Improving Productivity Strategies With Failure Mode And Effect Analysis And Analytic Hierarchy Process Methods
Innovation in Industrial Engineering
DOI: 10.21070/ijins.v24i.1047

Improving Productivity Strategies With Failure Mode And Effect Analysis And Analytic Hierarchy Process Methods


Meningkatkan Strategi Produktivitas Dengan Metode Failure Mode and Effect Analysis Dan Analytic Hierarchy Process

Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia
Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia

(*) Corresponding Author

Petis production defects Failure Mode And Effect Analysis (FMEA) Analytic Hierarchy Process (AHP)

Abstract

UD Fafa Mutiara is a business entity that produces petis as its main product. Products that are considered defective or cannot be repaired and recycled again, will be detrimental to business actors. It is estimated that in each product there are an average of 70 plastic products that are damaged, defective, or even fail, out of 5,000 plastics every month. In a day, Mrs. Ulfa can produce around 175 plastic cases which must be marketed the next day. The purpose of this research is to find out strategies that can improve the quality of UD Fafa Mutiara's petis. One way to find several problems in failure during the petition manufacturing process is known as the Failure Mode and Effect Analysis method, which is abbreviated as FMEA. This method is used to identify potential failures that may occur in the design, production process, or production results. AHP (Analytical Hierarchy Process) has a meaning as a functional hierarchy with the main input being human presumption, which has many advantages in explaining the decision-making process. The research results obtained were that the highest level of risk in the paste production process was when washing raw materials using dirty water with an RPN value of 448. The strategy of using AHP resulted in suggestions for improvements with the highest value, namely checking water with a value of 0.366. So the recommendation that can be given to UD Fafa Mutiara is to maintain the quality of the water used for washing raw materials.

Highlight :

  • Identification of potential failures: FMEA method helps identify possible failures in design and production processes.
  • Decision-making process: AHP involves human input to explain decision-making processes effectively.
  • Risk mitigation strategy: Maintaining water quality during raw material washing is crucial for improving product quality.

Keywords - Petis; production defects; Failure Mode And Effect Analysis (FMEA); Analytic Hierarchy Process (AHP)

Pendahuluan

Produktivitas yang menghasilkan sesuatu, yang berupa jasa atau barang adalah perbandingan antara hasil atau keluaran yaitu barang atau jasa dengan masukan yaitu tenaga kerja[1]. Risiko adalah potensi kerugian akibat terjadinya suatu peristiwa tertentu[2]. Salah satu cara menemukan beberapa masalah dalam kegagalan pada saat proses pembuatan petis, yang dikenal dengan metode Failure Mode and Effect Analysis yang disingkat menjadi FMEA[3]. Metode ini digunakan untuk mengidentifikasi potensi kegagalan yang mungkin terjadi dalam rancangan, proses produksi, maupun hasil produksi[4]. AHP (Analytical Hierarchy Process) mempunyai arti sebagai hierarki fungsional dengan input utamanya praduga manusia, yang memiliki banyak keunggulan dalam menjelaskan proses pengambilan keputusan[5]. Prinsip dari AHP yaitu menyederhanakan suatu masalah yang kompleks dan tidak terstruktur, menjadi bagian-bagian terkecil, dan menatanya dalam sebuah tingkatan salah satunya adalah dapat digambarkan melalui grafik sehingga bisa dipahami oleh berbagai pihak yang terlibat dalam mengambil suatu keputusan bersama[6].

