Transforming Administrative Justice Insights Indonesian State Dispute Resolution
Innovation in Social Science
DOI: 10.21070/ijins.v25i2.1073

Transforming Administrative Justice Insights Indonesian State Dispute Resolution


Transformasi Wawasan Peradilan Administrasi Penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara Indonesia

Prodi Magister Ilmu Hukum, Universitas Jember
Indonesia
Prodi Magister Ilmu Hukum, Universitas Jember
Indonesia
Prodi Magister Ilmu Hukum, Universitas Jember
Indonesia

(*) Corresponding Author

Administrative Remedies State Administrative Disputes Legal Obligations Procedural Mechanisms

Abstract

This study examines the role of administrative remedies in resolving state administrative disputes in Indonesia, particularly in light of Supreme Court Regulation No. 6 of 2018. It investigates the legal obligations and procedural mechanisms governing the utilization of administrative remedies, with a focus on disputes involving Civil Servants (ASN). Utilizing a juridical-normative approach, the research underscores the importance of exhausting administrative remedies before resorting to judicial measures, highlighting the potential consequences of failing to do so. Findings indicate that administrative remedies play a crucial role in safeguarding citizens' legal rights, while judicial authorities retain discretion to dismiss cases lacking administrative recourse. The study underscores the need for adherence to procedural requirements and administrative lawfulness, offering insights for legal practitioners, policymakers, and judicial authorities to enhance the administrative justice system in Indonesia.

Highlights: 

  • Exhausting administrative remedies crucial for procedural fairness in state disputes.
  • Judicial discretion vital; dismissal possible without exhausting administrative remedies.
  • Legal practice and policy must prioritize procedural compliance and enhancement.

Keywords: Administrative Remedies, State Administrative Disputes, Legal Obligations, Procedural Mechanisms

 

Pendahuluan

Sengketa Tata Usaha Negara (TUN) merupakan perselisihan hukum yang timbul dalam lingkup tata usaha negara antara individu atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara, baik di tingkat pusat maupun daerah. Perselisihan ini umumnya muncul akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara (beschikking) yang dianggap merugikan hak dan kepentingan pihak lain [1] .

Untuk menjamin kepastian hukum dan melindungi hak-hak yang dirugikan, diperlukan mekanisme penyelesaian sengketa yang memadai. Dalam konteks TUN, perlindungan hukum tersebut diwujudkan melalui Keputusan Tata Usaha Negara (beschikking) yang menjadi dasar bagi penyelesaian sengketa.

Menurut F.H van der Burg, terdapat dua metode utama untuk menyelesaikan sengketa TUN: [2]

a. Peradilan Tata Usaha Negara (Administratief Rechtspraak): Penyelesaian sengketa melalui proses peradilan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Dalam proses ini, PTUN berwenang untuk menguji keabsahan keputusan tata usaha negara dan memberikan putusan yang mengikat para pihak.

b. Proses Banding Administrasi (Administratief Beroep): Penyelesaian sengketa melalui mekanisme banding internal yang disediakan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang mengeluarkan keputusan. Mekanisme ini umumnya ditempuh sebelum mengajukan gugatan ke PTUN.

Indonesia, sebagai negara berdasarkan hukum dengan landasan pada falsafah Negara Pancasila, memiliki elemen-elemen negara hukum Pancasila yang dirumuskan oleh Philipus M. Hadjon sebagai berikut: [3]

1. Harmonisasi hubungan antara pemerintah dan rakyat berdasarkan asas kerukunan.

2. Proporsionalitas hubungan fungsional antara kekuasaan negara.

3. Prinsip penyelesaian sengketa melalui musyawarah, dengan peradilan hanya sebagai pilihan terakhir.

4. Keseimbangan antara hak dan kewajiban.

Negara Hukum Indonesia menjunjung tinggi keseimbangan antara hak dan kewajiban, menciptakan hubungan harmonis antara pemerintah dan rakyat. Prinsip musyawarah Pancasila menjadi landasan penyelesaian sengketa, dengan langkah administratif untuk memulihkan hubungan. Apabila proses administratif tidak memuaskan rakyat, Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) menjadi langkah terakhir untuk memastikan keadilan [4].

Pasal 48 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 mewajibkan penyelesaian upaya administrative sebelum menggugat ke PTUN. PTUN berwenang memeriksa dan memutus sengketa administrative.

Upaya administratif terdiri dari Keberatan dan Banding Administratif, diambil ketika tidak puas dengan Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN). Sebelum PERMA No. 6 Tahun 2018, proses beracara di PTUN berbeda tergantung ada/tidaknya upaya administratif.

Undang-Undang Administrasi Pemerintahan (UUAP) membawa perubahan dalam proses beracara di PTUN, termasuk penafsiran ulang KTUN, pengujian penyalahgunaan wewenang, dan paradigma baru terkait Upaya Administratif.

UU No. 5 Tahun 1986 membatasi Upaya Administratif pada sengketa Tata Usaha Negara yang diatur peraturan perundang-undangan. Sengketa TUN di luar itu dapat langsung diajukan ke PTUN.

