Prosecutorial Power: Ending Prosecutions Through Restorative Justice Principles
Innovation in Social Science
DOI: 10.21070/ijins.v25i.1037

Prosecutorial Power: Ending Prosecutions Through Restorative Justice Principles


Kekuasaan Penuntutan: Mengakhiri Penuntutan Melalui Prinsip-Prinsip Keadilan Restoratif

Universitas Islam Malang
Indonesia
Universitas Islam Malang
Indonesia

(*) Corresponding Author

Termination of Prosecution Criminal Restorative Justice

Abstract

This data article delves into the evolving landscape of criminal law enforcement through the lens of prosecutors' authority to terminate prosecutions using restorative justice principles. Utilizing a normative research approach, it scrutinizes Attorney General Regulation Number 15 of 2020 on Termination of Prosecution Based on Restorative Justice alongside statutory regulations Number 11 of 2021 and the concept of restorative justice itself. The study reveals that prosecutors indeed possess the power to end prosecutions when cases are resolved outside the courtroom, as evidenced by the issuance of the Decree on Termination of Prosecution (SKPP). This approach, rooted in article 35 paragraph (1) letters c and J of the Republic of Indonesia Prosecutor's Law, signifies a delegation of authority from the Attorney General to the Public Prosecutor. These findings emphasize the compatibility of restorative justice practices with the fundamental objectives of criminal law enforcement.

Highlights:

  • Prosecutor's Authority: Prosecutors have the authority to discontinue prosecution based on restorative justice principles.
  • Out-of-Court Settlement: SKPP is issued after out-of-court settlement of criminal cases through restorative justice mechanisms.
  • Legal Basis: The legal basis for such action is the Indonesian Prosecutor Law Article 35 paragraph (1) letter c and J, which confirms the delegation of authority from the Attorney General to the Public Prosecutor.

Keywords: Termination of Prosecution, Criminal, Restorative Justice

Pendahuluan

Belakangan ini masih marak pemberitaan perkara kejahatan sudah menjadi asupan publik, banyak warga beranggapan bahwasanya pemidaan terhadap sebagian pelaku tindak pidana dianggap sangatlah kaku dan sudah selayaknya tidak dilakukan, mereka beranggapan bahwa pemidanaan bukanlah solusi terbaik untuk menyelesaikan perkara. Dalam wilayah Kejaksaan Agung khsusnya dalam melakukan penyelesaian perkara di tingkat penuntutan berasarkan Keadilan Restoratif banyak perkara diselesaikan diluar peradilan pidana. Terpenuhinya penyelesaian di laur peradilan pidana dikarenakan perkara yang bersangkutan terpenuhi syarat-syarat penyelesaian secara Keadilan Restoratif yakni ancaman pidana di bahwa 5 (lima) tahun dan adanya perdaiaman antara korban dan pelaku.[1]

Kemudian dalam perkembangannya, terkait konsepsi hukum pidana yang berkembang terdapat pergeseran paradigma, yang mana ada beberapa pandangan baru terkait teori pemidanaan. Pada awalnya, pemidanaan dianggap sebagai pembalasan, oleh karena itu dalam teori absolut atau teori pembalasan, pemidanaan terjadi karena orang telah melakukan kejahatan, maka dasar pembenarannya adalah kejahatan itu sendiri. Tujuan mendasar dari pemidanaan menurut teori absolut adalah untuk memenuhi kebutuhan keadilan, sedangkan akibat-akibat yang baik merupakan hal yang sekunder, seperti yang dikemukakan oleh Johanes Andenaes, tuntutan absolut dari keadilan dapat dilihat dengan menggunakan lensa Immanuel Kant dalam bukunya Filsafat Hukum [2].

Ahli hukum Subekti berpendapat “Tujuan Hukum adalah terselenggaranya peneggakan beserta ketaatan yang didukung dengan syarat-syarat tertentu dalam rangkan untuk mendapatkan ketertiban dalam masyarakat. berdasarkan hal itu maka hukum tidak hanya harus mencari keseimbangan antara kepentingan yang bertentangan tetapi lebih lagi, hukum harus menemukan keseimbangan antara tuntutan dari seseorang, tuntutan masyarakat, dan kepastian hukum. Dengan begitu tujuan untuk mendakwa pelaku dari sebuah kejahatan dapat terwujudkan secara adil dan proporsional. Karena itu aparat penegak hukum harus mengupayakan ketentuan-ketentuan tersebut terlaksana agar tujuan hukum itu dapat terwujudkan.

Dalam proses penegakan hukum pidana oleh Kejaksaan, dinahkodai oleh Jaksa Agung. Jaksa Agung yang memegang kendali atau mengomando wewenang dan tugas Jaksa, selain itu Jaksa Agung memiliki kewenangan dalam menangani perkara untuk dikesampingan dalam kategori perkara untuk kepentingan umum. Hal tersebut adalah perwujudan dari asas Oportunitas. Sebagaimana termuat dalam ketentuan Undang-Undang Kejaksaan Republik Indonesia [3].

