Abstract
This study critically examines the application of Indonesia’s Law Number 12 of 2011, which governs legislative processes with principles aimed at ensuring clarity, justice, and accountability. Utilizing a normative research method, the analysis synthesizes relevant literature and legal documents to explore the practical implementation of these principles. The findings reveal significant discrepancies between the theoretical framework and its practical execution, suggesting that while the law establishes a robust basis for legislation, its effectiveness is hindered by gaps in application. This research underscores the need for policy refinement and offers actionable insights for enhancing the functionality and integrity of legal systems globally.
Highlights:
- Theory vs. Practice Gap: Reveals discrepancies between legislative principles and their real-world application.
- Legal Framework Effectiveness: Discusses how implementation gaps impact legal integrity.
- Policy Improvement Suggestions: Provides recommendations for enhancing legislative processes.
Keywords: Policy Implementation, Legal Integrity, Principles, Concepts, Legislation
Pendahuluan
Pengembangan peraturan perundang-undangan sebagai payung hukum dalam mengimplementasikan kebijakan-kebijakan pemerintah merupakan aspek penting dalam menjaga stabilitas dan ketertiban suatu negara hukum. Untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera, campur tangan pemerintah dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat seringkali diperlukan. Namun, campur tangan tersebut haruslah didasarkan pada landasan hukum yang kuat agar prosesnya berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip negara hukum [1].
Peraturan perundang-undangan berfungsi sebagai instrumen yang mengatur segala aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Melalui peraturan ini, berbagai kebijakan pemerintah diimplementasikan dan dijalankan [2]. Hal ini penting mengingat peraturan perundang-undangan memiliki kekuatan memaksa yang dapat mengikat seluruh elemen masyarakat untuk patuh terhadap aturan yang telah ditetapkan.
Dalam prakteknya, penyelenggaraan negara tidak terlepas dari pembentukan dan penerapan kebijakan-kebijakan yang terwujud dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Peraturan ini menjadi instrumen utama bagi pemerintah untuk mengatur dan mengelola berbagai kegiatan dan interaksi dalam masyarakat. Dengan demikian, kebijakan-kebijakan yang dirumuskan dalam legislasi menjadi dasar yang kuat bagi implementasi program-program dan kegiatan pemerintah guna mencapai tujuan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat [3].
Perencanaan pembangunan hukum merupakan langkah krusial dalam menjaga stabilitas dan keberlanjutan suatu negara. Dalam upaya ini, pembaharuan hukum menjadi instrumen utama yang diperlukan, dengan memperhatikan kemajemukan tatanan hukum yang berlaku. Pembaruan ini tidak hanya sekedar menyesuaikan peraturan yang ada dengan perkembangan zaman, tetapi juga mencakup usaha untuk meningkatkan berbagai aspek penting dalam sistem hukum.
Proses pembaharuan hukum mencakup upaya untuk meningkatkan kepastian hukum, yaitu dengan memastikan bahwa aturan yang berlaku jelas, konsisten, dan dapat dipahami oleh seluruh pihak. Selain itu, pembaharuan juga bertujuan untuk meningkatkan kesadaran hukum di masyarakat, sehingga setiap individu memahami hak dan kewajibannya dalam hukum serta konsekuensi dari tindakan yang dilakukan.
Perlindungan hukum juga menjadi fokus dalam pembaharuan hukum, dengan memastikan bahwa setiap warga negara memperoleh perlindungan yang adil dan merata dari sistem hukum. Pelayanan hukum yang berkualitas juga menjadi prioritas, sehingga setiap individu memiliki akses yang sama terhadap sistem peradilan dan dapat memperoleh bantuan hukum yang diperlukan.
Tidak kalah pentingnya, pembaharuan hukum juga bertujuan untuk memperkuat penegakan hukum yang berintikan keadilan dan kebenaran. [4] Hal ini mencakup upaya untuk meningkatkan independensi lembaga-lembaga penegak hukum, memperkuat mekanisme pengawasan, dan menegakkan hukum secara tegas namun adil.
Dalam konteks ini, pengembangan peraturan perundang-undangan haruslah didasarkan pada prinsip-prinsip negara hukum, yang meliputi keadilan, kepastian hukum, transparansi, dan partisipasi masyarakat. Hanya dengan memastikan bahwa peraturan tersebut dibuat dengan memperhatikan prinsip-prinsip tersebut, negara dapat menjaga legitimasinya sebagai negara hukum yang memberikan perlindungan dan keadilan bagi seluruh warganya.
Pembangunan hukum nasional merupakan suatu proses yang memerlukan landasan yang kokoh dan berkelanjutan. Nilai-nilai yang menjadi dasar pembangunan hukum tersebut sangat penting dalam memastikan bahwa peraturan yang dihasilkan mencerminkan kebutuhan dan karakteristik masyarakat Indonesia secara menyeluruh. Dalam konteks ini, ada beberapa nilai utama yang harus dipertimbangkan.
