The Legality of Digitalization of Marriage Dispensation in Religious Courts: A Legal Perspective
Innovation in Social Science
DOI: 10.21070/ijins.v25i.1053

The Legality of Digitalization of Marriage Dispensation in Religious Courts: A Legal Perspective


Legalitas Digitalisasi Dispensasi Pernikahan di Pengadilan Agama: Perspektif Hukum

Pascasarjana, Universitas Islam Negeri Kiai Haji Achmad Siddiq, Jember
Indonesia
Pascasarjana, Universitas Islam Negeri Kiai Haji Achmad Siddiq, Jember
Indonesia
Pascasarjana, Universitas Islam Negeri Kiai Haji Achmad Siddiq, Jember
Indonesia

(*) Corresponding Author

SIDIKA Religious Court Marriage Law

Abstract

The implementation of the Marriage Law in Indonesia has led to a notable surge in Marriage Dispensation requests, particularly observed at the Bondowoso Religious Court. This study aims to investigate the efficacy of the Marriage Dispensation Integration System (SIDIKA) application at the Bondowoso Religious Court through empirical juridical research methods. Analyzing data from 2019 to 2022, a significant reduction in Marriage Dispensation requests post-SIDIKA implementation is evident, with cases dropping from 299 in 2019 to 718 in 2022. This suggests a successful utilization of SIDIKA in streamlining dispensation processes. The implications underscore the potential for digitalization to enhance efficiency and accessibility in legal procedures concerning marriage dispensation, offering insights for broader adoption in similar contexts globally.

Highlights:

  • The surge in Marriage Dispensation requests post-Marriage Law enactment.
  • Drastic reduction in Dispensation requests following SIDIKA implementation.
  • Implications of digitalization for legal procedures and court efficiency.

Keywords: SIDIKA, Religious Court, Marriage Law

Pendahuluan

Determinasi Pasal 28B bagian( 1) bersamaan dengan determinasi aturan hukumyang tertukus pada Nomor 16 Tahun 2019 sebagai pengganti aturan hukum nomor No 1 Tahun 1974 prihal Pernikahan dijelaskan pada Pasal 2 bagian( 1) yang menjelaskan bahwa : Pernikahan dianggap sah secara hukum jika sesuai dengan norma dan keyakinan agama atau kepercayaan masing-masing. Dengan lain tutur, tiap orang berkuasa melaksanakan pernikahan cocok agama serta keyakinan tiap- tiap, dilanjutkan Pasal 2 bagian ( 2) berbunyi : Masing-masing pernikahan dicatat bagi peraturan perundang- undangan yang legal. Dengan lain tutur pernikahan yang dicoba bagi agama serta keyakinan itu wajib dicatatkan cocok hukum serta peraturan yang legal. Maksudnya pernikahan dengan cara agama serta keyakinan bisa dicoba tetapi wajib dicatatkan dihadapan administratur yang berwenang.[1]

Determinasi pasal 28B bagian( 2) bersamaan dengan aturan hukum No 16 Tahun 2019 perubahan Atas aturan hukum No 1 Tahun 1974,dimana dijelaskan pada Pasal 7 bagian( 1) Pernikahan cuma diizinkan bila pria serta wanita telah menggapai usia 19 ( sembilan belas) tahun. Perihal ini memiliki maksud pria serta wanita yang belum memenuhi kecukupan berumur 19 tahun tengah diucap anak begitu juga diucap dalam peraturan Pasal 1 poin 1 peraturan mengenai Pergantian Atas peraturan No 23 Tahun 2002 mengenai Pelindungan Anak, mendefinisikan seorang anak sebagai seseorang yang belum mencapai usia 18 tahun, termasuk juga yang masih dalam kandungan, pada perihal ini anak memiliki hak guna dilindungi dari pemanfaatan ekonomi serta bertindak pada karier yang mematikan ataupun mengacaukan pembelajaran anak, mengganggu kesehatan raga, psikologis, kebatinan, akhlak serta kemajuan sosial anak. Pembinaan keselamatan anak tercantum pemberian peluang guna meningkatkan haknya, penerapannya tidak saja ialah tanggung jawab orang berumur, keluarga, bangsa, serta negeri melainkan dibutuhkan pula kegiatan serupa global begitu juga Pemahaman atas peraturan No 10 Tahun 2012 Mengenai Pengesahan Aturan Opsional Kesepakatan Hak- Hak Anak Hal perdagangan Anak, Pelacuran, serta Pornografi Anak).[2]