Dewasa ini ada pergeseran paradigma dalam hal penjatuhan pidana, paradigma baru dalam penegakan hukum pidana bukan lagi pembalasan namun lebih kepada upaya pemulihan keadaan yang biasa dikenal dengan sebutan restorative justice. Wasley Oragg menghubungkan pertumbuhan teori keadilan restoratif dengan munculnya teori balas dendam dalam hukum pidana, dengan alasan bahwa balas dendam kurang efektif dalam menekan terjadinya kejahatan. Selain itu, teori ini juga tidak berdaya untuk memberikan kompensasi kepada korban atas kerugian yang dideritanya. Akibatnya, muncul gerakan untuk menggeser paradigma penghukuman dari pembalasan dendam menuju keadilan restoratif [4].

Selain yang ditegaskan oleh Wasley oragg juga ada beberapa dampak lain jika penegakan hukum pidana hanya menggunakan paradigma teori absolut yakni adanya over capacity di Lapas. Setiap tahunnya jumlah tahanan lapas semakin meningkat, seperti yang di kabarkan oleh media CNN, Kepadatan di penjara adalah masalah kronis yang tidak pernah selesai. Menurut laporan Judicial Monitoring Group pada Maret 2020, saat ini terdapat 270.466 narapidana di penjara-penjara di Indonesia.

Selaras dengan itu, teori asosiasi diferensial seperti yang di kemukakan oleh Edwin H. Sutherland berpendapat adanya tindakan kriminal dari pelaku kejahatan lahir dari lingkungan sosial dengan dipelajari dari berbagai cara.[5] Sehingga dari gagasan Edwin Sutherland tidak menutup kemungkinan bahwa dilapas akan terjadi transfer ilmu kriminal. Sehingga narapidana bukan terdidik dengan baik melainkan belajar ilmu kriminal baru. Beranjak dari itu, paradigma pidana sebagai pembalasan dewasa ini dianggap sudah tidak sesuai, sehingga penegakan hukum pidana harus dilakukan dengan pendekatan baru yaitu pendekatan restorative justice.

Telah banyak produk hukum yang dihasilkan sebagai output dari penyelesaian perkara dengan pendekatan (restorative justice) atau biasa disebut keadilan restoratif, dalam dunia praktek terkhusus di lembaga Kejaksaan sudah sering dikeluarkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP). Namun harus diperhatikan bahwasanya pengeluaran SKPP tersebut harus sesuai pedoman Peraturan Jaksa Agung Nomor 15 Tahun 2020 Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif, adanya ketentuan diatas maka hal ini menjadi hal baru yang perlu dilakukan pengkajian lebih mendalam. Hal ini semata-mata guna pelaksanaan penegakan hukum yang lebih baik. Dari uraian isu permasalahan tersebut, maka dalam penelitian ini akan berusaha mengkaji lebih jauh mengenai kewenangan Jaksa Penuntut Umum untuk melakukan penghentian penuntutan dalam sebuah perkara pidana berdasarkan keadilan restoratif.

Metode

Dalam penelitian ini menggunakan penelitian hukum normatif.Pada penelitian ini membahasterkait dengan kewenangan Jaksa Penuntut Umum untuk melakukan penghentian penuntutan dalam sebuah perkara pidana berdasarkan keadilan restoratif. Pelaksanaan penelitian diawali dengan mengkaji ketentuan Peraturan Jaksa Agung Nomor 15 Tahun 2020 Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif terhadap ketentuan Peraturan Perundang-undangan Nomor 11 tahun 2021 tentang Kejaksaan Republik Indonesia dan konsep restorative justice. Sedangkan untuk pendekatan penelitian dalam mengkaji isu hukum yang diangkat, peneliti menggunakan pendekatan statute approach, conseptual approach, serta case approach. Merujuk pada pendapat Peter Mahmud Marzuki penelitian normative merupakan sebuah proses mecari jawaban atas permsalahan yang dikaji dengan menelaah aturan-aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, dan bisa juga melalui dokrin serta teori terkait [6].

Hasil dan Pembahasan

A. Kewenangan Jaksa Penuntut Umum Untuk Melakukan Penghentian Penuntutan Dalam Sebuah Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restorative

Secara yuridis, Kekuasaan yang diberikan oleh undang-undang untuk mencapai efek hukum disebut sebagai kewenangan. Dalam bahasa Bagir Manan, wewenang dalam istilah hukum tidak sama dengan kekuasaan. Kekuasaan semata-mata menunjuk pada kemampuan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Dalam hukum, kewenangan mengacu pada hak dan tanggung jawab. Dalam otonomi daerah, hak vertikal merujuk pada kemampuan untuk mengatur diri sendiri, sedangkan kewajiban horizontal merujuk pada kemampuan untuk menyelenggarakan pemerintahan sebagaimana mestinya. Kekuasaan vertikal menunjukkan kemampuan untuk menjalankan pemerintahan dalam batas-batas badan legislatif negara secara keseluruhan [7].