UD Fafa Mutiara merupakan salah satu badan usaha yang memproduksi petis sebagai produk utama. Petis adalah salah satu bahan campuran makanan yang banyak digunakan untuk membuat rujak lontong balap, lontong mie, tahu tek dan pendamping gorengan yang menjadi makanan khas Indonesia. Hasil produk yang dianggap cacat atau tidak bisa diperbaiki dan didaur ulang kembali, yang akan merugikan pelaku usaha. Diperkirakan pada setiap produk rata-rata terdapat 70 plastik hasil produk yang rusak, cacat atau bahkan gagal dari 5.000 plastik dalam setiap bulannya. Dalam sehari Ibu Ulfa bisa memproduksi sekitar 175 kemasan plastik petis yang harus dipasarkan keesokan harinya. Salah satu cara menemukan beberapa masalah dalam kegagalan pada saat proses pembuatan petis, yang dikenal dengan metode Failure Mode and Effect Analysis yang disingkat menjadi FMEA[7]. Metode ini digunakan untuk mengidentifikasi potensi kegagalan yang mungkin terjadi dalam rancangan, proses produksi, maupun hasil produksi. AHP (Analytical Hierarchy Process) mempunyai arti sebagai hierarki fungsional dengan input utamanya praduga manusia, yang memiliki banyak keunggulan dalam menjelaskan proses pengambilan keputusan[8].

Severity adalah penilaian terhadap keseriusan dari efek yang ditimbulkan. Dalam arti setiap kesalahan yang ada akan dinilai seberapa besar tingkat keparahannya. Terdapat hubungan secara langsung antara efek dan severity. Occurance adalah kemungkinan bahwa penyebab tersebut akan terjadi dan membuat kesalahan selama masa penggunaan produk. Occurance merupakan nilai rating yang disesuaikan dengan frekuensi yang diperkirakan dan atau angka kumulatif dari kegagalan yang dapat terjadi. Nilai detection diartikan dengan pengendalian. Detection adalah pengukuran terhadap kemampuan mengendalikan / mengontrol kegagalan yang dapat terjadi. Pada FMEA, untuk menentukan perbaikan dilakukan dengan cara menghitung nilai RPN (Risk Priority Number) yang didapat dari perkalian dari tingkat keparahan (severity), tingkat kejadian (occurance), tingkat deteksi (detection) yang masing-masing diberi nilai atau skor. RPN (Risk Priority Number) RPN ini menunjukan tingkat prioritas sebuah ‎kegagalan yang di peroleh dari hasil analisis pada proses yang di analisis. ‎Menurut nilai RPN mode kegagalannya adalah tindakan perbaikan yang di ‎prioritaskan dan sesuai akan di usulkan untuk nilai RPN tertinggi setelah ‎implementasi koreksi tindakan, nilai RPN baru akan di hitung untuk setiap ‎kegagalannya, maka urutan prioritasnya semakin tinggi[8].

Dengan melihat pada latar belakang dan perumusan masalah yang telah dikemukakan, maka tujuan penelitian yang bisa saya sampaikan adalah sebagai berikut: Mengidentifikasi kegiatan berisiko pada kecacatan pembuatan petis, Menentukan nilai resiko tertinggi yang berpengaruh pada produktivitas UD Fafa Mutiara, Menyusun strategi peningkatan produktifitas berdasarkan resiko yang teridentifikasi, Menyusun rekomendasi peningkatan produktifitas pada UD Fafa Mutiara [9]. Klasifikasi dari S O D dapat dilihat pada tabel 1 berikut.

Nilai Severity Klasifikasi Nilai Occurance Klasifikasi Nilai Detection Klasifikasi
10 Ekstrim 10 Hampir pasti terjadi 10 Hampir mustahil
9 Serius 9 Sangat tinggi 9 Hampir tidak ada
8 Sangat signifikan 8 Tinggi 8 Sangat rendah
7 Signifikan 7 Cukup Tinggi 7 Cenderung rendah
6 Sedang 6 Sedang 6 Rendah
5 Rendah 5 Cukup sedang 5 Sedang
4 Sangat rendah 4 Kecil 4 Cenderung tinggi
3 Minor 3 Sangat kecil 3 Tinggi
2 Sangat minor 2 Hampir tidak pernah 2 Sangat tinggi
1 Tidak ada 1 Langka 1 Hampir pasti terdeteksi
Table 1.Klasifikasi Penilaian RPN

Metode

Penelitian ini dilakukan di UD. Fafa Mutiara selama enam bulan (6 Bulan)[10]. Lokasi UD tersebut berada di lokasi Desa Kedung Ringin, Dusun Gersikan, RT 01, RW 01, Kecamatan Beji, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur (67154). Penjelasan mengenai proses identifikasi data dan penyelesaian penelitian ini dijelaskan dalam bentuk flowchat yang dapat dilihat pada gambar 1[11].