Kelebihan dalam Penyelesaian Sengketa melalui Upaya Banding Administratif di Indonesia adalah sebagai berikut: [5]

1. Penilaian komprehensif terhadap Keputusan Tata Usaha Negara dari segi Legalitas dan aspek Oportunitas.

2. Menghindari konsep menang atau kalah seperti di pengadilan, sehingga mengurangi ketegangan antara pihak.

3. Pendekatan musyawarah dalam penyelesaian sengketa.

4. Persidangan yang lebih sederhana, cepat, dan kurang formal dibandingkan di Pengadilan Tata Usaha Negara.

5. Tidak ada biaya perkara yang dikenakan.

6. Penyelesaian dilakukan di internal lembaga terkait.

7. Tidak terikat pada prosedur beracara formal seperti di Pengadilan Tata Usaha Negara.

8. Tidak memerlukan bantuan pengacara.

9. Keputusan lebih sesuai dengan keinginan pemohon.

10. Keputusan dapat dieksekusi secara langsung (strong eksekutorial).

Kelemahan:

1. Kemungkinan kurangnya objektivitas dalam penilaian karena keterlibatan Badan/Pejabat Tata Usaha Negara yang menerbitkan Keputusan.

2. Tidak ada aturan yang pasti terkait waktu kadaluarsa penilaian atau sidang.

3. Peluang terjadinya pengabaian terhadap laporan atau permohonan banding administratif oleh pihak yang berwenang.

Kajian terkini terkait upaya administratif dalam penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara (TUN) menunjukkan pergeseran paradigma dari analisis konseptual menuju eksplorasi praktik lapangan dan dampaknya. Hal ini bertolak belakang dengan penelitian terdahulu yang lebih berfokus pada aspek teoritis. Beberapa temuan penting dari penelitian terbaru tersebut meliputi:

a. Pergeseran Paradigma Upaya Administratif: Jurnal "Rekonstruksi Pergeseran Paradigma Upaya Administratif Dalam Penyelesaian Sengketa Pra Pemilihan Kepala Daerah" meneliti penerapan baru upaya administratif dalam konteks sengketa pra-pemilihan kepala daerah. Penelitian ini menekankan aspek implementasi, prosedur, dan konsekuensi apabila upaya administratif tidak ditempuh terlebih dahulu.

b. Wewenang Pengadilan Tata Usaha Negara: Jurnal "Wewenang dan Kendala Pengadilan Tata Usaha Negara Dalam Menyelesaikan Sengketa Kepegawaian Setelah Upaya Administratif" mengkaji wewenang pengadilan tata usaha negara dalam menyelesaikan sengketa kepegawaian pasca upaya administratif. Penelitian ini berbeda dengan fokus penelitian ini yang lebih luas, yakni penerapan upaya administratif terhadap sengketa TUN secara keseluruhan.

c. Perlindungan Hukum Rakyat: Jurnal "Upaya Administratif Sebagai Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Dalam Sengketa Tata Usaha Negara" membahas peran upaya administratif dalam kerangka negara hukum Pancasila, termasuk langkah-langkah yang diambil oleh pemerintah atau instansi terkait untuk menegakkan prinsip-prinsip Pancasila. Penelitian ini berbeda dengan fokus penelitian ini yang lebih sempit, yakni prosedur dalam menempuh upaya administratif terhadap sengketa TUN.

d. Penerapan Upaya Administratif: Jurnal "Upaya Administratif Dan Penerapan Dalam Penyelesaian Sengketa Administrasi" memfokuskan pada Upaya Administrasi menurut UU No. 5 Tahun 1986, Pasca Berlakunya UU No. 30 Tahun 2014. Penelitian ini menekankan aspek penerapan, prosedur, dan konsekuensi apabila tidak menempuh upaya administratif terlebih dahulu terhadap sengketa TUN.

Secara keseluruhan, penelitian terbaru tentang upaya administratif dalam penyelesaian sengketa TUN menunjukkan pergeseran fokus dari analisis konseptual ke praktik lapangan dan dampaknya. Penelitian ini juga menunjukkan variasi dalam hal fokus dan metodologi, yang mencerminkan kompleksitas dan dinamika bidang ini.

Upaya administratif merupakan proses yang menjadi prasyarat sebelum mengajukan gugatan dalam sengketa Tata Usaha Negara (TUN) ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Ini merupakan suatu kewajiban yang mengikat untuk semua jenis sengketa TUN yang harus dilewati sebelum memasuki ranah peradilan. Proses ini melibatkan dua tahapan utama, yaitu upaya keberatan dan banding administrative. Dalam upaya keberatan, pihak yang merasa dirugikan oleh keputusan atau tindakan suatu instansi pemerintah memiliki hak untuk mengajukan keberatan secara internal kepada instansi yang bersangkutan. Sementara itu, banding administratif merupakan langkah lanjutan yang dapat diambil jika keberatan tersebut tidak memberikan penyelesaian yang memuaskan, di mana pihak yang tidak puas dapat mengajukan banding kepada instansi atau badan yang memiliki wewenang lebih tinggi.

Pentingnya melalui proses upaya administratif ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Undang-undang ini menegaskan bahwa upaya administratif merupakan tahapan yang harus dilalui sebelum memasuki tahap peradilan. Artinya, sebelum mengajukan gugatan ke PTUN, pihak yang bersengketa harus terlebih dahulu melalui proses upaya administratif sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Penelitian terkini menyoroti berbagai aspek terkait implementasi, prosedur, dan konsekuensi dari ketika upaya administratif tidak dilakukan atau dilewati. Misalnya, ada penelitian yang mengulas tentang paradigma baru dalam upaya administratif terkait sengketa pra pemilihan kepala daerah, yang menunjukkan perubahan dalam pendekatan dan praktik yang berkaitan dengan proses ini. Ada juga penelitian yang lebih menekankan pada analisis praktis dari prosedur dan konsekuensi hukum ketika upaya administratif tidak dilakukan dengan tepat.

