak secara jujur dan terbuka dalam menyampaikan informasi yang relevan mengenai objek pertanggungan. Tujuan dari prinsip ini adalah untuk menciptakan kesetaraan dan keadilan antara kedua belah pihak dalam pelaksanaan perjanjian asuransi. Namun, di Indonesia, implementasi prinsip tersebut belum mencapai tingkat optimal.[12] Terdapat beberapa permasalahan terkait penerapan prinsip ini, antara lain:

1. Pengaturan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) yang masih memihak kepada penanggung. Pasal 251 KUHD hanya mewajibkan tertanggung untuk memberikan informasi yang benar dan jujur kepada penanggung, tetapi tidak mengatur kewajiban yang sama bagi penanggung kepada tertanggung.

2. Ketidakseimbangan posisi tawar antara penanggung dan tertanggung. Penanggung seringkali memiliki posisi yang lebih kuat sehingga dapat memaksakan kehendaknya dalam perjanjian asuransi, termasuk dalam hal penerapan prinsip utmost good faith.

3. Kurangnya pemahaman masyarakat (tertanggung) mengenai prinsip utmost good faith dan konsekuensinya dalam perjanjian asuransi.

4. Belum adanya pengaturan yang tegas dan komprehensif mengenai penerapan prinsip utmost good faith dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian.

Untuk memperbaiki kondisi tersebut dan menciptakan keadilan bagi para pihak dalam perjanjian asuransi, diperlukan konsep pengaturan ke depan atas prinsip utmost good faith sebagai berikut:

Pertama, perlu ada perubahan pada pasal-pasal dalam KUHD yang berkaitan dengan implementasi prinsip utmost good faith. Tujuan dari perubahan ini adalah untuk mencapai keseimbangan dalam tanggung jawab menerapkan prinsip tersebut, tidak hanya untuk pihak yang diasuransikan, tetapi juga untuk pihak yang mengasuransikan. Pihak yang mengasuransikan juga harus diwajibkan untuk memberikan informasi yang akurat, jujur, dan lengkap kepada pihak yang diasuransikan mengenai produk asuransi yang ditawarkan, termasuk manfaat, risiko, dan syarat-syarat yang terkait.

Kedua, dibutuhkan regulasi yang lebih kuat dan komprehensif dalam Undang-Undang Perasuransian terkait dengan penerapan prinsip utmost good faith dalam kontrak asuransi. Regulasi ini harus mencakup:

a. Definisi dan ruang lingkup penerapan prinsip utmost good faith dalam perjanjian asuransi.

b. Kewajiban penanggung dan tertanggung dalam penerapan prinsip utmost good faith.

c. Konsekuensi hukum jika salah satu pihak tidak menerapkan prinsip utmost good faith.

d. Mekanisme penyelesaian sengketa terkait dengan pelanggaran prinsip utmost good faith.

Ketiga, untuk memperkuat posisi tawar tertanggung dan menciptakan keseimbangan dalam perjanjian asuransi, pentingnya keterlibatan pihak ketiga independen dan kompeten dalam proses pembuatan serta pelaksanaan perjanjian asuransi harus diakui. Notaris adalah pihak ketiga yang dimaksud.

Keterlibatan notaris dalam pembuatan perjanjian asuransi akan menjamin bahwa prinsip kesetiaan mutlak benar-benar ditegakkan oleh kedua belah pihak. Notaris bertanggung jawab untuk memastikan bahwa perjanjian yang dibuat sesuai dengan peraturan yang berlaku, termasuk prinsip kesetiaan mutlak. Selain itu, notaris juga berperan dalam memberikan penjelasan kepada para pihak tentang hak dan kewajiban mereka dalam perjanjian asuransi, termasuk prinsip kesetiaan mutlak. Dengan demikian, tertanggung akan memiliki pemahaman yang lebih baik tentang prinsip ini dan implikasinya dalam perjanjian asuransi.

Keempat, literasi dan edukasi masyarakat tentang prinsip kesetiaan mutlak dalam perjanjian asuransi perlu ditingkatkan. Ini dapat dilakukan melalui kerjasama antara pemerintah, perusahaan asuransi, dan lembaga pendidikan. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya prinsip kesetiaan mutlak dalam perjanjian asuransi, sehingga mereka dapat membuat keputusan yang tepat dalam memilih produk asuransi yang sesuai dengan kebutuhan mereka.