Pertama-tama, nilai ideologis yang merujuk pada Pancasila sebagai dasar negara menjadi pijakan filosofis yang utama dalam pembentukan hukum [5]. Pancasila mencakup prinsip-prinsip seperti keadilan sosial, demokrasi, persatuan, kemanusiaan, dan ketuhanan yang maha esa. Nilai ini memastikan bahwa hukum tidak hanya menjadi instrumen formal, tetapi juga mencerminkan nilai-nilai moral yang fundamental dalam masyarakat. Kedua, nilai historis sangat penting untuk dipertimbangkan, karena memahami sejarah bangsa Indonesia memberikan pandangan yang mendalam tentang perjalanan dan perkembangan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Dari sini, pembangunan hukum dapat memperoleh wawasan yang kuat tentang kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Nilai sosiologis juga tidak boleh diabaikan, karena pembangunan hukum harus memiliki kesesuaian dengan tata nilai budaya masyarakat Indonesia. Ini termasuk memahami norma-norma, adat istiadat, dan kebiasaan yang memengaruhi kehidupan sosial.
Selanjutnya, nilai yuridis menjadi landasan hukum yang konkret, mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Prinsip-prinsip legalitas dan kepastian hukum dijamin melalui nilai ini. Terakhir, nilai filosofis menekankan pada rasa kebenaran dan keadilan masyarakat, memastikan bahwa kebijakan hukum yang diambil bersifat adil dan berpihak pada kepentingan seluruh rakyat. Dengan menggabungkan dan menghormati nilai-nilai ini, pembangunan hukum nasional dapat menciptakan sistem hukum yang kuat, adil, dan sesuai dengan karakteristik serta kebutuhan masyarakat Indonesia secara menyeluruh.
Pembentukan peraturan perundang-undangan tentu memerlukan limitasi agar cita dan kepentingan yang terimplementasi dalam setiap peraturannya dapat berjalan tepat sasaran. Disamping itu, keharmonisan peraturan dengan kultur di masyarakat dapat terwujud dengan baik tanpa mendiskreditkan atau bahkan mengesampingkan salah satunya. Limitasi ini terwujud dalam penggunaan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan.
Asas hukum merupakan fondasi atau prinsip-prinsip yang menjadi pijakan dalam sistem hukum. Perannya sangat penting, terutama dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan. Tanpa memperhatikan asas-asas ini, harmonisasi antara peraturan tidak akan tercapai secara efektif. Ketika asas-asas hukum diabaikan dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan, dapat menyebabkan ketidaksesuaian antara berbagai peraturan, yang pada gilirannya dapat mengganggu kejelasan dan konsistensi hukum.
Penting untuk diingat bahwa asas hukum sebenarnya tidak secara langsung termasuk dalam hierarki peraturan perundang-undangan. [6] Namun, dalam prakteknya, peran asas hukum sangatlah fundamental. Saat asas-asas ini diterapkan dalam pembentukan peraturan, mereka berada pada tingkat tertinggi dalam hierarki, menjadi pedoman utama yang harus diikuti. Sebaliknya, jika terjadi konflik atau permasalahan dalam penerapan suatu peraturan, asas hukum berperan secara pasif, menempati posisi terbawah dalam hierarki, untuk memastikan keberlangsungan harmonisasi dalam sistem hukum. [7] Pengembangan hukum yang berkualitas memerlukan pengakuan dan penghargaan terhadap asas hukum. Menerapkan asas-asas ini dengan bijak dan konsisten dalam pembentukan dan penerapan peraturan perundang-undangan adalah kunci untuk menciptakan sistem hukum yang kokoh, konsisten, dan berkeadilan. Ini memastikan bahwa hukum yang dihasilkan mampu memberikan kepastian dan perlindungan yang adil bagi seluruh masyarakat.
Asas hukum dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan yang efektif diatur dalam UU No. 12 Tahun 2011 jo UU No. 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, khususnya dalam Pasal 5. Pasal tersebut menegaskan bahwa dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, langkah-langkah yang diambil haruslah sesuai dengan asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik. Asas-asas tersebut meliputi kejelasan tujuan, pemilihan lembaga atau pejabat yang sesuai, kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan, kemampuan untuk dilaksanakan, kemanfaatan dan keberhasilan, kejelasan rumusan, dan keterbukaan. Ini menandakan bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan harus mempertimbangkan berbagai aspek penting tersebut agar aturan yang dihasilkan sesuai dengan kebutuhan, dapat diimplementasikan dengan efektif, dan memperoleh dukungan serta partisipasi dari masyarakat secara transparan.
Berdasarkan latar belakang yang telah disebutkan di atas, maka perlu kiranya dirumuskan suatu masalah tentang bagaimana konsep asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang tertuang dalam UU 12/2011.