Selain itu, ada jurnal-jurnal yang memfokuskan pada konteks tertentu, seperti sengketa kepegawaian aparatur sipil negara (ASN) atau upaya administratif dalam negara hukum Pancasila. Semua penelitian ini membawa pemahaman yang lebih mendalam tentang pentingnya memahami, mengikuti, dan menjalani proses upaya administratif sebelum memasuki tahap peradilan dalam penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara.

Metode

Penelitian ini merupakan upaya untuk menggali dan menyelesaikan tantangan yang muncul dalam konteks praktis dengan pendekatan ilmiah yang terstruktur dan logis. Inisiasi penelitian dilatarbelakangi oleh adanya kesenjangan antara teori yang ada dan realitas yang termanifestasi dalam situasi lapangan. Tujuan penelitian ini adalah untuk memberikan kontribusi pada pemahaman dan penyelesaian masalah yang dihadapi dengan mengadopsi pendekatan yuridis normatif. Pendekatan ini menempatkan fokus pada dimensi hukum yang bersumber dari norma, regulasi, dan teori, serta mempertimbangkan realitas lapangan.

Pendekatan yuridis normatif yang diadopsi dalam penelitian ini tidak hanya mempertimbangkan produk hukum yang ada, tetapi juga memperhatikan konteks praktis di lapangan. Dalam rangka mencapai tujuan penelitian, metode deskriptif analitis digunakan. Metode ini bertujuan untuk memberikan gambaran yang objektif, rinci, dan sistematis mengenai obyek penelitian serta menemukan solusi yang sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.

Proses penelitian ini melibatkan beberapa langkah, antara lain identifikasi tantangan yang dihadapi, pengumpulan data, analisis data, pembahasan solusi, dan penyusunan laporan. Identifikasi tantangan menjadi tahap awal yang penting, di mana peneliti mengumpulkan informasi dan data terkait situasi lapangan serta menganalisis kesenjangan antara teori yang ada dan praktik yang terjadi.

Pengumpulan data dilakukan dari berbagai sumber, termasuk dokumen hukum, literatur terkait, studi kasus, dan wawancara dengan para ahli atau pihak terkait. Data ini mencakup informasi tentang konteks praktis, regulasi yang berlaku, dan implikasi hukum dari tantangan yang diidentifikasi [6].

Setelah data terkumpul, analisis data dilakukan untuk memahami sifat dan akar permasalahan yang ada. Analisis ini dilakukan dengan merujuk pada kerangka hukum yang relevan, termasuk norma, regulasi, dan teori yang berkaitan dengan objek penelitian.

Selanjutnya, pembahasan solusi dilakukan berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan. Solusi atau rekomendasi yang dikembangkan harus sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku dan dapat diterapkan dalam konteks praktis [7].

Hasil penelitian disusun dalam bentuk laporan yang sistematis dan terstruktur. Laporan ini mencakup deskripsi lengkap tentang tantangan yang diidentifikasi, analisis data, pembahasan solusi, dan rekomendasi untuk tindakan selanjutnya.

Dengan mengikuti langkah-langkah tersebut, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi yang signifikan dalam pemahaman dan penyelesaian tantangan yang dihadapi dalam konteks praktis. Pendekatan ilmiah yang terstruktur dan logis yang digunakan dalam penelitian ini diharapkan dapat menjadi landasan yang kokoh bagi pengambilan keputusan yang berbasis bukti dan berorientasi pada solusi [8].

Hasil dan Pembahasan

A. Haruskah Upaya Administratif dilakukan sebelum Mengajukan Gugatan Sengketa Tata Usaha Negara ke Peradilan Tata Usaha Negara

Pasal 75 dan 76 UU Administrasi Pemerintahan memberikan hak kepada warga negara yang dirugikan oleh keputusan atau tindakan pejabat pemerintahan untuk mengajukan upaya administratif, yaitu keberatan dan banding. Hal ini selaras dengan UU Peradilan Tata Usaha Negara yang memperluas kewenangan pengadilan dalam menyelesaikan sengketa terkait tindakan administrasi pemerintahan [9].

Pasal 75 ayat (1) dan (2) dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan sejalan dengan Pasal 48 ayat (1) dan penjelasannya dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Dengan demikian, Peradilan Tata Usaha Negara diberi wewenang baru dalam menangani perselisihan terkait tindakan administrasi pemerintahan.

Upaya administratif merupakan mekanisme penyelesaian sengketa antara individu atau badan hukum dengan lembaga administrasi negara. Mekanisme ini ditempuh ketika individu merasa dirugikan oleh keputusan yang dikeluarkan oleh lembaga tersebut [10].

Perubahan mendasar dalam proses upaya administratif berdasarkan UU Administrasi Pemerintahan meliputi: [11]

a. Integrasi sistem Peradilan Administrasi: Upaya administratif menjadi bagian dari proses penyelesaian sengketa di Peradilan Tata Usaha Negara.

b. Kewajiban Menempuh Upaya Administratif: Penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara harus melalui upaya administratif terlebih dahulu sebelum diajukan ke pengadilan.

Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 6 Tahun 2018 menegaskan bahwa upaya administratif wajib ditempuh untuk semua sengketa Tata Usaha Negara. Hal ini bertujuan untuk menyelesaikan sengketa secara internal dan efisien sebelum diajukan ke pengadilan. Upaya administratif merupakan hak warga negara untuk menyelesaikan sengketa dengan lembaga administrasi negara. Mekanisme ini wajib ditempuh sebelum mengajukan gugatan ke Peradilan Tata Usaha Negara.

Upaya administratif yang diatur dalam UU Administrasi Pemerintahan dan UU Peradilan Tata Usaha Negara memiliki tujuan utama untuk memberikan kesempatan kepada lembaga pemerintah dan warga negara untuk menyelesaikan sengketa secara internal dan damai sebelum beralih ke ranah pengadilan. Prinsip ini sangat penting dalam rangka mempercepat penyelesaian sengketa, mengurangi beban kerja pengadilan, serta menciptakan budaya penyelesaian masalah yang lebih kolaboratif dan konstruktif antara masyarakat dengan pemerintah [12].

B. Penerapan Upaya Administratif

Upaya administratif, seperti keberatan dan banding, ditempuh pertama kali oleh pihak yang merasa dirugikan oleh suatu keputusan administratif. Keberatan biasanya diajukan kepada pejabat yang lebih tinggi dalam hierarki yang sama atau kepada lembaga yang memiliki wewenang untuk meninjau keputusan tersebut. Apabila hasil dari keberatan tersebut masih dirasa tidak memuaskan, maka pihak yang dirugikan dapat melanjutkan dengan mengajukan banding [13].

Proses keberatan dan banding ini harus dilaksanakan dengan memperhatikan beberapa prinsip utama, seperti kecepatan, keadilan, transparansi, dan kesetaraan. Setiap keputusan dalam proses ini harus didasarkan pada pertimbangan yang objektif dan adil, serta disampaikan dalam batas waktu yang telah ditentukan oleh undang-undang.

C. Integrasi dengan Peradilan Tata Usaha Negara

Integrasi upaya administratif dengan sistem Peradilan Tata Usaha Negara menciptakan sebuah mekanisme penyelesaian sengketa yang lebih terstruktur. Setelah semua upaya administratif telah ditempuh, barulah pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan gugatan ke pengadilan. Hal ini diperlukan untuk memastikan bahwa semua potensi penyelesaian masalah telah dioptimalkan di tingkat administratif [14].

Pengadilan Tata Usaha Negara, pada gilirannya, akan memeriksa apakah upaya administratif sudah dilakukan dengan semestinya dan apakah ada kekeliruan dalam proses atau substansi keputusan yang ditantang. Pengadilan juga memeriksa apakah ada pelanggaran hukum atau penyimpangan prinsip keadilan yang harus dikoreksi melalui putusan pengadilan.

D. Peranan Mahkamah Agung

Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 6 Tahun 2018 merupakan langkah penting dalam menegaskan kewajiban menempuh upaya administratif ini. Peraturan tersebut menegaskan bahwa sebelum mengajukan perkara ke Pengadilan Tata Usaha Negara, pihak yang dirugikan harus telah melalui semua saluran yang tersedia di tingkat administratif. Ini mencerminkan prinsip efisiensi dan subsidiaritas dalam penanganan masalah hukum di Indonesia, dimana pengadilan hanya menjadi pilihan terakhir setelah semua upaya lain telah ditempuh [15].

E. Dampak dan Tantangan

Implementasi kewajiban menempuh upaya administratif telah membawa beberapa dampak positif, seperti peningkatan dialog antara warga dan pemerintah, serta pengurangan beban kasus yang masuk ke pengadilan. Namun, tantangan juga muncul, terutama terkait dengan efektivitas dan efisiensi proses tersebut. Masih ada laporan mengenai prosedur yang berbelit-belit, kurangnya transparansi, atau keputusan yang tidak dilandasi oleh alasan yang memadai dan adil. [16]

Untuk mengatasi tantangan ini, diperlukan peningkatan kapasitas dan integritas aparatur yang menangani upaya administratif. Pendidikan dan pelatihan terus-menerus bagi aparatur pemerintah, serta penegakan standar tinggi dalam pelayanan publik, adalah kunci untuk memastikan bahwa proses ini berjalan sesuai dengan tujuan awalnya.

Kesimpulannya upaya administratif adalah instrumen vital dalam sistem hukum administrasi negara di Indonesia, yang bertujuan untuk menyelesaikan sengketa antara warga negara dengan pemerintah secara efektif dan efisien sebelum mencapai pengadilan. Penerapan dan pengintegrasian yang baik dari prosedur ini tidak hanya akan membantu masyarakat dalam memperoleh keadilan, tetapi juga akan meningkatkan kredibilitas dan akuntabilitas lembaga pemerintahan. Peranan serta dukungan dari semua pihak, baik pemerintah, masyarakat, serta lembaga peradilan, adalah kunci untuk mencapai tujuan tersebut [17].

Prosedur Hukum untuk Melakukan Upaya Keberatan dalam Sengketa Terkait Kepegawaian Aparatur Sipil Negara (ASN)

Pasal 129 dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014, yang dikenal sebagai UU ASN, menguraikan prosedur yang harus diikuti dalam menyelesaikan sengketa yang melibatkan Pegawai Aparatur Sipil Negara (ASN), terdiri dari dua tahapan yang terpisah: [18]

1. Tahap Pertama adalah “Upaya Administratif”, yang mencakup proses pengajuan keberatan dan banding administratif kepada Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) yang memiliki kewenangan yang relevan.