Kelima, pengawasan yang ketat dari pihak yang berwenang (Otoritas Jasa Keuangan) terhadap penerapan prinsip kesetiaan mutlak dalam industri asuransi diperlukan. Ini dilakukan untuk memastikan bahwa perusahaan asuransi dan tertanggung benar-benar menerapkan prinsip kesetiaan mutlak dalam perjanjian asuransi. Otoritas Jasa Keuangan juga dapat memberikan sanksi yang tegas bagi pelanggaran terhadap prinsip ini, baik kepada perusahaan asuransi maupun tertanggung.

Dengan konsep pengaturan ke depan yang mencakup revisi KUHD, pengaturan yang lebih tegas dalam Undang-Undang Perasuransian, keterlibatan notaris, peningkatan literasi masyarakat, dan pengawasan yang ketat, diharapkan prinsip kesetiaan mutlak dapat benar-benar ditegakkan dalam perjanjian asuransi di Indonesia. Ini akan membawa keadilan bagi semua pihak yang terlibat, serta meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap industri asuransi.

Simpulan

Berdasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya, dapat dikemukakan beberapa kesimpulan sebagai berikut:

a. Konsep itikad baik dalam perjanjian asuransi menuntut agar tertanggung memberikan informasi yang jelas dan lengkap mengenai obyek yang diasuransikan, sementara penanggung berkewajiban menjelaskan dengan detail risiko yang dijamin atau dikecualikan, serta syarat-syarat pertanggungan. Terdapat dua jenis itikad baik, yaitu itikad baik nisbi yang memperhatikan perilaku nyata, dan itikad baik mutlak yang didasarkan pada akal sehat dan keadilan, dengan mengacu pada standar yang objektif.

b. Konsekuensi hukum dari pelanggaran prinsip itikad baik dalam klaim asuransi adalah bahwa kesalahan atau penyembunyian informasi yang diketahui oleh tertanggung, meskipun dilakukan dengan itikad baik, dapat membuat perjanjian tidak sah jika penanggung mengetahui keadaan sebenarnya. Oleh karena itu, baik pihak tertanggung maupun penanggung memiliki kewajiban untuk memberikan informasi yang jujur. Pelanggaran prinsip itikad baik dapat mengakibatkan pembatalan pertanggungan atau penolakan klaim, sebagaimana diatur dalam Pasal 1320-1329 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

c. Penerapan prinsip itikad baik dalam perjanjian asuransi didasarkan pada ketentuan Pasal 255 KUHD yang mewajibkan perjanjian asuransi dibuat secara tertulis, memberikan perlindungan hukum bagi kedua belah pihak. Pasal 251 KUHD mengatur kewajiban tertanggung untuk memberikan informasi yang benar, sementara Pasal 258 KUHD mengatur kewajiban penanggung untuk membuat perjanjian sesuai kesepakatan dengan tertanggung. Keterlibatan notaris dalam pembuatan perjanjian asuransi diatur dalam undang-undang perasuransian dan jabatan notaris.