Penegakan hukum pidana di Indonesia dilaksanakan oleh beberapa lembaga, diantaranya yaitu lembaga kepolisian, lembaga kejaksaan, dan kehakiman. Setiap lembaga melaksanakan tugasnya secara independen dan mandiri. Lembaga atau otoritas tidak dapat melakukan intervensi karena kewenangan masing-masing lembaga dijamin oleh undang-undang. Dalam hukum, kewenangan dicirikan sebagai kemampuan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan untuk menimbulkan akibat hukum. Menurut H.D. Stoud, “bevoegheid wet kanwordenomscrevenals het gehele van bestuurechttelijkebevoegheden door publiekrechtelijkerechtssubjecten in het bestuurechtelijkerechtsverkeer,” kewenangan dapat didefinisikan sebagai “keseluruhan aturan yang berkaitan dengan perolehan dan penggunaan wewenang pemerintah oleh subjek hukum publik dalam hukum publik.”[8]

Negara Indonesia mempunyai berbagai instrumen penting dalam penegakan hukum, hal ini tergambar dari konsep dasar Undang-Undang Dasar 1945, pasal 1 ayat 3 bahwa Negara Indonesia merupakan Negara hukum. Dengan demikian tidak berlebihan jika instrumen penegakan hukum menjadi tombak presisi yang wajib dan harus di tegakkan.

Adanya perbedaan cara pandang dalam penegakan hukum tentu berimplikasi pada desain, organisasi, komposisi dan kedudukan aparat penegak hukum, termasuk lembaga peradilan. Apakah organisasi Kejaksaan Agung bersifat sentralistik atau desentralisasi pada suatu daerah otonom, atau kombinasi keduanya? Lebih lanjut, dalam sistem pemidanaan diperlukan pembenahan dari aparat penegak hukum di antaranya kepolisian, kejaksaan dan peradilan. Pada akhirnya, setiap lembaga peradilan harus benar-benar mewujudkan sifat-sifat integritas, keadilan, penghormatan terhadap konstitusi dan otoritas pemerintah, kejujuran, keberanian, dan kasih sayang agar setiap penegak hukum dapat menyikapi berbagai kejadian dan kondisi secara arif dan bijaksana [9].

Dari antara berbagai subsistem dalam sistem hukum, kantor jaksa penuntut umum (JPU) memainkan peran penting dalam penuntutan kasus pidana. Jaksa memainkan peran strategis yang penting dalam penegakan hukum pidana, yang berfungsi sebagai penyaring tindak lanjut kasus pidana. Oleh karena itu, kejaksaan merupakan pihak yang memiliki kewenangan untuk melakukan penuntutan terhadap suatu perkara dalam proses persidangan di depan Majelis Hakim dalam rangka melakukan kegiatan penegakan hukum [10]. Data dan fakta yang diberikan sebagai bahan mentah dalam tahap penuntutan dan investigasi akan diperiksa dan dinilai selama sesi pemeriksaan Pengadilan. Sebagai hasilnya, temuan-temuan dari penelitian ini akan mempengaruhi kelancaran dan keefektifan proses dan penyelesaian kasus-kasus pidana secara keseluruhan [11].

Lembaga kejaksaan merupakan Lembaga yang memiliki kuasa penuh dalam hal penuntutan, yang mana kewenangan tersebut terdapat pada ketentuan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004. Pelaksanaan kewenangan tersebut dilakukan secara independen, pengertiannya adalah dalam pelaksanaan penuntutan jaksa tidak boleh dipengaruhi oleh lembaga lain termasuk penguasa [12]. Intervensi dalam bentuk apapun tidak diperkenankan, kekuasaan penuntutan sepenuhnya dikendalikan dan dilaksanakan oleh Lembaga kejaksaan. Kejaksaan dalam kedudukannya yaitu sebagai intansi fungsional yang memiliki kewenangan melakukan penuntutan dijamin dalam peraturan perundang-undangan dengan bertindak untuk menjadi penuntut umum dalam melaksanakan ptusan peradilan berkekutan hukum tetap dan kewenangan berdasarkan undang-undang.

Lembaga kejaksaan dalam melaksanakan kewenanganya secara mandiri dalam bidang penuntutan sudah tertung jelas dalam ketentuan UU No. 11 tahun 2021. Dari segi kelembagaan kejaksaan merupakan instansi yang menjalankan kewenanganya dalam bidang yudikatif meskipun pada kenyataannya kedudukan kejaksaan masih berada dibawah kekuasaan lembaga eksekutif. Sebagai badan peradilan, Kejaksaan melaksanakan tugas, fungsi, dan kewenangannya secara independen. Kelembagaan ini tidak dapat dicampuri oleh badan pemerintah. Artinya, negara, melalui peraturannya, memastikan perlindungan terhadap Jaksa dalam melaksanakan tugas profesionalnya, menjauhkannya dari pengaruh atau intervensi yang tidak pantas.