Metode

Perubahan yang diatur dalam Peraturan Nomor 16 Tahun 2019 terhadap Peraturan Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 7 bagian (2) menyatakan bahwa ketika terjadi penyimpangan dalam penentuan usia, hal tersebut juga berlaku untuk bagian (1). Dalam situasi seperti itu, baik pria maupun wanita yang terlibat dapat meminta keringanan kepada Majelis Hukum dengan alasan yang kuat yang didukung oleh bukti yang memadai. Serta Pasal 7 bagian( 3) Pemberian keringanan oleh Majelis hukum begitu juga diartikan pada bagian( 2) harus mencermati opini kedua belah calon pengantin yang hendak melakukan pernikahan. Penerapan Keringanan bersumber pada Peraturan Mahkamah Agung RI No 5 Tahun 2019 mengenai Prinsip Memeriksa Masalah Keringanan berkeluarga. [2]

Melonjaknya jumlah masalah permohonan keringanan berkeluarga di Pengadilan Agama Bondowoso ini menginspirasi Pengadilan Agama Bondowoso untuk menghasilkan inovasi Digitalisasi tes Kelayakan kemudahan berkeluarga dalam Sistem Integrasi DISKA ( SIDIKA), hal tersebut adalah bentuk perhatian Pengadilan Agama Bondowoso yang kemudian di sebut (PA Bondowoso) untuk meminimalisasi dispensasi kawin di Kabupaten Bondowoso. Melihat akan hal tersebut penulis tertarik untuk meneliti secara mendalam mengenai tingkat keberhasilan Digitalisasi Uji Kelayakan Dispensasi Kawin dalam Sistem Integrasi Dispensasi Kawin (SIDIKA) di Pengadilan Agama Bondowoso.

Rumusan Masalah

1.Makna Dispensasi Kawin dalam Hukum Acara Peradilan Agama ?

2.Mekanisme Digitalisasi Uji Kelayakan Dispensasi Kawin dalam Sistem Integrasi Dispensasi Kawin (SIDIKA) dalam meminimalisasi Permohonan Dispensasi Kawin di Pengadilan Agama Bondowoso ?

Hasil dan Pembahasan

A. Makna Dispensasi Kawin dalam Hukum Acara Peradilan Agama

Keputusan Majelis Hakim Konstitusi Nomor 22, juga dikenal sebagai PUU-XV, pada tahun 2017 menunjukkan hasil dari uji materi terhadap Pasal 7 Bagian (1) Peraturan Nomor 1 tahun 1974 tentang Pernikahan. Pasal tersebut menyatakan bahwa "Pernikahan hanya diizinkan jika pihak pria telah mencapai usia 19 tahun dan pihak wanita telah mencapai usia 16 tahun." Hal ini terkait dengan Ketentuan Dasar 1945, khususnya Pasal 27 Bagian (1), yang menyatakan bahwa "Seluruh masyarakat Indonesia, bersama-sama, memiliki peran dalam hukum dan pemerintahan, tanpa terkecuali." Pasal 7 Bagian (1) yang mencantumkan perbedaan usia antara pria dan wanita menunjukkan ketidakmampuan untuk mencapai kesetaraan peran dalam hukum antara keduanya, sebagaimana diatur juga dalam Pasal 27 Bagian (1) UUD 1945 atau dalam undang-undang tentang pernikahan itu sendiri. Diferensiasi usia antara pria dan wanita dalam Pasal 7 Bagian (1) diduga tidak didasarkan pada alasan objektif yang jelas, melainkan semata-mata didasarkan pada perbedaan jenis kelamin. Wanita berusia 16 tahun belum mencapai kedewasaan berpikir dan belum sempurnanya perkembangan alat reproduksi pada usia tersebut.

Perkawinan anak( di bawah usia) ialah aplikasi perkawinan yang dicoba oleh pendamping salah satu atau kedua calon mempelai yang berumur dibawah 19 tahun. Saat ini aturan yang berlaku sedang membolehkan terbentuknya keringanan berkeluarga untuk anak yang dikeluarkan oleh PA.[3] Keringanan pernikahan ialah usaha untuk mereka yang mau menikah tetapi belum memenuhi batasan umur guna menikah yang sudah diresmikan oleh negara, alhasil orang lanjut usia untuk anak yang belum cukup usianya itu bisa mengajukan keringanan berkeluarga ke Pengadilan Agama lewat cara pengadilan terlebih dulu supaya memperoleh persetujuan keringanan pernikahan.[4]