Figure 1.Alur Penelitian

Pada proses penelitian ini dilakukan pengamatan langsung dengan cara observasi, wawancara dan kuisioner dengan pemilik, pegawai dari UD yang bersangkutan. Proses ini menghasilkan data primer dan data sekunder yang digunakan untuk diproses dengan metode FMEA dan AHP[12].

Wawancara adalah metode pengumpulan data dengan cara mengajukan tanya jawab secara langsung. Pengumpulan data ini untuk data primer pada UD yang bersangkutan. Wawancara secara langsung di lakukan kepada ibu Ulfa selaku pemilik UD Fafa Mutiara. Pengamatan ini dilakukan untuk mengetahui jenis kecacatan produk dan sintesis permasalahan guna menunjang kualitas produk petis. Observasi adalah metode untuk mencari data dengan cara mengamati. Teknik ini menekankan pada pengamatan sistematis dan intensive berbagai aktivitas pada objek penelitian yang berupa proses produksi petis. Kuisioner ini dilakukan dengan cara turun langsung untuk memberikan pertanyaan kepada pemilik UD Fafa Mutiara dan penanggung jawab. Pengisi kuesioner AHP pada penelitian ini adalah pemilik UD Fafa Mutiara. Kesimpulan dan saran bahwa dalam penelitian yang menggunakan metode diatas berharap tujuan penelitian bisa tercapai.

Hasil dan Pembahasan

A.Pengolahan Data Metode Failure Mode and Effect Analysis

UD Fafa Mutiara memiliki alur proses dengan menggunakan OPC produksi petis seperti pada gambar 2[13]:

Figure 2.Operation Process Chart Petis

1.Pencucian Pada proses pencucian ini bahan baku seperti kepala/ daging/ kulit udang dicuci hingga bersih. Setelah dicuci, diberi air dengan perbandingan tertentu.

2.Perebusan Proses perebusan merupakan proses bahan baku petis yang sudah diberi air dimasak atau direbus, biasanya selama 3 sampai 6 jam. Proses ini salah satu proses paling penting.

3.Penyaringan Penyaringan dimulai dengan pemerasan untuk mengambil sarinya dan ampasnya dibuang. Sari udang tersebut dimasukkan ke dalam belangga kemudian dimasak sambil diaduk-aduk sampai kental.

4.Pencampuran Ketika dimasak dilakukan penambahan gula, sedikit garam, bawang putih, cabai dan merica. Gunanya agar rasa dan aroma semakin nikmat. Sehingga petis memiliki cita rasa yang bagus.

5.Adonan Penambahan tepung tapioka dan tepung arang kayu atau arang jerami dalam pembuatan petis. Arang ini berguna untuk mencegah timbulnya bau tengik pada petis. Sedangkan tepung tapioka berguna untuk petis cepat mengental.

6.Pengentalan Proses terakhir adalah perebusan sampai adonan mengental kira-kira selama 3 jam yang ditandai dengan pengadukan yang terasa berat[14].