Keberadaan Jaksa Penuntut Umum dalam sistem pemidanaan merupakan filter yang menyaring perkara pidana apakah perkara tersebut layak untuk disidangkan. Apabila JPU merasa perkara kurang bukti atau berkas tidak lengkap maka berkas perkara dikembalikan pada penyidik. Dengan mengacu pada doktrin hukum yang berlaku, Kejaksaan memiliki monopoli dalam penuntutan. Oleh karena itu, seseorang hanya dapat diadili jika Kejaksaan melakukan penuntutan, karena hanya Kejaksaan yang memiliki kewenangan untuk menyampaikan tuntutan terhadap terdakwa atau pelaku tindak pidana di hadapan persidangan [13]. Peran yang demikian menuntut seorang jaksa untuk tidak hanya memiliki pemahaman mendalam dalam disiplin hukum pidana, melainkan juga dalam disiplin hukum perdata dan tata usaha negara. Seorang jaksa harus memiliki pengetahuan yang komprehensif bukan hanya terkait dengan hukum positif yang bersifat umum (lex generalis), melainkan juga terhadap hukum yang bersifat khusus (lex specialis) yang semakin banyak bermunculan akhir-akhir ini.

Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, penuntut umum harus memiliki kemampuan untuk menghasilkan kepastian hukum, menjaga ketertiban hukum, memastikan keadilan dan kebenaran, serta memegang teguh norma agama, kesusilaan, dan etika. Selain itu, penuntut umum diharapkan untuk melakukan penelitian terhadap nilai-nilai kemanusiaan, hukum, dan keadilan yang berlaku dalam masyarakat. Kejaksaan Agung juga perlu terlibat secara aktif dalam proses pembangunan, termasuk memberikan kontribusi dalam menciptakan kondisi dan infrastruktur yang mendukung serta menjaga keamanan pelaksanaan pembangunan, dengan tujuan mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Kejaksaan Agung juga diamanatkan untuk berpartisipasi dalam penegakan hukum, pengawasan pemerintahan, serta melindungi kepentingan rakyat melalui penegakan hukum [14].

Penegakan hukum, tidak terlepas dari yang namanya penyidikan, penuntutan. Ketika berbicara tentang penghentian penuntutan, penting untuk membedakan bahwa hal ini tidak selalu berarti mengabaikan perkara demi kepentingan umum. Meskipun pada prinsipnya, keduanya dapat dianggap sebagai tindakan yang berbeda, tetapi dalam praktiknya, penghentian penuntutan dapat dilakukan tanpa harus mengajukan perkara pidana ke pengadilan yang berwenang. Selain itu dalam ketentuan KUHP baru Pasal 132 menjelaskan mengenai gugurnya kewenangan penuntutan, yaitu kewenangan menuntut dinyatakan gugur apabila: 1) telah ada putusan pengedilan yang bekekuatan hukum tetap mengadili perkara yang sama; 2) terdakwa meninggal; 3) daluarsa; 4) maksimum pidana denda telah dibayar dengan sukarela untuk tindak pidana yang diancam dengan tindak pidana denda katagori II; 5) maksimum pidana denda telah dibayar untuk tindak pidana yang diancam dengan tindak pidana penjara 1 tahun atau tindak pidana denda katagori III; 6) ditariknya pengaduan; 7) telah ada penyelesaian perkara diluar peradilan; 8) diberikan amnesti atau abolisi.

Herbert L. Packer, dalam bukunya yang berjudul “The Limits of the Criminal Sanction” membagi model penegakan hukum pidana menjadi dua, yaitu Crime Control Model (CCM) dan Due Process Model (DPM). Menurut kutipan yang diambil oleh Rusli Muhammad, dalam konteks penegakan hukum pidana di Indonesia, cenderung lebih menekankan sistem peradilan pidana berdasarkan Due Process Model dan kurang menonjolkan Crime Control Model: [15]

Parkcer berpendapat bahwasanya bahwasanya dokrin dalam CCM terkenal dengan istilah asas praduga tak bersalah, doktrin ini merupakan dokrin yang memberikan penegasan terhadap eksistensi kekuasanaan sebagai penguasa. Penggunaan hukum penguasa harus berjalan secara maksimal terhadap pelaku kejahatan, sehingga CCM menekankan penggunaan pidana yang berat sebagai solusi penyelesaian tindak pidana. Pengguna kekuasaan dari penguasa seperti halnya lembaga kepolisian dan kejaksaan tidak boleh memberikan kelonggaran terhadap pelaku kejahatan. Sanksi pidana harus berjalan secara efektif tidak boleh ada kelonggaran dalam penjatuhan sanksi pidana meskipun pada akhirnya akan melanggar hak-hak para pelaku tindak pidana.

a. Model Crime Control (CCM) didasarkan pada pandangan bahwa perilaku kriminal harus segera ditindak, dan proses peradilan pidana menjadi jaminan positif bagi ketertiban umum. Dalam mencapai tujuan yang sangat penting ini, CCM menegaskan bahwa perhatian utama harus difokuskan pada efisiensi, yang dianggap sebagai hal yang paling penting. Konsep ini juga menawarkan terkait dengan mencegah terjadinya kejahatan seperti langkah preventif.

b. Model Due Process, sebagai reaksi terhadap Crime Control Model (CCM), pada dasarnya menitikberatkan pada hak-hak individu dengan upaya pembatasan terhadap wewenang penguasa. Dengan kata lain, proses pidana dianggap harus dapat diawasi atau dikendalikan oleh hak-hak asasi manusia, tidak hanya fokus pada efisiensi maksimal seperti yang terjadi dalam CCM, melainkan juga pada prosedur penyelesaian perkara. Pembatasan terhadap kekuasaan pemerintah ini mencerminkan ideologi atau cita-cita Due Process Model (DPM) yang mencakup apa yang dikenal sebagai mithoritarian values, atau nilai-nilai keterbatasan kekuasaan yang sewenang-wenang.