Alas dari permohonan keringanan berkeluarga untuk anak yang belum dewasa 19 tahun itu merupakan dasar kebutuhan terbaik untuk seorang anak, seperti hak hidup serta bertumbuh dan berkembangnya seorang anak, apresiasi terhadap pandangan anak, apresiasi terhadap derajat derajat orang, upaya untuk menghindari diskriminasi, memperjuangkan kesetaraan gender, prinsip persamaan di hadapan hukum, distribusi manfaat yang adil, dan kejelasan dalam sistem hukum. Keberhasilan peraturan UU Nomor. 16 Thn 2019 dalam menekankan perkawinan anak belum cukup usia sebuah fokus penting dari sebuah berlakunya aturan perkawinan itu, akan tetapi menghasilkan hasil kebalikannya dengan melonjaknya jumlah masalah Permohonan Keringanan berkeluarga( DK) di PA sesudah hukum ini legal karena batasan umur minimal anak wanita guna menikah dari yang awal 16 tahun jadi 19 tahun merupakan selaku pemicu menaiknya jumlah masalah ini yang diajukan di Pengadilan Agama. Keberhasilan hukum itu mengurangi perkawinan anak otomatis berkaitan dengan jumlah masalah Permohonan Keringanan untuk menikah hal ini yang diputus guna dikabulkan ataupun bentuk putusan hakim yang menolak permohonan tersebut ataupun tidak diserahkan ijin oleh PA dan perkara Keringanan menikah yang kurang ketentuan materiil alhasil di Nomor ( niet ontvankelijke verklaard tidak bisa diperoleh).

Pemberian batas minimun umur pernikahan pada dasarnya bukan tanpa tujuan, tidak lain kalau pemisahan umur itu memiliki arti supaya sesuatu pernikahan betul- betul dicoba oleh calon pasangan pengantin baik pria ataupun wanita yang telah matang jiwa serta raganya.[5] Pemberian keringanan menikah pula berpedoman pada ketentuan perundang- undangan yang legal. Alas yang dipakai seseorang ketua sidang dalam pemberian keringanan menikah merupakan merujuk pada sebagian perundangundangan yang legal pada area Pengadilan Agama Islam, perihal yang sama pula dilakukan oleh ketua sidang Majelis hukum Agama Bondowoso yang membagikan keringanan menikah pada pendamping mempelai yang sedang dibawah usia.[6]

Masalah Permohonan Keringanan menikah di Pengadilan yang wajib ditempuh para pihak ataupun daya ketetapannya guna mengajukan Permohonan Keringanan menikah ke Pengadilan semacam terdapat dalam pengaturan UU Nomor. 16 Tahun 2019 dan Perma Nomor. 5 Tahun 2019 yang sudah sah menjadi rujukan hakim dalam pengecekan masalah Keringanan menikah itu, terdapatnya metode terkini pihak berperkara ataupun para pegiat hukum ataupun advokat itu diwajibkannya para pihak ataupun daya ketetapannya dalam pengajuan permohonan Keringanan menikah wajib memenuhi ketentuan formil serta materiil, metode para pihak dalam mengajukan masalah Permohonan Keringanan menikah diharuskan dulu mengurus serta mendapatkan Pesan Saran guna anak yang ingin mengajukan permohonan Keringanan menikah harus mendapatkan rekomendasi dari salah satu badan Psikolog, Dokter, Suster, Pusat Jasa Terstruktur Proteksi Wanita serta Anak( P2TP2A), serta KPAI atau KPAD.

Menimbang, kalau tidak hanya estimasi hal the best interest of child ( kebutuhan baik untuk anak), dalam bidang hukum islam, Hakim pula memikirkan utama masalah para pihak dengan menganalisis menggunakan teori maqashidu al Syariah, dimana terdapatnya sebagian perihal yang jadi estimasi dalam memutuskan penentuan keringanan menikah semacam, mengenai legalitas dalam hukum Islam, hal tersebut dipertimbangkan dengan memperhatikan manfaat dan kerugian bagi anak, yang terkait dengan perlindungan terhadap agama (hifdzu al din), keselamatan jiwa, dan perkembangan intelektual anak yang terkait dengan tujuan perlindungan jiwa (hifdzu al nafs), keamanan dari segi psikologis dan kesiapan mental anak yang terkait dengan tujuan perlindungan pikiran (hifdzu al aql), perlindungan generasi masa depan dari kedua calon pasangan yang terkait dengan tujuan perlindungan keturunan (hifdzu al nasl), dan kesiapan dalam hal ekonomi yang terkait dengan tujuan perlindungan harta (hifdzu al mal). Searah dengan perihal itu, hingga ketua sidang butuh mempertengahkan Qoidah Fiqhiyah yang didapat alih jadi opini mahkamah ketua sidang, ialah;“ Bila terdapat 2 perihal yang bersama memiliki madlarat, hingga wajib diseleksi satu di antara lain yang lebih kecil madlaratnya”.