Pembuatan metode FMEA ini bertujuan untuk pemberian bobot yang berdasarkan pada severity, occurency, dan detection pada penguraian resiko tiap kecacatan yang ditimbulkan. Dari tiap nilai bobot yang diberikan kemudian menghasilkan nilai Risk Priority Number (RPN). Maka selanjutnya akan dilakukan penyusunan terhadap nilai RPN tertinggi-terendah, penyusunan nilai ini bertujuan untuk mengurutkan tingkat prioritas dari resiko yang harus diperbaiki oleh perusahaan kedepannya. Hasil penyusunan nilai RPN berdasarkan pada nilai tertinggi-terendah. Berikut adalah hasil perhitungan nilai FMEA yang dapat dilihat pada tabel 2[15]:

Proses Produksi S Cause of Failure Mode O Alternatif perbaikan D RPN Ranking
Pencucian 6 Bahan baku kurang bersih 7 Pengecekkan kembali bahan baku 4 168 9
7 Air yang digunakan kotor 8 Pengecekkan air 8 448 1
Perebusan 7 Perebusan tidak sesuai takaran waktu 6 Memakai pengatur waktu perebusan 4 168 10
Penyaringan 8 Ampas tidak terbuang merata 5 Pengecekkan ulang penyaringan 6 240 4
8 Sari-sari banyak yang terbuang 5 Alat penyaringan yang baik 6 240 5
Pencampuran 7 Bahan baku tambahan tidak lengkap 5 Pengecekkan stok bahan baku tambahan 5 175 8
6 Bahan baku tambahan tidak sesuai takaran 7 Melatih pegawai resep petis 6 252 3
7 Bawang putih dan cabai tidak fresh 5 Pemilihan bawang putih dan cabai lebih teliti 4 140 11
Adonan 8 Lupa menambahkan tepung tapioca 6 Mengingatkan menambahkan tepung tapioka 5 240 6
6 Arang jerami yang terlalu sedikit 6 Pengecekkan kuantitas arang jerami 5 180 7
Pengentalan 8 Kekentalan belum sesuai 6 Pengecekkan tingkat kekentalan petis 6 288 2
5 Petis terlalu keras 5 Batas waktu proses pengadukan 4 100 12
Table 2.FMEA

Pada tabel 2 didapatkan hasil RPN pada setiap kegagalan yang terjadi pada masing-masing proses produksi. Dari masing-masing proses produksi mengalami kegagalan yang berbeda-beda. Pada tabel 2 digunakan untuk mencari nilai RPN pada masing-masing kegagalan. Dilakukannya observasi agar dapat menentukan S (Severity), O (Occurance), dan D (Detection) sehingga menghasilkan nilai RPN yang berbeda-beda. Pada tabel 2 telah didapatkan nilai RPN tertinggi pada bahan baku kurang bersih sebesar 448. Nilai RPN tertinggi kedua berada pada kekentalan belum sesuai sebesar 288. Nilai RPN tertinggi ketiga berada pada bahan baku tambahan tidak lengkap sebesar 252.

Berdasarkan tabel 1 sebagai contoh pada kegagalan pertama pada tabel 2 memiliki nilai S O D masing-masing 6, 7, dan 4 dan RPN sebesar 168. Artinya kegagalan tersebut memiliki nilai severity atau nilai keseriusan yang ditimbulkan pada level sedang sehingga potensi penurunan performa karena terdapat fungsi yang tidak optimal, potensi timbul produk cacat, ada potensi penghentian karena kegagalan lainnya. Pada nilai occurance merupakan frekuensi temuan terjadinya kegagalan tersebut yang berada pada level cukup tinggi sehingga angka kemunculan kejadian cukup tinggi (< 2 kali dalam 1 hari). Sedangkan nilai detection merupakan nilai pengukuran kemampuan mengontrol kegagalan pada level cenderung tinggi yang berarti kontrol tidak terlalu efektif. Berikut contoh perhitungan RPN dengan rumus:

RPN1= S x O x D(1)