Kebijakan penegakan hukum terhadap pertumbuhan kejahatan bertujuan untuk menanggulangi tindak pidana melalui penegakan hukum sebagai bentuk keadilan untuk perlindungan bagi masyarakat untuk mendapatkan kemaslahatan bersama, dikarenakan kebijakan penaggulangan kejahatan pada intinya merupakan satu kesatuan atau tindakan (crime policy) [16].

Oleh karena itu kebijakan kekuasaan penuntutan merupakan bagian dari tujuan untuk melindungi masyarakat (pertahanan sosial) dan mengejar kesejahteraan sosial. Kebijakan ini secara bertahap mulai diwujudkan setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya Pada tanggal 17 Agustus 1945, meskipun terjadi kemerdekaan, sistem hukum yang berlaku tidak langsung mengalami perubahan. Untuk mengatasi hal ini, peraturan perundang-undangan yang berlaku sebelum kemerdekaan tetap berlaku selama tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.

Penjatuhan pidana atau pemidanaan haruslah memiliki tujuan, karena pada dasarnya pembentukan peraturan perundang-undangan memiliki cita-cita yang ingin dicapai. Jika bercermin pada sejarah perkembangan hukum pidana di Indonesia ada beberapa teori yang membahas mengenai tujuan dari pemidanaan yaitu teori absolut, relatif, dan gabungan.

Dalam pandangan teori absolut penjatuhan pidana merupakan suatu wujud mutlak sebagai akibat dari kejahatan. Setiap orang yang melakukan kejahatan haruslah dijatuhi pidana. Dapat disimpulkan dasar pembenar dalam perbuatan seseorang adalah kejahatan tersebut. Sehingga setiap orang yang telah terbukti melakukan kejahatan maka tidak ada alasan pembenar terhadap perbuatan tersebut. Seperti yang dikemukakan oleh Andenaes bahwasanya penjatuhan pidana memiliki tujuan primer yaitu memberikan kepuasan terhadap tuntutan keadilan. Setiap orang haruslah menerima balasan atas setiap tindakan yang mereka lakukan. Tidak boleh ada pengecualian didalamnya. Seseorang haruslah bisa merenungi setiap akibat dari tindakan yang dia lakukan. Acap kali teori absolut ini disebut dengan teori pembalasan [17].

Teori Absolut dalam pelaksanaannya tidaklah harus memperhatikan tujuan hukum secara praktis, semisal untuk memperbaiki penjahat agar bisa diterima lagi oleh masyarakat. Fokus dari penyelesaian tindak pidana adalah pada kejahatan itu sendiri. Sehingga sudah selayaknya pelaku dari sebuah tindak kejahatan diberikan balasan yaitu penjatuhan pidana secara mutlak. Adanya hal ini mengenyampingkan manfaat dari penjatuhan pidana terhadap pelaku.

Ketika penjatuhan pidana mengenyampingkan tujuan pidana maka secara nyata menurut faham teori absolut ini penjatuhan pidana merupakan wujud dari balas dendam. Dalam berjalannya waktu teori absulut ini dipandang terlalu kaku dan kurang memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan. Sehingga teori absolut ini kurang bisa mengakomodir terhadap cita-cita terwujudnya pembinaan terhadap pelaku kejahatan agar menjadi manusia yang lebih baik.

Ada beberapa prinsip dalam penuntutan tindak pidana, yaitu : [11]

Terdapat beberapa tahapan dalam hukum acara pidana di Indonesia apabila terjadi suatu perkara pidana, yang dibagi ke dalam 5 (lima) tahapan, yaitu:

1. Prinsip Legalitas adalah asas yang mewajibkan penuntut umum untuk menjalankan dakwaannya terhadap tersangka yang sedang atau seharusnya dituntut. Dengan kata lain, jika suatu tindak pidana dapat dibuktikan kebenarannya, penuntut umum tidak diperbolehkan menarik kembali dakwaan dengan alasan apapun. Prinsip ini mengikuti hukum semata, hanya berdasarkan teks hukum yang berlaku.

2. Asas ini tidak mengharuskan jaksa untuk mengajukan dakwaan terhadap setiap pelanggaran yang dilakukan oleh seseorang, melainkan hanya jika dapat dibuktikan bahwa tersangka memang terlibat dalam perbuatan tersebut.