Metode
Penelitian ini menggunakan pendekatan normatif dengan memanfaatkan metodologi perundang-undangan [8]. Dalam penelitian ini, peneliti mempelajari bahan pustaka yang terdiri dari peraturan dan literatur terkait masalah penelitian. Semua peraturan perundang-undangan yang terkait dengan masalah hukum yang sedang diteliti juga dikaji [9]. Dalam melakukan telaah, penulis mencoba memberikan pemaparan secara preskriptif dan deskriptif terhadap masalah yang di teliti. Dengan pendekatan ini, penelitian berupaya memberikan preskripsi atau penilaian terhadap masalah hukum yang diteliti, untuk menentukan apakah sesuatu benar atau salah berdasarkan hukum, atau apa yang seharusnya sesuai dengan hukum [10].
Hasil dan Pembahasan
Bagi setiap warga negara, memahami isi dari peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia bukanlah hal yang mudah mengingat terkadang ada saja pasal yang memungkinkan terjadinya perbedaan penafsiran. Pembentukan peraturan yang akan dan telah diberlakukan tentu telah memakan banyak waktu dalam proses pengkajiannya, sehingga cita dari peraturan tersebut dapat terimplementasi secara baik dan utuh. Akan tetapi proses harmonisasi yang dirasa cukup dalam proses legislasi terkadang tidak memuaskan ketika telah tertuang dalam bentuk peraturan perundang-undangan.
Tentu dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, pemerintah telah menetapkan sebuah peraturan sebagai tatanan sistemik dalam proses pembuatan peraturan yang akan diundangkan. Undang-undang ini merupakan sebuah bridging antara kepentingan pemerintah dalam menjamin dan mengimplementasikan tertib hukum di negara dan masyarakat agar terjamin hak-haknya.
Pembuatan peraturan ini, dalam proses legislasinya didasari akan asas-asas yang kemudian menjadi landasan fundamental agar peraturan tersebut tidak mendiskreditkan keinginan masyarakat. Pasal 5 UU 12/2011 memberikan landasan yang kuat bagi proses legislasi yang bertanggung jawab dan efektif di Indonesia. [11] Prinsip-prinsip yang tercantum dalam asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik memberikan pedoman yang komprehensif bagi pembuat kebijakan dalam merumuskan dan menetapkan peraturan hukum. Prinsip-prinsip tersebut meliputi kejelasan tujuan, penentuan lembaga atau pejabat pembentuk yang tepat, kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan, dapat dilaksanakan, kedayagunaan dan kehasilgunaan, kejelasan rumusan, dan keterbukaan.
a. Kejelasan Tujuan
Prinsip kejelasan tujuan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan merupakan fondasi yang krusial dalam menjamin efektivitas dan keadilan dalam pelaksanaan hukum. Tujuan yang jelas dan spesifik menjadi panduan yang vital bagi para pembuat kebijakan untuk memastikan bahwa peraturan yang dibentuk memiliki arah yang tepat dan tujuan yang terukur. Dengan adanya kejelasan tujuan, risiko penafsiran yang salah atau penyalahgunaan dalam pelaksanaan peraturan dapat diminimalkan secara signifikan.
Kejelasan tujuan memungkinkan para pemangku kepentingan, baik pemerintah maupun masyarakat umum, untuk memahami secara tepat mengapa suatu peraturan dibentuk dan apa yang ingin dicapai oleh penerapannya. Dengan demikian, proses implementasi kebijakan dapat dilakukan dengan lebih efisien dan efektif, serta dapat menghindari adanya ambiguitas yang dapat mengakibatkan ketidakpastian atau kebingungan di kalangan masyarakat.
Lebih jauh lagi, kejelasan tujuan memungkinkan evaluasi yang lebih baik terhadap kinerja suatu peraturan. Dengan menetapkan tujuan yang spesifik, para pembuat kebijakan dapat dengan jelas mengukur apakah peraturan tersebut berhasil mencapai sasaran yang ditetapkan atau tidak. Hal ini memungkinkan adanya perbaikan atau penyesuaian yang diperlukan untuk meningkatkan efektivitas kebijakan di masa depan.
Selain itu, kejelasan tujuan juga memperkuat legitimasi dan akuntabilitas pemerintah dalam pembuatan kebijakan. Dengan memiliki tujuan yang jelas, pemerintah dapat lebih mudah menjelaskan alasan di balik kebijakan yang mereka buat kepada masyarakat umum dan pihak-pihak terkait lainnya. Ini penting untuk memastikan bahwa kebijakan yang dibuat sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan masyarakat, serta dapat dipertanggungjawabkan secara publik. Dengan demikian, prinsip kejelasan tujuan tidak hanya menjadi pondasi bagi pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, tetapi juga menjadi kunci untuk menciptakan sistem hukum yang responsif, adil, dan berdaya guna bagi seluruh masyarakat.
b. Kelembagaan atau Pejabat Pembentuk yang Tepat
Menentukan lembaga atau pejabat pembentuk yang tepat memegang peran kunci dalam memastikan bahwa proses legislasi berjalan efisien dan efektif. Ketika lembaga atau pejabat yang tepat ditetapkan untuk merumuskan peraturan, hal itu dapat menghindari kemungkinan kebingungan, tumpang tindih, atau konflik kebijakan yang tidak perlu.