RPN1= 6 x 7 x 4

= 168

Dari tabel 2 telah diurutkan nilai dari tertinggi sampai dengan terendah untuk mengetahui tingkat resiko yang dialami perusahaan apabila perbaikan tidak segera dilakukan. Hasil pada tabel tersebut nilai RPN yang memiliki nilai diatas 200 adalah pada ranking 1 sampai dengan 6. Ranking tertinggi terdapat pada proses pencucian dengan RPN sebesar 448 yaitu pada air yang digunakan kotor yang menyebabkan produksi petis menjadi terhambat. Uraian kategori nilai RPN tersebut didasari pada nilai penjabaran pada tabel 3:

Level Resiko Skala Nilai RPN
Very Low x < 20
Low 20 ≤ x < 80
Medium 80 ≤ x < 120
Hight 120 x < 200
Very Hight x ≥ 200
Table 3.Kategori Nilai RPN

[16]

Pengkategorian nilai RPN pada tabel 3 membantu perusahaan untuk memilih resiko mana yang harus diperbaiki terlebih dahulu berdasarkan nilai resiko yang tertinggi/ sangat penting. Dari 12 resiko yang ditemukan, terdapat 6 faktor yang memiliki nilai resiko yang sangat tinggi. Maka 6 resiko ini yang kemudian akan diberikan alternatif perbaikan guna memberikan opsi kepada perusahaan untuk menemukan jalan keluar bagi keberlangsungan nilai kualitas produk agar tetap terjaga atau semakin meningkat. Berikut adalah usulan perbaikan seperti pada tabel 4.

No Cause of Failure Mode Usulan Perbaikan
1 Air yang digunakan kotor Pengecekkan air
2 Kekentalan belum sesuai Pengecekkan tingkat kekentalan petis
3 Bahan baku tambahan tidak sesuai takaran Melatih pegawai resep petis
4 Ampas tidak terbuang merata Pengecekkan ulang penyaringan
5 Sari-sari banyak yang terbuang Alat penyaringan yang baik
6 Lupa menambahkan tepung tapioca Mengingatkan menambahkan tepung tapioka
Table 4.Usulan Perbaikan

B.Penyusunan Strategi Meode Analytical Hierarchy Process

Pemilihan kriteria dalam penentuan upaya tindakan perbaikan berdasarkan hasil penyebaran kuesioner kepada pemilik, antara lain:

1. Biaya Perbaikan (BP), kriteria ini merupakan pertimbangan yang diberikan terhadap alternatif tentang biaya yang dikeluarkan jika alternatif tersebut dilakukan.

2. Pengaruh Perbaikan (PP), kriteria ini berarti pertimbangan dari alternatif mengenai seberapa besar pengaruh yang dapat terjadi dengan melakukan tindakan perbaikan tersebut, dalam hal ini seberapa besar tingkat kegagalan yang dapat berkurang.

3. Waktu Perbaikan (WP), kriteria ini merupakan pertimbangan yang diberikan terhadap alternatif tentang waktu yang dibutuhkan jika alternatif tersebut dilakukan.

4. Tingkat Kesulitan (TK), kriteria ini berarti pertimbangan dari alternatif mengenai bagaimana kesulitan yang harus dihadapi jika tindakan perbaikan tersebut dilakukan.

Setelah diketahui kriteria dalam penentuan upaya tindakan perbaikan dan alternatif tindakan perbaikan pada metode FMEA maka dapat dilakukan penyusunan hirarki yang dapat dilihat pada gambar 3.

Figure 3.Strategi Analytical Hierarchy Process

Strategi AHP yang pada gambar 3 memiliki kriteria yang terdiri dari biaya perbaikan, pengaruh perbaikan, waktu perbaikan, dan tingkat kesulitan dengan bobot yang berbeda-beda. Pada strategi tersebut memiliki alternatif yang didapatkan dari usulan perbaikan yang merupakan jawaban dari masing-masing dari 6 kegagalan yang memiliki nilai RPN tertinggi. Sehingga alternatif terpilih nantinya akan menjadi rekomendasi perbaikan yang paling penting untuk dilakukan untuk meningkatkan produktivitas produksi petis.