Terdapat beberapa tahapan dalam hukum acara pidana di Indonesia apabila terjadi suatu perkara pidana, yang dibagi ke dalam 5 (lima) tahapan, yaitu:[18]

1.Tahap penyidikan oleh penyidik (Pasal 1 ayat (5) KUHAP) dan penyidikan (opsporing) dilaksanakan oleh penyidik (Pasal 1 ayat 2 (KUHAP);

2.Tahap prapenuntutan (Pasal 14 huruf b) dan penuntutan (vervolging) dilaksankan oleh Penuntut Umum (Pasal 1 ayat (7) KUHAP);

3.Tahap pemeriksaan di Pengadilan atau mengadili (rechspraak) dilaksanakan oleh Hakim (Pasal 1 ayat (9) KUHAP);

4.Tahap melaksanakan putusan Hakim (executie) dilaksanakan oleh Jaksa (Pasal 1 ayat (11) KUHAP);

5.Tahap pengawasan pelaksanaan hukuman dilaksanakan oleh Hakim

Dalam berbagai wewenang yang dimiliki oleh penuntut umum yang terkait dengan prinsip yang telah disebutkan sebelumnya, terdapat ketentuan yang diatur dalam Pasal 14 KUHAP pada sub d, e, f, dan g. Namun, dalam konteks sistem penuntutan yang berprinsip Opportunitas, tidak terdapat rumusan khusus yang mencakup hal tersebut pada sub g Pasal tersebut, yaitu penutupan perkara demi kepentingan hukum. Penutupan perkara demi kepentingan hukum, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 14 sub h KUHAP, menjadi dasar penghentian penuntutan yang diperkuat oleh rumusan Pasal 140 ayat (2) a KUHAP.

Pasal 140 ayat (2) a KUHAP, menentukan :

“Dalam hal penuntut umum memutuskan untuk menghentikan penuntutan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana dan atau perkara ditutup demi hukum, penuntut umum menuangkan hal tersebut dalam surat ketetapan.

Dapat ditekankan bahwa hanya Kejaksaan yang memiliki kewenangan untuk melakukan tindakan penuntutan dan menghentikan penuntutan dalam sistem hukum Indonesia. Namun, perlu dicatat bahwa tidak semua jaksa memiliki peran sebagai jaksa Penuntut Umum. Artinya, tidak setiap jaksa memiliki kewenangan untuk melakukan penuntutan atau menghentikan penuntutan. Hanya jaksa yang mendeteksi dan menangani perkara pidana yang dapat berperan sebagai jaksa Penuntut Umum dan memutuskan apakah akan melanjutkan atau menghentikan penuntutan berdasarkan pertimbangan hukum dan kepentingan umum.

Selanjutnya bila berpatokan pada UU Kejaksaan No. 16 Tahun 2004 dan KUHAP implementasi terkait pengehentan penuntutan untuk kepentngan umum ini cukup sulit direalisasikan. Karena asas oportunitas ini hanya dimiliki oleh Jaksa Agung, sehingga adanya hal itu menyebabkan apabila ada jaksa yang memiliki keinginan untuk mengenyampingkan persoalan yang berkaitan dengan kepentingan umum harus mengajukan dulu kepada Jaksa Agung dengan berbagai mekanisme hierarki kejaksaan. Beberapa poin penting demikian tidak membutuhkan waktu yang sangat lama sedikit sehingga dalam prakteknya jarang sekali jaksa-jaksa didaerah mengajukan pengenyampingan perkara demi kepentingan umum. Adanya hal itu menyebabkan jaksa penuntut umum lebih memilih melanjutkan perkara melalui mekanisme peradilan meskipun pada sebagian kasus dianggap mencederai rasa keadilan dalam masyarakat.

Dengan diberlakukannya Undang-Undang No. 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, ada peluang delegasi sebagian kewenangan Jaksa Agung dalam hal penuntutan kepada Penuntut Umum. Hal ini diatur dalam Pasal 35 ayat (1) huruf I yang menyatakan, “Jaksa Agung memiliki tugas dan wewenang untuk mendelagasi sebagian kewenangan penuntutan kepada Oditur Jenderal untuk melaksanakan penuntutan,” serta Pasal 35 ayat (2) huruf J yang menyebutkan, “Jaksa Agung memiliki tugas dan wewenang untuk mendelagasi sebagian kewenangan penuntutan kepada Penuntut Umum untuk melaksanakan penuntutan.” Dengan demikian, hal ini memberikan kemungkinan bagi beberapa jaksa Penuntut Umum untuk melaksanakan tindakan penuntutan dengan pemberian wewenang dari Jaksa Agung. Adanya pendelegasian kewenangan ini memberikan kemudahan bagi Penuntut Umum dalam hal penghentian penuntutan. Sehingga penyelesaian perkara pidana diluar peradilan bisa dilakukan secara maksimal.

Kemudian dalam pasal 35 ayat (2) menyebutkan “ketentuan lebih lanjut mengenai pendelegasian kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hurf I dan Huruf J diatur dengan peraturan kejaksaan.” Adanya pengaturan baru ini, dalam hal pendelegasian sebagian kewenangan Jaksa Agung membuka ruang kemudahan bagi Penuntut Umum untuk melakukan penyelesaian perjara diluar peradilan atau sekarang biasa dikenal dengan pendekatan keadilan restoratif [19].