References

  1. O. Zai, "Perlindungan Hukum Terhadap Pemegang Polis Pada Perjanjian Asuransi Jiwa Pada PT. Prudential Life Assurance (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung No.826 K/Pdt/2013)," Medan: Universitas Medan Area, 2017.
  2. D. Prakoso, "Hukum Asuransi Indonesia," Jakarta: Rineka Cipta, 2000.
  3. W. Prodjodikoro, "Hukum Asuransi di Indonesia," Jakarta: Pembimbing Masa, 2012.
  4. Mulhadi, "Dasar-Dasar Hukum Asuransi," Depok: PT. Raja Grafindo Persada, 2017.
  5. J. Ganie, "Hukum Asuransi di Indonesia," Jakarta: Sinar Grafika, 2013.
  6. M. D. Badrulzaman, "KUHPerdata Buku III Hukum Perikatan dengan Penjelasan," Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2015.
  7. A. Saputra, D. Listiyorini, and M. Muzayanah, "Tanggungjawab Asuransi Dalam Mekanisme Klaim Pada Perjanjian Asuransi Berdasarkan Prinsip Utmost Good Faith," J. Pendidikan Kewarganegaraan Undiksha, vol. 9, no. 1, 2021, doi: 10.23887/jpku.v9i1.32722.
  8. S. H. Santri, "Pelaksanaan Prinsip Subrogasi Pada Asuransi Kendaraan Bermotor Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Dagang," UIR Law Rev., vol. 2, no. 02, Dec. 2018, doi: 10.25299/uirlrev.2018.vol2(02).2073.
  9. M. M. Sudrajat and S. Lestari, "Pelanggaran Prinsip Itikad Baik Oleh Tertanggung Di Asuransi Jiwa P.T. Ajmli," Reformasi Hukum Trisakti, vol. 1, no. 1, May 2019, doi: 10.25105/refor.v1i1.7128.
  10. K. Ismanto, "Principle of Utmost Good Faith Dalam Perjanjian Asuransi: Studi Asas Hukum Perjanjian Syariah," Episteme Jurnal Pengembangan Ilmu Keislaman, vol. 7, no. 2, Dec. 2012, doi: 10.21274/epis.2012.7.2.293-310.
  11. S. H. Santri, "Prinsip Utmost Good Faith Dalam Perjanjian Asuransi Kerugian," UIR Law Rev., vol. 1, no. 01, Apr. 2017, doi: 10.25299/ulr.2017.1.01.165.
  12. E. Masri, "Pelanggaran Prinsip Itikad Baik dalam Perjanjian Asuransi pada P.t. Asuransi Jiwasraya Cabang Padang," Krtha Bhayangkara, vol. 12, no. 1, 2018.
  13. N. I. Hasan, "Pengantar Asuransi Syariah," Jakarta: Gaung Persada Press Group, 2014.
  14. Z. Vandawati, "Perlindungan Hukum Tertanggung Dan Tanggung Jawab Penanggung Dalam Perjanjian Asuransi Jiwa," Surabaya: PT. Revka Petra Media, 2015.
  15. E. Purwiyantiningsih, "Prinsip Itikad Baik Berdasarkan Pasal 251 Kuhd Dalam Asuransi Kerugian," Jurnal Dinamika Hukum, vol. 8, no. 3, Sep. 2008, doi: 10.20884/1.jdh.2008.8.3.81.
  16. Z. V. Chumaida, "Menciptakan Itikad Baik Yang Berkeadilan Dalam Kontrak Asuransi Jiwa," Yuridika, vol. 29, no. 2, Jul. 2014, doi: 10.20473/ydk.v29i2.370.
  17. I. P. S. Arta et al., "Manajemen Risiko," Bandung: Widina Bhakti Persada Bandung, 2021.
  18. L. C. N. Ginting, H. Purba, S. L. Andriati, and Affila, "Penerapan Prinsip Itikad Baik Terhadap Kewajiban Pemberitahuan Riwayat Kesehatan Sebagai Penyebab Ditolaknya Pembayaran Klaim Asuransi Jiwa," Locus Journal of Academic Literature Review, vol. 2, no. 6, 2023, doi: 10.56128/ljoalr.v2i6.179.
  19. A. Fauzi, Ismail, and D. Iryani, "Perlindungan Hukum Bagi Perusahaan Asuransi Dalam Perjanjian Leasing Terhadap Debitur Tertanggung Yang Mengalami Gagal Bayar," JIMPS Journal Ilmiah Mahasiswa Pendidikan Sejarah, vol. 8, no. 4, 2023, doi: 10.24815/jimps.v8i4.26832.
  20. H. Panjaitan, "Hukum Perlindungan Konsumen Reposisi dan Penguatan Kelembagaan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Dalam Memberikan Perlindungan dan Menjamin Keseimbangan Dengan Pelaku Usaha," Bekasi: Jala Permata Aksara, 2021.
  21. J. Widijantoro, Y. S. M. Widiyastuti, Y. Triyana, and N. B. A. W., "Hukum Perlindungan Konsumen Jasa Keuangan di Era Otoritas Jasa Keuangan," Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2023.