Penting bagi pembuat kebijakan untuk memilih lembaga atau pejabat yang memiliki otoritas dan kewenangan yang sesuai dengan lingkup peraturan yang akan dibuat. Sebagai contoh, di negara Indonesia, lembaga legislatif memiliki otoritas untuk membuat peraturan perundang-undangan, akan tetapi tetap harus dengan persetujuan presiden. Contoh lain ialah apabila negara dalam keadaan yang sangat mendesak, presiden sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan memiliki hak konstitusional untuk menerbitkan Perppu agar keadaan memaksa tersebut segera tertangani. Di sisi lain, aturan administratif atau peraturan eksekutif sering kali ditetapkan oleh badan eksekutif atau departemen yang bertanggung jawab dalam bidang tertentu, seperti kementerian lingkungan untuk regulasi lingkungan.
Selain memiliki otoritas yang sesuai, lembaga atau pejabat yang bertanggung jawab dalam pembentukan peraturan juga harus memiliki kompetensi dan pengetahuan yang memadai dalam bidang yang terkait dengan peraturan yang akan dibuat. Misalnya, dalam merumuskan kebijakan lingkungan, keterlibatan ahli lingkungan dan ilmuwan yang memiliki pemahaman mendalam tentang masalah lingkungan sangatlah penting. Sebaliknya, dalam pembuatan kebijakan keuangan, melibatkan ekonom dan pakar keuangan akan membantu memastikan bahwa peraturan tersebut mempertimbangkan dampak ekonomi secara cermat.
c. Kesesuaian antara Jenis, Hierarki, dan Materi Muatan
Kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan peraturan merupakan prinsip sentral dalam memastikan konsistensi dan kejelasan hukum di suatu negara. Prinsip ini mendasarkan bahwa setiap peraturan haruslah disusun dengan memperhatikan jenisnya, posisinya dalam hierarki peraturan, dan materi muatannya agar terhindar dari tumpang tindih atau inkonsistensi dalam pelaksanaannya.
Teori Hierarki Norma Hukum dari Hans Kelsen, dikenal sebagai Teori Stufenbau (Stufenbau des Recht), menyatakan bahwa norma hukum tersusun secara bertingkat. Norma yang lebih rendah berlaku karena berasal dari norma yang lebih tinggi, dan susunan ini berlanjut hingga mencapai Norma Dasar (Grundnorm), yang merupakan norma tertinggi dan menjadi fondasi bagi keseluruhan sistem hukum. Konsep ini memberikan dasar yang kuat untuk memahami pentingnya hierarki dalam tatanan hukum.
Sementara itu, Hans Nawiasky melengkapi konsep hierarki norma hukum dengan memperkenalkan ide Tata Susunan Norma Hukum Negara. Menurut Nawiasky, pengelompokkan ini terdiri dari empat tingkatan, yang merupakan kerangka organisasi untuk norma-norma hukum dalam suatu negara. Pendekatan ini memberikan pemahaman yang lebih terperinci tentang struktur hukum suatu negara, memungkinkan untuk pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana norma-norma berinteraksi dan saling berhubungan dalam suatu sistem hukum [12]. Hirarki norma hukum menurut Hans Nawiasky dikenal dalam empat tingkatan, yaitu:
1. Staatsfundamentalnorm/Grundnorm (norma fundamental negara).
2. Staatsgrundgezets (aturan dasar negara/pokok negara).
3. Formell Gezets (undang-undang).
4. (peraturan pelaksana dan aturan otonomi). [12]
Dengan demikian, integrasi konsep-konsep dari Hans Kelsen dan Hans Nawiasky menjadi penting dalam menggarisbawahi pentingnya kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan peraturan. Ini tidak hanya membentuk landasan yang kokoh bagi pembentukan peraturan perundang-undangan yang konsisten, tetapi juga mendukung efektivitas dan kepastian hukum dalam pelaksanaannya.
a. Dapat Dilaksanakan
Lawrence M. Friedman mengemukakan sebuah teori tentang efektivitas hukum yang menekankan pada penilaian keberhasilan atau kegagalan dalam penerapan hukum. Dalam praktiknya, teori ini menyoroti tiga faktor utama yang dapat mempengaruhi berhasil atau tidaknya suatu sistem hukum, yaitu budaya hukum, substansi hukum, dan struktur hukum. [13]
Pertama-tama, budaya hukum (legal culture) mengacu pada norma-norma, nilai-nilai, dan keyakinan yang berlaku dalam masyarakat terkait dengan hukum dan keadilan. Budaya hukum yang kuat akan mendukung penegakan hukum yang efektif, sementara budaya hukum yang lemah atau korup dapat menghambat proses tersebut. Misalnya, dalam masyarakat dengan budaya hukum yang menghargai supremasi hukum dan integritas, penegakan hukum cenderung lebih berhasil daripada di masyarakat dengan budaya hukum yang rapuh atau rentan terhadap intervensi politik atau kepentingan pribadi.