Dalam implementasi di lapangan terkait penyelesaian kasus melalui pendekatan keadilan restoratif, perlu diterbitkan Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 mengenai Penghentian Penuntutan dengan Dasar Pendekatan Keadilan Restoratif, sehingga pelaksanaannya dapat berjalan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Peraturan Jaksa inilah yang menjadi pedoman bagi para Penuntut Umum dalam melakukan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif. Pelaksanaan penghentian penuntutan harus ada satandar pelaksanaannya, hal ini dalam rangka menghindari penyalahgunaan kewenangan oleh para aparat penegak hukum. Disisi lain mengenai pentingnya pedoman pelaksanaan penyelesaian perkara diluar peradilan berdasarkan keadilan restoratif adalah menghindari diskresi yang berlebihan dari penuntut umum. Semangat restorative justice merupakan terobosan baru dalam ketentuan hukum pidana guna mencari keadian yang berimbang antara kedua belah pihak bukan sekedar peniadaan pidana yang bersifat pembalasan.

Berikutnya terkait kewenangan penuntutan, Penuntut Umum bisa malakukan diskresi dengan tetap memperhatikan beberapa peraturan yang berlaku. Hal itu bisa dilihat pada keterangan pasal 34A menyatkan:

“Prinsip diskresi yang diatur dalam pasal 139 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana ialah ("setelah penuntut umum menerima kembali hasil penyidikan yang lengkap dari penyidik, ia segera menentukan apakah berkas perkara itu sudah memenuhi persyaratan untuk dapat atau tidak dilimpahkan ke pengadilan.") Pengaturan kewenangan ini dilakukan tanpa mengabaikan prinsip tujuan penegakan hukum yang meliputi tercapainya kepastian hukum, rasa keadilan, dan manfaatnya sesuai dengan prinsip restoratiue justice dan diversi yang menyemangati perkembangan hukum pidana di Indonesia. Untuk mengakomodasi perkembangan di masyarakat yang menginginkan tindak pidana ringan atau tindak pidana yang bernilai kerugian ekonomis rendah tidak dilanjutkan proses pidananya dalam prinsip upaya penegakan hukum yang mengutamakan keadilan”

Adanya ketentuan dalam penjelasan pasal diatas maka dapat dipahami dalam hal pengentian penuntutan demi kepentingan umum atau oportinitas yang dulu dimiliki oleh Jaksa Agung dengan berlandaskan pasal ini maka jaksa penuntut umum juga memiliki kewenangan tersebut. Dapat disebutkan bahwasanya adanya Pasal 34A UU Kejaksaan No. 11 Tahun 2021 sebagai dalam jembatan kewenangan penghentian penuntutan atau tidak dilanjutkannya berkas perkara ketahap persidangan dan tentunya tetap memperhatikan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Dengan memiliki kebijaksanaan atau diskresi yang berupa kewenagan untuk menyelesaikan perkara diluar peradilan setiap jaksa dapat menggali dan menemukan Prinsip-prinsip keadilan yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakat. Sebab dasar dari rechvinding (Penemuan hukum) adalah adanya kemudahan bagi jaksa untuk melakukan penyelesaian perkara pidana dengan mengedepankan prinsip non penal. Penemuan hukum oleh jaksa harus diteliti secara seksama agar bisa memberikan manfaat yang besar bagi pencari keadilan terutama dalam terwujudnya keadilan [19]. Namun meskipun demikian soal diskresi ini akan menjadi polemik apabila pelaksanaanya dilakukan secara terlalu bebas apalagi dilakukan secara melawan hukum.

Apabila dikaitkan dengan kebijaksanaan/diskresi jaksa dalam praktek penegakan hukum pidana Maka mengutip pendapat R. Dworkin dan H.L.A Hart dalam teorinya yang berjudul “doughnout theory of discretion” menjelaskan bahwasanya domain diskresi berada pada lingkaran sebuah donat. Hal ini menunjukkan bahwasanya diskresi merupakan area kosong ditengah-tengah layaknya lingkaran dalam donat, belum diatur secara terperinci dalam sebuah undang-undang. Namun meskipun demikian diskresi pejabat dalam hal ini jaksa harus selalu memperhatikan peraturan perundang-undangan, keterampilan pengetahuan, dan wawasan terhadap tujuan yang ingin dicapai dari setiap kebijakan atau diskresi yang dikeluarkan [20].

jaksa atau penuntut umum tidak pernah bebas melakukan suatu diskresi dalam penghentian penuntutan dengan tidak berpatokan pada hukum sama sekali, melainkan pelaksanaan diskresi harus tetap berdasar pada prinsip-prinsip moral yang merupakan bagian dari hukum itu sendiri. Dengan kata lain dapat dikatakan pelaksanaan diskresi oleh jaksa harus selalu didasarkan pada rasa keadilan dan dilaksanakan secara bertanggung jawab serta memperhatikan kaedah/norma yang ada.