Pengolahan data AHP pada penelitian ini menggunakan software Expert Choice yang merupakan software yang khusus digunakan untuk pengolahan AHP. Setelah mendapatkan hasil kuesioner AHP dari pemilik UD Fafa Mutiara. Langkah pertama adalah membuat susunan strategi pada halaman utama software. Pada langkah selanjutnya adalah dengan memasukkan hasil kuesioner AHP pada software tersebut. Hasil yang dimasukkan akan membentuk pembototan pada kriteria dan alternatif yang digunakan seperti pada gambar 4.

Figure 4.Software Expert Choice

Software expert choice memiliki syarat nilai inconsistency yang harus dibawah 0,1. Jika nilai tersebut dibawah 0,1 maka data kuesioner yang dimasukkan tidak dapat digunakan atau tidak valid. Data pertama yang diuji nilai pembobotan dan nilai inconsistency adalah nilai dari kriteria, yaitu biaya perbaikan, waktu perbaikan, pengaruh perbaikan, dan tingkat kesulitan seperti pada gambar 5.

Figure 5.Hasil Pembobotan Kriteria

Didapatkan hasil pembobotan kriteria dan nilai inconsistency yang berada dibawah 0,1 sebesar 0,08. Sehingga hasil yang didapatkan akan diurutkan dari bobot yang paling besar hingga yang paling kecil seperti pada tabel 5 berikut.

No. Kriteria Bobot
1 Biaya Perbaikan 0,509
2 Pengaruh Perbaikan 0,285
3 Waktu Perbaikan 0,125
4 Tingkat Kesulitan 0,081
Total 1,00
Table 5.Hasil Pembobotan Kriteria

Hasil AHP baru akan didapatkan dengan memasukkan alternatif yang ada pada kuesioner. Hasil alternatif merupakan hasil keseluruhan dari masing-masing pembobotan kriteria dan juga dari kuesioner. Altenatif disini adalah usulan perbaikan dari kegiatan yang memiliki resiko tinggi. Hasil tersebut diurutkan mulai dari yang tertinggi untuk menentukan strategi mana yang paling bagus untuk meningkatkan produktivitas seperti pada tabel 6.

No Alternatif Nilai
1 Pengecekkan air 0,366
2 Mengingatkan menambahkan tepung tapioka 0,160
3 Melatih pegawai resep petis 0,150
4 Alat penyaringan yang baik 0,147
5 Pengecekkan ulang penyaringan 0,108
6 Pengecekkan tingkat kekentalan petis 0,069
Total 1,00
Table 6.Hasil Alternatif

C.Pembahasan

Hasil pengolahan data penelitian tentang proses produksi petis pada UD Fafa Mutiara untuk menentukan strategi yang dapat meningkatkan produktivitas. Pada metode FMEA mendapatkan hasil RPN yang sangat beresiko adalah 6 kegiatan. Pada keenam kegiatan tersebut memiliki nilai RPN diatas 200 yang menjadi acuan untuk membuat strategi AHP. Nilai RPN tertinggi adalah kegiatan “Air yang digunakan kotor” yang memiliki nilai sebesar 448. Sehingga menandakan kegiatan tersebut sangat serius, banyak terjadi, dan banyak temuan pada saat proses produksi petis. Perlu dilakukan perbaikan dengan strategi yang baik dengan kriteria biaya perbaikan, pengaruh perbaikan, waktu perbaikan, dan tingkat kesulitan[16].

Strategi peningkatan produktivitas menggunakan metode AHP dengan acuan nilai RPN tertinggi dari metode FMEA. Strategi AHP digunakan untuk menentukan pembobotan kriteria dan hasil alternatif. Kriteria dengan bobot yang paling tinggi adalah “Biaya Perbaikan”. Sehingga pertimbangan biaya pada proses perbaikan sangat berpengaruh pada UD Fafa Mutiara. Sedangkan untuk alternatif yang memiliki nilai tertinggi adalah “Pengecekkan air”. Alternatif tersebut dapat dijadikan acuan dalam peningkatan produktivitas produksi petis UD Fafa Mutiara.