B. Mekanisme Digitalisasi Uji Kelayakan Dispensasi Kawin dalam Sistem Integrasi Dispensasi Kawin (SIDIKA) dalam meminimalisasi Permohonan Dispensasi Kawin di Pengadilan Agama Bondowoso .

Digitalisasi, Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia( KBBI) penafsiran. Digitalisasi memiliki maksud cara pemberian ataupun penggunaan sistem digital. Sebaliknya bagi sebagian pakar, arti digitalisasi bisa bermacam- macam terkait pada ujung penglihatan serta konteksnya. Percobaan Kelayakan ialah pencampuran tutur Percobaan ataupun Tes serta kelayakan ataupun Pantas, Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia( KBBI) penafsiran Percobaan merupakan eksperimen guna mengenali kualitas suatu( keaslian, kecakapan daya tahan, serta serupanya), Tes merupakan 1) hasil mencoba, hasil mengecek, 2) suatu yang digunakan buat mencoba kualitas suatu( keahlian, keahlian, hasil berlatih, serta serupanya). Pantas merupakan alami, layak, pantas. Kelayakan merupakan Mengenai pantas( pantas, layak).

Sebaliknya bagi sebagian pakar, arti digitalisasi bisa bermacam- macam terkait pada ujung penglihatan serta konteksnya. Bagi Ritter serta Pedersendigitalisasi merupakan melonjaknya ketersediaan informasi digital yang dimungkinkan oleh perkembangan dalam menghasilkan, mengirim, menaruh, serta menganalisa informasi digital. Kemudian bagi Shrivastava( 2017), digitalisasi merupakan mengganti interaksi, komunikasi, guna, serta bentuk bidang usaha jadi lebih digital. Digitalisasi bermaksud kurangi pengeluaran bayaran dengan melaksanakan pengoptimalan cara dalam. Alhasil bisa disimpulkan kalau digitalisasi bisa dimaknai dalam bermacam kondisi, tetapi pada biasanya dikenal dalam kondisi bidang usaha yang berpindah jadi teknologi digital.[7]

Keringanan merupakan penyimpangan ataupun dispensasi dari sesuatu peraturan. Dispensai pernikahan mempunyai maksud kelapangan hendak suatu batas didalam melaksanakan jalinan antara seseorang pria serta seseorang wanita selaku pasutri yang bertujuan untuk membangun sebuah keluarga dengan senang serta abadi dengan merujuk aturan tuhan. Keringanan menikah sendiri mempunyai daya hukum serupa dengan peraturan No 16 Tahun 2019 mengenai Pernikahan Pasal 7 bagian( 2):“ Dalam perihal pelanggaran bagian( 1) pada pasal ini bisa memohon keringanan menikah pada pengadilan setempat ataupun proses administrasi lain dengan diwakilkan oleh orang dewasa yang memiliki nasab yang sma dengan anak tersebut seperti halnya ( ayah, ibu, kakak, ataupun kakek dan neneknya).” Yang diartikan bahwa pengadilan disini adalah pengadilan agama bagi mereka yang memeluk agama islam .

Di sisi lain, pada bagian lainnya, pihak juga harus mampu mengakomodasi semua realitas yang ada dalam masyarakat dewasa ini. Hukum perkawinan ini mencakup berbagai elemen, termasuk faktor-faktor dan peneguhan atas keyakinan agama dan kepercayaan individu yang terlibat. Prinsip yang dianut oleh hukum ini adalah bahwa calon pasangan harus matang secara fisik dan mental untuk menjalani kehidupan pernikahan dengan baik, sehingga dapat mencapai tujuan pernikahan tanpa mengalami perceraian dan dapat menciptakan keturunan yang sehat dan berkualitas. Oleh karena itu, perlindungan terhadap pernikahan antara calon pasangan yang masih di bawah umur harus dijamin.[8]