Kedua, substansi hukum (legal substance) merujuk pada isi atau materi dari peraturan hukum yang ada. Efektivitas hukum sangat dipengaruhi oleh relevansi, keterbukaan, dan kejelasan dari hukum itu sendiri. Hukum yang disusun dengan baik dan memperhitungkan kebutuhan serta kepentingan masyarakat akan lebih mungkin untuk ditaati dan diterapkan dengan efektif. Sebaliknya, hukum yang ambigu, bertentangan, atau tidak sesuai dengan tuntutan sosial dapat menghasilkan ketidakpastian hukum dan memperlemah penegakan hukum.
Ketiga, struktur hukum (legal structure) mencakup sistem kelembagaan dan prosedural yang mengatur bagaimana hukum diterapkan dan dipatuhi. Struktur hukum yang efisien, transparan, dan akuntabel akan mendukung penegakan hukum yang efektif. Sebaliknya, struktur hukum yang rumit, lamban, atau rentan terhadap penyalahgunaan dapat menghambat upaya penegakan hukum.
Dengan memperhatikan ketiga faktor ini secara holistik, teori efektivitas hukum menekankan pentingnya integrasi yang baik antara budaya hukum, substansi hukum, dan struktur hukum dalam memastikan penerapan hukum yang efektif dan adil dalam suatu masyarakat. Dengan demikian, pemahaman yang mendalam tentang dinamika ini dapat membantu meningkatkan kualitas dan kepercayaan terhadap sistem hukum suatu negara.
Pendapat Lawrence tentu telah senada dengan yang telah dijelaskan dalam penjelasan Pasal 5 Huruf d UU 12/2011 terkait efektifitas peraturan perundang-undangan dalam penerapannya.
a. Kedayagunaan dan Kehasilgunaan
Pentingnya kedayagunaan dan kehasilgunaan peraturan tidak boleh diabaikan dalam proses pembentukan kebijakan. Konsep ini menekankan bahwa keberhasilan sebuah peraturan tidak hanya diukur dari segi kejelasan rumusan atau kepastian hukum, tetapi juga dari dampak nyata yang dihasilkan dalam kehidupan masyarakat. Sebuah peraturan yang efektif harus mampu memberikan manfaat yang nyata bagi masyarakat. Artinya, peraturan tersebut harus dapat menjawab kebutuhan dan masalah yang dihadapi oleh masyarakat secara langsung. Misalnya, sebuah peraturan yang mengatur tentang perlindungan lingkungan harus mampu mengurangi polusi dan merawat kelestarian alam.
Selain itu, kehasilgunaan peraturan juga mencakup aspek solusi terhadap permasalahan yang ada. Peraturan harus mampu memberikan solusi yang tepat dan terukur terhadap berbagai tantangan atau masalah yang dihadapi oleh masyarakat. Hal ini membutuhkan pemahaman yang mendalam terhadap konteks sosial, ekonomi, dan budaya di mana peraturan tersebut akan diterapkan. Dengan demikian, dalam proses pembentukan peraturan, para pembuat kebijakan harus mempertimbangkan secara seksama kedayagunaan dan kehasilgunaan peraturan tersebut. Peraturan yang dibuat sebaiknya didasarkan pada analisis yang komprehensif terhadap dampaknya terhadap masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Hanya dengan demikian, peraturan dapat dianggap berhasil dan memberikan kontribusi positif dalam mencapai tujuan-tujuan pembangunan yang diinginkan.
Teori utilitarianisme, yang memiliki akar dalam pemikiran Jeremy Bentham dan John Stuart Mill, memberikan pandangan yang relevan dalam konteks ini. Jeremy Bentham, seorang filsuf Inggris abad ke-18, mengembangkan konsep utilitarianisme dengan prinsip "kemanfaatan terbesar bagi jumlah terbesar". [14] Menurutnya, tindakan yang menghasilkan kebahagiaan yang lebih besar untuk lebih banyak orang dianggap sebagai tindakan yang baik.
Dalam konteks hukum, pendekatan utilitarianisme menempatkan kemanfaatan atau kebahagiaan manusia sebagai tujuan utama. Ini berarti bahwa keadilan atau kebaikan suatu hukum dinilai berdasarkan pada seberapa besar hukum tersebut mampu meningkatkan kebahagiaan atau kesejahteraan manusia. Konsep kemanfaatan dalam utilitarianisme dapat diartikan sebagai pencapaian kebahagiaan atau kesejahteraan yang lebih besar bagi individu atau masyarakat secara keseluruhan.
Dalam pengembangan konsep ini, utilitarianisme menekankan pentingnya mengukur dan mengevaluasi konsekuensi dari suatu tindakan atau kebijakan hukum. Hal ini melibatkan analisis terhadap dampak sosial, ekonomi, dan moral dari suatu hukum, serta pertimbangan terhadap berbagai kepentingan yang terlibat.