Simpulan

Kesimpulan yang diperoleh pada penelitian tentang produksi petis pada UD Fafa Mutiara sebagai berikut. Kegiatan yang menyebabkan resiko tinggi didapatkan dari metode FMEA adalah Air yang digunakan kotor, Kekentalan belum sesuai, Bahan baku tambahan tidak sesuai takaran, Ampas tidak terbuang merata, Sari-sari banyak yang terbuang, dan Lupa menambahkan tepung tapioca. Nilai RPN yang paling tinggi dalam produktivitas produksi petis UD Fafa Mutiara adalah “Air yang digunakan kotor” memiliki nilai RPN sebesar 448.

Startegi AHP yang terbentuk adalah kriteria, antara lain Biaya Perbaikan, Pengaruh Perbaikan, Waktu Perbaikan, dan Tingkat Kesulitan. Kriteria tersebut menjadi pertimbangan pemilik UD Fafa Mutiara dalam perbaikan yang akan dilakukan. Kriteria tertinggi adalah biaya perbaikan karena paling berpengaruh pada produktivitas produksi petis. Sedangkan alternatif yang merupakan usulan perbaikan dapat menjadi rekomendasi untuk meningkatkan produktivitas. Alternatif dengan nilai AHP tertinggi adalah “Pengecekkan air yang digunakan”. Rekomendasi untuk UD Fafa Mutiara dalam meningkatkan produktivitas produksi petis adalah dengan melakukan pengecekkan air yang digunakan pada saat mencuci bahan baku petis. Sehingga bahan baku yang digunakan masih baik dan tidak menyebabkan petis mengalami kecacatan.

Saran pada penelitian ini adalah adalah untuk lebih memanfaatkan kegunaan dari FMEA yang bisa digunakan untuk menganalisa resiko pada 5M (Man, Machine, Materials, Methods, Money). Sehingga pada penelitian berikutnya dapat mengetahui tingkat resiko yang lebih detail dan dapat memberikan rekomendasi perbaikan yang lebih baik.