2. Tahap Kedua adalah “Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN)”, yang menjadi alternatif jika upaya administratif tidak menghasilkan keputusan yang memuaskan.

Beberapa permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan mekanisme ini mencakup ketidakjelasan dalam penetapan wewenang PPK yang berwenang, yang berkontribusi pada ketidakpastian hukum selama proses penyelesaian sengketa. Selain itu, kurangnya ketentuan yang spesifik terkait tata cara pengajuan keberatan dan kekurangan badan pertimbangan ASN turut menyulitkan proses ini [19].

Untuk mengatasi permasalahan-permasalahan tersebut, diperlukan penyempurnaan dalam regulasi yang ada. Salah satu langkah yang perlu diambil adalah penyusunan Peraturan Pemerintah yang lebih rinci dan komprehensif, yang mencakup aspek-aspek seperti penetapan wewenang PPK dengan jelas dan sistematis, prosedur yang transparan dan terukur terkait keberatan, serta pembentukan badan pertimbangan ASN yang independen dan memiliki keahlian profesional yang diperlukan.

Dengan demikian, meskipun UU ASN telah menetapkan kerangka kerja untuk menyelesaikan sengketa yang melibatkan Pegawai ASN, diperlukan langkah-langkah lebih lanjut untuk memastikan proses penyelesaian sengketa berlangsung secara adil, transparan, dan akuntabel [20].

Memahami bahwa proses penyelesaian sengketa yang melibatkan Pegawai Aparatur Sipil Negara (ASN) seperti yang diatur dalam UU ASN perlu disempurnakan, pembahasan lebih lanjut mengenai masalah yang ada serta solusi yang diusulkan dapat memberikan wawasan mendalam mengenai kebutuhan peningkatan tersebut.

Implementasi pasal 129 UU ASN mengalami beberapa kendala yang menjadi penghambat efektivitas penyelesaian sengketa ASN. Kendala-kendala tersebut antara lain adalah: [21]

1. Ketidakjelasan Wewenang PPK

Ketidakjelasan tentang wewenang Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) menciptakan ketidakpastian hukum yang signifikan. ASN yang ingin mengajukan keberatan atau banding sering kali mengalami kesulitan dalam menentukan kemana dan kepada siapa mereka harus mengajukan. Hal ini mengakibatkan proses yang berlarut-larut dan bahkan kesalahan prosedural yang dapat menggugurkan hak mereka untuk mendapatkan keadilan.

2. Proses Pengajuan Keberatan

Prosedur pengajuan keberatan yang kurang jelas dan tidak transparan seringkali membuat ASN ragu dan terintimidasi untuk melanjutkan proses. Selain itu, kurangnya pedoman yang spesifik membuat interpretasi prosedur bisa bervariasi, yang berpotensi memperburuk ketidakadilan.

3. Kurangnya Badan Pertimbangan ASN

Tidak adanya badan pertimbangan yang independen dan profesional dalam menangani sengketa ASN menyebabkan kurangnya kepercayaan pada sistem penyelesaian sengketa yang ada. Badan pertimbangan yang efektif dan objektif sangat diperlukan untuk memastikan bahwa setiap sengketa ditangani secara adil dan berdasarkan merit.

Untuk mengatasi masalah yang ada dan meningkatkan efektivitas penyelesaian sengketa ASN, beberapa langkah penyempurnaan yang dapat diambil antara lain:

1. Penyusunan Peraturan Pemerintah

Peraturan pemerintah yang lebih rinci dan komprehensif perlu segera disusun. Peraturan ini harus mencakup:

a. Penegasan Wewenang PPK: Penetapan yang jelas siapa yang berwenang sebagai PPK di setiap level kepegawaian, dengan garis komando dan tanggung jawab yang spesifik.

b. Prosedur Pengajuan Keberatan yang Transparan: Penyusunan tata cara pengajuan keberatan dan banding yang tidak hanya mudah dipahami tetapi juga konsisten di semua instansi pemerintah.

c. Pembentukan Badan Pertimbangan ASN: Menetapkan badan pertimbangan yang terdiri dari individu-individu independen dan berkompeten untuk meningkatkan kredibilitas dan keadilan dalam penyelesaian sengketa.

2. Pelatihan dan Pendidikan

Program pelatihan yang berkesinambungan untuk PPK dan staf terkait dalam menangani pengajuan keberatan perlu ditingkatkan. Pendidikan berkelanjutan ini akan membantu mereka memahami prosedur, hukum, dan kebijakan terkini, sehingga dapat meningkatkan kualitas pelayanan kepada ASN.

3. Peningkatan Akses ke Informasi

Menyediakan akses yang lebih baik kepada ASN terkait hak-hak mereka dan prosedur yang harus diikuti dalam pengajuan keberatan. Ini dapat meliputi portal online, hotline, dan materi informasi lainnya yang dapat dengan mudah diakses oleh semua ASN di seluruh Indonesia.

4. Evaluasi dan Feedback

Mengadakan evaluasi rutin terhadap proses penyelesaian sengketa dan mendapatkan feedback dari ASN yang terlibat dalam sengketa tersebut. Ini akan membantu dalam mengidentifikasi kekurangan dalam sistem dan memberikan dasar untuk perbaikan berkelanjutan.