Meskipun utilitarianisme menawarkan kerangka kerja yang berguna untuk memahami prinsip-prinsip dasar hukum dan kebijakan, pendekatan ini juga memiliki kritik dan kontroversi. Salah satu kritik utama terhadap utilitarianisme adalah bahwa penilaian terhadap kebahagiaan atau kemanfaatan seringkali subjektif dan sulit diukur secara objektif. Selain itu, pendekatan utilitarianisme juga dapat menimbulkan pertanyaan tentang perlindungan hak asasi individu yang mungkin terabaikan demi mencapai kemanfaatan yang lebih besar bagi masyarakat secara keseluruhan.
Dalam prakteknya, utilitarianisme sering digunakan sebagai salah satu panduan dalam pembuatan kebijakan hukum dan evaluasi konsekuensi dari keputusan hukum. Namun, penting untuk diingat bahwa penggunaan pendekatan utilitarianisme haruslah dilakukan dengan hati-hati dan disertai dengan pertimbangan terhadap nilai-nilai moral, keadilan, dan kebebasan individu. Pernyataan John Stuart Mill ini mencerminkan inti dari pandangan utilitarianisme, yang menekankan bahwa tindakan atau kebijakan dianggap benar atau salah berdasarkan kemampuannya untuk mempromosikan kebahagiaan manusia. Dalam konteks ini, penting untuk memahami bahwa konsep kebahagiaan dalam pandangan Mill tidak terbatas pada kepuasan pribadi atau hedonisme semata, tetapi mencakup kesejahteraan secara lebih luas, baik fisik maupun mental, dari individu dan masyarakat secara keseluruhan. Ini mencakup aspek-aspek seperti kebebasan, keadilan, martabat manusia, dan perkembangan pribadi yang lebih baik.
b. Kejelasan Rumusan
Pemikiran tentang asas kepastian hukum yang diperkenalkan oleh Gustav Radbruch dalam karyanya "Einführung in die Rechtswissenschaften" menyediakan landasan yang kokoh untuk memahami betapa pentingnya kejelasan dalam perumusan proses pembentukan peraturan perundang-undangan. [15] Konsep kepastian hukum yang ditekankan oleh Radbruch menyatakan bahwa hukum harus dapat diprediksi dan dipahami dengan jelas oleh semua pihak yang terlibat.
Pada titik ini, kejelasan rumusan peraturan menjadi esensial karena peraturan yang tidak jelas atau ambigu dapat menimbulkan berbagai masalah dalam pelaksanaannya. Bahasa yang tidak jelas dapat menghasilkan beragam tafsiran di antara para pihak yang terlibat, termasuk masyarakat umum, pengacara, dan pengadilan. Hal ini dapat mengakibatkan ketidakpastian hukum, yang pada gilirannya dapat mengganggu keadilan dan konsistensi dalam penerapan hukum.
Oleh karena itu, dalam merumuskan peraturan, para pembuat kebijakan harus memastikan penggunaan bahasa yang sederhana, jelas, dan mudah dimengerti oleh semua pihak. Kejelasan dalam rumusan peraturan tidak hanya menjadi kebutuhan praktis, tetapi juga menjadi prinsip fundamental dalam memastikan efektivitas, keadilan, dan kepastian hukum dalam suatu negara.
Seiring dengan pemahaman akan konsep kepastian hukum oleh Gustav Radbruch, penting juga untuk menyadari bahwa kejelasan rumusan peraturan merupakan salah satu elemen kunci dalam mencapai kepastian hukum tersebut. Setiap peraturan, bahkan setiap pasalnya, harus dirumuskan secara hati-hati untuk meminimalisir penafsiran yang berbeda-beda, sehingga tidak menimbulkan ambiguitas atau ketidakpastian dalam pelaksanaannya.
Dengan menggunakan bahasa yang jelas dan rumusan yang tegas, peraturan hukum dapat memberikan pedoman yang jelas bagi masyarakat, pengacara, dan lembaga peradilan dalam menjalankan fungsi hukumnya. Ini akan membantu dalam menghindari ketidakpastian, konflik, atau penyalahgunaan yang dapat timbul akibat tafsir yang beragam terhadap peraturan hukum. Dengan demikian, kejelasan rumusan peraturan menjadi prasyarat yang penting dalam menciptakan kerangka hukum yang stabil, efektif, dan dihormati oleh semua pihak yang terlibat.
c. Keterbukaan
Keterbukaan dalam proses pembentukan peraturan memiliki peran yang sangat penting dalam menjamin keadilan dan akuntabilitas dalam sistem hukum, sesuai dengan prinsip-prinsip legalitas yang diungkapkan oleh Lon L. Fuller. Seperti yang dijelaskan oleh Fuller, sebuah regulasi harus memenuhi delapan karakteristik prinsip-prinsip legalitas agar dapat memenuhi syarat sebagai administrasi yang baik.