References

  1. S. H. Maria Agustini, Muhajir, “Mekanisasi dalam Pembuatan Petis Kupang di Desa Balong Gabus Kecamatan Candi Kabupaten Sidoarjo.,” Din. J. Pengabdi. Kpd. Masy., vol. 3, no. 1, pp. 105–111, 2019, doi: 10.31849/dinamisia.v3i1.2729.
  2. M. H. Amiruddin, “Menambah jaringan pemasaran keberbagai daerah di jawa timur.,” JUSTI (Jurnal Sist. Dan Tek. Ind., vol. 1, no. 4, p. 97, 2020.
  3. M. Basjir and Suhartini, “Analisa Risiko Prioritas Perbaikan Kegagalan Proses Penjernihan Air Dengan Metode Fuzzy FMEA Kebutuhan manusia produksinya . Kegagalan adalah suatu kejadian dimana terjadi kondisi,” Tecnoscienza, vol. 03, no. 02, pp. 196–210, 2019.
  4. N. Chandra and E. D. Ratnamurni, “Pengendalian Kualitas Produk Tahu dengan Metode Analytical Hierarchy Process (AHP),” INOBIS J. Inov. Bisnis dan Manaj. Indones., vol. 5, no. 3, pp. 369–383, 2022, doi: 10.31842/jurnalinobis.v5i3.236.
  5. Y. Hisprastin and I. Musfiroh, “Ishikawa Diagram dan Failure Mode Effect Analysis (FMEA) sebagai Metode yang Sering Digunakan dalam Manajemen Risiko Mutu di Industri,” Maj. Farmasetika, vol. 6, no. 1, p. 1, 2020, doi: 10.24198/mfarmasetika.v6i1.27106.
  6. M. K. U. Andina Mayangsari, Farit Al Fauzi, “Pendampingan Pembuatan dan Pemasaran Petis Sehat Cap Merdeka pada Dasawisma Anggrek di Desa Kilensari Kecamatan Panarukan Kabupaten Situbondo,” J. Pengabdi. UNDIKMA J. Has. Pengabdi. Pemberdaya. Kpd. Masy., vol. 3, no. 2, pp. 304–311, 2022.
  7. H. P. I. Misrawi, Neva Satyahadewi, “Sistem Pendukung Keputusan Dalam Pembelian Rumah Yuksel dan Dagdeviren ( 2007 ) menjelaskan tahapan-tahapan yang harus dilakukan untuk mengerjakan ANP . Tahapan pertama yaitu konstruksi model dan penyusunan permasalahan . Bentuk permasalahan harus ditentu,” vol. 08, no. 3, pp. 579–588, 2019.
  8. S. Huda, S. Naviah, F. Teknologi, and P. Universitas, “PKM-Mekanisasi Produksi Petis Udang di UD.Murni Sidoarjo,” Penamas Adi Buana, vol. 04, pp. 33–36, 2020.
  9. A. G. Rizaldi and A. S. Cahyana, “Analisa Resiko Postur Kerja Berdasarkan Hasil Evaluasi Menggunakan Metode Quick Exposure Check,” PROZIMA (Productivity, Optim. Manuf. Syst. Eng., vol. 5, no. 1, pp. 51–62, 2021, doi: 10.21070/prozima.v5i1.1350.
  10. D. Wahjudi and A. Cahyadi, “Implementasi FMEA untuk Peningkatan Produktifitas di PT. X,” J. Tek. Mesin, vol. 19, no. 2, pp. 45–50, 2022, doi: 10.9744/jtm.19.2.45-50.
  11. E. Rizqiah and P. D. Karningsih, “Identifikasi Risiko Supply Chain dengan Mempertimbangkan Kepentingan Stakeholder pada Industri Gula,” PROZIMA (Productivity, Optim. Manuf. Syst. Eng., vol. 1, no. 2, pp. 71–81, 2017, doi: 10.21070/prozima.v1i2.1287.
  12. Y. D. Sinabang and A. Bakhtiar, “Analisis Perbaikan Kualitas pada Produk Minuman Sarsaparilla dengan Menggunakan Metode Failure Mode and Effect Analysis ( FMEA ) dan Criticality Index ( Studi Kasus : PT Pabrik Es Siantar ),” Ind. Eng. Online J., vol. 12, pp. 1–9, 2022.
  13. Aniek Sulestiani Titiek Indhira Agustin Moch. Astral Pangestu Reny Wahyuningtyas, WIRAUSAHA KUPANG, no. Mi. 2021.
  14. A. Surahmat and T. D. Fuady, “Sistem Pendukung Keputusan Penentuan Koperasi Terbaik Dinas Perdagangan Perindustrian Dan Koperasi Menggunakan Metode Analytical Hierarchy Process (Ahp) Di Kota Serang,” J. Innov. Futur. Technol., vol. 4, no. 1, pp. 67–76, 2022, doi: 10.47080/iftech.v4i1.1745.
  15. R. Viyanti, Sumardianto, and S. Suharto, “Penggunaan Air Pindang Ikan Berbedaterhadap Kandungan Asam Glutamat Pada Petis,” PENA Akuatika, vol. 18, no. 2, pp. 23–33, 2019.
  16. B. D. Cahyabuana, “Konsistensi Penggunaan Metode FMEA Terhadap Penilaian Risiko Teknologi Informasi (Studi Kasus : Bank XYZ),” J. Sist. Inf., vol. 1, no. 2, pp. 5–11, 2018.