Hukum Pernikahan Nomor 16 Tahun 2019 bertujuan untuk mencegah pernikahan di usia dini, dengan tujuan agar para remaja yang akan menikah telah siap secara emosional dan fisik untuk membentuk keluarga yang bahagia dan langgeng. Sedemikian itu pula dimaksudkan guna bisa menghindari terbentuknya perpisahan belia serta supaya bisa membenihkan generasi yang bagus serta sehat, dan tidak berdampak laju kelahiran yang lebih besar alhasil memesatkan pertambahan masyarakat. Tidak hanya itu, jika batas umur yang lebih kecil guna perempuan untuk menikah menimbulkan tingginya tingkat kelahiran menyebabkan tingkat kematian ibu yang signifikan dalam jumlah yang cukup besar, akibat kurang baik yang lain merupakan kesehatan pembiakan wanita jadi terhalang.

Sayangnya di dalam hukum Pernikahan baik itu pasal ataupun uraiannya, tidak mengatakan perihal apa yang bisa dijadikan bawah untuk sesuatu alibi yang berarti. Sebab dengan tidak disebutkannya sesuatu alibi yang berarti, hingga dengan gampang saja tiap orang memperoleh keringanan menikah itu.

Pada dasarnya pemberian keringanan dalam pernikahan di dasar usia diserahkan pada calon pengantin yang akan melaksankan pernikahan yang sesungguhnya belum penuhi ketentuan sahnya pernikahan ialah belum menggapai usia cocok dengan yang sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 7 bagian (1) dari Undang-Undang No 1 Tahun 1974 telah diubah sesuai dengan Peraturan Nomor 16 Tahun 2019. Namun, ini bertujuan untuk memberikan fleksibilitas kepada calon mempelai dalam mengatur perkawinan mereka demi kesejahteraan hidup mereka. Nyata telah jika tujuan pemberian keringanan kepada pernikahan di dasar baya merupakan guna kebutuhan faedah kehidupan pemeluk orang, sebab dengan pemberian keringanan kepada pernikahan di bahwah usia ini alhasil bisa kurangi dampak yang tidak bagus dalam kehidupan yang hendak dijalani calon pengantin.

Melihat akan pengertian tersebut Pengadilan Agama Bondowoso membuka inovasi baru mengenai penanganan pencegahan pernikahan dini di Kabupaten Bondowoso dengan bekerja sama dengan beberapa intansi yaitu diantaranya Pemerintah Kabupaten Bondowoso, Dinas Sosial dan Dinas Kesehatan, sejak bulan Juni 2023 telah dilaksanakan inovasi Digitalisasi Uji Kelayakan Dispensasi Kawin dalam Sistem Integrasi Dispensasi Kawin (SIDIKA), sehingga perkara permohonan Dispensasi Kawin berkurang. Semula perkara permohonan Dispensasi Kawin bulan Januari s/d bulan Juni Tahun 2023 sebanyak 316 perkara, dengan perbandingan pada bulan Mei 2023 permohonan dispensasi kawin sebanyak 94 perkara, bulan Juni sebanyak 69 perkara dan pada bulan Juli 2023 sebanyak 7 perkara, dengan kata lain Permohonan Dispensasi Kawin di Pengadilan Agama Bondowoso menurun secara drastis sejak dengan dilaksanakannya Digitalisasi Uji kelayakan Dispensasi Kawin dalam Sistem Integrasi Dispensasi Kawin (SIDIKA).

Figure 1.Bukti Implementasi Modul Manajemen Pemerintah

Berikut tata cara penggunaan aplikasi Sistem Integrasi Dispensasi Kawin (SIDIKA). Diantaranya :

1.Pihak pengajuaan Permohonan Dispensasi Kawin sudah harus mendapatkan rekomendasi dari Dinas Sosial dan Dinas Kesehatan.

2.Pihak pengajuan dispensasi kawin memenuhi persyaratan permohonan diantaranya KTP Orang tua, Kartu Keluarga, Ijazah terahir anak, Akte Kelahiran Anak, serta penolakan kurang umur dari Kantor Urusan Agama.

3.Pihak perkara akan mendapatkan bantuan petugas Pengadilan Agama Bondowoso dalam menggunakan aplikasi SIDIKA;

4.Pihak Perkara juga akan mendapatkan bantuan pembuatan Permohonan pengajuan Dispensasi Kawin dari Posbantuan Hukum yang bertugas di Pengadilan Agama Bondowoso, berikut dokumentasi penggunaan aplikasi Sistem Integrasi Dispensasi Kawin (SIDIKA) di Pengadilan Agama Bondowoso.