Salah satu karakteristik yang relevan adalah aspek publikasi yang baik, [16] yang menegaskan bahwa regulasi harus diumumkan secara luas dan jelas kepada masyarakat. Dengan menjalankan proses pembentukan peraturan secara terbuka, melibatkan partisipasi publik, [17] dan memungkinkan dialog dengan pemangku kepentingan, pembuat kebijakan dapat memastikan bahwa regulasi dipublikasikan dengan baik, sesuai dengan prinsip legalitas Fuller.
Selain itu, keterbukaan dalam proses pembentukan peraturan juga memastikan bahwa regulasi memiliki muatan materi yang jelas dan konsisten, serta mengatur kondisi yang akan terjadi, sesuai dengan prinsip-prinsip legalitas Fuller yang menekankan pentingnya kejelasan dan konsistensi dalam peraturan.
Dengan demikian, integrasi prinsip keterbukaan dalam proses pembentukan peraturan dengan prinsip-prinsip legalitas yang dijelaskan oleh Lon L. Fuller dapat meningkatkan keadilan dan akuntabilitas dalam sistem hukum, serta memastikan bahwa regulasi yang dihasilkan benar-benar melayani kepentingan dan keadilan bagi masyarakat secara keseluruhan.
Asas-asas yang telah disebutkan diatas merupakan norma fundamental ketika dilakukan proses legislasi atau pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Sebagai sebuah pedoman dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan tentu seluruh asas tersebut tidak boleh diabaikan sama sekali. Meskipun dalam prakteknya seringkali terjadi disintegrasi dan inkonsistensi, pemerintah telah berusaha semaksimal mungkin agar tertib hukum di negara Indonesia terwujud dan kesejahteraan bagi masyarakat segera tercapai.
Pentingnya penguatan kapasitas lembaga pembentuk peraturan perundang-undangan tidak dapat dilepaskan dari keinginan untuk memastikan integritas dan kualitas dalam proses legislasi. Pendidikan dan pelatihan bagi pembuat kebijakan dan penegak hukum harus mencakup pemahaman mendalam tentang asas-asas hukum, teknik perumusan peraturan yang tepat, serta studi kasus terkait penerapan peraturan yang berhasil maupun yang menghadapi tantangan. Dengan demikian, mereka dapat lebih siap menghadapi kompleksitas perumusan dan pelaksanaan peraturan di lapangan.
Pemberdayaan partisipasi publik membutuhkan mekanisme yang lebih inklusif dan responsif. Pembentukan platform konsultasi dan diskusi yang dapat diakses secara online maupun offline akan memperluas keterlibatan masyarakat dalam proses pembentukan peraturan. Hal ini juga memfasilitasi interaksi langsung antara masyarakat dengan pembuat kebijakan, memungkinkan adanya pertukaran informasi yang lebih intensif dan efektif.
Transparansi dalam proses legislasi harus melibatkan penerbitan informasi mengenai tahap-tahap pembentukan peraturan, termasuk jadwal, agenda, serta naskah peraturan yang sedang disusun. Publikasi tersebut harus tersedia secara luas dan mudah diakses melalui berbagai saluran komunikasi. Hal ini akan mengurangi potensi kesalahpahaman dan memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap proses legislasi.
Melakukan evaluasi berkala terhadap peraturan yang telah berlaku adalah langkah penting untuk menilai efektivitas dan dampak peraturan tersebut. Evaluasi ini harus mempertimbangkan umpan balik dari masyarakat, pelaku usaha, serta para ahli hukum, sehingga dapat memperbaiki peraturan yang sudah ada dan membuatnya lebih sesuai dengan kebutuhan saat ini. Proses evaluasi yang sistematis dan terstruktur juga dapat memberikan wawasan tentang area yang memerlukan perbaikan atau penguatan.
Kolaborasi antarlembaga juga perlu diperkuat untuk memastikan bahwa proses pembentukan peraturan berlangsung secara komprehensif dan terkoordinasi. Sinergi antara lembaga-lembaga negara yang terlibat dalam legislasi akan mengurangi tumpang tindih dan mempercepat proses pembentukan peraturan. Penggunaan teknologi informasi dan komunikasi dalam manajemen legislasi dapat meningkatkan efisiensi dan akurasi dalam penyusunan peraturan.
Dalam jangka panjang, komitmen terhadap asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan dan perbaikan proses legislasi akan membawa manfaat besar bagi negara dan masyarakat. Peraturan yang baik akan menciptakan kepastian hukum, mendukung pembangunan yang berkelanjutan, dan memperkuat tata kelola pemerintahan yang transparan dan akuntabel. Dengan demikian, upaya ini akan berkontribusi pada peningkatan kepercayaan masyarakat terhadap hukum dan pemerintah, serta mendukung kemajuan bangsa secara keseluruhan.