Penyempurnaan mekanisme penyelesaian sengketa dalam UU ASN sangat diperlukan untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi saat ini. Langkah-langkah yang telah diuraikan di atas dapat memberikan arah yang jelas dalam upaya peningkatan kualitas pelayanan kepada ASN dan memastikan bahwa setiap sengketa dapat diselesaikan dengan adil, transparan, dan akuntabel. Implementasi yang efektif dari peraturan yang lebih detail dan komprehensif akan mengarah pada sistem kepegawaian yang lebih baik dan lebih profesional di Indonesia [22].

E. Konsekuensi Hukum dari Ketidak Pelaksanaan Upaya Administratif oleh Pihak yang Mengajukan Gugatan

Dalam proses pengadilan tata usaha negara, terdapat serangkaian langkah yang harus diikuti untuk menyelesaikan sengketa yang muncul berkaitan dengan Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN). Salah satu fokus utama pengadilan adalah menilai keabsahan legal KTUN yang sedang disengketakan . Namun demikian , sebelum mengajukan gugatan ke pengadilan , pihak yang merasa dirugikan diharapkan untuk mengambil langkah-langkah administratif yang diatur dalam perundang-undangan [23].

Upaya administratif ini memiliki peran yang sangat penting dalam proses penyelesaian sengketa tata usaha negara. Langkah- langkah administratif tersebut seharusnya didasarkan pada dasar hukum yang jelas dan memadai . Keberatan yang diajukan tanpa dasar hukum yang kuat cenderung tidak dianggap sebagai upaya administratif yang sah . Hal ini menekankan pentingnya memahami landasan hukum dan prosedur yang berlaku sebelum mengambil langkah lebih lanjut dalam proses hukum .

Meskipun ada keberatan yang mungkin diajukan tanpa dasar hukum yang memadai , pengajuan gugatan ke pengadilan tetap harus dilakukan . Pengadilan tata usaha negara biasanya merupakan instansi yang menjadi wadah penyelesaian akhir dalam sengketa tata usaha negara. Namun demikian , kewenangan pengadilan untuk menyelesaikan sengketa ini tergantung pada apakah semua upaya administratif telah dilakukan atau belum . Jika semua upaya administratif telah ditempuh dan tidak ada penyelesaian yang memuaskan , pengadilan memiliki kewenangan untuk menangani sengketa tersebut . Namun , jika upaya administratif belum dilakukan , pengadilan tidak akan memiliki kewenangan untuk menangani kasus tersebut .

Ketidakpatuhan terhadap langkah-langkah administratif dapat memiliki konsekuensi yang signifikan bagi pihak yang ingin mengajukan gugatan ke pengadilan . Pasal 48 UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara menegaskan bahwa gugatan dapat ditolak jika tidak ada upaya administratif yang dilakukan sebelumnya . Oleh karena itu , sangat penting bagi pihak yang merasa dirugikan untuk memastikan bahwa semua upaya administratif telah dijalani dengan benar sebelum memasuki tahap pengadilan [24].

Secara keseluruhan , upaya administratif memainkan peran yang sangat penting dalam menyelesaikan sengketa tata usaha negara. Langkah- langkah ini tidak hanya diperlukan untuk memenuhi persyaratan hukum , tetapi juga untuk memastikan bahwa proses penyelesaian sengketa berjalan dengan efektif dan adil bagi semua pihak yang terlibat . Oleh karena itu , pengabaian terhadap upaya administratif berisiko mengakibatkan penolakan gugatan oleh pengadilan, sehingga menyoroti pentingnya memahami dan mengikuti prosedur hukum yang berlaku .

Dalam konteks hukum administrasi , pengadilan tata usaha negara memiliki peran krusial sebagai lembaga penyelesaian akhir sengketa antara warga negara dan pemerintah terkait Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN). Pengajuan gugatan ke pengadilan ini merupakan langkah yang serius dan harus dianggap sebagai upaya terakhir setelah semua jalur administratif yang tersedia telah dilalui . Hal ini menggarisbawahi pentingnya upaya administratif sebagai fondasi proses hukum yang tidak hanya formal, tetapi juga substansial .

Upaya administratif bukan sekadar formalitas yang harus dipenuhi sebelum melangkah ke pengadilan. Langkah ini memiliki beberapa tujuan penting :

1. Klarifikasi dan Solusi Dini : Sering kali, keberatan yang diajukan secara administratif memungkinkan kesalahan atau kekeliruan dalam KTUN untuk dikoreksi atau dijelaskan tanpa perlu proses pengadilan . Ini bisa lebih efisien dan mengurangi beban kerja pengadilan .

2. Rekam Jejak Hukum : Upaya administratif menciptakan rekam jejak hukum yang rinci mengenai bagaimana suatu masalah telah dihadapi sebelumnya dalam sistem administrasi . Hal ini sangat berharga dalam proses pengadilan karena memberikan konteks dan bukti tentang bagaimana sengketa telah berkembang .

3. Filter untuk Gugatan : Mengharuskan upaya administratif membantu menyaring gugatan yang tidak serius atau prematur . Ini menghindari penggunaan sumber daya pengadilan untuk kasus yang mungkin bisa diselesaikan lebih awal.

Meskipun upaya administratif penting, proses ini bisa mengalami berbagai hambatan:

1. Kurangnya Kesadaran Hukum : Banyak warga negara mungkin tidak menyadari hak-hak mereka dalam mengajukan keberatan administratif atau cara mengajukannya . Hal ini sering mengakibatkan kegagalan dalam memanfaatkan jalur administratif sebelum berlanjut ke pengadilan .