Simpulan

Pelaksanaan penghentian penuntututan oleh JPU dalam sebuah perkara pidana merupakan perbuatan yang tidak dilarang. Karena kewenangan tersebut telah diatur dalam ketentuan Pasal 35 Ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 2021 perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Dalam ketentuan undang-undang tersebut memuat adanya pendelegasian sebagian kewenangan Jaksa Agung kepada JPU untuk mengenyampingkan perkara. selain itu penghentian perkara oleh jaksa penuntut telah sesuai dengan perkembangan paradigma penegakan hukum pidana yang awalnya bersifat retributif menjadi pendekatan restorative. Dimana penyelesaian perkara pidana bukan lagi bersifat pembalasan melainkan lebih pada pemulihan keadaan semula yang mana tetap memperhatikan kepentingan hukum korban. Perkembangan dimasa mendatang KUHAP harus memberikan kejelasan dalam penerapan prinsip pendekatan keadilan restoratif, perlu ada pengaturan yang lebih detail mengenai kewenagan jaksa terkait penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif untuk dipedomani jaksa penuntut umum ditingkat daerah

References

  1. Detik, “Undang-Undang Pemerintahan dalam Upaya Pemberantasan Korupsi,” Detik.com, 2023.
  2. Muladi and B.N. Arief, "Teori-Teori dan Kebijakan Hukum Pidana," PT Alumni, Bandung, 1992.
  3. I. K. D. Santosa, N. P. R. Yuliartini, and D. G. S. Mangku, “Pengaturan Asas Oportunitas Dalam Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia,” Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan Undiksha, vol. 9, no. 1, pp. 70–80, 2021.
  4. W. Cragg, "The Practice of Punishment: Toward a Theory of Restorative Justice," Routledge Taylor and Francis Group, London, 1992.
  5. R. I. Marus, “Menakar Kasus Penyalahgunaan Narkoba oleh Kelompok Mahasiswa FIB USU dengan Teori-Teori Kriminologi,” Al Daulah: Jurnal Hukum Pidana dan Ketatanegaraan, pp. 100–110, 2021.
  6. D. Pasek and I. Made, “Metode Penelitian Hukum Normatif dalam Justifikasi Teori Hukum,” Prenada Media Group, Jakarta, 2017.
  7. B. Manan, "Kewenangan Pemerintah Provinsi, Perwujudan Otonomi Daerah," Unpat Press, Bandung, 2000.
  8. I. Fachruddin, "Pengawasan Peradilan Administrasi terhadap Tindakan Pemerintah," PT Alumni, Bandung, 2004.
  9. D. Djunaedi, “Tinjauan Yuridis Tugas dan Kewenangan Jaksa demi Tercapainya Nilai-Nilai Keadilan,” Jurnal Pembaharuan Hukum, vol. 1, no. 1, pp. 83–90, 2014.
  10. I. Y. Sitinjak, “Peran Kejaksaan dan Peran Jaksa Penuntut Umum dalam Penegakan Hukum,” Jurnal Ilmiah Maksitek, vol. 3, no. 3, 2018.
  11. H. M. Husein, "Penyidikan dan Penuntutan dalam Proses Pidana," Rineka Cipta, Jakarta, 1991.
  12. A. Sulchan and M. G. Ghani, “Mekanisme Penuntutan Jaksa Penuntut Umum terhadap Tindak Pidana Anak,” Ulul Albab: Jurnal Studi dan Penelitian Hukum Islam, vol. 1, no. 1, pp. 110–133, 2017.
  13. K. Yudie, "Independensi Jaksa dalam Kejahatan Korupsi," Citra Abadi, Bandung, 2006.
  14. M. Djafar, T. Y. Chandra, and H. A. Mau, “Kewenangan Penuntut Umum Selaku Dominus Litis dalam Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif,” SALAM: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i, vol. 9, 2022.
  15. N. Mahmudah, “Perlindungan Hukum terhadap Perempuan dalam Sistem Peradilan Pidana,” SETARA: Jurnal Studi Gender dan Anak, vol. 2, no. 01, pp. 31–47, 2020.
  16. R. E. A. A. Siregar, “Due Process of Law dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia Kaitannya dengan Perlindungan HAM,” FITRAH: Jurnal Kajian Ilmu-ilmu Keislaman, vol. 1, no. 1, pp. 35–46, 2016.
  17. B. N. Arief and Muladi, "Teori dan Kebijakan Pidana," PT. Alumni, Bandung, 1992.
  18. L. M. Pangaribuan, "Hukum Acara Pidana Surat Resmi Advokat di Pengadilan Praperadilan," Papas Sinar Sinanti, Jakarta, 2004.
  19. E. Arofa, “Penghentian Penuntutan dalam Perkara Pidana Berdasarkan Restorative Justice,” Jurnal Surya Kencana Dua: Dinamika Masalah Hukum dan Keadilan, vol. 7, no. 2, pp. 319–338, 2020.
  20. Ikatan Hakim Indonesia, "Undang-Undang Administrasi Pemerintahan dalam Upaya Pemberantasan Korupsi," Sinar Grafika, Jakarta, 2016.