Simpulan
Keseluruhan proses pembentukan peraturan perundang-undangan merupakan elemen penting dalam menjamin keteraturan dan keadilan dalam sebuah negara. Memahami dan mematuhi prinsip-prinsip yang mengatur proses ini adalah tugas semua pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, masyarakat, dan lembaga legislatif. Pasal 5 UU 12/2011 di Indonesia menyediakan landasan kuat bagi legislasi yang bertanggung jawab dan efektif. Kejelasan tujuan, pemilihan lembaga atau pejabat pembentuk yang tepat, serta kesesuaian antara jenis, hirarki, dan materi muatan peraturan adalah beberapa aspek penting yang harus diperhatikan.
Prinsip-prinsip ini tidak hanya memandu pembuat kebijakan dalam merumuskan peraturan hukum, tetapi juga menjamin kepastian, keadilan, dan akuntabilitas dalam sistem hukum. Penerapan prinsip-prinsip ini memastikan peraturan yang dibuat dapat dilaksanakan secara efektif dan memberikan manfaat yang optimal bagi masyarakat. Keterbukaan dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan juga berkontribusi pada transparansi dan partisipasi publik, yang pada akhirnya meningkatkan kualitas dan legitimasi peraturan.
Dengan mematuhi prinsip-prinsip ini, legislasi dapat berjalan dengan baik, menghasilkan peraturan yang adil, konsisten, dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Akhirnya, pemahaman dan penerapan prinsip-prinsip asas kepastian hukum, kejelasan rumusan, dan keterbukaan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan akan memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum dan pemerintah, serta mendukung kemajuan dan stabilitas negara secara keseluruhan.
References
- M. Saifulloh and A. P. Perdana, "Kewajiban Partai Politik Berideologi Pancasila Ditinjau dari Prinsip-Prinsip Negara Hukum Indonesia," Jurnal Pandecta, vol. 11, no. 2, pp. 174-188, Dec. 2016.
- M. Ilham F. Putuhena, "Politik Hukum Perundang-Undangan: Mempertegas Reformasi Legislasi yang Progresif," Jurnal Rechtsvinding: Media Pembinaan Hukum Nasional, vol. 2, no. 3, pp. 167-180, Dec. 2013.
- Pangestu and F. Puja, "Ekonomi Pancasila Sebagai Pedoman Dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan SDGs (Sustainable Development Goals) 2030," Prosiding Seminar Nasional Ekonomi Pembangunan, vol. 1, no. 3, pp. 210-219, 2021.
- Nadir and W. Y. Wardani, "Politik Hukum Dalam Pembangunan Hukum Nasional Indonesia: Arah Dan Substansinya," Jurnal Yustitia, vol. 19, no. 1, pp. 24-39, May 2018.
- Hariyanto, "Pembangunan Hukum Nasional Berdasarkan Nilai-Nilai Pancasila," Jurnal Volksgeist, vol. 1, no. 1, pp. 124-133, June 2018.
- Hasanuddin and H. Hasanuddin, "Hierarki Peraturan Perundang-Undangan Negara Republik Indonesia Sebagai Suatu Sistem," Madani Legal Review, vol. 1, no. 2, pp. 120-130, Dec. 2017.
- Sagama and Suwardi, "Perundang-Undangan di Indonesia," Jurnal Volksgeist, vol. 1, no. 2, pp. 60-78, Dec. 2018.
- P. M. Marzuki, "Penelitian Hukum," Jakarta: Kencana Prenada Media, 2011, p. 35.
- S. Soekanto and S. Mamudji, "Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat)," Jakarta: Raja Garfindo Persada, 2001, p. 14.
- Muhaimin, "Metode Penelitian Hukum", Mataram: Unram Press, 2020, p. 71.
- F. Busroh, F. Freaddy, et al., "Harmonisasi Regulasi Di Indonesia: Simplikasi Dan Sinkronisasi Untuk Peningkatan Efektivitas Hukum," Jurnal Interpretasi Hukum, vol. 4, no. 3, pp. 699-711, Dec. 2023.
- M. F. Indrati, "Ilmu Perundang-Undangan 1; Jenis, Fungsi dan Materi Muatan," Yogyakarta: Kanisius, 2007, p. 41.
- L. M. Friedman, Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial (The Legal System A Social Science Perspective), Bandung: Nusa Media, 2011, p. 10.
- M. Ghalib and Z. B. Septiansyah, "Konsepsi Utilitarianisme Dalam Filsafat Hukum dan Implementasinya di Indonesia," Ijtihad: Jurnal Hukum Islam dan Pranata Sosial, vol. 34, no. 1, pp. 76-87, June 2018.
- S. Rahardjo, "Ilmu Hukum," Bandung: Citra Aditya Bakti, 2012, p. 19.
- V. Dwiki, Herdhianto, et al., "Omnibus Law Dalam Kerangka Prinsip-Prinsip Legalitas (Omnibus Law in the Principles of Legality Framework)," Jurnal Inovasi Penelitian, vol. 2, no. 10, pp. 200-212, March 2022.
- E. Larasati, "Reformasi Pelayanan Publik (Public Services Reform) Dan Partisipasi Publik," "DIALOGUE" JIAKP, vol. 5, no. 2, pp. 254-267, May 2008.