2. Kompleksitas Proses Administratif : Proses bisa jadi rumit dan membingungkan bagi orang yang tidak terbiasa dengan jargon hukum dan prosedur administratif , menyebabkan keengganan dalam mengajukan keberatan atau kesalahan dalam mengikuti prosedur yang benar .

3. Keterbatasan Akses ke Sumber Daya Hukum : Tidak semua individu memiliki akses yang mudah ke saran hukum yang dapat membantu mereka dalam menavigasi proses ini . Ini bisa menjadi penghalang utama , terutama bagi individu dari latar belakang ekonomi yang kurang mampu .

Untuk meningkatkan efektivitas upaya administratif dan memastikan bahwa lebih banyak sengketa dapat diselesaikan tanpa perlu melibatkan pengadilan , beberapa langkah dapat diambil :

1. Pendidikan Hukum : Pemerintah dan organisasi masyarakat sipil bisa meningkatkan kesadaran mengenai hak dan kewajiban warga negara dalam konteks tata usaha negara melalui program pendidikan dan pelatihan hukum.

2. Simplifikasi Proses : Memudahkan proses administratif dengan membuatnya lebih transparan dan mudah diakses. Ini bisa meliputi penggunaan teknologi untuk memudahkan pengajuan keberatan secara online dan menyediakan panduan langkah demi langkah untuk proses tersebut.

3. Konsultasi Hukum yang Terjangkau : Meningkatkan akses ke bantuan hukum, mungkin melalui pengacara pro bono atau klinik hukum yang menyediakan saran gratis atau berbiaya rendah untuk mereka yang membutuhkan.

Dengan memahami pentingnya upaya administratif dalam konteks pengadilan tata usaha negara, serta mengidentifikasi dan mengatasi hambatan yang muncul , pemerintah dan masyarakat bisa bekerja bersama untuk memastikan bahwa sistem hukum bekerja secara efektif dan adil bagi semua . Langkah- langkah ini tidak hanya akan mengurangi beban kerja pengadilan tetapi juga membantu memastikan bahwa keputusan yang diambil dalam konteks tata usaha negara adalah keputusan yang tepat dan adil .

Simpulan

Proses penyelesaian sengketa administratif di Indonesia melalui upaya administratif sebelum mengajukan gugatan ke pengadilan tata usaha negara telah menjadi prasyarat yang penting dalam sistem hukum administrasi negara. Terdapat dua tahapan utama dalam penyelesaian sengketa administratif, yaitu upaya administratif dan pengajuan gugatan ke pengadilan tata usaha negara. Proses upaya administratif, seperti keberatan dan banding, harus dilaksanakan dengan memperhatikan prinsip-prinsip seperti kecepatan, keadilan, transparansi, dan kesetaraan.

Langkah-langkah administratif ini memiliki beberapa tujuan penting, seperti klarifikasi dan solusi dini, penciptaan rekam jejak hukum yang rinci, serta penyaringan gugatan yang tidak serius. Namun, proses upaya administratif juga menghadapi beberapa tantangan, seperti kurangnya kesadaran hukum, kompleksitas proses administratif, dan keterbatasan akses ke sumber daya hukum.

Implementasi dari upaya administratif ini telah membawa beberapa dampak positif, seperti peningkatan dialog antara warga dan pemerintah, pengurangan beban kasus yang masuk ke pengadilan, serta pembentukan budaya penyelesaian masalah yang lebih kolaboratif dan konstruktif antara masyarakat dengan pemerintah. Namun, masih terdapat beberapa tantangan yang perlu diatasi, terutama terkait dengan efektivitas dan efisiensi proses tersebut.

Untuk meningkatkan efektivitas penyelesaian sengketa administratif, beberapa langkah dapat diambil, seperti pendidikan hukum, simplifikasi proses administratif, dan konsultasi hukum yang terjangkau. Dengan demikian, pemerintah dan masyarakat bisa bekerja bersama untuk memastikan bahwa sistem hukum administrasi negara bekerja secara efektif dan adil bagi semua.

Selain itu, dalam konteks sengketa yang melibatkan Pegawai Aparatur Sipil Negara (ASN), prosedur penyelesaian sengketa yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 juga perlu disempurnakan untuk mengatasi beberapa kendala yang dihadapi, seperti ketidakjelasan wewenang PPK, kompleksitas proses pengajuan keberatan, dan kurangnya badan pertimbangan ASN. Penyusunan peraturan pemerintah yang lebih rinci dan komprehensif, peningkatan pelatihan dan pendidikan bagi PPK dan staf terkait, serta peningkatan akses ke informasi merupakan langkah-langkah yang dapat diambil untuk meningkatkan efektivitas penyelesaian sengketa ASN.

Dalam kasus di mana pihak yang mengajukan gugatan tidak melakukan upaya administratif sebelumnya, terdapat konsekuensi hukum yang signifikan. Pasal 48 UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara menegaskan bahwa gugatan dapat ditolak jika tidak ada upaya administratif yang dilakukan sebelumnya. Oleh karena itu, sangat penting bagi pihak yang merasa dirugikan untuk memastikan bahwa semua upaya administratif telah dijalani dengan benar sebelum memasuki tahap pengadilan.