Figure 2.Penggunaan Aplikasi Sistem Integrasi Dispensasi Kawin (SIDIKA) di Pengadilan Agama Bondowoso.

Reformer berharap dampak Pemanfaatan teknologi sebagai hasil kegiatan dari Diseminasi dan publikasi aksi perubahan adalah peningkatan pelayanan pada permohonan Dispensasi Kawin terutama menekan angka perkawina anak di Kabupaten Bondowoso, khususnya permohonan dispensasi kawin di Pengadilan Agama Bondowoso sehingga diharapkan dapat mendukung program pemerintah dalam melindungi kepentingan anak dan wanita khususnya masyarakat Bondowoso.

Simpulan

Pelaksanaan UU Pernikahan dengan terdapatnya transformasi ketentuan umur minimun untuk wanita kepada penduduk spesialnya di Kabupaten Bondowoso sedang susah dijalani. Warga merasa tengah dapat melaksanakan pernikahan walaupun calon pendamping sedang dibawah usia, pastinya dengan mengajukan permohonan keringanan pernikahan pada Pengadilan. Oleh sebab itu, terdapatnya pergantian ketentuan umur minimun pernikahan untuk wanita, belum dapat seluruhnya jadi metode guna meminimalisir atau menghindari pernikahan bawah usia, sehingga dengan adanya aplikasi Sistem Integrasi Dispensasi Kawin (SIDIKA) di Pengadilan Agama Bondowoso serta sinergitas Pengadilan Agama Bondowoso dengan Dinas Sosial, Dinas Kesehatan serta Pemerintah Kabupaten Bondowoso diharapkan dapat meminimalisir meningkatnya pengajuan angka Permohonan diska di Pengadilan, hal ini dibuktikan berkurangnya angka Permohonan Dispensasi Kawin di bulan Juli 2023 mulai mengalami penurunan.

References

  1. I. Ramadhani and N. Nahrowi, "Penemuan Hukum Hakim Terhadap Pemberian Izin Pernikahan Beda Agama," Al-Syakhsiyyah Journal of Law Family Studies, vol. 5, no. 1, pp. 35, Jun. 2023, doi: 10.21154/syakhsiyyah.v5i1.6297.
  2. A. Y. Dwiranti, S. D. Judiasih, and B. Rubiati, "Perubahan Syarat Usia Perkawinan Bagi Wanita Menurut Undang-Undang Perkawinan Sebagai Upaya Pencegahan Perkawinan Dibawah Umur," Supremasi Hukum Journal of Legal Research, vol. 31, no. 1, pp. 48-65, 2022, doi: 10.33369/jsh.31.1.48-65.
  3. A. Muqaffi, R. Rusdiyah, and D. Rahmi, "Menilik Problematika Dispensasi Nikah Dalam Upaya Pencegahan Pernikahan Anak Pasca Revisi UU Perkawinan," Journal of Islamic Law Studies, vol. 5, no. 3, pp. 5914, Jan. 2022, doi: 10.18592/jils.v5i3.5914.
  4. A. Hizbullah, "Eksistensi Dispensasi Perkawinan Terhadap Pelaksanaan Perlindungan Anak Di Indonesia," Journal of Gender and Child Mainstreaming Studies, vol. 1, no. 2, pp. 2608, Dec. 2019, doi: 10.29300/hawapsga.v1i2.2608.
  5. G. H. Purwanto, "Pertimbangan Hakim Dalam Memutus Perkara Permohonan Dispensasi Kawin Di Pengadilan Agama Bojonegoro," Independent Journal, vol. 8, no. 1, pp. 235, Mar. 2020, doi: 10.30736/ji.v8i1.111.
  6. M. A. Rohman and A. A. Cholil, "Alasan- Alasan Pemberian Dispensasi Kawin Terhadap Pasangan Usia Nikah Di Bawah Umur Pada Pengadilan Agama Semarang Tahun 2018," Proceedings of National Seminar on Constellation of Student Scientifics Unissula Hum Cluster, 2021.
  7. Ragam Info, "Digitalisasi: Pengertian dan Manfaatnya di Era Modern." [Online]. Available: https://kumparan.com/ragam-info/digitalisasi-pengertian-dan-manfaatnya-di-era-modern-20nOtQEaxwB/full
  8. Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional. Jakarta: PT Rineka Cipta, 2010.