Secara keseluruhan, upaya administratif memainkan peran yang sangat penting dalam menyelesaikan sengketa administratif di Indonesia. Langkah-langkah ini tidak hanya diperlukan untuk memenuhi persyaratan hukum, tetapi juga untuk memastikan bahwa proses penyelesaian sengketa berjalan dengan efektif dan adil bagi semua pihak yang terlibat. Oleh karena itu, pengabaian terhadap upaya administratif berisiko mengakibatkan penolakan gugatan oleh pengadilan, sehingga menyoroti pentingnya memahami dan mengikuti prosedur hukum yang berlaku.

References

  1. I. N. Sursrama and P. A. P. Sukma, "Keputusan Fiktif Dalam Upaya Administratif Terhadap Keputusan Aparatur Sipil Negara," J. Hukum Saraswati, vol. 1, no. 1, p. 33, Mar. 2019.
  2. F. V. D. Burg, "Rechtsbescherming tegen de Overheid," Nijmegen, Netherlands: Nijmegen, 1985, p. 2.
  3. P. M. Hadjon, "Perlindungan bagi Rakyat di Indonesia, Peradaban," Jakarta, Indonesia: Penerbit Universitas Trisakti, 2007, p. 82.
  4. S. F. Marbun, "Peradilan Administrasi dan Upaya Administratif di Indonesia," Yogyakarta, Indonesia: FH UII Press, 2015, p. 88.
  5. H. Sugiharto and B. O. Abrianto, "Upaya Administratif Sebagai Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Dalam Sengketa Tata Usaha Negara," J. Arena Hukum, vol. 11, no. 1, p. 153, Apr. 2018.
  6. D. Riza, "Hakikat KTUN Menurut Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara Vs Undang-undang Administrasi Pemerintahan," J. Soumatera Law Rev., vol. 2, no. 2, p. 207, Dec. 2019.
  7. P. M. Hadjon, "Pengantar Hukum Administrasi di Indonesia," Yogyakarta, Indonesia: Gadjah Mada University Press, 2002, p. 2.
  8. Wahyunadi, "Kompetensi Absolut Pengadilan Tata Usaha Negara Dalam Konteks Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan," J. Hukum dan Peradilan, vol. 5, no. 1, p. 137, 2016.
  9. A. Khair, "Penyelesaian Sengketa Keputusan Tata Usaha Negara Melalui Upaya Banding Administratif," J. JATISAWARA, vol. 31, no. 3, p. 417, Nov. 2016.
  10. B. Hermanto and K. A. Sudiawaran, "Rekonstruksi Pergeseran Paradigma Upaya Administratif Dalam Penyelesaian Sengketa Pra Pemilihan Kepala Daerah," J. Legalitas Indonesia, vol. 16, no. 3, p. 338, Sep. 2019.
  11. Azzahrawi et al., "Wewenang Dan Kendala Pengadilan Tata Usaha Negara Dalam Menyelesaikan Sengketa Kepegawaian Setelah Upaya Administratif," J. Syiah Kuala Law, vol. 33, no. 2, p. 219, Aug. 2019.
  12. H. Sugiharto and B. O. Abrianto, "Upaya Administratif Sebagai Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Dalam Sengketa Tata Usaha Negara," J. Universitas Airlangga, vol. 11, no. 1, p. 34, 2018.
  13. N. K. Rumokoy, "Peran PTUN Dalam Penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara," J. Ilmu Hukum, vol. 20, no. 2, p. 134, Jan.–Mar. 2012.
  14. F. A. Jiwantara, "Upaya Administratif Dan Penerapannya Dalam Penyelesaian Sengketa Administrasi," J. JATISWARA, vol. 34, no. 2, p. 132, Jul. 2019.
  15. D. L. Sonata, "Metode Penelitian Hukum Normatif dan Empiris: Karakteristik Khas Dari Metode Meneliti Hukum," J. Fiat Justitia, vol. 8, no. 1, p. 15, 2014.
  16. B. Heriyanto, "Kompetensi Absolut Peradilan Tata Usaha Negara Berdasarkan Paradigma UU No. 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan," J. Pakuan Law Rev., vol. 4, no. 1, p. 75, Jan.–Jun. 2018.
  17. A. M. R. Prahastapa et al., "Friksi Kewenangan PTUN Dalam Berlakunya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Berkaitan Dengan Objek Sengketa Tata Usaha Negara (TUN)," J. Diponegoro Hukum, vol. 6, no. 2, p. 1, 2017.
  18. Y. P. Rurugala et al., "injauan Hukum Banding Administrasi Aparatur Sipil Negara Dalam Penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara," J. LexEtSocietatis, vol. 10, no. 4, p. 35, Oct. 2022.
  19. A. D. Hasibuan and F. A. Suranta, "Faktor Penyebab Tidak Dilaksanakannya Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Dan Upaya Penanggulangannya (Analisis Kasus Putusan PTUN Medan No:17/G/2000/PTUN-MDN)," J. Mercatoria, vol. 6, no. 2, p. 134, Dec. 2013.
  20. D. H. Azzahwari and Z. Idami, "Wewenang Dan Kendala Pengadilan Tata Usaha Negara Dalam Menyelesaikan Sengketa Kepegawaian Setelah Upaya Administratif," J. Syiah Kuala Law, vol. 33, no. 2, p. 219, Aug. 2019.
  21. Indroharto, "Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku II," Jakarta, Indonesia: Pustaka Sinar Harapan, 2003, p. 51.
  22. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
  23. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara.
  24. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.